• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina pektoris merupakan keluhan pasien berupa. rasa dan sensasi tidak nyaman di dada, terutama pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina pektoris merupakan keluhan pasien berupa. rasa dan sensasi tidak nyaman di dada, terutama pada"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 Angina pektoris merupakan keluhan pasien berupa rasa dan sensasi tidak nyaman di dada, terutama pada saat aktivitas. Hingga saat ini angina pektoris masih menjadi manifestasi paling umum dari penyakit iskemia jantung. Penyakit iskemia jantung adalah kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan persediaan oksigen miokardium dan oksigen yang dibutuhkan miokardium akibat adanya aterosklerosis di arteri koroner (Lilly, et.al., 2011).

Pendeteksian faktor risiko yang menyebabkan penyakit iskemia jantung dapat menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari penyakit iskemia jantung. Prevensi sekunder penyakit jantung koroner menjadi salah satu fokus utama klinisi dalam bidang kardiovaskular (Genest, 2003). Berkembangnya angina pektoris stabil menjadi tidak stabil dapat dicegah melalui pengontrolan faktor risiko, pemberian perlakuan, dan terapi yang tepat pada pasien. Salah satu tindakan prevensi yang bisa dilakukan adalah dengan mengaplikasikan sistem skoring yang baik dan akurat untuk memprediksi prognosis pasien. Salah satu sistem penilaian yang bisa digunakan adalah ATP III Framingham

(2)

Risk Scoring. Sistem ATP III Framingham Risk Scoring adalah sistem penilaian berdasarkan gender yang digunakan untuk mengestimasi terjadinya gangguan kardiovaskular yang mungkin terjadi pada seorang individu sehat pada 10 tahun ke depan (Pasternak, 2003) dengan faktor-faktor kriteria yang relatif sederhana yang direkomendasikan oleh NCEP-ATP III. Sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring mudah untuk dilakukan tanpa perlu alat-alat canggih. ATP III Framingham Risk Scoring menyediakan sistem kalkulasi dari faktor risiko absolut yang mudah dan bisa menunjukkan risiko dalam jangka waktu panjang (Pasternak, 2003). Sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring merupakan perbaruan dari sistem penilaian Framingham yang ada pada tahun 1998 dengan perbaikan skor dan faktor risiko yang dinilai. Walaupun sistem penilaian ini sudah ada sejak tahun 2001 untuk memprediksi risiko pasien terkena penyakit metabolik, sistem penilaian ini masih belum diaplikasikan sebagai acuan prognosis pasien di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Jika sistem penilaian ini berhubungan secara statistik dan bermakna signifikan, maka sistem penilaian ini dapat sangat membantu klinisi dalam memprediksi prognosis pasien tanpa perlu menggunakan

(3)

alat atau faktor-faktor yang rumit dan membutuhkan biaya tinggi.

Sistem penilaian ini lebih menitikberatkan pada faktor kriteria status profil lipid lengkap dari pasien tersebut. Oleh karena itu, pemeriksaan profil lipid lengkap untuk pasien diatas umur 20 tahun perlu dilakukan berdasarkan rekomendasi dari ATP III (Pasternak, 2003). Tiga faktor risiko utama penyakit iskemia jantung adalah tingginya kadar total kolesterol, hipertensi arterial, dan kebiasaan merokok. Hypercholesterolemia menjadi faktor penting terjadinya aterosklerosis yang berujung pada penyakit iskemia jantung. Aterosklerosis ditandai dengan adanya plak pada arteri koroner yang menurunkan kerja otot jantung. Tersumbatnya arteri koroner ini dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris stabil. Jika tersumbatnya arteri koroner makin parah dan menyebabkan ruptur, bisa menyebabkan angina pektoris tidak stabil (Lilly, 2011). Rupturnya sumbatan di arteri koroner dapat menyebabkan kejadian kardiovaskular mayor. Rasio kejadian kardiovaskular mayor pasca PCI pada pasien angina pektoris stabil masih cukup tinggi, yaitu 14% dalam 1 tahun, 17,6% dalam 3 tahun, dan 25,6% dalam 5 tahun (Kaneko, et.al., 2013).

(4)

Dari penelitian Birgelen, 2004, terdapat hubungan linier yang positif antara estimasi risiko dari algoritma sistem penilaian PROCAM, SCORE, dan Framingham dan perkembangan plak yang diukur dengan serial IVUS. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara estimasi risiko sistem penilaian Framingham dengan hasil serial IVUS. Pasien dengan estimasi risiko terbesar mengalami perkembangan plak yang terbesar. Hal ini disebabkan karena faktor risiko mayor yang berpengaruh pada prevensi primer juga sangat berpengaruh pada prevensi sekunder (Birgelen, 2004). Hasil ini menunjukkan bahwa sistem penilaian yang diaplikasikan pada orang sehat dapat juga diaplikasikan secara terbatas pada populasi lain dengan profil dan asal region yang berbeda (Birgelen, 2004), seperti pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta. Penelitian ini dapat menjadi awal pembentukan dan validasi sistem skoring untuk prevensi sekunder kejadian kardiovaskular mayor.

Penurunan mortalitas dan morbiditas akibat penyakit iskemia jantung membutuhkan perhatian yang lebih mendalam pada negara-negara maju dan negara berkembang. Penyakit iskemia jantung menjadi penyebab utama kematian di negara industrial dan negara-negara

(5)

maju lainnya (Depkes RI, 2012). Kemajuan teknologi dan ekonomi negara-negara maju membuat mereka bertahan dari penyakit-penyakit menular, namun juga membuat penyebab kematian terbanyak di negara tersebut bergeser menjadi penyakit tidak menular, salah satunya penyakit iskemia jantung. Pergeseran penyebab kematian juga dialami di Indonesia. Penyebab kematian di Indonesia yang dahulu kebanyakan disebabkan oleh penyakit menular telah bergeser ke penyakit tidak menular (Riskesdas Depkes RI, 2008). Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil (Riskesdas Depkes RI, 2013).

Kebanyakan penyakit tidak menular disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat dan bisa dicegah. D.I. Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki proyeksi angka harapan hidup tertinggi di Indonesia, yaitu 74,3 untuk periode 2010 – 2015 (Badan Pusat Statistik, 2013). Agar angka mortalitas dan morbiditas akibat penyakit iskemia jantung dapat diturunkan, khususnya di Yogyakarta,

(6)

pencegahan perlu dilakukan. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, penurunan berat badan, dan aktivitas fisik (Pasternak, 2003). Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan mengontrol faktor risiko yang memiliki skor tinggi dalam sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring.

Penelitian ini ingin melihat apakah pasien angina pektoris stabil dengan skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun di Yogyakarta. Selain itu, dari hasil penelitian juga bisa disimpulkan apakah sistem penelitian ini bisa digunakan untuk menentukan risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta.

I.2 Perumusan Masalah

Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian pertama di Indonesia. Kejadian kardiovaskular mayor dapat diprevensi dengan modifikasi faktor risiko. Oleh karena itu, diperlukan adanya sistem skoring sebagai alat prognosis yang akurat dalam menentukan risiko-risiko mayor dalam rangka prevensi sekunder terjadinya kejadian kardiovaskular mayor. Sistem penilaian ATP III

(7)

Framingham Risk Scoring sangat efetif dan mudah untuk diaplikasikan tanpa perlu peralatan yang canggih. Penelitian ini ingin melihat apakah sistem penilaian ini dapat digunakan sebagai sistem skoring untuk prevensi sekunder kejadian kardiovaskular mayor. Atas dasar tersebut, disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah pasien angina pektoris stabil di RSUP Dr. Sardjito dengan skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi dan sedang memiliki risiko untuk terjadinya kejadian kardiovaskular mayor yang lebih tinggi dalam kurun waktu 5 tahun?

I.3 Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan Umum

Menentukan apakah pasien angina pektoris stabil dengan skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi dan sedang meningkatkan risiko untuk terjadinya kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun dibandingkan dengan yang memiliki skor klasifikasi risiko rendah di Yogyakarta.

(8)

I.3.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan risiko relatif kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun pada pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta yang memiliki skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi dibandingkan dengan skor klasifikasi risiko rendah.

2. Menentukan risiko relatif kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun pada pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta yang memiliki skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko sedang dibandingkan dengan skor klasifikasi risiko rendah.

3. Menentukan risiko relatif kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun pada pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta yang memiliki skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi dibandingkan dengan skor klasifikasi risiko sedang.

I.4 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai sistem penilaian untuk angina pektoris masih terbatas, khususnya di Indonesia. Adapun beberapa penelitian tentang sistem skoring yang sudah

(9)

ada adalah penelitian yang memang dilakukan untuk menentukan sistem skoring itu sendiri atau menguji kembali keefektifan dari sistem skoring tersebut, sedangkan penelitian yang menguji apakah sistem skoring tersebut dapat diaplikasikan di suatu kota, khususnya Yogyakarta belum banyak dilakukan.

Framingham Heart Study dimulai pada tahun 1948. Framingham Heart Study sudah menerbitkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi penyakit tertentu. Framingham Heart Study menerbitkan sistem skoring lain untuk memprediksi risiko diabetes, stroke, gagal jantung kongestif, hipertensi, penyakit kardiovaskular secara umum, atrial fibrilasi, dan penyakit jantung koroner. Namun, sistem skoring yang memprediksi risiko kejadian penyakit jantung koroner, yaitu Framingham Risk Score disusun dalam penelitian “Prediction of Coronary Heart Disease Using Risk Factor Categories” oleh Peter W. F. Wilson, Ralph B. D'Agostino, Daniel Levy, Albert M. Belanger, Halit Silbershatz, dan William B. Kannel pada tahun 1998. Sistem penilaian Framingham Risk Score pada tahun 1998 menggunakan parameter umur, jenis kelamin, LDL, HDL, total kolesterol, tekanan darah, dan status diabetes, dan merokok. Sistem penilaian ini cukup baik dalam

(10)

mengestimasi kejadian penyakit jantung koroner dalam kurun waktu 10 tahun (Wilson, et.al, 1998). Pada tahun 1999, dalam penelitian ―Assessment of Cardiovascular Risk by Use of Multiple-Risk-Factor Assessment Equations‖, Scott M. Grundy, Richard Pasternak, Philip Greenland, Sidney Smith, Jr, dan Valentin Fuster menjelaskan tentang risiko rendah dan tinggi dari sistem penilaian Framingham Risk Score tersebut. Pada tahun 2000, pada penelitian “Primary and Subsequent

Coronary Risk Appraisal: New Results From The

Framingham Study” D’Agostino et.al., diterbitkan sistem skoring yang dapat memprediksi penyakit jantung koroner dalam waktu 2 tahun. Populasi target dari sistem skoring ini adalah individu yang belum pernah mengalami penyakit jantung koroner, stroke, transient ischemic attack, gagal jantung kongestif, dan klaudikasio intermiten.

Pada tahun 2001, Adult Treatment Panel III menyusun sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring dalam menilai kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 10 tahun pada orang sehat. Sistem penilaian ini menggunakan parameter umur, jenis kelamin, HDL, total kolesterol, tekanan darah sistolik, dan status merokok (Pasternak, 2003). Sistem penilaian ini

(11)

adalah pembaruan dari sistem penilaian Framingham sebelumnya dengan skor dan faktor risiko yang telah diperbarui. Pasternak, 2003, mengatakan bahwa pedoman dalam NCEP-ATP III lebih berdasar pada bukti dibandingkan dengan sistem penilaian sebelumnya. Perubahan penting dalam NCEP-ATP III adalah perluasan kategori berisiko tinggi untuk memasukkan pasien tanpa penyakit vaskular, tetapi dengan tingkat risiko yang setara dengan pasien dengan penyakit jantung koroner. D’Agostino, 2008, dalam penelitiannya mengatakan algoritma faktor risiko multivariabel yang spesifik dengan jenis kelamin dapat dengan mudah digunakan untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular secara umum dan secara individu. Sistem penilaian ini pernah digunakan dalam penelitian oleh Pradana Soewondo, Dyah Purnamasari, Maryantoro Oemardi, Sarwono Waspadji, Sidartawan Soegondo di Jakarta (Soewondo, 2010). Namun, dalam penelitian tersebut sistem penilaian ini hanya digunakan untuk menilai kejadian adanya sindroma metabolik tanpa melihat keakuratan dan nilai aplikatifnya jika dibandingkan dengan kondisi pasien yang sebenarnya. Sistem penilaian ini juga pernah digunakan dalam penelitian “General Cardiovascular Risk Profile for Use in Primary Care” oleh Ralph B.

(12)

D’Agostino, Sr, PhD; Ramachandran S. Vasan, MD; Michael J. Pencina, PhD; Philip A. Wolf, MD; Mark Cobain, PhD; Joseph M. Massaro, PhD; dan William B. Kannel, MD. Dalam penelitian ini, dari 8491 partisipan bisa diambil kesimpulan bahwa algoritma faktor risiko multivariabel dapat digunakan untuk menilai risiko dan kejadian penyakit jantung koroner (D’Agostino, et.al, 2008). Namun, dalam penelitian Widjaya, 2013, yang berjudul ‖Metabolic Syndrome and Framingham Risk Score in Obese Young Adults‖, didapatkan bahwa peningkatan skor Framingham Point tidak berhubungan dengan sindroma metabolik (p = 0,154).

Beberapa penelitian lain yang terkait sistem skoring yang pernah dilakukan, yaitu: Tim C Clayton, Jacobus Lubsen, Stuart J Pocock, Zoltán Vokó, Bridget-Anne Kirwan, Keith A A Fox, dan Philip A Poole-Wilson (2005) yang membuat sistem skoring Action Score untuk menilai pasien dengan penyakit jantung iskemik. Selain itu, ada juga penelitian Caroline A. Daly, Bianca De Stavola, Jose L. Lopez Sendon, Luigi Tavazzi, Eric Boersma, Felicity Clemens, Nicholas Danchin, Francois Delahaye, Anselm Gitt, Desmond Julian, David Mulcahy, Witold Ruzyllo, Kristian Thygesen, Freek Verheugt, dan Kim M Fox (2006) yang membuat sistem skoring Euro Heart

(13)

Score untuk memprediksi prognosis pasien dengan angina stabil.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah adanya pengujian apakah skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi berhubungan dengan kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun pada pasien angina pektoris stabil di Yogyakarta. Penelitian tentang sistem skoring angina pektoris stabil masih belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Oleh sebab itu, ada perbedaan populasi target dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta.

I.5 Manfaat Penelitian I.5.1 Bagi peneliti

Mengetahui apakah pasien angina pektoris stabil dengan skor sistem penilaian ATP III Framingham Risk Scoring klasifikasi risiko tinggi memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya kejadian kardiovaskular mayor dalam kurun waktu 5 tahun di Yogyakarta, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang angina pektoris, dan

(14)

berkontribusi untuk perkembangan dunia medis di bidang kardiovaskular.

I.5.2 Bagi klinisi

Mampu menentukan alat prognostik yang baik untuk pasien dengan angina pektoris dengan sistem penilaian yang aplikatif di Indonesia untuk mendeteksi risiko kejadian kardiovaskular mayor sehingga dapat memberikan perlakukan dan terapi yang sesuai.

I.5.3 Bagi masyarakat

Dapat mengetahui alat prognostik yang baik untuk pasien dengan angina pektoris dengan sistem penilaian yang aplikatif di Indonesia sehingga dapat melakukan pemeriksaan ke fasilitas pelayanan kesehatan jika memiliki skor tinggi, untuk mendeteksi risiko penyakit jantung iskemik dan kejadian kardiovaskular mayor lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum periode pertama validitas (5 tahun) habis dan setiap 10 tahun sesudahnya, sertifikasi dapat diperpanjang oleh LSP-BATAN untuk periode lima tahun berikutnya

Ada korelasi signifikan secara bersama-sama antara sifat-sifat kepemim- pinan, penggunaan kekuasaan, iklim organisasi sekolah, kriteria sukses, dan komitmen pemimpin

(Purnawan Junadi, 1982) Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin

dapat dihitung untuk lokasi lainnya dipermukaan bumi dengan cara jika lokasi tempat yang akan ditentukan waktu tengah harinya terletak di sebelah barat dari kota London yaitu bujur

1) Merencanakan kegiatan Seksi Pelayanan berdasarkan kegiatan tahun sebelumnya baik rutin maupun pembangunan serta sumber data yang ada sebagai bahan untuk

Bila tegangan AC yang dihasilkan dalam pick-up coil adalah negatif, tegangan ini Bila tegangan AC yang dihasilkan dalam pick-up coil adalah negatif, tegangan ini ditambahkan

Sebelum penempatan besi atau pengecoran beton, permukaan bekisting harus dilapisi dengan bahan yang mencegah penyerapan air, melekatnya beton pada bekisting dan tidak mengotori

anda analogikan seperti menepuk air di tengah ember, air akan beriak membentuk gelombang ke pinggir ember dan tumpah, itulah gelombang Tsunami dalam skala