• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan tentang Polisi. 1. Pengertian Polisi. Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan tentang Polisi. 1. Pengertian Polisi. Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan tentang Polisi 1. Pengertian Polisi

Menurut M.Karjadi polisi adalah kontrol yang artinya pengawasan dan pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres, menurutnya dalam setiap batin manusia terdapat suatu fungsi rohaniah yang dalam kehidupan sehari-hari bertugas mengawasi dan mengendalikan pribadi manusia untuk hidup pada jalan yang lurus dalam mencapai ketertiban dan ketenangan batin. Jadi disini hati nurani ini yang menjadi penontrol dalam diri setiap manusia, sedang dalam kehidupan masyarakat juga harus ada pengontrol untuk mencapai suatu keadaan yang aman, tertib dan sejahtera. Pengontrol itu adalah polisi (Djoko Prakoso, 1987: 164). Menurut Charles Reith, polisi adalah suatu kekuatan untuk mengawasi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah disepakati guna tercapainya keadaan yang tertib dan aman dalam kehidupan bersama (Djoko Prakoso, 1987: 165).

Menurut Satjipto Raharjo, polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2009: 111), selanjutnya Satjipto

(2)

Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban (Satjipto Raharjo, 2009: 117). Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 juga dijelaskan bahwa polisi merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2. Tugas Polisi

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diatas, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

(3)

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

3. Wewenang Polisi

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

(4)

i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, di bidang proses pidana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

(5)

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab

(Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l di atas adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia

(Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

B. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

A.Zainal Abidin mengemukakan pengertian pengertian tentang peristiwa pidana atau tindak pidana menurut beberapa sarjana sebagai berikut:

Menurut Simon peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu. Van Hamel merumuskan sebagai suatu kelakuan menusia yang oleh undang-undang ditentukan sebagai kelakuan yang melawan hukum dan dapat dipersalahkan. Definisi yang agak singkat diberikan oleh Vos yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan di ancam pidana. Jonkers merumuskan delik itu sebagai suatu perbuatan atau pengabaian melawan hukum, yang dilakukan

(6)

dengan sengaja atau kelalaian oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Jonkers merumuskan delik itu sebagai suatu perbuatan atau pengabaian melawan hukum, yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Prof.Muljanto, yang lebih suka memakai istilah perbuatan pidana dan mendefinisikannya sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Sedangkan Mr. Ruslan Saleh yang juga memakai istilah perbuatan pidana memberikan definisi sebagai perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Harun M. Husein, 1991: 57-58).

2. Upaya Menanggulangi Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan tindakan yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan dan dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan terhadap pelakunya akan dikenai sanksi pidana. Tindak pidana akan selalu berhubungan dengan masyarakat dimana tindak pidana itu dilakukan. Masyarakat merasa terganggu akibat adanya tindak pidana sehingga diperlukan suatu upaya untuk menangulangi tindak pidana agar kehidupan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Tindak pidana baik berupa kejahatan maupun pelanggaran pada dasarnya melekat pada kondisi dinamik kehidupan masyarakat yang mempunyai latar belakang yang sangat kompleks yang antara lain menyangkut aspek sosial budaya dan juga aspek ideologi, politik serta kemampuan dan efektifitas aparat negara dan masyarakat. Sehubungan dengan persoalan tersebut dalam upaya penanggulangan

(7)

tindak pidana hendaknya dilakukan secara dinamis dan menyeluruh (konprehensif).

Penanggulangan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran adalah merupakan bagian dari politik kriminil secara umum. Politik kriminal artinya mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif penanggulangan yang paling efektif dalam menanggulangi masalah kejahatan atau pelanggaran. Dalam arti sempit politik kriminal diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, sedangkan arti yang lebih luas merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti yang paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat (Sudarto, 1986: 114).

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/ mass media) (Barda Nawawi Arief, 2008: 32). Dengan demikian, upaya penaggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi

(8)

menjadi dua yaitu lewat jalur “penal” (pidana) dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/ di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P. Hoefnagels tersebut, pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/ mass media) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “nonpenal”.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penaggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Barda Nawawi Arief, 2008: 39).

Di lingkungan Polri istilah penanggulangan diartikan sebagai salah satu usaha, tindakan dan kegiatan untuk mencegah dan menindak suatu kejahatan dan pelanggaran serta untuk memeliharaa dan meningkatkan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penanggulangan meliputi dua usaha yaitu usaha pencegahan dan pembinaan, usaha penindakan. Dengan demikian penanggulangan dapat dimaksudkan melaksanakan segala kegiatan tindakan dan

(9)

pekerjaan baik yang menyangkut segi preventif maupun represif dalam upaya meniadakan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Nurdjana, 2009: 28).

Tindakan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran norma-norma yang berlaku yaitu dengan mengusahakan agar faktor niat dan kesempatan tidak bertemu sehingga situasi kamtibmas tetap terpelihara aman dan terkendali. Sedangkan tindakan represif adalah rangkaian tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan), pemeriksaan dan penyerahan penuntut umum untuk dihadapkan ke depan sidang pengadilan (Nurdjana, 2009: 29).

Penanggulangan tindak pidana dilakukan polisi secara preventif dan represif. Tindakan preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan, misalnya dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan, sedangkan tindakan represif dilakukan dengan menindak pelaku kejahatan yaitu dengan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Adapun tindakan represif yang dilakukan kepoisian adalah:

1. Penyelidikan

Untuk menggambarkan pengertian tentang penyelidikan Andi Hamzah mengemukakan bahwa; “ ... penyelidikan berasal dari kata sidik yang mendapat sisipan el, menjadi selidik. Artinya sama dengan

(10)

sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak menyelidik” (Andi Hamzah, 1985: 21). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 5 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jika dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dari tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran (Andi Hamzah, 2010 : 119-120).

Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaiman digariskan pada Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana (Harun M. Husein, 1991: 55). Oleh karena itulah M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan (M. Yahya Harahap, 1988: 99).

(11)

Karena penyelidikan itu merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan disini mempunyai fungsi sebagai “penyaring”, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin (Soesilo Yuwono, 1982: 37). Jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Barangkali penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejek berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2007: 101)

Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik, dan penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

b. Mencari keterangan dan barang bukti

c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri

d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab (Pasal 5 ayat (1) a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(12)

Yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

1) Tidak bertentangan dengan suatu anturan hukum;

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;

3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannnya;

4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5) Menghormati hak asasi manusia (Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

b. pemeriksaan dan penyitaan surat;

c. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

d. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (Pasal 5 ayat (1) b Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

(13)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ). Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi dapat dilakukan penyidikan. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan (Harun M. Husein, 1991: 87).

Pelaksanaan tugas-tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik pembantu, sesuai dengan kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sispil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam pelaksanaanya lebih lanjut ditetapkan syarat kepangkatan penyidik sebagai berikut:

(14)

a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, calon harus memenuhi persyaratan:

1) berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; 2) bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua)

tahun;

3) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

4) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

5) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jo Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

b. pejabat pegawai negeri sipil. Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;

2) berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;

3) berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;

4) bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;

5) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;

6) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jo Pasal 3A ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(15)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam poin a di atas (penyidik polisi) ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sedangkan penyidik sebagaimana dimaksud dalam poin b di atas (penyidik PNS) diangkat oleh Menteri atas usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut Indonesia (Pasal 3C ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kapolri (Pasal 3D ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik polisi untuk kepentingan penyidikan memberikan petunjuk kepada penyidik PNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PNS dan kemudian ditemukan barang bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, maka penyidik PNS tersebut melaporkan hal itu kepada penyidik polisi. Apabila penyidikan yang dilakukan penyidik PNS telah selesai, maka penyidik PNS segera menyerahkan hasil penyidikannya beserta berita acara pemeriksaan kepada penuntut umum melalui penyidik polisi (Pasal 107 Undang-Undang No. 8

(16)

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun apabila penyidik PNS melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti, maka ia harus memberitahukan hal itu kepada penyidik polisi dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pelaksanaan tugas-tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik pembantu. Sehingga di samping penyidik, terdapat penyidik pembantu yang mempunyai wewenang sama dengan penyidik kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau dimana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran (Pasal 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;

2) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

(17)

4) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

5) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi (Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik pembantu diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing (Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Keberadaan penyidik pembantu adalah untuk mengatasi hambatan penyelesaian penyidikan, karena tidak semua daerah di Indonesia terutama daerah-daerah terpencil mempunyai penyidik yang memenuhi syarat kepangkatan sebagai penyidik. Hal ini selaras dengan asas peradilan cepat.

Penyidik Polri karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

(18)

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dengan demikian tugas-tugas penyidikan saat ini (berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dimonopoli oleh pejabat kepolisian, kecuali terhadap tindak pidana khusus seperti yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan peralihan (Anang Priyanto, 2012: 18).

Acara penyidikan atau proses jalannya pemeriksaan penyidikan adalah sebagai berikut:

a. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu (Pasal 108 ayat 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun apabila laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik (Pasal 108 ayat 5 Undang-Undang No. 8

(19)

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan (Pasal 108 ayat 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

b. Setelah menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

c. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai (Pasal 111 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Terhadap pelanggar Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai (Pasal 111 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

d. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1)

(20)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

e. Apabila penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

f. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) .

g. Dalam melakukan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, dan mengindahkan ketentuan bahwa “ tiada

(21)

seorang pun yang dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara- cara yang diatur dengan undang-undang” (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Bahkan juga harus mengindahkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

1) Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang

(22)

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Ini berarti penyidik sekurang-kurangnya telah memiliki dan memegang sesuatu barang bukti, atau pasa seseorang kedapatan benda/ benda curian, atau telah mempunyai sekurang-kurangnya seseorang saksi (Mohammad Taufik Makarao, 2010: 34). Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana (Anang Priyanto, 2012: 21).

Dalam hal penangkapan biasa, penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. Segera setelah penangkapan dilakukan, tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada

(23)

keluarganya (Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam hal tertangkap tangan, maka siapa saja berhak menangkap dengan tanpa surat perinbtah dan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang buktinya kepada penyidik atau penyidik pembantu. Yang wajib menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan adalah setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum untuk diserahkan besertaatau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik (Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Yang dimaksud dengan tertangkap tangan di atas adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 butir 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(24)

Lamanya penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari, artinya 1x24 jam. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah (Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2) Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Berdasarkan pengertian diatas maka yang berwenang melakukan penangkapan ialah penyidik atau penyidik pembantu untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwah harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan

(25)

tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini sifatnya sangat subjektif, sebab kata “kekhawatiran” dari pejabat sulit untuk mengukurnya, sehingga keadaan ini dapat dikatakan bertitik tolak dari penilaian subjektif. Oleh karena itulah syarat penahanan ini dapat dikatakan sebagai syarat subjektif utuk penahanan (Bambang Poernomo, 1985: 17).

b) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (3) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini disebut sebagai syarat

(26)

kelengkapan formal, karena keharusan adanya surat perintah penahanan (Bambang Poernomo, 1985: 17-18).

c) Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086) (Pasal 21 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Syarat ini dinamakan sebagai syarat objektif penahanan.

(27)

Mengenai penahanan terhadap tersangka maupun terdakwah, dalam Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikenal adanya tiga jenis penahanan yaitu:

a) Penahanan rumah tahanan negara

Selama di tempat yang ebrsangkutan belum ada rumah tahanan negara maka penahanan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negara, Kantor Kejaksaan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit, dan dalam keadaan memaksa penahanan bisa dilakukan di tempat lain (Penjelasan atas Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

b) Penahanan rumah

Penahanan rumah adalah penahanan yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(28)

c) Penahanan kota

Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dari ketiga jenis penahanan di atas, jenis penahanan yang satu dapat dialihkan kepada jenis penahanan yang lain. Wewenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain ini ada pada penyidik atau penuntut umum atau hakim. Pengalihan jenis penahanan ini dinyatakan secara tersendiri dengan perintah dari penyidik atau peuntut umum atau penetapan hakim dan tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwah dan keluarganya serta instansi yang berkepentingan (Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Perpanjangan penahanan itu hanya dapat diberikan oleh penuntut umum atas dasar alasan yang

(29)

kuat dan melampirkan resume hasil pemeriksaan sementara yang dilakukan oleh penyidik kepadanya. Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum (Pasal 24 ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Terdapat pengecualian terhadap ketentuan jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut diatas. Guna kepentingan guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

3) Penggeledahan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP (Pasal 32 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penggeledahan

(30)

rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sedangkan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita (Pasal 1 butir 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam melakukan penggeledahan rumah, harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

a) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan (Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidikan untuk melakukan penggeledahan rumah harus ada surat izin ketua pengadilan negeri guna menjamin hak asasi seorang atas rumah kediamannya.

b) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas Kepolisian Negara RI dapat memasuki rumah (Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

(31)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka tetugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua pengadilan negeri juga surat perintah tertulis dari penyidik.

c) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya (Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

d) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir (Pasal 33 ayat (4) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Adapun yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan. Yang dimaksud ketua lingkungan adalah ketua atau wakil ketua rukun kampung/ rukun tetangga/ rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat.

e) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(32)

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, penyidik dapat melakukan penggeledahan (Pasal 34 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana):

a) Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;

b) Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam; c) Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya. d) Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

Penyidik dalam melakukan penggeledahan seperti dimaksud di atas penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:

(33)

a) Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

b) Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;

c) Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan (Pasal 35 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Apabila penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam pasal 33 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana seperti yang telah diuraikan diatas, maka penggeledahan harus diketahui oleh kepala pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan (Pasal 36 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

4) Penyitaan

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

(34)

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Orang sering mendengar kata “pembeslahan atau perampasan” atas benda atau benda yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Pengertian “membeslah” sama artinya dengan menyita, yakni mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian. Sedangkan “perampasan” benda atau barang, artinya antara lain dengan pembeslahan atau penyitaan. Perampasan adalah tindakan hakim yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yakni mencabut dari hak kepemilikan seseorang atas benda itu, dengan demikian benda itu oleh penetapan hakim dirampas dan kemudian dapat dirusakkan atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan sebagai milik negara (Martiman Prodjohamidjojo, 1985: 36).

Prosedur atau langkah-langkah penyidik dalam melakukan penyitaan adalah sebagai berikut:

a) Berdasarkan surat ijin ketua pengadilan negeri kecuali tertangkap tangan hanya atas benda bergerak. (Pasal 38 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(35)

b) Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukan tanda pengenal (Pasal 128 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

c) Penyitaan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi (Pasal 129 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ). d) Penyidik membuat berita acara yang dibacakan, ditandatangani

serta salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita , keluarganya dan kepala desa. (Pasal 129 ayat 2,3 dan 4 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

e) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik (Pasal 130 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana

(36)

penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) diatas, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya (Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Benda-benda yang dapat dikenai penyitaan adalah benda-benda sebagai berikut:

a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;

b) benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Sepanjang memenuhi Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sedangakan dalam hal tertangkap tangan penyidik

(37)

dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selain itu, penyidik juga berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan (Pasal 41 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga (Pasal 44 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Apabila benda sitaan terdiri atas benda yang mudah rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin disimpan sampai adanya putusan pengadilan, perkara

(38)

yang bersangkutan tetap memiliki kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan :

a) Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;

b) Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Hasil pelelangan benda yang bersangkutan berupa uang dipakai sebagai barang bukti (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sedangkan benda sitaan yang terlarang atau dilarang diedarkan dirampas untuk digunakan bagi kepentingan negara atau dimusnahkan (Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

(39)

a) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau

ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c) Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana (Pasal 46 ayat(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

5) Pemeriksaan Surat

Dalam hal pemeriksaan surat, penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat

(40)

mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri (Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk kepentingan tersebut diatas penyidik dapat meminta kepada kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan, atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yan dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan (Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutanya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan (Pasal 41 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik dapat memerintahkan kepada orang yang mengenal surat atau tulisan lain, apabila surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa

(41)

atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau apabila surat atau tulisan tersebut merupakah alat untuk melakukan tindak pidana (Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Namun apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses pengadilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu (Pasal 48 ayat (3) Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penyidik membuat berita acara tentang tindakannya melakukan pemeriksaan surat tersebut dan turunan berita acaranya tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada

(42)

kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahan telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan (Pasal 49 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penyidik dapat segera pergi ke tempat yang dipersangkaan dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, dan apabila diperlukan maka penyidik dapat menyitanya (Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Apabila terdapat dugaan bahwa surat atau tulisan itu palsu atau diduga palsu oleh penyidik, maka penyidik dapat memintakan keterangan kepada seorang ahli untuk memastikan kebenaran dalam surat atau tulisan tersebut (Pasal 132 (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau meminta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi supaya mengirimkan surat asli untuk bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar

(43)

tersebut, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan kepada pejabat penyimpan umum yang mengirimkan daftar tersebut (Pasal 132 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam hal surat yang diminta oleh penyidik untuk dikirimkan kepadanya tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali. Di bagian bawah dari salinan itu penyimpan umum memberikan catatan untuk kepentingan apa salinan itu dibuat (Pasal 132 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Apabila surat atau tulisan itu tidak dikirimkan tanpa alasan yang sah dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, penyidik berwenang mengambil surat atau daftar yang di maksud (Pasal 132 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(44)

C. Tinjauan tentang Penipuan Berkedok Investasi melalui Sistem Online

1. Pengertian Penipuan Berkedok Investasi melalui Sistem Online Penipuan artinya adalah perbuatan atau perkataan, proses, cara, perbuatan menipu yang tidak jujur (bohong, palsu dengan maksud mengakali, menyesatkan, mencari untung) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 513). Berkedok artinya memakai kedok untuk menutup muka, menutupi hal yang sebenarnya dengan sesuatu kedok (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 525).

Sedangkan investasi adalah penanaman uang atau modal disuatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 441). Investasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dari suatu dana atau uang yang dimiliki seorang investor (penanam/pemilik uang) ke suatu bidang usaha atau bisnis yang dijalankan oleh penawar atau investasi (emiten) dengan menanamkan dana yang dimilikinya ke sebuah bidang usaha atau bisnis seorang investor berhak atas sejumlah laba yang telah ditentukan dalam suatu perjanjian, sedangkan dari sisi pelaku bisnis baik berupa perusahaan ataupun perorangan dana dari para investor dangat berguna sebagai sumber pembiayaan eksternal yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan produksinya (M.Irsan Nasarudin dan Indra Surya, 2004: ix).

(45)

Sistem berarti perangkat unsur yang teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, dan asas; metode (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 1076). Sistem yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan dalam melakukan penipuan yaitu secara online. Dalam bahasa Indonesia berarti dalam jaringan adalah menunjukkan keadaan konektivitas (No Name, 2012: dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dalam_ jaringan-dan_luar_jaringan diunduh pada tanggal 13 Januari 2013 pukul 10.55 WIB). Online adalah sedang menggunakan jaringan, terhubung dalam jaringan, satu perangkat dengan perangkat lainnya yang terhubung sehingga bisa saling berkomunikasi. Online ini juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana sebuah device (komputer) terhubung dengan device lain, biasanya melalui modem (Salamarianto, 2012: dalam http://pns-oh-pns.blogspot.com/2012/12/pengertian-online.html di unduh pada tanggal 13 Januari 2013 pukul 10.35).

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan yang dimaksud penipuan berkedok investasi melalui sistem online adalah perbuatan atau cara penipuan dengan memakai kedok atau melakukan sesuatu sebagai alat penutup keadaan sebenarnya, menggunakan sesuatu sebagai alat untuk menutup diri yang dalam hal ini penipuan diwujudkan dalam penawaran usaha berupa penanaman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek dengan metode menggunakan

(46)

jaringan internet untuk tujuan memperoleh keuntungan yang sebenarnya perusahaan tersebut fiktif atau tidak kredibel dan tidak dapat dipertanggungjawabkan atau dengan kata lain tujuan utama adalah menipu tetapi di tutupi dengan kegiatan/usaha investasi.

2. Sanksi Pidana terhadap Penipuan Berkedok Investasi melalui Sistem Online

Sanksi pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 378 ancaman hukumannya paling lama 4 tahun penjara bagi mereka yang terbukti melakukan penipuan. Dengan kriteria penipuan antara lain yaitu tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum, memakai nama palsu atau martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang. Sedangkan sanksi pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 372 ancaman hukumannya paling lama 4 tahun penjara bagi mereka yang terbukti melakukan penggelapan. Dengan kriteria penggelapan antara lain yaitu tindakan dengan sengaja dan melawan hukum, mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah pokok tersebut selanjutnya dibuatkan sub masalah yang dijadikan sebagai rumusan masalah yakni, Bagaimana Penggunaan Media Pembelajaran Mahasiswa PPL mata

Sebagai contoh, kualitas link dalam sel yang melayani bagus, tetapi terdapat sel tetangga yang mempunyai level yang lebih bagus, walaupun tidak diperlukan

yang dijamin asuransi ini, perjalanan yang diasuransikan diakhiri di suatu pelabuhan atau tempat selain dari dimana obyek asuransi dijamin dalam asuransi ini,

Gagasan dan proses perancangan Plaza Bacaan di Manado menggandeng tema “Atmospheres: Parameter Desain Peter Zumthor dalam Arsitektur” sebagai pendekatan dalam merancang,

Sistem operasi yang berjalan di perangkat Komputer personal biasa digunakan sebagai alat bantu penyelesaian pekerjaan yang banyak dalam waktu singkat, sistem operasi yang

Dengan penggunaan teknik line search dalam conjugate gradient, pelatihan backpropagation hanya memerlukan epoch yang kecil (rata-rata 27 epoch untuk data temperatur

Rekomendasi yang bisa diajukan dari hasil penelitian ini adalah pemerintah Kabupaten Lumajang tetap mempertahankan nilai pengeluaran di sektor ekonomi dan sektor

Pembuatan formulasi insektisida nabati dari limbah penyulingan nilam di Kecamatan Belik dan Watukumpul, dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan