• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagai negara hukum, negara wajib memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara hukum semua warga negara dipandang sama dihadapan hukum. “Warga negara” menunjukkan adanya hubungan yang sederajat antara warga dengan negaranya, karena itu kekuasaan negara dibatasi oleh hak warga negaranya, dimana hak-hak tersebut wajib dilindungi oleh undang-undang, dan perlakuannya harus sama terhadap semua warga negara tanpa pengecualian. Oleh karena itu suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya1.

Hak untuk memperoleh keadilan adalah salah satu hak warga Negara yang wajib dilindungi oleh negara. Dalam sila ke-2 Pancasila dengan tegas dinyatakan kemanusiaan haruslah adil dan beradab. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa menbeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya, adalah butir (2) sila ke-2 Pancasila yang tertuang dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada Tap MPR No. II/MPR/1978. Selain itu, perlindungan terhadap keadilan juga tertuang dalam

1

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung, CV. Mandar Maju, 2001, hlm. 4.

(2)

berbagai peraturan dan perundang-undangan yang ada.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27 ayat (1) berbunyi bahwa,

“Setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum, dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa terkecuali.”

Persamaan kedudukan di depan hukum tersebut meliputi hak untuk dibela (acces to legal counsel), diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law), dan keadilan untuk semua warga negara (justice for all).

Kemudian dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28d ayat (1) dijelaskan bahwa,

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dijelaskan bahwa:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”

Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 56 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”

dan ayat (2) yang berbunyi:

“Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu”

(3)

Dari beberapa perundangan-undangan yang telah disampaikan diatas, jelas terlihat bahwa pemenuhan hak warga negara atas keadilan menjadi tanggung-jawab negara.

Terkait dengan pemenuhan hak terhadap keadilan, masing-masing warga negara memiliki kemampuan yang berbeda-beda akan akses terhadap keadilan permasalahan hukumnya, baik itu berkaitan dengan tingkat intelektualitasnya, atau terlebih lagi berkaitan dengan tingkat kesejahteraannya. Tidak perlu kita sampai melihat pada fenomena adanya mafia persidangan, ataupun tindakan suap terhadap penegak hukum, cukup dengan kita melihat pada keadaan dimana mereka para pencari keadilan dengan tingkat kesejahteraan rendah (penduduk miskin) yang tidak mampu untuk menyewa jasa advokat untuk penanganan permasalahan hukum mereka, dihadapkan dengan mereka para pencari keadilan dengan tingkat kesejahteraan tinggi yang mampu menyewa jasa advokat tersebut, sudah bisa dikatakan bahwa pemenuhan hak terhadap keadilan tidaklah sama.

Persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia masihlah tinggi, diatas 10%. Bahkan khusus untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta persentase jumlah penduduk miskinnya diatas 15%. Berikut adalah data jumlah dan persentase penduduk miskin di wilayah Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik.

(4)

Tabel 1.1

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

di Wilayah Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 – Tahun 2013

Cakupan Wilayah

Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin 2011 2012 2013 2011 2012 2013 Indonesia 30.018.930 29.132.400 28.066.560 12,49% 11,96% 11,37% Daerah Istimewa

Yogyakarta 560.880 565.320 550.200 16,08% 16,05% 15,43%

Sumber : Katalog BPS 3101015 Tahun 2013, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia

Telah banyak tindakan dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini yang memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya memang pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun seperti kita tahu bersama tingkat kemiskinan masihlah tinggi, karena memang permasalahan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang sulit untuk diatasi oleh pemerintah.

Keadaan ini menjadikan pemenuhan hak-hak masyarakat miskin, khususnya dalam aspek keadilan di depan hukum, menjadi sulit terpenuhi. Padahal masyarakat miskin rentan terlibat dalam permasalahan hukum. Tingkat ekonomi yang rendah dihadapkan pada kebutuhan hidup yang tinggi, sangat mungkin membuat mereka masyarakat miskin melakukan tindak kriminal guna mendapatkan materi yang lebih untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Sebut saja pencurian, penjambretan, perjudian, prostitusi, atau bahkan sampai pada tindakan pembunuhan, merupakan beberapa contoh tindak kriminal yang bisa saja

(5)

mereka lakukan dalam keadaan mereka yang terdesak oleh kebutuhan hidup. Berikut data tentang jumlah kejahatan yang dilaporkan menurut kepolisian daerah di wilayah Indonesia dan di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik.

Tabel 1.2

Jumlah Kejahatan yang Dilaporkan menurut Kepolisian Daerah di Wilayah Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun 2010 – Tahun 2012

Cakupan Wilayah

Jumlah Kejahatan yang Dilaporkan menurut Kepolisian Daerah

2010 2011 2012

Indonesia 332.490 347.605 341.159 Daerah Istimewa Yogyakarta 17.622 6.326 11.079

Sumber : Katalog BPS 4401002 Tahun 2013, Statistik Kriminal 2013

Tidak hanya pada perkara pidana saja, masyarakat miskin pun rentan untuk terlibat pada perkara perdata, yaitu perceraian. Alasan ekonomi sering kali menjadi sebab ketidakharmonisan dalam keluarga. Penelantaran, percekcokan, tindak Kekerasan Dalam Rimah Tangga (KDRT), tak urung merupakan akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Tidak jarang dari hal-hal tersebut akhirnya membawa keluarga ke dalam perceraian.

Tingkat perceraian yang terjadi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, khususnya untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama kurun waktu tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 jumlah perceraian yang terdaftar pada Pengadilan Agama Kabupaten maupun Kota selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya, kecuali untuk Kabupaten Kulonprogo di tahun 2013. Berikut adalah data yang menunjukkan hal tersebut:

(6)

Tabel 1.3

Jumlah Perceraian yang Terdaftar Pada Pengadilan Agama Kabupaten dan Kota di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun 2011 – Tahun 2013 Cakupan Wilayah Jumlah Perceraian 2011 2012 2013 Kab. Sleman 1394 1575 1568 Kab. Bantul 1166 1221 1390 Kab. Gunungkidul 1377 1502 1525 Kab. Kulonprogo 519 669 618 Kota Yogyakarta 601 618 681 Daerah Istimewa Yogyakarta 5.057 5.585 5.782

Sumber : Diolah dari Data Rekap Perkara Diterima Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama

Menjalani proses hukum di depan penyidik, maupun di depan jaksa serta hakim dalam persidangan, memberikan beban tersendiri atau bahkan sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang menjalani proses hukum (pencari keadilan). Ditambah lagi dengan keadaan maysrakat/ klien yang secara materi tidak mampu untuk menyewa jasa konsultan atau advokat sebagai pendamping dan kuasa hukumnya dalam penanganan perkara mereka, maka opsi pasrah dan menyerah adalah hal yang sangat mungkin terjadi pada mereka, padahal kemungkinan terhadap adanya tuntutan yang berlebihan, pasal yang dipaksakan dalam perkara kasus mereka, putusan yang tidak adil antara pihak yang berperkara, ataupun hal lain yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai pencari keadilan, bisa saja terjadi. Oleh karena itu, disini negara sebagai pihak yang menjamin terpenuhinya keadilan bagi seluruh warga negaranya,

(7)

bertanggung-jawab atas pemenuhan hak warga negara terhadap keadilan dengan menyediakan akses terhadap pembelaan yang memadai.

Bantuan Hukum kemudian hadir sebagai solusi dalam menjamin terpenuhinya hak terhadap keadilan bagi masyarakat miskin. Dahulu, Negara melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, mencoba menghadirkan akses terhadap bantuan hukum bagi pencari keadilan dengan menyertakan adanya perihal mengenai jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu, tetapi subyek bantuan hukum dari Peraturan Pemerintah ini lebih kepada advokat bukan Negara. Di tahun 2009, negara mulai menyediakan anggaran khusus yang peruntukkan bagi bantuan hukum untuk masyarakat miskin dengan menunjuk pihak-pihak tertentu sebagai pemberi layanan tersebut. Salah satunya dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 60C yang menyebutkan bahwa:

“ (1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum, (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

(8)

Hingga akhirnya pada tahun 2011, lahirlah Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai Bantuan Hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan Undang-Undang ini, menjadikan proses bantuan hukum yang telah berjalan dengan menempatkan dana bantuan hukum di berbagai instansi atau pos, dapat disatukan melalui satu pintu, yaitu melalui Kementerian Hukum dan HAM RI cq Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Namun Undang-Undang Bantuan Hukum ini tidak serta merta dapat langsung diimplementasikan. Sebagai produk pelengkap dari undang-undang Bantuan Hukum ini, pemerintah kemudian menghadirkan beberapa peraturan lain. Berikut adalah urutan Undang-Undang dan Peraturan mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum ini:

1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);

2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5421);

3) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 222), yang kemudian menghasilkan terpilihnya 310 Organisasi Bantuan Hukum

(9)

yang nantinya akan menjadi Pemberi Bantuan Hukum diseluruh Indonesia2;

4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 870);

5) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-03.03 Tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi;

6) serta Petunjuk Pelaksanaan tentang Penyaluran Dana dan Pelaporan Pelaksanaan Bantuan Hukum yang dikeluarkan oleh BPHN.

Dengan terpilihnya 310 Organisasi Bantuan Hukum sebagai Pemberi Bantuan Hukum, dan telah tersedianya baik Undang-Undang maupun Peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum tersebut, maka Pemerintah di Tahun Anggaran 2013 kemudian menyediakan anggaran Bantuan hukum bagi masyarakat miskin di seluruh Indonesia.

1.2. PERMASALAHAN

Pendampingan dan pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang terlibat kasus hukum khususnya masyarakat tidak mampu telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum sebelum dikeluarkannya Undang-Undang

2

BPHNTV, “310 OBH Lolos Verifikasi dan Akreditasi Organisasi Bantuan Hukum”, bphntv, diakses dari http://bphntv.bphn.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=690:310-obh-lolos-verifikasi-dan-akreditasi-organisasi-bantuan-hukum-&catid=6:berita&Itemid=167, pada tanggal 12 Juni 2014 pukul 15.21.

(10)

Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ataupun adanya akreditasi Organisasi Bantuan Hukum oleh pemerintah. Pemberian bantuan hukum tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada disekitar masyarakat termasuk 18 Organisasi Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang lolos akreditasi. Berikut adalah jumlah kasus litigasi yang ditangani oleh 18 Organisasi Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011 hingga 2013, serta jumlah rata-rata kasus yang dikonsultasikan pertahun.

Tabel 1.4

Jumlah Kasus Litigasi yang ditangani Oleh 18 Organisasi Bantuan Hukum di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2011-2013

No Nama 2011 2012 2013 Rata-Rata Kasus yang dikonsultasikan Pertahun 1 LBH Sikap 8 11 6 30 2 YLBH Ansor 17 29 17 115 3 LSM Rifka Annisa 25 43 49 250 4 PBHI Wil.Yogyakarta 7 7 6 25 5 LKBHI FH UII 31 44 38 250 6 LBH Apik Yogyakarta 6 9 5 25 7 PKBH FH UAD 7 8 3 20 8 YLBHI LBH Yogyakarta 8 12 6 30 9 PKBH FH Univ. Atmajaya 10 10 9 35 10 PKBH FH UMY 10 6 6 30 11 LK3 Sekar Melati 11 8 11 40 12 LSBH Fak. Syariah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga

- - 3 12

13 PKBH FH UGM 11 13 4 30

14 LKBH FH Univ. Janabadra 10 9 3 25 15 LKBH Handayani 15 15 60 65 16 Lembaga Bantuan Hukum dan

Penyuluh Hukum ARMALAH

(11)

17 Yayasan Pusat Bantuan Hukum DPC Peradi Bantul

9 11 8 25

18 LKBH Konsumen Indonesia 3 4 4 10

Sumber : Diolah dari data yang diperoleh dari 18 Organisasi Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari tabel tersebut terlihat adanya tren peningkatan jumlah penanganan kasus litigasi dibeberapa Organisasi Bantuan Hukum pada tahun 2012, dan mengalami penurunan pada tahun 2013 dibeberapa Organisasi Bantuan Hukum. Pada kolom rata-rata kasus yang dikonsultasikan pertahun pada tabel diatas, angka yang ada menunjukkan jumlah kasus yang dikonsultasikan oleh klien/ Pencari Bantuan Hukum pada Organisasi Bantuan Hukum. Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan angka yang ada pada kolom penanganan kasus litigasi pada tahun 2011, 2012 maupun 2013. Hal tersebut menunjukkan bahwa ternyata hanya beberapa kasus saja dari jumlah kasus yang dikonsultasikan oleh klien, yang mampu ditangani oleh Organisasi Bantuan Hukum yang ada.

Diakui oleh beberapa ketua/ direktur Organisasi Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak mampunya Organisasi Bantuan Hukum untuk menangani semua kasus yang masuk selain disebabkan kurangnya tenaga yang ada baik itu pengacara maupun paralegal, juga sangat disebabkan oleh tidak tersedianya anggaran dana yang mencukupi untuk menangani kasus-kasus tersebut.

Untuk memfasilitasi dan memaksimalkan kinerja Organisasi Bantuan Hukum yang ada, maka Pemerintah untuk tahun anggaran 2013, melalui Kementerian Hukum dan HAM RI cq Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) selaku penyelenggara program bantuan hukum, telah menyediakan

(12)

anggaran yang akan dipergunakan untuk bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Besaran anggaran Bantuan hukum yang disediakan untuk masyarakat miskin di Tahun 2013, berdasarkan pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin adalah Rp. 43 Milliar3.

Tidak semua dari anggaran tersebut dapat diakses oleh Organisasi Bantuan Hukum yang ada. Untuk anggaran yang bisa di akses oleh Organisasi Bantuan Hukum besarannya adalah Rp. 38.340.760.000,-. Jumlah ini didapatkan berdasarkan hasil penjumlahan 3 kategori akreditasi Organisasi Bantuan Hukum yang dikalikan dengan nilai kontrak masing-masing kategori. Terdapat 310 Organisasi Bantuan Hukum di seluruh Indonesia yang terbagi ke dalam 3 kategori, Organisasi Bantuan Hukum dengan akreditasi A sebanyak 10 Organisasi Bantuan Hukum, akreditasi B sebanyak 21 Organisasi Bantuan Hukum, dan akreditasi C sebanyak 279 Organisasi Bantuan Hukum4. Besaran nilai kontrak untuk masing-masing kategori akreditasi Organisasi Bantuan Hukum berdasarkan data yang dimiliki Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta adalah, Rp. 433.900.000,- bagi Organisasi Bantuan Hukum dengan akreditasi A, Rp. 261.730.000,- bagi Organisasi Bantuan Hukum dengan akreditasi B, dan Rp. 102.170.000,- bagi Organisasi Bantuan Hukum dengan akreditasi C, sehingga jumlah nilai kontrak 310 Organisasi Bantuan Hukum di seluruh Indonesia yang dapat di akses guna pemberian Bantuan Hukum adalah sebesar Rp. 38.340.760.000,-. Dengan ini, setiap warga miskin pencari keadilan

3

Sandro Gatra, “Boediono Kritik Anggaran Bantuan Hukum Rakyat Miskin Tak Dipakai”, Kompas, diakses dari

http://nasional.kompas.com/read/2013/12/16/1627089/Boediono.Kritik.Anggaran.Bantuan.Hukum .Rakyat.Miskin.Tak.Dipakai, pada 12 Juni 2014 pukul 15.09

4

(13)

memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum melalui 310 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah diverifikasi dan diakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM tersebut.

Ketersedian anggaran bantuan hukum bagi masyarakat miskin ini ternyata di akhir tahun 2013, hanya mampu diserap sebagian kecilnya saja oleh Organisasi Bantuan Hukum yang ada. Tidak terdapat informasi yang pasti mengenai jumlah penyerapan anggaran bantuan hukum ini, baik itu dari pernyataan pihak terkait maupun publikasi media oleh instansi pemerintah terkait. Walau tidak disebutkan berapa jumlah atau persentase penyerapan anggaran Bantuan Hukum di Tahun 2013, diakui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin penyerapan anggaran tersebut sangat rendah5.

Hal ini senada dengan pernyataan Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono dalam pembukaan Rapat Pimpinan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di istana Wakil Presiden pada tanggal 16 Desember tahun 2013, yang menyatakan “di sini ada anggaran yang tidak terserap antara lain anggaran untuk bantuan hukum bagi kelompok kurang mampu,”6. Pernyataan tersebut didasarkan pada laporan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)7.

Sungguh sangat disayangkan mengingat, ada jutaan warga miskin di Indonesia yang banyak dari mereka berkasus hukum, ada ketersediaan anggaran bantuan hukum yang mencapai miliaran rupiah, tetapi anggaran itu ternyata tidak

5 Sandro Gatra, loc. cit. 6 Ibid.

(14)

dapat terserap dengan maksimal oleh para pemberi bantuan hukum. Berarti banyak warga miskin para pencari keadilan (penerima bantuan hukum) yang akhirnya penanganan masalah hukumnya menjadi tidak terbantukan, yang seharusnya bisa andai saja anggaran bantuan hukum ini dapat terserap dengan baik.

Untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, berdasarkan data yang dimiliki oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta, besaran penyerapan Anggaran Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 16,30%, dimana hanya Rp. 379.860.000,- saja dari Rp. 2.330.350.000,- anggaran Bantuan Hukum yang disediakan, yang mampu diserap oleh 18 Organisasi Bantuan Hukum yang ada8.

Menjadi sebuah kerugian memang, tidak hanya bagi calon penerima bantuan hukum yang seharusnya bisa terbantukan, tetapi juga bagi para pemberi bantuan hukum dalam hal ini Organisasi Bantuan Hukum yang ada, manakala anggaran bantuan hukum yang telah disediakan oleh Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM RI cq BPHN ini tidak dapat diserap dengan maksimal. Penyerapan anggaran yang tidak maksimal dapat saja berimbas kepada komponen penilaian anggaran yang akan dikucurkan di tahun-tahun selanjutnya. Hal ini tentu saja memberikan dampak yang tidak baik pada pemenuhan hak masyarakat miskin untuk mendapatkan Bantuan Hukum dari Pemerintah terhadap akses keadilan bagi permasalahan hukum yang mereka alami.

8 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta,

(15)

1.3. RUMUSAN MASALAH

Seperti telah disampaikan diatas, penyerapan anggaran bantuan hukum yang tidak maksimal, akan memberikan kerugian, baik itu bagi para penerima Bantuan Hukum, maupun bagi para Pemberi Bantuan Hukum. Untuk itu pasti kita semua, khususnya para pihak yang terkait, memiliki harapan bahwa kedepannya penyerapan anggaran bantuan hukum bagi masyarakat miskin ini mampu maksimal, sehingga makin banyak lagi masyarakat miskin yang memiliki kebutuhan akan adanya Bantuan Hukum bagi permasalahan hukumnya, menjadi terpenuhi.

Di sini berpendapat bahwa proses penyerapan anggaran Bantuan Hukum merupakan bagian dari Implementasi Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut. Oleh karena itu proses penyerapan anggaran Bantuan Hukum memiliki faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang mana faktor-faktor-faktor-faktor tersebut memberikan andil baik itu menjadikan penyerapan anggaran bantuan hukum ini menjadi maksimal, ataupun tidak maksimal.

Oleh karena itu pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah:

1) Apa faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2013?

2) Bagaimana pengaruh faktor tersebut terhadap penyerapan anggaran Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2013?

(16)

1.4. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1) Mengetahui faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2013. 2) Mengetahui pengaruh faktor tersebut terhadap penyerapan anggaran

Bantuan Hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2013.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk berbagai pihak, baik untuk pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan HAM RI yang dalam hal ini merupakan pembuat peraturan dan penyelenggara program bantuan hukum tersebut, untuk Organisasi Bantuan Hukum (OBH) khususnya yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan untuk para penerima bantuan hukum khususnya yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Untuk Kementerian Hukum dan HAM RI, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran .bantuan hukum, sehingga selaku penyelenggara bantuan hukum kedepannya mampu membuat kebijakan yang tepat guna memaksimalkan penyerapan anggaran bantuan hukum.tersebut.

Untuk Organisasi Bantuan Hukum, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadikan Organisasi Bantuan Hukum mampu mengatur strategi agar penanganan kasus dan perkara para Penerima Bantuan Hukum menjadi lebih

(17)

banyak (maksimal) lagi. Selain itu diharapkan akan ada kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah yang membantu kerja Organisasi Bantuan Hukum dalam penyerapsn anggaran Bantuan Hukum yang ada.

Untuk para Penerima Bantuan Hukum atau masyarakat miskin yang sedang mengalami kasus hukum, diharapkan dengan adanya penelitian ini menjadikan pemerintah selaku pemilik anggaran dan Organisasi Bantuan Hukum selaku pihak yang melakukan penyerapan anggaran mampu bersinergi dan dapat saling dukung dalam pelaksanaan program Bantuan Hukum ini, sehingga berdampak pada semakin banyak lagi warga miskin yang kebutuhan akan Bantuan Hukum atas permasalahan hukum mereka jadi terpenuhi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan diatas maka dapat ditarik kesimpulan atas pengertian dari perencanaan strategis sistem informasi dan teknologi informasi, yaitu

Dalam penelitian yang dilakukan Amalia (2018) menyimpulkan bahwa surat kabar terbesar di Indonesia yakni Kompas.com melaporkan korupsi adalah yang paling banyak

This paper reviews the status of microwave remote sensing techniques (active and passive) for spatial assessment of soil quality parameters such as soil salinity, soil erosion,

7 Keanekaragaman tersebut menghasilkan karakteristik yang khas diantara mereka namun karena adanya persamaan senasib membuat mereka menjadi sebuah kesatuan yang erat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi pemustaka tentang layanan sirkulasi di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar mengenai ketertarikan

Jadi sebetulnya menurut saya ya kalau ini program bersama dan itu kita secara politis maju, ya mungkin kalau nggak bisa di sini ya ngambil program yang di tempat lain tapi

2. Infusion pump , yaitu proses pemberian cairan kepada pasien dengan menggunakan sistem pompa. Cairan yang berada dalam kantong akan dipompa sesuai dengan

Dengan analisa situasi dan lingkungan industri yang mengidentifikasikan peluang pasar, segmen pasar, pesaing serta kekuatan dan kelemahan perusahaan adalah merupakan sumber