Diterbitkan Oleh:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana
VOLUME 1, NO. 1, MEI 2015
ISSN 2442-7756JURNAL ARSITEKTUR
A T R I U M
Vol. 1 No. 1 Hlm. 1-92 Yogyakarta, Mei 2015 ISSN 2442-7756
ATRIUM
A T R I U M
JURNAL ARS
ITEKTUR
A t r I u m
Jurnal arsitektur Volume 1,Nomor 1,Mei 2015
Jurnal ATRIUM adalah sarana komunikasi bidang Arsitektur berupa hasil penelitian, studi kepustakaan, maupun tulisan ilmiah terkini. Edisi perdana terbit pada Mei 2015 dengan frekuensi terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Mei dan November.
Arti ATRIUM adalah ruang bersama, tempat berbagi para anggota dalam sebuah keluarga. ATRIUM sebagai salah satu konsep Arsitektur yang dikenal di berbagai belahan dunia dengan berbagai nama lokalnya ini dipilih untuk menamai jurnal ini.
Dewan Redaksi:
Prof. Ir. Titien Saraswati, M.Arch., Ph.D. Ir. Mahatmanto, M.T.
Ir. Priyo Pratikno, M.T. Linda Octavia, S.T., M.T.
Mitra Bebestari:
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Prof. Ir. Lilianny S. Arifin, M.Sc., Ph.D. Universitas Kristen Petra
Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D. Universitas Gadjah Mada Assoc. Prof. Ir. Johannes Widodo, M.Sc., Ph.D. National University of Singapore Dr. Ir. Yuswadi Saliya, M.Arch. Universitas Katolik Parahyangan Prof. Ir. Antariksa, M.Eng., Ph.D. Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Ir. Ananto Yudono, M.Eng. Universitas Hasanuddin
Alamat Redaksi:
Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Arsitektur dan Desain
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)
Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo 5 –25,Yogyakarta 55224 Telepon : (0274) 563929 pesawat 504
Ponsel : 081803143353
Email : redaksi.atrium@staff.ukdw.ac.id
Redaksi menerima sumbangan artikel di bidang Arsitektur dan akan ditelaah oleh Mitra Bebestari. Artikel bukan plagiat, dan menjadi tanggung jawab penulis apabila terbukti plagiat. Artikel yang dimuat merupakan pandangan penulis dan tidak mewakili pandangan Redaksi.
Jurnal ATRIUM diterbitkan oleh:
Lembaga Penelitian dan PengabdianpadaMasyarakat (LPPM) Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
A t r I u m
Jurnal arsitektur
Volume 1 Nomor 1 Mei 2015
DAFTAR ISI
INTERPRETASI MAKNA PADA WARUNG KOPI ACEH
Riza Aulia Putra, Agus S. Ekomadyo 1 - 10
TAMAN KOTA DI SURABAYA SEBAGAI URBAN PARKS
Muhd. Arief Al Husaini 11 - 18
ELEMEN ARSITEKTUR, INTERIOR DAN SIGNAGE UNTUK MENEMUKAN JALAN DAN BRANDING UNIVERSITAS KRISTEN PETRA
Gunawan Tanuwidjaja, Nerissa Arviana Wijaya, Lavenia
Widyanto, Stephanie Seaver Wiarta, John Kenley Sugianto 19 - 28
PERSPEKTIF KONSERVASI ARSITEKTURAL PADA MASYARAKAT JAWA
Johannes Adiyanto 29 - 38
STUDI TENTANG LOKASI BENTENG-BENTENG DI SURAKARTA (1672, 1743, 1756, 1832)
Bimo Hernowo 39 - 48
PERAN PEREMPUAN DALAM MERUMAH
Koniherawati, Priyo Pratikno 49 - 60
KAJIAN ANTITESIS HEGELIAN DALAM ARSITEKTUR
Muhammad Nurwahyu, Murni Rachmawati, Josef Prijotomo 61 - 74
RELASI STRUKTUR MASYARAKAT DAN TATA ZONASI PERMUKIMAN ADAT DI DESA NGGELA, ENDE-FLORES
Jurnal Arsitektur ATRIUM penyemai pemikiran, karya, dan gagasan mengenai arsitektur dan masalah lingkungan binaan. Tinjauan pembahasan dilakukan secara multi disiplin diantaranya: masalah perkotaan, lansekap kota, kawasan urban, permukiman, perumahan sederhana, perumahan kelas menengah-atas, desain kontrol, arsitektur etnik dan arsitektur vernakular.
Pada nomor perdana ini disajikan delapan makalah dengan topik bahasan yang berbeda sebagaimana paparan berikut. Interpretasi Riza Aulia Putra dkk. terhadap ruang komunal yaitu pemaknaan warung kopi yang kini menjelma menjadi ikon bagi kota-kota di Banda Aceh. Muhammad Arief al Husaini merinci bahwa keberadaan taman kota di Surabaya masih diperlukan jumlah dan besarannya sehingga beberapa taman perlu diperluas. Tentang signage dan
interior yang dilakukan oleh Gunawan Tanuwidjaja dkk., meninjau beberapa
gedung dan ruang-ruang di kampus Universitas Kristen Petra Surabaya, disimpulkan bahwa sebagian sudah sangat familier bagi penggunanya dan memenuhi persyaratan, namun pada bagian tertentu masih perlu ditingkatkan. Johannes Adiyanto membahas preservasi dan konservasi arsitektur sebagaimana dipersepsikan oleh orang Jawa. Bimo Hernowo berpendapat bahwa di Kota Surakarta selain terdapat Benteng Vastenberg juga ada dua benteng lain yang sekarang sudah susah dikenali site dan bentuknya. Fabiola T.A. Kerong membahas hierarki letak bangunan rumah terhadap tata ruang permukiman desa adat, dengan temuan bahwa struktur masyarakat yang berhierarkis itulah yang menentukan tata letak rumah dan desa adat. Studi tentang jender oleh Koniherawati dkk., membahas hubungan perempuan dengan penciptaan selubung fisik mulai dari baju hingga pembuatan rumah tinggal pada masa lalu yang banyak digumuli oleh para perempuan. Lalu telaah tentang filsafat Hegel yang dilakukan oleh Muhammad Nurwahyu. Mengkaji teorema ”antitesis” Hegel untuk diterapkan dalam metode perancangan arsitektur.
Redaksi Jurnal Arsitektur ATRIUM mengucapkan terima kasih kepada para penyaji, mitra bebestari dan sidang pembaca terhormat.
Salam,
Riza Aulia Putra1, Agus S. Ekomadyo2
1,2Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132
email: 1rizaauliaputra@ymail.com, 2agus_ekomadyo@yahoo.co.id
Abstrak
Tradisi berkumpul untuk silaturahmi pada masyarakat Aceh sudah lama terbentuk. Warung kopi merupakan salah satu artefak dari tradisi atau budaya berkumpul pada masyarakat Aceh. Warung kopi merupakan tempat terjadinya interaksi sosial dan berbagai aktivitas lainnya. Salah satu contoh kasus yang diambil yaitu pada warung kopi Solong yang berada di Kota Banda Aceh. Tujuan penulisan ini adalah untuk menelusuri ruh atau genius loci yang membuat warung kopi Aceh terus hidup dan berkembang. Dengan menggunakan pemikiran dari Norberg-Schulz maka akan dikaji dan ditelusuri lebih jauh mengenai citra, ruang dan karakter yang membentuk genius loci pada warung kopi Aceh sehingga membuat masyarakat Aceh memilih warung kopi sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas dan interaksi sosial. Dengan mengkaji unsur tersebut akan didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah tempat yaitu makna, identitas dan sejarah tempat tersebut.
Kata kunci: tempat, ruang interaksi, genius loci, warung kopi
Abstract Title: The Interpretation of Meaning in Aceh Coffee Shop
The gathering tradition in Acehnese people for silaturrahmi has long been established. A coffee shop is one of the artefacts from Aceh traditions or gathering culture for Acehnese people. Coffee shop is a place for social interaction and other various activities. One example of case that was taken is Solong Coffee shop located in the city of Banda Aceh. The purpose of this paper is to explore the spirit or genius loci that makes coffee shop in Aceh continue to live and thrive. By using the thinking of Norberg-Schulz, it will be studied and explored for more about image, space and character that create the genius loci in a Aceh coffee shop to attract the Acehnese people to choose the coffee shop as a place to do their various activities and social interaction. Reviewing these elements will obtain many factors that affect a place such as the meaning, identity and history of the place.
Keywords: place, interaction space, genius loci, coffee shop
Pendahuluan
Kopi merupakan salah satu ikon bagi masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan keunikan dan karakter yang dimiliki oleh kopi Aceh itu sendiri. Aceh telah dikenal dengan kopinya yang khas. Potensi kopi Aceh yang cukup baik ini terus berkembang hingga saat ini. Kopi
menjadi media interaksi sosial antar masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan menikmati secangkir kopi di warung
kopi telah menjadi tradisi bagi
masyarakat Aceh, khususnya bagi
kaum pria. Tradisi ini telah
berkembang turun temurun pada
masyarakat Aceh. Tradisi berkumpul dan melakukan interaksi sosial ini juga
dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman yang sangat kuat pada masyarakat Aceh. Pentingnya silaturahmi menjadi
poin utama sehingga membuat
masyarakat Aceh sering berkumpul.
Warung kopi merupakan artefak dari
tradisi atau budaya berkumpul
masyarakat Aceh. Budaya berkumpul di warung kopi dalam masyarakat Aceh
merupakan wujud kebudayaan
berbentuk aktivitas. Aktivitas ini lahir
dari kebiasaan sehari-hari yang
dilakukan oleh masyarakat Aceh
khususnya di kota Banda Aceh
(Koentjaraningrat, 1974). Budaya
berkumpul ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun pada masyarakat Aceh. Hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang begitu kuat pada kehidupan masyarakat Aceh yang mengharuskan
masyarakat untuk menjaga dan
menjalin silaturahmi dalam kehidupan bermasyarakat. Agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk
pola pikir, sikap dan perilaku
masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari (Sufi, 2004). Interaksi sosial dan berbagai kegiatan lainnya seperti kegiatan politik, bisnis dan ekonomi, diskusi-diskusi ilmiah dan sebagainya dapat terjadi di warung kopi. Hal ini
menjadi salah satu penyebab
banyaknya jumlah warung kopi yang hadir di Aceh khususnya di kota Banda Aceh. Banda Aceh menjadi pilihan
bagi para pengembang usaha
dikarenakan fungsinya sebagai ibukota provinsi Aceh yang pertumbuhan
ekonominya lebih berkembang
dibandingkan daerah lainnya di
provinsi Aceh.
Warung kopi telah membentuk tempat dan makna bagi masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh lebih memilih
warung kopi dari pada tempat lainnya sebagai ruang interaksi sosial dan
berlangsung karena adanya ruh atau
spirit yang menjaga identitas atau
karakter dari kopi Aceh yang oleh Norberg-Schulz disebut dengan genius
loci sehingga eksistensi dari warung
kopi dapat terus bertahan dan
berkembang. Genius loci dapat tercipta dari kemampuan masyarakat suatu daerah untuk menerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat dalam wilayah asal budaya tersebut (Arif, 2008).
Genius loci merujuk pada kecerdasan
lokal yang dibangun antara masyarakat pada lingkungan fisik yang mewadahi
kegiatannya. Dengan pendekatan
genius loci, maka setiap tempat akan
dinilai maknanya bagi komunitas yang memanfaatkannya (Ekomadyo, 2012).
Melalui penelitian ini akan diungkap bagaimana makna yang terbentuk pada warung kopi sebagai identitas yang
menjadi bagian sejarah bagi
masyarakat Aceh. Dengan
menggunakan konsep tempat (place)
dari Norberg-Schulz maka akan
ditinjau lebih jauh mengenai citra, ruang dan karakter yang membentuk
genius loci pada warung kopi. Dengan
keempat hal tersebut akan ditemukan ruh atau spirit of place pada warung kopi yang membuat warung kopi di Banda Aceh terus berkembang dan ramai dikunjungi oleh masyarakat Aceh.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan
memaparkan fakta dan fenomena yang
ada dalam lokasi penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung untuk mengamati perilaku dan aktivitas pada warung kopi Aceh. Selain itu juga
dilakukan wawancara
berhadap-hadapan (face-to-face interview)
dengan manager warung kopi dan wawancara dalam kelompok (focus
group interview) dengan pengunjung
warung kopi. Warung kopi Aceh yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah warung kopi Solong yang terletak di kota Banda Aceh, Aceh. Data yang telah diperoleh kemudian akan dianalisis berdasarkan pemikiran dari Norberg-Schulz mengenai konsep
place (tempat) sehingga dapat diketahui faktor yang membentuk
genius loci pada warung kopi Aceh.
Makna dan Tempat dalam
Arsitektur
Makna (meaning) merupakan fungsi
psychic (berkaitan dengan kekuatan
batin) yang bergantung pada proses identifikasi dan menunjukkan sense of
belonging. Makna dari setiap objek
terdiri dari hubungan dengan objek
yang lainnya, yang terdiri dari
kumpulan-kumpulan objek. Makna
akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, politik dan fenomena budaya lainnya. Makna yang ditemukan dalam sebuah tempat merupakan genius loci atau ruh yang menjadi pembangkit
kehidupan pada tempat tersebut
(Norberg-Schulz, 1980).
Tempat (place) dapat diartikan sebagai ruang yang memiliki karakter, atmosfir atau makna tertentu. Sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah
void, dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari
lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya (Zahnd, 1999).
Places diidentifikasikan dengan sesuatu yang tidak berubah. Sense of
place yang terdapat didalamnya, karakter atau identitas akan relatif
stabil. Hal inilah yang sering
dihubungkan dengan spirif of place atau genius loci yang dikemukakan oleh Norberg-Schulz (Dovey, 2010)
Place memiliki karakter sebagai elemen pembentuknya. Karakter ini ditentukan oleh material dan keadaan formal dari place seperti kondisi tanah tempat kita berjalan, kondisi langit di atas kepala, atau yang lebih umum yaitu keadaan di sekitar place itu sendiri. Ada tiga hal yang membentuk sebuah place yaitu meaning, identity dan history. Sebuah place akan memiliki spirit of place atau yang disebut oleh Norberg-Schulz sebagai
genius loci jika memiliki unsur-unsur
di atas. Genius loci merupakan konsep Romawi. Menurut kepercayaan kuno Romawi setiap sesuatu yang berdiri memiliki genius, yang menjaga spirit suatu tempat (a guardian spirit). Spirit ini yang memberikan kehidupan untuk manusia dan tempat, menemani mereka dari lahir sampai kematian dan menentukan karakter mereka. Place akan kehilangan identitasnya jika faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya tidak diwujudkan dengan
menghormati genius loci. Untuk
menghormati genius loci bukan berarti
harus menggunakan model lama.
Namun itu berarti menentukan sebuah identitas place dan menginterpretasi-kannya dengan berbagai cara bahkan dalam cara baru (Norberg-Schulz, 1980).
Berdasarkan pemikiran Norberg-Schulz ada empat aspek yang dapat digunakan untuk menelusuri genius loci pada suatu tempat, yaitu citra, ruang, karakter dan genius loci itu sendiri. Dengan menelusuri keempat aspek tersebut maka akan didapatkan
sebuah tempat yaitu makna, identitas dan kesejarahan tempat tersebut.
Gambar 1. Unsur-unsur untuk menelusuri
genius loci pada sebuah tempat menurut
Norberg-Schulz
Sumber: Norberg-Schulz, 1980
Warung Kopi sebagai Artefak
Budaya Masyarakat Aceh
Budaya berkumpul di warung kopi
pada masyarakat Aceh awalnya
dilakukan hanya untuk menikmati
secangkir kopi dan menjalin
silaturahmi dengan karib kerabat. Namun pada saat ini telah terjadi perubahan dan pergesaran fungsi dari warung kopi sebagai sebuah tempat (place). Warung kopi telah menjadi multifungsi untuk berbagai keperluan seperti tempat pertemuan, membahas pekerjaan, mengerjakan tugas bagi pelajar dan mahasiswa dan sebagainya. Tidak hanya berhenti disitu, warung
kopi telah berkembang menjadi
destinasi wisata. Kebiasan masyarakat Aceh yang suka berkumpul di warung kopi dan banyaknya warung kopi di sepanjang jalan kota Banda Aceh
membuat setiap pendatang yang
mengunjungi kota Banda Aceh turut
berkeinginan untuk mencoba
merasakan kopi Aceh. Hal ini membuat warung kopi menjadi salah satu
destinasi wisata yang dapat
meningkatkan nilai pariwisata Aceh di sektor wisata kuliner.
Hidupnya warung kopi di Banda Aceh dikarenakan tingginya partisipasi dari masyarakat untuk mengunjungi dan melakukan aktivitas di warung kopi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keunikan kopi Aceh itu sendiri, sajian kuliner khas Aceh yang disediakan, kenyamanan tempat pada warung kopi, fasilitas tambahan seperti layanan ruang meeting dan wifi, atraksi penyajian kopi Aceh oleh barista, suasana yang informal, view tertentu
pada warung kopi, teman atau
pengunjung yang datang pada warung kopi tersebut dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut yang membuat masyarakat Aceh lebih memilih untuk
melakukan berbagai aktivitas di
warung kopi dibandingkan dengan di tempat atau restoran-restoran lainnya.
Gambar 2. Budaya/tradisi berkumpul di warung kopi
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Warung kopi hadir untuk berbagai
keperluan. Menerima tamu atau
wisatawanpun sering dilakukan di warung kopi. Hal ini dilakukan karena kegiatan-kegiatan di warung kopi dapat dilakukan secara informal dan lebih terbuka. Secara tidak langsung ini akan berdampak pada promosi kopi aceh itu sendiri.
Sebagai ruang interaksi sosial, warung kopi muncul dengan beragam bentuk dan gaya arsitektur, mulai dari yang
berbentuk dan bergaya arsitektur
tradisional atau etnik sampai yang
bergaya modernpun ikut hadir.
Beragam jenis bangunan warung kopi ini telah menciptakan citra tersendiri bagi kota Banda Aceh. Citra ini diperlukan sebagai salah satu yang
membentuk identitas serta wajah
arsitektur kota. Tanpa citra, arsitektur tidak ada (Arif, 2008).
Salah satu warung kopi yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Aceh adalah warung kopi Solong. Warung kopi solong merupakan salah satu warung kopi yang berada di kota Banda Aceh sejak tahun 1974. Warung kopi Solong telah mendapat kepercayaan dari masyarakat karena memiliki cita rasa kopi yang sangat kuat. Disamping itu pengunjung yang datang pada warung kopi Solong juga menjadi magnet bagi pengunjung lainnya untuk datang pada warung kopi ini. Oleh karena itu, warung kopi Solong terus ramai dikunjungi oleh masyarakat Aceh dari pagi hari hingga malam hari.
Awalnya warung kopi Solong
merupakan warung kopi dengan
suasana konvensional yang berada di kawasan permukiman warga. Seiring dengan perkembangan waktu, warung kopi Solong terus berkembang hingga mengubah tampilannya menjadi lebih modern dan hingga saat ini telah memiliki 4 cabang di kota Banda Aceh.
Gambar 3. Warung kopi solong dengan suasana konvensional (bentuk lama) Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Gambar 4. warung kopi solong dengan suasana modern (bentuk baru)
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Namun ada hal yang menarik pada warung kopi Solong. Meskipun warung kopi ini telah mengubah tampilannya menjadi lebih modern, namun ada hal yang unik dan masih dipertahankan sebagai ciri khas warung kopi Aceh itu
sendiri, yaitu kopi dan proses
penyajiannya yang khas. Kedua hal ini telah menjadi keunikan tersendiri bagi warung kopi dan menjadikannya ruh atau genius loci yang mampu menarik masyarakat Aceh untuk datang dan melakukan aktivitas di warung kopi.
Gambar 5. Kopi Aceh dan proses penyajiannya
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Citarasa kopi yang kuat dan adanya
sajian khusus yang ditawarkan
membuat warung kopi ini terus berkembang. Warung kopi Solong memiliki salah satu jenis minuman hasil racikan sendiri yang sangat
diminati oleh masyarakat Aceh.
Minuman tersebut disebut sanger yang terbuat dari campuran kopi dengan sedikit susu dan sedikit gula. Yang membedakannya dengan kopi susu biasa adalah perpaduan dan komposisi antara kopi dengan susunya. Proses penyajiannya yang khas pun juga
mempengaruhi dari rasa sanger
tersebut.
Gambar 6. Minuman sanger di warung kopi Solong
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Telaah Makna dan Tempat
pada Warung Kopi Solong di
Banda Aceh
Warung kopi sebagai ruang interaksi sosial masyarakat kota menjadi salah satu tujuan dari masyarakat untuk
tentunya berlangsung karena adanya ruh atau spirit yang ada pada warung kopi Aceh sehingga masyarakat lebih memilih untuk saling berinteraksi di warung kopi. Hal ini menyebabkan
perkembangan dan pertumbuhan
warung kopi di Banda Aceh terus meningkat terutama setelah terjadinya peristiwa tsunami tahun 2004 silam. Dengan menggunakan kerangka teori dari Norberg-Schultz, maka akan ditelaah makna tempat pada warung kopi solong di Banda Aceh melalui citra, ruang, dan karakter sehingga mendapatkan genius loci yang menjadi ruh atau spirit dari warung kopi tersebut.
Citra Warung Kopi: Interaksi Sosial
Masyarakat Aceh melihat warung kopi
sebagai tempat untuk melakukan
interaksi sosial. Dengan media
secangkir kopi, mereka dapat
melakukan pertemuan dan berbagai kegiatan lainnya di warung kopi. Berbagai bentuk kegiatan dan aktivitas dapat terjadi pada warung kopi di masa kini. Hal ini terjadi dikarenakan telah terjadi pergeseran makna pada fungsi tempat (place) di warung kopi. Warung kopi yang dulunya hanya didatangi oleh kaum lelaki kini tidak lagi demikian. Kaum wanitapun telah ramai mendatangi warung kopi. Hal ini
disebabkan tujuan masyarakat
mengunjungi warung kopi bukan
semata untuk mendapatkan secangkir kopi, akan tetapi lebih kepada perilaku sosial untuk berkumpul bersama teman atau rekan kerja. Perilaku sosial ini tentu membutuhkan tempat (place). Oleh karena itu warung kopi hadir sebagai upaya penyediaan tempat untuk aktivitas interaksi sosial tersebut. Warung kopi hadir tidak lagi sebagai kebutuhan semata, melainkan telah menjadi gaya hidup dengan berbagai
seperti adanya layanan internet dan sebagainya. Namun makna inti dari warung kopi sendiri sebagai ruang sosial tidaklah hilang.
Manager warung kopi Solong
(Sarbaini, 35 tahun) menjelaskan
bahwa hampir seluruh pengunjung yang datang ke warung kopinya bertujuan untuk bertemu dengan teman atau relasi bisnis sambil menikmati secangkir kopi. Kopi telah menjadi media yang menarik orang untuk berinteraksi di warung kopi. Arti interaksi sosial disini tidak sebatas
pada sesama masyarakat Aceh,
melainkan juga interaksi terhadap masyarakat dari luar Aceh seperti
wisatawan. Nilai-nilai budaya
masyarakat Aceh untuk memuliakan tamu (peumulia jamee) atau melayani tamu dengan sebaik-baiknya tetap dipegang kuat oleh masyarakat Aceh. Sehingga warung kopi sebagai place menyediakan ruang untuk terjadinya interaksi sosial tersebut.
Terdapat dua jenis warung kopi Solong di Banda Aceh, yaitu warung kopi Solong bentuk lama dengan desain konvensional dan bentuk baru dengan desain yang lebih modern. Interaksi sosial terjadi pada warung kopi Solong dengan bentuk lama maupun pada warung kopi Solong dengan bentuk
baru. Ini memperlihatkan bahwa
warung kopi dengan desain
konvensional ataupun warung kopi
dengan desain modern tidak
mempengaruhi pandangan masyarakat dalam melihat warung kopi sebagai tempat untuk melakukan interaksi sosial dan aktivitas lainnya.
Gambar 7. Warung kopi sebagai ruang interaksi sosial pada bentuk lama (atas) dan bentuk baru (bawah)
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Ruang: Wadah Interaksi Sosial
Untuk mewadahi aktivitas interaksi sosial diperlukan space atau ruang untuk kegiatan tersebut. Pada warung kopi umumnya makna ruang yang dipahami di sini dalam lingkup makna fisik. Ruang tersebut memiliki dimensi dan batasan yang jelas. Interaksi sosial terjadi pada sebuah meja dengan
beberapa kursi sesuai dengan
pengunjungnya.
Terdapat dua jenis interaksi yang terjadi pada warung kopi. Pertama
yaitu interaksi antar sesama
pengunjung. Ini merupakan interaksi utama yang melibatkan pengunjung yang satu dengan yang lainnya. Interaksi ini memiliki beragam jenis tujuan, seperti tujuan sosial, politik, ekonomi dan bisnis, serta tujuan edukasi. Disamping itu juga terdapat interaksi antar pengunjung dengan pelayan warung kopi. Interaksi ini hanya sebatas pada proses pelayanan saja. Kedua interaksi ini dapat saling bersinggungan dalam sebuah ruang.
Gambar 8. Pola interaksi mikro (atas) dan makro (bawah) dalam sebuah warung kopi Sumber: Hasil analisis, 2015
Jika ditinjau dari segi besaran dan batasannya, interaksi yang terjadi pada warung kopi dapat dibedakan menjadi interaksi secara mikro dan makro. Interaksi sosial secara mikro dapat didefinisikan oleh sebuah meja dengan beberapa kursi sesuai dengan jumlah pengunjungnya. Kopi menjadi media yang mengikat interaksi tersebut. Sedangkan interaksi sosial secara makro didefinisikan sebagai interaksi yang terjadi antara beberapa interaksi mikro yang terdapat dalam warung kopi tersebut.
Karakter : Keunikan Warung Kopi
Dari penjelasan dan analisis yang
dilakukan sebelumnya, terdapat
keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yaitu kopi
Aceh itu sendiri serta proses
penyajiannya yang khas. Kedua hal ini telah menjadi karakter bagi warung kopi di Aceh. Keunikan ini merupakan
bagian yang dipertahankan pada
warung kopi baik pada warung kopi dengan bentuk lama maupun warung kopi dengan bentuk baru (modern).
Kopi Aceh menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan ramainya
masyarakat mengunjungi dan
melakukan aktivitas di warung kopi.
khas sehingga dengan kelebihan ini kopi aceh telah menjadi media pengikat untuk interaksi masyarakat. Kopi aceh
juga lazim dihidangkan bersama
dengan makanan-makanan ringan khas Aceh. Kopi Aceh memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kopi-kopi lainnya, khususnya dalam proses penyajiannya. Proses penyajian kopi Aceh telah menjadi warisan turun-temurun dan menjadi identitas bagi kopi Aceh itu sendiri. Kopi Aceh disajikan oleh seorang barista (sebutan untuk penyaji kopi) yang sudah memiliki keahlian tersebut. Keunikan ini menjadi salah satu faktor yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang belum pernah melihat proses penyajian kopi Aceh.
Gambar 9. Kekhasan warung kopi Aceh Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Meskipun warung kopi Solong hadir dalam bentuk baru yang modern, ada keunikan yang telah menjadi karakter warung kopi yang dipertahankan yaitu
kopi itu sendiri dan proses
penyajiannya. Dengan adanya keunikan yang kuat pada kopi Aceh dan proses penyajiannya, maka ini menciptakan
genius loci yang kuat pula pada warung
kopi sebagai tempat. Karakter ini memberikan eksistensi kepada warung kopi sehingga membuat masyarakat memilih warung kopi sebagai tempat untuk melakukan interaksi sosial dan berbagai aktivitas lainnya. Analisis pola interaksi pada warung kopi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Analisis interaksi pada warung kopi Aceh
Warung Kopi Bentuk Lama Warung Kopi Bentuk Baru
Mikro Makro Mikro Makro
Kopi
Penyajian
kopi - -
Sumber: Hasil analisis, 2015
Genius Loci: Kopi sebagai Pengikat Silaturahmi
Genius loci dapat didefinisikan sebagai
ruh atau spirit pada suatu tempat yang menjaga dan membuat tempat tersebut hidup. Eksistensi warung kopi Aceh terus berkembang dikarenakan adanya
genius loci yang menyebabkan ketertarikan masyarakat Aceh untuk
melakukan interaksi sosial dan
beragam aktivitas lainnya di warung kopi.
Genius loci pada warung kopi hadir
dari perannya sebagai ruang interaksi sosial bagi masyarakat. Warung kopi menjadi wadah untuk berbagai aktivitas
sosial, politik, ekonomi bahkan
edukasi.
Pada warung kopi Solong di Banda Aceh, genius loci yang ditemukan adalah kopi Aceh atau kopi Solong itu sendiri dan proses penyajiannya. Kopi Solong telah memiliki citarasa yang
khas sehingga telah mendapat
kepercayaan dari masyarakat Aceh.
Gambar 10. Kopi sebagai genius loci pada warung kopi
Sumber: Dokumentasi Putra, 2015
Dapur penyajian
Kesukaan masyarakat Aceh terhadap kopi menjadikannya alasan untuk masyarakat berkumpul pada warung kopi. Kopi membentuk ruang interaksi, mulai dari ruang mikro, makro bahkan sampai ke ruang kota. Kopi telah
menjadi sebagai media pengikat
interaksi masyarakat Aceh.
Kesimpulan
Jika ditelaah melalui konsep “place” dari Norberg-Schultz maka diperlukan makna, identitas dan sejarah pada warung kopi sebagai sebuah place. Makna dalam place warung kopi terbentuk karena perannya sebagai ruang interaksi sosial atau wadah silaturahmi bagi masyarakat Aceh. Warung kopi telah menjadi tempat bagi
masyarakat Aceh untuk bertukar
pikiran dan melakukan berbagai
kegiatan lainnya. Warung kopi telah menjadi identitas yang melambangkan simbol dari nilai-nilai perkawanan dan kekerabatan pada masyarakat Aceh. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh sejarah pada masyarakat Aceh yang sering berkumpul untuk silaturahmi. Tradisi berkumpul pada masyarakat Aceh ini dipengaruhi oleh nilai-nilai
Islam yang melekat kuat pada
masyarakat Aceh.
Warung kopi di Aceh mempunyai
makna, identitas dan sejarahnya
tersendiri yang berbeda dengan warung kopi di daerah lainnya. Hal inilah yang membuat warung kopi Aceh memiliki karakter dan ciri khas tersendiri. Karakter ini yang menjadi ruh pada
warung kopi sehingga membuat
masyarakat tertarik untuk datang ke warung kopi dan menjadikan eksistensi
kopi Aceh terus bertahan dan
berkembang sampai saat ini.
Daftar Pustaka
Arif, K. A. (2008). Ragam citra Kota
Banda Aceh. Bandung: Pustaka
Bustanussalatin.
Dovey, K. (2010). Becoming place. New York: Routledge.
Ekomadyo, A. S. (2012). Menelusuri “genius loci" pasar tradisional sebagai ruang sosial urban di Nusantara. Semesta Arsitektur
Nusantara. Malang: Universitas
Brawijaya.
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan,
mentalitet dan pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Norberg-Schulz, C. (1980). Genius
loci:Towards a phenomenology of Architecture. London: Academy Editions London. Sufi, R., & Wibowo, A. B. (2004).
Budaya masyarakat Aceh.
Banda Aceh: Badan
Perpustakaan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Zahnd, M. (1999). Perancangan kota
secara terpadu: Teori Perancangan Kota dan penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
TAMAN KOTA DI SURABAYA SEBAGAI URBAN PARKS
Muhd. Arief Al Husaini
Pasca Sarjana Perancangan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perancangan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Keputih Sukolilo 60111, Surabaya
muhammadariefalhusaini@yahoo.com
Abstrak
Surabaya adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota besar umumnya memiliki mobilitas kegiatan tinggi dan keterbatasan-keterbatasan dalam kota. Keterbatasan tersebut terkait lansekap kota seperti ketersediaan lahan, kualitas udara, dan ruang interaksi sosial. Hal tersebut berimbas pada kualitas hidup masyarakat dalam kota. Dalam rangka mencapai kualitas hidup dan kebutuhan ruang interaksi, kota Surabaya banyak menyediakan taman. Taman memiliki banyak tingkatan, namun untuk sebuah kota besar sudah seharusnya memiliki taman setingkat urban parks. Oleh karena itu akan dilakukan analisa apakah taman-taman di Surabaya sudah tergolong urban parks. Analisis taman kota di Surabaya dilakukan dengan membandingkan tinjauan kepustakaan mengenai urban parks dan fakta lapangan. Taman yang diteliti adalah taman yang dianggap mewakili taman kota Surabaya yaitu Taman Bungkul dan Taman Apsari. Hasil analisis disimpulkan bahwa taman tersebut belum termasuk golongan urban parks.
Kata kunci: Surabaya, tingkatan taman, urban parks
Abstract Title: Urban Parks in Surabaya
Surabaya is one of the metropolitan cities in Indonesia. Large cities are generally high mobility and limitations in the city. The limitations related to the urban landscape such as the availability of land, air quality, and social interaction space. It is an impact on the quality of life in the city. In order to achieve the quality of life and the need for interaction space, providing plenty of Surabaya city park. The park has many levels, but to a large city should already have a garden level of urban parks. Therefore, it will be analyzed whether the parks in Surabaya is considered urban parks. Analysis of city park in Surabaya through comparing review of literature on urban
parks and facts on the ground. The research of parks uses, parks that can represent surabaya's
park, taman bungkul dan taman apsari. The results of the analysis concluded that the park has not belonged to urban parks.
Keywords: Surabaya, level of park, urban parks
Pendahuluan
Secara keilmuwan lansekap kota
termasuk dalam kajian perancangan
kota dengan muara ilmu pada
arsitektur. Oleh karena itu kajian ini
akan memberikan sumbangsih
pengembangan keilmuan khususnya pada ruang lingkup perancangan kota
dan umunya pada arsitektur. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman, pemusatan, distribusi
pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan
dalam bukunya Urban Space lansekap adalah suatu sistem yang menyeluruh yang didalamnya ada hubungan biotik dan abiotik serta termasuk hubungan manusia.
Dapat dipastikan bahwa jika berbicara mengenai urban landscape adalah
bicara mengenai
keterbatasan-keterbatasan pada kota. Keterbatasan pada kota berupa mahalnya harga lahan di kota hal tersebut imbas dari keterbatasan lahan, umumnya pada kota besar permasalahan ekologi akan menjadi permsalahan utama seperti ketersediaan air, udara bersih, dan penghijauan kota. Selain itu faktor keindahan kota perlu diperhatikan.
Surabaya sebagai ibukota provinsi sekaligus menjadi pusat pemerintah
provinsi Jawa Timur. Surabaya
tergolong kota metropolitan, hal
tersebut menyebabkan berpusatnya
kegiatan pemerintah, perdagangan,
industri, dan sosial di pusat kota. Tingginya mobilitas kegiatan tersebut membutuhkan sebuah taman di kota sebagai ruang interaksi manusia dan
lingkungan perkotaan. Surabaya
sebagai kota metropolitan sudah
seharusnya memiliki taman sekelas
urban park. Urban park didefinisikan
sebagai daerah ruang terbuka
digambarkan sebagian besar
didominasi oleh vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum.
Dalam kajian analisa ini akan
dilakukan pengamatan pada dua taman yaitu Taman Bungkul dan Taman Apsari. Dua taman ini dianggap telah mewakili taman-taman di Surabaya. Taman Bungkul dianggap mewakili karena meraih penghargaan The 2013
Asian Townscape Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik se-Asia pada tahun 2013. Sedangkan Taman Apsari dianggap
mewakili karena lokasi yang strategis berada di pusat kota Surabaya. Oleh karena itu dua taman ini sebagai taman terbaik dan lokasi paling strategis di Surabaya dapat memberikan gambaran hasil, apakah taman di Surabaya sudah tergolong urban park.
Gambar 1. Taman Bungkul Sumber: Dokumentasi Hendz, 2013
Gambar 2. Taman Apsari Sumber: Dokumentasi Husaini, 2015
Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian ini sebagai upaya mengetahui apakah taman-taman kota di Surabaya sudah tergolong urban
park, sehingga nanti akan diketahui
apakah Surabaya sudah memiliki urban
park atau belum. Hal ini berguna
umumnya bagi daerah lain dan
khususnya pemerintah Surabaya
sebagai evaluasi dalam upaya
penyediaan ruang terbuka yang baik untuk masyarakat, peningkatan kualitas kota dan ekologi.
Kajian Pustaka
Pengertian Urban Parks
Parks didefinisikan sebagai daerah
ruang terbuka, dimana sebagian besar didominasi oleh vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum. Pengertian lain taman kota adalah taman yang berada di lingkungan perkotaan, yang dapat mengantisipasi dampak-dampak perkembangan kota, serta dapat dinikmati oleh seluruh warga kota.
Fungsi Urban Parks
Secara umum tujuan dari urban park adalah untuk meningkatkan kualitas hidup di perkotaan. Kualitas hidup bisa dari kategori sehat, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain itu juga mengatur keindahan kota dan ekologi.
Gambar 3. Skema fungsi urban parks Sumber: Anna Chiesura, 2003
Menurut Zoer‟aini (1997) manfaat dari taman sebagai berikut :
1. Fungsi Lanskap
Perlindungan terhadap kondisi fisik alami seperti angin, sinar matahari, bau, dan sebagainya.
2. Fungsi Pelestarian Lingkungan
Taman kota menjaga kualitas
lingkungan kota.
- Menurunkan suhu kota, - Meningkatkan oksigen kota,
- Penyaring debu dan
meminimalisir polusi, - Perlindungan erosi tanah, - Peredam kebisingan kota, dan - Ruang hidup Flora dan Fauna. 3. Fungsi Estetika
Ukuran, bentuk warna, dan tekstur dan vegetasi menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas estetika.
Tingkatan Taman Kota
Ada persyaratan ruang publik untuk
kegiatan dan interaksi sosial
masyarakat. Menurut Fairfax Country
Authority persyaratan taman kota
dihitung berdasarkan jumlah bruto luas lantai (GFA) ruang, dan jumlah orang yang diharapkan untuk hidup dan / atau bekerja dalam pengembangan. Menurut
Office of Community Revitalization & Reinvestment (OCRR) membagi beberapa tingkatan sebagai berikut:
1. Pocket Park
Pocket park adalah taman kota kecil
yang biasanya luasnya kurang dari 1
hektar. Pocket park umumnya
berlokasi berdekatan lingkungan
terdekat dengan pedestrian yang padat memberikan ruang untuk berinteraksi sosial, istirahat sejenak, bermain anak, membaca, dan makan. Berada pada kegiatan yang padat diantara bangunan, retail atau kantor. Contoh pocket park adalah Paley Park, New York, Ny.
2. Common Green
Common Green adalah sebuah taman
yang lebih besar (setidaknya berukuran 1 hektar) yang terdapat berbagai fungsi dan selalu di pusat kota. Mudah diakses dari area komersial dan perumahan. Dapat digunakan untuk fungsi-fungsi Sosial seperti pertunjukan, pasar dan festival. Contoh Common green adalah Adams & Sangamon Park, Chicago, IL.
3. Civic Plaza
Civic plaza adalah ruang pertemuan
publik. Taman ini berlokasi dekat
dengan kendaraan umum,
persimpangan penting, mudah diakses oleh jaringan jalan perkotaan. Taman ini lebih ditekankan pada hardscape seperti perkerasaan, bangku, dan air mancur. Luas yang cukup untuk menampung festival, pasar seni, dan konser. Selain itu ada ruang intim dan ruang terbuka luas. Umumnya taman
ini minimal 1 hektar. Contohnya adalah Union Square, San Francisco, CA.
4. Recreation-Focused Park
Recreation-focused park adalah taman
yang memberikan fasilitas rekreasi bagi warga dan pekerja di dekatnya. Ini adalah taman aktif dengan kegiatan olahraga. Contohnya adalah Quincy Park, Arlington, VA.
Dikutip dari sumber lain, masih terdapat tingkatan lain pada urban
park, yaitu: 5. Local Area
Taman lokal adalah sebuah ruang terbuka yang menyediakan fasilitas rekreasi jarak pendek untuk penduduk lokal berbagai blok perencanaan dalam rencana local area. Fasilitas rekreasi akan lebih ke arah fasilitas rekreasi masyarakat hirarki lebih rendah dari
metropolitan park dan urban park. 6. Neighbourhood Park
Neighbourhood park adalah sebuah
ruang terbuka yang ditujukan untuk olahraga dan fasilitas rekreasi pasif/
kegiatan pemukiman penduduk.
Berfungsi sebagai ruang luar untuk
komunitas hunian yang memiliki
fasilitas rekreasi anak dan rekreasi aktif skala kecil. Luas antara 0,2-1 Ha. Menampung sekitar 3000 orang.
7. Playground
Playground merupakan kawasan ruang
terbuka yang dialokasikan untuk
fasilitas rekreasi harian anak usia sekolah dan balita yang tinggal di sekitar daerah perumahan masing-masing/lingkungan yang lebih kecil. Ini akan menjadi bagian dari persyaratan sepuluh persen dari penyediaan ruang
terbuka dalam setiap proyek
pembangunan. Menampung sekitar
1000 orang dengan ukuran 0,6 Ha.
8. Green Connectors
Green Connectors adalah ruang hijau,
yang akan mengaitkan pejalan kaki dan
cycleway pada ruang terbuka metropolitan, lokal dan lingkungan. Koridor hijau dimaksudkan sebagai akses tingkat menengah terbentuk dari rute dan pejalan kaki dan sepeda.
Elemen Pertimbangan Urban Parks
LPM Putrajaya (2001) mengatakan
elemen-elemen yang harus
diperhatikan dalam perencanaan taman kota. Elemen tersebut sebagai pemicu
keberhasilan sebuah taman kota.
Berikut elemen-elemen urban park : 1. Lokasi
Pemilihan lokasi yang tepat adalah
esensi keberhasilan taman kota.
Bagaimana secara baik taman kota berhubungan dengan jaringan kota dan area publik. Sebaiknya taman kota langsung ditemukan di jalan utama kota.
2. Akses dan Jarak Penglihatan Perencanaan fisik dan visual akses sangat penting kesuksesan taman kota. Jalur pedestrian harus terlihat dan
sirkulasi harus relatif mudah.
Bagaimanapun taman kota didesain cantik namun akan kosong dan tidak dimanfaatkan jika sulit ditemukan.
Pertimbangkan jarak pandang,
penanda, dan keamanan akses.
3. Fungsi
Fungsi adalah kunci pembeda jenis dan tipe taman kota. Cara taman tergantung kebutuhan sebuah area. Pastikan tipe taman secara komprehensif untuk direkomendasikan berdasarkan konteks distrik dan pertimbangan guna lahan disekitarnya agar kompitibel.
4. Bentuk
Bentuk mengacu pada penyususnan
elemen taman dan bagaimana
perhatian ekologi, dan mempengaruhi
sekeliling. Pastikan streetscape
disediakan disekitar tepi taman ke jalan. Bentuk juga mencerminkan ekspektasi fungsi.
5. Fasilitas
Fasilitas disediakan untuk kenyamanan, pendukung kegiatan, dan penampakan karakter taman. Pengunjung dapat mengidentifikasi identitas, gaya, dan meraskan taman.
6. Program
Program mengacu pada kemampuan sebuah ruang untuk kegiatan dan acara yang berbeda-beda ukuran dan jenis seperti festival, pasar, konser, dan acara olahraga.
7. Perawatan
Perawatan kualitas tinggi taman kota harus dijaga secara reguler untuk menjamin keamanan, kesehatan, dan kenyamanan pengunjung. Ketersediaan investasi finansial untuk menjaga kualitas lingkungan, material, dan fasilitas. Sebaiknya proses perancangan material mempertimbangkan persyarat-an perawatpersyarat-an.
Rujukan Rancangan Urban Park: Millenium, Chicago di Illinois, US
Analisis Millenium Park melalui
elemen pertimbangan urban park (The Burnham Plan Centennial, 2008) :
1. Lokasi
Millenium Park berada di jalan utama
Monroe Street, Randolph Street,
Columbus Drive, Michigan Avenue.
2. Luas Area
Luas area Millenium Park adalah 24, 5 acre atau 99.000 m2 atau 99 hektar.
Gambar 4. Lokasi milenium park Sumber: The Burham Plan Centennial, 2008
3. Akses dan Jarak pandang
- Akses eksternal menuju area taman mudah karena berada di jalan utama; Monroe Street, Randolph Street, Columbus Drive, Michigan Avenue. - Akses internal dalam taman
disediakan pedestrian yang luas untuk berjalan antar fasilitas dan pusat permainan, serta jalan-jalan dalam tanam.
4. Fungsi
Fungsi dari urban park ini sebagai ruang publik kota yang mewadahi banyak kegiatan seperti open scace,
garden, grant park, theathre, sky, bikecycle, dan plaza.
5. Bentuk
Bentuk mengacu pada unsur-unsur fisik
taman dan bagaimana mereka
dirancang untuk merespon kebutuhan
pengguna, masalah ekologi, dan
pengaruh sekitarnya seperti bangunan yang berdekatan, topografi dan jalan-jalan.
6. Fasilitas
Fasilitas akan memberikan
kenyamanan, kegiatan pendukung, dan menambahkan detail dan karakter pada pengguna. Mereka dapat berkomuni-kasi dengan identitas, gaya atau
pengunjung dapat menentukan jenis kegiatan yang akan terjadi pada ruang yang disediakan.
7. Program
Program mengacu pada kemampuan ruang untuk acara yang berbeda ukuran dan jenis seperti festival, pasar (bazar),
konser, multi event sport.
Pertimbangkan desain fleksibel
sehingga berbagai acara dapat
berlangsung.
Gambar 5. Lokasi milenium park Sumber: The Burham Plan Centennial, 2008
8. Maintenance
Perawatan pada Milenium Park
pengabungan dana pemerintah dan donasi privat yang dikelola oleh
Conservacy Alliance. Perawatan
setidaknya menghabiskan $1
million/year.
Metode Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dengan jalan mengumpulkan data, mengklarifikasi dan menginterpertasikannya (nastir, 1999). Tahapan pada penelitian, yaitu:
Pengumpulan kajian pustakamengenai urban parks,
Pengumpulan dan klarifikasi datadan temuan fakta tentang Taman Bungkul dan Taman Apsari,
Terakhirmembandingkan/penco-cokan fakta objek penelitian dengan kajian pustaka, dan
Terakhir penarikan kesimpulan.Cara memperoleh data penelitian :
Survei/pengamatan lapangan,
Data dari web resmi pemerintah
Surabaya dan web lansekap, dan
Wawancara mahasiswa Arsitektur
ITS domisili Surabaya
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan fakta-fakta yang
ditemukan pada taman dan literatur.
Taman Bungkul berlokasi di jalan besar Raya Darmo, namun hanya ada satu jalan yang terhubung dan taman berada di sekitar area permukiman. Ketersediaan dan layout parkir yang tidak memenuhi kebutuhan pengguna taman. Luas taman tidak memenuhi kriteria
urban park karena luas taman ini hanya 1
hektar.
Sebagai area public tidak disediakan banyak ragam fasilitas terutama terkait program yang membutuhkan ukuran dan jenis yang berbeda serta keintiman area.
Selain itu kegiatan olahraga yang diusung juga tidak olahraga aktif dan beragam. Dalam proses perancangan taman ini meniadakan large scale
intervention atau keterlibatan
masyarakat (community) dalam
memberikan masukan dan saran sesuai kebutuhan pada taman.
Artinya taman dilakukan secara
mandiri oleh pemerintah baik dalam proses perancangan, pendanaan, dan perawatan. Seharusnya secara teori
urban landscape harus memenuhi
Tabel 1. Fakta Taman Bungkul
Aspek Taman Bungkul
Lokasi Jalan Raya Darmo
Luas 10.000 m2 / 1 hektar Daya
tampung Dibawah 3000 orang
Akses & jarak
- Akses eksternal, akses mudah karena taman berada disisi jalan - Akses internal, dalam taman
disediakan pedestrian way Jarak pandang tidak tertutup, tidak ada parkir khusus dan luas. Fungsi
Taman ini dirancang untuk sarana hiburan rakyat dan sebagai ruang publik
Bentuk
Merupakan lambang keindahan dan kesetaraan. Bentuk taman
berdasarkan pengaturan letak berbagai macam fasilitas yang mengacu konsep sport, education, dan entertainment
Fasilitas
Beeberapa fasilitas olahraga, edukasi, dan hiburan pada taman ini, seperti : skateboard track dan BMX track, plaza terbuka, hotspot area, small green park, small green park dengan kolam air mancur, permainan anak, pujasera, dan musholla.
Program
Dapat digunakan sesuai dengan jenis dan acara : Festival, pasar, olahraga, dan pusat komunitas
Perawatan Tidak ada dana dari swasta dan dana murni dari pemerintah.
Sumber: Hasil analisis, 2015
Secara kebutuhan luas masih dibawah
urban park yaitu 0,5 hektar. Hal yang
sama didapati bahwa ketersediaan dan
layout parkir belum memenuhi kebutuhan
taman. Fasilitas masih tergolong untuk olahraga ringan dan komunitas kecil. Serta tidak ada area privat. Tidak melakukan proses large scale intervention dalam proses taman, baik diawal perancangan (era kolonial Belanda) maupun re-desain setelah ambil alih oleh pemerintah. Selain itu juga terkait pendanaan, pengelolan dan perawatan yang hanya diserahkan ke dinas
pertamanan kota Surabaya tanpa
melibatkan campur tangan masyarakat (community/Alliance).
Tabel 2. Fakta Taman Apsari
Aspek Taman Apsari
Lokasi Jalan Pemuda
Luas 5.3000 m2 / 0,53 hektar Daya
tampung Dibawah 2500 orang
Akses & jarak
- Akses eksternal, mudah karena taman berada pusat kota - Akses internal, dalam taman
disediakan pedestrian way Jarak pandang tidak tertutup, tidak terlalu luas dan khusus.
Fungsi Digunakan untuk olahraga ringan dan
ruang terbuka komunitas.
Bentuk
Bentuk alamai menyesuaikan site taman. Susunan penutup tanah. Disediakan landmark dari patung Joko Dolok dan Gubernur Suryo sebagai lambang semangat.
Fasilitas
Fasilitas olahraga seperti jogging track. Fasilitas hiburan seperti taman bunga, air mancur, monumen patung Joko Dolok dan Gubernur Suryo. Program
Dapat digunakan sesuai dengan jenis dan acara : Olahraga dan pusat komunitas
Perawatan Tidak ada dana dari swasta dan dana murni dari pemerintah.
Sumber: Hasil analisis, 2015
Hasil dan Kesimpulan
Kesimpulan fakta yang ditemukan dari kedua taman ini yaitu taman berada di lingkungan permukiman dan hanya satu jalan besar yang terhubung, luas dibawah 1 hektar, daya tampung ideal dibawah 3000 orang, kegiatan olahraga ringan, serta kegiatan komunitas kecil, dan dana perawatan murni dari
pemerintah kota. Berdasarkan
kesimpulan fakta yang ditemui kedua taman yang dibandingkan dengan kajian literatur menunjukkan ciri-ciri Taman Bungkul dan Taman Apsari
lebih tepat digolongkan dengan
kategori neighbourhood park.
Neighbourhood park adalah sebuah
ruang terbuka yang ditujukan untuk
pasif/kegiatan pemukiman penduduk. Berfungsi sebagai ruang luar untuk
komunitas hunian yang memiliki
fasilitas rekreasi anak dan rekreasi aktif skala kecil. Luas antara 0,2-1 Ha.
Menampung sekitar 3000 orang.
Sedangkan urban park sendiri adalah sebagai daerah ruang terbuka, dimana
sebagian besar didominasi oleh
vegetasi dan air, dan umumnya untuk keperluan umum. Menurut kajian preseden dicirikan dengan berada pada simpul jalan besar, fasilitas yang banyak dan olahraga aktif, adanya unsur ekologi, program yang beragam,
privat dan public area, dan ada
campur tangan swasta terhadap dana dan manajemen pengelolaan.
Jadi kesimpulan akhir bahwa kota Surabaya belum memiliki urban park.
Hasil penelitian ini memberikan
masukan ataupun koreksi pada
pemerintah Surabaya bahwa taman yang disediakan saat ini adalah taman kota yang tingkatannya dibawah urban
park. Seharusnya predikat kota metropolitan berbanding lurus dengan adanya urban park agar memenuhi tingginya kebutuhan akan ruang luar. Akhirnya penelitian ini memberikan implikasi keilmuan tentang penerapan taman kota di Surabaya, dimana
selanjutnya pemerintah dapat
memprogramkan taman kota yang tepat sekelas urban park.
Daftar Pustaka
Andersson, E. (2006). Urban
landscapes and sustainable cities. Swedia: The Resilience
Alliance.
Chiesura, A. (2003). The role of urban
parks for the sustainable city.
Netherlands: Science Direct. Hall, L. B. (2012). Urban parks.
Northern Virginia: Tyson.
Konijnendijk, C.C., Annerstedt, M.,
Nielson, A.B., &
Maruthaveeran, S. (2012).
Benefit of urban parks.
Copenhagen & Alnarp: IFPRA (The International Federation of
Parks and Recreation
Administration).
Kusuma, B. N., Annas, R. D., Putri, A. D., & Septianto, E. (2014,
April). Telaah penerapan
kriteria sustainable site pada perumahan ditinjau dari aspek ruang terbuka hijau. Bandung:
Reka Karsa.
Loures, L., Santos, R., &
Panagopoulos, T. (2007,
Oktober). Urban parks and
sustainable city planning - The case of Portimio, Portugal.
Portugal: WSEAS Transcations
on Environment and
Development.
LPM Putrajaya. (2001). Manual of
physical planning guidelines for Putrajaya local plan Precinct 7,
8, 9, and 10. Putrajaya:
Perbadanan Putrajaya.
Moughtin, C., Tanner, O., & Tiesdell,
S. (1999). Urban design
ornament and decoration. UK:
Architectural Press.
Rouge National Park Innitiative.
(2012). Rouge National Urban
Park Concept. Canada: Park
Canada Agency.
Simonds, J. O. (1961). Landscape
Architecture: The shaping of man‟s natural. New York:
McGraw-Hill Prof Med/Tech. The Burnham Plan Centennial. (2008).
Burnham pavilions in Millennium Park Concept Summary. Chicago: Bold Plans
ELEMEN ARSITEKTUR, INTERIOR DAN SIGNAGE UNTUK
MENEMUKAN JALAN DAN BRANDING UNIVERSITAS
KRISTEN PETRA
Gunawan Tanuwidjaja1, Nerissa Arviana Wijaya2, Lavenia Widyanto3, Stephanie Seaver Wiarta4, John Kenley Sugianto5
1Dosen Program Studi Arsitektur,2Mahasiswa Program Studi Desain Interior,3Mahasiswa Program
Studi Manajemen Pemasaran,4&5Mahasiswa Program Studi Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya, Indonesia
1gunte@petra.ac.id , gunteitb2012@gmail.com
Abstrak
Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya merupakan Universitas swasta terkemuka di Surabaya. UKP memiliki kelebihan pada kualitas fasilitas dan pelayanan pendidikan. Hal ini sangat terlihat dalam desain bangunan kampus yang berperan sebagai elemen - elemen wayfinding arsitektur, interior dan signage, terutama pada tiga bangunan utama seperti Gedung W (Gedung Radius Prawiro), Gedung EH (Entrance Hall) dan Gedung T. Selanjutnya Elemen - elemen ini juga telah mendukung “branding” Universitas serta terintegrasi dalam sistem wayfinding kampus terintegrasi di Universitas Kristen Petra.
Kata Kunci: wayfinding, branding, Universitas Kristen Petra
Abstract
Title: Architectural, Interior Elements and Signage for Wayfinding and Branding in Petra Christian University
Petra Christian University (PCU) is a leading private University in Surabaya. PCU possessed advantage in facility‟s quality as well as educational service. This was clearly visible in the campus building design that played as architecture, interior and graphic wayfinding elements, especially in W Building (Radius Prawiro Building), EH Building (Entrance Hall) and T Building. Further these elements could also support the University‟s Branding and were integrated in the PCU‟s integrated wayfinding system.
Keywords: wayfinding, branding, Petra Christian University
Pendahuluan
Universitas Kristen Petra Surabaya
merupakan universitas swasta
terkemuka di Surabaya. Keunggulan Universitas Kristen Petra terletak dalam kualitas pendidikannya dan juga layanan mahasiswanya. Selain itu desain arsitektur modern bangunan ini juga memberikan citra yang menarik pada kampus ini. Walaupun demikian terdapat rencana dari pengelola untuk
meningkatkan kemudahan menemukan jalan dan branding dari bangunan-bangunan awal yang dibangun dengan
Signage Master Plan yang terintegrasi.
Tinjauan Pustaka
Wayfinding adalah proses untuk menemukan jalan menuju suatu lokasi. Sedangkan spatial orientation adalah
memahami ruang di sekitarnya (Passini, 1984). Proses-proses ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: 1. Kemampuan individu manusia; 2. Proses kognisi dan peta kognisi
yang terbangun dalam pikiran
individu;
3 Environmental information
(Informasi lingkungan) yang
mencakup: architectural wayfinding
element, signage system, other sensory information.
Karena ingin fokus pada elemen arsitektur penunjang sistem wayfinding dan orientasi maka hanya faktor ini
disusun agar bisa diintegrasikan.
Boulding (1956) dan Lynch (1960)
menyampaikan bahwa kemampuan
individu untuk mengingat bangunan yang menarik juga disebabkan oleh
sifat legibility dan imageability
bangunan itu. Sifat legibility mencakup
kemudahan untuk dipahami dari
bangunan sedangkan imageability
berkaitan dengan ciri khusus bangunan
yang mengingatkan individu
terhadapnya.
Lynch (1960) menemukan adanya 5 elemen arsitektur untuk wayfinding yaitu path, node, landmark, district dan
edge pada skala urban. Passini (1984)
menemukan 5 elemen ini juga pada
bangunan komersial di Montreal.
Landmark bangunan merupakan toko,
bioskop, meja informasi, patung,
lansekap, elemen struktur dan elemen dekoratif. Path dalam skala bangunan berupa koridor, promenade, koridor di
dalam galeri, tangga, eskalator,
elevator, yang tergolong lebih lanjut sebagai horizontal path dan vertical
path yang seharusnya terintegrasi.
Sementara node pada bangunan
merupakan pertemuan sirkulasi dan aula pertemuan. Dan sebuah tempat berkumpul dapat menjadi Landmark
merupakan dinding pembatas terutama dinding luar bangunan (Passini, 1984).
Sedangkan District dalam skala
bangunan [Zoning] merupakan berupa zona yang berukuran luas yang
memiliki fungsi serupa seperti
pertokoan. Atau pada pendidikan dapat berupa zona laboratorium, zona kelas dan zona kantor.
Signage adalah petunjuk yang digunakan untuk menunjukkan arah, lokasi dsb. Dibuat oleh pakar, yang harus dengan mudah dapat dipahami oleh semua kalangan sebagai sarana penujuk arah atau area (Passini, 1984)
Pizzuti-Ashby dkk. melakukan tes persepsi kualitatif kepada mahasiswa University College of the Fraser Valley (UCFV). Responden diminta untuk
mendokumentasikan dengan foto
bangunan yang memberikan kesan positif tentng kampusnya. Kesan ini juga memberikan keuntungan berupa
branding dan juga rekomendasi pengembangan kampus. Hal ini juga digunakan sebagai salah satu dasar bagaimana mengumpulkan branding
pada mahasiswa
(http://www.ufv.ca/media/assets/institu tionalresearch/Campus_Snapshot_Stud y.pdf)
Metode Penelitian
Metode yang dipilih dalam riset ini
ialah: Metode Post Occupancy
Evaluation (POE) (Friedman, Zimring, & Zube, 1978) terutama dengan direct
observation dilakukan pada saat pengumpulan data mengenai elemen
wayfinding dari aspek arsitektural
bangunan. Kemudian dilakukan
penelitian tentang kesulitan
menemukan jalan dan elemen yang membantu proses menemukan jalan tersebut dengan kuesioner online yang
dilengkapi dengan foto (Sanoff, 1991).
Kemudian dilakukan wayfinding
simulation sesuai rekomendasi Visual Research (Sanoff, 1991).
Bagian pertama dari riset ini bersifat kuantitatif dengan purposive sampling karena melibatkan 147 responden dari semua Program Studi di UKP, tetapi
kemudian dilakukan simulasi
menemukan jalan yang melibatkan 5 responden sehingga bersifat kualitatif.
Simulasi menemukan jalan ini
dilakukan pada 3 bangunan yaitu Gedung W dan Gedung EH serta Gedung T. Pada simulasi ini juga
dicatat berbagai temuan tentang
kekuatan elemen menemukan jalan
baik arsitektur, interior maupun
signage serta kesan positif terhadap
branding UKP
(http://library.usu.ac.id/download/fkm/f km-rozaini.pdf)
Gambar 1. Rancangan Penelitian Sumber: Hasil analisis, 2015
Hasil dan Pembahasan
Gedung W atau Gedung Radius
Prawiro di area kampus utama
merupakan gedung utama yang
menjadi kesan “branding” utama dari
UK Petra, Gedung ini terdiri
atassepuluh lantai, mewadahi kelas Magister Teknik Sipil, ruang kelas, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang rektorat, ruang konferensi, dan tempat berkumpul utama di lantai 1 yang bernama “Sunken Court” (atau dikenal oleh mahasiswa dan alumni sebagai Kolam Jodoh). Ruang ini
merupakan elemen menarik dan
digunakan untuk mahasiswa
mengerjakan tugas atau untuk
menunggu.
Gedung EH (Entrance Hall) di area
kampus utama (yang berdekatan
dengan Gedung W) merupakan pintu masuk dari kompleks UK Petra. Tetapi karena perubahan fungsi, gedung ini kurang terkenal dibandingkan Gedung
W tersebut. Gedung EH ini
memfasilitasi kegiatan kantor
pelayanan mahasiswa, bank, kantor
humas UK Petra, kantor biro
administrasi kerjasama dan
pengembangan, ruang multifungsi
untuk menunggu masuk ke Auditorium UK Petra dan kelas-kelas. Karena itu gedung ini juga sering digunakan oleh mahasiswa.
Sementara Gedung T terletak di area kampus barat oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Prodi Sastra Tionghoa. Gedung ini menampung berbagai ruang seperti kantor-kantor, kantin, klinik UK Petra, ruang kelas serta ruang audio visual.
Gambar 2. Peta tapak UKP Sumber: Hasil survei, 2015
Elemen wayfinding arsitektur dan interior yang menjadi branding Universitas Kristen Petra
Elemen arsitektur yang menandai Gedung W ialah terdapatnya sebuah lapangan hijau di depan gedung tersebut yang dikenali sebagai node berkumpulnya sivitas akademika UKP pada saat acara-acara penting seperti
Petra Parade (acara kesenian pada
Dies Natalis), wisuda, dll. Karena itu lapangan ini menjadi elemen yang
sangat penting dalam membantu
mahasiswa menemukan jalan sekaligus
branding UKP. Petra dan atau yang
sekarang disebut Gedung Radius
Prawiro terdiri dari 10 lantai.
Gambar 3. Lapangan hijau di depan Gedung W sebagai Landmark dan Node yang menarik
Sumber: Hasil survei, 2015
Bagian lain dari Gedung W ialah
Sunken Court atau dikenal sebagai
Kolam Jodoh. Sunken Court ini dikenal sebagai Landmark dan Node yang menarik. Hal ini disebabkan karena ruang ini berada di lantai 1 Gedung W yang sangat strategis, posisinya yang lebih rendah dari selasar, serta sering digunakan berbagai kegiatan, seperti: dengar pendapat dari Badan Eksekutif Mahasiswa, pameran dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,
Petra Parade dll.
Gambar 4. Sunken court di Gedung W sebagai landmark dan node yang menarik Sumber: Hasil survei, 2015
Sementara itu sebuah Patung Torso dari drg. Tan Tjiauw Yong (Rektor pertama UKP) ditemukan sebagai
landmark yang menarik di Gedung EH
UKP. Patung ini dikenal karena posisinya yang strategis, bentuknya yang unik serta dikelilingi tempat-tempat duduk. Selain itu saaat ini lokasi ini dipakai untuk mengantar jemput mahasiswa.
Gambar 5. Patung torso drg. Tan Tjiauw Yong di Gedung EH sebagai Landmark yang menarik
Sumber: Hasil survei, 2015
Selain itu, di Gedung EH ini ditemukan bagian Ruang Student Service (pusat pelayanan mahasiswa di UKP) sebagai
Landmark. Di ruang ini terjadi semua
pelayanan terkait kebutuhan mahasiswa yang menyebabkan ruang ini sering dikunjungi dan juga karena desainnya yang futuristik. Di depan ruang ini juga terdapat lobby yang menarik dan cukup besar sehingga dikenali sebagai