• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 Referat Hiperbilirubinemia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 Referat Hiperbilirubinemia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL.1 Hiperbilirubinemia merupakan salah satu keadaan klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir.2 Hiperbilirubinemia ditemukan 60% di Amerika Serikat, sedangkan insiden hiperbilirubinemia pada neonatus di negara-negara berkembang belum tersedia karena mayoritas persalinan dilakukan di rumah.3 Insiden hiperbilirubinemia di Indonesia di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.4 Penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin didapatkan hiperbilirubinemia pada neonatus cukup bulan 39,5% pada kelompok resiko tinggi, 12,9% pada resiko menengah-tinggi, 2,3% pada resiko menengah-rendah dan 0% pada kelompok resiko rendah.5

Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin. Pada neonatus hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit.9 Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.6,7,8

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis dan patologis.6 Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada neonatus cukup maupun kurang bulan selama minggu pertama kehidupan yang insidennya berturut-turut adalah 50-60% dan 80%.6 Insidens hiperbilirubinemia patologis sekitar 9,8% pada tahun 2002 dan 15,66% pada tahun 2007 di RS Dr Soetomo.4 Insiden hiperbilirubinemia patologis berdasarkan penyebab didapatkan inkompatibilitas ABO 35%, infeksi 18%, prematuritas 11%, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD)5%, inkompatibiltas rhesus 3,5% dan idopatik 9% di Jamaika.9 Peningkatan kadar bilirubin serum yang tinggi dapat menimbulkan kern ikterus yang merupakan sindrom neurologi akibat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi di ganglia basalis dan nucleus batang otak.10 Kern ikterus menyebabkan kematian pada 75% neonatus dan menimbulkan 80% sekuele neurologik jangka panjang

(2)

seperti koreoatetosis dan spasme otot involunter.10 Tidak ada tes skrining untuk mengidentifikasi neonatus yang berisiko kern ikterus.11 Setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah hiperbilirubinemia yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat.6 Untuk mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin serum total beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia yang berat.6

Tata laksana hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah tidak mencapai kadar yang neurotoksik.4 Penggunaan fototerapi sebagai salah satu terapi hiperbilirubinemia telah dimulai sejak tahun 1950 dan umum digunakan karena mempunyai keuntungan tidak invasif, efektif, tidak mahal dan mudah digunakan.4

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, klasifikasi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa dari hiperbilirunemia pada neonatus.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah :

1. Untuk memahami definisi, klasifikasi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa dari hiperbilirunemia pada neonatus.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

3. Menambah informasi bagi para pembaca mengenai definisi, klasifikasi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa dari hiperbilirunemia pada neonatus.

4. Memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP DR. M. Djamil Padang.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.

(3)

1.5 Manfaat Penulisan

Melalui penulisan makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang hiperbilirunemia pada neonatus.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL (86 μmol/L). Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu-minggu pertama setelah lahir, sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis neonatus.1,6

Hiperbilirubinemia patologis disebabkan oleh inkompatibilitas darah (Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis, kelainan metabolisme, defisiensi enzim

glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), Sindrom Gulbert dan Sindrom Crigler-Najjar.12

Inkompatibiltas ABO dan defisiensi G6PD merupakan penyebab hiperbilirubinemia terbanyak di Indonesia.13 Peningkatan bilirubin secara berlebihan berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele nerologis.6

Hiperbilirubinemia pada neonatus telah dideskripsikan dalam literatur cina seribu tahun yang lalu.14 Bartholomaeus Metlinger dalam bukunya Ein regiment der jungen Kinder mempublikasikan mengenai hiperbilirubinemia di akhir tahun 1400 di Eropa.14 Penggunaan istilah Kernikterus telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan pewarnaan kuning pada basal ganglia neonatus yang meninggal akibat hiperbilirubinemia berat.15 Penelitian klinis mengenai penyakit hemolisis pada neonatus pada tahun 1940 hingga 1950 telah memberikan pemahaman mengenai patogenesis dan penatalaksanaan dari hemolisis.16 Tahun 1950 hingga 1970 di Inggris, terjadi peningkatan insiden penyakit inkompatibilitas rhesus dan kern ikterus sehingga klinisi menjadi lebih agresif dalam penatalaksanaan ikterus.15

2.2 Klasifikasi

a. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak terkonyugasi akibat proses fisiologis pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena penurunan level glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus,

(5)

masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) ,belum matangnya fungsi hepar.9 Pada bayi cukup bulan peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi mencapai puncaknya sekitar 5 – 6 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan. Pada bayi kurang bulan akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama yaitu 10 – 12 mg/dL pada hari ke-5 kehidupan. Jika ikterus fisiologis, maka harus:23

1. Tidak muncul pada hari pertama

2. Kadar bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL

3. Peningkatan kadar bilirubin < 0,2 mg/dL/jam atau < 5 mg/dL/hari 4. Ikterus tidak menetap > 2 minggu pada bayi cukup bulan

b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan berikut :23 1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

2. Bilirubin total serum > persentil 95 berdasarkan grafik normogram 3. Peningkatan kadar bilirubin > 0,2 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari

4. Kadar bilirubin serum terkonjugasi > 1,5 – 2 mg/dL atau > 10 – 20% dalam bilirubin serum total

5. Ikterus menetap setelah > 2 minggu pada bayi cukup bulan

2.3 Epidemiologi

Hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang umum ditemukan di seluruh dunia.Penelitian di Di Amerika Serikat, sebanyak 65% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.Di Malaysia pada tahun 1998, 75% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia dalam minggu pertama kehidupan. Catania, Italia mendapatkan insiden hiperbilirubinemia 19% dari bulan Januari 2006 sampai Januari 2007.Penelitian insiden hiperbilirubinemia di Pakistan didapatkan 27,6%. 24

Di Indonesia,data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa kurang dari 50% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia yang dapat di deteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Insiden hiperbilirubinemia neonates pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr.sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. (Sastroasmoro, Sudigdo. 2004).3

Tahun 2003 didapatkan data hiperbilirubinemia dari beberapa rumah sakit pendidikan seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Dr. Sardjito, RS Kariadi, RS Dr. Soetomo. Penelitian di RSCM menemukan 58% kadar bilirubin >5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin >12 mg/dL. Di RS Dr. Sardjito, 82% bayi cukup bulan dan 95% bayi kurang bulan mengalami hiperbilirubinemia fisiologis. Di RS Dr. Kariadi Semarang

(6)

pada tahun 2003, 10,7% bayi menderita hiperbilirubinemia. (Sastroasmoro, Sudigdo. 2004). Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya kejadian hiperbilirubinemia sekitar 30% (tahun 2000), 13% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003).3

2.4 Etiologi3.24

 Proses Fisiologis

 Peningkatan produksi

Kelainan uptake oleh hati.

 Kegagalan konjugasi.

 Sekuestrasi eritrosit  Gangguan eksresi

Peningkatan kadar bilirubin serum pada minggu pertama kehidupan disebabkan karena :

 Beban bilirubin yang meningkat pada neonatus karena volume eritrosit meningkat sebagai kompensasi tekanan parsial oksigen yang rendah, umur eritrosit pendek dan peningkatan resirkulasi bilirubin enterohepatal.

Kurangnya uptake hati sebagai dampak penurunan kadar protein pengikat bilirubin.

 Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas enzim uridine diphospate glucuronyl transferase (UDPGT)

Peningkatan lisis eritrosit (hemolisis) yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan jumlah heme yang dilepaskan sehingga kadar bilirubin indirek meningkat, hal ini dapat disebabkan :

 Inkompatibilitas golongan darah: Rhesus dan ABO.

 Defek biokimia eritrosit seperti defisiensi enzim Glucose-6-phosphate dehydrogenase

(G6PD), defisiensi Pyruvat Kinase, dan defisiensi Hexokinase.

 Abnormalitas struktur eritrosit seperti sferositosis herediter, elliptositosis herediter, dan piknositosis infantil.

 Infeksi seperti bakteri, virus, dan protozoa.

 Defisiensi kongenital enzim UDPGT seperti pada penyakit sindroma Crigler-Najjar dan sindroma Gilbert.

 Inhibisi enzim UDPGT seperti pada sindroma Lucey-Driscoll.

 sefal hematom, perdarahan intrakranial, dan perdarahan saluran cerna

 intra hepatik seperti tumor intra hepatic  ekstra hepatik seperti batu saluran

(7)

2.5 Patofisiologi

Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oxigenase. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase.9,26

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 minggu/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek ( 70-90 hari) dibandigkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkuasi enterohepatik).9,22

(8)

Metabolisme bilirubin

Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah merah atau dari hemoproteins lainnya yang terdegradasi oleh proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan NADPH dan oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida dan biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin oleh bilirubin reduktase. Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial ini selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin, kemudian akan ditransportasi ke sel hepar Bilirubin ini disebut bilirubin tidak terkonjugasi yang mempunyai sifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta. Dalam bentuk bilirubin tidak terkonjugasi ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan ( karena sifatnya yag larut lemak ) dan bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat, toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi kernikterus.9,22

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda :9

1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum

2. Bilirubin bebas

3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap diekresikan melalu ginjal atau sistem bilier

4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ bilirubin).

Pada saat bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin terikat pada reseptor permukaan sel. Bilirubin ditransfer melalui sel membrane yang berikatan dengan ligandin (protein Y) dan dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin tidak terkonjugasi akan dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase ( UDPGT ) dalam bentuk bilirubin terkonjugasi. Katalisasi oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air, non – toxic dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan dari hepar melalui kanalikuli empedu ke dalam traktus digestivus kemudian keluar bersama

(9)

dengan feses atau direabsorpsi kembali. Akan tetapi, bilirubin terkonjugasi tidak dapat langsung direabsorpsi kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim β-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonyugasi kembali disebut sirkulasi entero hepatik.22,27

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Secara klinis ikterik pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterik akan terlihat dengan peningkatan kadar bilirubin serum mencapai 5-6 mg/dL dan lebih tampak jelas dengan penyinaran yang cukup. Ikterik dapat hilang timbul menyerupai warna kulit terutama pada neonatus yang kulitnya gelap dan tidak tampak jika total bilirubin serum < 4 mg/dL (68 mol/L).24 Ikterik biasanya dimulai dari bagian wajah kemudian turun ke batang tubuh sampai ekstremitas. Gejala lain yang menyertai meliputi warna kulit (pucat), petekiae, pletora, ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), hepatosplenomegali (karena anemia hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum, mikrosefali (infeksi kongenital), kehilangan berat badan, dan tanda dehidrasi.

(10)

Abbreviation

Bili = Total Bilirubin EM = Educational Material

ETCOs = End Tidal Volume Corrected CO Photox = Phototerapy

PMD = Attending Peitrician WBN = Well Baby Nursery

Gambar 1. Guidelines Hiperbilirubinemia untuk gestasi ≥34 minggu (Sumber:Alkalay. Hyperbilirubinemia Newborn Pediatric, 2005; 825 )25

Pemeriksaan Fisik

Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl. 26

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan

(11)

terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.27

Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. 28,29

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Sumber:

Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 4 Evaluasi Laboratorium Hiperbilirubinemia Neonatal

Indication Assessments

Jaundice in the first 24 hours TSB or TcB level Jaundice excessive for infant's age TSB or TcB level Receiving phototherapy or TSB level

increasing rapidly

Blood type and Coombs' test CBC and peripheral blood smear Conjugated bilirubin level

Consider reticulocyte count; G6PD and end-tide carbon monoxide (corrected) levels Repeat TSB measurement in four to 24 hours TSB level approaching exchange transfusion Reticulocyte count; G6PD, albumin, and

end-Zona Bagian tubuh yang kuning

Rata-rata serum bilirubin indirek (

mol/l)

Bilirubin serum total

1. Kepala dan leher 100 5 mg/dL;

2. Pusat-leher 150 10 mg/dL

3. Pusat-paha 200 12 mg/dL

4. Lengan + tungkai 250 13-15mg/dL

(12)

Indication Assessments

threshold or not responding to phototherapy tide carbon monoxide (corrected) levels Elevated conjugated bilirubin level Urine culture, urinalysis

Consider sepsis evaluation Prolonged jaundice (more than 3 weeks) or

sick infant

TSB and conjugated bilirubin levels Check results of newborn thyroid and galactosemia screen

CBC = complete blood count; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase; TcB = transcutaneous bilirubin; TSB = total serum bilirubin.

Sumber: Adapted with permission from American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation [published correction appears in Pediatrics. 2004;114(4):1138]. Pediatrics. 2004;114(1):30030

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus.27 ‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. 27

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.27

2.8 Penatalaksanaan

Pencegahan :

American Academy of Pediatric mengeluarkan strategi praktis dalam pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih) dengan tujuan menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati bilirubin serat meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya breast feeding atau terapi yang diperlukan. Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal dan merangsang aktifitas usus halus.9

Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia9 1. Pencegahan primer

Rekomendasi 1.0 menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama.

Rekomendasi 1.1 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

(13)

2. Pencegahan sekunder

Rekomendasi 2.0 Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal.

Rekomendasi 2.1 Tentang golongan darah: Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum antibodi isoimun yang tidak biasa

Rekomendasi 2.1.1 Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh (D) darah tali pusat bayi.

Rekomendasi 2.1.2 Bila golongan darah ibu O,Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar rumah sakit (RS) dan tidak lanjut yang memadai.

Rekomendasi 2.2 Tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital, terapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

Rekomendasi 2.2.1: Protokol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutan atau memeriksakan bilirubin serum total.

3. Evaluasi Laboratorium

Rekomendasi 3.0 : Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jama pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total tergantung pada daerah mana kadar bilirubin terletak, umur bayi, dan evolusi hiperbilirubinemia.

Rekomendasi 3.1 Pengukuran bilirubin transkutaneus atau dan bilirubin serum total harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan, pemeriksaan bilirubin serum harus dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara visual seringkali salah.

Rekomendasi 3.2 Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai umur bayi dalam jam.

4. Penyebab kuning

Rekomendasi 4.1 Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima foto terapi atau bilirubin total serum meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesa dan pemriksaan fisik.

Rekomendasi 4.4.1 Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjungasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.

Rekomendasi 4.1.2 Bayi sakit dan ikterus pada bayi sakit atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin kongasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis, juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.

(14)

Rekomendasi 4.1.3 Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin kongasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyeba kolestasis.

Rekomendasi 4.1.4 Pemeriksaan terhadap kadar Glukose- 6- Phospat Dehindrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwaya=t keluarga atau etnis atau asal geografis yang menunjukkan kecendrungan defisiensi G6PD atau pada bayi yang respon buruk terhadap fototerapi

5. Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan

Rekomendasi 5.1 Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menetapkan protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini sangat penting untuk bayi yang pulang sebelum 72 jam.

Rekomendasi 5.1.1 Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :

- Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum keluar RS, secara individual atau kombinasi unuk pengukuran yang sistematis terhadap resiko: Penilaian faktor resiko klinis.

6. Kebijakan dan prosedur RS

Rekomendasi 6.1 Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat keluar dari RS, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring dilakukan.

Rekomendasi 6.1.1 Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lama perawatan, ada atau tidaknya faktor resiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya.

Rekomendasi 6.1.2 : Saat tindak lanjut : Berdasarkan tabel dibawah : Bayi Keluar RS Harus Dilihat Saat Umur

Sebelum umur 24 jam 72 jam Antara umur 24 dan 47,9 jam 96 jam Antara umur 48 dan 72 jam 120 jam

Untuk beberapa bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam , di perlukan 2 kunjungan tindak lanjut yaitu kunjungan pertama antar 24- 72 jam dan kedua antara 72-120 jam. Penilaian klinis harus dikgunakan dalam tindak lanjut. Pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap hiperbilirubinemia harus dilakukan tindak lanjut yang lebih awal atau lebih sering. Sedangkan bayi yang resiko kecil dan tidak beresiko, waktu pemeriksaan kembali dapat lebih lama.

(15)

Rekomendasi 6.1.3 Menunda pulang dari RS: Bila tindak lanjut yang memadai tidak dapat dilakukan terhadap adanya peningkatan resiko timbulnya hiperbilirubinemia berat, mungkin diperlukan penundaan kepulangan dari RS sampai tindak lanjut memadai dapat dipastikan atau periode resiko terbesar telah terlewati (72-96 jam) Rekomendasi 6.1.4 Penilaian tindak lanjut

Penilaian tindak lanjut harus termasuk berat badan bayi dan perubahan persentasi berat lahir, asupan yang adekuat, pola BAB dan BAK, serta ada tidaknya kuning. Penilaian klinis harus digunakan untuk dilakukan perlunya pemeriksaan bilirubin. Jika penilaian visual meragukan, kadar bilirubin transkutaneus dan bilirubin total serum harus diperksa. Perkiraan kadar bilirubin visusal dapat keliru, terutama pada bayi dengan kulit hitam.

7. Pengelolaan bayi dengan ikterus

- Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI

Berikut ini adalah elemen-elemen kunci yang harus diperhatikan pada pengelolaan early jaundice pada bayi yang mendapat ASI.

Pengelolaan ikterus dini (early jaudice) pada bayi yang mendapat ASI 9

1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam

2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.

3. Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa atau formula pengganti

4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui

5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dl, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran/ produksi ASI dengan cara memompa dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP 6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan

abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20mg/dl atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning

Penggunaan Farmakoterapi :

Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain : 9

1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh yang berat dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan tranfusi. 9 IVIG dapat digunakan dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single dose)34

(16)

2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktifitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin.9 Terjadi peningkatan uptake hepar, konjugasi dan eksresi bilirubin.34 Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan bermakna, hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih muda. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil. 9

3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporpirin juga telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis heme. Protoporpirin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif sari heme oksigenase, enzim ini deperlukan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secara utuh didalam empedu. 9

4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan datau tanpa penyakit hemolitik, tin-protoporpirin (Sn-PP) dan tin- mesoporpirin (Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah pemberian Sn-PP berhubungan dnegan timbulnya eritema foto toksik. Sn- MP kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi. Pada penelitian terbaru dnegan penggunaan Sn-MP maka fototerapi pada bayi cukup bulan tidak diperlukan lagi, sedangkan pada bayi kurang penggunaannya telah banyak berkurang. Pemakaian obat ini masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang belum diketahui, sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk bayi yang mempunyai resiko tinggi tehadap kejadian hiperbilirubinemia ynag berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga sebagai klinikal trial. 9

5. Baru- baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor B Glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-Aspartik dan casein hoidrolisat dalam jumlah kecil (5ml / dosis – 6x perhari ) dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi kontrol. Kelompok bayi yang mendapat campuran whey atau kasein (bukan inhibitor B glukuronidase) Kuningnya juga tampak menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan jalur enterohepatik. 9

Rekomendasi 7.1 Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau meningkat walaupun telah mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah terjadi hemolisis dan direkomendasikan untuk menghentikan foto terapi. 9

(17)

Rekomendasi 7.1.1 Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan transfusi tukar, kadar bilirubin direk atau konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total , tidak tersedia data yang baik untuk petunjuk terapi dan direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada ahlinya. 9

Rekomendasi 7.1.2 Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan transfusi ganti atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dl atau lebih tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi- bayi ini tidak harus dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi. 9

Rekomendasi 7.1.3 Transfusi ganti harus dilakukan hanya oleh personal yang terlatih diruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi. 9

Rekomendasi 7.1.4 Penyakit isoimun hemolitik, pemberian gama- globulin (0,5-1 gr/Kgbb selama 2 jam) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah mendapat fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dl dari kadar transfusi ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam. 9

Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/ albumin

Rekomendasi 7.1.5 Merupakan suatu pilihan untuk mengukur kadar serum albumin dan mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3 gr/dl sebagai satu faktor resiko untuk menurunkan ambang batas penggunaan fototerapi.9

Rekomendasi 7.1.6 Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan rasio bilirubin / albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor- faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi ganti. 9

Bilirubin ensefalopati akut

Rekomendasi 7.1.7 Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi ganti untuk setipa bayi ikterus dan tampak manifestasi fase menengah sampai lanjut dari ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, arching, tetrocollis, opistotonus, demam, menangis melengking) meskipun kadar bilirubintotal serum telah turun. 9

Rekomendasi 7.2 Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memilki peralatan untuk fototerapi intensif. 9

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan

Rekomendasi 7.3 Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Juga terdapat pilihan untuk menghentikan sementara dan menggantinya dengan formula. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI yang dipompa atau formula adalah cukup jika asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi. 9

(18)

Foto Terapi

Indikasi Fototerapi 9

- Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total

- Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3g/dL

- Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi- bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi- bayi yang mendekati usia 37 minggu.

- Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi- bayi yang memiliki faktor resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.

Petunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada Setiap neonatus yang tidak memenuhi kriteria terapi sinar sebagai berikut: Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam.35

1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB diperlukan transfusi tukar.

2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu.

3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan intravena (kristaloid).

4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.

5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian

(19)

Tabel Indikasi Fototerapi berdasarkan TSB (WHO)36

Tabel Indikasi Fototerapi BBLR (Choherty,2004)36

Mekanisme kerja fototerapi

Efektifitas dari fototerapi tergantung dari penyinaran (energi yang dikeluarkan) sumber cahaya. Sinar diukur dengan radiometer atau spektroradiometer dalam satuan W/cm2 atau μW/ cm2

/nanometer. Diposisikan 20 cm diatas neonatus dengan gelombang 430 -490 nm 36 Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja. 35

(20)

Gambar : Faktor penting dalam efektifitas fototerapi 36

(21)

Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin. 35

Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya. 35

Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB (WHO)35

Indikasi transfusi tukar pada BBLR (Choherry, 2004)35

Indikasi transfusi tukar 35

• Gagal dengan intensif fototerapi.

• Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.

(22)

Darah donor untuk transfusi tukar35 • Darah yang digunakan golongan O.

• Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.

•Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan harus golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross match dengan bayinya.

• Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau Rhesus yang samadengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

• Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.

• Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.

• Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar, terjadi sekitar sekitar 87%.

Prognosis Hiperbilirubin A. Umum

Konsentrasi yang tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati sawar darah otak dan penetrasi sel otak, sehingga mengakibatkan disfungsi neuron dan kematian. Mekanisme bilirubin menginduksi kerusakan sel neuron tidak dapat sepenuhnya dimengerti, namun konsentrasi tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat mengakibatkan neurotoksik pada sel membran dan homeostasis kalsium intrasel di neuron dan kegagalan energi mitokondria dalam sel. Faktor yang menentukan toksisitas bilirubin pada neuron neonatus sangat komplek dan tidak sepenuhnya dimengerti. Konsentrasi bilirubin yang spesifik pada bayi preterm dengan risiko kernikterus sampai saat ini tidak teridentifikasi. Insiden kernikterus dalam grup ini tidak diketahui, dan hubungan antara serum bilirubin dengan perkembangan neuron pada bayi berat badan sangat rendah masih belum jelas.23

B. Ensefalopati

Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase kronis. Pada fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara) yang masih aman jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan kronis bersifat irreversible (menetap).23

Ensefalopati bilirubin kronis dapat mengakibatkan gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi. Angka kematian dapat lebih dari 10 %.23

Gambar

Gambar 1. Metabolisme Degradasi Heme dan Pembentukan Bilirubin 22
Gambar  1.  Guidelines  Hiperbilirubinemia  untuk  gestasi  ≥34  minggu  (Sumber:Alkalay
Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer
Foto Terapi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Subjek penelitian adalah 32 bayi baru lahir prematur yang mengalami hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.Penelitian ini menggunakan

Saat melakukan penanganan bayi baru lahir pastikan melakukan tindakan pencegahan infeksi dengan cara mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan penanganan pada bayi baru

Pada kebanyakan bayi baru lahir , hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal , tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin

Berdasarkan hasil kajian dan penelusuran artikel penelitian mengenai efektivitas pijat bayi terhadap penurunan kadar hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir, maka diperoleh

Subjek penelitian adalah 32 bayi baru lahir prematur yang mengalami hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.Penelitian ini menggunakan

Subjek penelitian adalah 32 bayi baru lahir prematur yang mengalami hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.Penelitian ini menggunakan

Pencegahan sekunder dapat berupa deteksi dini penyakit hipotiroid kongenital dengan skrining pada bayi baru lahir.. Pencegahan tersier berupa penanganan

terbentuk sama sekali atau gangguan terhadap produksi atau fungsi hormon tiroid yang didapat sejak lahir.. (American Academy