• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Akhlak Tasawuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan Akhlak Tasawuf"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Pendidikan Akhlak Tasawuf

Menyelami Nalar Spiritual Cak Nur

© Azaki Khoirudin, 1435 H/2013 M

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Cetakan Pertama, Muharram 1435 H/November 2013 M ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Editor Fendi Fradana

Proofreader Fathur Rochman Lay Out & Design Cover

S@ngArt Gallery

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Diterbitkan oleh

Jl. Masjid Gg. Kaki Kuru No. 107 Kapas, Bojonegoro 62181

Telp. (0353) 886 221 e-mail: redaksi@nunpustaka.net

www.nunpustaka.net

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– xiii+159 hlm; 14x21 cm

(5)

PENGANTAR

PEMBARUAN PEMIKIRAN KEISLAMAN:

KALAM, FIKIH, FILSAFAT,

DAN TASAWUF

––

Prof. Dr. M. Amin Abdullah

Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Islam sebagai a living culture (kebudayaan yang hidup), ia mempunyai vitalitas, daya kreativitas, dan adabtabilitas yang luar biasa. Dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan

berbagai kekayaan intrepretasinya, para ulama’ dan cerdik

(6)

keempat kluster keilmuan agama Islam yang tersebar luas dalam kebudayaan Islam yaitu Kalam Fikih, Filsafat, dan Tasawuf, mempunyai ciri khas masing-masing. Untuk memahami agama dan budaya Islam dengan baik, seseorang selain harus mema-hami al-Qur’an dan al-Sunnah, juga perlu mengetahui seluk-beluk dan lekuk-lekuk pemikiran Kalam, Fikih, Filsafat dan Tasawuf.

Kalam lebih menekankan pada aspek pembenaran dan pembelaan akidah sepihak, sehingga coraknya lebih bersifat keras, tegas, agresif, defensif, dan apologis. Fikih, lebih bersifat mengatur sistem peribadatan kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, yang seringkali juga merambah ke wilayah lain yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia, seperti pernikahan, hubungan sosial-ekonomi seperti jual beli, wakaf, hubungan sosial-politik (fiqh al-siyasah) dan begitu seterusnya. Filsafat lebih menekankan aspek logika dalam pemikiran keislaman. Jika porsi pola pemikiran Teologi/Kalam lebih berdasarkan pada nash-nash atau teks keagamaan, maka Filsafat ialah sebaliknya. Filsafat lebih berangkat pada premis-premis logis yang ada di balik teks. Jika kalam/teologi lengket dengan teks (dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits), maka filsafat lebih pada pencarian makna, substansi, dan esensi dari pesan dalam teks-teks yang tersurat setelah melalui proses interpretasi. Tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik atau kedalaman spiritualitas batiniyah dari keberagamaan Islam.

(7)

terhadap Filsafat yang dianggap terlalu mementingkan akalndan menepikan qalb (hati) dan dzauq (rasa) di lain pihak.1

Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, keempat disiplin ilmu yang semula secara bersama-sama memperoleh inspirasi awalnya dari al-Qur’an al-Sunnah, tidak selalu dapat menyatu-kan visi keilmuannya. Klaim supremasi atau keunggulan kebenaran interpretasi yang dimiliki oleh satu disiplin ilmu di atas yang lain seringkali terjadi. Biasa terjadi pergesekan akademik dan rivalitas antar institusi antar keempat kluster keilmuan tersebut.2 Yang umum pendukung terjadi adalah bersatupadunya pola pilir kalam (Teologi) dan Fikih (secara

lebih umum disebut Syari’ah) yang kemudian membentuk

institusi-institusi keagamaan (dalam bahasa keilmuan sosiologi agama disebut organized atau intitutionalized religions) bergesekan– untuk tidak menyatakan berhadapan–dengan pola pikir Tasawuf di Filsafat di lain pihak.

Kedua kluster terakhir, lebih menitikberatkan dimensi kedalaman, psikologi, transhistorikalitas, spiritualitas kebaraga-maan Islam yang tidak harus selalu terbelenggu dan terjebak oleh keagamaan secara eksoteris-organisatoris. Yang pertama, menghendaki pola pikir keagamaan Islam yang bersifat final,

closed system, stationary, ekslusif, sedang yang kedua open ended, open system, on going process. Dalam sejarah kebudayaan dan peradaban Islam, keempat kluster ilmu agama Islam tersebut mengembangkan wilayah dan citra keilmuannya sendiri-sendiri. Pada suatu saat, pertentangan antara keduanya sedemikian

1 Keempat kluster keilmuan pemikiran Islam tersebut, masing-masing 2 Kasus kontemporer adalah dialami oleh pemikir peneliti: Muslim Mesir,

(8)

keras sehingga seolah-olah keempat kluster tersebut tidak berasal dari poros dan sumber yang sama. Padahal keempat-empatnya adalah bentuk penafsiran dan pengembangan keilmuan oleh para pencetusnya yang sama-sama mengklaim memperoleh sumber inspirasinya dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Timbul tenggelamnya keempat kluster keilmuan agama Islam tergantung pada konteks dan cuaca pergumulan sosial-politik yang sedang dihadapi oleh umat Islam pada suatu era dan wilayah. Dalam situasi persaingan atau kompetisi dengan berbagai ideologi, kelompok sosial, ekonomi, politik, budaya, dan rivalitas antar berbagai penganut agama-agama yang lain, peran institusi keagamaan Islam dikokohkan. Ketika persaingan dan konpetisi tersebut sudah mencapai ambang batas konflik sosial lantaran menguatnya emosi penyangga dan penjaga pranata institusi sosial keagamaan Islam yang bersifat sejuk, mengayomi, dan lebih memuat kedalaman spiritualitas.

Tasawuf: Basis Keshalehan Sosial

Pada periode sejarah abad tengah, paska kenabian, dikenal apa yang disebut Tasawuf. Jika Iman membahas persoalan– persoalan yang terkait dengan Aqidah––atau Kalam dalam bahasan teoritisnya––dan Islam lebih terkait dengan diskusi Fiqh

membahas detil ritual peribadatan (mu’amalah ma’a al-Allah dan mu’amalah ma’a al-nas), yang lebih berdimensi eksoteris––, maka

(9)

Secara etimologis, Tasawuf berarti “pembersihan”, “perjenih

-an”, “pemutihan kembali”, “penyulingan”. Yakni, perjernihan

kembali perilaku yang menyimpang, pemahaman dan tafsir keagamaan yang telah mentradisi, yang telah berkaitkelindan dan bercampuraduk dengan kepentingan sosial dan politik, yang telah mengkristal dalam lembaga-lembaga yang terstuktur secara birokratis. Inilah proses yang disebut takhally, yakni mengosongkan diri dari tindakan perbuatan yang buruk-tercela. Kemudian dikuti dengan tahally, yakni menghiasi dan mengisi-nya dengan sifat-sifat baik dan terpuji, dan berakhir dalam

tajally, yakni penampakannya dalam tindakan individu-individu dan sosial yang lebih baik dan lebih santun secara sosial.

Tasawuf adalah bahasa klasifikasi atau kategorisasi keilmuan abad tengah Islam yang sangat lekat dengan perkembangan sejarah pemikiran Islam. Sedang Ihsan adalah terminologi era kenabian, sebelum pengembangan dan sistematisasinya pada abad tengah. Ibaratnya, meningggalkan Ihsan dan Tasawuf dalam pemikiran Islam maknanya sama dengan mempunyai badan tanpa ruh. Hubungan antara jasad dan jiwa begitu dekat, karenanya proses takhally, tahally dan tajally adalah bagian kehidupan agama yang perlu dilakukan oleh siapapun dalam kehidupan keberagamaannya yang otentik.Tasawuf muncul ke permukaaan, sebagai upaya manusia untuk mengembalikan keberagamaan dan keimanan manusia Muslim ke pangkalnya. Di sini muncul kembali gerakan yang ingin memurnikan agama kembali, yang ingin mengembalikan agama ke pangkalnya lagi.

(10)

Keberagamaan intersubjektif adalah corak keberagamaan yang mampu menjembatani corak keberagamaan yang bercorak objektif dan subjektif. Keberagamaan subjektif adalah keberaga-maan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, hampir-hampir melupakan atau tidak peduli (careless) terhadap orang atau kelompok lain yang juga punya hak yang sama dalam memaknai the sacred canopy menurut versi dan tradisinya masing-masing. Keberagamaan Islam bercorak subjektif umumnya adalah keberagamaan Islam yang bercorak fiqhiyyah, yang kurang mampu menenggang orang atau kelompok lain yang berbeda. Dalam buku-buku atau kitab aqidah al-awwam umum-nya mengantar corak keberagamaan yang bercorak subjektif. Terlalu kuat untuk lingkungan intern sendiri, tetapi lemah dalam memahami keberadaan orang atau kelompok lain, jangankan hak-hak orang dan kelompok lain untuk berbeda. Keberagamaan bercorak fiqhiyyah ini penting sekali untuk taraf keberagamaan subjektif, tetapi kurang dapat membantu mema-hami keberagamaan yang bercorak objektif, apalagi yang bercorak intersubjektif.

(11)

mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era modernitas dan lebih-lebih era postmodernitas dan global. Pendidikan Agama seyogyanya melahirkan jenis atau corak spiritualitas yang mau membuka diri, spiritualitas yang bersedia untuk share atau berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagamaan lain yang hidup dalam sejarah panjang kemanu-siaan di alam semesta. Spiritualitas yang tidak egosentrik, tetapi spiritualitas yang altruistik.

(12)

Pendidikan agama sangat penting untuk kehidupan manusia. Kita semua sepakat dalam hal itu. Yang tidak atau belum sepakat adalah metode dan pendekatan yang digunakan dalam mendidik atau menyampaikan pesan-pesan dan ajaran agama. Metode dan pendekatan yang digunakan perlu terus menerus disempurnakan dan diperbaiki seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi informasi. Bahkan teknologi informasi juga dapat saja disalahgunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai uraian di atas. Metode dan pendekatan pendidikan yang baik dan tepat akan mengantarkan kedamaian dan persatuan, sedang metode dan pendekatan yang buruk dan salah akan mengentarkan pada perpecahan dan ketidakharmonisan sosial. Menjelaskan agama dan mengurai-kan agama seringkali dijumpai di lapangan tidak utuh, karena hanya memprioritaskan dan terjebak pada salah satu dari ketiga corak keberagamaan, khususnya yang bercorak subjektif.

Pendidikan akhlak tasawuf perlu menjelaskan kepada anak didik dan anak asuh secara utuh ketiga jenis corak beragama umat manusia tersebut. Jika dibawa hanya ke salah satu, anak didik pun tahu bahwa pengetahuan guru dan atau pendidik agama sangat terbatas (untuk tidak menyebutnya kadaluwarsa). Karena bertentangan dengan realitas historis masyarakat dan perkembangan intelektualitas anak didik. Seperangkat nilai-nilai fundamental dalam Islam tidak akan dan sulit berkembang jika

para guru, pendidik, da’i, ustadz, kyai, para tokoh elit agama

(13)

untuk mengembangkan dan memuliakan peradaban manusia di muka bumi yang semakin sempit.

Yang dikhawatirkan jangan-jangan apa yang disampaikan kepada anak didik lebih didominasi oleh materi-meteri yang berkaitan erat dengan Ushul al-madzhab (dasar-dasar, sejarah dan kepentingan kelompok-kelompok dan organisasi dalam keberagamaan Islam), tapi bukannya Ushul al-din (seperangkat nilai-nilai fundamental keagamaan). Semoga dengan kehadiran buku ini dapat mengantarkan dan memberikan secercah harap-an untuk memperbaiki keadaharap-an menyongsong kemharap-anusiharap-an ke depan yang jauh lebih kompleks.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

PENGANTAR:

Prof. Dr. M. Amin Abdullah ... i

DAFTAR ISI ... xi

Bagian Pertama: MUKADIMAH ... 1

A. Mengapa Buku ini Ditulis? ... 1

B. Membingkai Teori ... 7

C. Buku-Buku Tentang Cak Nur: Kajian yang Belum Membahas Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 11

1. Sufyanto... 11

2. Nur Khalik Ridwan ... 12

3. Sukidi ... 14

4. Anas Urbaningrum ... 14

5. Budhy Munawwar Rachman ... 15

6. Sudirman Tebba ... 15

D.Metodologi Penelitian ... 16

(16)

2. Pendekatan ... 17

3. Teknik Pengumpulan Data ... 18

4. Analisis Data ... 19

E. Sistematika Penulisan ... 20

Bagian Kedua: PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF ... 23

A. Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 24

B. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 31

C. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 36

1. Madrasah Ibtidaiyah ... 38

2. Madrasah Tsanawiyah ... 39

3. Madrasah Aliyah ... 39

D.Metode Pembelajaran Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 40

1. Metode Hikmah ... 42

2. Metode Keteladanan ... 42

3. Metode Kisah ... 43

4. Metode Janji dan Ancaman ... 44

5. Metode Pembiasaan ... 44

E. Subyek Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 45

1. Murid ... 45

2. Guru ... 46

F. Evaluasi Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 47

1. Domain Ilmu ... 48

2. Domain Amal ... 49

3. Domain Akhlak ... 49

4. Domain Iman ... 49

Bagian Ketiga: TITIK BERANJAK: Melacak Basis Sosial dan Nalar Sufistik Cak Nur ... 53

A. Keluarga Religius: Basis Sosial Individu Cak Nur ... 53

B. Komitmen Moral Sebagai Guru Bangsa: Perjalanan dan Pergumulan Cak Nur ... 55

C. Guru Bangsa: Basis Komunitas Cak Nur ... 60

(17)

Bagian Keempat:

PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF MENURUT

CAK NUR ... 75

A. Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur 75 B. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur .. 86

C. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur ... 92

1. Madrasah Ibtidaiyah ... 92

2. Madrasah Tsanawiyah ... 93

3. Madrasah Aliyah ... 94

D.Metode Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur . 96 1. Hikmah Ibadah ... 97

2. Kewibawaan dan Keteladanan ... 102

E. Dimensi Akhlak Tasawuf ... 102

Bagian Kelima: PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF CAK NUR DAN PENDIDIDIKAN ISLAM ... 111

A. Analisis Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur ... 111

B. Relevansi Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur dengan Teori dan Praksis Pendidikan Islam ... 119

1. Relevansi Tujuan ... 119

2. Relevansi Materi ... 125

3. Relevansi Metode ... 131

4. Relevansi Evaluasi ... 138

Bagian Keenam: KHATIMAH ... 147

Kesimpulan ... 147

Saran-saran ... 149

SUMBER PUSTAKA ... 151

(18)
(19)

Bagian Pertama

MUKADIMAH

Perlu penjelasan terlebih dahulu kenapa karya ini ditulis untuk publik Indonesia, khususnya kehadiran dalam khasanah pemikiran pendidikan Islam. Baiklah, kita awali perbincangan masalah kondisi kekinian tentang kehidupan dunia kemanusiaan, kemudian dilanjutkan kepada perbin-cangan tentang kondisi moralitas bangsa dan kualitas pendi-dikan di tanah air Indonesia.

(20)

pengetahu-an dpengetahu-an teknologi, maupun kemakmurpengetahu-an fisik. Sementara di sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang buram berupa manusia modern berwujud kesengsaraan ruhaniah. Gejala ini muncul sebagai akibat dari modernisasi yang didominasi oleh nalar instrumental.3

Manusia modern menghadapi pengrusakan lingkung-an, kelaparlingkung-an, disparasi kemakmurlingkung-an, ledakan penduduk, diskriminasi rasial, ketimpangan pembangunan teknologi dan pengetahuan, polarisasi dunia, krisis ekonomi, dominasi kekuasaan negara kuat, ancaman perang nuklir, dan sebagainya. Masalah ini adalah pengaruh dari paham gerakan

aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa, yang disebut dengan nalar modern.4 Di balik kemajuannya, dunia modern menyimpan potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia, sehingga manusia kehilangan masa depannya, merasa kesunyian, dan kehampaan spiritual di tengah laju kehidupan modern.5

Di sisi lain, masalah pendidikan yang fundamental adalah pendidikan saat ini sedang mengalami materialisasi tujuan. Akibatnya, keberhasilan pendidikan hanya berorien-tasi kuantitatif lulusan dan orienberorien-tasi lapangan kerja. Misal-nya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, pengacara, pejabat tinggi, atau anggota dewan. Setelah diketahui penghasilan para alumninya, maka pendidikan dikatakan berhasil. Sangat jarang bahkan tidak ada yang mengatakan

3 Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997, h. 138

4 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2009, h. 63

5 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011,

(21)

jumlah alumni yang bermoral, berakhlak mulia atau berbudi luhur.6

Salah satu krisis terbesar di dunia saat ini adalah krisis akhlak, yakni minimnya pemimpin yang dapat menjadi idola (teladan). Krisis ini jauh lebih dahsyat daripada krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi, dan air. Semakin hari pela-yanan kesehatan, semakin sulit terjangkau, manajemen transportasi semakin amburadul, pendidikan semakin kehilangan nurani welas asih yang berorientasi kepada akhlak yang mulia, sungai dan air tanah semakin tercemar, dan sampah menumpuk di mana-mana. Inilah di antara berbagai permasalahan yang dialami oleh dunia Muslim, termasuk Indonesia.7

Khusus masalah korupsi, kebocoran anggaran dan pelaksanaan pembangunan ternyata lebih parah dari masa Orde Baru. Jika dahulu korupsi terkonsentrasi di pemerintah pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan birokrasi pemerintahan. Yang lebih memprihatinkan ialah korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak keadilan yang sejatinya bertugas memberantas korupsi seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Bahkan, di sekolah yang seharus-nya menjadi tempat persemaian calon-calon pemimpin masa depan umat dan bangsa saja terjadi korupsi.8

Pada era globalisasi ini, batas-batas budaya sulit dikenali, sudah semestinya pembentukan akhlak mulia harus diprioritaskan dalam tujuan penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, tugas dunia pendidikan semakin berat

6 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, h. 66

7Muhammad Syafi’i Antonio. Muhammad Saw: The Super Leader Super

Manager. Jakarta: Tazkia Publishing, 2009, h. 46

(22)

untuk ikut membentuk bukan saja insan yang siap berkompetisi, tetapi juga mempunyai akhlak mulia dalam segala tindakannya sebagai salah satu modal sosial dalam kehidupan. Terbentukknya insan berakhlak mulia, menuntut proses pendidikan yang dijalankan mampu mengantarkan manusia menjadi pribadi yang utuh.9 Peran pendidikan tersebut menunjukkan, bahwa masalah akhlak adalah tidak dapat ditinggalkan, bahkan menjadi tujuan utama pendidikan.10

Jika pendidikan adalah sarana yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai luhur, maka pendidikan harus mam-pu membentuk pribadi seseorang yang berfungsi sebagai

driving force bagi terbentuknya akhlak yang mulia.11 Dalam hal ini, pemerintah telah berupaya melakukan perubahan paradigma yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan nasional tahun 2009, dimana Mendiknas menginginkan pendidikan karakter bangsa menjadi fokus dalam pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan dalam RPJN tahun 2005-2015,

memiliki visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan

masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,

dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.12

Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak UU tentang pendidikan nasio-nal tahun 1946 hingga UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003,

9 Sudarwan Danim. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006, h. 65

10 Cak Nur, Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia, 2004, h. 149 11 Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru

Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, h. 339

12 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, Bandung:

(23)

pendidikan karakter telah ada. Pendidikan karakter masih digabung dengan mata pelajaran agama dan diserahkan kepada guru agama. Kini pendidikan karakter terintegrasi ke dalam seluruh mata pelajaran dengan metode internalisasi nilai-nilai karakter.13 Eksistensi pendidikan agama menjadi dipertanyakan, terutama dalam upaya pembangunan akhlak mulia.

Pendidikan karakter dikembangkan dalam tiga tahap, yaitu kognitif (knowing) yang membentuk pengetahuan moral,

psikomotor (acting) yang membentuk perbuatan moral, dan afektif yang membentuk kebiasaan(habit) kemudian menjadi karakter.14 Di sini, perlu ada penambahan domain pendidik-an Islam, yakni aspek spiritual (kedalampendidik-an keimpendidik-anpendidik-an),15 sehingga akhlak tidak sekedar hasil dari proses pembiasaan, tetapi muncul dari kedalaman spiritual (kesadaran ketuhan-an) yang berada dalam hati. Oleh sebab itu, ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan pendidikan Islam. Pendidikan akhlak tasawuf harus dijadikan salah satu alternatif untuk mengatasi problematika krisis spiritualitas yang mengancam moralitas.

Jika dilihat dari tujuan, akhlak tasawuf sangat memiliki kesamaan visi dengan sistem pendidikan nasional yang mencita-citakan terbentuknya insan kamil atau muslim pari-purna. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 bab II pasal 3, menegaskan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

13Ibid, h. iii

14 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, h. vi

(24)

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang-nya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang semokratis serta bertanggung jawab.”16

Berpijak pada latar belakang di atas, kajian tentang pendidikan dan akhlak tasawuf, akan dispesifikasikan pada pemikiran salah satu tokoh intelektual Indonesia, yaitu Cak Nur. Meskipun secara faktual, Cak Nur belum merumuskan suatu karya komperehensif mengenai pendidikan akhlak tasawuf, namun secara tidak langsung dari karya-karyanya berbicara tentang akhlak, tasawuf, dan pendidikan. Ia tidak hanya dikenal sebagai intelektual yang menonjol, tetapi juga pribadi yang memiliki komitmen moral (religiusitas) yang mendalam. Ia menawarkan pendidikan akhlak dan tasawuf di sekolah sebagai solusi dari berbagai permasalahan akhlak atau moralitas pada kehidupan modern dan krisis moral bangsa yang menurut penulis sangat relevan terhada kondisi kekinian bangsa terutama pendidikan.

Cak Nur memandang bahwa lembaga-lembaga pendi-dikan pada umumnya masih didominasi oleh lahiriyah fikih dan kalam, yakni segi-segi eksoteris. Karena dominasi fikih, seorang anak didik lebih paham, misalnya syarat dan rukun bagi sah-tidaknya shalat, tanpa dengan mantap mengetahui apa sesungguhnya makna shalat itu bagi pembentukan pri-badi, lahir dan batin. Dan karena dominasi kalam, anak didik lebih mampu membuktikan bahwa Tuhan ada, tanpa

16Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 Tahun 2003, Solo:

(25)

liki keinsafan yang cukup mendalam tentang apa makna kehadiran Tuhan dalam kehidupan.17

Sebagai “guru bangsa”, Cak Nur tidak hanya wawa -sannya yang luas dan keterbukaannya dengan semua kelom-pok agama dan politik, tetapi juga karena komitmen moral-nya. Komitmen moralnya tampak pada pemikirannya dalam berbagai bidang, seperti sosial keagamaan, budaya, dan politik.18 Bagi Cak Nur, iman dan aqidah menuntuk sikap rendah hati, selalu terbuka bagi semua informasi kebenaran, tetapi sekaligus juga dinamis untuk mengejar kebenaran itu dari sumbernya, yaitu Sang Kebanaran (Al-Haq) itu sendiri. Cak Nur adalah tipe pemikir yang independen, yang tidak memiliki obsesi untuk memperoleh masa lewat pencitraan, kecuali setia pada tradisi ilmiah. Cak Nur merupakan seorang dari sedikit intelektual, bukan hanya di kalangan Islam, tetapi juga intelektual modern Indonesia yang sering berbicara moral bahkan tasawuf. Oleh karena itu, sangat urgen membahas “Pendidikan Akhlak Tasawuf: Menyelami

Nalar Spiritual Cak Nur”.

Sebagai langkah antisipasi agar tidak menimbulkan banyak penafsiran terhadap judul dalam buku ini, dan untuk lebih memfokuskan pembahasan dalam penulisan buku ini. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewu-judkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

17 Cak Nur, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, h.141 18 Sudirman Terba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang

(26)

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.19

Setelah menegaskan tentang pengertian pendidikan, selanjutnya adalah pengertian akhlak tasawuf. Sebelum membahas pengertian akhlak tasawuf, maka harus diawali dari pembahasan tentang akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan,

dengan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti

al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (watak dasar), al-‘adah (kebia-saan), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama). Namun, kata akhlak dari akhlaqa kurang sesuai, sebab

mashdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq, sehingga kata akhlaq merupakan ism jamid atau ism ghoiru mustaq. Kata

akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun.20

Selanjutnya, tasawuf adalah mashdar (kata jadian) dari

fi’il tashawwafu-yatashawwafu (kata kerja tambahan dua huruf) menjadi tashawwufan. Sebenarnya berasal dari shafa-yashufu

-shaufan (mashdar), yang memiliki arti menjadi berbulu yang banyak. Dengan arti sebenarnya ialah menjadi sufi, yang ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba (wol).21 Akan tetapi, secara bahasa, asal usul kata tasawuf diperselisihkan oleh para ahli: Pertama, shuf yang berarti wol kasar karena orang sufi selalu memakai pakaian wol sebagai lambing kesederhanaan. Kedua, shafa, yang berarti bersih, karena hatinya bersih di hadapan Tuhan. Ketiga, Ahl As-Suffah, yaitu

19Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 Tahun 2003 Pasal

1 Ayat 1, h. 5

20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 1-2

(27)

orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah. Karena kehilangan harta benda, mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas batu Pelana (As-Suffah) sebagai bantal. Keempat, sophos (Yunani) yang berarti hikmah. Kelima, shaf artinya barisan shalat, karena kaum sufi dimuliakan dan mendapat pahala dari Allah. Keenam, tasawuf berkaitan dengan as-shifah karena sufi mementingkan sifat-sifat terpuji. Ketujuh, shaufanah, yaitu buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir Arab, yang menyimbolkan kesederhanaan.22

Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah integrasi antara

kata “akhlak” dengan kata “tasawuf”. Akhlak adalah perila-ku dan tasawuf adalah terbersihkan, kesederhanaan, kede-katan dengan Tuhan, sehingga secara etemologi, akhlak tasawuf berarti tingkah laku yang bersih karena bersumber dari hati nurani. Akhlak tasawuf dapat terrealisasi melalui pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam tindakan sosial.23 Definisi akhlak tasawuf yang dimak-sud dalam penelitian ini adalah perbuatan manusia yang disertai dengan kesadaran kehadiran dan kedekatan kepada Allah, manusia mengalami kondisi serta keintiman ruhani sebagai pangkal tolak bagi lahirnya akhlak atau budi pekerti yang luhur.

Pada pembahasan pendidikan akhlak tasawuf, dalam buku ini difokuskan pada salah satu tokoh, yaitu Cak Nur. Pemikiran Cak Nur dalam bidang keilmuan sangat dipenga-ruhi oleh tokoh-tokoh di antara dua kutub dunia, Barat dan

22 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h.

12-14

(28)

Islam. Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah, sedang tokoh Barat seperti Robert N. Bellah, Marshall G.S Hodgson, Ernest Gellner, dan Erich Fromm. Selain itu, di Indonesia ia juga dipengaruhi oleh Hamka. Buah pemikirannya adalah hasil sintesa atau jalan tengah dari berbagai peradaban. Ia dijuluki oleh para ilmuwan lain sebagai tipologi ilmuwan substantifistik dalam kelompok neo-modernis. Kemudian, pemikiran keagamaan “Neo

-Sufisme”24 pada dasarnya merupakan titik tolak herme-neutika neo-modernisme-nya. Karakter neo-sufisme mau-pun neo-modernisme ialah berpusat terutama pada Al-Quran.

Selanjutnya, penulis berpijak pada latar belakang dan fakus kajian yang dibingkai dalam buku ini dan istilah di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan sandaran dalam pembahasan buku ini ini adalah: Pertama, Bagaimana konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur?. Kedua,

Adakah relevansi pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur dengan teori dan praksis pendidikan Islam? Sehingga, secara otomatis tujuan yang hendak dicapai oleh pembahas-an buku ini adalah: Pertama, mendeskripsikan konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur. Kedua,

menemukan relevansi pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur dengan teori dan praksis pendidikan Islam.

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan buku ini adalah: Pertama, secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah pemikiran pendidikan Islam pada umumnya di bidang akhlak. Selain itu, dapat menjadi stimulus bagi

24 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Cak Nur:Islam dan Pluralisme

(29)

penelitian pendidikan Islam selanjutnya, sehingga proses pengkajian secara mendalam akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal. Kedua, secara praktis, dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum, sehingga mampu menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan Islam pada umumnya dan pendidikan akhlak tasawuf pada khususnya. Kemudian mampu menjadi bahan rujukan untuk memperoleh pengetahuan akhlak tasawuf dan sebagai tawaran pemikiran alternative untuk direkomendasikan menjadi kurikulum untuk pengembangan pendidikan Islam.

Untuk menunjukkan bahwa masalah yang dibahas dalam buku ini benar-benar relavan, menarik, dan memang belum dikaji oleh para penulis lainnya, maka di sini akan disebutkan beberapa buku-buku yang telah mengkaji gagasan-gagasan Cak Nur:

1. Sufyanto

Buku yang ditulis Sufyanto tentang Cak Nur

berjudul, “Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid”.25 Sufyanto

memfokuskan pembahasannya tentang masyarakat madani. Kelemahan buku ini adalah tidak mengaitkan gagasan masyarakat madani dengan pertarungan wacana

25 Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani

(30)

dan kekuasaan, sehingga mampu menjelaskan dimana posisi Cak Nur dalam pertarungan wacana tersebut. Sufyanto menilai bahwa perspektif masyarakat madani di Indonesia adalah dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan Tuhan. Ditambah lagi dengan nilai sosial yang luhur, seperti toleransi, dan juga pluralisme adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban. Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility). Bagi Sufyanto, kemajemukan bukanlah sekedar melihat kenyataan bahwa di dunia ini telah hadir berbagai macam keberbedaan agama, suku, golongan bahasa, pendidikan, berbeda tingkat ekonomi, karakter dan lain-lain, tetapi kemajemukan juga harus disikapi dengan interaksi, dinamika, dialog, dan komunikasi. Kemajemukan masyarakat ataupun kemajemukan agama pada hakikat-nya tidak cukup hahakikat-nya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia.

2. Nur Khalik Ridhwan

Dalam buku yang berjudul, “Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur”,26 Nur Khalik Ridhwan membaca pemikiran Cak Nur secara lebih kritis

26 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritik atas Nalar Oluralisme Cak

(31)

tentang keberpihakan pluralisme Cak Nur terhadap kaum yang mapan. Cak Nur juga diposisikan sebagai kelas yang mapan atau kaum borjuis. Gagasan Cak Nur dibedah

dengan perangkat “Arkeologi Wacana”, dan gagasan Cak Nur dibaca persepktif “matinya sang pengarang”, kemu -dian Cak Nur dilihat sebagai seorang pengarang, yang buku-bukunya dikritik. Dalam buku ini gagasan pluralis-me Cak Nur bebas ditafsirkan oleh penulis.

Nur Khalik berkesimpulan bahwa Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Munculnya tipologi Islam borjuis ini dideteksi Nur Khalik sebagai kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Nur Khalik bahkan beranggapan bahwa pluralisme Cak Nur bertum-pu pada gagasan Islam universal, tetapi berbertum-putar di orbit komunal, sehingga masih perspektif agama sendiri.

(32)

3. Sukidi

Ada satu buku kumpulan tulisan, ditulis oleh

Sukidi dengan judul, “Teologi Inklusif Cak Nur”.27 Dalam buku ini, Sukidi melakukan penyarahan atau pengayaan terhadap gagasan-gagsan inklusif dan pluralis Cak Nur. Sukidi dalam buku ini belum melakukan upaya kritik terhadap gagasan-gagasan Cak Nur, namun ia berusaha lebih malampaui dengan menjadi juru bicara inklusivisme Cak Nur dengan memberikan berbagai polesan. Meski di judul bukunya terpampang nama Sukidi sebagai penulis, tulisan-tulisan orang lain juga dihadirkan sebagai tanggapan atas tulisan-tulisan Sukidi. Sukidi sebagai penulis muda yang kreatif dan kritis menyajikan gagasan pluralisme Cak Nur secara menukik. Secara implisit, Sukidi mengimbau agar kaum Muslim juga meyakini bahwa di luar lslam juga ada kebenaran dan jalan keselamatan.

4. Anas Urbaningrum

Satu lagi, buku Anas Urbaningrum yang berjudul

Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid”.28Buku ini

mengupas topik serius dalam kajian pemikiran politik Islam, yakni relasi Islam dan demokrasi. Bahwa Islam cocok dan mempunyai kapasitas topang terhadap demo-krasi. Prinsip-prinsip dasar Islam, bukan saja tidak bermusuhan dengan demokrasi, malahan mampu mem-berikan substansiasi moral secara lebih maknawi. Dalam

27 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001

28 Anas Urbaningrum, Islamo-demokrasi: Pemikiran Cak Nur, Jakarta:

(33)

pemikiran demokrasi ala Nurcholish Madjid yang secara khusus dibedah. Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang posisi pemikirannya di dalam peta-bumi teori-teori demokrasi modern. Bukan saja itu. Buku ini juga menegas-kukuhkan kontribusi Islam untuk mem-berikan kerangka keyakinan, ruh, dan nafas bagi demo-krasi. Itulah Islamo-demodemo-krasi. Demokrasi yang tidak berwajah sekuler, tetapi diberi warna Islam.

5. Budhy Munawwar Rachman

Ada lagi buku yang ditulis Budhy Munawwar Rachman dengan judul, “Membaca Nurcholish Madjid: Islam

dan Pluralisme”,29 mendeskripsikan dan memaparkan pemikiran Cak Nur tentang gagasan Islam dan pluralismenya. Islam dalam buku ini sebagai bentuk substantif yang bermakna, penyerahan, kesadaran dan keinsyafan terhadap Tuhan sebagai dasar pemikirannya tentang pluralism. Dalam buku ini juga sedikit menying-gung masalah tasawuf, tetapi belum menampilkan secara utuh, karena fokusnya pada pembacaan pluralisme Cak Nur.

6. Sudirman Tebba

Buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba ini berjudul “Orientasi Sufistik Cak Nur”,30 menjelaskan iman, ibadah, amal shaleh, dan akhlak mulia yakni pemikiran sufistik Cak Nur sebagai sunstansi ajaran Islam dan ruh

29

Budhy Munawar-Rachman, Membaca Cak Nur:Islam dan Pluralisme Agama, Jakarta: Democracy Project, 2011.

30

(34)

peradaban Islam. Sufisme atau tasawuf mengajarkan pendekatan kepada Tuhan yang diwujudkan dengan iman dan ibadah. Tasawuf juga mengajarkan agar hubungan baik dengan sesama manusia dan makhluk pada umumnya yang dilaksanakan dengan amal shaleh dan berakhlak mulia. Sehingga, perlu rasanya ada buku yang menyajikan pemikiran sufistik Cak Nur dan relevansinya dengan pendidikan Islam.

Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, tentu masih ada tulisan-tulisan lain yang membahas pemikiran Cak Nur. Sejauh ini menurut penulis belum ada tulisan yang membahas akhlak dan tasawufnya Cak Nur, bahkan pendidikan. Ini yang menjadi menarik, di sisi lain Cak Nur adalah pemikir neo-modernis, tetapi memiliki pemikiran tentang akhlak, bahkan tasawuf. Pendidikan Akhlak Tasawuf barangkali menjadi bentuk dari pemikiran neo-modernis-nya. Sehingga penulis merasa perlu menggali pemikirannya dalam dunia pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya.

1. Jenis Penelitian

(35)

lain-lain.31 Dalam hal ini, dilakukan pembacaan buku-buku karya Cak Nur (sebagai data primer), kemudian buku-buku dan jurnal yang ditulis mengenai berbagai pemikiran Cak Nur (sebagai data sekunder). Penelitian ini termasuk jenis penelitian bibliografi, karena penelitan ini dilakukan untuk mencari, menganalisis, membuat interpretasi, serta generalisasi dari fakta-fakta hasil pemikiran, ide-ide yang telah ditulis oleh pemikir dan ahli, yang dalam penelitian ini berupa konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut seorang tokoh, yaitu Cak Nur.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis-filosofis. Pendekatan historis yaitu dengan menyelidiki latar belakang eksternal dan internal tokoh. Latar belakang eksternal meliputi kondisi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Sedangkan, latar belakang internal meliputi riwayat hidup tokoh, pendidikan, pengaruh yang diterima, relasi pemikir dengan pemikir lain yang sezaman dan semua pengala-man yang membentuk visi atau pandangannya.32

Sedangkan, pendekatan filosofis adalah meng-analisis sejauh mungkin pemikiran yang diungkap sampai kepada landasan yang mendasari pemikiran. Dalam hal ini adalah pendidikan akhlak tasawuf Cak Nur.33

31 Mardalis, Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi

Aksara, 2006, h. 28

(36)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumen-tasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti dan lain sebagainya.34 Fungsinya adalah supaya penelitian ini tetap memiliki standar keilmiahan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian, pengumpulan data dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, sumber data primer, yaitu buku-buku karya Cak Nur diantaranya yang berjudul: Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997;

Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992; Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997; Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995; Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Kedua, sumber data sekunder, penulis mengambil dari buku-buku karya: AF Ahmad Gaus, Api Islam Cak Nur Jalan Hidup Seorang Visioner, Jakarta: Kompas, 2010; Anas. Urbaningrum, Islamo-demokrasi: Pemikiran Cak Nur,

Jakarta: Penerbit Republika, 2004; Budhy Munawar-Rachman, Membaca Cak Nur: Islam dan Pluralisme Agama,

Jakarta: Democracy Project, 2011; Nur Khalik. Ridwan,

34 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,

(37)

Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002; Sudirman Terba,

Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, Jakarta: Kasanah Populer Paramadina (KPP), 2004. Kedua, 1994; Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Cak Nur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001.

4. Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah dan mempelajari seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari dokumen-dokumen atau buku-buku terkait dengan tema penelitian. Langkah berikutnya adalah mereduksi data yang dilakukan dengan meng-gunakan abstraksi yang konsisten.35 Setelah itu baru analisis data menggunakan metode-metode sebagai berikut:

Pertama, interpretasi, yaitu memahami pemikiran tokoh yang diteliti untuk menangkap maksud dari tokoh, kemudian diketengahkan dengan pendapat tokoh lain tentang tema yang sama sebagai sebuah perbandingan. Interpretasi dalam penelitian ini, berjalan di atas penga-matan data yang dipilih dan dipilah bagian-bagian pokok yang menyangkut pandangan tokoh atas tema yang dikemukakan.36

35 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 74

36 Anton Bakker dan Ahcmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(38)

Kedua, koherensi intern, agar dapat memberikan interpretasi dari pemikiran tokoh tersebut, konsep-konsep dan aspek-aspek pemikirannya dilihat menurut keselarasan satu sama lain. Keselarasan ini disandarkan oleh beberapa pendapat tokoh lain, terhadap tema dan pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh.37

Ketiga, deskripsi, yaitu dengan mengurai secara teratur seluruh konsep tokoh.38 Pengolahan data secara deskriptif dalam penelitian ini mengarah kepada penja-baran tekstual dan kontekstual dari pandangan awal yang terbangun dari pemikiran tokoh. Analisis tekstual ber-pijak kepada tulisan-tulisan karya tokoh. Sementara kontekstualisasi berjalan seiring dengan dinamika reflektif kolaboratif atar perjalanan realitas kehidupan tokoh.39

Rangkaian pembahasan ini disusun dengan meng-gunakan uraian yang sistematis, diharapkan dapat memper-mudah proses pengkajian dan pemahaman oleh pembaca. Adapun sistematika pembahasan ini terbagi dalam beberapa bagian, yang merupakan uraian singkat tentang isi yang mencakup semua pembahasan, yaitu:

Bagian pertama, yaitu pendahuluan, yang terdiri atas: alasan mengapa buku ini ditulis, membingkai teori yang

37Ibid, h. 45

(39)

menjadi fokus masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bagian kedua akan dipaparkan tentang bagaimana konsep pendidikan akhlak tasawuf, yang terdiri dari: hakikat pendidikan akhlak tasawuf, tujuan pendidikan akhlak tasa-wuf, materi pendidikan akhlak tasatasa-wuf, metode pendidikan akhlak tasawuf, subyek pendidikan akhlak tasawuf, dan evaluasi pendidikan akhlak tasawuf.

Bagian ketiga, akan membahas mengenai titik beran-jak Cak Nur dalam rangka melacak basis nalar sufistik Cak Nur yang terdiri dari: basis indivisual, perjalanan dan pergumulan Cak Nur serta basis komunitas.

Bagian keempat, akan dijelaskan konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur, ko, berbicara mulai dari hakikat, tujuan, materi, metode, pendidikan akhlak tasawuf dan dimensi akhlak tasawuf Cak Nur.

Bagian kelima, berbicara tentang pendidikan akhlak tasawuf Cak Nur dan pendidikan Islam, penulis berusaha menganalisis konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur, dan mencari relevansinya dengan teori dan praksis pendidikan Islam.

(40)
(41)

Bagian Kedua

PENDIDIKAN AKHLAK

TASAWUF

(42)

metode, guru, murid dan evaluasi dari pendidikan akhlak tasawuf.

Dalam bagian ini akan disajikan bagaimana konsep pendidikan konsep pendidikan akhlak tasawuf, kemudian akan digunakan sebagai pijakan analisis pada pemikiran pendidkan akhlak tasawuf menurut Cak Nur serta mencari relevansinya dengan teori dan praksis dalam kurikulum pendidikan Islam.

Hakikat pendidikan akhlak tasawuf dibahas dalam rangka mengetahui pengertian pendidikan akhlak tasawuf. Tetapi, sebelum memahami pendidikan akhlak tasawuf, seyogyanya terlebih dahulu memahami hakikat pendidikan dan hakikat pendidikan Islam. Hakikat pendidikan akan diketahui dengan pendekatan filsafat pendidikan. Secara ontologi, pendidikan berada dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat abstrak, tingkat potensial, dan tingkat praksis.

Pertama, tingkat esensi abstrak, pendidikan bernilai universal, yakni pemanusiaan manusia. Orientasi filosofis pendidikan adalah sistem bimbingan yang berkesinam-bungan untuk menumbuhkembangkan potensi manusia menjadi manusia yang manusiawi.40

Kedua, tingkat esensi potensial, pendidikan adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, sebagai makhluk kreatif. Pada hakikat potensi ini cenderung menumbuhkembangkan

40 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

(43)

kecerdasan intelegensi, sehingga terbentuk kepribadian kreatif.41

Ketiga, tingkat esensi kongkrit, pendidikan adalah daya yang mampu membuat setiap manusia individu berkesa-daran utuh terhadap hakikat keberadaannya berdasar pada nilai-nilai asal mula dan tujuan kehidupannya, sehingga menghasilkan kecerdasan spiritual, untuk mengendalikan perilaku individu, agar senantiasa sesuai dengan nilai asal-mula dan tujuan kehidupan.42

Selanjutnya adalah hakikat pendidikan Islam. Secara definitif, para pakar pendidikan Islam berbeda pendapat dalam meninterpretasikan pendidikan Islam, yaitu dengan mempertentangkan antara tarbiyah43, ta’lim,44 dan ta’dib45.

Dari perbedaan pengertian at-tarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib

itu, maka para ahli pendidikan memformulasikan hakikat pendidikan Islam. Muhammad Al-Thuomi Al-Syaibani ialah proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan

41Ibid, h. 113

42 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, h. 114

43Tarbiyah adalah mashdar dari kata rabba-yurabbi-tarbiyyatan yang berarti

mengasuh, mendidik dan memelihara. Tarbiyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Kata“tarbiyah” berasal dari fi’il (kata kerja), Rabba-yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang.

Rabbi- yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar (dewasa). Rabba, yarubbu yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara. Lihat dalam Faisal Siddique, “Aims and Objectives of Islamic Education”:

www.islam21c.com(diakses tanggal 17 Maret 2012 pukul 07.28 WIB).

44Ta’lim adalah mashdar dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman, yang berarti

pengajaran. Kata ta’lim adalah merujuk kepada pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan.

Ibid

45Ta’dib adalah mashdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti

(44)

pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya melalui proses pendidikan yang dilandasi nilai-nilai Islami.

Adapun, Muhammad Fadlil Al-Jamaly mengartikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendo-rong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlan-daskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang sempurna, baik berkaitan dengan kognitif, psikomotorik, maupun afektifnya. Selain itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses yang menga-rahkan manusia pada kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan fitrah dan kemampuan ajarnya.46

Formulasi hakikat pendidikan Islam di atas, dipahami oleh Muhammad Karim, bahwa proses pendidikan merupa-kan rangkaian usaha membimbing dan mengarahmerupa-kan potensi hidup manusia. Potensi hidup manusia itu berupa kemam-puan dasar (fitrah) dan kemampuan belajar yang memung-kinkan terjadinya perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Proses tersebut senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang melahirkan akhlakul karimah untuk mempersiapkan kehi-dupan dunia dan akhirat yang hasanah. Sehingga membawa kemakmuran masyarakat secara sempurna lahir dan batin, material dan spiritual.47

Setelah memahami esensi pendidikan dan pendidikan Islam, maka selanjutnya perlu memahami hakikat akhlak tasawuf untuk menemukan hakikat pendidikan akhlak

46 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2009, h. 177

(45)

tasawuf secara holistik. Selanjutnya ialah menurut pendapat dari beberapa pemikiran tokoh. Ibnu Miskawaih

mende-finisikan akhlak, yaitu “sifat yang tertanam dalam jiwa yang

mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemukiran dan pertimbangan.” Sementara itu, Al-Ghazali

lebih luas mengatakan, akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”48

Dari keseluruhan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang yang membentuk kepribadian, sehing-ga dilakukan densehing-gan mudah tanpa pemikiran, yang muncul dari dalam diri seseorang, dan dilakukan dengan sungguh-sungguh karena ikhlas semata-mata karena Allah.

Selanjutnya, mengenai tasawuf, Al-Ghazali mendefi-nisikan tasawuf adalah budi pekerti, barang siapa siapa memberi bekal budi pekerti atasmu, berarti ia member bekal atas dirimu dalam tasawuf.49 Sementara, Suhrawardi menga-takan, tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada dalam mahkluk (kesenangan duniawi).50 Selain itu, Hamka mengatakan tasawuf adalah putusnya perhubungan dengan makhluk dan kuatnya hubungan dengan Khalik.51 Jika fikih membicarakan hukum, maka tasawuf lebih mendalam sampai perkataan-perkataan rahasia yang tidak tersebut dalam syari’at.52

48 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3 49 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, h. 204 50Ibid, h. 205

(46)

Sayyed Hossein Nasr menyebut tasawuf dengan istilah pengetahuan suci atau pengetahan yang hadir (al-ilm al-hudhuri). Karena hadir lansung dapat dirasakan dan dialami ruhaniyah manusia, ia bersifat intelektual intuitif.53 Pengalaman spiritual tertinggi bersifat intelektual intuitif dan berpusat pada diri manusiawi. Tentu tidak semua orang mempunya intuisi intelektual, yang teretak dalam hati.54 Ia

hanya dapat dikenal melalui “cahaya” Keilahian Sendiri,

yang berada di pusat jiwa manusia.55 Hakikat tasawuf dapat dilihat dalam pandangan Harun Nasution, bahwa esensi atau intisari dari tasawuf ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, sehingga manusia bersatu dengan Tuhan.56

Selanjutnya dapat dirumuskan hakikat akhlak tasawuf yaitu dengan melihat hubungan substansial antara akhlak dan tasawuf. Tasawuf ialah penyucian al-fu’ad (hati sanubari) agar ia tetap jernih, karena kejernihannya ia dapat meman-carkan akhlak mulia.57 Akhlak tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri yang pada hakikatnya ialah akhlak mulia yang timbul dari tasawuf.58 Tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mende-katkan diri kepada Allah Swt. Jika lihat sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf ialah kesadaran fitrah

53 Sayyed Hossein Nasr, Intelegensi & Spiritualitas Agama-Agama, Jakarta:

Inisiasi Press, 2004, h. 35

54 Sayyed Hossein Nasr, Intelegensi & Spiritualitas, h. 38 55Ibid, h. 36

56 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1973, h. 56

(47)

Ketuhanan yang dapat mengarahkan jiwa manusia tertuju kepada Tuhan.59

Konsep akhlak tasawuf pada garis besarnya menurut Sudirman Tebba, adalah integrasi antara iman, ibadah, amal shaleh, dan akhlak yang mulia. Ilmu kalam berbicara iman, fikih berbicara ibadah dan muamalah.60 Orang yang bertasawuf berarti beriman, beribadah, beramal shaleh, dan berakhlak mulia. Inilah pribadi muslim yang sempurna, insan paripurna. Iman menimbulkan konsekuensi tentang perlunya manusia menyembah Tuhan semata, yang diwujud-kan dengan ibadah. Sedangdiwujud-kan, sesama manusia dan alam tidak boleh menyembah, tetapi berbuat baik (amal shaleh), dan tidak boleh berbuat buruk kepada sesama manusia dan alam, yang diwujudkan dengan akhlak yang mulia.61

Sebagaimana Haedar Bagir mengatakan, secara sosial seorang sufi adalah orang yang punya keprihatinan sosial yang sangat tinggi terhadap kaum dhu’afa. Ibadah mahdhah

akan tidak bernilai apa-apa, jika tidak memperhatikan dan berbuat baik kepada kaum yang lemah. Kehidupan dunia menjadi wahana berjuang untuk bertemu dengan Allah Swt.62 Seorang sufi yang individualistis, yang hanya berzikir tanpa mengurusi masyarakat di lingkungannya, bukanlah seorang sufi.63

Hakikat pendidikan akhlak tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang

59 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 180

60 Sudirman Terba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang

Guru Bangsa, Jakarta: Khasanan Populer Paramadina, 2004, h. 5

61 Sudirman Terba, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 5

(48)

dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.64 Sebagaimana, menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan perlu diperkaya dengan meletakkan pengalaman bertuhan sebagai substansi. Dengan memberi jaminan daya tahan murid agar terhindar dari perbuatan jahat dalam kehidupan dan bertumpu pada pengalaman bertuhan.65 Akhlak diletakkan atas dasar pendidikan tauhid, sehingga murid diyakinkan akan kekuasaan Tuhan yang mengawasi dan membalas tindakan manusia dalam keadaan apapun.

Hamdani menyebut pendidikan akhlak tasawuf dengan pendidikan ketuhanan. Pendidikan ketuhanan adalah suatu usaha yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa, qalbu, dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah Swt. Dengan pendidikan ketuhan-an mketuhan-anusia akketuhan-an menjadi hamba yketuhan-ang zuhud dan wara’, serta berpikir, bersikap dan beribadah yang memberikan dampak pada kualitas akidah, dan ma’rifat.66

Selanjutnya, menurut Hamdani, objek pendidikan akhlak tasawuf ialah hati (qalbu). Apabila seseorang telah sukses mendidik dan mengolah fitrah qalbu-nya, maka akan terbuka segala esensi ciptaan-Nya, rahasia-rahasia ketuhanan terbuka baginya, sehingga, akan semakin kokoh keimanan

64 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 181

65 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidian, Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, h. h. 293

66 Hamdani Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, Surakarta: UMS Press, 2001,

(49)

dan akhlak ketuhananya.67 Dalam pandangan Hamdani,

apabila seseorang hanya mempelajari syari’at, fikih, tanpa

mempelajari akhlak fikih atau hakikat (tasawuf), maka manusia akan terjerumus kepada permasalahan yang samar dan sering mengabaikan akhlak beribadah dan bertauhid kepada Allah Swt.68

Dengan demikian, hakikat pendidikan akhlak tasawuf adalah usaha membimbing dan mengarahkan potensi (fitrah) manusia, yakni fitrah kesadaran ketuhanan, agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan manusia akan selalu mengutamakan pertimbangan pada setiap masa-lah yang dihadapi dengan berkomunikasi dan merasa diawasi Tuhan. Dengan cara demikian, manusia akan terhindar dari akhlak tercela menurut agama.

Tujuan pendidikan ialah batas akhir yang dicita-citakan dalam usaha pendidikan. Tujuan pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan akhlak tasawuf, yakni perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada akhlak individu, dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.69 Oleh karena itu, perlu diawali dengan pembahasan hakikat

67Ibid, h. 21 68Ibid, h. 45

69 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh

(50)

manusia dan tujuan pendidikan Islam untuk merumuskan tujuan pendidikan akhlak tasawuf.

Kant menyebut akhlak tasawuf, dengan istilah tinda-kan akhlaki yang diilhami intuisi (intuisi akhlak). Menurut-nya, manusia berbudi luhur ialah karena menuruti perintah intuitif mereka, tidak memerlukan argumentatif. Sebagai-mana Kant dalam kutipan Murtadla Muthahari mengatakan:

“Manusia dapat menyerahkan dirinya kepada orang

lain, namun dia tidak dapat menyerahkan intuisinya pada orang lain. Manusia dapat menyerah pada penguasa tiran, atau pada perbuatan buruk, namun intuisinya tidak pernah

kenal kata menyerah”.70

Kant mengatakan bahwa sanubari manusia terdapat nilai-nilai akhlak luhur manusia.71 Tujuan pendidikan akhlak tasawuf Kant ialah ajakan agar manusia menyadari sepenuh-nya sifat kefanaan dari kehidupan dunia. Kekekalan hasepenuh-nya- hanya-lah Tuhan, maka perbuatan manusia senantiasa diorientasi-kan kepada Tuhan.72

Sayyed Hossein Nasr, mengatakan bahwa manusia secara alami berhasrat dan rindu untuk meninggalkan dan memisahkan dari tubuhnya. Kemudian menyatu kembali kepada Tuhan Yang Esa.73 Sebagaimana Komaruddin dan Nafis mengatakan bahwa manusia perpektif filsafat perennial dimungkinkan mengenal Tuhan secara benar. Karena pusat kehidupan manusia adalah ruh yang bersifat

70 Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, Bandung: Pustaka Hidayah,

1995, h. 94

71Ibid, h. 99

72 M. Bambang Pranowo, Pandangan Kesufian tentang Diri Manusia”,

dalam Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994, h. 197

(51)

Ilahi. Hanya yang memiliki kadar absolut yang bisa mengenal Yang Absolut. Manusia merupakan wahana paling sempurna bagi kehadiran Tuhan dalam makhluk-Nya.74

Sementara Ahmad Tafsir mengatakan hakikat manu-sia yang paling inti dan esenmanu-sial ialah imannya yang berada di kalbu. Kalbu itulah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi dengan iman. Iman itulah yang akan terpancar cahaya

akhlakul karimah. Pendapat Tafsir bersandar pada hadis

qudsi, yaitu:

“Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam dada itu ada kalbu

(qalb), di dalam kalbu itu ada fu’ad, di dalam fu’ad itu ada

syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada

sir, dan di dalam sir itu ada Aku (Ana).”75

Sebagaimana Komaruddin Hidayat mengatakan, bah-wa manusia memiliki unsur Ilahi dalam dirinya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan citra Tuhan dan mendapatkan percikan ruh-Nya. Logis kalau manusia memiliki unsur-unsur Ilahi dan kemiripan sifat dengan penciptanya.76 Unsur-unsur itu adalah instrument yang ditanamkan dalam diri manusia. Pada akhirnya, manusia mampu menerima pancaran cahaya Ilahi. Ketika manusia sudah mengenal, mendekat, dan mencintai Tuhan, selanjut-nya akan terjadi limpahan energi Ilahi yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia. Inilah yang disebut

74 Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa

Depan, h. 82

75 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan

Kalbu, Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosydakarya, Cet IV, 2010, h. 28-29

76 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Nuora

(52)

dengan berakhlak dengan akhlak Allah atau akhlak tasawuf.77

Abdul Munir Mulkhan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sebagai proses pembinaan akal peserta didik agar cerdas, terampil, dewasa, dan berke-pribadian muslim yang paripurna, memiliki kebebasan berkreasi dengan tetap menjaga nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia yang dikembangkan secara proporsional.78 Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada realisasi penyerahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.79

Tujuan utama pendidikan adalah memperkaya penga-laman peserta didik untuk memahami dan memacahkan persoalan yang mereka hadapi dan berperan aktif dalam dunianya sendiri,80 atau disebut dengan kepribadian muslim yang berakhlak mulia.81

Sementara, Muhammad Iqbal mengatakan, bahwa tujuan pendidikan Islam ialah terbentuknya insan kamil

dengan pola takwa. Insan kamil menurut Iqbal adalah hakikat manusia yang terletak pada ego tertinggi. Bagi Iqbal, insan kamil dicirikan sebagai berikut: pertama, manusia yang siap menjadikan dirinya seolah-olah seperti Tuhan dengan men-jelma sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Kedua, manusia memiliki kesadaran sebagai khalifah di bumi. Ketiga, insan

77 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, h.109 78 Abdul Munir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim, yogyakarta:

Sipress, 1993, h. 137

79Ibid, 114-115

80 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidian, Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, h. 276

(53)

kamil adalah pusat daya ruhani, kesejahteraan, kedamaian dan keselamatan dunia.82

Selanjutnya, untuk mengetahui tujuan pendidikan akhlak tasawuf, maka harus memahami tujuan akhlak tasawuf. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga manusia berada di hadirat Tuhan. Intisari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.83 Pendidikan akhlak tasawuf adalah ajaran-ajaran tentang sedekat mungkin dengan Tuhan.84

Dalam hal ini Bachrun Rif’i dan Hasan Mud’is mengatakan tujuan akhlak tasawuf adalah menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup melalui apresiasi nama-nama (kualitas-kualitas) Allah yang indah (al-asma al-husna). Dengan apresiasi itu, manusia menemukan keutuhan dan keseimbangan dirinya. Karena itu, ajaran tasawuf disebut sebagai ajaran akhlak. Akhlak yang hendak diwujudkan adalah tiruan akhlak Tuhan. Sesuai dengan sabdah Nabi

yang mereka pegang teguh, “berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.85

Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa permulaan agama adalah pengetahuan tentang Tuhan. Kemanusiaan dan akhlak memiliki arti tanpa tanpa dibarengi pengenalan

82 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh

Pendidikan Islam, h. 146

83 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme, h. 56 84Ibid, h. 61

85A. Bachrun Rif’I dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung: Pustaka

(54)

Tuhan (ma’rifah).86 Tuhan adalah basis keluhuran akhlak.87

Ma’rifatullah dan spiritual tidak pernah sirna dari dunia, oleh karena itu, manusia membutuhkan akhlak.88 Sebagaimana Ahmad Dahlan mengatakan bahwa ketaatan batiniah, men-ciptakan hati suci sebagai akar ibadah dan dasar hidup sosial yang berakhlak.89 Pendidikan berfungsi bagi kebaikan taraf hidup, kebaikan moral pribadi, masyarakat dan keyakinan tauhid.90

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak tasawuf ialah menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup melalui apresiasi nama-nama (kualitas-kualitas) Allah yang indah (al-asma al-husna). Dengan apresiasi itu, manusia diharapkan meniru akhlak tiruan akhlak Tuhan, dimana Tuhan sebagai basis keluhuran akhlak. Pada akhirnya, spiritualitas manusia naik kepada kesempurnaan tertinggi, dan sedekat mungkin dengan Tuhan.

Materi dalam pandangan kurikulum menurut Islam dikembangkan ke arah tauhid, iman kepada Allah Swt, atau kesadaran Ketuhanan. Inti dari materi pendidikan Islam adalah kebenaran yang fundamental (mutlak), yaitu prinsip

86 Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, Bandung: Pustaka Hidayah,

1995, h. 58

Gambar

Tabel 1. Domain Ilmu, Amal, Akhlak, dan Iman
Tabel 2. Analisis Evaluasi Domain Ilmu
Tabel 3. Analisis Evaluasi Domain Amal
Tabel 4. Analisis Evaluasi Domain Akhlak
+3

Referensi

Dokumen terkait

(2006.) Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Bandung : PT Refika Aditama. Psikologi Remaja

Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan tanaman dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toleransi tanaman kedelai regeneran M3

kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara statistik, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah pada materi larutan

Penelitian ini menggunakan studi kasus yang bertujuan untuk menganalisis serta mendesain sistem informasi akuntansi atas siklus penggajian dan pembelian dalam upaya meningkatkan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perendaman benih pada berbagai jenis urin terhadap daya tumbuh kecambah kaliandra ( Calliandra calothyrsus )

Dari model analisis kebutuhan untuk fase Early Requirement yang digambarkan pada Gambar 5, dapat disimpulkan bahwa aktor pada proses bisnis yang berjalan adalah Kepala

Penelitian ini dilaksakanakan di Sungai Bolifar yang terletak di Kecamatan Bula Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku .Penelitian ini bertujuan untuk

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dengan teknik analisis varian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perbedaan tingkat kecemasan menghadapi menopause