• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Kerbau. mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Kerbau. mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Kerbau

Kerbau (Bubalus bubalis) termasuk salah satu ternak ruminansia yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab khususnya daerah belahan utara tropika. Kerbau hidup terutama di bagian yang berair dan dimusim hujan kerbau dapat menyebar dalam kawasan besar. Dibandingkan dengan sapi, kerbau memiliki sistem pencernaan yang lebih efisien dalam mencerna pakan kualitas rendah. Pada daerah kering dimana ternak sapi kondisi tubuhnya sudah memprihatinkan (kurus), kondisi tubuh kerbau masih cukup baik. Populasi ternak kerbau yang ada di Indonesia saat ini hanya 40% berada di Pulau Jawa dengan kepemilikan hanya 1-2 ekor per keluarga petani Kurnia (2009) dalam Herawati (2010). Menurut Kerr (1972) dalam Izza (2011) secara taksonomi kerbau lumpur dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bubalus

(2)

4 Spesies : Bubalus bubalis

Ternak kerbau memiliki peran dan fungsi strategis bagi sebagian masyarakat di Indonesia dan sejak lama ini tersebar luas walaupun tidak merata. Perkembangan populasi kerbau di Pulau Jawa cenderung menurun hal ini disebabkan berkurangnya fungsi kerbau sebagai tenaga kerja maupun alat angkut dan maraknya ongolisasi. Kerbau masih dipelihara secara tradisional dan umumnya ternak yang dipelihara merupakan warisan dari keluarga bersifat turun temurun (Tarmuji et al., 1990). Dengan jumlah ternak yang relatif sedikit dan tersebar secara luas maka akan mempersulit pengendalian penyakit diantaranya Trypanosomiasis.

Iklim Definisi Iklim

Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang (bulan, tahun). Sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfer pada suatu saat. Cuaca menggambarkan keadaan atmosfer dalam jangka pendek (Achmadi, 2005). Iklim juga dapat digambarkan sebagai kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang dan secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (LAPAN, 2009). Iklim secara operasional didefinisikan sebagai deskripsi statistik dari unsur-unsur iklim seperti temperatur (suhu), presipitasi (hujan), angin, kelembaban, dan variasinya dalam rentang waktu mulai dari bulanan hingga jutaan tahun (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2009).

(3)

5 Unsur-unsur yang Mempengaruhi Perubahan Iklim

Perubahan iklim dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu :

1. Suhu

Suhu udara merupakan unsure iklim yang sangat penting. Suhu udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu (Tjasyono, 1992). Suhu diladang yang berumput berbeda dengan suhu ladang yang dibajak. Pengukuran suhu udara hanya memperoleh satu nilai yang menyatakan nilai rata-rata suhu atmosfir. Pada umumnya suhu maksimum terjadi sesudah tengah hari, biasanya antara pukul 12.00 sampai 14.00 dan suhu minimum terjadi pada pukul 06.00 waktu lokal dan sekitar matahari lokal. Suhu udara harian rata-rata diefinisikan sebagai rata-rata pengamatan selama 4 jam (satu hari) yang dilakukan setiap jam. Secara kasar, suhu maksimum dan suhu minimum ini kemudian dibagi menjadi dua. Suhu bulanan rata-rata adalah jumlah dari suhu harian dalam satu bulan dibagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut (Tjasyono, 2004).

2. Curah Hujan

Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Awan yang terbentuk sebagai hasil dari kondensasi uap air akan terbawa oleh angin sehingga berpeluang untuk tersebar keseluruhan permukaan bumi. Butiran air yang terebentuk mencapai ukuran yang cukup besar akan jatuh kepermukaan bumi. Proses jatuhnya butiran air atau kristal es disebut presipitasi. Butiran air yang berdiameter lebih dari 0,5 mm akan sampai ke permukaan bumi yang disebut dengan

(4)

6 hujan (Lakitan, 2002). Pada gerimis berukuran butiran air berdiameter 0,2 sampai 0,5 mm sedangkan ukuran butiran air yang kurang dari 0,2 mm tidak akan sampai ke permukaan bumi karena akan menguap dalam perjalannya menuju permukaan bumi.

3. Kelembaban

Kelembaban adalah jumlah rata-rata kandungan air keseluruhan (uap, tetes air, dan kristal es) di udara pada suatu waktu yang diperoleh dari hasil harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Sedangkan berdasarkan glossary of meteorology, kelembaban diartikan sebagai jumlah uap air diudara atau tekanan uap yang teramati terhadap tekanan uap jenuh untuk suhu yang diamati dan dinyatakan dalam persen (Neiiburger, 1995).

4. Kecepatan angin

Angin adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi. Udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan udara rendah (Tjasyono, 2004). Menurut Prawirowardoyo (1996) mendefinisikan angin sebagai gerak nisbi terhadap permukaan bumi. Kecepatan angin berubah dengan gerak nisbhi terhadap permukaan bumi. Kecepatan angin berubah dengan jarak diatas permukaan tanah dan perubahannya cepet pada paras (elevasi) rendah. Angin bukan arus yang stabil, melainkan arah yang variabel, kadang rebut kadang reda.

Dampak perubahan iklim bagi kesehatan ternak

Iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit. Perubahan iklim termasuk perubahan rata-rata suhu harian, kelembaban, arah dan kecepatan angin

(5)

7 membentuk pola musim seperti musim hujan, kemarau yang berkepanjangan, musim dingin, curah hujan yang luar biasa. Suhu panas yang berkepanjangan yang disertai kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan karena kepanasan terutama pada ternak yang dimanfaatkan untuk bekerja. Iklim mempengaruhi ekosistem habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara alamiah (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2009).

Secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya penyakit. Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agent penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodentia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan kondisi lingkungan ambient lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang berbeda (ICCSR, 2010).

Pengaruh Suhu terhadap Kejadian Trypanosomiasis

Perubahan suhu mempengaruhi populasi vektor yang dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan. Perubahan suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus terhadap spesies vektor dan organisme pathogen seperti protozoa, bakteri, dan virus sehingga dapat meningkatkan potensi transmisi penyebab penyakit (WHO, 2003). Peningkatan temperatur akan memperluas distribusi vector dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit menjadi infeksi (Lapan, 2009).

(6)

8 Pengaruh Curah Hujan terhadap Kejadian Trypanosomiasis

Curah hujan yang tinggi puncaknya saat musim penghujan, dan dapat menyebabkan banjir sehingga dapat mengkontaminasi air bersih. Curah hujan yang rendah biasanya terjadi pada musim kemarau. Dimana kemarau berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit yang disebabkan oleh vektor. Saat kondisi kemarau penjang dapat mengurangi persediaan air bersih sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit yang berhubungan dengan persediaan air bersih sehingga resiko penyakit semakin meningkat (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).

Pengaruh Kelembaban terhadap Kejadian Trypanosomiasis

Perubahan kelembaban mempengaruhi populasi vektor yang dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan. Pada musim hujan, kelembaban tinggi serta intensitas sinar matahari yang berkurang dapat menyebabakan mikroorganisme berkembang biak dengan baik dan membuat perkembangan lebih cepat untuk vektor seperti lalat, kecoa, dan tikus (WHO, 2003).

Pengaruh Kecepatan angin terhadap Kejadian Trypanosomiasis

Infeksi yang disebabkan oleh vektor penyakit, distribusi, dan peningkatan organisme vektor dan penjamu (host) dipengaruhi oleh faktor fisik seperti angin serta faktor biotik seperti vegetasi, spesies penjamu, predator, kompetitor, dan parasit (WHO,2003).

Karakteristik Kabupaten Brebes

Kabupaten Brebes berpotensi untuk mengembangkan ternak kerbau, karena kontribusi daging kerbau mencapai 40% dari total kebutuhan daging sapi.

(7)

9 Disamping untuk memenuhi produksi daging juga sebagai ternak kerja untuk membajak sawah.

(8)

10 Geografi

Brebes memiliki zona agroekosistem wilayah yang heterogen, mulai dari pantai sampai dataran tinggi. Wilayah Brebes terbentang dari pantai utara hingga ke perbukitan dibagian barat dan selatan Setiawan (2009) disitasi dari Herawati (2010). Kabupten Brebes secara astronomis terletak pada posisi 108° 41’ 37, 70° – 11’ 28,92° Bujur Timur dan 6° 44’ 56,50’ – 7° 20’ 51,48” Lintang Selatan dan terletak pada ketinggian 3000 m diatas permukaan laut. Kabupaten Brebes memiliki batas-batas sebagai berikut :

 Utara : Laut Jawa

 Timur : Berbatasan denagan Kabupaten Tegal dan Kota Tegal

 Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap

 Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat

Topografi

Kabupaten Brebes merupakan wilayah beriklim tropis dengan 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Adapun data suhu di Kabupaten Brebes, yakni :

 Suhu panas 24,5° C – 26,3° C memiliki ketinggian tempat 0- 300 m.dpl

 Suhu agak panas 21,4° C – 24,4° C memiliki ketinggian tempat 301 – 800 m.dpl

 Suhu sejuk 17,2° C – 21,3° C memiliki ketinggian tempat 801 – 1500 m.dpl

Kerbau memiliki kemampuan untuk menetralisir temperature lingkungan dengan berendam (Herawati, 2010).

(9)

11 Luas Wilayah

Secara administratif Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 1.902,37 km2. Kabupaten Brebes terdiri dari 17 Kecamatan dengan 8 Kelurahan dan 292 Desa. Kabupaten Brebes merupakan Kabupaten dengan luas ke-2 di Jawa Tengah (Herawati, 2010).

Lalat Tabanus sp

Dalam Lalat Tabanus sp memiliki peran sebagai vektor mekanik penyakit Surra di Indonesia. Lalat ini merupakan lalat penghisap darah famili Tabanidae merupakan vektor yang baik dibandingkan dengan lalat atau nyamuk famili Muscidae seperti Stomoxys sp (Diskerson dan Lavoipierre, 2004).

Morfologi

Lalat Tabanus sp merupakan lalat yang besar dengan ukuran 5 – 25 mm, tegap dan penerbang yang kuat, benangan sayap mencapai 6,5 mm. Pada Lalat Tabanus sp memiliki warna yang bervariasi diantaranya coklat, kuning, kemerahan, hitam, dan hijau dengan garis abdomen yang terang seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Morfologi lalat Tabanus sp

Mulut lalat Tabanus sp penggigit dan penghisap darah berbentuk seperti gunting. Pada lalat Tabanus sp betina antena ada yang panjang ada yang pendek,

(10)

12 dan mata yang berkembang biak. Sedangkan pada lalat Tabanus sp jantan mata tidak bekembang. (Diskerson dan dan Lavoipierre, 2004).

Siklus Hidup

Telur diletakkan oleh lalat Tabanus sp betina pada tumbuhan, batuan memanjang yang diselimuti bahan tahan air. Dalam satu kelompok telur terdiri dari 200 hingga 1000 telur dari 3 – 4 lapisan. Telur dapat berwarna abu-abu, putih, bahkan coklat kehitaman yang berbentuk seperti cerutu dengan panjang 1 – 2,5 mm yang akan menetas sekitar 5 – 14 hari (Diskerson dan Lavoipierre, 2004).

Gambar 2. Siklus hidup lalat Tabanus sp

Pada gambar 2. terlihat larva berbentuk silindris dengan kedua ujung meruncing, berwarna coklat, putih, dan kehijauan dengan kepala yang kecil. Sepasang penonjolan mencolok di tengah dan dua pasang di bawah perut. Larva akan melalui 7 – 11 bentuk insar yang dapat memakan waktu beberapa bulan sampai setahun. Ganti kulit yang pertama terjadi setelah larva yang baru keluar dari telur menyentuh lumpur. Larva dapat berkembang pada suhu 32º - 35º C. Larva melengkapi siklus hidupnya dalam 10 – 11 minggu. Larva Tabanus sp bersifat hemihidrobion yaitu memilih tempat yang dekat dengan air. Larva yang

(11)

13 telah mencapai bentuk instar terakhir memiliki panjang 1 – 6 cm yang kemudian akan mencari tempat yang lebih kering untuk menjadi pupa (Service, 2008).

Pupa berukuran 7 – 40 mm, abdomen yang terbagi pada 8 segmen. Segmen pertama sampai ketujuh dilengkapi dengan sepasang spirakel di lateral sedang pada segmen kedua hingga keenam dikelilingi duri kecil yang mengarah ke belakang. Stadium pupa sekitar 5 - 20 hari tergantung spesies dan temperature sekitar. Suhu ambang 5,7 - 10,1ºC sedangkan stadium pupa berlangsung antara 92 - 192 hari (Pavlova, 2004).

Lalat dewasa yang baru keluar dari pupa akan melakukan kopulasi sebelum menghisap darah. Peristiwa kopulasi terjadi pertama pengelompokan lalat jantan menarik perhatian lalat betina yang memasuki kelompok itu untuk melakukan kopulasi di udara dan berakhir diatas tanah dalam 5 menit. Lalat betina yang sudah melakukan kopulasi segera menghisap darah untuk perkembangan ovariumnya. Lalat Tabanus sp bersifat otogenus yakni menghisap darah untuk menghasilkan kelompok telur kedua dan selanjutnya. Ovogenesis terjadi setelah lalat Tabanus sp betina makan darah. Lalat jantan dan betina membutuhkan gula untuk kelangsungan hidupnya dari tumbuhan. Kopulasi lalat dewasa dapat hidup selama 3 - 4 minggu dan menghasilkan 5 - 6 kelompok telur. Lalat Tabanus sp aktif pada cuaca terang dan hangat. Hampir semua lalat Tabanus sp beraktifitas pada siang hari (Hadi, 2010).

Surra (Trypanosomiasis)

Tryanosomiasis adalah satu penyakit infeksi yang terjangkit secara endemik pada hewan ternak. Surra (Trypanosomiasis) yang disebabkan oleh

(12)

14 Trypanosoma evansi, merupakan salah satu penyakit parasit darah yang penting dan secara sporadik menyebar diseluruh wilayah Indonesia. Parasit ini telah ditemukan di Indonesia sejak 1808 (De Does 1990 dalam Partoutomo, 1996b) tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi dan kerbau belum banyak terungkap. Penyakit ini ditularkan dari hewan satu ke lainnya oleh gigitan lalat penghisap darah yang bertindak sebagai vektor, terutama Tabanus sp dan lalat Haematopota spp. Payne et al. (2011) berpendapat bahwa kejadian wabah Surra secara luas di Indonesia hanya sapordik terlokalisasi yang mungkin menyiratkan bahwa parasit itu telat membentuk stabilitas enzootik.

Etiologi

Sub Kingdom : Protozoa

Filum : Sarcomastigophora Sub Filum : Mastigophora

Kelas : Zoomastigophorasida Ordo : Kinetoplastorida Famili : Trypanosomadidae Genus : Trypanosomatidae Sub Genus : Trypanozoon

Spesies : Trypanosoma evansi

Habitat : Pembuluh darah, pembuluh limfe, cairan otak

Induk semang : Kuda, unta, anjing, hewan ternak (sapi dan kerbau) Anonim (2012) disitasi dari Daris (2015).

(13)

15 Morfologi

Genus Trypanosoma merupakan parasit tripomastigot yang memiliki panjang (12-30μm) dengan daur hidup yang secara morfologis sangat kompleks. Pada bentuk khas genus ini reservoir terletak sedikit posterior dari inti. Kinetoplas disebelah posterior dari dasar reservoir, suatu masa yang padat electron terdiri dari serabut-serabut yang berjalan dari anterior ke posterior membentuk suatu massa kompak, berbatas tegas melintasi kinetoplast Flagelum melekat pada tubuh denga suatu membrane undulans. Daur hidupnya biasanya melibatkan hospes vertebrata dan invertebrata. Trypanosoma evansi biasanya terdapat didalam cairan darah tubuh vertebrata terutama didalam plasma, dan didalam alat pencernaan (Fred, 2009).

Trypanosoma evansi mampu mengelabuhi respon imun yaitu terletak pada kemampuannya untuk terus–menerus mengubah sifat antigenik permukaan dinding selnya. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein, lapisan ini atau secara khusus disebut variant surface glycoprotein (VSG) yang membentuk dinding sel parasit dapat berubah-ubah sehingga menyulitkan hewan yang terserang untuk mengatasi infeksi melalui sistem kekebalannya. VSG ini dapat berubah setiap 4-7 hari sekali dan hasilnya adalah variable antigenik tipe yang baru (Davison et al., 2006). Perubahan struktur antigenik ini menimbulkan terjadinya gelombang parasitemia fluktuatif. Menurut Woo (2013) bahwa Trypanosoma sp setelah infeksi biasanya bertambah dalam darah perifer secara berkala disertai demam. Parasitemia muncul dalam darah perifer secara sporadis relatif dalam jumlah kecil.

(14)

16 Pada sapi dan kerbau, Surra sering muncul sebagai penyakit bersifat kronis sehingga jumlah Trypanosoma evansi dalam darah perifer sangat rendah akan terjadi variasi antigenik dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein yang ditampilkan oleh Trypanosoma evansi (Omanwar et al., 2010). Trypanosoma evansi hidup dan bergerak dalam plasma darah atau cairan jaringan induk semang. Mereka memanjang, ramping, dan meruncing dikedua ujungnya. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein. Protozoa ini memiliki distribusi geografi dan cangkupan inang yang luas dibandingkan Trypanosoma pathogen lainnya (Noble dan Noble, 2011).

Bangkitnya penyakit Surra di Indonesia dipermudah karena Indonesia beriklim tropis. Cuaca panas dan lembab iklim tropis merupakan predisposisi kejadian penyakit ini. Kerbau sakit Trypanosomiasis akan menunjukkan kurang nafsu makan dan kepala berputar-putar. Kerugian utama akibat infeksi Trypanosomiasis pada kerbau berupa penurunan bobot badan, daya reproduksi rendah, keterlambatan pertumbuhan (anak kerbau menjadi kerdil), penurunan daya kerja, dan kematian (Fred, 2009).

Sedangkan faktor yang berpengaruh atas penyebaran dan patogenesis parasit antara lain adanya jenis hewan karier, umur hewan (anak umumnya memiliki maternal antibodi), serangga yang bertindak sebagai vektor dan ada tidaknya pengaruh stress. Stres merupakan fenomena yang sejak lama diduga sebagai faktor penyebab timbulnya wabah Trypanosomiasis (Partoutomo et al., 1996b). Faktor dimaksud antara lain pakan, bahan kimia, dan penggunaan ternak

(15)

17 untuk mengerjakan sawah. Disamping itu faktor pemicu lain sebagai penyebab terjadinya Surra klinis atau wabah adalah perbedaan respon imunologik yang terdapat antara ternak yang pernah dan belum pernah terinfeksi (Losos, 2008).

Siklus Hidup

Genus Trypanosoma memiliki panjang (12-30μm) dengan daur hidup yang secara morfologis sangat kompleks. Pada bentuk khas genus ini reservoir terletak sedikit posterior dari inti. Jumlah parasit ini didalam satu hospes dapat sangat banyak. Sebanyak 20 juta sampai 4 miliyar Trypanosoma sp dapat ditemukan didalam darah hewan, 100 jam setelah terinfeksi. Hubungan antara jumlah dan infektifitas Trypanosoma selama perkemabangan normal flagelata ini didalam vektor dan hospes mamalia ternyata sangat bervariasi. Demikian pula spesifitas hospes juga bervariasi (Maya, 2014).

Menurut Sukanto (2014) lalat memindahkan Trypanosoma evansi pada saat menghisap makanan atau darah pada tubuh hewan, karena terganggu lalat tersebut kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat selama 30 menit sampai enam jam. Didalam tubuh vektor, dimulai sejak lalat penghisap darah penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon (mikro dan makro) – gamet, didalam tubuh lalat makrogamet akan secara aktif mencari mikrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah untuk membentuk ookista, ookista mengalami proses pembentukan sporozoit dengan membelah

(16)

18 berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan sporozoit, sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif.

Pada tubuh hewan yang peka maka dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah, sporozoit yang berada didalam kelanjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran darah, kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati, dan paru-paru) serta dalam ruangan darah berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas, thymus, otot-otot, usus, trachea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak). Sporozoit mengalami proses merogoni (pembentuksn merozoit) dengan cara pembelahan berlipat ganda (skizigoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit. Merogoni berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogoni (pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah (mikro dan makro) - gamet. Sehingga gamet inilah yang akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah (Sukanto, 2014)

Diagnosis

Dalam mendeteksi penyakit Surra biasanya digunakan tes diagnostic secara parasitologi seperti Microhematokrit Centrifugal Techique (MHCT), inokulasi pada hewan percobaan mencit, dan ulas darah. Selain diagnose juga dapat dilakukan secara serologi yakni dengan metoda Card Aggultiantion Trypanosoma evansi Test (CATT), Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA. Damayanti (2003) disitasi dari Husein (2011).

Pada kondisi laboratorium tes diagnostic secara ELISA dan CATT dapat mendeteksi antibody atau antigen Trypanosoma evansi segera setelah infeksi. Uji MHCT sudah standar dan bagus untuk digunakan mendiagnosa kerbau. Uji ini cukup sensitif mendeteksi infeksi dini. Uji Ab-ELISA mendeteksi adanya antibodi

(17)

19 mulai minggu ke-2 pasca infeksi, sedang Ag-ELISA memberi harapan paling sensitif mendeteksi sel mati dari parasit. Davison et al (2006) telah mengevaluasi Ag-ELISA menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi memiliki sensitivitas yang tinggi dibanding dengan Uji MHCT.

Sementara CATT ialah uji aglutinasi langsung untuk mendeteksi adanya antibodi Trypanosoma evansi dalam serum atau plasma hewan penderita (Solihat et al., 1996) disitasi dari Husein (2011). CATT bagus untuk digunakan dilapangan karena memiliki angka sensitivitas dan spesifitas yang cukup baik. Ab-ELISA baik dipakai untuk skrening awal sejumlah sampel sehingga hasil evalusi agar lebih akurat dan ternak yang beresiko dapat diidentifikasi dan CATT untuk mengonfirmasi (Davison et al., 2006) disitasi dari Daris (2015)

Epidemiologi

Dalam menyelidiki adanya penyakit penyebab Trypanosoma evansi ini ialah peranan faktor-faktor lingkungan, hospes, serta agen pembawa sebagai penyebab penyakit yang ada dalam Postula Evans (Martin et al., 2012). Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai hewan inang (widehost spectrum) yang secara ekonomis bernilai penting, faktor penyebab Trypanosomiasis sangat berguna untuk menentukan penyebab penyakit selanjutnya dengan metode yang efektif untuk pengendalian penyakit tersebut sehingga dapat menekan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan (Oka, 2010).

(18)

20 Patogenesis

Widyastuti et al. (2002) menyatakan bahwa vektor utama adalah Tabanus sp namun lalat lain juga dapat menularkan flagelata ini secara mekanis. Cara penularan Trypanosomiasis dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama adalah penularan langsung (golongan anterior station) yang terjadi secara mekanis oleh stadium infeksinya melalui proboscis lalat yang menggigit dan mengandung parasit misalnya Trypanosoma evansi. Kedua, penularan secara tidak langsung (golongan posterior station) yaitu Trypanosoma evansi harus mengalami pertumbuhan siklik didalam seekor serangga penghisap darah sebelum terjadi infektif (Hadi, 2010).

Setelah memasuki peredaran darah, Trypanosoma evansi akan segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang di makan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Gejala klinis infeksi yang sering terjadi akibat Trypanosomosis ini adalah anemia (Noble dan Noble, 2011).

Menurut Partoutomo et al. (1996a) gejala kronis Trypanosomiasis pada kerbau berupa bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus, serta nampak lemah, dan menunjukkan tanda-tanda paresis. Infeksi kronis juga ditandai dengan kenaikan suhu badan antara hari ke 1 - 5 pasca infeksi yang selanjutnya suhu

(19)

21 badan berfluktuasi pada nilai normal. Payne et al. (2011) berpendapat bahwa faktor pemicu terjadinya Surra antara lain cara pemeliharaan, hewan dalam transportasi, serta ada atau tidaknya infeksi campuran. Infeksi campuran parasit darah Trypanosoma evansi dengan kudis atau neoaskaris merupakan salah satu penyebab kerbau kerdil. Selain itu, infeksi akibat parasit darah Trypanosoma evansi dilaporkan dapat menimbulkan imunosupresi atau menurunnya tangga kebal inang atau disebut juga keadaan alergi klinis (Mackenzie, 2007).

Cara Penularan

Penularan penyakit Surra antar hewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit Trypanosoma evansi. Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Meskipun penularan terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen Trypanosoma evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup didalam tubuh lalat (Anonim, 2009). Kebutuhan hidup protozoa ini dengan mengambil gula dalam darah korbannya sebagai bahan energi. Jika inang tidak dapat mengimbanginya maka lama kelamaan akan terjadi penurunan gula darah dan mengakibatkan gangguan kesehatan pada inangnya. Gangguan-gangguan ini terjadi disamping sebagai akibat dari berkurangnya kadar glukosa dalam darah, juga sebagai akibat naiknya asam laktat serta tripanotoksin (dihasilkan oleh parasit) sehingga eritrositnya lisis. Peluang meningkatnya infeksi parasit dapat disebabkan oleh densitas populasi ternak yang peka terhadap parasit, kemampuan penyebaran, dan peluang penyebaran vektor yang tinggi (Koesdarto, 2002).

(20)

22 Pencegahan dan Kontrol

Pencegahan dan kontrol terhadap penyakit Trypanosomiasis telah dilakukan oleh peternak dan dinas terkait. Pengendalian Surra (Trypanosomiasis) masih tergantung pada pengobatan dan hanya diberikan kepada hewan yang menderita infeksi aktif. Para pemeliharaan kerbau menggunakan insektisida untuk mengusir lalat (vektor). Hewan karier masih sulit untuk diberi obat karena tidak menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik, menyebabkan pengobatan tidak dapat diaplikasikan secara efektif. Obat trypanocidal yang sudah digunakan untuk mengobati penyakit Surra diberbagai negara adalah surramin, diminazene acceturate, dan isomedium (Muharsini et al., 2006) disitasi dari Husein (2011).

Manajemen Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan dapat dibagi menjadi tiga yaitu pemeliharaan ekstensif, pemeliharaan intensif, dan pemeliharaan semi intensif. Sistem pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan yang melakukan aktivitas perkawinan, pembesaran, dan penggemukan di lahan penggembalaan. Pemeliharaan intensif yaitu pemeliharaan ternak dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry (Parakassi, 1999). Pemeliharaan intensif ini bertujuan untuk mendapatkan performa dari ternak yang optimal, namun biaya yang dikeluarkan tinggi. Pemeliharaan semi intensif yaitu pemeliharaan ternak yang pada siang hari digembalakan di lahan penggembalaan, kemudian pada malam hari dikandangkan.

(21)

23 Pemeliharaan semi intensif inilah yang banyak diterapkan pada masyarakat di Indonesia. Ternak kerbau di Indonesia pada umumnya mempunyai beberapa kegunaan, yaitu sebagai ternak penggarap sawah, sebagai ternak penarik beban, sebagai ternak penghasil daging, sebagai ternak penghasil susu, sebagai ternak penghasil pupuk kandang (Departemen Pertanian, 1986).

Pakan Hijauan Rumput Gajah

Hijauan sebagai bahan pakan ternak, merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan ternak terutama ternak ruminansia. Salah satu jenis rumput unggul yang sangat dikenal oleh masyarakat adalah rumput gajah. Rumput gajah adalah salah satu rumput yang produksinya sangat tinggi, sebagai rumput potongan, dan cocok untuk diawetkan dalam bentuk silase. Pada musim hujan rumput gajah tumbuh subur dan bahkan berlebih untuk digunakan sebagai pakan, tetapi pada musim kemarau pertumbuhan dan produksinya menurun. Kandungan lemak kasar rumput gajah yaitu 1,04% (Lubis, 1992).

Rumput gajah berasal dari Afrika Tropis. Rumput gajah merupakan keluarga rumput-rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak pemamah biak (ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Di Indonesia, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak. Klasifikasi rumput gajah menurut Anonim (2017) adalah sebagai berikut:

Phylum : Spermatophyta Sub phylum : Angiospermae

(22)

24 Class : Monocotyl

Ordo : Glumiflora Family : Graminae Sub Family : Panicoldea Genus : Pennisetum

Spesies : Pennisetum purpureum

Rumput gajah secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang tanaman ini dapat mencapai 2-4 meter (bahkan mencapai 6-7 meter), dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas/buku. Rumput gajah tumbuh berbentuk rumpun dengan lebar rumpun hingga 1 meter.

Kemampuan produksi mencapai 150-200 ton/ha/tahun. Dengan kandungan zat-zat makanan kasar 10,9% protein, 15 % serat kasar, 42,9% bahan ekstrak tanpa nitrogen dan 1,64 % lemak (Rismunandar, 1989). Rumput gajah dapat dipanen pada umur 40 hari atau sebelum rumput berbunga (Anonim, 2016). Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 ton/ha/tahun, dengan kandungannya yaitu protein kasar 13,5%, lemak 3,4%, NDF 64,28%, abu 15,8 %, Ca 0,13%, dan fosfor 0,37%. Rumput gajah pada umur 43 hari sampai dengan 56 hari mengandung air 82,5 (%), protein 9,3 (%), lemak 2,1 (%), serat kasar 32,9 (%), BETN 42,8 (%), Abu 15,2 (%), Ca 0,52 (%), dan fosfor 0,31 (%) (Anonim, 2016).

(23)

25 Jerami Padi

Di Indonesia, limbah tanaman padi (jerami padi) tersedia dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah untuk diperoleh sebagai pakan ternak.

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Jerami Padi

Uraian Jerami Padi

Bahan kering (BK) (%) 91,9

Protein kasar (% BK) 5,36

Lemak kasar (% BK) 0,91

Abu (% BK) 21,51

Acid detergent fiber (ADF) 68,50 Neutral Detergent Fiber (NDF) 74,86

Kalsium 0,26

Fosfor 0,02

Sumber: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak (2005)

Pada tabel.1 dapat dilihat bahwa kandungan serat kasar jerami padi memiliki sangat tinggi. Rendahnya kualitas jerami padi terutama disebabkan tingkat lignifikasinya yang tinggi menyebabkan daya cernanya menjadi rendah, sehingga memberikan pertumbuhan yang rendah pada ternak yang mengkonsumsinya.

Konsentrat

Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau pakan pelengkap (Hartadi, 1991). Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau dari tanaman seperti serealia (misalnya jagung, padi, atau gandum), kacang-kacangan (misalnya kacang hijau atau kedelai), umbi-umbian (misalnya ubi kayu atau ubi jalar), dan buah-buahan (misalnya kelapa atau kelapa sawit). Konsentrat

(24)

26 juga dapat berasal dari hewan seperti tepung daging dan tepung ikan. Disamping itu juga dapat berasal dari industri kimia seperti protein sel tunggal, limbah, atau hasil produksi bahan pangan seperti dedak padi dan pollard, hasil ikutan proses ekstraksi seperti bungkil kelapa dan bungkil kedelai, limbah pemotongan hewan seperti tepung darah dan tepung bulu (Anonim, 2017).

Vitamin

Vitamin adalah zat–zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2009).

Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari enzim. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein. Hingga sekarang fungsi biokimia beberapa jenis vitamin belum diketahui dengan pasti (Almatsier, 2009). Banyak sekali macam-macam vitamin, yaitu :

1. Lysine

Lysine adalah salah satu asam amino esensial yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta untuk metabolisme protein. Lysine tidak dapat disintesis tubuh, jadi harus ada

(25)

27 dalam makanan sehari–hari agar kebutuhan tubuh akan lysine dapat terpenuhi (Almatsier, 2009).

2. Vitamin A

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang ditemukan pertama kali. Beberapa fungsi vitamin A sebagai berikut :

a. Penglihatan

Kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia di dalam darah untuk membentuk rodopsin. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan oleh kekurangan vitamin A (Almatsier, 2009).

b. Diferensiasi sel

Diferensiasi sel terjadi bila sel–sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang dapat terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh. Pada diferensiasi sel terjadi perubahan dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan dengan perubahan perwujudan gen–gen tertentu. Sel–sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel–sel epitel khusus, terutama sel–sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Semua permukaan tubuh, di luar dan di dalam dilapisis oleh sel–sel epitel. Jaringan epitel yang menutupi tubuh di luar dinamakan epidermis, sedangkan yang menutupi bagian dalam

(26)

28 dinamakan membran mukosa, yaitu yang menutupi permukaan dalam saluran cerna, saluran sinus, dan sebagainya. Mukus melindungi sel– sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya (Almatsier, 2009).

c. Fungsi kekebalan

Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada hewan. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral) (Almatsier, 2009).

d. Pertumbuhan dan perkembangan

Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada hewan yang sedang mengalami masa pertumbuhan apabila kekurangan vitamin A akan terjadi kegagalan dalam pertumbuhan. Vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat (Almatsier, 2009).

3. Vitamin B1 (Tiamin)

Almatsier (2009) mengemukakan tiamin dalam bentuk Koenzim Tiamin Pirofosfat atau Trifosfat memegang peranan esensial dalam transformasi energi, konduksi membran dan saraf serta dalam sintesis pentosa dan bentuk koenzim tereduksi dari niasin. Tidak ada keuntungan

(27)

29 mengkonsumsi tiamin melebihi kecukupan yang dianjurkan, karena kelebihan akan diekskresi. Sebaliknya, kelebihan konsumsi tiamin tidak akan menimbulkan bahaya keracunan. Kekurangan tiamin dapat terjadi karena kurangnya konsumsi (biasanya disertai kurang konsumsi energi), gangguan absorpsi, ketidak mampuan tubuh menggunakan tiamin, ataupun karena kebutuhan energi meningkat. Kekurangan tiamin terlihat kurang nafsu makan, kecanduan alkohol kronis, dan gangguan absorpsi. Gejala klinis kekurangan tiamin menyangkut sistem saraf dan jantung.

4. Vitamin B2 ( Riboflavin)

Kekurangan riboflavin bisa terjadi secara bersamaan dengan kekurangan vitamin larut air lain. Tanda–tanda kekurangan bisa terjadi sebagai akibat kekurangan zat giai lain, anda–tanda awal kekurangan riboflavin antara lain mata panas dan gatal, tidak tahan cahaya, kehilangan ketajaman mata (Almatsier, 2009).

5. Vitamin B6

Piridoksin berada dalam otak dalam konsentrasi tinggi walaupun pada taraf plasma rendah. Kelainan otak seperti demensia mungkin disebabkan oleh kurangnya pengambilan vitamin-vitamin tertentu terutama vitamin B6 oleh otak. Kekurangan vitamin B6 berat dapat

menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Konsumsi vitamin B6

dalam jumlah berlebihan selama berbulan–bulan akan menyebabkan kerusakan syaraf yang tidak dapt diperbaiki, dimulai dengan semutan pada

(28)

30 kaki, kemudian mati rasa pada tangan dan akhirnya tubuh tidak mampu bekerja (Almatsier, 2009).

6. Vitamin B12 (Kobalamin)

Kekurangan vitamin B12 jarang terjadi karena kekurangan dalam

makanan, akan tetapi sebagian besar akibat penyakit saluran cerna atau pada gangguan absorpsi dan transportasi. Karena vitamin B12 dibutuhkan

untuk mengubah folat menjadi bentuk aktifnya, salah satu gejala kekurangan vitamin B12 adalah anemia karena kekurangan folat

(Almatsier, 2009). 7. Vitamin C

Vitamin C telah dikenal sebagai antioksidan potensial yang mampu menangkap radikal bebas dalam tubuh serta mencegah hiperpigmentasi. Radikal bebas dalam tubuh sendiri dapat meningkat pada kondisi tubuh yang telah tua maupun karena paparan sinar matahari yang berlebihan. Peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stres psikologik atau fisik, seperti pada luka, panas tinggi, atau suhu lingkungan tinggi (Juzenene dan Moah, 2012).

8. Vitamin D

Vitamin D mencegah dan menyembuhkan riketsia, yaitu penyakit di mana tulang tidak mampu melakukan kalsifikasi. Vitamin D dapat dibentuk tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup sinar matahari konsumsi vitamin D melalui makanan tidak dibutuhkan. Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan pemeliharaan

(29)

31 tulang bersama vitamin A dan vitamin C. Fungsi khusus vitamin D dalam hal ini adalah membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium dan fosfor tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses pengerasan tulang. Kekurangan vitamin D menyebabkan kelainan pada tulang Kaki membengkok, ujung–ujung tulang panjang membesar (lutut dan pergelangan), tulang rusuk membengkok (Almatsier, 2009).

9. Vitamin E

Vitamin E adalah nutrisi esensial yang berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh. Defisiensi vitamin E dapat menimbulkan gejala neurologi (Sesso et al., 2008).

10. Vitamin B-kompleks

Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang berperan dalam memperbaiki stamina tubuh. Vitamin B kompleks memiliki manfaat yang sangat banyak untuk tubuh yang berkaitan dengan energi. Menurut Sandjaja dan Atmarita (2009), pemberian larutan vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B9 (asam folat) dapat mempercepat petumbuhan janin, mempercepat regenerasi sel, pembentukan sel darah merah, dan menjaga kekebalan tubuh. Menurut Sulaksono (2013), kelebihan mengonsumsi vitamin B-kompleks juga dapat menyebabkan efek samping negatif pada tubuh. Konsumsi asam folat pada dosis yang tidak terkontrol dapat menimbulkan gangguan sistem saraf dan berakibat pada kematian.

(30)

32 Kencernaan Rumput pada Kerbau

Ternak kerbau mempunyai kemampuan yang luar biasa dan spesifik dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas

Tabel 2. Komparatif Feeding Behavior dan Fisiologi Pencernaan Kerbau dan Sapi

Karakteristik Kerbau Sapi

Jenis Pakan Sembarang/apa saja Terbatas/selektif Konsumsi bahan kering pakan Relatif sedikit Relatif banyak

Pola makan Merumput Merumput

Level selektifitas terhadap pakan Kurang selektif Lebih selektif Kapasitas rumen/perut Lebih besar Relatif kecil Pergerakan rumen Relatif lambat Relatif cepat Kecernaan Lebih efisien Kurang efisien

Laju Pakan Lama Cepat

Habitat Semi-aquatik Daratan kering

Sumber : Mudgal (1999); Devendra dan Imaizumi (1989); Wanapat (1989)

Tabel.2 memberi petunjuk bahwa ternak kerbau memiliki potensi yang relatif mudah dari segi kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behaviour, sehingga akan cocok hidup pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau yang relatif besar (Devendra dan Imaizumi, 1989).

Mudgal (1999) menjelaskan bahwa ternak kerbau sangat tahan mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan temperatur (heat load) atau perubahan fenologi vegetasi padang rumput.

Sanitasi

Sanitasi adalah suatu kegiatan meliputi kebersihan kandang dan lingkungannya, karena dengan keadaan kandang serta lingkungan yang bersih, kesehatan ternak maupun pemilikannya akan terjamin. Sanitasi merupakan salah satu komponen utama biosekuriti. Beberapa tindakan dalam sanitasi antara lain

(31)

33 kebersihan kandang, kebersihan halaman kandang, kebersihan tempat pakan, kebersihan tempat minum, serta kebersihan sumber air ataupun pakan (Liptan, 2010).

Gambar

Gambar 1. Morfologi lalat Tabanus sp
Gambar 2. Siklus hidup lalat Tabanus sp
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Jerami Padi
Tabel 2. Komparatif Feeding Behavior dan Fisiologi Pencernaan Kerbau dan Sapi

Referensi

Dokumen terkait

Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk memberi kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik atau penyakit kronis, agar

Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau, ikan laut) yang disuwir-suwir dengan berbentuk serabut atau dipisahkan dari seratnya..

Darah dari cabang – cabang arteri hepatika dan vena porta tersebut mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid;

Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi akibat pankreas tidak cukup memproduksi insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan secara efektif insulin

Adalah memungkinkan untuk mengakses (atau mengkanulasi) pembuluh darah yang lebih besar ini bahkan ketika vena perifer sudah kolaps, dan vena ini memungkinkan pemberian larutan

Pada gagal jantung kanan yang kronis, ventrikel kanan tidak lagi mampu memompa darah secara adekuat sehinga terjadi peningkatan tekanan diastol yang

Menurut studi jantung Framingham menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar kolesterol LDL dalam darah maka risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner semakin

Nyeri lateral elbow ditandai dengan inflamasi akibat robekan microscopic pada tendon periosteal yang bersifat akut atau kronis dan pembentukan jaringan yang abnormal pada