• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Hernia berasal dari kata latin yang berarti ruptur. Hernia merupakan penonjolan isi rongga abdomen melalui defek atau bagian lemah dinding abdomen. Hernia terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi menjadi dua macam yaitu hernia kongenital dan hernia didapat.

Dinding abdomen terdiri dari lapisan (dari dalam ke luar) peritoneum, lemak subperitoneal, fascia transversalis, muskulus transversus abdominis, M. Obliqus internus, M. Obliqus eksternus, lemak subkutaneus, kulit. Menurut sifatnya dibagi menjadi hernia reponible dan hernia irreponible. Hernia reponible bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk kembali jika berbaring atau didorong masuk ke perut, bila kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut disebut dengan hernia irreponibel.

Dikatakan hernia inkarserata atau hernia starngulata jika isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan passase atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata yaitu hernia ireponibel dengan gangguan pasase sedangkan hernia strangulata yaitu dengan gangguan vaskularisasi. Pada keadaan sebenarnya telah terjadi pada saat jepitan dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai nekrosis.

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI HERNIA

Hernia merupakan penonjolan (protrusi) isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut. hernia dibagi atas hernia bawaan atau congenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti diafragma, inguinal, umbilical, femoral. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Hernia disebut hernia inkarserata atau strangulate bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, sering terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Hernia eksternal merupakan protrusi abnormal organ intra-abdominal melewati defek fascia pada dinding abdominal. Hernia yang sering terjadi adalah inguinal, femoral, umbilical, dan paraumbilikal. Hernia inguinalis merupakan protrusi viscus (organ) dari kavum peritoneal ke dalam canalis inguinalis. Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Tujuh puluh lima persen dari seluruh hernia abdominal terjadi di inguinal (lipat paha). Yang lainnya dapat terjadi di umbilikus (pusar) atau daerah perut lainnya. Hernia inguinalis dibagi menjadi 2, yaitu hernia inguinalis medialis dan hernia inguinalis

(3)

lateralis. Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum (buah zakar), hernia disebut hernia skrotalis. Hernia inguinalis lateralis terjadi lebih sering dari hernia inguinalis medialis dengan perbandingan 2:1, dan diantara itu ternyata pria lebih sering 7 kali lipat terkena dibandingkan dengan wanita. Semakin bertambahnya usia kita, kemungkinan terjadinya hernia semakin besar. Hal ini dipengaruhi oleh kekuatan otot-otot perut yang sudah mulai melemah.

2.3 ETIOLOGI

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia lebih banyak pada pria ketimbang pada wanita. berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Faktor yang sangat berperan adalah adanya prosessus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan didalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.

2.4 EMBRIOLOGI

Proses turunnya testis mengikuti prosessus vaginalis. Pada neonatus kurang lebih 90% prosessus vaginalis tetap terbuka sedangkan pada bayi umur satu tahun sekitar 30% prosessus vaginalis belum tertutup. Tetapi kejadian hernia pada umur ini hanya berperan beberapa persen. Tidak sampai 10% anak dengan prosessus vaginalis paten kontralateral lebih dari setengah, sedangkan insiden hernia tidak melebihi 20%. Umumnya disimpulkan bahwa adanya prosessus vaginalis yang paten bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia tapi diperlukan faktor lain seperti anulus inguinalis yang cukup besar.

Tekanan intraabdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan ascites sering disertai hernia inguinalis. Insiden

(4)

hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intra abdomen dan jaringan penunjang berkurang kekuatannya. Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur. Pada keadaan ini tekanan intra abdomen tidak tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih ventrikel, sebaliknya bila otot dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n. Iliofemoralis setelah apendektomi.

2.5 ANATOMI

Dinding abdomen terdiri dari lapisan (dari dalam ke luar) peritoneum, lemak subperitoneal, fascia transversalis, muskulus transversus abdominis, M. Obliqus internus, M. Obliqus eksternus, lemak subkutaneus, kulit.

(5)

- Anatomi Kanalis Inguinalis

Kanalis inguinalis dibentuk oleh kulit dan peritonium, bagian kulit akan membentuk scrotum pada pria dan labia pada wanita. Kanalis inguinalis berbentuk panjang 4 cm dan terletak 2-4 cm di atas ligamentum inguinalis

Batas-batas Kanalis Inguinalis  Anterior

Aponeurosis M. Obliqus eksteraus abdominis, dibagian lateralnya dibentuk oleh M. Obliqus internus

 Posterior

Dibagian lateral dibentuk oleh aponeurosis M. Transversus abdominis dan fascia transversalis. Di bagian medialnya dibentuk oleh aponeurosis M. Obliqus internus

 Inferior

Dibentuk oleh ligamentum inguinalis poupart serta Ligamentum lacunare Gimbernat

(6)

Isi Kanalis Inguinalis  Pria

Berisi funikulus spermatikus yang mengandung matriks jaringan ikat yang berhubungan dengan jaringan ikat peritoneal.

Terdiri :

1 Duct (vas) deferens

2 Tiga arteri : Spermatika interna (testikularis), Spermatika eksterna (cremasteric), Arteri deferensial

3 Satu vena : Pleksus pampiniformis

4 Tiga nervus : cabang genital N. Genitofemoralis, N. Ilioinguinalis, serabut simpatis dari pleksus Hypogastrikus

5 Tiga fascia (lapisan)

- Fascia spermatica eksterna, lanjutan dari fascia innominata

- Lapisan cremaster berlanjut menjadi fascia dan serabut otot M. Obliqus internus

- Fascia spermatika interna, perpanjangan dari fascia transversalis

- Wanita

1 Ligamentum Rotundum dari uterus 2 Cabang genital dari N. Genitofemorale 3 Vena cremasterica

(7)

Bagian-bagian Hernia

 Pintu hernia terdiri dari lapisan- lapisan dinding perut dan pangggul, jadi tebentuk dari otot, tendon, jaringan perut dan juga tulang. Penamaan berdasarkan lokasi pintu atau tempat masuknya.

 Kantung hernia yaitu peritoneum parietalis. Terdiri dari kolum, korpus dan basis. Kantung hernia dapat terdiri dari 2 kantung (bilokularis) dan salah satu kantungnya dapat terletak di dalam atau diantara dinding perut (Zwerchsackform).  Kanal hernia, membentang antara cincin interna dan eksterna. Kanal ini dapat

berjalan horizontal ataupun miring. Pada hernia inguinalis, kanalnya adalah kanalis inguinalis.

 Isi hernia, dapat bermacam-macam, misalnya usus halus, omentum, caecum, ovarium. Bila isinya divertikulum meckel maka disebut Hernia Littre, bila isinya sebagian dinding usus disebut Hernia Richler.

 Selubung hernia, merupakan lapisan-lapisan yang menyelubungi kantung hernia. Pada hernia inguinalis selubung hernia dibentuk oleh kantung peritoneum, lemak

(8)

preperotoneal, fascia transversalis, m.cremaster, fascia superficialis perineal dan epidermis. Pengetahuan mengenai selubung hernia ini penting untuk pembedahan. 2.6 KLASIFIKASI HERNIA

Salah satu klasifikasi yang paling banyak digunakan. Sistem ini membagi hernia menjadi empat jenis, dengan tiga sub-grup untuk tipe III.

Sistem Klasifikasi Nyhus

Tipe I Hernia indirek, cincin inguinal interna normal, biasanya pada bayi, anak-anak dan remaja.

Tipe II Hernia indirek, cincin inguinal membesar tapi tidak menyentuh lantai canalis inguinalis, tidak meluas ke scrotum

Tipe III A Hernia direk, ukuran tidak diperhitungkan

Tipe IIIB Hernia indirek, meluas ke dinding inguinal posterior, hernia indirek yang turun ke scrotum termasuk dalam kategori ini karena biasanya berhubungan dengan perluasan ruang langsung, juga termasuk hernia pantalon, dan hernia yang menyebabkan kelemahan dinding inguinal posterior.

Tipe III C Hernia femoralis

Tipe IV Hernia rekuren (direk, indirek, femoralis dan kombinasi)

Klasifikasi Hernia Inguinalis

Hernia Inguinalis Medialis Hernia Inguinalis Lateralis  Hernia masuk canalis inguinalis

karena kelemahan dinding

 Hernia melewati cincin interna sampai ke cincin externa

(9)

posterior dan tidak melewati cincin internal

 Terdapat di posterior funiculus spermaticus

 Tidak pernah masuk scrotum  Jarang terjadi strangulata  Biasanya pada pria dan usia tua  Biasanya pada peroko dengan

kelemahan jaringan conective  Faktor predisposisi : aktifitas

berat, batuk, dan ketegangan.

 Dapat mencederai

n.illioinguinal

 Dapat masuk ke scrotum

 Jika kongenital dapat terjadi karena patent procesuss vaginalis

 Biasa terjadi pada pria dan wanita

 Pada semua umur

 Biasanya hernia inguinalis dextra lebih sering daripada hernia inguinalis sisnistra

2.7 PATOFISIOLOGI

a. Kantong hernia yang telah ada (performed sac)

Hernia pada anak-anak terjadi karena kegagalan penutupan processus vaginalis. Processus vaginalis normalnya menutup karena perluasan rongga peritoneal yang melewati cincin interna. Processus vaginalis adalah evaginasi

(10)

diverticular peritoneum yang membentuk bagian ventral gubernaculums bilateral. Pada pria testis awalnya retroperitoneal dan dengan processus vaginalis testis akan turun melewati canalis inguinalis ke scrotum dikarenakan kontraksi gubernaculum. Pada sisi sebelah kiri terjadi penurunan terlebih dahulu sehingga yang tersering hernia inguinalis lateralis angka kejadiannya lebih banyak pada laki-laki dan yang paling sering adalah yang sebelah kanan.

Pada wanita ovarium turun ke pelvis dan gubernaculum bagian inferior menjadi ligamentum rotundum yang mana melewati cincin interna ke labia majus. Pada pria kehilangan sisa ini akan melekatkan testis yang dikenal dengan tunika vaginalis. Jika processus vaginalis tidak menutup maka hidrokel atau hernia inguinalis lateralis akan terjadi. Sedangkan pada wanita akan terbentuk kanal Nuck.

b. Peningkatan Tekanan Intra abdominal

Bila tekanan intra abdominal meningkat maka dinding abdomen akan meregang dan robek sehingga timbul hernia. Batuk, kehamilan ganda, mengejan, mengangkat beban yang berat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal sehingga dapat menyebabkan kelemahan daerah inguinal. Mekanisme ini terjadi pada saat otot abdomen berkontraksi akibat adanya peningkatan tekanan intra abdominal, yaitu ketika M. Obliqus internus dan transversus abdominis berkontraksi, serabut otot yang paling bawah membentuk atap mioaponeurotik pada kanalis inguinalis. Conjoined tendon yang melengkung meliputi spermatic cord yang berkontraksi mendekati ligamnetum inguinal sehingga melindungi fascia transversalis. Kontraksi ini terus berlangsung sampai ke depan cincin interna dan berfungsi menahan tekanan intra abdomen. Kontraksi M. Transverse abdominis menarik dan meregang crura annulus inteernus, iliopubic tract dan fascia transversalis menebal sehingga cincin menutup seperti spincter sehingga aponeurosisnya membentuk dinding anterior kanalis inguinalis menjadi teregang dan menekan cincin interna pada dinding posterior kanalis

(11)

yang lemah. Proses ini berperan penting dalam pencegahan terjadi hernia. Bila kompetensi fascia transversalis mencapai batas maksimal dan disertai dengan patensi dari processus vaginalis maka terjadi hernia.

c. Kelemahan otot dinding abdomen

Kelemahan otot dinding abdomen terjadinya atrofi karena proses penuaan, kurang olah raga, kehamilan multiple, penyakit-penyakit kronis yang menyebabkan kelemahan umum, penyakit kelainan sintesa kolagen.

2.8 MANIFESTASI KLINIK DAN DIAGNOSA - Anamnesis

Pasien mengeluh ada tonjolan di lipat paha ,pada beberapa orang adanya nyeri dan membengkak pada saat mengangkat atau ketegangan.seringnya hernia ditemukan pada saat pemeriksaan fisik misalnya pemeriksaan kesehatan sebelum masuk kerja. Beberapa pasien mengeluh adanya sensasi nyeri yang menyebar biasanya pada hernia ingunalis lateralis, perasaan nyeri yang menyebar hingga ke scrotum. Dengan bertambah besarnya hernia maka diikuti rasa yang tidak nyaman dan rasa nyeri, sehingga pasien berbaring untuk menguranginya.

Pada umumnya hernia direct akan memberikan gejala yang sedikit dibandingkan hernia ingunalis lateralis.dan juga kemungkinannya lebih berkurang untuk menjadi inkarserasi atau strangulasi.

- Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan hernia, pasien harus diperiksa dalam keadaan berdiri dan berbaring dan juga diminta untuk batuk pada hernia yang kecil yang masih sulit untuk dilihat kita dapat mengetahui besarnya cincin eksternal dengan

(12)

cara memasukan jari ke annulus jika cincinnya kecil jari tidak dapat masuk ke kanalis inguinalis dan akan sangat sulit untuk menentukan pulsasi hernia yang sebenarnya pada saat batuk. Lain halnya pada cincin yang lebar hernia dapat dengan jelas terlihat dan jaringan tissue dapat dirasakan pada tonjolan di kanalis ingunalis pada saat batuk dan hernia dapat didiagnosa.

- Hernia ingunalis pada masing-masing jenis pada umumnya memberikan gambaran yang sama . hernia yang turun hingga ke skrotum hampir sering merupakan hernia ingunalis lateralis.

a Pada inspeksi

Pasien saat berdiri dan tegang, pada hernia direct kebanyakan akan terlihat simetris,dengan tonjolan yang sirkuler di cicin eksterna. Tonjolan akan menghilang pada saat pasien berbaring . sedangkan pada hernia ingunalis lateralis akan terlihat tonjolan yang yang bebentuk elip dan susah menghilang padaa saat berbaring.9

b Pada palpasi

Dinding posterior kanalis ingunalis akan terasa dan adanya tahanan pada hernia inguanalis lateralis. Sedangkan pada hernia direct tidak akan terasa dan tidak adanya tahanan pada dinding posterior kanalis ingunalis. Jika pasien diminta untuk batuk pada pemeriksaan jari dimasukan ke annulus dan tonjolan tersa pada sisi jari maka itu hernia direct. Jika terasa pada ujung jari maka itu hernia ingunalis lateralis. Penekanan melalui cincin interna ketika pasien mengedan juga dapat membedakan hernia direct dan hernia inguinalis lateralis. Pada hernia direct benjolan akan terasa pada bagian depan melewati Trigonum Hesselbach’s dan kebalikannya pada hernia ingunalis lateralis. Jika hernianya besar maka pembedaanya dan hubungan secara anatomi antara cincin dan kanalis inguinalis sulit dibedakan. Pada kebanyakan pasien, jenis hernia inguinal tidak dapat ditegakkan secara akurat sebelum dilakukan operasi.

6 Pemeriksaan Penunjang a Laboratorium

(13)

Leukocytosis dengan shift to the left yang menandakan strangulasi.

Elektrolit, BUN, kadar kreatinine yang tinggi akibat muntah-muntah dan menjadi dehidrasi.

Tes Urinalisis untuk menyingkirkan adanya masalah dari traktus genitourinarius yang menyebabkan nyeri lipat paha.

b Pemeriksaan Ultrasonografi

untuk membedakan adanya massa pada lipat paha atau dinding abdomen dan juga membedakan penyebab pembengkakan testis.

2. 9 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada hernia inguinalis adalah

- Memberikan analgetik untuk mencegah nyeri.

- Pasien harus istirahat agar tekanan intraabdominal tidak meningkat. - Menurunkan tegangan otot abdomen.

- Posisikan pasien berbaring terlentang dengan bantal di bawah lutut.

- Pasien pada posisi Trendelenburg dengan sudut sekitar 15-20° terhadap hernia inguinalis.

- Kompres dengan kantung dingin untuk mengurangi pembengkakan dan menimbulkan proses analgesia.

- Posisikan dua jari di ujung cincin hernia untuk mencegah penonjolan yang berlanjut selama proses reduksi penonjolan

- Usahakan penekanan yang tetap pada sisi hernia yang bertujuan untuk mengembalikan isi hernia ke atas. Jika dilakukan penekanan ke arah apeks akan menyebabkan isis hernia keluar dari pintu hernia.

- Konsul ke ahli bedah jika :

- Adanya tanda strangulasi dan keadaan umum pasien yang memburuk

- Pada pasien geriatri sebaiknya dilakukan operasi elektif agar kondisi kesehatan saat dilakukan operasi dalam keadaan optimal dan anestesi dapat dilakukan.

(14)

- Jika pasien menderita hyperplasia prostate akan lebih bijaksana apabila dilakukan penanganan terlebih dahulu terhadap hiperplasianya. Mengingat tingginya resiko infeksi traktus urinarius dan retensi urin pada saat operasi hernia.

- Karena kemungkinannya terjadi inkarserasi, strangulasi, dan nyeri pada hernia maka operasi yang cito harus di lakukan. Pelaksanaan non operasi untuk mengurangi hernia inkerserasi dapat dicoba. Pasien di posisikan dengan panggul dielevasikan dan di beri .analgetik dan obat sedasi untuk merelaxkan otot-otot.

- Operasi hernia dapat ditunda jika massa hernia dapat dimanipulasi dan tidak ada gejala strangulasi.

2.5 Regional Anastesi-Subarachnoid Block (RA-SAB)

Anastesi spinal (intratekal,intradural,subdural,subarachnoid) ialah pemberian obat anastetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anastesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

2.5.1 Indikasi, kontraindikasi, komplikasi RA-SAB

Indikasi dilakukan Regional Anastesi-Subarachnoid Block antara lain; 1. Bedah ekstremitas bawah.

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum-perineum. 4. Bedah obstetric-gynekologi. 5. Bedah urologi.

(15)

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi umum ringan.

Kontraindikasi spinal anastesi terbagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi absolute dan kontraindikasi relative;

Kontraindikasi absolute; 1. Pasien menolak.

2. Infeksi pada tempat suntikan. 3. Hipovolemik berat, syok.

4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan. 5. Tekanan intracranial meninggi.

6. Fasilitas resusitasi minimum.

7. Kurang pengalaman atau didampingi konsultasi anestesi. Kontraindikasi relative:

1. Infeksi Sistemik.

2. Infeksi Sekitar Tempat Suntikan. 3. Kelainan Neurologis.

4. Kelainan Psikis. 5. Bedah Lama. 6. Penyakit Jantung. 7. Hipovolemia Ringan.

(16)

8. Nyeri Punggung Kronis.

Komplikasi Spinal Anastesi Komplikasi Tindakan

1. Hipotensi berat.

Akibat blok simpatis, terjadi “ venous pooling” . biasanya dapat dicegah dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 mL atau 500 mL cairan koloid sebelum tindakan.

2. Bradikardi.

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T2. 3. Hipoventilasi.

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas. 4. Trauma pembuluh darah.

5. Trauma saraf. 6. Mual-muntah.

7. Blok spinal tinggi atau spinal total. Komplikasi Pasca Tindakan

1. Nyeri pada tempat suntikan. 2. Nyeri punggung.

3. Nyeri kepala karena PDPH. 4. Retensi urin.

5. Meningitis.

(17)

Posisi duduk atau lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan . biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

1. Setelah dimonitor tidurkan pasien dalam posisi duduk. Buat pasien membungkuk maksimal agar proc. Spinosus mudah teraba.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Jangan melakukan penusukan pada L1-2 karena berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.

4. Beri anastetik lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 mL.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Biasanya jarum yang digunakan adalah berukuran 25 G. tusukan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum yang tajam (quincke-babcock), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau kebawah untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal anastesi. Setelah resistensi menghilang , mandarin jarum spinal dicabut dan keluar CSF, kemudian masukkan obat secara perlahan-lahan diselingi aspirasi sedikit , hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Peralatan anastesi spinal. 1. Peralatan monitor.

Tekanan darah, nadi, pulse oksimetri dan EKG. 2. Peralatan resusitasi/ anastesi umum.

(18)

Jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing, quincke-babcock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil point, whitecare).

2.5.3 Preoperatif RA-SAB Penilaian Preoperatif

Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif. 12

Tujuan:

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif 2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi 3. Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai

4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pascabedah

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.12

Tatalaksana evaluasi 1. Anamnesis.

Anamnesis baik autoanamnesis maupun alloanamnesis, yakni meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum

(19)

yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi. 12 2. Pemeriksaan fisik.

Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument.

Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi apneu.

Skoring Mallampati

 Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan  Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula  Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

 Hanya terlihat palatum durum

3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya.

Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi, evaluasi kardiologi terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun, pemeriksaan spirometri pada pasien PPOM.

(20)

Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American Society of Anesthesiologist (ASA).

Persiapan anastesi spinal (RA-SAB)

Pada dasarnya persiapan untuk anastesi spinal seperti persiapan anastesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan proc. Spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :

(21)

1. Informed consent.

Sebelum dilakukan anastesi wajib meminta izin kepada pasien dan tidak boleh memkasanya.

2. Pemeriksaan fisik.

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-lainnya.

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran.

Hemoglobin, hematokrit , PT (protrombin time) dan PTT (partial tromboplastin time).

Persiapan Preoperatif a. Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

b. Terapi Cairan.

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

(22)

2.5.4 Durante Operasi RA-SAB Persiapan Pasien

Pasien dengan tindakan appendiktomi dapat terjadi evaporasi. Oleh karena itu, pasien ini diselimuti dan dilakukan monitor balans cairan (keseimbangan cairan). Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan.

Pemakaian Obat Anestesi

Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-5 dengan menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan bupivacaine 0.5% 12.5 mg.

Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100

(23)

mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika kassa atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.

2.5.5 Postoperatif RA-SAB

Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah, perbuhan vaskular, dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar hilang.

(24)

Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.

BAB III LAPORAN KASUS 1. IDENTITAS

 Nama : SOEDIRMAN

 Jenis Kelamin : laki-laki

 Umur : 65 thn

 Agama : Islam

 Alamat : jalan cinta rakyat dusun II

 Pendidikan : SMP

 Status Perkawinan : Menikah

 No RM : 235622

 Tgl Masuk :8 Agustus 2015

2. ANAMNESA

Keluhan Utama : BENJOLAN DI KANTONG KEMALUAN

KANAN

Telaah : Pasien datang ke poli bedah RSHM dengan keluhan terdapat benjolan di kantong buah zakar sebelah kanan sejak 1 tahun 2 bulan yag lalu. Awalnya benjolan terdapat dilipat paha sebelah kanan, namun makin lama benjolan makin membesar bahkan sampai masuk ke kantong buah zakar sebelah

(25)

kanan. Benjolan teraba kenyal sebesar telor ayam dikantong buah zakar sejak 1 bulan sebelum datang ke poli. Benjolan akan terlihat pada saat pasien berdiri, batuk, mengedan, saat sedang bekerja. Benjolan dapat masuk apabila didorong dengan tangan. Benjolan tidak teraba sakit, tidak merah, dan tidak terasa tegang. Pasien tidak mengeluhkan adanya perubahan dalam BAB, BAB tidak berdarah dan tidak pernah keluar benjolan dari dubur .pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAK, pada saat BAK pasien selalu merasa tuntas dan tidak merasa nyeri. Pasien tidak mengeluhkan adanya mual dan muntah.

 RPT : (-)

 RPO : (-)

 RPK : (-)

3.PEMERIKSAAN FISIK Status Present

 Keadaan Umum : Tampak Sakit

Vital Sign

 Sensorium : Compos Mentis

 Tekanan Darah : 110/70 mmHg  Nadi : 70x/menit  RR : 22x/menit  Suhu : 36,50C  Tinggi Badan : 160 cm  Berat Badan : 58 kg Pemeriksaan Umum

 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)

(26)

 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-

 Mulut : Stomatitis (-), Hiperemis pharing (-),

Pembesaran tonsil (-)

 Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax Paru

 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan

torako abdominal, retraksi costae -/-

 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

 Perkusi : sonor seluruh lapang paru

 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Jantung

 Inspeksi : Ictus tidak terlihat

 Palpasi : Ictus teraba, tidak kuat angkat

 Perkusi : Batas jantung normal

 Auskultasi : Bunyi jantung dalam batas normal

Abdomen

 Inspeksi :

 Palpasi : Soepel

 Perkusi : Timpani

 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

 Ekstremitas : edema -/-

Pemeriksaan Penunjang Hasil Laboratorium

(27)

 Hb :11,5 g/dl 13 - 18 g/dl  HT : 47 % 40 - 54 %  Eritrosit : 4,0 x 106/µL  Leukosit : 4600 g/dl  Trombosit : 205.000/µL Metabolik  KGDS : 113 mg/dl

 Asam Urat : Tidak dilakukan pemeriksaan

Diagnosis : HERNIA INGUINALIS LATERALIS DEXTRA

RENCANA TINDAKAN

 Tindakan : herniagrafi (8 Agustus 2015)

 Anesthesi : RA-SAB

 PS-ASA : 1

 Posisi : Supinasi

 Pernapasan : Spontan dibantu kanul nasal O2

KEADAAN PRA BEDAH Pre operatif

B1 (Breath)

 Airway : Clear

 RR : 20x/menit

 SP : Vesikulear ka=ki

 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing

(-/-/-) B2 (Blood)

(28)

 Akral : Hangat/Merah/Kering

 TD : 140/80 mmHg

 HR : 70x/menit

B3 (Brain)

 Sensorium : Compos Mentis

 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

 RC : (+)/(+) B4 (Bladder)  Uop : (-)  Kateter : terpasang B5 (Bowl)  Abdomen : Soepel  Peristaltik : Normal (+)  Mual/Muntah : (-)/(-) B6 (Bone)  Oedem : (-)

PERSIAPAN OBAT RA-SAB Intratekal  Bupivacaine : 12,5mg  Fentanyl : 25 µg Jumlah Cairan  PO : RL 200 cc  DO : RL 300 = 500 cc  Produksi Urin : -Perdarahan  Kasa Basah : 8 x 10 = 80 cc

(29)

 Kasa 1/2 basah : 3x 5 = 15 cc  Suction : -  Jumlah : 80 cc + 15 cc = 95 cc  EBV : 70 x 58 kg = 4060 cc  EBL 10 % = 406 cc 20 % = 812 cc 30 % = 1218 cc Durasi Operatif

 Lama Anestesi= 10.10 – 11.07 WIB

 Lama Operasi = 10.15 - 11.07 WIB

Teknik Anestesi : RA-SAB

 Posisi duduk (SITTING) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine + alcohol → Insersi spinocan 25G + CSF (+), darah (-), injeksi bupivacain → posisi supaine → atur blok setinggi T4.

POST OPERASI

 Operasi berakhir pukul : 11.07 WIB

 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9

Pergerakan : 2

Pernapasan : 2

Warna kulit : 2

Tekanan darah : 2

Kesadaran : 2

Dalam hal ini, pasien memiliki score 10 sehingga bisa di pindahkan ke ruang rawat.

(30)

 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

 IVFD RL 40gtt/menit

 Minum sedikit-sedikit bila mual (-), muntah (-)

 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV

 Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV

 Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

DAFTAR PUSTAKA

1 Sjamsuhidayat.R & Wim de jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi revisi. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC, 2009.

2 Robert J, Fitzgibbons, JR, Charles J Filipin, etc. Schwartz’s, Principle of surgery 8th ed, Mc Graw Hill, 2008, pp 1353 – 1392

3 Mansjoer A, Suprohaita, Wardhini WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III jilid 2. Jakarta: Media Aescupalis. 2010.

(31)

4 Debas, Haile T., MD. Abdominal wall, Peritoneum, and Retroperitoneum. Gastrointestinal Surgery, Pathophysiology and Management. USA : Springer. 2003.

5 Town, Court M. JR., MD., etc. Hernias. Stabiston Textbook of Surgery, The Biological Basic of Modem Surgical Practice. 18 th ed. USA : 2008

Referensi

Dokumen terkait

Mamba‟ul Ulum Surakarta sebanyak 30 responden (Riwi dikdo, 2009). 3) Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas data peneliti melakukan tes seleksi responden

Pengambilan keputusan untuk bercerai adalah suatu hal yang tidak dapat dilakukan begitu saja, tetapi perlu adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu terkait dengan resiko

Terdapat pengaruh yang signifikan dari latihan keseimbangan di paralel bar secara rutin terhadap peningkatan rerata skor risiko jatuh pada pasien stroke non hemoragik

Akan tetapi dari beberapa sumber yang telah disebutkan bahwa wakaf berbasis sukuk ini akan serupa dengan akad sukuk ijarah yang sedikit berbeda dalam bentuk investor atau

Bab ini membahas proses pembentukan model regresi Cox proportional hazard pada data survival pasien Tuberkulosis dan mendapatkan model terbaik, sehingga didapatkan

Mewujudkan Guru yang berkualitas harus senantiasa diupayakan dengan berbagai cara. Salah satu upaya adalah dengan menganalisis profil Guru yang baik dan

Tugas Akhir ini pada dasarnya bertujuan untuk memperkenelkan dan memberikan pemahaman yang nyata pada mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Bidang Studi Hubungan

membuat struktur konstruksi yang kokoh untuk berdirinya armature tubuh manusia