• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN NOTARIS DALAM PROSES PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN NOTARIS DALAM PROSES PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NO"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERANAN NOTARIS DALAM PROSES PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

A. Proses peningkatan status anak luar kawin menjadi anak sah 1. Pengakuan Anak Luar Kawin

Untuk melakukan proses peningkatan status anak luar kawin menjadi anak sah dapat dilakukan dengan cara mengakui anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang biasa disebut dengan proses pengakuan anak luar kawin.

Pengakuan anak merupakan pengakuan yang dilakukan oleh bapak atau ibunya atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Tentunya saat ini dengan mengingat Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dimana bagi seorang ibu, untuk timbulnya hubungan hukum antara diri dan anaknya, tidak lagi dibutuhkan adanya pengakuan terhadap anak.

Meskipun ada ketentuan yang memungkinkan seorang laki-laki atau bapak melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan ibu. Pasal 284 K.U.H.Perdata menyatakan bahwa suatu pengakuan terhadap anak luar kawin, selama hidup ibunya, tidak akan diterima jika si ibu tidak menyetujui.

Ketentuan mengenai pengakuan anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 280 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya.

(2)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi dua jenis pengakuan anak, yaitu:

a). Pengakuan secara sukarela;

Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin, dirumuskan sebagai pernyataan yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya.23

Pengakuan secara sukarela merupakan pernyataan kehendak yang dilakukan oleh seseorang menurut cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang bahwa ia adalah ayah atau ibu dari seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Untuk pengakuan ini yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit.

Anak yang dilahirkan karena perzinahan sama sekali tidak ada kemungkinan diakui karena bertentangan dengan norma kesusilaan. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 283 K.U.H.Perdata.

b). Pengakuan secara terpaksa.

Pengakuan secara terpaksa diatur dalam Pasal 287-289 K.U.H.Perdata. Hal ini terjadi dengan suatu putusan Pengadilan apabila hakim dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak, atas dasar persangkaan, bahwa seorang laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan.

Pasal 287 ayat (2) K.U.H.Perdata mengatakan bahwa:

Sementara itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288, Pasal 294, atau Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka atas tuntutan mereka yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakansebagai bapak dari si anak.

(3)

Jadi, Hakim menetapkan, bahwa orang laki-laki tertentu adalah bapak dari seorang anak tertentu. Ketetapan seperti itu membawa akibat pengakuan dari laki-laki yang bersangkutan terhadap anak tertentu. Karena didasarkan atas Ketetapan Pengadilan, maka pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atas dasar terpaksa, yang secara tata bahasa sebenarnya kedengaran janggal.24

Gugatan juga dapat diajukan terhadap ibu dengan memperbolehkan mengadakan penyelidikan mengenai siapa ibu anak itu untuk digugat agar ia mengakui anak luar kawin tersebut. Dengan ketentuan, bahwa si anak harus dapat membuktikan, bahwa ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu, dan si anak tidak diperbolehkan membuktikannya dengan saksi kecuali kiranya telah ada bukti permulaan dengan tulisan.(Pasal 288 K.U.H.Perdata).

Pasal 289 mengatakan “ Tiada seorang anak pun diperbolehkan menyelidiki siapakah bapak atau ibunya, dalam hal-hal bilamana menurut Pasal 283 pengakuan terhadapnya tak boleh dilakukan.” Jadi berdasarkan pasal tersebut hanya anak luar kawin dalam arti sempit saja yang dapat mengajukan gugatan pengakuan yang dipaksakan (secara terpaksa).

2. Cara Pengakuan Anak Luar Kawin

Berdasarkan Pasal 281 K.U.H.Perdata pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara secara sukarela, yaitu:

a. Di dalam Akta Kelahiran anak yang bersangkutan:

Pengakuan oleh seorang ayah, yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan, pada waktu si ayah melaporkan kelahirannya.

b. Di dalam Akta Perkawinan orang tuanya:

(4)

Lelaki dan perempuan yang melakukan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk menikah secara sah dan sekaligus mengakui anak luar kawinnya.

c. Di dalam Akta Otentik:

Karena pengakuan itu baru sah kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Pencatatan Sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan, maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat kita katakan, bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik.25 Karena tidak diisyaratkan, bahwa akta otentik yang bersangkutan maksudnya yang dibuat di hadapan Notaris harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapat diberikan di dalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris. Kita secara tegas menyebutkan wasiat umum karena wasiat olographisch di buat di bawah tangan dan karenanya tidak memenuhi syarat Pasal 281 K.U.H.Perdata.26

3. Pengesahan Anak Luar Kawin

Kemudian langkah selanjutnya dari proses peningkatan status anak luar kawin, apabila anak luar kawin hendak disahkan menjadi anak sah adalah dengan adanya pengesahan. Masalah pengesahan anak ini diatur dalam K.U.H.Perdata Bagian ke-2 Bab XII, Buku I. Pengesahan mana hanya berlaku terhadap anak luar kawin dalam arti sempit.

Undang-Undang sendiri tidak memberikan perumusan mengenai apa itu tindakan mengesahkan anak. Namun, dengan mendasarkan pada ketentuan yang ada, terutama Pasal 277 K.U.H.Perdata, kita bisa menyimpulkan, bahwa pengesahan merupakan sarana hukum, dengan mana seorang anak luar kawin diubah status hukumnya sehingga mendapatkan hak-hak seperti yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang anak sah.27

25 Ibid., hal. 116. 26 Ibid., hal. 117. 27 Ibid., hal. 172.

(5)

Pengesahan ini dilakukan dengan syarat ayah yang mengakui anak luar kawinnya menikah dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut (pernikahan). Tanpa dipenuhinya syarat pernikahan maka pengakuan yang sebelumnya sudah diberikan oleh si ayah, tidak akan mendapat efek seperti yang disebutkan pada Pasal 277 K.U.H.Perdata.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pengesahan dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Karena adanya pengakuan dan Perkawinan orang tua (Pasal 272 K.U.H.Perdata);

Pasal 272 menyatakan:

“ Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah atau sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan.”

Ini berarti jika seorang anak dibenihkan di luar perkawinan maka ia mendapatkan kedudukan sebagai anak sah jika sebelum perkawinan orang tuanya telah mengakui anak itu. Pengakuan ini dapat dilakukan sebelum perkawinan atau sekaligus dimasukkan dalam akta perkawinan. Tetapi suatu pengakuan yang dilakukan dilakukan sesudah perkawinan tidak mengakibatkan pengesahan.

2. Dengan surat pengesahan

Pasal 274 K.U.H.Perdata menyatakan “jika kedua orang tua sebelum atau tatkala berkawin telah melalaikan mengakui anak-anak mereka luar kawin, maka kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat pengesahan Presiden, yang mana akan diberikan setelah didengarnya nasihat Mahkamah Agung.”

Pasal 275 K.U.H.Perdata menyatakan pengesahan dengan melalui surat pengesahan dapat juga dilakukan, apabila:

a. Salah seorang dari orang tua meninggal dunia sehingga perkawinan yang akan dilakukan tidak dapat dilaksanakan;

(6)

b. Anak-anak itu dilahirkan oleh seorang ibu termasuk golongan Indonesia (bumi putera) atau golongan yang dipersamakan dengan itu dan ibu itu telah meninggal dunia atau, jika menurut pertimbangan Presiden ada keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan antara si bapak dan si ibu.

Akibat dari pengesahan, Pasal 277 K.U.H.Perdata mengatakan, bahwa pengesahan yang dilakukan baik dengan kawinnya bapak dan ibunya maupun dengan surat pengesahan menurut Pasal 274, mengakibatkan terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawian. Jadi anak-anak seperti itu memang tetap merupakan anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan orang tuanya, pengakuan tidak bisa mengubah fakta itu, tetapi hukum memandang anak-anak itu “seolah-olah dilahirkan dalam perkawinan” kedua orang tuanya.

Apabila pengesahan ini tidak dilakukan maka maka status anak luar kawin tersebut hanya menjadi anak luar kawin yang diakui bukan anak luar kawin yang diaukui sah. Tanpa adanya pengesahan maka anak luar kawin tersebut tetap tidak berhak atas biaya hidup, warisan dan hak-hak lainnya seperti yang di dapat oleh anak sah.

4. Akibat Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Yang Diakui Sah Dan Tidak Diakui Sah

Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Maka dari ketentuan tersebut, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan laki-laki yang membenihkannya (bapak biologis. Dengan adanya hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan keluarga ibunya menunjukkan bahwa Undang-Undang masih memberikan perlindungan bagi anak luar kawin.

Hal ini juga dikarenakan secara faktual (kenyataan) bahwa ibulah yang yang telah mengandung kemudian melahirkan anak tersebut. Jadi memang secara alami dialah ibu anak itu. Artinya semenjak ia dilahirkan telah mendapat ibu dari

(7)

wanita yang melahirkannya. Sebaliknya wanita itu tidak dapat menghindar bahwa yang dilahirkan bukan anaknya.

Dalam akta kelahiran anak yang demikian, dicatat bahwa anak tersebut dilahirkan dari seorang perempuan. Berbeda dengan anak sah, dimana dalam akta kelahiran dicatat dilahirkan dari perkawinan suami isteri tersebut.

Dengan adanya hubungan perdata yang dimaksud, maka anak luar kawin tersebut berhak mewarisi harta dari ibunya dan keluarga ibunya. Jika ibunya meninggal maka ia tampil sebagai ahli waris. Sedangkan bagi bagi bapak biologis anak luar kawin yang menginginkan untuk mendapat hubungan perdata dengan anak luar kawinnya, Undang-Undang masih memberikan peluang.

Di dalam Ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata terdapat lembaga pengauan anak luar kawin, sebagaimana diatur pada Buku Kesatu Bab Keduabelas Bagian Ketiga. Dimana Lembaga ini dapat dipergunakan dengan mengingat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang masih memberikan peluang, bahwa sepanjang belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, maka Peraturan-Peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih berlaku. Dengan demikian Undang-Undang Perkawinan yang tidak mengatur lembaga pngakuan anak luar kawin, maka lembaga yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dicabut dan dapat diberlakukan.

Oleh karena itu berdasarkan Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , dengan melakukan perbuatan pengakuan terhadap anak luar kawin, maka timbul hubungan perdata antara bapak dengan anak tersebut. Dengan demikian anak luar kawin berhak atas biaya kehidupan dan warisan dari ayahnya. Sedangkan bagi anak luar kawin yang tidak mendapat pengakuan dari bapak biologisnya maka anak tersebut tidak mempunyai hak untuk mendapat biaya hidup dan tidak dapat mewaris dari keluarga sedarah bapak biologisnya.

Selain itu anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang tidak mendapat pengakuan dari bapak biologisnya juga dapat mendorong terjadinya penyelundupan hukum, yaitu adanya pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut dari laki-laki lain yang bukan bapak biologisnya. Misalnya seorang laki-laki mengakui anak yang dibawa oleh calon isterinya karena merasa kasihan dan untuk menutupi aib dari wanita yang akan dinikahinya.

(8)

B. Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Pengakuan Anak Luar Kawin

1. Pengertian Dan Kewenangan Notaris

Peraturan yang mengatur mengenai Notaris dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang merupakan produk hukum nasional, sebagai implementasi dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah menunjuk Notaris sebagai Pejabat Umum. Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Jabatan Notaris berbunyi:

”Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Undang-Undang tentang Jabatan Notaris merupakan penyempurnaan Undang-Undang peninggalan jaman Kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-Undang yang mengatur mengenai Kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.

Demikian pula Notaris sebagai Pejabat Umum ditegaskan dalam Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia pada Bab I Pasal I, yang berbunyi sebagai berikut:

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.28

Notaris sebagai pejabat umum seringkali menimbulkan pertanyaan bagi mayarakat umum yang kurang mengetahui, apakah Notaris itu seorang pegawai negeri?

Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, harus diketahui terlebih dahulu, apa yang dinamakan pegawai negeri. Menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas

28 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.III, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 31.

(9)

Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Suatu keharusan untuk menjadikan Notaris sebagai ”pejabat umum”, berhubung dengan definisi dari akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Akan tetapi hal ini tidak berarti, bahwa Notaris adalah pegawai negeri, yakni pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hierarkis, yang digaji oleh Pemerintah. Jabatan Notaris bukan suatu jabatan yang digaji, Notaris tidak menerima gajinya dari Pemerintah, sebagaimana halnya dengan pegawai negeri, akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai Pemerintah tanpa gaji Pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh Pemerintah tanpa mendapat pensiun dari Pemerintah.29

Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarkat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang memperoleh nasehat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.30 Karena setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, serang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan mebuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang Advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seoarang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.

Notaris harus dapat memahami persyaratan-persyaratan yang tinggi untuk dapat dipercaya dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Kaedah-kaedah hukum pada dasarnya diartikan sebagai peraturan hidup untuk menetukan bagaiman seyogyanya harus berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingan orang lain terlindungi, penilaian atau sikap tentang apa yang

29Ibid., hal. 36.

30 Than Thong Kie, Notaris , Siapakah Dia, Studi Notariat, serba Serbi Praktek Notaris, Cet. II, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 2000), hal. 157.

(10)

harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, sesuatu yang dilarang atau yang dianjurkan untuk dijalankan.31

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, seorang Notaris dapat dinyatakan pula sebagai penasehat hukum adalah karena sebelum para pihak menuangkan mereka dalam akta otentik, lebih dahulu Notaris memberi penjelasan berupa nasehat yang diperlukan sehubungan dengan akta yang akan dibuat oleh para penghadap/Klien Notaris.

Wewenang Notaris yang utama adalah membuat akta otentik. Kewenangan Notaris dalam membuat akta tersebut seperti yang dinyatakan dalam Bab I Pasal 1 ayat 7 , dimana Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Untuk memperoleh stempel otensitas hal mana terdapat dalam akta Notaris, maka menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta yang bersangkutan harus memnuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum; 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh

Undang-Undang;

3. Pejabat umum oleh/atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah hukum itu ia berwenang. Akta yang dibuat oleh Notaris di luar daerah hukumnya (daerah jabatnannya) adalah tidak sah.

Wewenang Notaris ini meliputi32:

a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;

31Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hal. 11.

(11)

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang, untuk siapa akta itu dibuat;

c. Notaris harus berwenang sepangajang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;

d. Notaris harus berwenang sepanjang waktu pembuat akta itu.

Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris disebutkan: ”Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh Peraturan Perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Di samping Ketentuan Pasal 15 ayat (1) tersebut di atas Notaris berwenang pula sebagaimana disebut dalam Pasal 15 ayat (2), antara lain:

a. menegsahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau; g. membuat akta risalah lelang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan

(12)

Dilihat dari kedudukannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat suatu akta otentik, maka akta yang dihasilkannya tersebut merupakan suatu alat bukti yang kuat dan mengikat semua pihak, serta dijamin keamanan dan kerahasiannya, apalagi minuta aktanya tetap ada di dalam arsip Notaris tersebut yang akan disimpan, diamankan dan dipertahankan sampai kapanpun.

Notaris dalam melakukan tugas jabatannya tidak mempergunakan media massa yang bersifat promosi, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya. Notaris juga memberikan penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadarn hukum yang tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Notaris juga wajib memberikan jasanya kepada masyarakat yang kurang mampu secara cuma-cuma. Dalam memberikan konsultasi hukum terhadap kliennya, Notris dilarang untuk memungut bayaran seperti yang dilakukan konsultan hukum.

Notaris dalam mengemban profesi jabatannya juga harus menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris dengan tidak melakukan perbuatan tercela dan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Notaris harus bertindak jujur, mandiri dalam arti bahwa seorang Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya tidak bergantung pada pihak lain, tidak berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab. Kejujuran seorang Notaris sangat penting dalam memjalankan profesi jabatannya, karena sebagai pelayan masyarakat dibidang hukum perdata, seorang Notaris harus mampu mengesampingkan kepentingan diri sendiri dan menngedepankan kepentingan masyarakat yang dilayaninya.

Kejujuran Notaris dapat menyangkut banyak hal, seperti dalam penyusunan pembuatan akta dimana Notaris tidak bersikap memihak, dalam proses pembacaan akta dimana Notaris sendiri yang membacakannya dan tidak diwakili oleh asistennya, dan dalam penentuan honorarium yang memaksakan klien untuk membayar lebih mahal dikarenakan Notaris mengenal klien sebagai orang yang kaya.

Kewajiban dalam menjalankan jabatannya, lebih lengkap diatur dalam Pasal 16 U.U.J.N, yaitu:

(13)

a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Prorokol Notaris;

c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan akta berdasarkan Minuta Akta;

d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terkecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan kecuali Undang-Undang menetukan lain;

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. membuat daftar akta berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. mengirimkan daftar akta sebagimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulannya;

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

(14)

k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m. menerima magang calon Notaris.

2. Pengangkatan dan pemberhentian Notaris berdsasarkan Undang Undang Jabatan Notaris.

a. Pengangkatan Notaris

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris ditegaskan bahwa pekerjaan Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijk verrichtigen) dan merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Karena tugas yang diembannya sangat berat, para Notaris dituntut untuk bekerja secara profesional. Pada zaman penjajahan, Notaris harus diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal. Hal ini menunjukkan Notaris adalah profesi terhormat.33

Setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dikeluarkan, maka yang mempunyai wewenang untuk mengangkat Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kendati landasan perubahan wewenang itu hanya berbekal Keputusan Menteri, untuk dapat diangkat sebagai Notaris harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:

a. warganegara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (duapuluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani;

e. berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata Dua Kenotariatan;

(15)

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (duabelas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus Strata Dua Kenotariatan; dan

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap jabatan Notaris.

Selain itu Notaris juga wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 4 U.U.J.N), sumaph/janji tersebut, berbunyi:

”saya bersumpah/berjanji:

Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak.

Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.

Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun”.

pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris (Pasal 5 U.U.J.N). Tetapi apabila pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, maka Keputusan Pengangkatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri (Pasal 6 U.U.J.N).

Pasal 7 U.U.J.N mengatur apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris,

yang bersangkutan wajib:

(16)

b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta

teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawasan Daerah, serta Bupati atau Walikota di tempat Notaris diangkat.

b. Pemberhentian Notaris

Dalam Pasal 8 U.U.J.N Notaris sebagai pejabat umum dapat berhenti

dan diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena: a. meninggal dunia;

b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun, ketentuan umur ini dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan;

c. permintaan sendiri;

d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau

e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g. Notaris juga dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena (Pasal 9 U.U.J.N):

a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. berada di bawah pengampunan;

c. melakukan perbuatan tercela;

d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Sebelum pemberhentian sementara Notaris diberikan kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. Pemberhentian sementara Notaris dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat, dan pemberhentian sementara tersebut berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

(17)

Pasal 10 U.U.J.N menerangkan bahwa Notaris yang diberhentikan sementara dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya. Selain itu Notaris dapat diberhentikan dengan tidak terhormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila (Pasal 12 U.U.J.N):

a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. berada di bawah pegampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau

d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Notaris juga dapat diberhentikan dengan tidak terhormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (Pasal 13 U.U.J.N):

Notaris juga memperoleh cuti yang diatur dalam Pasal 11 U.U.J.N, yaitu: a. Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara wajib mengambil

cuti.

b. Cuti sebagaimana dimaksud di atas, berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat Negara.

c. Notaris yang cuti wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti.

d. Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti, Majelis Pengawas Daerah akan menunjuk Notaris lain untuk menerima Protokol Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara.

e. Notaris Pengganti tersebut merupakan pemegang sementara Protokol Notaris.

f. Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat Negara dalam rangka mengambil cuti, dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris setelah diserahkan kembali kepadanya.

(18)

3. Bentuk dan Sifat Akta Notaris

Untuk memenuhi otensitas suatu Akta, maka dapat dilihat dari aspek bentuk dan sifat akta itu sendiri. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris .

Bentuk Akta Notaris terdiri dari:

1. Awal akta yang memuat judul akta; nomor akta; jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; serta nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

2. Badan akta yang memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mewakili; keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

3. Akhir akta yang memuat uraian tentang pembacaan akta sebagimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7); uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Maka suatu akta baru dapat dikatakan otentik apabila dilihat dari bentuknya haruslah memuat bentuk atau format seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seperti tersebut di atas. Hanya dengan melihat bentuk lahiriah suatu akta, maka pihak lain akan denagn mudah mengenali suatu akta tersebut termasuk akta otentik atau bukan.

(19)

Faktor lain yang menetukan syarat otentisitas suatu akta adalah sifat dari akta itu sendiri. Sifat dari akta otentik memuat tata cara pelaksanaan dari penyusunan, pembacaan, dan penandatanganan suatu akta. Apabila dilihat dari tata caranya, maka suatu akta otentik akan memuat keterangan-keterangan sebagai berikut:

1. Adanya para penghadap yang datang untuk meminta dibuatkan suatu akta (otentik) sesuai dengan kebutuhannya dengan syarat penghadap tersebut telah berumur paling sedikit 18 (delapanbelas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum; para penghadap tersebut harus dikenal Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya dan pengenalan dinyatakan secara tegas dalam akta.

2. Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dengan persyaratan paling sedikit berumur 18 (delapanbelas) tahun atau telah menikah; cakap melakukan perbuatan hukum; mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak, saksi tersebut harus dikenal atau diperkenalkan kepada Notaris dan pengenalan tersebut dinyatakan secara tegas dalam akta.

3. Akta harus dibacakan di hadapan para penghadap dan para saksi oleh Notaris sendiri. Notaris dalam hal ini menerangkan lepada para penghadap dan para saksi atas isi akt tersebut, dimana tujuan pembacaan akta adalah untuk memberikan desempatan lepada para penghadap yang hadar untuk dapat mengecek kebenaran isi akta sudah sesuai dengan kehendak mereka dan

(20)

apabila ada keterangan yang tidak sesuai dapat segera diperbaiki. Sedangkan kehadiran para saksi dalam pembacaan akta adalah untuk memberikan kepastian perlindungan hukum kepada para penghadap yang nama-namanya termuat dalam akta tersebut dan mempunyai kepentingan terhadap isi akta tersebut, bahwa pembacaan akta sudah dilaksanakan dan para penghadap telah menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut.

4. Setelah pembacaan akta dilakukan oleh Notaris dihadapan para penghadap dan para saksi, maka akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap, para saksi, dan Notaris. Apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka harus dibuat pengganti tanda tangan yaitu surrogat yang berbunyi ” Meurut keterangannya, penghadap Tuan X tidak dapat membubuhkan tanda tangannya, dikarenakan kedua tangannya lumpuh”. Keterangan tersebut merupakan pengganti tanda tangan.

5. Isi akta tidak boleh dirubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Setiap perubahan atas akta baik berupa pencoretan dengan atau tanpa penggantian, maupun penambahan harus diberi paraf oleh para penghadap, saksi, dan Notaris sebagai bukti pengesahan atas perubahan dan pencoretan berupa penambahan dan penggantian tersebut, yang biasa disebut renvoi.

Apabila suatu akta sudah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, yaitu mengandung unsur bentuk dan sifat suatu akta otentik, maka dapatlah suatu akta dikatakan sebagai akta yang otentik. Ketiadaan salah satu unsur maka dapat mengakibatkan ketidak-otentisitasan suatu akta. Maka akta tersebut hanya berfungsi sebagai akta di bawah tangan.

(21)

4. Fungsi dan Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

Secara umum, akta merupakan suatu tulisan mengenai suatu perbuatan atau peristiwa hukum, baik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang maupun tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Akta itu sendiri berfungsi sebagai tanda telah dilakukannya suatu perbuatan hukum antara para pihak yang dinyatakan dalam akta, hal ini berarti bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Selain itu juga sebagai alat pembuktian apabila terjadi sengketa dikemudian hari antara para pihak tersebut.

Fungsi utama dari akta adalah sebagai alat pembuktian bahwa telah dilakukan suatu perbuatan hukum antara para pihak yang data-datanya dinyatakan secara tegas dalam akta dan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Contohnya Pasal 150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perjanjian kawin. Jadi dalam hal ini, akta memang sengaja dibuat sejak semula adanya untuk sebagai alat pembuktian dikemudian hari.

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata Pasal 1870 menerangkan bahwa akta otentik memberikan para pihak, ahli waris, dan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang segala sesuatu yang tercantum di dalam akta tersebut. Sehubungan dengan akta Notaris, maka kekuatan pembuktian dari akta Notaris terdiri dari:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijsracht)

Yang dimaksud dengan ketentuan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Lumban Tobing dalam bukunya yang berjudul Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik baik akta partij dan akta relaas adalah merupakan kekuatan pembuktian yang lengkap. Hal ini bisa dilihat dari unsur-unsur di bawah ini:

1. suatu akta yang dari luar kelihatannya sebagai akta otentik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya yang berasal dari seorang pejabat umum (Notaris);

(22)

2. berlaku sebagai akta otentik terhadap setiap orang, artinya apabila ketentuan dalam huruf a tersebut terpenuhi maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik sampai dapat dibuktikan bahwa akta tersebut adalah tidak otentik; 3. tanda tangan dari pejabat yang bersangkutan (Notaris) diterima

sebagai sah, artinya pada saat Notaris membubuhkan tanda tangannya memang sudah merupakan bagian dari kewenangannya.

b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian formal adalah bahwa akta otentik cukup dibuktikan dengan pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang ternyata dalam akta itu dan disaksikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikan di dalam menjalankan jabatannya itu.34

Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta relaas, akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya.35

Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran atau kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri.36

Dengan demikian , kekuatan pembuktian formal baik dalam akta partij dan akta relaas adalah sama, dengan pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan akta itu maupun keterangan dari para pihak dalam akta, mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang.

34Tobing. op. cit., hal. 57. 35 Ibid..

(23)

c. Kekuatan pembuktian material (materiele besijskracht)

Sepanjang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbadaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya, tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh dibuatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, maka akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material.37

5. Prosedur Pembuatan Akta Notaris 1. Tahapan sebelum pembuatan akta Notaris:

a. meneliti dokumen atau surat mengenai identitas dari para penghadap. Dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan bahwa penghadap harus dikenal Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris oleh dua orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit delapanbelas tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh dua penghadap lainnya.

Penghadap adalah orang yang telah berusia paling sedikit delapanbelas tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum, yang datang menghadap atau hadir dihadapan Notaris dan yang atas permintaannya agar dibuatkan akta Notaris serta mempunyai kepentingan dalam akta itu.

Kata "dikenal Notaris" mempunyai maksud adalah mengetahui bahwa orang yang namanya disebut dalam akta, oleh masyarakat juga dikenal dengan nama itu, dengan cara memeriksa surat-surat, paspor, kartu tanda penduduk atau pemberitahuan dari orang-orang dan sebagainya. Arti kata "kenal" dalam akta berlainan dengan arti kata "kenal" dalam masyarakat umum.38

Pengertian "kenal" dalam akta Notaris adalah:

a. Notaris mengetahui bahwa yang menghadap memang benar adalah orangnya bukan orang lain.

b. Notaris mengetahui bahwa yang menghadap memang berhak melakukan tindakan hukum sebagai yang disebut dalam akta.

37Ibid., hal. 59.

(24)

c. Notaris mengetahui bahwa yang menghadap sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak sakit ingatan.

Bila ada yang menghadap tidak dikenal oleh Notaris maka harus ada dua orang saksi yang memperkenalkannya kepada Notaris di mana saksi tersebut harus dikenal Notaris. Saksi tersebut adalah saksi atestasi (attesterende getuigen).

Pengertian saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun tertulis tentang apa yang disaksikan sendiri (wearnemen), baik berupa tindakan atau keadaan ataupun suatu kejadian. 39Ada dua jenis dalam pembuatan akta Notaris, yaitu saksi instrumentair (instrumentaire getuigen) dan saksi atestasi (attesterende getuigen). Saksi instrumentair adalah saksi yang wajib hadir dalam pembuatan akta dan turut menandatangani akta sebagai syarat agar akta mempunyai kekuatan otentik.40 Sedangkan saksi atestasi dipergunakan untuk memperkuat suatu perkara atau bukti. Undang-undang memperbolehkan saksi-saksi instrumentair merangkap menjadi saksi-saksi atestasi. Dalam praktek sehari-hari Notaris membedakannya. Berlainan dengan saksi instrumentair, saksi atestasi boleh mempunyai hubungan darah dengan orang-orang yang menghadap.

Penelitian mengenai dokumen tentang identitas para penghadap sangat penting mengingat bahwa Notaris harus bertanggungjawab bila ternyata nama-nama yang ada dalam akta ternyata bukan orang yang sebenarnya.41

b. Meneliti dokumen mengenai obyek dalam akta.

Notaris harus meneliti keabsahan yang menjadi obyek dalam aktanya. Menurut Pasal 1332 dan 1333 K.U.H.Perdata obyek suatu persetujuan adalah benda yang dapat diperdagangkan kecuali yang untuk kepentingan umum dan benda itu harus tertentu. Bila objek tersebut berupa tanah maka selain meneliti dokumennya juga harus melakukan pengecekan di kantor pertanahan setempat dimana obyek tersebut berada.

39Tobing, op. cit., hal. 168. 40Kie, op.cit., hal. 169.

(25)

c. Meneliti mengenai jenis akta yang akan dibuat apakah dapat dibuat atau termasuk akta yang dilarang menurut Undang-Undang.

Akta-akta yang dilarang menurut ketentuan Perundang-undangan adalah akta yang melanggar ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan; misalnya akta jual beli bayi, akta perjanjian pembunuhan, akta pendirian tempat perjudian,akta perjanjian kawin kontrak dan lain sebagainya. Sedangkan akta yang dapat dibuat Notaris adalah seluruh akta dalam lapangan hukum perdata kecuali yang ditugaskan untuk pejabat umum lain seperti pejabat catatan sipil, pejabat lelang. Ketelitian Notaris dalam memeriksa dokumen dan surat-surat tersebut sangat diperlukan mengingat begitu banyak terjadi pemalsuan identitas diri, surat-surat beharga dan surat-surat lainnya dalam masyarakat dewasa ini.

2. Tahapan membuat akta Notaris

Pembuatan akta Notaris dilakukan setelah selesai meneliti dokumen-dokumen ataupun surat-surat yang berkenaan dengan identitas dari para pihak, obyeknya dan juga jenis aktanya,di mana tahapan pembuatannya diatur dalam Pasal 48-51 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni:

a. Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain; dengan syarat Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa Indonesia, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan oleh penerjemah resmi.

b. Akta ditulis dengan jelas dalam hubungan satu sam lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan

(26)

peraturan Perundang-undangan dan tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum menyebutkan nama penerima kuasanya. Semua bilangan yang menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan , dan tahun dinyatakan dengan huruh dan harus didahuli dengan angka.

c. Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Bila ingin mengadakan perubahan atas akta maka harus dibuat disisikiri akta dan apabila tidak dapat, dapat dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf atau angka, hal tersebut harus dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta. Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian atau pencoretan dalam akta hanya sah bila diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. Pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.

d. Setelah akta ditulis dengan jelas dan benar, maka akta wajib dibacakan dihadapan para pihak, dimana tiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit dua orang saksi, kecuali peraturan Perundang-undangan menentukan lain.

e. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, penerjemah resmi (bila ada), saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya yang dinyatakan dengan tegas dalam akta. Apabial pada pembuatan pencatatan harta kekayaan atau berita acar mengenai suatu perbuatan atau peristiwa, terdapat penghadap yang menolak membubuhkan tanda tangan atau tidak hadir pada penutupan akta, sedangkan penghadap belum menandatangani aktanya

(27)

makahal tersebut harus dinyatakan dalam akta dengan mengemukakan alasannya dan akta tersebut tetap merupakan akta otentik. Apabila ada salah tulis atau salah ketik pada minuta akta yang telah ditandatangani maka Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan itu dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan, dimana salinan akta berita acaranya wajib disampaikan pada para pihak.

f. Surat Kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa dibawah tangan wajib dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta, sedangkan surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk minuta akta diuraikan dalam akta

3. Larangan dalam pembuatan akta Notaris

Dalam pembuatan akta Notaris terdapat larangan-larangan yang dengan tegas dinyatakan pada Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris bahwa Notaris tidak boleh membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping samapai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa, kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di hadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak.

Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi:

(28)

a. Notaris, isteri atau suami Notaris; b. Saksi, isteri atau suami saksi atau;

c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.

6. Peranan Notaris dalam Proses Pengakuan Anak Luar Kawin

Pengakuan anak luar kawin merupakan pengakuan seseorang baik bapak atau ibu dari anak luar kawin dimana pengakuan anak luar kawin ini harus memenuhi syarat-syarat dan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Akibat dari terjadinya hubungan perdata antara anak dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. (Pasal 280 K.U.H.Perdata). Dengan mengingat Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan. Dalam Pasal 284 K.U.H.Perdata menerangkan bahwa adanya pengakuan terhadap anak luar kawin mengakibatkan status anak tersebut menjadi anak luar kawin yang diakui antara lain menimbulkan hak dan kewajiban, pemberian ijin kawin, kewajiban pemberian nafkah, perwalian anak, anak dapat memakai nama keluarga dan mewaris.

Pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dilakukan dengan cara:

1. Akta Kelahiran:

dengan mencatatkan nama bapaknya sebagai bapak dari anak luar kawin tersebut dalam akta kelahiran.

2. Pada saat perkawinan berlangsung:

seorang laki-laki mengakui ”bahwa anak luar kawin saya dari wanita...dengan perkawinan ini resmi menjadi anak sah” , kemudian dicatatkan ke Catatan Sipil untuk dirubah akta kelahirannya.

3. Dengan akta otentik sebelum perkawinan berlangsung:

dibuatkan dengan akta Notaris atau Catatan Sipil, kemudian kita mintakan Penetapan/didaftar di Pengadilan.

(29)

Pengakuan anak luar kawin ini hanya dilakukan dengan salah satu cara saja. dan pengakuan ini harus dengan (ada) persetujuan dari ibu si anak, karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Jadi dalam pembuatan akta tersebut ibu harus hadir untuk memberi persetujuannya, tetapi dengan akta tersebut pengakuan belum terjadi. Jadi pengakuan dalam akta Notaris baru pengakuan secara perdata saja, tetapi kita harus mengesahkannya secara negara dengan didaftarkan di Pengadilan.

Peran Notaris di sini adalah dalam membuat aktanya. Dimana Notaris mencatatkan Keinginan dari seorang laki-laki secara dokumen negara untuk mengakui anak luar kawin laki-laki tersebut dengan seorang wanita, dan Notaris juga dapat memberikan penjelasan-penjelasan secara hukum mengenai proses pengakuan anak luar kawin. Sehingga para pihak mendapatkan keterangan yang sejelas-jelasnya.

Karena Notaris adalah pejabat yang diangkat untuk mengesahkan kesepakatan (Pasal 15 Undang-Udang Jabatan Notaris). Notaris dalam bertindak harus netral, kalau para pihak sudah sepakat maka Notaris hanya menuangkan kesepakatan tersebut dalam akta asalkan sesuai dengan:

a. prosedur hukum;

b. persyaratan telah dipenuhi;

c. teknis prosedur akta telah sesuai dengan Undang-Undang.

Jadi tugas Notaris mencatatkan keinginan para pihak tetapi harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang diperlukan.

Ketika para pihak datang ke kantor Notaris dan menyatakan keinginannya hendak membuat akta pengakuan anak luar kawin, maka tahapan-tahapan yang harus dilakukan, adalah:

a. Notaris dapat menjelaskan bagaimana prosedur pembuatan akta pengakuan anak lular kawin yang dilakukan melalui akta Notaris;

b. Meminta dan meneliti dokumen atau surat mengenai identitas dari para penghadap;

(30)

Untuk membuat akta pengaukan anak luar kawin, dokumen yang diperlukan, adalah:

1. Foto Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua orang tua; 2. Kartu Keluarga;

3. Akta Kelahiran anak luar kawin;

4. Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tidak terikat perkawinan dan anak yang diakui adalah anak mereka.42

d. Jika dokumen-dokunmen yang diberikan telah lengkap, kemudian dapat dilakukan pembuatan akta pengakuan anak luar kawin, tahapan-tahapannya adalah:

1. Akta dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain, dengan syarat Notaris wajib menerjemahkan kedalam bahasa Indoinesia;

2. Akta ditulis dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-terputus dan tidak menggunakan singkatan;

3. Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Bila ingin mengadakan perubahan atas akta maka harus dibuat disisi kiri akta dan apabila tidak dapat, dapat dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menyis dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan;

4. Setelah akta ditulis dengan jelas dan benar, maka akta wajib dibacakan oleh Notaris dihadapan para pihak, dan saksi-saksi; 5. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh

setiap penghadap, penerjemah resmi (bila ada), saksi-saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya yang dinyatakan dengan tegas dalam akta;

(31)

6. Apabila ada surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada minuta akta kecuali bila surat kuasa telah dilekatkan pada minuta akta yang dibuaut di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta, sedangkan surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam akta.

Notaris juga dapat membuat klausul ”akta ini dibuat sesuai dengan prosedur Undang-Undang yang berlaku, apabila ternyata dikemudian hari ada kesalahan atau data (dokumen) yang diberikan ternyata palsu maka menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh para pihak”. Hal ini untuk melindungi Notaris dari itikad buruk para pihak.

Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan akta Notaris karena salah satu satu kewenangan Notaris adalah membuat akta otentik. Kewenangan Notaris dalam membuat akta tersebut seperti dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berbunyi:

”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Sedangkan kedudukan seorang Notaris di dalam mayarakat mempunyai kedudukan fungsional yang dapat memberikan nasihat. Jadi sebelum melakukan proses pembuatan akta, para pihak yang berkepentingan dapat meminta penjelasan atau nasihat secara hukum dengan jelas berkenaan dengan akta yang mereka buat. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, dan Notaris adalah sebagai satu-satunya pejabat pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.

Notaris harus dapat memahami persyaratan-persyaratan yang tinggi untuk dapat dipercaya dengan tetap memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Kaedah-kaedah hukum pada dasarnya diartikan sebagai peraturan hidup untuk menentukan bagaimana seyogyanya harus berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingan orang lain terlindungi, penilaian atau sikap tentang

(32)

apa yanng harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, sesuatu yang dilarang atau yang dianjurkan.

Sebagai orang yang dipercaya, banyak rahasia dan hubungan kekeluargaan yang dipaparkan dan diungkapkan kepada Notaris dan banyak pula dari hubungan-hubungan itu yang benar-benar harus diketahui oleh Notaris untuk dapat mengadakan penyelesaian dengan sebaik-baiknya. Hal ini dimaksudkan agar Notaris dapat mengatur hubungan-hubungan kebendaan diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Hal itu perlu, oleh karena hubungan-hubungan kebendaan diantara para anggota keluarga tidak terlepas dari hubungan darah dikalangan mereka. Seperti misalnya pada pembuatan surat-surat wasiat, akta perjanjian kawin, akta pengakuan anak luar kawin, dan masih banyak lagi lainnya. Hubungan-hubungan darah diantara mereka merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan dan seorang Notaris yang tidak memahami hal ini tidak akan dapat memenuhi tugasnya dengan lengkap dan baik.

Dilihat dari kedudukannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat suatu akta otentik, maka akta yang dihasilkannya tersebut merupakan suatu alat bukti yang kuat dan mengikat semua pihak, serta dijamin keamanan dan kerahasiaannya, apalagi minuta aktanya tetap ada di dalam arsip Notaris tersebut yang akan disimpan, diamankan, dan dipertahankan sampai kapanpun.

Referensi

Dokumen terkait

YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS. Seiring perkembangan jaman jasa

Pasal 15 Undang-undang No 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris mengatur tentang wewenang notaris sebagai pejabat umum didalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Notaris berwenang

Pasal 16 ayat (7) revisi Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan: “Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki

YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.. Seiring perkembangan jaman jasa

Namun permasalahan yang muncul adalah inkonsistensi yang timbul terhadap dua peraturan yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

Kerahasiaan akta juga harus dijaga oleh notaris sesuai sumpah jabatan yang diucapkan, hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3O Tahun 2OO4 tentang Jabatan Notaris, sesuai

Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.. Bandung: PT

Notaris sebagai Pejabat Umum merupakan jabatan yang mulia yang diberikan oleh Undang-Undang untuk memberikan Pelayanan dalam pembuatan Akta Otentik kepada masyarakat, oleh karena itu