10 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tunjauan Umum Gender
2.1.1 Pengertian dan Pandangan atas Gender
Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki – laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Kata “gender” ini sudah sering digunakan oleh orang Indonesia, namun tidak ada kata “gender” dalam bahasa Indonesia (Antonius, 2008). Oleh karena itu,kata yang digunakan dalam penelitian ini adalah kata “gender”, bukan kata “jender”.
Pada umumnya, pembicaraan mengenai gender dalam kehidupan sehari – hari sudah biasa diperbincangkan, bahkan hingga ke ruang lingkup Ilmu Sumber Daya Manusia gender sudah menjadi bagian dari hal yang tidak dapat dikesampingkan.
Berikut ini penjelasan dari beberapa ahli mengenai pengertian gender : Menurut Fakih (1999) yang dikutip oleh Sujatmoko (2011) pengertian gender yang pertama ditemukan dalam kamus.
“Penggolongan secara gramatikal terhadap kata-kata dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya yang secara garis besar berhubungan dengan keberadaan dua jenis kelamin atau kenetralan”.
Menurut Caplan (1987)
“Gender merupakan perbedan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural”.
Menurut Bem (1981)
“Gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan
11 menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminim, androgini dan tak tergolongkan”.
Berdasarkan teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gender adalah pengelompokkan karakteristik yang tampak antara pria dan wanita berdasarkan perbedaan yang dilihat dari perilaku yang dimilikinya yang terbentuk secara alamiah dari proses sosial dan budaya.
2.1.2 Tipe Peran Gender
Menurut Bem (1981). Pada umumnya gender diklasifikasikan menjadi 4 peran, yaitu maskulin, feminism, androgini dan tidak tergolongkan. Adapun pengertian dari masing masing peran tersebut, yaitu :
1) Tipe maskulin, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan gender yang lebih umum terdapat pada laki-laki, atau suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk oleh budaya. Dengan demikian maskulin adalah sifat dipercaya dan bentuk oleh budaya sebgai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki.
2) Tipe feminin, yaitu manusia yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri atau trait yang umumnya terdapat pada perempuan daripada laki-laki. Ketika dikombinasikan dengan “stereotipikal”, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih berkaitan pada perempuan daripada laki-laki secara kulturi pada budaya atau subkultur tertentu. Berarti, feminin merupakan ciri-ciri atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan.
3) Tipe androgin, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata. selain pemikiran tentang maskulin dan feminitas sebagai berada dalam suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu dimensi berarti kurang pada dimensi yang lain, ada yang
12 menyatakan bahwa individu-individu dapat menunjukkan sikap ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu perkembangan konsep androgini.
4) Tipe tidak tergolongkan (undiferentiated), yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiaannya maupun kewanitaannya di bawah rata-rata. tingginya kehadiran karakterisitik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu pada saat yang bersamaaan (Santrok, 2003). Individu yang androgini adalah seorang laki-laki yang asertif (sifat maskulin) dan mengasihi (sifat feminin), atau seorang perempuan yang dominan (sifat maskulin) dan sensitif terdapat perasaaan orang lain (sifat feminin). Beberapa penelitian menemukan bahwa androgini baerhubungan dengan berbagai atribut yang sifatnya positif, seperti self-esteem yang tinggi, kecemasan rendah, kreatifitas, kemampuan parenting yang efektif (Bem, Spence dalam Hughes &Noppe, 1985).
Pandangan megenai gender dapat diklasifikasikan, pertama; kedalam dua model yaitu equity model dan complementary contribution model, kedua; kedalam dua stereotype yaitu Sex Role Stereotypes dan Managerial Stereotypes. Model pertama mengasumsikan bahwa antara laki-laki dan wanita sebagai profesional adalah identik sehingga perlu ada satu cara yang sama dalam mengelola dan wanita harus diuraikan akses yang sama. Model kedua berasumsi bahwa antara laki-laki dan wanita mempunyai kemampuan yang berbeda sehingga perlu ada perbedaan dalam mengelola dan cara menilai, mencatat serta mengkombinasikan untuk menghasilkan suatu sinergi (Trisnaningsih, 2002).
Pengertian klasifikasi stereotype merupakan proses pengelompokan individu kedalam suatu kelompok, dan pemberian atribut karakteristik pada individu berdasarkan anggota kelompok. Sex role stereotypes dihubungkan dengan pandangan umum bahwa laki- laki itu lebih berorientasi pada pekerjaan, obyektif, independen, agresif, dan pada umumnya mempunyai kemampuan lebih dibandingkan wanita dalam pertanggungjawaban manajerial. Wanita dilain pihak
13 dipandang lebih pasif, lembut, orientasi pada pertimbangan, lebih sensitif dan lebih rendah posisinya pada pertanggung jawaban dalam organisasi dibandingkan laki-laki. Manajerial stereotypes memberikan pengertian manajer yang sukses sebagai seseorang yang memiliki sikap, perilaku, dan temperamen yang umumnya lebih dimiliki laki-laki dibandingkan wanita. Faktor – faktor yang mempengaruhi gender dalam organisasi menurut Palmer & Kandasaami (1997) yaitu : (1) latar belakang budaya lingkungan sosial (2) dan peran gender yang saling bersinergi (3).
2.1.3 Gender dalam Manajemen
Menurut Broadbridge & Hearn (2008), manajemen dapat mengelola gender dalam berbagai cara, pola khas meliputi berikut ini :
1) Menilai organisasi dan diri manajemen atas pekerjaan dalam domain pribadi. Hal ini harus sering dikelola dengan dasar gender dalam menilai pekerjaan pria atau wanita.
2) Pemisahan pekerjaan berdasarkan gender dalam manajemen. Perempuan dan laki-laki, melalui suatu proses inklusi dan eksklusi, membentuk spesialisi dalam jenis tertentu yaitu antara tenaga kerja formal maupun informal, dengan divisi vertikal dan horizontal dalam organisasi dan manajemen.
3) Pemisahan pekerjaan berdasarkan gender dalam kewenangan dan pengelolaannya, baik formal maupun informal. Perempuan dan laki-laki harus dapat dihargai perbedaannya baik dari segi kekuasaan formal, berdasarkan pos mereka dan posisi, maupun kewenangan informal dari status mereka dan berdiri di organisasi. Selain itu, organisasi harus didominasi oleh nilai-nilai maskulin dalam berperilaku.
4) Proses gender antara manajemen pusat dan menengah dalam organisasi. Ini termasuk kegiatan antara pusat dan menengah organisasi. Kegiatan 'garis depan' sering dikelola oleh perempuan, kegiatan 'garis tengah' lebih sering
14 dilakukan oleh laki-laki. Tujuan utama dari kegiatan organisasinya cenderung dominan dilakukan oleh laki-laki.
5) Hubungan gender dengan organisasi yang harus berpartisipasi dalam tanggung jawab dan responsif terhadap pekerja wanita. Wanita biasanya terus memikul beban ganda yang berasal dari anak dan pekerjaan rumah tangganya yang tidak terbayar oleh organisasi, dan bahkan terdapat juga beban kepedulian terhadap orang tua dan nenek dan kakek.
6) Proses pengelolaan gender dalam kekerasan, termasuk penggangguan, intimidasi dan kekerasan fisik.
7) Simbol gender, gambar dan bentuk kesadaran akan gender, misalnya, media, periklanan, bahan publisitas dan logo perusahaan.
Dalam spesifikasi organisasi dan manajemen, elemen-elemen ini akan saling berhubungan dan saling memperkuat, walaupun terkadang dapat bertentangan satu sama lain. Banyak bentuk karakteristik organisasi dan manajemen yang ditandai dengan adanya pola gender hirarki, pemisahan pekerjaan, seksualitas dan tanggung jawab keluarga yang menghasilkan hubungan sosial dari usia, kelas, fisik dan etnis. Proses gender ini tidak monolitik, tetapi sering paradoks dan multitafsir.
2.2 Tinjauan Umum tentang Polisi 2.1.1 Pengertian Polisi
Istilah polisi berasal dari bahasa Belanda politie yang mengambil dari bahasa Latin politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti warga kota atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut "orang yang menjadi warga negara dari kota Athena", kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota merupakan negara yang berdiri sendiri yang disebut
15 dengan istilah polis, maka politea atau polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan.
Menurut Steinmetz (2005) dalam bukunya mengemukakan bahwa pengertian polisi adalah sebagai berikut :
“Untuk mengatur keamanan ,pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan . Bagi mereka yang tidak menurutinya akan dihukum dan diberi nasehat . Untuk melaksanakan peraturan tersebut , pemerintah mengangkat beberapa pegawai untuk menjaga keamanan dan ketertiban umun , untuk melindungi penduduk dan harta bendanya serta intuk menjalankan peraturan – peraturan yang diadakan oleh pemerintah . Mereka yang diberi tugas tersebut disebut pegawai Polisi”.
Menurut Romli Atmasasmita (Momo Kelana, 2003:59)
“Polisi adalah petugas terdekat dan terdepan dengan kejahatan dimasyarakat. Selain masyarakat, polisi adalah pihak pertama yang akan menerima laporan tentang kejahatan atau mengetahui tentang terjadinya suatu kejahatan” .
Menurut Soerjono Soekanto (Sitompul, 2000:31)
“polisi adalah suatu kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai penindak dan pemelihara kedamaian yang merupakan bagian dari fungsi kamtibnas (keamanan dan ketertiban nasional) “.
Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 tertuang dalam Pasal 5, bahwa Kepolisian Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
16 2.1.2 Fungsi Polri
Fungsi Kepolisian Republik Indonesia yang tercantum pada Undang – Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 pasal 2 menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
2.1.3 Tujuan Polri
Undang - Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 pasal 4 tentang tujuan Kepolisian Republik Indonesia, yaitu Kepolisian Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertibdan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2.1.4 Tugas dan Wewenang Polri
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara pada bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Abriyanti, 2013). Mengenai tugas dan wewenang aparat kepolisian dicantumkan pada Bab III Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tujuan pemberian tugas dan kewenangan kepada polri agar mampu menciptakan dan mewujudkan rasa aman, tentram dan damai dalam masyarakat.
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang dalam Bab III Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 yaitu :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
17 Rumusan pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Disamping itu, dalam pelaksanaan tugas harus berdasarkan pada norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (penjelasan Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002)
Wewenang anggota kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Kepolisian Negara No.2 Tahun 2002 yakni:
Pasal 15
1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a. Menerima pelaporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bahan dari tindakan kepolisisan dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yangdiperlukan; dalam rangka pelayanan masyarakat;
18 l. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu; 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang :
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin pengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan izin dan melakukan kegiatan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam Organisasi
Kepolisian Internasional;
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Pasal 16
1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
19 a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Tugas dan wewenang kepolisian sangat berbeda dengan organisasi pemerintahan lainnya, polisi diberikan kewenangan khusus dalam melaksanakan tugas-tugasnya, berbeda dengan organisasi pemerintahan lainnya yang tidak memliki kewenangan khusus seperti polisi. Kewenangan ini antara lain polisi dapat menembus hak asasi warga secara sah tanpa dilanggar, seperti melakukan penangkapan secara paksa ataupun tidak dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan kejahatan, melakukan kekerasan fisik bila diperlukan baik untuk melindungi dirinya, atau mengatasi perlawanan dalam suatu
20 penangkapan. Kewenangan khusus lainnya dari Polisi adalah mereka berhak memiliki dan menggunakan senjata api dengan wewenang untuk menembak seseorang atas pertimbangannya sendiri. Oleh karena itu, jaminan agar wewenang tersebut digunakan secara benar tentu sangat diperlukan.
2.3 Polisi Lalu Lintas
Menurut Chryshnanda (2008), polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian yang mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, identifikasi pengemudi / kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
2.3.1 Visi dan Misi Polantas
Dalam laman polisi lalu lintas (www.tmcmetro.com) tercantum visi dan misi polisi lalu lintas, yaitu :
a. Visi Polisi Lalu Lintas
Polantas yang mampu menjadi pelindung, pengayom pelayanan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama dengan masyarakat serta sebagai aparat penegak hukum yang professional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia memelihara keamanan dan ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
b. Misi Polisi Lalu Lintas
1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan para pemakai jalan sehingga para pemakai jalan aman selama dalam perjalanan dan selamat sampai tujuan.
2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat lalu lintas melalui upaya preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan ketaatan serta kepatuhan kepada ketentuan peraturan lalu lintas.
21 3. Menegakan peraturan lalu lintas secara professional dan proporsional
dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM.
4. Memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dengan memperhatikan norma-norma dan nilai hukum yang berlaku.
5. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam sebagai upaya menyamakan misi polantas.
2.3.2 Fungsi dan Peran Polantas
Menurut peraturan Kapolri tentang fungsi dan peran polisi lalu lintas adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Lantas adalah Penyelenggaraan tugas pokok POLRI bidang Lalu Lintas meliputi :
1. Penegakan Hukum Lantas ( Police traffic Law Enforcement ) 2. Pendidikan Masyarakat tentang Lantas ( Police Traffic Education ) 3. Ketekhnikan Lantas ( Police traffic Engineering )
4. Registrasi/Identifikasi Pengemudi dan Kendaraan ( Driver and Vehicle Identification )
b. Lantas, Polri berperan sebagai :
1. Aparat Penegak Hukum, Terutama Perundang-Undangan Lalu Lintas dan Peraturan Pelaksanaannya.
2. Aparat Penyidik Kecelakaan Lalu Lintas.
3. Aparat yang mempunyai kewenangan Kepolisian Umum. 4. Aparat pendidikan lalu lintas kepada Masyarakat.
5. Penyelenggara Registrasi/Identifikasi pengemudi/kendaraan bermotor. 6. Pengumpul dan Pengolah Data Lalu Lintas
7. Unsur bantuan komunikasi dan teknis, melalui Unit PJR ( Patroli Jalan Raya ).
2.4 Tinjauan Umum tentang Kinerja
Demi tercapainya tujuan suatu organisasi, salah satu hal penting yang dapat membantu organisasi untuk mencapai tujuannya tersebut adalah karyawan atau
22 pekerja yang memiliki tingkat kinerja yang tinggi. Namun dalam kenyataannya, hingga saat ini organisasi – organisasi yang ada di Indonesia tidak sedikit yang memiliki masalah utamanya yang berasal dari kinerja karyawannya, hal ini tentu akan mengerucut kea rah produktivitas sumber daya manusia organisasi itu sendiri.
2.4.1 Pengertian Kinerja
Menurut Sastrohadiwiryo (2003) mengemukakan pengertian kinerja adalah:
“Sesuatu yang dicapai seseorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Pada umumnya kerja seorang tenaga kerja antara lain dipengaruhi oelh kecakapan, keterampilan pengalaman dan kesungguhan tenaga kerja yang bersangkutan” .
Menurut Stolovitch & Keeps (1992)
“Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta” .
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja adalah suatu kumpulan dari hasil – hasil sesuatu yang telah dicapai oleh seseorang untuk organisasi sebagai tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
2.4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut (Prawirosentono, 1999:27), faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivasion). Selain itu terdapat juga faktor – faktor lainnya yaitu :
c. Efektifitas dan efisiensi
Apabila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, bisa diartikan bahwa kegiatan tersebut efektif. Tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai
23 yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, apabila akibat yang dicari tidak penting maka kegiatan tersebut efesien.
b. Otoritas (wewenang)
Otoritas adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya. Perintah tersebut mengatakan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam organisasi tersebut.
c. Disiplin
Disiplin adalah taat kepada hukum dan peraturan yang berlaku. d. Inisiatif
Inisiatif dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah “usaha (tindakan dsb) yg mula-mula; prakarsa” yang berarti sebuah awal permulaan, atau keinginan untuk memulai suatu pekerjaan.
2.4.3 Variabel Kinerja
Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu (Bernardin & Russel, 2003). Kinerja karyawan dapat diukur dari berbagai macam sudut pandang. Ada organisasi yang melihat kinerja karyawan dari prestasi kerja yang dihasilkan, dari segi kontribusi yang diberikan atau dihasilkan oleh karyawannya untuk kemajuan organisasi. Tetapi ada juga perusahaan yang menilai kinerja karyawannya dari sudut pandang yang berbeda (Antonius, 2008).
Sudut pandang penilaian itu diantaranya adalah perusahaan ingin mengetahui komitmen karyawannya terhadap organisasi tempat karyawan tersebut bekerja, motivasi yang dimiliki oleh karyawan tersebut berkaitan dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakannya, kesempatan kerja yang diperoleh para karyawan perusahaan misalnya peluang yang sama dalam memperoleh promosi
24 jabatan. Maka dalam penelitian, kinerja diukur dengan 3 (tiga) aspek yang diteliti, aspek – aspek tersebut antara lain komitmen organisasi, motivasi, dan kesempatan kerja.
2.4.3.1 Komitmen Organisasi
Komitmen organisasional didefinisikan sebagai : (1) sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan – tujuan dan nilai – nilai organisasi, (2) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh – sungguh guna kepentingan organisasi, (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi (Aranya et al. 1981).
Marsden & Kalleberg (1992) dalam penelitiannya berpendapat bahwa :
“Komitmen organisasi adalah suatu kunci untuk menciptakan kecocokan antara individu dan organisasi” .
Menurut Meyer dan Allen (1991) mengemukakan pengertian komitmen organisasi adalah:
“Suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi ” .
Menurut Meyer dan Allen, terdapat 3 (tiga) komponen dari komitmen organisasi, yaitu affective, normative, continuance. Meyer dan Allen juga berpendapat bahwa setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasional yang dimilikinya.
Komponen Affective
Yaitu yang berkaitan dengan keterlibatan emosional seseorang pada
organisasinya berupa perasan cinta pada organisasi. Para anggota polisi yang memiliki komponen affective yang tinggi akan selalu ingin tetap bertahan bekerja di organisasi tempatnya bekerja. Sedangkan untuk para anggota pilisi yang
25
memiliki komponen affective yang rendah maka mereka akan memiliki
kecenderungan untuk tidak terlalu banyak terlibat dalam organisasi (Antonius, 2008).
Komponen Normative
Yaitu sebuah dimensi moral yang didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi yang mempekerjakannya. Seorang polisi yang memiliki komponen normative yang tinggi maka akan selalu tetap ingin bekerja di organisasi tempatnya bekerja karena didasari oleh rasa tanggung jawab dan kewajiban sebagai suatu balasan atas apa yang telah organisasi berikan kepadanya.
Komitmen normative akan memberikan pegawai suatu perasaan yang
mengharuskan untuk bertahan di organisasi atas dasar pertimbangan norma, nilai dan keyakinan pegawai tersebut.
Komponen Continuance
Yaitu persepsi seseorang atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi saat ini. Artinya, terdapat dua aspek pada komitmen continuance, yaitu: melibatkan pengorbanan pribadi apabila meninggalkan organisasi dan ketiadaan alternatif yang tersedia bagi orang tersebut. Perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan partisipasi di dalam organisasi akan terasa pada diri pegawai bilamana pegawai tersebut memiliki komitmen continuance yang tinggi.
2.4.3.2Motivasi
Motivasi merupakan sesuatu yang memulai gerakan, sesuatu yang membuat orang bertindak dan berperilaku dengan cara – cara tertentu (Armstrong, 1994). Sedangakan menurut Robin (2006 : 213) :
“Motivasi merupakan suatu proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”
26 Menurut Robin (2006 : 213) :
“Motivasi merupakan suatu proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”
Menurut Berkson et al (2012) :
“Motivasi karyawan didefinisikan sebagai keinginan atau pendorong diri pribadi karyawan yang secara langsung mempengaruhi tingkat keterlibatannya atau kinerja yang dilakukannya di tempat kerja”.
Berkson et al (2012) juga mengemukakan bahwa faktor yang paling kritis
yang mempengaruhi motivasi seorang karyawan adalah hubungan yang baik (manajemen dan karyawan), pendapatan, kesempatan promosi, imbalan jangka panjang, dan imbalan non finansial. Imbalan jangka panjang dapat membantu untuk memotivasi para pekerja mereka dan untuk mempromosikan kreativitas yang dimilikinya, sementara imbalan jangka pendek, yang umumnya diterapkan di dunia bisnis, dapat memotong motivasi dan menghambat inovasi karyawan.
Sedangkan Robbin (2006 : 2013) berpendapat bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi antar individu dengan situasi. Seseorang akan terdorong untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya berdasarkan dari situasi yang terjadi di sekitarnya.
2.4.3.2.1 Teori Motivasi
Teori Motivasi “klasik”
Teori ini dikemukakan oleh Frederick W. Taylor, Taylor mengemukakan bahwa seseorang akan bersedia bekerja dengan baik apabila orang itu berkeyakinan akan memperoleh imbalan yang ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan kerjanya. Pemberian imbalan yang paling tepat dapat menumbuhkan semangat untuk bersedia bekerja lebih baik apabila diberikan pada saat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
27 Teori Motivasi “kebutuhan”
Teori motivasi “kebutuhan” ini dikemukakan oleh Abraham Maslow,
Maslow menyatakan bahwa di dalam diri setiap individu manusia terdapat 5 (lima) jenjang kebutuhan, yang akan dijelaskan melalui gambar dan uraiannya sebagai berikut :
Gambar 2.1 : Teori Kebutuhan Abraham Maslow
1. Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis adalah kebutuhan yang dibutuhkan oleh seorang manusia mencakup seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan (pakaian, makan dan minum, tempat tinggal), kebutuhan jasmani seperti seks dan lainnya.
2. Keamanan
Kebutuhan ini antara lain seperti kebutuhan akan hidup tentram, aman, kebutuhan perlindungan fisik maupun batin, dan kebutuhan akan keselamatan.
3. Sosial
Antara lain kebutuhan akan bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain, kebutuhan akan kasih sayang.
28 4. Penghargaan
Kebutuhan Penghargaan adalah kebutuhan manusia yang mencakup harga diri, penghormatan diri dan penghormatan dari luar, prestasi, dan pengakuan.
5. Aktualisasi diri
Aktualisasi diri disini adalah suatu bentuk dorongan untuk dapat menjadi seseorang yang menjadi ambisinya dengan tersedianya kesempatan bagi seseorang tersebut mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Teori X dan Y
Teori ini dikemukakan oleh Douglas Mc Gregor, yang menyatakan bahwa terdapat dua jenis pandangan yang berbeda terhadap manusia. Pandangan pertama adalah pandangan secara negatif yang disebut teori X, dan pandangan kedua yaitu pandangan secara positif yang disebut teori Y. Adapun ciri – ciri utama dari teori X, antara lain :
Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya.
Karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dikendalikan atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal.
Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
Sedangkan ciri – ciri utama dari teori Y menurut Mc Gregor adalah sebagai berikut :
Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan seperti halnya istirahat atau bermain.
29 karyawan sudah memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi dan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari dan bertanggung-jawab.
Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diberikan ke seluruh populasi dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
2.4.3.3 Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja adalah peluang mendapatkan kesetaraan dalam pengembangan atau promosi dan mendapatkan penugasan serta dalam penetapan gaji dan kenaikan secara berkala. (Dwarawati, 2005:56).
Dalam penelitian dari Antonius (2008) menjelaskan bahwa seringkali para karyawan bekerja dengan segenap kemampuan yang mereka miliki untuk mendapatkan kesempatan di dalam promosi jabatan, tentunya untuk mendapatkan jabatan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari jabatan atau posisi yang sebelumnya.
Mengenai kesempatan bagi pegawai wanita, pada umumnya baik karyawan perempuan dan laki – laki menyetujui bahwa karyawan wanita diberi pembebanan tugas dan diijinkan untuk mengembangkan spesialisasi industri yang sama sebagaimana rekan laki - laki nya, meskipun tingkat persetujuan untuk isu tersebut lebih tinggi untuk responden laki – laki. Kemudian isu tentang kesempatan bagi karyawan untuk menjadi partner, terdapat perbedaan antara laki – laki dan perempuan (Dwarawati, 2005:41)
2.5 Kajian Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian sebelumnya, Sujatmoko (2011) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, skripsi yang berjudul: Analisis perbedaan kinerja Auditor dalam perspektif Gender pada kantor Akuntan Publik Jakarta. Dari 5 (lima) Aspek
30 Kinerja yang diteliti yaitu; Komitmen Organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, dan kepuasan kerja menyatakan tidak adanya perbedaan yang signifikan kinerja antara auditor pria dan wanita dari kelima aspek tersebut.
Menurut Trilestari dkk (2010), Universitas Semarang, skripsi yang berjudul: Analisis perbedaan kienrja Auditor dalam perspektif Gender pada kantor Akuntan Publik Semarang. Aspek Kinerja yang diteliti yaitu; Komitmen Organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja, dan pengalaman organisasi menyatakan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan antara auditor pria dan wanita dari keenam aspek tersebut.
Menurut Antonius (2008), Universitas Padjajaran, skripsi yang berjudul: Perbedaan Kinerja Auditor berdasarkan Gender pada kantor Akuntan Publik di Bandung. Aspek Kinerja yang diteliti yaitu; Komitmen, motivasi, kesempatan kerja,dan kepuasan kerja menyatakan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan antara auditor pria dan wanita dari keempat aspek tersebut.
Sementara hasil berbeda dari Shorea Dwarawati (2005), skripsi yang ditulisnya dengan judul: Analisis perbedaan kinerja Auditor dalam perspektif Gender pada kantor Akuntan Publik Yogyakarta. Aspek Kinerja yang diteliti yaitu; Komitmen Organisasi, komitmen profesi, motivasi, kesempatan kerja, kepuasan kerja, menyatakan adanya perbedaan kinerja yang signifikan antara auditor pria dan wanita dari kelima aspek tersebut.
2.6 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang telah di uraikan di atas dapat digambarkan melalui bagan atau skema sebagai berikut :
31 Gambar 2.2 : Skema Kerangka Pemikiran
Gill Palmer dan Kandassami : Perbadaan karateristik antara pria dan wanita
Kantor Polda Jawa Barat
Polantas Pria : - Orientasi pada pekerjaan - Objektif
- Independent - Agresif
- (umumnya) memilki kemampuan lebih pada pertanggungjawaban manajerial
K
I
N
E
R
J
A
Komitmen Organisasi (Meyer & Allen) - Kemampuan affective- Kemampuan normative - Kemampuan continuance
Polantas Wanita : - Orientasi pada pertimbangan - Lebih pasif
- Lebih sensitif - Kurang agresif
- (umumnya) memiliki posisi yang lebih rendah suatu organisasi.
Motivasi (Berkson) - Dukungan dari Manajemen
- Penekanan terhadap insentif dan kreativitas.
- Imbalan non Finansial - Imbalan finansial
- Dorongan pribadi
Kesempatan Kerja (Shorea Dwarawati)
Peluang mendapatkan kesetaraan dalam pengembangan atau promosi dan mendapatkan penugasan serta dalam kenaikan secara berkala..
K
I
N
E
R
J
A
K
I
N
E
R
J
A
32 2.7 Pengembangan Hipotesis
Pada dasarnya, manajer ingin karyawan berkomitmen karena seorang pekerja tersebut diasumsikan memiliki kesungguhan yang tinggi dalam usaha dan bekerja dan tingkat yang rendah dari turnover dan ketidakhadiran (Porter & Steers 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Koretz (1992) menunjukkan bahwa produktivitas ekonomi menderita karena adanya kegagalan dalam memanfaatkan secara penuh potensi pekerja wanita yang berkomitmen. pertanyaan-pertanyaan dengan pengurangan petugas dalam biaya penggantian dan pelatihan. Penelitian yang dilakukan oleh Yammarino dan Dubinsky (1988) menemukan adanya perbedaan kinerja berdasarkan gender, hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartman (1988), menunjukkan bahwa laki-laki dipandang lebih kuat daripada wanita, dan kinerja laki – laki lebih baik daripada wanita dilihat dari karakteristiknya, namun berbeda dengan temuan dari Kundson (1982), yang menyatakan bahwa perempuan mampu sebagai laki-laki jika diberikan paparan yang sama dari organisasinya.
Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
H1. Terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara polantas pria dan polantas wanita ditinjau dari komitmen.
Komitmen pada umumnya dapat meningkatkan pengembangan organisasi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Awamleh, 1996). Komitmen telah menjadi kegiatan utama di banyak negara. Hal ini telah menyebabkan peningkatan dalam pengembangan kebijakan dan program publik yang bertujuan untuk mengatasi masalah komitmen tersebut serta banyak studi empiris seperti itu (Joolideh dan Yeshodhara, 2009). Kepuasan kerja berhubungan dengan respon afektif terhadap lingkungan pekerjaan secara langsung, sedangkan komitmen organisasi akan lebih stabil dan abadi (Norris dan Niebuhr, 1983). Marsden & Kalleberg (1993), yang menyatakan bahwa pria cenderung memiliki sedikit lebih tinggi tingkat komitmen daripada wanita, perbedaan timbul karena adanya gender dalam kariernya. Wanita mungkin sedikit lebih berkomitmen untuk atasan mereka daripada laki-laki dalam posisi yang sebanding.
33 H2. Terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara polantas pria dan polantas wanita ditinjau dari motivasi.
Menurut model stereotypes gender, perempuan harus memenuhi kebutuhan dan perawatan kualitas hidupan keluarga mereka. Jadi, bagi wanita manfaat hubungan, keamanan, pinggiran, lingkungan dll lebih penting. Hofstede (2001) sampai pada kesimpulan sementara bahwa kekhawatiran pria kebanyakan terdapat pada pendapatan, promosi dan tanggung jawab, wanita menghargai suasana yang ramah dan biasanya menyangkut dengan prestise, tantangan, tugas signifikansi, keamanan kerja, kerjasama dan lingkungan kerja. Bigoness (1988) menemukan bahwa pria biasanya menekankan pada gaji, sementara penekanan wanita adalah pada pertumbuhan profesionalnya. Utama dan Konar (1984) menunjukkan perbedaan, menekankan bahwa wanita biasanya kurang memperhatikan gaji daripada pria.
H3. Terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara polantas pria dan polantas wanita ditinjau dari kesempatan kerja
Dalam dunia kerja, pria lebih profosional dalam suatu bidang pekerjaan dibandingkan dengan wanita, sehingga pria lebih mendominasi di dalam bidang tersebut (Barbara Wotton, 1997). Wanita umumnya selalu paling cepat pindah (resign), perbedaan distribusi pekerja pria dan wanita telah menjadi fitur yang menonjol dari pasar tenaga kerja. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan perbedaan yang cukup konstan dari awal 1900-an sampai sekitar 1970. 1970 adalah periode desegregasi kerja, kemajuan dari gerakan perempuan, diberlakukannya undang-undang yang melarang diskriminasi seks, meningkatkan para wanita untuk mendaftar di pendidikan tertinggi dan sekolah yang profesional, meningkatnya volume kerja perempuan memaksa partisipasi, dan penurunan stereotip gender baik pendidikan dan pekerjaan semua memberikan kontribusi terhadap tren ini. Perempuan terus membuat terobosan ke dunia kerja yang didominasi laki-laki pada 1980-an, meskipun laju perubahan melambat.