• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

14

A. Kerangka Teori atau Konseptual

1. Tinjauan tentang Proses Pemeriksaan Perkara Anak a. Pengertian Anak

1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”

2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

3) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berdasarkan ketentuan Pasal 42 yaitu “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

4) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menurut KUHAP batasan umur anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur dibawah 15 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 171 KUHAP dan penjelasannya). Selanjutnya dalam hal-hal tertentu hakim “dapat” menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 ayat (5) KUHAP dan penjelasannya).

5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, maka batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 tahun. Terhadap hal ini baik secara teoritik dan praktek

(2)

maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim dapat menentukan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharaannya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak negara atau juga dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No.3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 tahun.

b. Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang bertujuan agar dapat terwujudnya peradilan yang benar-benar dapat menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sangat dijunjung tinggi akan Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Keadilan Restoratif diartikan sebagai suatu proses untuk mengembalikan kepada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana sehingga bukan merupakan pembalasan maupun pembuat jera.

Secara konseptual, diversi adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradiln menuju proses pelayanan sosial. Dengan demikian, diversi juga bermakna suatu upaya untuk mengalihkan anak dari proses yustisial menuju proses non-yustisial. Upaya untuk mengalihkan proses peradilan (pidana)

(3)

anak menuju proses non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi (Koesno Adi, 2014: 122).

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan pidana (Pasal 1 butir ke-7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pengadilan negeri wajib untuk mengupayakan diversi pada setiap tingkatan dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak. Dalam diversi, semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Diversi merupakan upaya yang wajib diterapkan pada setiap perkara pidana anak, namun terdapat beberapa syarat dalam menerapkan diversi. Diversi dapat dilakukan pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang sanksi pidananya diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun. Selain itu, diversi dapat diupayakan bila tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut merupakan tindak pidana yang pertama kali dilakukan (perdana) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pengaturan mengenai syarat diversi tersebut dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 7 Ayat (2). Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Proses Diversi wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma

(4)

negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan, serta ketertiban umum. Dalam melakukan upaya diversi penyidik, penuntut umum, dan hakim harus mempertimbangkan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak, umur Anak ketika melakukan tindak pidana, hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga maupun masyarakat. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak. Diversi dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

c. Proses Pemeriksaan Penyidikan

Pengaturan tentang penyidikan pada perkara Anak telah diatur lebih dahulu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan kemudian dilakukan perubahan, diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa:

1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

a) telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;

b) mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

(5)

2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada : a) penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana

yang dilakukan oleh orang dewasa; atau

b) penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.

Menurut Pasal 42 juga dinyatakan bahwa:

1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. 2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik

wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.

3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pengaturan mengenai penyidikan diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 yang menyatakan bahwa:

Pasal 26

1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

(6)

c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. 4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Rumusan Pasal 27

1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan

atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.

3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

Rumusan Pasal 28: Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.

Rumusan Pasal 29

1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.

2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi.

3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan

(7)

melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

Pelaksanaan tahap penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diutamakan jalur diversi karena merujuk kepada konsep restorative justice.

d. Proses Penangkapan

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga, masyarakat dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam anak tersebut masih di dalam kandungan. Setiap anak sejak dalam kandungan memiliki hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Convention on the Rights of the Child 1989, memuat sejumlah ketentuan yang sangat tegas berkaitan dengan penangkapan, yaitu: tak seorang anakpun boleh dicabut kebebasannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan anak atau orang muda harus sesuai dengan hukum dan hanya dapat digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya terhadap anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses cepat terhadap bantuan hukum dan bantuan-bantuan tetap lainnya, serta hak untuk melawan kebasahan pencabutan kebebasannya (Abdusasalam dan Abd. Asis, 2014: 59).

Beberapa negara jangka waktu maksimum yang diperbolehkan sebelum orang yang ditangkap dihadapkan ke hadapan hakim atau otoritas serupa dibatasi sampai 48 jam. Jangka waktu 48 atau 24 jam

(8)

ini lebih umum ditunjuk dan dikenal sebagai tahanan polisi. Dalam kaitan dengan pengkapan anak sebagai pelanggar hukum, para pejabat pengak hukum diharuskan mematuhi sejumlah ketentuan pelengkap, antara lain (Abdusasalam dan Abd. Asis, 2014: 59-60):

1) Orang tua atau wali dari anak yang ditangkap harus diberitahukan mengenai penangkapan tersebut dengan segera (Beijing Rules, Rule 10.1);

2) Hakim atau otoritas yang berwenang lainnya akan mempertimbangkan soal pelepasannya tanpa penangguhan (Beijing Rules, Rule 10.2);

3) Anak yang ditahan menyusul penangkapannya akan dipisahkan dengan orang dewasa di dalam tahanan (Beijing Rules, Rule 13.4); 4) Setiap orang pada saat penangkapan pada permulaan pengkapan

atau pemenjaraan atau segera setelah itu, harus diberikan keterangan dan penjelasan mengenai hak-haknya dan caranya membantu dirinya sendiri. Dengan hak-haknya itu, oleh otoritas yang bertanggung jawab atas penangkapan, penahanan atau pemenjaraannya (Body Of Principles, Asas 13).”

Sering dikacaukannya pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris). Sedangkapan penahanan sejajajar dengan detention (Inggris). Jangka waku penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesampai di kantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan. (Andi Hamzah, 2011: 128).

Pejabat penegak hukum dalam hubungannya dengan orang-orang atau anak-anak yang ditahan atau ditawan, tidak menggunakan kekerasan, kecuali apabila sangat perlu untuk memelihara keamanan

(9)

dan ketertiban didalam lembaga itu atau apabila keamanan pribadi terancam penggunaan senjata api dan kekerasan digunakan atau diperlukan untuk mencegah larinya seseorang yang ditawan atau ditahan yang menimbulkan bahaya dan tidak dapat dihindarkan untuk melindungi jiwa (Abdusasalam dan Abd. Asis, 2014: 63).

Pengaturan tentang penangkapan pada Anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam Pasal 43 menyatakan bahwa:

1) Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari. Penjelasan resmi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pada Pasal 43 ayat (2) menyatakan yang dimaksud 1 hari adalah dalam jangka waktu 1 x 24 jam. Pada Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam KUHAP, menyebutkan perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17). Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka dengan mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segara menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. Tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan

(10)

(Pasal 18) untuk paling lama satu hari (Abdusasalam dan Abd. Asis, 2014: 64).

Pengaturan tentang penangkapan terhadap Anak juga terdapat dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 30 menyatakan bahwa:

1) Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.

2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.

3) Dalam hal rung pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS.

4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.

5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 30 ayat (2), (3), (4) dan (5) menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak, namun dalam hal ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah yang bersangkutan maka anak dititipkan di LPKS dan biaya setiap anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Selain itu dalam hal penangkapan anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan anak sesuai umurnya.

e. Proses Pemeriksaan dalam Persidangan

Dalam hak pemeriksaan tersangka atau terdakwa, maka sistem pemeriksaan dapat dilakukan, yaitu dengan sistem Inqusitor dan

(11)

sistem accusator. Sistem pemeriksaan inquisitor dalam HIR yaitu terhadap tersangka pada tingkat penyidikan adalah suatu sistem pemeriksaan di mana tersangka diangap sebagai objek pemeriksaan, yaitu pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup, sehingga tersangka dalam sistem pemeriksaan ini tidak mempunyai hak untuk membela diri (Andi Sofyan, 2014: 305). Sedangkan sistem accusator yaitu sistem pemeriksaan pada tingkat pengadilan atau pemeriksaan di muka hakum dimana tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemerksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang dituduhkan atas dirinya (Andi Sofyan, 2014: 306).

“Secara khusus, persidangan anak berbeda dengan persidangan pidana pada umumnya dan mempunyai persyaratan tertentu. Dalam beberapa kasus hakim ternyata belum mengetahui filosofi pemidanaan anak yaitu melindungi dan mensejahterakan anak.” (Sri Sutatiek, 2013: 70).

f. Proses Penuntutan

Negara Indonesia yang mengedepankan hukum positif sebagai rule of the game dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menjadikan hukum itu sebagai panglima di negara ini, maka hal ini mengandung konsekuensi yang luas ditengah-tengah masyarakat yaitu segala sesuatu yang menyangkut prilaku dan keperluan hajat hidup orang banyak yang harus diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua orang Indonesia tanpa pandang bulu (M. Sofyan Lubis, 2010: 8).

Salah satu proses penegakan hukum di Indonesia salah satunya adalah penuntutan. Menurut Pasal 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

(12)

Pengaturan mengenai Penuntutan terhadap Anak terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, pada Pasal 53-54. Dalam Pasal 53 menyatakan:

1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

a) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penentutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Penjelasan resmi Pasal 53 ayat (3) yang dimaksud hal tertentu adalah dalam hal belum terdapat penuntut umum anak yang persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penuntutan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah tersebut belum ada penunjukan penuntut umum anak. Pasal 54 menyatakan: “Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”.

Pengaturan terhadap Penuntutan anak juga terdapat dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012, yaitu dalam Pasal 41-42. Dalam Pasal 41 menyatakan bahwa:

(13)

1) Penuntutan tehadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum;

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah Anak;dan

c) Telah mengikuti pelatihan tekhnis tentang peradilan Anak 3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pasal 42 menyatakan:

1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik. 2) Diversi sebagimana dimakud pada ayat (1) dilaksanakan paling

lama 30 (tiga puluh) hari.

3) Dalam proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. 4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan

berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan

Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 syarat ditetapkan menjadi Penuntut umum anak ditambahkan selain syarat-syarat yang ada dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 yaitu telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak, selain itu dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 juga mengatur mengenai upaya Diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

(14)

g. Proses Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, di sini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. (Andi Hamzah, 2011: 129)

Letak keistimewaan hukum acara pidana itu. Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan seorang. Ketentuan demikian terutama mengenai penahanan di samping yang lain seperti pembatasan hak milik karena penyitaan, pembukaaan rahasia surat (terutama dalam delik korupsi dan subversi), dan lain-lain.” (Andi Hamzah, 2011: 129)

Pengaturan Penahanan terhadap Anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, pada Pasal 44-49. Pasal 44 menyatakan bahwa:

1) Untuk Kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari.

3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.

(15)

4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum.

5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di Lingkungan Rumah Tanahan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.

Pasal 45 menyatakan bahwa:

1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.

2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.

3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.

4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

Pasal 46 menyatakan bahwa:

1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.

2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.

3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untu paling lama 15 (lima belas) hari.

(16)

4) Dalam jangka waktu 25(dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri.

5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 47 menyatakan:

1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengelurkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.

3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 48 menyatakan :

1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama (15) hari.

3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,

(17)

dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikelurkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 49 menyatakan:

1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari.

3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikelurkan dari tahanan demi hukum.

Penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 pada Pasal 44 ayat (6) dijelaskan bahwa pengertian “tempat khusus” adalah tempat penahanan yang secara khusus diperuntukan bagi anak, yang terpisah dari tahanan orang dewasa. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Rumah Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara, atau apabila di kedua tempat tahanan di atas sudah penuh, maka penahanan terhadap anak dapat dilaksanakan di tempat tertentu lainnya dengan tetap memperhatikan kepentingan pemeriksaan perkara dan kepentingan anak.

(18)

Pengaturan tentang penangkapan terhadap Anak juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yaitu pada pasal 32-38. Dalam Pasal 32 menyatakan : 1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak

memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

2) Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

a) Anak terlah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b) Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.

4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap terpenuhi.

5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.

Pasal 33 menyatakan:

1) Penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.

2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari.

3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

(19)

5) Dalam hal tidak terdapat LPAS. Penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.

Pasal 34 menyatakan:

1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.

2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari.

3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

Pasal 35 menyatakan:

1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.

2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari.

3) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

Pasal 37 menyatakan:

1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.

2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari.

(20)

Pasal 38 menyatakan:

1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari.

2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari.

3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara ketentuan yang berkaitan dengan penahanan antara Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012, diantaranya:

1) Pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 penangguhan penahanan terhadap anak nakal dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP yaitu dapat dilakukan dengan syarat yang ditentukan dan untuk mendapatkan penangguhan penahanan harus berdasarkan izin pihak yang berwenang yang melakukan penahanan. Sedangkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 penangguhan penahanan dapat dilakukan dan menjadi hak yang harus didapatkan Anak yang berkonflik dengan hukum jika mendapatkan jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidananya.

2) Dalam hal penahanan ditingkat penyidikan pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 maksimal 30 hari (20 hari + 10 hari perpanjangan). Sedangkan dalam penahanan pada

(21)

Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 maksimal 15 hari (7 hari + 8 hari perpanjangan).

3) Dalam hal penahanan ditingkat penuntutan pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 maksimal 25 hari (10 hari + 15 hari perpanjangan). Sedangkan dalam penahanan pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 maksimal 10 hari (5 hari + 5 hari perpanjangan).

4) Dalam hal penahanan ditingkat pemeriksaan di pengadilan negeri pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 maksimal 45 hari (15 hari + 30 hari perpanjangan). Sedangkan dalam penahanan pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 maksimal 25 hari (10 hari + 15 hari perpanjangan).

5) Dalam hal penahanan ditingkat pemeriksaan di pengadilan tinggi pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 maksimal 45 hari (15 hari + 30 hari perpanjangan). Sedangkan dalam penahanan pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 maksimal 25 hari (10 hari + 15 hari perpanjangan).

Dalam hal penahanan ditingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung pada Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 maksimal 55 hari (25 hari + 30 hari perpanjangan). Sedangkan dalam penahanan pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 maksimal 35 hari (15 hari + 20 hari perpanjangan).

2. Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan Pengadilan

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

(22)

Putusan hakim pada dasarnya dibuat dalam rangka memberikan jawaban. Oleh karena hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), maka putusan itu harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar dikalangan institusi kehakiman, forum imu pengetahuan hukum, masyarakat luas dan para pihak yang berperkara (Shidarta, 2011: 4). Putusan merupakan output dari suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tibalah saatnya hakim mengambil keputusan (Rusli Muhammad, 2007: 199).

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada pemufakatan yang bulat atau diambil dengan suara terbanyak apabila tidak tercapai mufakat atau dengan keputusan yang menguntungkan terdakwa, ini telah sesuai dengan Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Ketentuan tersebut sangat menguntungkan terdakwa, karena jika seorang hakim memandang apa yang didakwakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak dapat terbukti dan hakim yang ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan (vrijsparaak) terdakwa (Andi Hamzah, 2011: 283).

Putusan harus sah untuk dapat dilaksanakan. Syarat sahnya putusan diatur dalam Pasal 195 KUHAP yakni apabila diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan juga dapat memantau apakah jalannya persidangan sesuai dengan ketentuan didalam KUHAP atau tidak.

b. Macam-Macam Putusan Pengadilan Perkara Pidana

Macam-macam putusan pengadilan perkara pidana tergantung dengan hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalm pemeriksaan di sidang

(23)

pengadilan. Bertolak dari dijatuhkan Pengadilan mengenai suatu perkara bisa berbentuk sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2012: 347-359):

1) Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari pemidanaan, tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP seorang terdakwa dapat diputus bebas apabila Pegadilan berpendapat:

a) Dari hasil pemeriksaan “di sidang” Pengadilan;

b) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan”. Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:

a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang undang secara negatif.

Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

b) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut Onslag van alle Rechtsverolging yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Jika pengadilan

(24)

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Putusan Pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasar kriteria adalah; a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti

secara sah dan meyakinkan;

b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Perbandingan putusan pelepasan dari segala tuntutan dan putusan pembebasan dapat ditinjau dari beberapa segi antara lain:

a) Ditinjau dari segi pembuktian; b) Ditinjau dari segi penuntutan. 3) Putusan Pemidanaan

Putusan Pemidanaan di atur dalam Pasal 193 KUHAP “Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.” Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) “penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.” Apabila terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas-asas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.

Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman “minimum” dan “maksimum” yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan

(25)

pemidanaan harus didasarkan pada Pasal 193 ayat (2) “ada berbagai status yang dapat diperintahkan Pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana yaitu: a) Jika terdakwa tidak ditahan;

b) Jika terdakwa berada dalam status tahanan”.

Selanjutnya secara khusus mengenai jenis pidana terhadap terdakwa anak diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan berikut:

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan;

b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. (4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat

dan martabat Anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(26)

c. Pertimbangan Hakim dalam Pengambilan Keputusan

Berdasarkan asas negatief wetwlijk hakim terikat ketentuan Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Hakim dalam pengambilan putusan mempertimbangkan unsur yuridis berasal dari pasal yang didakwakan dan non-yuridis berasal dari kondisi sosial ekonomi terdakwa yang nanti tertuang dalam hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Hakim dalam menetapkan dan memutus perkara harus didasarkan atas dasar alasan dan dasar hukum yang tepat, sehingga putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan:

(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

(27)

d. Proses Penjatuhan Putusan

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh Hakim tersebut. Proses penjatuhan putusan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak (Ahmad Rifai, 2010: 94-95).

“Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh Hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno yang dikutip oleh Ahmad Rifai, dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut (Ahmad Rifai, 2010: 96-100):

1) Tahapan Menganalisis Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan-perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu perbuatan segi tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.

a) Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya, Menurut Moeljanto, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:

(1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); (2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;

(28)

(3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

(4) Tidak adanya alasan pemaaf.” e. Tahap Penentuan Pidana

Dalam hal ini jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut, dengan melihat pasal pada Undang-Undang yang dilanggar oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP, dimana KUHP telah menentukan pemidanaan maksimal yang dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana, kiranya rumusan Pasal 58 (Pasal 52) Naskah Rancangan KUHP (baru) hasil penyempurnaan Tim Intern Departemen Kehakiman, dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan (Bambang Waluyo, 2008: 91) hal-hal berikut:

1) Kesalahan pembuat tindak pidana;

2) Motif dan Tujuan melakukan tindak pidana; 3) Cara melakukan tindak pidana;

4) Sikap batin pembuat tindak pidana;

5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

6) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;

9) Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan

10) Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

(29)

f. Hal-hal yang dimuat dalam Putusan Menurut Pasal 197 KUHAP:

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta

dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

(30)

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit” Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan Van Hamel (dalam Mahrus Ali, 2012: 99) mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakkan dengan kesalahan. Pengertian tindak pidana adalah suatu kejadian yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Salah satu jenis tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan adalah tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika yag ada pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta ketentuan lain yang termasuk atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

(31)

Definisi Narkotika menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Salah satu jenis tindak pidana narkotika adalah dalam bentuk memindahkan, mengirim, membawa atau mentransito narkotika. Pengaturan mengenai jenis tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 115 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berisi:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi 3 golongan yaitu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III.

(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam

(32)

Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini. B. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Putusan Nomor: 538/Pid.sus-Anak/2014/Pn.Dps

Proses Pemeriksaan Pertimbangan Hakim

Sesuai dengan Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Acara Pidana Masa Transisi

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SistemPeradilan Pidana Anak?

(33)

Keterangan:

Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam menggambarkan, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas penelitian hukum, yaitu mengenai proses pemeriksaan menggunakan sistem peradilan pidana anak pada masa transisi dan pertimbangan hakim memutus perkasara berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung nomor: 538/Pid.sus-Anak/2014/Pn.Dps.

Pada kasus tersebut terdapat seorang anak berumur 17 tahun 7 bulan yang menjadi seorang Terdakwa kasus tindak pidana anak. Terdakwa melakukan perbuatan pidana yaitu menjadi perantara jual-beli (Kurir) Narkoba seberat 1,22 Gram yang berupa Kristal Bening Shabu yang masuk pada Golongan I menurut Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa dinyatakan hanya sebagai kurir karena dalam tahapan pemeriksaan urine Anak dinyatakan bebas dan bersih dari positifnya narkoba. Anak melakukan tindak pidana tersebut pada masa transisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diubah ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam masa transisi tersebut Anak melakukan tindak pidana dan didakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum membawa narkotika golongan I bukan tanaman” di mana Anak dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan.

Kasus tersebut penuntut umum menuntut terdakwa Anak dengan Pasal 115 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama anak dalam tahanan dengan perintah anak

(34)

tetap ditahan dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan apabila denda tidak dapat dibayar maka anak dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) bulan.

Setelah mendengar tuntutan dari penuntut umum, penasihat hukum anak melakukan pembelaan terhadap terdakwa anak yaitu memohon kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan mengembalikan terdakwa anak kepada orang tua atau walinya dan tetap dibawah pengawasan Jaksa Penuntut Umum dan di bimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 77 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pembelaan penasihat hukum juga diperkuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam rekomendasinya yang dibacakan di depan persidangan sesuai dengan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan, memohon kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan pidana bersyarat dibawah bimbingan dan pengawasan dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Denpasar.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian tentang proses pemeriksaan terhadap Terdakwa Anak ia melakukan tindak pidana narkotika pada masa transisi perubahan Undang-Undang dalam kasus ini tidak dapat digunakannya diversi dikarenakan ancaman pidana terdakwa lebih dari 7 tahun dan ditinjau usia anak yang masih berusia 17 tahun 7 bulan. Dalam memutus perkara tersebut pertimbangan hakim sangat memerlukan kebijaksanaan dikarenakan terdakwa merupakan seorang anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengutamakan restorative justice bukan pembalasan.

Referensi

Dokumen terkait

Ning Rahayu, M.Si selaku konsultan Horwath International dan dosen Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi Politik Universitas

Usus belakang terdiri atas lima bagian, yaitu saluran pendek yang berhubungan langsung dengan usus tengah, enteric valve, kantung rektum, kolon, dan rektum (Gambar 3)..

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran melalui multimedia, guru dapat menyajikan materi pelajaran dengan berbagai alat seperti slide,video dan lain

Secara sederhana tipologi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memerikan (describe) sebuah kelompok objek atas dasar kesamaan sifat-sifat dasar. Bahkan bisa juga

Tesis dengan judul ”Manajemen Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan Layanan Bimbinga Karir Siswa (Studi Multi Kasus di MAN Kunir Wonodadi Blitar dan MA Ma’arif Udanawu Blitar) ”

Oleh karena itu untuk kelangsungan pengelolaan produksi UKM, UKM Kerupuk Kentang Ibu Risty harus mengajukan beberapa persyaratan yang terkait agar dikeluarkan

Peubah bebas pendapatan usaha pertanian sangat nyata (P < 0,01) berhubungan posistif dengan total pendapatan peternak, yang hal tersebut menunjukkan bahwa pendapatan

Yang muncul adalah dari kelompok dosamūlacitta yaitu domanassasahagata paṭighāsampayutta asaṅkhārika citta.(suatu kesadaran yang disertai dengan perasaan tidak