• Tidak ada hasil yang ditemukan

FIKIH LINGKUNGAN: MENGUAK CINTA IDEAL FIKIH DALAM MENJAGA KEHARMONISAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FIKIH LINGKUNGAN: MENGUAK CINTA IDEAL FIKIH DALAM MENJAGA KEHARMONISAN LINGKUNGAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FIKIH LINGKUNGAN: MENGUAK CINTA IDEAL FIKIH DALAM MENJAGA KEHARMONISAN

LINGKUNGAN

Maulana Mahfudh PP. Al-Hidayah Arjasa Sumenep maulana_mahfudh@yahoo.co.id

Abstract

Humans are a small part of the environmental component. He could not separate himself from his surroundings, even though he had been lying in a tomb. The environment is very determining on the fate of human life. A conducive environment will provide quality and safe life. The environment is deteriorated, will be presenting a life that is not quality. Jurisprudence as an Islamic law that regulates every act of the mukallaf, cannot release the legal formulation of the mukallaf actions related to the environment. How does fiqh talk about deforestation, greening, environmental preservation, exploitation of mining products and so on. This arrangement of environmental law is based on the arguments of taf'īliy, namely the Koran and Hadith, and general principles of legal legislation.

Keywords: fiqh, awareness, environment 1. PENDAHULUAN

Alam diciptakan oleh Allah dengan sistem hukum yang teratur.[1] Alam berjalan sesuai sistem hukum yang telah di-setting oleh Allah. Tidak ada satupun unsur alam yang lepas dari hukum Allah. Sebab Dia-lah yang menggenggam dan mengawasi sistem itu. Sistem ini dikenal dengan istilah "sunnatullāh". Masing-masing unsur alam memiliki hukum berbeda-beda. Antara unsur alam yang satu dengan lainnya, walaupun beda tata-aturnya memiliki hubungan dan ketergantungan yang cukup erat. Maka sudah menjadi keniscayaan jika ketimpangan hukum yang terjadi pada satu unsur alam berpengaruh besar pada unsur yang lainnya. Ketimpangan yang terjadi pada sistem atur alam semesta pasti karena ulah tangan jahil manusia.

Alam memiliki sifat sangat unik dan mesterius. Tidak heran lagi alam menjadi titik sentral perhatian manusia dari masa ke masa. Tapi sampai saat ini masih belum ada satu ilmuwan yang bisa mengungkap rahasia alam secara sempurna dan detail. Keunikan alam ini bisa dipandang dari aspek penciptaan dan hukum-hukumnya (sunnatullāh) yang teratur. Hukum inilah yang menentukan keberadaan dan perjalanan alam dari awal penciptaan – hingga akhir masanya (kiamat). Penciptaan alam raya ini untuk kepentingan manusia dan

sekali-kali bukan kepentingan Allah. Karenanya manusia diberi wewenang oleh

Allah untuk menguasai dan

memakmurkannya. Semua persedian berupa kekayaan alam (SDA) baik yang terkandung dalam bumi maupun lautan adalah demi kepentingan manusia. Namun manusia tidak diperbolehkan memanfaatkan kekayaan alam semena-mena tanpa batas. Sebab ekploitasi kekayaan alam akan berakibat fatal terhadap keseimbangan alam atau lingkungan hidup. Jika alam kehilangan keseimbangannya, dunia akan bergolak. Ia akan menampakkan wajah kengerian. Dentuman keras dan benturan semua benda-benda angkasa tidak akan terhindarkan. Itu pertanda lonceng huru-hara akhir zaman telah ditabuh.

Pada hakikatnya Alquran dan hadis tidak menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.[2] Kita jumpai di beberapa tempat ayat Alquran dan hadis mendorong manusia agar terus menggali ilmu

pengetahuan agar menemukan

kebenarannya.[3] Bahkan prinsip-prinsip umum tentang ilmu pengetahuan telah dipampang oleh Alquran, demikian juga ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah tidak bertentangan dengan Alquran.[3]

Selain itu, Alquran dan hadis bukan berarti bungkam terhadap persolan lingkungan. Alquran [4] dan hadis berulang

(2)

kali menitikberatkan perhatiannya terhadap persoalan bencana. Kata musibah ditemukan 10 kali dalam Alquran di samping bentuk kata lain yang semakna dengannya, yang keseluruhannya berjumlah 76 kali.[5]

Tapi para ulama tafsir seluruhnya menghubungkan peristiwa bencana dengan kemaksiatan, kezaliman dan kekufuran. Masih belum ditemukan dalam literatur tafsir, mufassir (penafsir) yang menghubungkan peristiwa bencana dengan hilangnya stabilitas ekologi (lingkungan) atau keseimbangan alam. Padahal Alquran sejak awal menegaskan bahwa bencana terjadi bukan karena kezaliman Tuhan, tapi karena perbuatan tangan jahil manusia sendiri. Pada ayat lain Allah juga mengaitkan musibah dengan perbuatan manusia. Berupa perbuatan maksiat, perusakan alam, dan perbuatan munkar lainnya.[6]

Kepedulian Islam terhadap harmoni lingkungan hidup, bisa dilihat dalam Alquran dan hadis. Dalam hadis kebersihan dihubungkan dengan sesuatu yang sangat esensial yaitu iman. Orang yang beriman tentu akan selalu menjaga kebersihan lingkungan (darat, laut dan udara). Jika kebersihan lingkungan bisa terjaga maka akan tercipta suasana yang sejuk dan menyenangkan. Udara, air (laut dan sungai) bebas polusi, dan lingkungan tampak asri. Penghuni bumi pasti akan sehat.

Di samping itu juga Alquran mengutuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi (tufsidūna fi al-arḍ). Alquran menganjurkan kepada manusia agar senantiasa berbuat kebaikan (‘amal ṣālih) baik kepada sesama, binatang maupun lingkungan hidup. Dunia diciptakan oleh Allah beserta sistemnya yang teratur diperuntukkan kepada kemaslahatan manusia. Darat dan laut ditundukkan oleh Allah agar manusia bisa memanfaatkannya. Namun demikian manusia tidak boleh serta merta mengeruk kekayaan alam tanpa batas. Sebab jika kekayaan alam terus dieksploitasi tanpa henti maka akan kehilangan keseimbangannya. Akibatnya alam tidak lagi bisa memberikan manfaat bagi manusia, bahkan justru sebaliknya. Alam akan menyuguhkan malapetaka.

Untuk itu Allah menciptidakan manusia di muka bumi ini, di samping agar ia menyembah kepada-Nya, juga sebagai pengganti Allah (khalīfah Allah fi al-arḍ). Dalam arti manusia diberi wewenang oleh Allah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan (isti'mār fī al-arḍ) sumber daya alam (SDA) sesuai dengan kebutuhannya. Tidak sampai melampaui batas kewajaran. Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dari paparan di atas pada hakikatnya Islam adalah agama yang sangat peduli dan ramah terhadap ekologi (al-bī‘ah). Tapi sampai saat ini masih belum ada satu formulasi kongkrit dan sistematis secara tematik (mauḍū‘īy) membahas masalah lingkungan. Padahal masalah kelestarian lingkungan merupakan kebutuhan utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tujuannya tidak lain demi kelangsungan makhluk hidup (manusia) di dunia.

Tanpa pelestarian dan penjagaan terhadap keseimbangan alam semesta, mustahil kita bisa menjaga kepentingan-kepentingan lain yang selama ini dianggap sangat urgen. Seperti, hifẓu al-dīn (menjaga agama), hifẓu nafsi (menjaga jiwa), hifẓu al-'aqli (menjaga akal), hifẓu al-'irḍi (menjaga nama baik), dan hifẓu al-māl (menjaga harta-benda). Karenanya hifẓu al-bī‘ah (menjaga keseimbangan lingkungan) kami anggap sebagai sentral dari semua itu.

2. KAJIAN LITERATUR

Berikut akan dipaparkan beberapa paradigma tentang ekologi sebagai bangunan berpikir dalam memahami diskursus ekologi secara umum:

a. Anthroposentrisme

Paradigma Anthroposentrisme atau istilah lainnya “Shallow Environmental Ethics.” Yaitu suatu pandangan bahwa alam harus ditundukkan demi kepentingan dan kekuasaanya. Dalam pandangan anthroposentris, mekanisme pasar memegang peran penting. Hanya "barang ekonomi" yang memberi kegunaan bagi manusia memperoleh nilai melalui harga pasar. Tetapi, "jasa lingkungan" tidak "ditangkap nilainya"

(3)

oleh pasar, seperti nilai air tawar, udara bersih, iklim cuaca yang menyenangkan, sinar pagi matahari, dan seterusnya. Jadi, orang rela merusak unsur lingkungan alam demi keuntungan ekonomi yang terukur dalam pasar.

Logika inilah yang mendorong orang membangun real estate di atas tanah resapan air dan kawasan yang diperuntukkan waduk pengendalian banjir, menguruk lekukan tanah terminal banjir, menutup aliran air tanah, atau mengotori sungai. Biaya kerusakan alam baru disadari setelah ada bencana.

b. Biosentrisme

Paradigma Biosentrisme dengan dengan istilah lain “Intermediate Environmental Ethics”. Bagi biosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".

Biosentrisme memandang bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga pantas untuk mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Disini kita melihat bahwa alam juga pihak yang berhak untuk dikenai perilaku moral oleh manusia, terlepas ia bermanfaat atau tidak bagi manusia. Aturan moral menjadi netral karena berlaku bagi siapa saja. Biosentrisme juga memperluas peran manusia. Jika pada antroposentrisme, manusia hanya sebagai makhluk sosial, biosentrisme berpendapat bahwa manusia juga makhluk biologis, sama seperti makhluk hidup lainnya. c. Ekosentrisme

Pandangan ekosentrisme dengan kata lain “Deep Environmental Ethics.” Pendapat yang selaras dikemukakan oleh Peter C. Aman tentang konsep

ekosentrisme. Dimana konsep ini menitik beratkan pada oikos (lingkungan, tempat tinggal) sebagai pusat. Esensi dari konsep tersebut adalah kesadaran bahwa manusia dan seluruh makhluk lainnya berada seruang di bumi. Konsep berikutnya bahwa tiap-tiap ciptaan memiliki nilai intrinsik yang bertujuan pada dirinya. Nilai intrinsik ini saling berkaitan di antara segenap makhluk-makhluk lainnya dalam mempertahankan harmoni kehidupan secara menyeluruh. Etika biosentrisme dan ekosentrisme terlahir sebagai kritik terhadap anthroposentrisme.

Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentris, pada kehidupan seluruhnya. Ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

d. Ekofemenisme

Ekofeminisme merupakan

pengembangan dari ekosentrisme. Sekalipun banyak perbedaan antara ekosentrisme dan ekofeminisme menurut Des Jardins, Keduanya memiliki persamaan. Persamaannya kedua teori tersebut beranggapan bahwa kehancuran dan krisis ekologi pada dasarnya disebabkan oleh logika dominasi yang menjadi ciri utama dari cara pandang atau kerangka konseptual masyarakat modern, khususnya masyarakat barat dengan segala kemajuan yang telah dicapai termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Cara pandang ini melahirkan prilaku eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan.

Perbedaan antara keduanya, ekosentrisme menekankan persamaan nilai pada diri antara manusia dengan

(4)

seluruh ekosistem tanpa terkecuali. Manusia wajib melindungi dan menghormati hak-hak asasi alam. Ekosentrisme juga melawan teori anthroposentris yang berpusat pada manusia. Teori ini memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap ekologi bukan karena ekologi seluruhnya memilki hak asasi, akan lebih menekankan kepada nilai-nilai kasih sayang (care), hubungan yang harmonis, cinta, tanggung jawab dan saling percaya.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian karya tulis ini adalah menggunakan pendekatan kepustakaan (library research). Penelitian yang fokus membahas tentang fikih lingkungan ini menjadikan buku-buku, dokumen, dan sumber kepustakaan lainnya sebagai sumber data primer maupun sekunder.

4. PEMBAHASAN

a. Eksistensi Alam Semesta

Alam semesta diciptakan oleh Allah dalam enam masa.[7] Ia berkembang dengan sistem atur yang sangat rapi. Dari awal penciptaannya – sampai masa berakhirnya, alam akan bergerak sesesuai dengan ketentuan Allah (sunnatullāh). Bumi berputar pada porosnya mengelilingi matahari. Demikian juga planet-planet lain senantiasa berputar pada titik edarnya (jalan-jalannya) yang telah ditetapkan oleh Allah. Tidak ada sedikitpun kesilapan atau benturan dalam peredaran seluruh planet-plenet di angkasa. Karena semuanya (ciptaan Allah) tunduk dan patuh di bawah pengaturan (tadbīr) dan pengawasan (tanẓīr) Allah. Dalam Alquran Allah berfirman;

“Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk.” (QS. Al-Rūm: 26)

Penciptaan alam ini tentu berpasang-pasangan layaknya manusia. Dalam teori barat "the tao", alam ini terdiri dari yang dan yin (laki-laki dan perempuan). Dualitas alam bukan berarti menunjukkan pertentangan. Akan tetapi sebagai pilar

harmoni dalam unsur-unsurnya. Dualisme alam itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan - yang saling melengkapi. Bahkan jika salah satu diantaranya tidak ada atau tidak berfungsi sebagaimana biasanya, maka hubungan alam tidak harmonis. Alam akan kehilangan keseimbangnya. Ia tidak bisa memberikan kenyamanan dan manfaat lagi. Justru alam akan menyuguhkan aneka-bencana kepada manusia.

Di planet yang kita huni (bumi) Allah menyediakan seluruh kebutuhan yang dapat memenuhi hajat hidup manusia. Baik berupa barang yang langsung bisa dinikmati maupun yang masih perlu diolah terlebih dahulu (berupa potensi). Untuk semua itu manusia harus bekerja keras, berikhtiyar memanfaatkan tenaga-tenaga yang ada untuk kesejahteraanya. Sebab Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia atau bangsa kalau yang bersangkutan tidak mau mengubahnya sendiri.

Darat, laut dan udara seluruhnya telah ditundukkan oleh Allah. Di darat hamparan bumi yang membentang luas dengan tumbuh-tumbuhan di atasnya yang setiap saat bisa disantap buahnya. Air bersih, bebas kandungan kimiawi tersedia setiap saat dapat diminum untuk menghilangkan dahaga atau menyegarkan tubuh (mandi) serta mencuci pakaian (bersesuci). Pohon-pohon menghijau menambah indahnya panorama semesta. Gunung-gunung sebagai pasak bumi serta sungai mengalir di sekitarnya. Belum lagi binatang dengan aneka-jenisnya ikut meramaikan bumi. Dan pada saat yang sama ia bisa dimanfaatkan manusia sebagai tunggangan dan untuk bercocok tanam.

Dalam Alquran Allah menegaskan bahwa apa yang tersedia di muka bumi berupa SDA (sumber daya alam) baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak bisa diperbaharui semua diperuntukkan kepada manusia. Dengan itu semua manusia bisa menjalani kehidupan di muka bumi dengan kemakmuran.

(5)

“Dialah (Allah), yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Di laut tersedia ikan dengan aneka ragamnya. Terkandung barang-barang berharga, berupa emas, perak, intan-permata, mutiara dan lainnya. Laut juga bisa digunakan sebagai lalu lintas kapal dan perahu untuk menghubungkan suatu daerah atau negara dengan daerah/negara lain. Hingga manusia bisa saling berintraksi dengan baik. Hal ini dapat memperlancar pertukaran di segala bidang (seni-budaya, sosial-politik dan ekonomi). Laju perkembangan di segala bidang menjadi hal niscaya sebagai konsekuensi logisnya.

Di udara Allah menciptidakan lapisan ozon yang sangat kuat, guna menangkis sinar ultra violet matahari saat menembus bumi. Iklim bisa teratur dengan baik. Pada musim panas kita bisa melaksanakan kegiatan bisnis untuk mencari keuntungan. Di musim hujan kita bisa bercocok tanam. Air hujan diturukan Allah dari langit agar menyirami tumbuh-tumbuhan dan tanaman hingga siap dipetik buahnya. Demikian juga udara bisa digunakan transportasi sayap burung. Dengan alat transportasi udara kita bisa terbang ke mana saja kita mau. Sekarang kita tidak lagi merasa kesulitan menempuh perjalan jarak jauh.

Kenyataan di atas akan terus berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh Allah. Terkecuali jika terjadi ketidakharmonisan di antara unsur-unsur alam. Maka alam akan berjalan menyimpang dari ketentuan aturannya (sunnatullāh). Jika demikian dunia menjadi petaka besar bagi kita dan makhluk-makhluk yang lain. Inilah saat-saat yang kita takutkan. Seharusnya kita sebagai manusia yang menjadi tuan di planet bumi ini, harus berbuat baik, ramah dan peduli terhadap alam semesta (lingkungan hidup). Sebagai timbal balik dari manfaat yang telah dihadiahkan kepada kita berupa alam yang indah. Bukan bertindak sebaliknya, yakni memperlakukan alam tidak adil,

sewenang-wenang dan eksploitatif. Agar alam senantiasa bisa tersenyum dan tidak marah besar pada kita (manusia).

b. Pandangan Islam tentang Ekologi

Islam agama rahmat dan nikmat bagi alam semesta. Agama ini sesuai dengan pembawanya (Nabi Muhammad Saw.) yang juga sebagai rahmat bagi alam semesta. Dikatakan agama rahmat, sebab Islam menjadi agama yang sangat memuliakan kepentingan alam semesta, terlebih kepentingan manusia dan lingkungannya. Di antara agama monoteis (agama samawi) Islam menanamkan pilar-pilar kedamaian dan kesejahteraan alam semesta. Hal ini terbukti secara rill, baik ditilik dari segi ajarannya (Alquran dan hadis) maupun perjalanan kilas sejarahnya.[8]

Islam sebagai agama yang mengusung misi rahmatan li al-‘ālamīn tertera dalam firman Allah surah al-Anbiyā’: 107

"Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta."(QS. Al-Anbiyā’: 107)

Menurut sebagian mufassir rahmat yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah hukum syariat yang dapat mengatur pola kehidupan manusia sehingga manusia bisa menggapai kebahagian al-dāraini (dunia dan akhirat). Namun demikian jika manusia mau menjadikan rahmat ini sebagai pangkal atau semangat hidup, tentu hati dan pikiran mereka akan penuh rasa kasih dan sayang kepada seluruh ciptaan Allah, tidak terkecuali lingkungan hidup.

Sementara sebagai agama nikmat, karena Islam memberikan kesenangan, kebahagian dan kepuasan kepada umat manusia. Terutama kepuasan di bidang ruhani-spiritual. Kepuasan ini sangat sulit untuk didapat tanpa bimbingan-arahan dan latihan yang cukup. Kepuasan spiritual membuat hidup manusia menjadi tentram sekalipun selalu dilanda masalah. Manusia tidak menjadi rakus, tamak dan bertindak sewenang-wenang baik kepada sesama maupun kepada alam semesta. Ia akan menjadi pribadi yang qanā’ah

(6)

(merasa puas) [9] dan zuhd (hidup sederhana).[10]

Islam menjadi nikmat bagi alam semesta akan tampak dalam kepribadian manusia. Ia akan menjadi sosok arif dan tidak merasa selalu kurang. Ia akan selalu mensyukuri nikmat Allah. Jika dalam diri manusia sebagai tuan di muka bumi tidak ada sifat kepuasaan (qanā’ah) dan tidak mengutamakan dunia (zuhd), maka tindakan rakus, tamak dan eksploitatif manusia terhadap ekologi menjadi niscaya.

c. Formulasi Fikih Lingkungan 1) Hukum Menjaga Lingkungan

Bagi orang mukallaf dilarang melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan hidup. Hukum menjaga lingkungan adalah farḍu kifāyah.[11] Semua orang, baik individu maupun kelompok dan perusahaan bertanggung jawab atas pelestarian lingkungan hidup, dan harus dilibatkan dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup. Namun yang paling bertanggung jawab dan menjadi pelopor atas kewajiban ini adalah pemerintah. [12]

Hukum fardu kifayah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup telah disokong oleh sebuah upaya kalangan progresif NU, menambahkan hifẓu al-bī’ah (memelihara lingkungan) dalam bingkai al-mabādi’ al-tasyrī’iyyah (prinsip-prinsip legislasi hukum).[13] Sebab kalau hidup manusia perlu dipertahankan, maka kelestarian lingkungan harus dijaga pula.[14] Mana mungkin kemaslahatan itu seluruhnya bisa tercapai tanpa didukung oleh kebaikan dan kelestarian lingkungan hidup.

Dengan memasukkan hifẓu al-bī’ah (memlihara lingkungan) dalam bingkai mabādi’ al-tasyrī’, maka diwajibkan bagi manusia untuk menjaga dan memlihara lingkungan hidupnya. Pemeliharan terhadap lingkungan paling tidak berupa menghindari tindakan eksploitatif

sumber daya alam. Hutan tidak boleh ditebang secara liar, membabi buta atau dibakar. Sebab hutan satu-satunya paru-paru dunia.

2) Hukum Merusak Lingkungan

Bencana berhubungan erat dengan kerusakan. Bencana terjadi karena ada perbuatan destruktif terhadap alam sebelumya. Tanpa pengrusakan terhadap alam, sangat kecil kemungkinan terjadinya bencana. Kata musibah (bencana) ditemukan 10 kali dalam Alquran disamping bentuk kata lain yang semakna dengannya, yang keseluruhannya berjumlah 76 kali.[5] Sementara kata fasād di sebutkan sebanyak lima puluh kali dengan aneka bentuknya (ṣīghat).[15]

Kata fasād yang menunjukkan kepada kerusakan disebutkan dalam Alquran surah al-Rūm: 41[3]

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Kata fāsad menurut al-Aṣfahāni adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan untuk menunjukkan apa saja, baik jasmani, jiwa maupun lainnya. Ia juga diartikan antonim dari al-ṣalāh yang berarti manfaat atau berguna.[3]

Sementara ulama membatasi arti kata fasād dengan kemusyrikan dan pembunuhan Qabil terhadap Habil dan lain-lain. Pendapat-pendapat itu tidak memiliki dasar yang kuat. Beberapa ulama kontemporer memahami dalam arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasād dengan kata darat dan laut.[3]

Ayat lain yang membicarakan masalah ifsād (pengrusakan) dalam Alquran;

(7)

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’rāf: 56)

Ali Yafie memahami ayat ini dengan arti, “jangan merusak alam ini atau merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik. Sedang kalimat (ba'da iṣlāḥihā) dimaknai dengan keseimbangan. Dengan itu dapat dipahami bahwa Allah Swt. Melarang melakukan kerusakan pada alam raya (di muka bumi) setelah Allah menciptakan dengan harmoni dan balance (seimbang). Manusia sebagai hamba-Nya diperintahkan untuk menjaga dan memperbaiki alam.[12]

Segala sumber daya alam yang tersedia di bumi ini untuk memenuhi hajat manusia. Manusia bisa memanfaatkannya tapi tidak boleh melampaui batas kebutuhan. Untuk memperoleh manfaat sumber daya alam, ia harus berusaha, dan bersikap spiritual seperti yang digambarkan dalam Alquran;

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada (orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 77)

Menurut Quraish Shihab kata aḥsin (berbuat baiklah) pada ayat di atas terambil dari kata hasan yang berarti baik. Patron kata yang digunakan ayat ini adalah perintah dan membutuhkan objek. Namun objeknya tidak disebut, sehingga ia

mencakup segala sesuatu yang bisa disentuh oleh kebaikan. Bermula terhadap lingkungan, harta benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, baik orang lain mapun dirinya sendiri.[3] Kewajiban berbuat baik terhadap segala sesuatu ditegaskan dalam hadis, “sesungguhnya Allah mewajibkan ihsān atas segala sesuatu.” (HR. Muslim dan lain-lain melalui Syaddād Ibnu Aus).

Dalam literatur fikih ditemukan masalah pencemaran lingkungan secara ṣarīh (jelas). Abdurrahman bin Muhammad menjelaskan dalam kitabnya, Bughyatu al-Mustarsyidīn, “diperbolehkan menggali parit untuk irigasi di tanah milik pribadi, walapun bau air itu mengganggu terhadap tetangganya atau milik orang lain selama tidak menyebabkan dibolehkannya tayamum (keadaan yang memberatkan pada umumnya) dan dengan syarat penggunaan bangunan itu sesuai dengan adat tapi jika tidak sesuai dengan adat (semena-mena), maka ia wajib mengganti segala kerugian yang ditimbulkannya”.[16]

Pendapat serupa dikemukakan oleh ulama lainnya, diperbolehkan memanfaatkan pinggiran sungai untuk meletakkan barang-barang berharga dan membuat kandang dari bambu untuk menjaga barang-barang itu, sebagimana terjadi di Mesir pada masa lalu. Hal ini dilakukan jika bertujuan untuk melancarakan pekerjaan (irtifāq) dan tidak

membahayakan terhadap

pemanfaatan orang lain, tidak mempersulit terhadap orang yang lewat, tidak menghilangkan atau mengurangi manfaat sungai.[17]

Jika terjadi pencemaran melewati batas milik pribadi, maka ia harus bertanggung jawab. Dan pihak yang dirugikan bisa meminta ganti rugi. Dan apabila hal itu dapat mengurangi kemanfaatan umum, maka harus

(8)

membayar ongkos ganti rugi pada pemerintah untuk kepentingan bersama. Menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan hidup tidak bisa diwar-tawar lagi. Segala bentuk prilaku yang dapat merusak terhadap keseimbangan, keharmonisan dan keindahan lingkungan dilarang keras. Demi terwujudnya kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera.

5. KESIMPULAN

Konsep fikih dalam upaya pelestarian lingkungan (kebersihan) melalui tiga pilar penting. Tiga perkara ini yang menjadi pilar penyangga untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Pertama, konsep kesucian air. Air sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup. Air suci dalam arti tidak terkontaminasi oleh zat-zat yang berbahaya bisa digunakan untuk minum dan menyirami tumbuhan. Kedua, batu dan debu. Batu dan debu dalam arti tanah yang baik (ṣā'idan ṭayyīban) bisa dihuni oleh semua makhluk hidup. Manusia merasa nyaman, binatang merasa senang dan pohon akan tumbuh subur-menghijau. Ketiga, konsepsi udara bersih dari polusi. Manusia dilarang membuang kotoran di sembarang tempat seperti di bawah pohon, jalan-jalan dan air tergenang. Kotoran yang dibuang di sembarang tempat akan dibawa oleh angin sehingga terjadi polusi udara.

Konsep fikih dalam pelestarian flora dan fauna (binatang dan tumbuhan), yaitu dengan memberikan kode etik (perintah atau larangan) bagi manusia dalam berhubungan dengan flora dan fauna. Jamaah haji yang sedang melakukan ihram dilarang mengganggu atau membunuh binatang daratan tanah haram. Disamping itu juga jamaah haji pada saat ihram, dilarang mencabut atau memotong pohon. Sekalipun sebagian cabang pohon itu di tanah haram, sementara batang pohon itu tumbuh di tanah halal. Bagi yang melanggar terhadap ketentuan ini maka jamaah haji dikenai denda (dam).

Ketentuan ini merupakan latihan bagi jamaah haji yang sejatinya diharapkan bisa dipraktikkan setelah sampai ke rumah

masing-masing. Sebab binatang dan tumbuhan merupakan kebutuhan pokok manusia. Manusia setiap hari membutuhkan makanan dari jenis binatang dan tumbuhan. Di samping itu, tumbuhan menjadi cagar alam sehingga sumber mata air tetap terjaga dan erosi tidak terjadi. Maka wajib bagi setiap insan untuk menjaga dan memelihara tumbuhan dan binatang.

6. REFERENSI

[1] A. K. Allam, Al-Qur’an Dalam Keseimbangan Alam Dan Kehidupan. Depok: Gema Insani.

[2] M. Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001.

[3] M. Q. Shihab, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

[4] ‘Abdul Wahhāb Khallāf, ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh. Kuwait: Dār al-Qalam, 1987.

[5] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

[6] A. Q. Al-Qusyairi, Risālah al-Qusyairiyyah. Kairo: Dār al-Syu’ab, 1989. [7] Y. Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa

Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Pers. [8] I. Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr. Mesir: Dār

al-Hadīṡ.

[9] L. MZ, Memahami Ajaran Tasawwuf. Bintang Usaha Jaya: Surabaya, 2001. [10] Y. Asmuni, Pertumbuhan Dan

Perkembangan Berfikir Dalam Islam. Penerbit Usaha Nasional, 1994.

[11] W. Al-Zuhaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy. Damaskus: Dār al-Fikr, 1986.

[12] A. Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan. Ufuk Press, 2006.

[13] Sahal Mahfud, Ahkamu Al-Fiqoha’; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Nahdlatul Ulama. Surabaya: Diantama, 2005.

[14] M. I. R. (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Al-Masa’il. Jakarta: Lakpesdam, 2002. [15] F. Al-Husniy, Fatḥu al-Rahmān li Ṭālibi

Āyāti Al-Qur’ān. Surabaya: Al-Hidayah. [16] A. R. ibn Muhammad, Bughyatu

Al-Mustarsyidīn. Surabaya: Al-Hidayah. [17] Z. Al-Anṣāriy, Fatḥu al-Wahhāb.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan semantik waktu bersamaan menyatakan bahwa peristiwa, kejadian, atau perbuatan yang dinyatakan pada kalimat yang satu (klausa anak) bersamaan waktunya dengan apa yang

[r]

Kedua, terdapat hubungan positif yang berarti antara konsep diri (X 2 ) dengan kepuasan kerja guru (Y), atau dengan kata lain semakin tinggi konsep diri (X 2 )

Үнэлгээний аргачлалыг ашигласнаар орон нутгийн засаг захиргааны албан хаагчид, улс төрийн намуудын тухайн нутаг дэвсгэр

Ilmu ekonomi industri mempelajari berbagai kebijaksanaan perusahaan terhadap pesaing dan pelanggannya yang berada di dalam pasar, dan keadaan industri yang bersaing

Dari hasil penyajian data yang dilakukan penulis dan hasil analisa data yang sudah dilakukan maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa persepsi masyarakat Maredan

PERBANDINGAN SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN SEPEDA DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DAN.. WEIGHTED

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk meningkatkan kesadaran para remaja bahwa budaya baru yang terlahir akibat perkembangan teknologi baru harus