• Tidak ada hasil yang ditemukan

berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya, 3 yang memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya, 3 yang memiliki"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II

ETIKA MURID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Hakikat Murid dan Kedudukannya Dalam Islam

1. Pengertian Murid

Kata “Murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu „arada, yu‟ridu, iradatan, muridan”

(

-

-

-

)

yang berarti orang yang menginginkan, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT. yang berarti

“Maha Menghendaki”.1

Hal ini dapat dipahami karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan di akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Istilah murid ini banyak digunakan dalam tasawuf sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasawuf kepada seorang guru

yang dinamai syekh.2

Selain kata murid dijumpai pula kata yang

berarti murid atau pelajar, yang bentuk jamaknya “ ,3 yang memiliki

arti beberapa pelajar. Istilah ini antara lain digunakan oleh Ahmad Shalaby. Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab, yaitu

orang yang mempelajari sesuatu.4 Kata ini dekat dengan kata madrasah,

sehingga lebih tepat digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah. Ketiga kata tersebut di atas, tampaknya digunakan untuk menunjukkan pada pelajar tingkat dasar dan lanjutan yang disebut murid.

1 Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi. 1992. Dictionary Of Islamic Terms, Hlm. 235. 2

Abd al-Rahman, Abd al-Khaliq, Al-Fikr Al-Shufi Fi Dhau Al-Kitab Wa Al-Sunnah,(Maktabah Ibn Taimiyah, Kuwait, 1986), Hlm. 316-349..

3 Mahmud Yunus, Kamus Arab - Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.th), hlm. 79

(2)

Istilah-istilah tersebut, menggambarkan sebagai orang yang masih memerlukan bimbingan dan masih bergantung kepada guru, belum menggambarkan kemandirian.

Istilah lain, berkaitan dengan murid adalah al-thalib. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu thaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini terkait dengan orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan pembentukan kepribadian untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar berbahagia di dunia dan di akhirat. Kata al-thalib ini selanjutnya lebih

digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut mahasiswa.5

Pengguna kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dipahami karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan untuk ditelaah, selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah.

Dengan demikian pengertian murid dalam istilah al-thalib lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan sedikit bergantung kepada guru. Althalib dalam beberapa hal dapat mengkritik dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru atau dikenal dengan dosen, sehingga dapat menghasilkan rumusan ilmu baru yang berbeda dengan gurunya. Dalam konteks ini, seorang dosen dituntut bersikap terbuka, demokratis, memberi

5 Abuddin Nata. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid. Jakarta: PT.

(3)

kesempatan, dan menciptakan suasana belajar yang saling mengisi, dan

mendorong mahasiswa memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 6

Berkaitan dengan istilah al-thalib tersebut, Imam Ghazali yang dikutib Abudin Nata, mengatakan: Al-thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, manfaat bagi dirinya. Bahwasanya ia adalah seseorang yang sudah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang sudah dapat dimintakan pertanggung jawaban dalam melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardhu‟ ain. Seorang al-thalib adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan memilih jalan kehidupan, menemukan apa yang dinilainya baik, berusaha dalam mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam mencarinya.

Selanjutnya, istilah yang dimiliki hubungan erat dengan pengertian murid yaitu al-muta‟allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu allama yu‟allimu, ta‟liman yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah al-muta‟ allim yang menunjukkan pengertian murid sebagai orang

yang menggali ilmu pengetahuan.7 Istilah al-muta‟ allim lebih bersifat

universal, mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan. Istilah al-muta‟ allim mencakup pengertian istilah-istilah murid,

6 Nana Syaodi Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung:

Rosda Karya. Hlm. 196.

(4)

tilmidz, mudarris, dan thalib. Berdasarkan pengertian di sini, murid dan mahasiswa dapat dicirikan sebagai orang yang tengah mempelajari ilmu. Mengacu dari beberapa istilah mengenai murid di atas, murid diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Muhaimin dan Abdul Mujib mendefinisikan anak didik dalam pendidikan Islam adalah sama dengan teori Barat yaitu anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui

lembaga pendidikan. 8

Menurut H.M. Arifin, menyebut “murid” dengan manusia didik sebagai makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal yakni

kemampuan fitrahnya.9

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan mengenai pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk mengembangkan potensi diri (fitrahnya) secara konsisten melalui proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yang optimal sebagai manusia dewasa yang bertanggung jawab dengan derajat keluhuran yang mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi.

8 Muhaimin dan Abdul Mujib, Op.Cit., Hlm. 177

(5)

2. Kedudukan Murid Dalam Pendidikan

Dalam pengelolaan belajar mengajar, guru dan murid memegang peranan penting. Murid atau anak adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses berkembang itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya tidak di tentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam suatu kehidupan bersama dengan individu-individu lain. Fungsi murid dalam interaksi belajar mengajar adalah sebagai subyek dan obyek. Sebagai subyek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai obyek, karena muridlah yang menerima pelajaran dari guru. Guru mengajar dan murid belajar, jika tugas pokok guru adalah “mengajar”, maka tugas pokok murid adalah “belajar”. Keduanya amat berkaitan dan saling bergantungan, satu sama lain tidak terpisahkan dan berjalan serempak dalam proses belajar

mengajar.10

KH. M. Hasyim Asy`ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al- Muta‟ allim, seperti yang dikutip Suwendi menjelaskan bahwa peserta didik atau murid dapat didudukkan sebagai subyek pendidikan. Artinya, peluang-peluang untuk pengembangan daya kreasi dan intelek peserta didik dapat dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, disamping memang harus adanya

peranan orang lain yang memberi corak dalam pengembangannya.11Zakiah

Daradjat menjelaskan bahwa sebagai obyek, murid menerima pelajaran, bimbingan dan berbagai tugas serta perintah dari guru atau sekolah dan

10 Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,

Hlm. 268.

(6)

sebagai subyek, murid menentukan dirinya sendiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya dalam rangka mencapai hasil belajar. Tugas-tugas murid

sebagai subyek senantiasa berkaitan dengan kedudukannya sebagai obyek.12

Dengan dasar pandangan tersebut di atas, maka tugas murid dapat

dilihat dari berbagai aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan administrasi. Selain itu murid juga bertugas pula untuk menjaga hubungan baik dengan guru maupun dengan sesama temannya dan untuk senantiasa meningkatkan keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri.

3. Hak dan Kewajiban Murid

Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid juga memiliki hak dan kewajiban (tugas–tugas) yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah al-Abrasyi, bahwa hak-hak murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi tercapainya ilmu pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan

belajar tanpa membedakan kaya dan miskin.13

Oleh karena itulah Islam selalu menghimbau kepada para pengikutnya untuk berusaha keras dalam menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya serta menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenab manusia untuk kebaikan mereka hanya berharap mendapat kemudahan dari Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

12 Zakiah Daradjat, dkk, 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: BumiAksara,

Hlm. 268.

(7)

“Menceritakan Mahmud bin Ghailan, menceritakan Abu Uamah A‟mas ari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW,bersabda: Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga.” (HR.Tirmidzi) 14

Abdullah Nasihun Ulwan juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa seorang cendikiawan mengatakan, “Sesungguhnya negara Islam telah mendahului seluruh dunia di dalam menyebarkan pengajaran secara gratis bagi seluruh warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-pintu sekolah terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-masjid, tempat-tempat belajar, dan Tempat-tempat umum disetiap negara yang telah memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah al-Azhar asy-Syarif, Kulliyat Darul Ulum dan seluruh perguruan–perguruan atau sekolah-sekolah agama. Di sana para pelajar dan mahasiswa diberi bantuan biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata

oleh beberapa negara di seluruh pelosok dunia. 15

Jadi jelaslah bahwa seorang murid memiliki hak-hak yang mutlak untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai individu yang memiliki derajat kemulyaan pula di samping seorang guru yang penuh keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk

14

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Al-Jami‟us Shokhih Sunan Tirmidzi Juz V, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm 28

15 Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari

(8)

mencari ilmu sebagai bekal hidup di dunia serta sebagai sarana untuk dekat

pada sang Khaliq-Nya, sehingga tercapai tujuannya di dunia dan akhirat. 16

Terdapat banyak ulama pendidikan Islam, yang mengemukakan pemikirannya tentang kewajiban murid. Kewajiban tersebut sangat signifikan, yakni lebih berorientasi pada akhlak sebagai dasar kepribadian seorang muslim, yang harus ditegakkan oleh murid. Karena dasar utama pendidikan Islam adalah bersumber dari al-Qur‟an dan Hadis yang sarat

dengan nilai dan etika.17 Diantara kewajiban–kewajiban tersebut adalah:

Menurut Asma Hasan Fahmi, bahwa murid memiliki beberapa kewajiban terpenting, yaitu :

a. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu. sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu ibadah kecuali dengan hati yang bersih.

b. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan untuk mencari kedudukan.

c. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun harus merantau pada tempat yang cukup jauh.

d. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru,

dengan berbagai macam cara. 18

16 Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998). Hlm.56.

17 M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka .Hlm. 87.

(9)

Al-Ghozali juga membahas mengenai kewajiban murid yang dituangkan dalam karya monumentalnya kitab al-Ihya‟ Ulumuddin, dijelaskan bahwa :

1. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak tercela, sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinaridengan ilmu.

2. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.

3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji kepada guru.

4. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan–pandangan yang

kontroversi), khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan mendatangkan kebingungan.

5. Tidak mengambil ilmu terpuji, selain hingga mengetahuui hakikatnya. Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan.

6. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat, sebab ilmu akhirat merupakan tujuan.

7. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan sesuatu yang akan menghantarkannya kapada Allah SWT, bukan untuk

memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.19

19 Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, terj. Purwanto, (Bandung: Marja‟, 2003), Hlm. 97-110

(10)

4. Hubungan Murid dengan Guru

Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah, karena ia dituntut memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi (professional keguruan) yakni “kewenangan yang ada pada individu yang memiliki profesi sebagai guru. Kompetensi dari bobot dasar dan

kecenderungan yang dimiliki”.20

Adapun interaksi guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab. Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpilkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.

Mengapa interaksi dibutuhkan dalam prose pembelajaran ? Menurut Alisuf Sabriada dua alasan, yaitu:

a. Mengajar itu kedudukan sebagai suatu profesi yang efektifitasnya akan diukur dari kualitas pelayanan professional yang diberikan oleh guru dalam membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan murid-muridnya.

b. Sekolah itu sebenarnya merupakan salah satu tempat bagi anak untuk belajar memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna bagi

perkembangannya.21

Diantara kaidah-kaidah pendidikan yang disepakati oleh para sosiolog, psikolog, dan ahli pendidikan ialah memperkuat hubungan antara seorang pendidik dengan anak didik (murid), agar interaksi

20 Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

Cet. IV, hal. 377.

(11)

pendidikan berjalan dengan sebaik-baiknya, dan agar proses

pembentukan ilmu, jiwa dan moral berhasil baik.22 Menurut Ibnu

Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbuladi al- Tuwanisi, menyatakan bahwa hubungan tersebut akan menjadi akrab apabila dilakukan di dalam kelas, karena tercipta rasa kebersamaaan yang mendalam antara guru dan murid, disusul dengan hubungan di luar kelas. Jika rasa kebersamaan ini berlangsung dalam batas-batas tertentu, maka terjadilah pertemuan antara hati para murid, sehingga tercipta peluang yang baik untuk berdiskusi dan bertukar fikiran antara mereka. Hal ini dapat menjadi faktor yang memperlancar proses pengembangan akal

fikiran murid.23 Dari sini terdapat suatu petunjuk yang sejalan dengan

prinsip-prinsip baru dalam pendidikan modern, yaitu prinsip demokrasi dalam kegiatan belajar mengajar.

Para ahli pendidikan Islam sepakat dalam menetapkan prinsip dasar edukatif yang sangat penting, bahwa kitab atau buku tidak dapat

menggantikan posisi guru dalam pengajaran.24 Hal ini diindikasikan

bahwa para ahli pendidikan Islam mengecam gejala pemosisian buku sebagai guru. Berpijak pada prinsip dasar tersebut mereka mengakui urgensi peran guru dalam proses belajar mengajar, karena dalam pribadi guru terdapat nilai-nilai dan cermin kepribadian yang berpengaruh sekali

22 Abdullah Nasih Ulwan, 2007. Pendidikan Anak Menurut Islam,( Terjemahan :Jamaludin Miri dari

judul Asli : Tarbiyatul Aulad fil Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 363

23 H.M. Arifin (Penerjemah), Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan

Islam, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta; 1994), Hlm. 219

24 Moch. Jawwat Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Prespektif Sosiologis Filosofis),

(12)

bagi pribadi murid yang dididiknya, sebab interaksi keseharian yang bersifat kontinyu membawa konsekuensi sikap tersendiri serta berperannya fungsi akal yang memposisikannya dalam derajat yang lebih tinggi. Keberadaan dan posisi seorang guru dalam dunia pendidikan terutama pendidikan Islam memang sangat dijunjung tinggi. Tingginya penghargaan Islam terhadap guru menurut Ahmad Tafsir adalah dengan menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan

Rasul karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan. 25

Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi hubungan guru dan murid yang ada dalam masa klasik, yang dijadikan keyakinan dasar, bahwa guru sebagai manusia yang membawa misi Muhammad sebagai utusan Allah yang memiliki kelebihan-kelebihan spiritual seperti karamah dan menjadi penyalur (barakah). Sehingga murid harus

menghormatinya dengan segala ketundukan dan kepatuhan. 26

Sebagaimana tesis sarjana barat non muslim Bayard Dodge, yang dikutip oleh Abdurrahman Mas‟ud menyatakan, “in the middle of this primitive culture sead, destined to blossom as the intellectual heritage of islam” (Ditengah-tengah budaya primitif ini, ajakan kenabian Muhammad bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan tumbuh

berkembang sebagai warisan kecendekiawanan Islam). 27

25 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya; 1994), hlm. 76

26

Zamakhsari Dlofier, Tradisi Pesantren( Studi Tentangg Pandangan Hidup Kyai), (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 70

(13)

Berkaitan dengan hal ini Hasan Asari, mengutip paragraf dari Nasr, yang dianggap relevan, yaitu:

“Hubungan guru murid dalam pendidikan Islam) selalu memiliki aspek yang sangat personal, dimana seorang penuntut ilmu mencari seorang guru, bukan lembaga, lalu mengabdikan dirinya sepenuhnya pada guru tersebut. Hubungan guru dan murid selalu intim, seorang murid menghormati gurunya seperti seorang ayah dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi yang tak langsung

berkaitan dengan pendidikannya secara formal”. 28

Signifikansi hubungan guru dan murid diatas, merupakan ciri yang ada pada zaman klasik. Menurut Fazlur Rahman, watak ilmu pengetahuan pada masa itu ditandai oleh pentingnya individu guru yang secara sentral fenomena ini dikenal sebagai mencari ilmu. Tersebarnya ilmu pengetahuan Islam pada masa awal Islam berpusat pada individu-individu bukan sekolah, sehingga pada akhir abad tersebut mayoritas ilmuwan yang termasyhur bukanlah produk madrasah, tetapi bekas murid

informal dari guru individual. 29

5. Hubungan Murid dengan Sesama Temannya dan Lingkungannya

Istilah murid mengandung kesungguhan belajar, memuliakan guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam perbuatan mengajar dan belajar itu ada barokah. Pendidikan yang dilakukan yang di situ murid dianggap mengandung muatan profane dan transendental.30

28 Nasr dalam Hasan Asari, M.A, Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan Al-Ghozali,

Cet. I, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm.112

29

Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), cet. II, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm.269-270

(14)

Dalam memilih teman, al-Zarnuji berpandangan bahwa seorang pelajar harus berteman atau memilih teman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara‟ dan berwatak Istiqamah. Hindari teman yang malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah. Hal ini

dijelaskan oleh al-Zarnuji sebagai beikut: 31

“Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro, bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar memfitnah”.32

.

Adapun tekun dalam menimba ilmu, al-Zarnuji berkata “seorang tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsunya”. Seperti kata sebuah syair, “sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barang siapa terkalahkan oleh hawa nafsunya berarti ia terkalahkan oleh kehinaan”.33

Seorang pelajar harus tabah menghadapi ujian dan cobaan.

Dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim, istilah murid juga disebut dengan thalibulilmi, yaitu seorang yang mencari ilmu atau pelajar. Dalam membahas tentang murid, menurut H. Busyairi Madjidi, Al-Zarnuji tidak banyak membahas murid sebagai individu baik fitrahnya maupun perkembangannya, tetapi ketika membicarakan partner dalam

31 Syekh al-Zarnuji, Tt. Ta‟lim Al-Muta‟alim, Hlm. 14.

32 Aliy As‟ad, 2007. Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 32. 33 Aliy As‟ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Hlm. 30.

(15)

studi, al-Zarnuji menyinggung tentang fitrah dengan mengutip hadist Rasul SAW, bahwa:

“Menceritakan Hajib bin Walid, menceritakan Muhammad bin Harib

tentang Zabidi bin Zuhri menceritakan saya Said bin musaib tentang Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : “tiada manusia lahir (dilahirkan) kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi Nasrani Atau Majusi.”.

(H.R.Muslim) 34

Dari hadits ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga, guru

dan lingkungan, jika seorang anak dilahirkan dan dibesarkan orang tua dalam lingkungan yang kurang baik, kemudian dilanjutkan di sekolah diajar oleh guru yang kurang pandai mendidik, ditambah dengan lingkungan masyarakat yang

kurang mengindahkan akhlak maka hasilnya juga tidak baik.35 Lingkungan

sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan, kepala sekolah dan wakil-wakilnya dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat

belajar siswa. 36

Keluarga adalah sebagai kelompok sosial terkecil dan paling penting dalam masyarakat, karena dalam proses perkembangan serta penanaman

34

Imam Abu Husain Muslim Al-Hajj. 1992. Shohih Muslim, jilid II. Beirut: Dar al-Ilmiah, Hlm.458

35

Bambang Sujono.dan Yuliani. 2005. Mencerdasan Perilaku Anak Usia Dini: Jakarta. Elek

Media Komputindo. Hlm. 13.

36 Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja

(16)

nilai religius dan akan sehat jasmani dan rohaninya ketika dikeluarganya mendapat perhatian, bimbingan dan kasih sayang orang tua. Pada dasarnya setiap orang tua sudah pasti menginginkan anaknya punya perilaku yang baik, bermoral namun pada sisi lain masih banyak orang tua yang kurang mengindahkan moral dari sini terdapat pokok masalah yang cukup krusial yakni bagaimana orang tua dalam memerankan dirinya sebagai suritauladan bagi anak-anaknya. Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya dilingkungan keluarga dalam keimanan dan akhlaknya (moral) disebut pendidik utama karena sangat berpengaruh besar sekali terhadap anak-anaknya. Sedangkan sebagai pendidik pertama karena orang tua adalah pendidikan yang pertama sebelum mengenali pendidikan-pendidikan di luar rumah.

Zakiyah Daradjat mengemukakan bahwa hubungan baik antara seseorangg antara anak dan orang tuanya, mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Anak yang merasakan hubungan hangat dengan orang tuanya, disayangi, dilindungi dan mendapat perlakuan yang baik. Karena akna lebih mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selalu akan

cenderung kepada agama.37

Demikian hubungan murid dengan keluarga dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi kehidupan murid dan prestasi belajarnya. Karena prestai murid itu dapat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor yang menyangkut seluru diri pribadi, termasuk fisik dan mental atau psikofisiknya yang ikut

37 Zakiah Daradjat, 2001. Penanaman Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.

(17)

menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam belajar, dan faktor eksternal, yaitu faktor yang bersumber dari suatu idividu yang bersangkutan, misalnya

ruang belajar yang tidak memadai dan lingkungan alamiahnya.38

B. Pendidikan Etika Dalam Islam 1. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik “ mendapat imbuhan awalan “ pe“ dan akhiran “an“, yang mengandung arti “ perbuatan “, hal, cara, dan sebagainya. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Paedagogie”, kata ini yang berasal dari dasar kata “pais” yang berarti anak dan “again” yang diterjemahannya adalah “membimbing”. Dengan demikian maka paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan

kepada anak”.39

Paedagogie atau pendidikan yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yaitu “Education“ yang berarti pengembangan atau bimbingan dan dalam bahasa Arab. Istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah “Tarbiyah“

yang berarti pendidikan.40

Sedangkan pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

38

Muhibbin Syah, 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Hlm. 130-135.

39 Sudirman N dkk.1989. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Usaha Nasional.

Hlm.4.

(18)

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan.41

Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al-Ta‟lim, biasanya disebut dengan al-Ta‟dib. Secara etimologi diterjemahkan

dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun.42 Sedangkan

al-Ghazali menyebut pendidikan dengan sebutan ar-Rihayat. Ar-Rihayat dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan olahraga atau pelatihan. Kata ini dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga Al-Ghazali menyebutnya dengan Riyadho Alshibyah. Menurut mu‟jam (kamus)

kebahasaan, kata al-Tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan,43 yaitu:

a. Rabba - Yarbu, yang memiliki arti tambah (Zad) dan berkembang Nama). Pengertian ini berdasarkan atas Q.S. Al-Rum ayat 39.

Artinya: “Dan sesuatu (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridho‟an Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).44

b. Rabbi - Yarbi, yang memiliki arti tumbuh (Nasya‟a) dan menjadi besar (Tara‟a).

41 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), Hlm. 232. 42

Mahmud Yunus.1987. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:YP3A.Hlm. 149

43

Ibn Manzhur. Abiy Al-Fadl Al-Din Muhammad Mukarram.Tt. Lihat lisan Al-Arab. Jilid V. Bairut: DarAl-Anya. Hlm. 94-96

44

Departemen Agama. RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 647.

(19)

c. Rabba - Yarbi, yang memiliki arti memperbaiki (Ashalala), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan

eksistensinya.45

Menurut Athiyah al-Abrasyi bahwa al-Tarbiyah adalah kata yang mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna secara etika, sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman instuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap

bahasa lisan dan tulis, serta mamiliki beberapa ketrampilan.46

Musthafa al-Maraghi membagi kegiatan al-Tarbiyat dengan dua macam. Pertama, Tarbiyah Kholqiyat. Yaitu, penciptaan, pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan jiwanya. Kedua, Tarbiyat Diniyat Tahsiniyat. Yaitu, pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu

Allah.47 Berdasarkan pembagiannya, maka ruang lingkup al-tarbiyat

mencakup berbagai kebutuhan manusia,baik kebutuhan dunia maupun akhirat. Serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam, lingkungan dan relasinya dengan Tuhan. Menurut Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi

45

Karim Al-Bastani. dkk. 1975. Al-Munjid Fi Lughat Wa‟Alam. Bairut:Dar Al-Masyriq. Hlm.243-246

46

Muh. Athiyah Al-Abrasyi. Tt. Al-Tarbiyah Al-Islamiyah. . Bairut: Dar Al-Fikr Al-Arabi. Hlm.100

47

(20)

pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan

masyarakatnya.48

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.49

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat dengan bukti adanya perubahan ke arah positif yang lebih baik sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan yang bisa digunakan untuk mengubah dunia. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu. Dan ketika orang sudah berilmu maka Allah akan meninggikan derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam al-qur‟an surat al mujadalah ayat 11 sebagai berikut:

48

Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan. (Yogyakarta: Majelis L. Persatuan Taman Siswa), Hlm. 14.

49

UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Hlm. 74

(21)

Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujadalah: 11) 50

Jadi intinya pendidikan selain sebagai proses humanisasi, pendidikan juga merupakan usaha untuk membantu manusia mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya (olahrasa, raga dan rasio) untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

2. Pengertian Etika

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai

yang benar dan salah yang dianut masyarakat.” 51

Jika diteliti dengan baik, etika tidak hanya sekadar sebuah ilmu tentang yang baik dan buruk ataupun bukan hanya sekadar sebuah nilai, tetapi lebih dari itu bahwa etika adalah sebuah kebiasaan yang baik dan sebuah kesepakatan yang diambil

berdasarkan suatu yang baik dan benar dari segala perbuatan.52

Dari asal usul kata, “Etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Yang mula-mula memakai kata itu ialah seorang filosof Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM).

50

Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 910-911.

51

Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Etika”

52

(22)

Perkembangan etika studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan

perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.”53 Kemudian secara

etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai

yang berlaku” 54.

Menurut Rahmat Djatnika dalam bukunya Sistem Ethika Islami. Kata Etika berasal dari bahasa Latin, yaitu Ethos yang berarti kebiasaan, dan kata

moral juga berasal dari bahasa Latin yaitu mores yang berarti kebiasaan.55

Sedangkan kata akhlak berarti budi pekerti yang memiliki sinonim dengan kata moral, etika, susila (dari Bahasa Sangsekerta). Semua kata tersebut memiliki persamaan arti dan memiliki pengertian yang berbeda-beda.

Akhlak adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang memiliki arti perangai (as-sajiyah); kelakuan, tabiat atau

53

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 88.

54

Anggi Sopiandi, “Pengertian Etika”, diakses 30 Juni 2014,

http://anggisopiandi.blogspot.com/2014/04/pengertian-etika-profesi-dan.html.

(23)

watak dasar (ath-thabi‟ah); kebiasaan atau kelaziman (al-„adat); peradaban

yang baik (al-muru‟ah); dan agama (ad-din).56 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Selanjutnya Mahmud merujuk pendapat Ghazali mengatakan dari sisi bahasa kata al-Khalaq (fisik) dan al-Khuluq (akhlak) adalah dua kata yang sering dipakai secara bersamaan. Karena manusia terdiri dari dua unsur fisik dan non-fisik. Unsur fisik dapat dilihat oleh mata kepala. Sedangkan unsur

non fisik dapat dilihat oleh mata batin.57 Menurut Shihab walaupun kata

akhlak memiliki makna tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan, agama tetapi tidak ditemukan dalam al-Qur‟an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal

dari kata itu yaitu khuluq.58 Kata khuliuq ini bersumber dari kalimat yang

tercantum dalam al-Qur‟an surat al-Qalam ayat 4. :

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Al-Qalam :4.59

Selanjutnya kata akhlak tersebut menurut Ya‟qub mengandung segi-segi persesuaian dengan kata kholqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan kholiq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan

56 Ulil Amri Syarif. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta : Raja Grafindo Press,

Hlm.72.

57 Ali Abdul Halim Mahmud. 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul asli

al-Tarbiyah al-Khuluqiyah. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.28.

58 M. Quraish Shihab. 2004. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Ummat, Bandung : Mizan. Hlm.253.

(24)

ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq.60

Hal ini sesuai dengan

kata-kata Aisyah ra dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa‟d ibn Hisham sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Sa‟d ibn Hisham, dia berkata : Saya bertanya kepada „A`ishah: “ Wahai Ummul Mukminin, ceritakan padaku tentang akhlak Rasulullah saw”. „A`ishah menjawab : “Akhlak beliau adalah al-Qur‟an”.61

Akhlak Rasulullah saw yang dimaksudkan di dalam kata-kata hadits di atas ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku Rasulullah saw yang semuanya merupakan pelaksanaan ajaran al-Qur‟an. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku / perbuatan manusia. Dalam Da`irat al-Ma‟ru`f disebutkan :

Akhlak ialah sifat-sifat yang terdidik. (Luis Ma‟luf, Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam.62

Sementara menurut istilah (terminologis) terdapat pengertian tentang akhlak, diantaranya :

a. Ibnu Maskawih mengatakan bahwa akhlak :

60

Heri Gunawan. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:Alfabeta. Hl. 5 61 Ahmad Ibn Hanbal Abu „Abd Allah al-Saibani, 1999. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz

42( Mu‟assasah al-Risalah ), Hlm.183.

(25)

“Khulq/Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.63

b. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak :

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.64

c. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan

untuk melakukan apa yang harus diperbuat.65

d. Menurut Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi sebagaimana dikutip oleh Mahmud akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat, alami,

agama dan harga diri.66

e. Menurut Sa‟duddin, akhlak mengandung beberapa arti, antara lain :

1) Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.

2) Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginanannya.

63 Ibnu Miskawaih. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika. (Terjmh : Helmi Hidayat : judul asli Tahdzib Al-Akhlaq., (Bandung: Mizan.1998). Hlm.56.

64 Al-Ghazali. 2004. Ihya `Ulumuddin, Juz 3 Kairo-Mesir : Darul Hadist. Hlm. 70.

65

Ahmad Amin, 1995. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hlm. 3.

66 Ali Abdul Halim Mahmud, 2004. Akhlak Mulia,Terj. Abdul Hayyi al-Kattienie dengan judul asli al-Tarbiyah al-Khuluqiyah, Jakarta : Gema Insani Press, Hlm.34.

(26)

3) Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang terjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga dapat berarti

kesopanan dan agama.67

Selanjutnya, akhlak dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut yaitu wahyu. Sikap dan penilaian akhlak

selalu dihubungkan dengan ketentuan syari‟ah Islam dan aturannya.68

Karena dalam Islam, ada beberapa keistimewaan akhlak yang menjadi karekteristik, salah satunya menurut Jauhari, guru besar Akidah Filsafat di Universitas Al-Azhar, Kairo menjelaskan beberapa karakteristik akhlak, di

antaranya : 69

a. Bersifat universal.

b. Logis, menyentuh perasaan hati nurani.

c. Memiliki demensi tanggung jawab, baik pada sektor pribadi ataupun masyarakat.

d. Tolak ukur tidak saja ditentukan dengan realita perbuatan tapi juga di lihat dari segi motif perbuatan.

e. Dalam pengawasan pelaksanaan akhlak islami ditumbuhkan kesadaran bahwa yang mengawasi adalah Allah SWT.

f. Akhlak islami selalu memandang manusia sebagai insan yang terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang harus dibangun secara seimbang.

67 M. Furqon Hidayatulloh. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, Surakarta : Yuma Pressindo. Hlm.13.

68 Ulil Amri Syarif, 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an,. Jakarta : Raja Grafindo Press.Hlm.72

(27)

g. Kebaikan yang ditawarkan akhlak islam adalah untuk kebaikan manusia, mencakup tiap ruang dan waktu.

h. Akhlak Islam selalu memberikan penghargaan di dunia maupun di akhirat bagi setiap kebaikan, demikian pula setiap keburukan diberi sanksi atau hukuman.

Dengan konsep akhlak ini, manusia diajarkan untuk selalu berbuat baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik dalam hubungannya dengan Tuhannya, manusia dan makhluk lainnya sebagai tujuan akhir hidupnya di

akhirat nanti.70 Konsep ini berhubungan dengan sistem nilai yang mengatur

pola sikap dan tindakan manusia di dunia. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam yang berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah sebagai sumber utama. Akhlak terbagi menjadi dua bagian. Pertama, akhlak baik yang dinamakan akhlak mahmudah (akhlak terpuji), akhlak al-karimah (akhlak mulia) adalah akhlak yang baik dan benar menurut syari‟at islam. Kedua, akhlak mamdudah adalah akhlak tercela dan

tidak benar menurut syari‟at islam. 71

Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan Allah). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.

70 M. Abul Quasem, 1988. Etika A-Ghazali Etika Majemuk di Dalam Islam, Bandung: Pustaka .Hlm.72.

(28)

Berdasarkan penjelasan dan definisi akhlak di atas menurut filusuf dan ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang telah tertanam kuat atau terparti dalam diri seseorang, yang akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pemikiran atau perenungan terlebih dahulu. Artinya bahwa perbuatan itu dilakukan dengan reflek dan spontan tanpa difikirkan terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam itu darinya muncul perbuatan-perbuatan terpuji menurut rasio dan syari‟at, maka sifat tersebut

dinamakan akhlak yang baik.72 Sedangkan jika terlahir perbuatan-perbuatan

buruk maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak buruk. Pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlaq merupakan suatu kondisi atau sifat yang

telah meresap ke dalam jiwa dan menjadi kepribadian seseorang.73

Kemudian timbul berbagai macam kegiatan secara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Hal ini sesuai dengan Al-Qur‟an surat Asy-Syams ayat 8-10 yang mengungkapkan

kecenderungan potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. 74

Artinya :“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Abuddin Nata dalam bukunya menjelaskan lima ciri perbuatan akhlak, yaitu: Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehinggga menjadi kepribadian. Kedua,

72

.Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66.

73 Rahmat Djatnika.1992. Sistem Ethika Islami. Hlm. 21.

74 Departemen Agama. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 920.

(29)

perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakan, tanpa ada paksaan dari luar. Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main- main. Kelima, perbuatan akhlak (kususnya akhlak mahmudah) adalah perbuatan

yang dilakukan karena Allah semata.75

3. Dasar Pendidikan Etika dan Ruang Lingkupnya

Dasar pendidikan etika atau akhlak adalah al-Qur‟an dan al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur‟an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :

Artinya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21) 76

75 Abuddin Nata. 1996. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 6-7.

(30)

Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 :

Artinya :” Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Q.S. al-Qalam : 4) 77

Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia).

Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa :

Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin „Ijlan dari Qo‟qo‟ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad)78

Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun

77 Depag. RI. Terjemahan Al-Qur`an. 1993. . Hlm. 920.

(31)

perempuan harus memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang mulia selalu mendapat taufik dan hidaya Allah

SWT.79 Mereka mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati

hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan sebagai dasar

ciri-ciri akhlak yang baik.80

Adapun ruang lingkup etika atau akhlak menurut Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah

akhlak terhadap makhluknya atau semua ciptaan Allah.81 Dan ruang lingkup

pendidikan akhlak, di antaranya adalah : a. Akhlak Terhadap Allah SWT

Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Khaliq yang telah menciptakannya.

Menurut Abudin Nata sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa

manusia perlu berakhlak kepada Allah :82

1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa

79

Rahmat Djatnika,1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas. Hlm. 22.

80 .Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz III. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 66.

81 M. Dawud Ali. 2000. Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 352. 82 Abudin Nata. 1997. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 148.

(32)

manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu‟minun : 12-13)

2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia.

3) Karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13)

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra‟ : 70).

Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara,

di antaranya dengan taat dan persaan takut kepada Allah,83 karena Allah SWT

menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. Adz-Dzariyat : 56 :

Artinya :“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia,melainkansupaya mereka menyembah kepada-Ku”.

(Q.S. adz-Dzariyat : 56) 84

Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :

83 .Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 195.

(33)

1) Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan meruakan kewajiban kepada Allah. Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. An-Nisaa : 59)85

Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib

lima waktu dengan khusyu yang merupakan amalan hati.86

2) Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Mukminun : 1-7 :

85

Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm.126.

(34)

. Artinya :“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

(yaitu) orang-orang yang khusyu‟ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S. al-Mukminun : 1-7)87

Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf,

ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya.88

b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.

1) Akhlak terhadap Rasulullah

Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah SWT dalamQ.S. An-Nisaa : 80 :

87 Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 526. 88 Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 179.

(35)

Artinya :” Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.

(Q.S.an-Nisaa : 80)89

2) Akhlak terhadap Ayah dan Ibu

Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di antaranya :

a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S.

Al-Isra : 23 :

. Artinya : ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra‟ : 23)90

b) Membantu orang ayah dan ibu

Membantu orang tua atau ayah dan ibu merupakan akhlak yang termuji yang harus dilakukan oleh setiap anaknya kepada kedua orang

tuanya. 91

3) Akhlak terhadap guru

89 Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 132. 90 Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Hlm. 423.

(36)

Akhlak karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.

Penyair Syauqi telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan

kata-katanya sebagai berikut : 92

Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.

4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat

Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur‟an Q.S. Al-Maaidah : 2 :

Artinya :“Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (Q.S.

Al-Maaidah : 2)93

92

M. Athiyah al-Abrsyi, Op. Cit., Hlm. 136.

(37)

c. Akhlak Terhadap Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang

berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur‟an

terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.94

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An‟aam : 38 :

Artinya : “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.(Q.S. Al-An‟aam : 38)95

4. Tujuan Pendidikan Etika a. Tujuan Pendidikan Etika

Berkenaan dengan tujuan pendidikan, ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan manusia yang bertindak sebagai khalifah yang cirri-cirinya terkandung dalam konsep „ibadah dan amanah.

94 Depag RI. 1993. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Srabaya : Surya Cipta Aksara. Hlm. 423. 95 Ahmad Tafsir. 2013. Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 53.

(38)

Manusia sebagai khalifah ini mempunyai cirri-ciri yang membedakannya dari makhluk lain, yaitu mempunyai fitrah yang baik, mempuyai roh, disamping jasmani, mempunyai banyak kebebasan kemauan, dan mempunyai akal yang menjadi inti manusia itu. Pendidikan dapat Pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi dari pemikiran filsafi, sedangkan filosof bergerak sesuai dengan jalan dan dasar pemikirannya. Sedangkan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah taqarrub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali berkata :

“Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri”.96

Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan menonjolkan karakteristik religious moralis dengan tidak tidak mengabaikan urusan keduniaan sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.97

Tujuan pendidikan al-Ghazali didasari oleh pemikiran tentang manusia. Manurutnya manusia terdiri dari dua unsur : jasad dan ruh atau jiwa. Keduanya mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat. Artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan mampu bergerak tanpa ruh atau jiwa, begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali melaui jasad. Sedemikian menyatunya sehingga walau jasad terpisah untuk

96 Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 97 Al-Ghazali, 1992. Ihya` Ulumddin, Juz IV. Kairo: Darul Hadits. Hlm. 402.

(39)

sementara waktu, kelak akan menyatu kembali untuk menerima balasan atau tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia.

Tujuan pendidikan akhlak adalah agar manusia bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, sehingga manusia akan mendapatkan kebahagiaan.

Menurut al-Ghazali, ciri-ciri manusia yang berakhlak mulia ialah : banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak perbaikan, lidah banyak yang benar, sedikit bicara banyak kerja, sedikit terperosok pada hal-hal yang tidak perlu, berbuat baik, menyambung silaturrahim, lemah lembut, penyabar, banyak berterima kasih, rela kepada yang ada, dapat mengendalikan diri ketika marah, kasih sayang, dapat menjaga diri dan murah hati kepada fakir miskin, tidak mengutuk orang, Tidak suka memaki, tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak dengki, tidak kikir, tidak penghasud, manis muka, bagus lidah, cinta pada jalan Allah, benci dan

marah karena Allah.98

Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang jelas di sini. Etika mistiknya hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan di akhirat. Dia tidak memiliki konsepsi kehidupan “social” secara umum. Disamping itu, perhatian

tertingginya dicapai semata-mata melalui penyucian “hati” dan

hidup“menyendiri” di dunia sekarang.99

Tipe hidup menyendiri boleh jadi benar pada masa al-Ghazali, ketika transformasi budaya yang luar biasa

98

Abidin Ibn Rusn. Tt. Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offiset . Hlm. 5 99 M. Amin Abdullah. 2002. Antara al-Ghazali dan Kant (Filsafat Etika Islam), :Bandung : Mizan, Hlm. 217

(40)

belum terjadi. Akan tetapi, pada abad modern yang di dalamnnya nilai-nilai transbudaya berhadapan muka dengan kita melalui banak dan aneka ragam cara, strategi “menyendiri” tidak lagi memadai. Membersihkan hati adalah baik, tetapi tidak cukup. Adalah tugas “rasio” secara umum mengatur dan menangani situasi. Rasio kita harus harus dilatih dan dipertajam dengan memberikan dan melengkapi nya dengan alat analitis untuk melihat realitas sosial dan mengevaluasi perubahan social secara kritis agar tidak membuat kita hilang dalam gelombang besar transformasi budaya modernisme. Jika kita tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk memahami realitas transformasi budaya, transformasi modernisme hebat ini harus ada perlawanan terhadap modernisme tersebut yang dilakukan oleh gerakan

yang dikenal dengan istilah “fundamenatalisme”.100

Sedangkan tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan

untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,101sehingga mencapai

kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. al-Sa‟adah memang persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-Sa‟adah sebagaimana dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai

100 Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. (Bandung: Mizan, 2003), Hlm. 50.

(41)

happiness. 102

Menurutnya al- Sa‟a dah merupakan konsep komprehensif

yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan

(blessedness) dan kecantikan (beautitude).103

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Miskawaihi bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti seluas-luasnya. Adapun tujuan pendidikan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang dipaparkan oleh para ahli di antaranya Ahmad D. Marimba dan Muhammad „Athiyah al-Abrasy, yang berpendapat bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perserta didik untuk

mewujudkan kepribadian yang utama atau berakhlak mulia.104

Dengan demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan moral

dalam diskursus pendidikan Islam.105

Dalam tujuan pendidikan akhlak juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : tujuan umum dan tujuan khusus.

1) Tujuan Umum

Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi :

a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.

102

M. Abdul Haq Ansari. 1963. Miskawayh‟s Conception Of Sa‟adat, dalam Islamic Studies, No. 11/3,

103 Lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writing Arabic, (Beirut dan London Maktabat Lubnan-Mac Donald & Evans Ltd., 1980), cet. III, 410

104

Abudin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 49.

105 Abdul Majid, Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Prespektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hlm. 10.

(42)

b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama

makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. 106

Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat

istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.107

2) Tujuan Khusus

Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :

a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik

b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah. c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan

menderita dan sabar.

d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.

e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah.

f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan

bermuamalah yang baik.108

106

Barnawy Umar. 1984. Materi Akhlak, Salatiga: Ramadhani. Hlm. 2. 107 M. Ali Hasan. 1988. Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11.

108 Chatib Thoha, Saefudin Zuhri, dkk. 1999. Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tabiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 136.

Referensi

Dokumen terkait

• Cara penggunaan : user memilih tabel fakta yang ingin digunakan (hanya boleh mengakses 1 tabel) pada list ”Tabel Fakta” → Kemudian memilih field tabel fakta yang diinginkan

Secara tidak langsung, program itu dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu bentuk legalisasi terhadap keberadaan permukiman di daerah bantaran Sungai Code, sehingga mereka

Adalah dengan ini diisytiharkan bahawa tanah dan kawasan yang tertentu yang dinyatakan dalam Jadual di bawah ini adalah diperlukan bagi maksud yang

Besar atau kecilnya partisipasi oleh anggota juga akan mempengaruhi Sisa Hasil Usaha (SHU) yang akan diterima anggota setiap tahunnya. Sedangkan pengertian partisipasi

Ketika nilai wajar pada saat pengakuan awal berbeda dari harga transaksinya, Perusahaan mencatat berdasarkan nilai wajar hanya apabila nilai wajar tersebut mencerminkan harga

Penelitian tentang Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Di Lingkungan Lokalisasi Padang Bulan ini, menggunakan 7 (tujuh) informan pokok orang tua yaitu para mucikari yang memiliki anak

Disarankan agar bank dalam mengelola layanan internet banking lebih meningkatkan pengembangan dan penggunaan produk internet banking dengan orientasi pada nasabah yang

Dalam perkembangan pelayanan di Indonesia, segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Karena perkembangan teknologi yang pesat sehingga dibutuhkan