PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT
TERHADAP LAJU RETROGRADASI PADA GEL PATI SAGU
(Metroxylon sp.) DAN PATI AREN (Arenga pinnata)
SKRIPSI
FILDA NURRIA AGUSTIFA M.A.
F24080070
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
THE INFLUENCE OF HEAT MOISTURE TREATMENT
AGAINST THE RATE OF SAGO (Metroxylon sp.) AND SUGAR
PALM (Arenga pinnata ) STARCHES GEL RETROGRADATION
Filda Nurria Agustifa M.A., Dede R. Adawiyah
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 16002, Bogor, West Java, Indonesia.
Phone: +62852 366 25150, e-mail: fildanurriaagustifa@yahoo.com
ABSTRACT
Starch is a carbohydrate reserves that are found in various plants and is the second largest source of carbohydrates after cellulose. One starch derived from palm. As for example of the palm starch sources is sago (Metroxylon sp) and sugar palm (Arenga pinnata). Native starch usually has a limited functional properties for a specific process. Modification of starch is usually done to improve the functional properties of starch for a particular purpose. Physical modification such as heat moisture treatment (HMT) has the potential to increase the functional properties of native starch. The purpose of this research was to study the effects of HMT on the rate of starch retrogradasi through the rate of sineresys, the changing textural properties, water content and water activity (aw) during
storage. Modification of HMT performed with the method of autoclaving at a temperature of 60 minutes 120oC to sago starch and 90 minutes for arenga starch where previously made starch moisture content of 20%. The rate of sineresis was measured by using centrifuge method, whereas the characteristics of the texture was measured by using texture analyzer. Further analysis was the measurement of water content of starch gels using the oven method and measurement of water activity (aw) using the aw meters. Result of RVA measurement show that HMT can increase the gelatinization
temperature, lower breakdown and increasing the setback. This research proved that HMT increases the rate of sineresis of sago and arenga starch gel and can make the texture more rigid. In addition, modification of HMT also increases the fragility of the gels and the moisture content was decreases. Decreasing in aw also occur due to the influence of the HMT. The value of the lowest aw occurred at
Sagu HMT starch gel although the rate of decline in the value of the highest aw occurs in the sagu
alami starch. Based on the results of the study it can be concluded that the Sagu HMT starch sensitive to heat treatment compared to Aren HMT starch, sagu alami and arenga starch. This is apparent from the highest of increasing a rate of syneresis, increasing in the rate of the elastic modulus, the highest of declining the rate of the strains value, and the highest of the rate of gel moisture content decreasing.
iii Filda Nurria Agustifa M.A. F24080070. Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap Laju
Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata). Di bawah
bimbingan Dede R. Adawiyah.2013.
RINGKASAN
Pati adalah salah satu cadangan karbohidrat yang ditemukan dalam berbagai tanaman dan merupakan sumber karbohidrat terbesar kedua setelah selulosa. Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata). Pati alami (belum dimodifikasi) biasanya memiliki sifat fungsional yang terbatas untuk proses tertentu. Modifikasi pati biasanya dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati untuk tujuan tertentu. Modifikasi fisik seperti heat moisture treatment (HMT) berpotensi untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati alami. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh HMT terhadap laju retrogradasi pati melalui tingkat sineresis, perubahan sifat tekstural, kadar air, dan aktivitas air (aw) selama penyimpanan. Modifikasi HMT dilakukan dengan metode autoclaving pada suhu 120oC selama 60 menit untuk pati sagu dan 90 menit untuk pati aren dimana sebelumnya kadar air pati dijadikan 20% (Adawiyah, 2012). Sebelumnya karakteristik pasta pati selama pemanasan (pasting property) perlu diketahui terlebih dahulu dengan menggunakan rapid visco analyzer (RVA). Selanjutnya untuk mengetahui laju sineresis digunakan metode centrifuge, sedangkan untuk mengetahui karakteristik terkstur digunakan analisis dengan menggunakan alat texture analyzer. Analisis selanjutnya adalah pengukuran kadar air gel pati dengan menggunakan metode oven dan pengukuran aktivitas air (aw) dengan menggunakan aw meter.
Data pengukuran RVA menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, menurunkan breakdown dan meningkatkan setback. Penelitian ini membuktikan bahwa HMT meningkatkan laju sineresis gel pati aren dan pati sagu dan juga mengakibatkan tekstur gel pati sagu dan pati aren lebih rigid. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya laju peningkatan modulus elastis antara pati sagu dan aren alami dengan pati sagu dan aren HMT. Selain itu modifikasi HMT juga meningkatkan kerapuhan gel pati (menurunnya laju penurunan nilai strain gel pati sagu dan pati aren), dan penurunan kadar air gel pati. Penurunan aw juga terjadi akibat pengaruh HMT. Nilai aw terendah terjadi pada gel pati sagu HMT walaupun laju penurunan nilai aw tertinggi terjadi pada pati sagu alami.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pati sagu HMT sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan pati aren HMT, pati sagu alami, pati aren alami. Hal ini terlihat dari laju peningkatan sineresis yang tinggi, laju peningkatan modulus elastis tertinggi, laju penurunan nilai
iv
PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT TERHADAP LAJU
RETROGRADASI PADA GEL PATI SAGU (Metroxylon sp.) DAN PATI AREN
(Arenga pinnata)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
FILDA NURRIA AGUSTIFA M.A. F24080070
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
v Judul Skripsi : Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu
(Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata) Nama : Filda Nurria Agustifa M.A.
NIM : F24080070
Menyetujui, Pembimbing
(Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.) NIP. 19680505 199203.2.002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303.1.004
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Heat
Moisture Treatment terhadap Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati
Aren (Arenga pinnata) dan Pati Aren adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan
Filda Nurria Agustifa M.A. F24080070
vii
©Hak cipta milik Filda Nurria Agustifa M.A., tahun 2013
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
BIODATA PENULIS
Filda Nurria Agustifa M.A. Lahir di Jember, 12 Agustus 1990 dari Ayah Dedi Mohamad Nurahmadi dan ibu Utiek Rachmatillah, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Jember dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai macam kegiatan diluar perkuliahan. Selama tingkat persiapan bersama, penulis bergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) sebagai bendahara Komisi 2 (Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa). Selain itu penulis juga terdaftar sebagai pengurus Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Hurriyyah IPB, Departemen Syi’ar serta terlibat dalam kegiatan asrama TPB IPB sebagai salah satu pengurus. Pada perkuliahan tingkat selanjutnya (semester 3 dan 4) penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM Fateta) sebagai sekretaris Departemen Sosial dan Lingkungan serta masih tergabung dalam kepengurusan LDK Al Hurriyyah IPB. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk menjadi moderator dalam Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XVIII yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Dan Teknologi Pangan (Himitepa) IPB. Pada periode 2010-2011 penulis aktif dalam Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian (FBI Fateta) sebagai sekretaris umum serta berkesempatan menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam TPB. Pada bulan Maret 2011 penulis berkesempatan untuk mempresentasikan paper dalam ajang The 2nd Annual Indonesian Scholars Conference in Taiwan di
Asia University, Taichung, Taiwan. Pada periode 2011-2012 penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB sebagai Sekretaris Kementerian Kebijakan Kampus dan pada bulan Oktober 2012 penulis diamanahkan untuk menjadi Menteri Kebijakan Kampus BEM KM IPB. Selain itu pada tahun 2012 penulis tergabung dalam kepengurusan Ikatan Mahasiswa Muslim Peduli Pangan Dan Gizi (IMMPPG) Nasional sebagai Dewan Penasehat Divisi Ilmiah. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk menjadi pembicara dalam Leadership Training 2012 Program Pembinaan Akademik dan Multi Budaya Asrama TPB IPB. Selain dalam kegiatan organisasi, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan diantaranya Panitia Pelaksana Pemilihan Raya Wilayah TPB, Panitia Lokakarya Kemahasiswaan Keluarga Mahasiswa IPB, Panitia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) angkatan 46, Koordinator divisi Acara Panitia The
Future Today, Sekretaris Divisi PJAK Techno-F 2010, serta beberapa kepanitiaan lainnya. Selain
kepanitiaan, penulis juga berkesempatan mengikuti beberapa seminar dan pelatihan diantaranya Seminar Pangan Nasional, Seminar Nasional Festival Ilmuwan Muslim 2011, Pelatihan Kepemimpinan Pemuda, dan beberapa seminar dan pelatihan lainnya. Selain organisasi, pelatihan, dan seminar, penulis juga menyalurkan hobi dengan menulis artikel dengan berbagi tema di blog pribadi dengan alamat greenlightcivilization.wordpress.com
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Alloh SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata) dan Pati Aren ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast sejak bulan Juni sampai Oktober 2012.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Ayah, ibu, serta adik tersayang (Much. Haris Nurriansyah M.A.) atas doa serta dukungan selama ini. Terima kasih atas nasehat terbaik yang telah diberikan serta dukungan moril dan materil yang tak dapat digantikan oleh apapun.
2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai pembimbing utama skripsi. Terima kasih atas arahan, bimbingan, saran, serta nasehat yang telah diberikan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dian Herawati, S.TP, M.Si sebagai penguji. Terima kasih atas saran serta ilmu yang diberikan.
4. Dr. Ir. Achmad, MS sebagai pembina utama Pondok Pesantren Mahasiswi Al Iffah. Terima kasih atas nasehat terindah serta bimbingan terbaik yang telah diberikan sehingga penulis dapat senantiasa termotivasi untuk menjadi ilmuwan muslim yang tangguh serta berusaha untuk seimbang dalam setiap aktivitas yang disertai niat yang lurus karena Alloh.
5. Bapak Gatot, Ibu Rubiyah, Bapak Rozak, Mb Fera, Mas Edy, Mas Yeris yang telah membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di Laboratorium ITP dan Seafast Center. Terima kasih atas ilmu, saran, serta nasehat yang telah diberikan selama ini sehingga penulis dapat senantiasa termotivasi untuk terus bermanfaat bagi orang lain.
6. Ika Resmeilana, S.Hut, M.Si atas segala ilmu dan nasehat yang diberikan selama ini.
7. Ernawati, S.Pi; Khusnul Khotimah, SP; dan Nurina Rachma A, S.TP atas segala bentuk dukungan dan motivasi untuk terus menjadi insan yang lebih baik.
8. Imtizal Suprayitno, SP dan Warastin Puji Mardiasih, SP, M.Si atas segala dukungan dan nasehat selama penulis menjalankan tugas akademik di IPB.
9. Rekan satu bimbingan, Nur Sofia Wadhani Yahya, yang telah bersedia menjadi teman berbagi selama ini.
10. Rekan-rekan Dewan Metamorph DPM TPB 45, BEM Fateta Kabinet Merah Saga, Forum Bina Islami Fateta, dan LDK Al Hurriyyah IPB yang telah mengisi hari-hari penulis selama menuntut ilmu di IPB.
11. Rekan-rekan Kementerian Kebijakan Kampus BEM KM IPB yang selama ini telah bekerjasama serta saling mendukung untuk menjalankan amanah dengan baik. Terima kasih atas segalanya sehingga rasa kekeluargaan ini semakin dekat.
12. Rekan-rekan pimpinan BEM KM IPB Kabinet Berkarya yang telah saling mendukung dan memotivasi terutama untuk penyelesaian tugas akhir.
13. Rekan-rekan Pengurus Pusat serta Dewan Penasehat IMMPPG Nasional atas segala bentuk kerjasama serta berbagi ilmu dan pengalaman.
14. Rekan-rekan Kabinet Althoffunnisa Pondok Pesantren Mahasiswi Al Iffah atas bantuannya untuk bekerjasama menjalankan amanah. Terima kasih atas kesediaannya untuk berbagi ilmu dan pemikiran selama ini.
15. Rekan-rekan ITP 45 yang telah memberi banyak motivasi, dukungan, ilmu, serta kenangan selama kuliah dan penelitian.
16. Rekan-rekan alumni SMA Negeri 1 Jember 2008, terutma kelas XII IA 2, yang telah memberikan motivasi dan kenangan terbaik.
ii 17. Seluruh saudara yang berada di Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya, Jember yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah memberikan doa dan dukungan pada penulis terutama dukungan moril untuk penyelesaian tugas akhir ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Januari 2013
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
A. SAGU ... 3
B. AREN ... 3
C. PATI SAGU DAN PATI AREN ... 4
D. GELATINISASI PATI ... 6
E. RETROGRADASI PATI ... 7
F. MODIFIKASI PATI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT ... 8
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 9
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 9
B. BAHAN DAN ALAT ... 9
C. METODE PENELITIAN ... 9
1. Heat Moisture Treatment (HMT) ... 9
2. Analisis profil gelatinisasi dengan metode Rapid Visco Analyzer ...10
3. Persiapan Sampel Gel ...11
4. Gel Sineresis (Charoenrein et al.,2008) ...14
5. Analisis Tekstur (Adawiyah, 2012) ...15
6. Pengukuran Aktivitas Air (aw meter) ...15
7. Pengukuran Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) ...15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...17
A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT ...17
1. Kadar Air ...17
2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) ...17
B. LAJU SINERESIS GEL ...18
C. TEKSTUR ...20
1. Karakteristik Tekstur Gel Pati (Alami Dan HMT) pada Hari Ke-0 ...21
2. Perubahan Tekstur Gel Pati Sagu dan Pati Aren Selama Penyimpanan ...22
3. Korelasi Laju Sineresis dengan Perubahan Tekstur...26
D. KADAR AIR GEL ...27
E. AKTIVITAS AIR (aw) ...28
V. SIMPULAN DAN SARAN ...30
A. SIMPULAN ...30
B. SARAN ...30
DAFTAR PUSTAKA ...31
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik gelatinisasi pati sagu dan pati aren...5
Tabel 2. Profil Gelatinisasi pati sagu dan pati aren...5
Tabel 3. Pasting properties pati sagu dan pati aren...17
Tabel 4. Laju sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan...19
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati...7
Gambar 2. Diagram alir proses modifikasi pati Heat Moisture Treatment...10
Gambar 3. Hasil pengukuran pasting properties dengan menggunakan RVA...11
Gambar 4. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw...13
Gambar 5. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis...14
Gambar 6. Kurva Kompresi dari gel pati aren dan pati sagu modifikasi HMT...15
Gambar 7. Tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan...18
Gambar 8. Kompresi uniaxial dari gel...20
Gambar 9. Kurva kompresi uniaxial pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0 (a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0 (b)...21
Gambar 10. Kurva Kompresi pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7 (a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7 (b)...22
Gambar 11. Perubahan breaking stress selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)...23
Gambar 12. Perubahan breaking strain selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)...23
Gambar 13. Perubahan modulus elastisitas selama tujuh hari penyimpanan pada breaking point...23
Gambar 14. Perubahan maximum force selama tujuh hari penyimpanan pada strain 90%...24
Gambar 15. Perubahan adhesive force selama tujuh hari penyimpanan pada strain 90%...25
Gambar 16. Hubungan antara laju sineresis dan modulus elastis gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)...36
Gambar 17. Hubungan antara laju sineresis dan nilai strain gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)...27
Gambar 18. Perubahan nilai kadar air selama masa penyimpanan...28
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Syarat mutu pati sagu SNI 3729-2008...34
Lampiran 2. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren Alami Ulangan 1...34
Lampiran 3. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren Alami Ulangan 2...36
Lampiran 4. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu Alami Ulangan 1...37
Lampiran 5. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu Alami Ulangan 2...38
Lampiran 6. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren HMT Ulangan 1...39
Lampiran 7. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren HMT Ulangan 2...40
Lampiran 8. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu HMT Ulangan 1...41
Lampiran 9. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu HMT Ulangan 2...42
Lampiran 10. Rata-Rata Hasil Pengukuran Tingkat Sineresis...43
Lampiran 11. Rata-Rata Hasil Analisis Tekstur dengan Menggunakan Texture Analyzer...44
Lampiran 12. Rata –rata penghitungan modulus elastis...45
Lampiran 13. Rata-Rata Hasil Pengukuran Kadar Air...46
Lampiran 14. Rata-Rata Hasil Pengukuran Aktivitas Air (aw)...47
Lampiran 15. Input Pati Yang Digunakan Untuk Mengetahui Pasting Property Pati Sagu Dan Pati Aren dengan Menggunakan RVA dan Hasil Pengukuran Pasting Property Pati Aren dan Pati Sagu dengan menggunakan RVA...48
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pati adalah salah satu cadangan karbohidrat yang ditemukan dalam berbagai tanaman dan merupakan sumber karbohidrat terbesar kedua setelah selulosa. Pati yang disimpan dalam organ tanaman sebagai butiran merupakan sumber energi penting untuk nutrisi manusia. Ditinjau dari aspek fungsional, pati juga digunakan sebagai ingredient dalam pengolahan pangan untuk membangun karakter khusus seperti thickening, penstabil dispersi, dan pembentuk gel dan films. Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata).
Pati alami (belum dimodifikasi) biasanya memiliki sifat fungsional yang terbatas untuk proses tertentu seperti sebagai pengembang adonan dan memperbaiki kualitas tekstur. Modifikasi pati biasanya dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati untuk tujuan tertentu. Modifikasi fisik seperti heat moisture treatment (HMT) berpotensi untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati alami. Perlakuan ini biasanya aman, lebih murah dan cara yang lebih ekologis daripada modifikasi kimia. HMT akan mengubah sifat fisikokimia dari pati seperti peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu gelatinisasi, mengurangi swelling power dari granula dan amylose leaching, dan peningkatan stabilitas termal (Zavareze dan Dias, 2011). Penurunan swelling power dari granula pati dan amylose leaching serta peningkatan dalam stabilitas panas dan shear dari pati HMT dapat mendukung sifat-sifat yang diinginkan dalam pembuatan mi (Homdok dan Noomhorm, 2007). Pukkahuta dan Varavinit (2007) melaporkan bahwa sampel pati sagu HMT dengan kadar air 20% dan diautoclave pada suhu 110oC dan 120 o
C selama satu jam dapat mentransformasikan kristal tipe C menjadi tipe A. Selain menggunakan metode autoclaving, proses HMT juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode oven sebagaimana yang dilakukan oleh France et al. (1995). HMT dengan menggunakan metode oven ini dilakukan pada suhu 100oC selama 16 jam.
Studi yang dilakukan oleh Adawiyah (2012) menunjukkan bahwa periode pemanasan HMT yang optimal pada pati sagu adalah selama 60 menit dan 90 menit pada pati aren dengan menggunakan autoclave pada suhu 120oC yang diputuskan berdasarkan karakteristik reologi terutama nilai dari storage modulus (G’). Pada pengukuran storage modulus dengan menggunakan rheometer diketahui bahwa nilai storage modulus tertinggi pati aren terjadi pada waktu pemanasan 90 menit dan pati sagu 60 menit. Nilai storage modulus menggambarkan elastisitas suatu bahan serta kemampuan bahan dalam menyimpan energi. Semakin tinggi nilai
storage modulus maka elastisitas bahan tersebut semakin tinggi. Selain itu perlakuan HMT pada
pati sagu dan pati aren dapat mengubah profil gelatinisasi, sifat reologi, dan swelling power. Karakteristik lain yang perlu dikonfirmasi adalah sifat retrogradasi. Cooking atau contohnya irreversibel swelling atau bahkan gangguan granula pati, tergantung pada perlakuan yang diterapkan. Perilaku gelatinisasi pati saat pendinginan dan penyimpanan, umumnya disebut sebagai retrogradasi, sangat menarik bagi para ilmuan dan ahli teknologi pangan karena sangat mempengaruhi kualitas, penerimaan dan umur simpan dari makanan yang mengandung pati (Biliaderis,1990; Karim et al.,2000). Retrogradasi pati adalah istilah untuk perubahan yang terjadi saat gelatinisasi pati dari yang awalnya berwujud amorpous menjadi berwujud kristal (Gudmundsson,1994). Perubahan selama retrogradasi ditampakkan oleh sifat reologinya (meningkatnya firmness atau rigidity), kristalinitas dan water holding capacity (syneresis) atau
2 penuaan (aging) (Biliaderis, 1990; Gudmundsson, 1994). Dampak retrogradasi terhadap produk berbasis pati bisa diinginkan atau, lebih sering, tidak diinginkan. Retrogradasi kadang-kadang dimanfaatkan untuk memodifikasi struktur, sifat mekanik atau organoleptik dari produk tertentu berbasis pati (Karim et al.,2000).
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan setback). Pada penelitian ini, laju retrogradasi pati dilihat dari perubahan sifat tekstural, aktivitas air (aw), kadar air, dan tingkat sineresis.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh modifikasi pati fisik Heat Moisture
Treatment (HMT) terhadap laju retrogradasi pati melalui tingkat sineresis, perubahan sifat
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Papua. Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara 2.000 – 4.000 mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90% (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat tumbuh baik di daerah 100 LS - 150 LU dan 90 – 180 darajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun. Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60% (Sangihe, 2010).
Batang sagu merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung sagu diperoleh dari empulur sehingga pengolahan hasilnya cukup berat dan memerlukan alat yang khusus pula. Sagu mempunyai banyak kegunaan dimana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri (Haryanto dan Pangloli, 1992).
B. AREN
Pohon Aren atau enau (Arenga pinnata) merupakan pohon yang menghasilkan bahan-bahan industri. Hampir semua dari bagian fisik pohon ini dapat dimanfaatkan, misalnya: akar (untuk obat tradisional dan peralatan), batang (untuk berbagai macam peralatan dan bangunan), daun muda atau janur (untuk pembungkus atau pengganti kertas rokok yang disebut dengan kawung) (Iswanto, 2009). Aren (Arenga pinnata) termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Batang aren tidak berduri, tidak bercabang, tinggi mencapai 25 m, diameter 65 cm (mirip pohon kelapa). Pohon ini dalam pertumbuhannya berguna sebagai perlindungan erosi terutama tebing-tebing sungai dari bahaya tanah longsor maupun unsur pereduksi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, 1998).
Di Indonesia tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 m diatas permukaan laut. Tanaman aren banyak terdapat mulai dari pantai timur India sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini banyak hampir terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara (Iswanto, 2009).
Pemanfaatan tanaman aren diantaranya sebagai penghasil nira. Nira aren dihasilkan dari penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina. Akan tetapi biasanya, tandan bunga jantan yang dapat menghasilkan nira dengan kualitas baik dan jumlah yang banyak. Hasil dari air aren dapat diolah menjadi gula aren, tuak, cuka. minuman segar dan bietanol. Selain itu tanaman aren juga dapat menghasilkan tepung aren yang dapat diperoleh dari batang pohon aren. Batang aren yang tidak ekonomis untuk diambil niranya inilah yang biasanya ditebang oleh petani untuk diambil patinya. Kolang-kaling juga salah satu hasil dari pemanfaatan pohon aren. Kolang kaling dapat diperoleh dari inti biji buah aren yang setengah masak. Tiap buah
4 aren mengandung tiga biji buah. Buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis, lembek dan berwarna kuning inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek, endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling.
C. PATI SAGU DAN PATI AREN
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2008). Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata).
Pati sagu merupakan hasil ekstraksi empulur pohon sagu (Metroxylon sp) yang sudah tua (berumur 8-16) tahun. Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting yaitu amilosa yang merupakan fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi cabang (Ahmad and Williams, 1999). Menurut Flach (1983) seperti yang dikutip oleh Saripudin (2006), empulur batang sagu mengandung 20.2-29 persen pati, 50-66 persen air, dan 13.8-21.3 persen bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60 persen pati dan 40-46 persen ampas. Sedangkan Adawiyah (2012) melaporkan bahwa jumlah pati yang terkandung dalam sagu sebanyak 93.76% (berat kering).
Pati sagu biasa digunakan untuk memproduksi kerupuk, tepung hunk kwee, bubuk puding, pembuatan dextrin, biskuit, dan makanan tradisional lain di Asia Tenggara (Flach, 1983). Sebagaimana pati yang lain, pati sagu dapat dikatakan tasteless. Adapun data proksimat pati sagu menurut Ahmad et al. (1999) diantaranya kadar air 10.6-20.0%, kadar abu 0.06-0.43%, kadar amilosa 24-31%, kadar lemak (kasar) 0.10-0.13%, kadar protein (kasar) 0.13-0.25%, dan kadar serat 0.26-0.32%. Syarat mutu pati sagu berdasarkan SNI 3729-2008 disajikan dalam Lampiran 1. Flach (1983) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Sedangkan menurut Adawiyah (2012) pati sagu memiliki kadar amilosa sebesar 36.55%. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sedangkan semakin besar kandungan amilosa maka pati akan bersifat lebih kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap air lebih banyak. Adapun karakteristik gelatinisasi pati sagu hasil pengukuran dengan menggunakan DSC menurut Adawiyah (2012) disajikan dalam Tabel 1 dan pasting properties hasil pengukuran dengan menggunakan RVA disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1 memperlihatkan suhu onset (To), suhu puncak (Tp), suhu conclusion (Tc), range (Tc-To) yang menunjukkan kestabilan kristalin, dan entalpi transisi (∆H) yang merupakan parameter mengenai jumlah rantai glukan dengan DP tinggi (DP>12).
5
Tabel 1. Karakteristik gelatinisasi pati sagu dan pati aren
Parameter gelatinisasi Rata-rata ± sd
Pati Sagu Pati Aren To (oC) 58.10 ± 0.28 62.99 ± 0.12 Tp (oC) 67.33 ± 0.21 67.69 ± 0.07 Tc (oC) 79.36 ± 0.88 74.60 ± 0.42 Range (Tc-To) (oC) 21.26 ± 0.79 11.61 ± 0.49 ∆H (J/g) 16.35 ± 0.24 15.40 ± 0.25
Rata-rata dan standard deviasi dari lima replikasi Sumber: Adawiyah (2012)
Tabel 2. Profil Gelatinisasi pati sagu dan pati aren
Parameter pasting property Rata-rata
Pati Sagu Pati aren Suhu gelatinisasi (oC) 67.30 67.70 Viskositas puncak (Pa.s) 2.225 2.469 Suhu viskositas puncak (oC) 75.45 74.75 Viskositas minimum (Pa.s) 1.077 0.996 Viskositas akhir (Pa.s) 3.272 3.370
Range gelatinisasi (oC) 8.150 7.050
Breakdown (Pa.s) 1.148 1.472
Setback total (Pa.s) 2.195 2.374
Nilai rata-rata dari dua replikasi Sumber: Adawiyah (2012)
Sumber pati dari tumbuhan palm lainnya adalah aren (Arenga pinnata). Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pati aren dapat diperoleh dengan melakukan ekstraksi pada batang aren. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan, kosmetika, bahan baku industri kimia dan pengolahan kayu. Pendayagunaan pati aren untuk pangan manusia merupakan usaha diversifikasi pangan. Kelebihan pati aren adalah ketersediannya kontinyu dan mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah.
Secara keseluruhan batang tanaman aren mengandung pati 2,83-11,51 g pati kering/100 g empulur (Nur Alam dan Saleh, 2006). Adawiyah (2012) menyebutkan bahwa kandungan pati dalam aren sebesar 92.67%. Untuk memperoleh pati pada batang aren, maka dilakukan penebangan terhadap tanaman aren itu sendiri. Penebangan bisa jadi dilakukan terhadap pohon aren dengan beragam umur (fase pertumbuhan). Pati dari batang aren dengan umur yang berbeda akan memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga berbeda pula kecocokannya untuk membuat mi pati (starch noodle). Perbedaan tersebut terletak pada kandungan amilosanya (Alam dan Saleh, 2009). Kandungan amilosa pati aren sebesar 37.01% (Adawiyah, 2012). Kandungan amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap sifat gel yang dihasilkan. Sifat ini akan berpengaruh terhadap tekstur produk yang menggunakan pati tersebut (Sukatiningsih, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012) menunjukkan bahwa pati aren memiliki karakteristik gelatinisasi yang berbeda dibandingkan pati sagu walaupun suhu puncak gelatinisasinya tidak jauh berbeda (67,33oC untuk pati sagu dan 67,69oC untuk pati aren) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Sedangkan profil gelatinisasi pati aren dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat
6 bahwa suhu gelatinisasi pati aren dan pati sagu tidak jauh berbeda (67,30oC untuk pati sagu dan 67,70oC untuk pati aren) akan tetapi nilai breakdown dan setback antara pati aren dan pati sagu memiliki nilai yang berbeda, dalam hal ini pati aren memiliki nilai breakdown dan setback lebih tinggi dibandingkan pati sagu.
D. GELATINISASI PATI
Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak helium yang unik, dan juga dengan sifat birefrigent yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya yang terpolarisasi (Winarno, 2008). Pati mentah yang dilarutkan dalam air dingin tidak mampu menyerap air secara maksimal. Pati dapat menyerap air secara maksimal jika suspensi air dipanaskan pada suhu antara 55oC-65oC. Proses gelatinisasi pati adalah proses mengembangnya pati karena penyerapan pelarut secara maksimal sehingga pati tidak mampu kembali pada kondisi semula (Winarno, 2008).
Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dalam air berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat birefringent pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak dapat balik (Roder et
al., 2005).
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat
birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati adalah
suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik masing-masing pati.
Harper (1981) menjelaskan mekanisme gelatinisasi sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.
7
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
E. RETROGRADASI PATI
Retrogradasi adalah suatu proses penggabungan kembali komponen pati membentuk suatu kristal atau biasa dikenal dengan proses rekristalisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuk kembali fraksi kristalin. Ada dua proses yang terjadi, pertama adalah rigidity dan
crystallinity gel yang berkembang secara cepat untuk membentuk kristal kembali, hal ini terjadi
pada amilosa. Kedua, gel yang berkembang secara perlahan terjadi pada amilopektin (Billiaderis, 1990). Tingkat gelatinisasi pati dan laju retrogradasi secara signifikan berpengaruh pada tekstur dan umur simpan tepung (Feam dan Russel, 1982). Retrogradasi pati secara alami terbentuk tergantung asal pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan additif (Chang dan Liu, 1991; Ward et al., 1994).
Adapun beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi menurut Swinkle (1995) antara lain: meningkatnya viskositas, terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, terbentuknya gel, dan keluarnya air dari pasta (sineresis). Lebih lanjut Swinkle (1995) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain. Peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan saling lambat pada pH dibawah 2.
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak/mengembang.
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
8 Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Swinkle (1995) menjelaskan bahwa hal ini desebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
F. MODIFIKASI
PATI
DENGAN
TEKNIK
HEAT
MOISTURE
TREATMENT
Menurut Collado dan Corke (1999) dan Collado et al. (2001) Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (< 35% b/b) pada suhu 80-120°C, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16 jam. Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati (Kulp dan Lorenz 1981). Perlakuan ini menyebabkan perubahan fisik, berupa perubahan profil gelatinisasi (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Adebowale 2005; Purwani et al. 2006), perubahan karakteristik termal melalui pengujuan dengan DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Collado dan Corke 1999), perubahan swelling power (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT yang dilihat melalui studi difraksi sinar X (Lawal dan Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006).
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan setback). Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012), modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat menggeser puncak gelatinisasi ke suhu yang lebih tinggi dan mengurangi enthalpy gelatinisasi dari pati sagu dan pati aren.
Modifikasi HMT dapat dilakukan dengan metode oven ataupun metode autoclaving. Perbedaan dari kedua metode ini adalah terletak pada pemberian tekanan dan tingginya suhu pemanasan. Pada metode oven pemanasan dapat dilakukan hingga suhu 100oC sedangkan pada metode autoclaving pemanasan dapat dilakukan hingga mencapai 120oC karena dipengaruhi oleh pemberian tekanan tinggi dimana tekanan berbanding lurus dengan suhu.
9
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot Plant South East Asia Food
Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB, L1 Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fateta-IPB, Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB, serta Laboratorium Mikrobiologi South East
Asia Food Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB.
B. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan, yaitu pati sagu yang diperoleh dari industri kecil pengolahan pati, Bogor, Jawa Barat dan pati aren yang diperoleh dari Sukabumi, Jawa Barat. Selain itu bahan lain yang digunakan adalah akuades.
Alat-alat yang digunakan untuk modifikasi pati dengan HMT adalah loyang, botol semprot, gelas ukur, neraca analitik, plastik HDPE ukuran 35x20, retort, oven pengering, blender kering, ayakan 60 mesh. Alat yang digunakan untuk persiapan gel antara lain neraca analitik, sudip, gelas piala ukuran 250 ml, gelas pengaduk, botol semprot, gelas ukur ukuran 100 ml dan 10 ml, waterbath, karet gelang, plastik PP, aluminium voil, silinder plastik dengan diameter dalam 2,8 cm dan tinggi 2 cm, dan refrigerator. Alat yang digunakan untuk keperluan analisis pati alami dan pati modifikasi HMT adalah texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro System, UK), Rapid Visco Analyzer (RVA) (RVA Tecmaster 2061904 TMA), aw meter, kertas
tissue, kertas saring, neraca analitik, oven pengering, cawan petri, sudip, desikator, tabung centrifuge, centrifuge (low speed centrifuge TDZ5-WS), cawan, dan pipet tetes.
C. METODE PENELITIAN
1. Heat Moisture Treatment (HMT)
Heat Moisture Treatment dilakukan berdasarkan parameter optimum yang diperoleh
Adawiyah (2012) yaitu menggunakan metode autoclaving yang dimodifikasi. Kadar air awal pati sagu dan pati aren diukur terlebih dahulu. Kemudian untuk menjadikan kadar air pati menjadi 20% dilakukan penghitungan dengan menggunakan neraca massa sehingga diperoleh banyaknya pati yang ditimbang dan banyaknya air yang harus ditambahkan. Kadar air pati dijadikan 20% (b/v berat basah) dengan mencampurkan sejumlah air terukur ke dalam 500 gram pati, baik pati sagu atau pati aren, selama 15 menit. Setelah itu pati lembab ditempatkan ke dalam plastik HDPE ukuran 35x20 dan dibiarkan selama 1 jam sebelum autoclaving pada suhu 120oC selama 60 menit untuk pati sagu dan 90 menit untuk pati aren. Setelah itu plastik HDPE yang berisi pati didinginkan di suhu ruang. Pati dikeluarkan dari dalam plastik HDPE dan ditempatkan di atas loyang untuk dikeringkan pada suhu 45oC selama satu malam (17 jam) di oven pengering. Setelah dilakukan pengeringan, pati kering didinginkan di suhu ruang selama 15 menit kemudian diblender untuk menghaluskan gumpalan pati kering. Pati yang telah diblender kemudian disaring dengan menggunakan ayakan 60 mesh dan kemudian dimasukkan ke dalam plastik PP untuk disimpan. Adapun diagram alir proses modifikasi heat moisture treatment (HMT) dapat dilihat pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Diagram alir proses modifikasi pati Heat Moisture Treatment
2. Analisis profil gelatinisasi dengan metode Rapid Visco Analyzer
Metode yang dilakukan untuk mengetahui pasting properties dari pati sagu dan pati aren adalah dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA) (RVA Tecmaster 2061904 TMA). Sampel ditimbang sebanyak ±3 g kemudian dilarutkan dalam ±25 g akuades (tergantung dari kadar air bahan). Selanjutnya dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskan hingga suhu 50 oC dan dipertahankan selama 1 menit. Sampel dipanaskan
kadar air awal pati aren dan pati sagu diukur, metode oven
Sejumlah air + pati (baik pati aren maupun pati sagu) hingga kadar air pati 20%, diaduk 15 menit
Pati lembab ditempatkan dalam plastik HDPE, didiamkan selama 1 jam
Autoclaving, 120oC, 60 menit untuk pati sagu dan 90 menit untuk pati aren
Pendinginan, suhu ruang, 30 menit
Pengeringan, 45oC, satu malam (17 jam)
Pendinginan, suhu ruang, 15 menit
Penghalusan gumpalan pati, blender
Pengayakan, 60 mesh
11 hingga suhu 50 oC hingga 95 oC, lalu suhu 95 oC dipertahankan selama 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu 50 oC dengan kecepatan 6 oC/menit, lalu suhu 50oC dipertahankan selama 3 menit. Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95 oC, viskositas setelah 95 oC dipertahankan, viskositas pada suhu 50 oC, dan viskositas setelah suhu 50 oC dipertahankan. Data yang diperoleh dari analisis ini adalah suhu gelatinisasi, peak viscosity (PV) atau viskositas maksimum,
breakdown viscosity (BDV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV) atau viskositas akhir
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Hasil pengukuran pasting properties dengan menggunakan RVA
3. Persiapan Sampel Gel
Sebelum proses persiapan sampel gel dilakukan, kadar air awal pati sagu dan pati aren (baik pati alami maupun pati modifikasi) diukur terlebih dahulu. Kemudian untuk membuat gel pati 10% (berat kering) dilakukan penghitungan dengan menggunakan neraca massa sehingga diperoleh banyaknya pati yang ditimbang dan banyaknya air yang harus ditambahkan. Adapun contoh penghitungan dengan menggunakan neraca massa adalah sebagai berikut:
Kesetimbangan komponen padatan (solid): Banyaknya air dalam suspensi: (100%-7,67%)A = 10%C 50 gram – 5,42 gram = 44,58 gram 92,33%A = 10% x 50 = 44,58 ml 92,33A = 500 A = 5,42 Minimum viscosity Breakdown viscosity Peak viscosity Pasting temperature Final viscosity Setback viscosity pencampuran air air air solid solid
Pati sagu (ka 7,67%) Suspensi pati sagu (10% berat kering); 50 gram
12 Jadi, pati sagu yang harus ditambahkan adalah sebanyak 5,42 gram ke dalam 44,58 ml aquades.
Sampel pati yang tersedia ditambahkan dengan sejumlah air destilata sehingga dihasilkan 10% (berat kering) (b pati padat/v air) suspensi pati (massa suspensi 50 gram). Campuran pati dan air tersebut diaduk pada suhu ruang selama 5 menit dilanjutkan dengan pemanasan berkesinambungan pada suhu 80oC (pada waterbath) selama 30 menit. Proses pemanasan tersebut didahului dengan proses pengadukan dalam waterbath selama 2 menit untuk pati alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat Moisture Treatment sampai pati mencapai suhu awal gelatinisasi kemudian didiamkan hingga total waktu 30 menit. Setelah proses pemanasan, sampel tersebut dituangkan ke dalam silinder plastik dengan diameter dalam 2,8 cm dan tinggi 2 cm kemudian didinginkan pada suhu ruang (±29oC) dan silinder ditutup dengan aluminium foil. Sampel gel pati kemudian disimpan dalam refrigerator pada suhu 7oC selama 0-7 hari. Pengukuran parameter retrogradasi (tekstur, aktivitas air, kadar air, dan tingkat sineresis) dilakukan setiap hari selama tujuh hari penyimpanan. Diagram alir persiapan gel untuk untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw dapat dilihat pada Gambar 4.
Pembuatan gel yang digunakan untuk mengukur tingkat sineresis dilakukan dengan membuat gel dalam gelas piala. Sampel pati 10% (b pati padat/v air) yang tersedia ditambahkan dengan sejumlah air destilata dipanaskan pada suhu 80oC (pada waterbath) dan diaduk selama 2 menit untuk pati alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat Moisture Treatment. Kemudian suspensi pati dituangkan ke dalam tabung centrifuge berukuran 15 ml sebanyak 9 ml dan dipanaskan dalam waterbath selama 30 menit. Tabung centrifuge tersebut diangkat dan didinginkan pada suhu ruang. Sampel gel pati kemudian disimpan dalam refrigerator pada suhu 7oC selama 0-7 hari. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis dapat dilihat pada Gambar 5.
13
Gambar 4. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw Gel pati (analisis tekstur,
kadar air, dan aw) Penyimpanan, 7oC, 0-7 hari
Pemanasan, pengadukan awal(2 menit untuk pati alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat
Moisture Treatment), 80oC, 30 menit
Pencetakan, silinder plastik (d= 2,8 cm, t= 2 cm) Sampel pati + air destilata hingga terbentuk suspensi
pati 10%, diaduk 5 menit, suhu ruang kadar air awal pati aren dan
pati sagu (pati alami dan pati modifikasi HMT)
14
Gambar 5. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis
4. Gel Sineresis (Charoenrein et al.,2008)
Pengukuran tingkat sineresis pati akan dilakukan menggunakan metode centrifuge (Charoenrein et al., 2008) dengan sedikit modifikasi. Gel pati dalam tabung centrifuge 15 ml didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit setelah diambil dari refrigerator. Tabung berisi pati tersebut kemudian dimasukkan ke dalam centrifuge (low speed centrifuge TDZ5-WS) dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Setelah dilakukan centrifuge, liquid yang terpisah dari gel diambil dengan menggunakan pipet tetes kemudian ditimbang. Prosentase sineresis dapat dihitung sebagai berikut:
Bobot liquid yang terpisah dengan gel % Sineresis = x 100
Total bobot gel sebelum disentrifus Gel pati (analisis tingkat
sineresis) Penyimpanan, 7oC, 0-7 hari
Pemanasan, 80oC, 30 menit
Pemanasan, pengadukan awal (2 menit untuk pati alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat
Moisture Treatment), 80oC
Penuangan ke dalam tabung centrifuge 15 ml, 9 ml Sampel pati + air hingga diperoleh suspensi pati 10%,
diaduk 5 menit, suhu ruang kadar air awal pati aren dan
pati sagu (pati alami dan pati modifikasi HMT)
15
5. Analisis Tekstur (Adawiyah, 2012)
Sebelum pengukuran, sampel gel pati disimpan pada suhu ruang selama 15-30 menit. Analisis tekstur dilakukan dengan tes kompresi sederhana (uniaxial compression) menggunakan
texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro System, UK) dilengkapi dengan loadsel 25 kg dan
piringan dengan diameter 75mm. Dalam tes kompresi, gel pati ditekan dengan kecepatan konstan yaitu 1mm/s hingga 90% dari saat ketegangan itu dicapai, dimana ketegangan (strain) didefinisikan sebagai rasio dari deformasi tinggi awal sampel (%). Kecepatan pre-test dan post-test adalah 2 mm/s dan trigger force sebesar 0,05 N. Stress dihitung sebagai daya dibagi dengan penampang sampel awal. Breaking point ditentukan oleh penurunan pertama beban dan local
minimum point ditetapkan sebagai peningkatan beban pertama setelah breaking point dalam kurva load-time. Adhesive force ditentukan oleh negative force maksimum setelah piringan ditarik dari
sampel (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva Kompresi dari gel pati aren dan pati sagu modifikasi HMT
6. Pengukuran Aktivitas Air (a
wmeter)
Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw meter. Sebelum dilakukan pengukuran, permukaan gel dikeringkan dengan kertas tissue kemudian sampel dipotong-potong diatas kertas saring dan ditempatkan ke dalam cawan petri. Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam wadah sampel kemudian wadah sampel ditutup dan ditunggu beberapa saat. Nilai aktivitas air akan terbaca pada layar.
7. Pengukuran Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak ± 1-2 g ditimbang lalu dimasukkan dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105oC selama 3 jam atau sampai diperoleh bobot konstan, lalu dimasukkan dalam desikator selama 15 menit lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:
Breaking point
Maximum force
16 dimana:
a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)
17
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT
1. Kadar Air
Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan nilai yang menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam suatu produk atau bahan (pangan). Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Hasil pengukuran awal menunjukkan bahwa pati sagu memiliki kadar air 12,96% dan pati aren memiliki kadar air 7,84%. Hal ini sesuai dengan SNI 3729-2008 (Lampiran 1) tentang syarat mutu pati sagu bahwa kadar air pati sagu maksimal 13%. Setelah dilakukan modifikasi heat moisture treatment (HMT) ternyata kadar air pati sagu dan pati aren mengalami perubahan yaitu kadar air pati sagu sebesar 7,67% dan pati aren sebesar 7,93%.
Pada hakikatnya proses pemanasan dapat melemahkan ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul amilosa dan amilopektin. Akibatnya hal ini memberikan peluang pada molekul air untuk mengimbibisi granula. Pada kondisi ini granula pati tidak pecah karena air yang ditambahkan untuk proses modifikasi HMT sedikit (penambahan air hingga kadar air pati 20%). Adanya penambahan air ini menyebabkan jumlah air yang masuk ke dalam matriks bertambah. Ketika proses pemanasan ini dilanjutkan dengan proses pengeringan, maka air terikat tersebut ikut menguap bersama dengan air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut, dalam hal ini pati sagu dan pati aren. Akibatnya kadar air dalam pati berkurang dari kondisi semula.
2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)
Metode yang digunakan untuk mengetahui pasting properties pati aren dan pati sagu (baik alami maupun modifikasi) dilakukan dengan menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA) (RVA Tecmaster 2061904 TMA). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 (grafik hasil pengukuran pasting properties pati sagu dan aren (alami-HMT) dengan menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA) dapat dilihat pada Lampiran 2-Lampiran 9)
Tabel 3. Pasting properties pati sagu dan pati aren
Parameter pasting properties Pati Aren Pati Sagu Alami HMT Alami HMT Suhu awal gelatinisasi (oC) 71,68 79,95 72,50 80,30 Viskositas puncak (cP) 6415,00 3312,00 6450,00 4003,00 Viskositas minimum (cP) 2148,50 1954,50 2399,00 2138,00 Viskositas akhir (cP) 3886,50 4547,00 3515,00 4327,50
Breakdown 4266,50 1357,50 4051,00 1865,00
Setback 1738,00 2592,50 1116,00 2189,50
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dua replikasi analisis
Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa modifikasi pati heat moisture treatment (HMT) mempengaruhi pasting property pati alami. Data tersebut menunjukkan bahwa
HMT dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak, meningkatkan viskositas akhir, menurunkan breakdown, dan meningkatkan setback. Menurut Adebowale et al.
18
(2005) peningkatan breakdown pada sorghum merah menunjukkan turunnya stabilitas selama pemanasan dimana viskositas puncak meningkat setelah modifikasi HMT. Pada penelitian kali ini diketahui bahwa proses modifikasi HMT dapat menurunkan breakdown pati aren dan pati sagu. Hal ini dapat diartikan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan stabilitas pati aren dan pati sagu selama pemanasan. Fakta ini diperkuat dengan nilai viskositas puncak yang menurun. Selain itu Adebowale et al. (2005) juga menjelaskan bahwa HMT dapat meningkatkan setback yang mengindikasikan bahwa HMT dapat meminimalisir deformasi gel dimana hal tersebut juga berarti bahwa HMT juga meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi.
Apabila antara pati aren dibandingkan dengan pati sagu terlihat bahwa pati aren memiliki viskositas akhir dengan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu. Hal ini menunjukkan bahwa pati aren aren memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu. Adawiyah (2012) melaporkan bahwa kandungan amilosa pada pati aren sebesar 37,01% dan pati sagu sebesar 36,55%. Kandungan amilosa pada kedua jenis pati ini tidak berbeda secara signifikan (p>0,05).
B. LAJU SINERESIS GEL
Sineresis adalah keluarnya air dari suatu gel pati. Menurut Winarno (2008) pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian granula yang membengkak, air ini mengadakan ikatan yang erat dengan molekul-molekul pati pada permukaan butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak tersebut berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel tersebut disimpan selama beberapa hari pada suhu rendah, air tersebut dapat keluar dari bahan. Menurut Gudmundsson (1994) pada penyimpanan suhu rendah, kristalitas pati terbentuk tidak sempurna karena pati memiliki suhu peleburan yang lebih rendah dibandingkan pembentukannya pada suhu yang lebih tinggi.
Perubahan tingkat sineresis pati dapat diketahui dengan menggunakan metode centrifuge. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-7 tingkat sineresis pati mengalami peningkatan. Gambar 7 memperlihatkan perubahan tingkat sineresis pati sagu alami, pati aren alami, pati sagu HMT, dan pati aren HMT selama tujuh hari penyimpanan (data mentah hasil pengukuran tingkat sineresis dapat dilihat pada Lampiran 10)
Gambar 7. Tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan hari ke-
19
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui laju tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan. Laju tingkat sineresis tersebut dapat dilihat dari persamaan y=ax+b dengan a sebagai laju tingkat sineresis sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Laju sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan Jenis Pati Laju tingkat sineresis R2
(v= %sineresis/hari)
pati sagu alami 1,1268 0,9338 pati aren alami 0,5077 0,9314 pati sagu HMT 3,7649 0,9727 pati aren HMT 1,7456 0,9734
Berdasarkan Gambar 7 dan Tabel 4 dapat dibandingkan antara pati sagu dan pati aren. Data tersebut menunjukkan bahwa laju sineresis pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren. Menurut Adawiyah (2012) jumlah pati yang terkandung dalam sagu (93.76%) lebih tinggi dibandingkan aren (92.67%). Swinkle (1995) menjelaskan bahwa peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Dengan demikian laju sineresis pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren karena pati sagu memiliki konsentrasi pati lebih tinggi dibandingkan pati aren. Tingginya konsentrasi pati ini semakin mempermudah terjadinya retrogradasi, dalam hal ini sineresis.
Gambar 7 dan Tabel 4 memperlihatkan bahwa selama tujuh hari penyimpanan, laju sineresis pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan dengan pati alami. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Selain itu proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area
amorphous serta meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan
interaksi. Karim et al. (2000) menjelaskan bahwa selama penyimpanan di suhu rendah, molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi, akan tetapi bentuknya tidak sempurna sebagaimana keberadaannya dalam pati alami (sebelum tergelatinisasi). Berdasarkan penjelasan tersebut telah jelas bahwa laju sineresis pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan pati alami karena selama proses modifikasi HMT, asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous meningkat. Kondisi ini diperkuat dengan selama penyimpanan di suhu rendah, molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi. Akibatnya molekul air yang terlepas dari matriks amilosa dan amilopektin semakin banyak, sehingga laju sineresisnya pun semakin tinggi. Data tersebut memperlihatkan bahwa HMT memberikan efek yang lebih signifikan terhadap laju retrogradasi pati sagu dibandingkan pati aren. Gambar 7 menunjukkan bahwa laju retrogradasi pati sagu HMT meningkat tajam dibandingkan pati aren. Hal ini membuktikan bahwa pati sagu lebih sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren.
Apabila ditinjau berdasarkan data pasting property hasil pengukuran dengan menggunakan RVA, ternyata pati aren memiliki kecenderungan yang lebih mudah untuk mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati sagu. Hal ini dapat dilihat dari nilai setback pati aren lebih tinggi dibandingkan pati sagu (Tabel 3). Selain itu apabila dilihat dari nilai breakdown, ternyata nilai
breakdown pati aren lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu dimana hal tersebut menunjukkan
bahwa pati sagu (nilai breakdown rendah) memiliki stabilitas terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan pati aren. Fakta tersebut menunjukkan suatu anomali karena berdasarkan data yang
20
dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7, pati sagu memiliki kecenderungan untuk mengalami retrogradasi yang lebih mudah dibandingkan pati aren. Selain itu pati sagu juga sangat sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren. Hal ini dilihat dari efek HMT terhadap perubahan laju retrogradasi pati sagu yang meningkat tajam dibandingkan dengan pati aren.
Menanggapi fakta tersebut muncul dugaan yang dihubungkan dengan derajat polimerisasi. Menurut studi yang dilakukan oleh Vandeputte et al. (2002) rantai amilopektin panjang (derajat polimerisasi tinggi) memungkinkan untuk membentuk double helices lebih mudah dan lebih cepat sehingga hal ini juga mempermudah terjadinya retrogradasi. Berdasarkan studi tersebut diduga bahwa pati sagu memiliki rantai amilopektin yang panjang (derajat polimerisasi tinggi) dibandingkan pati aren. Sehingga walaupun menurut Adawiyah (2012) kandungan amilosa pada kedua jenis pati ini tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dan menurut hasil pengukuran RVA pada penelitian ini yang cenderung lebih mudah untuk mengalami retrogradasi adalah pati aren, akan tetapi karena diduga derajat polimerisasi pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren maka pati yang lebih mudah mengalami retrogradasi adalah pati sagu.
C. TEKSTUR
Pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren dilakukan selama penyimpanan mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-7. Variabel dasar yang diperhatikan dalam pengukuran tekstur ini adalah force,
distance, stress dan strain. Menurut Kilcast (2004) strain merupakan pengukuran deformasi
(perubahan bentuk) pada titik bidang dalam suatu objek. Strain mengukur perubahan unit dari bentuk atau ukuran dari sebuah objek dengan memperhatikan ukuran awal. Variabel lainnya yaitu
distance yaitu jarak penekanan dari tinggi awal, stress adalah besarnya tekanan yang diberikan
pada gel. Stress disebabkan karena adanya eksternal force. Sedangkan force dianggap sebagai variabel eksternal karena force mengukur pada permukaan objek. Proses kompresi ditunjukkan pada Gambar 8.
L0 L
Gambar 8. Kompresi uniaxial dari gel (Kilcast, 2004)
F : gaya yang diberikan selama proses kompresi (N)
A0 : luas awal penampang (m2) L0 : tinggi awal gel (m)
Stress (Pa) : σ = F/A0
Strain (%) : ɛ = ((L0-L)/ L0) x 100%
Distance (m): ∆L= L0-L
Force (F) or Stress (σ)
Force (F) or Stress (σ)