• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner untuk Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman | Puspitasari | Mimbar Hukum 16244 30792 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner untuk Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman | Puspitasari | Mimbar Hukum 16244 30792 1 PB"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MEWUJUDkAN FUNGSI TATA RUANG kOTA DI kOTA

YOGYAkARTA DAN kABUPATEN SLEMAN

*

Dinarjati Eka Puspitasari**

Abstract Abstrak

Even though street vendors in Yogyakarta and Sleman bring in a huge amount of income for the city budget, they are often ignorant to public space regulations. This research aims to ind an arrangement model for street vendors in accordance to the city spatial plan.

Jumlah pedagang kaki lima di Yogyakarta dan Sleman yang relatif banyak memang mendatangkan pemasukan bagi daerah, namun di sisi lain aktivitas mereka meng-ganggu kawasan ruang publik. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola penataan pedagang yang sesuai dengan tataruang kawasan publik sehingga diharapkan dapat menjadi model pengaturan pedagang di Yogyakarta dan Sleman.

Kata kunci: penataan, pedagang kaki lima, fungsi tata ruang kota.

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama yang harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah, para PKL, dan masyarakat sekitar. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog yang memperbincangkan persoalan-per-soalan PKL serta bagaimana penataan dan pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang perekonomi-an masyarakat di daerah. Keberadaperekonomi-an PKL juga diharapkan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya agar dapat tercipta

tata ruang yang mempertahankan ekosistem

lingkungan isik maupun sosial yang ada di

dalamnya. Oleh karena itu diperlukan ada-nya penataan bagi PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota yang optimal, dalam hal ini menyangkut aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan itu sendiri.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah yang mempunyai jumlah PKL relatif banyak, khususnya di Kota Yogyakarata dan Kabupaten Sleman. Hal ini disebabkan posisi DIY sebagai salah satu daerah tujuan wisata dan pendidikan. Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang dagangan

* Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2009.

(2)

di trotoar sebagai kawasan ruang publik. Berdasar hal tersebut para pejalan kaki telah terenggut haknya untuk berjalan kaki di atas trotoar, karena telah dipenuhi oleh PKL yang menjajakan berbagai barang dagangannya. Trotoar sebagai kawasan ruang publik menjadi hilang fungsinya dengan keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.

Selain permasalahan di atas, keber-adaan PKL juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat seperti adanya limbah cair dan padat sebagai dampak dari PKL. Sebagai contoh, PKL yang bergerak di bidang usaha makanan pada umumnya akan membuang sisa makanan dan minuman di tempat umum. Dari sisi lokasi dan letak, keberadaan PKL yang kurang tertata dapat mengganggu eksistensi ruang terbuka hijau, sebagai contoh PKL yang membuka kios/ lapak dekat dengan ruang hijau (pohon atau taman) dapat mengganggu keberadaan dari pepohonan dan taman tersebut.

Banyak kasus yang mendasari me-ngenai keberadaan PKL terhadap fungsi tata ruang kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan menunjang perekonomian daerah, tetapi di sisi lain perlu adanya perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek lingkungan secara optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka sehari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada. Sebagai contoh banyak PKL yang berjualan di trotoar, padahal trotoar digunakan untuk pejalan kaki, sehingga pejalan kaki tereng-

gut haknya tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada dan keselamatannya terganggu. Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak memperhatikan kondisi kebersihan di sekitar tempat berjualan, sehingga menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau kumuh.

Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah mendapatkan keuntungan, tetapi lokasi strategis tersebut mengganggu fungsi tata ruang kota yang ada, yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang publik yang terganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya untuk menata keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan terkait dengan Penataan Pedagang kaki Lima Kuliner Untuk Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Pertama, bagaimanakah pola penataan pedagang kaki lima yang teratur untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Kedua, bagaimana pola penataan pedagang kaki lima yang dapat menunjang kinerja ekonomi mereka di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

C. Metode Penelitian

(3)

me-rupakan penelitian hukum empiris karena menggunakan data primer. Data primer tersebut diperoleh secara langsung dari para narasumber dan responden yang terkait dengan penelitian ini. Selain berupa bahan hukum yang merupakan data primer, penelitian ini didukung pula dengan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan penelitian untuk data sekunder yang digunakan pada penelitian hukum empiris ini adalah bahan hukum primer (primary sources), bahan hukum sekunder (secondary sources) dan bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup dan pe- nataan ruang. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa bahan pustaka seperti buku, majalah, hasil penelitian, makalah dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan penelitian ini, sedangkan bahan hukum tersier berupa bahan hukum yang memberikan kelengkapan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Inggris-Indonesia.

Data primer yang merupakan data utama didapat dari penelitian lapangan. Penelitian lapangan akan dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan kuisioner yang mendalam (in depth interview) dengan para narasumber dan responden yang berkompeten terkait dengan masalah yang diteliti.

Lokasi penelitian ditentukan dengan metode purposive yaitu di Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Sleman, dengan pertim-bangan bahwa di lokasi tersebut banyak

PKL yang berjualan di kawasan ruang publik, sehingga mengganggu

keseimbang-an lingkungkeseimbang-an isik dkeseimbang-an sosial di sekitarnya,

tetapi juga merupakan aset wisata bagi kota tersebut. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan dari pemerintah daerah setempat untuk menata permasalahan tersebut, dalam rangka mewujudkan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan. Responden dalam penelitian ini adalah PKL yang berada di kawasan ruang publik di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, lebih dikhususkan kepada PKL yang menjajakan makanan karena terkait dengan kebersihan lingkungan dan pengelolaan limbah. Adapun narasumber dari Kota Yogyakarta terdiri dari: Kepala Seksi Air Limbah Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta, Kepala Bagi-an KebersihBagi-an BadBagi-an LingkungBagi-an Hidup Kota Yogyakarta, Kepala Seksi Bangunan Pelengkap Jalan Bidang Bina Marga Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Polisi Pamong Praja Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Narasumber dari Kabupaten Sleman terdiri dari: Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kabupaten Sleman, Kepala Bidang Perencanaan Sosial dan Ekonomi Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sleman, Kepala Seksi Perumahan dan Permukiman Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Sleman.

(4)

didapat peneliti dari dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini. Kuisioner memuat pertanyaan yang ditujukan kepada PKL di kawasan ruang publik Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pengertian Penataan Ruang, Ruang

Pulik dan Pedagang kaki Lima Pasal 33 ayat (3) UUD 945 Aman-demen, menghendaki penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu wilayah kesatuan Republik Indonesia harus dapat dimanfaat-kan serta didayagunadimanfaat-kan secara efektif dengan memperhatikan nilai-nilai konsepsi dasar manusia, masyarakat, serta ekosistem yang terdapat di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelola-an LingkungPengelola-an Hidup lebih lPengelola-anjut juga membahas mengenai tata ruang, yaitu pada Paragraf 2 Pasal 9:

a. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis).

b. Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat () ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung ling-kungan hidup.

KLSH pada setiap perencanaan tata ruang tersebut diatur lebih lanjut pada Pasal 5, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yaitu:

a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memasti-kan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

b. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat () ke dalam penyusunan atau evaluasi:

) rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan 2) kebijakan, rencana, dan/atau

pro-gram yang berpotensi menimbul- kan dampak dan/atau risiko ling-kungan hidup.

Herman Hermit menjelaskan bahwa arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-pendekatan dalam pengaturan Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) wajib dijiwai oleh asas keadilan, sebagai-mana asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang lain.2

Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah,

Nuansa, Bandung, hlm. 2.

2 Herman Hermit, 2008, Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (Undang-Undang Nomor 26 Tahun

(5)

teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem ruang wilayah nasional secara keeluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkan- nya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang oleh siapapun tidak boleh bertentang-an dengbertentang-an rencbertentang-ana tata rubertentang-ang.

Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang merupa-kan suatu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi harus memerlukan suatu peraturan perundang-undangan yang serasi pula di antara peraturan pada tingkat tinggi sampai pada peraturan pada tingkat bawah sehingga terjadinya suatu koordinasi dalam penataan ruang.3 Pengendalian pemanfaat-an rupemanfaat-ang dilakukpemanfaat-an melalui sistem perizinpemanfaat-an pemanfaatan ruang, yang dimaksudkan sebagai upaya penertiban penataan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata

ruang, baik yang dilengkapi izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan atau sanksi pidana denda.4

Rustam Hakim (987) mengatakan bahwa, ruang umum pada dasarnya me-rupakan suatau wadah yang dapat menam-pung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut sifatnya, ruang publik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : 5 a. Ruang publik tertutup : adalah ruang

publik yang terdapat di dalam suatu bangunan.

b. Ruang publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space).

Pertumbuhan suatu wilayah khusus-nya di kota Yogyakarta dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan seperti perkem-bangan penduduk, kemajuan ilmu pengeta-huan, kegiatan ekonomi, perluasan jariangan komunikasi dan transportasi dan sebagai- nya. Aspek-aspek tersebut pastinya mem-bawa perubahan terhadap bentuk ruang di

wilayah baik secara isik maupun non-isik.

Perubahan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik akan berakibat pembangunan yang tidak terarah dan menimbulkan penurunan kualitas pemanfaatan ruang.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditentukan oleh pemerintah

3 Juniarso Ridwan, et. al., 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 26.

4 Muchsin, et. al., 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah & Penataan Ruang, Sinar Graika, Jakarta, hlm. 32.

(6)

setempat pada intinya merupakan paket kebijakan umum pengembangan daerah. Rencana tata ruang merupakan hasil peren-canaan wujud struktural dan pola peman-faatan ruang6. Berdasar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi pedoman untuk penyusun- an rencana pembangunan jangka panjang daerah, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar sektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis kota, dan penataan ruang kawasan strategis kota7.

Slamet Darwani dari WALHI men-jelaskan bahwa semestinya fungsi dari perangkat penataan ruang adalah bagaimana mampu menjaga keseimbangan ekologis sehingga dapat mencegah bencana-bencana ekologi seperti banjir, krisis air, dan pen-cemaran udara, sedangkan sebagaimana penjelasan sebelumnya perangkat yang paling penting setelah ekologis adalah fungsi sosial, fungsi sosial ini bermakna dimana terdapat ruang interaksi, rekreasi, relaksasi, sehingga terjadi hubungan interaksi antara satu individu dengan individu yang lainnya yang akan mencipatakan suatu keharmonisan. Padahal untuk menjaga situasi ekologi di perkotaan Menteri Dalam Negeri pada tahun

988 mengeluarkan instruksi MENDAGRI No 4 / 988 dimana di salah satu poinnya adalah setiap kota harus menyediakan ruang terbuka hijau hingga 40 sampai 60 persen. Sedangkan mirisnya di Kota Jakarta tahun 200 hanya terdapat 9 persen ruang terbuka hijau sehingga akhirnya itu menimbulkan bencana ekologis, dan krisis sosial tersendiri karena lingkungan sudah sangat sulit sekali untuk menjadi dinamis.

Menurutnya penataan ruang sangat mempengaruhi kesejahteraan disebabkan hal itu sangat berakibat pada kesejahteraan seluruh makhluk yang hidup didalamnya. Sebab bila penataan ruang tidak berjalan dengan baik dan maksimal maka akan menyebabkan potensi-potensi keamanan yang terganggu dan bencana ekologis seperti yang diutarakan sebelumnya.8

Ruang terbuka hijau memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:9

a. Fungsi umum:

) Tempat bermain dan berolah raga, tempat bersantai, tempat komuni-kasi sosial, tempat peralihan, tempat menunggu

2) Sebagai ruang terbuka, ruang ini berfungsi untuk mendapatkan udara segar dari alam.

3) Sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lain. 4) Sebagai pembatas atau jarak di

antara massa bangunan.

6 Pemerintah Kota Malang, “Rencana Tata Ruang dan Wilayah”, http://www.malangkota.go.id/pdf/Bahan_Web_

rtrw.pdf, diakses 29 Desember 2009. 7 Ibid.

8 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan”, http://www.penataanruang.net/taru/nspm/11/Bab1.pdf, diakses 8 Desember 2009.

(7)

b. Fungsi ekologis:

) Penyegaran udara, menyerap air hujan, pengendalian banjir, meme-lihara ekosistem tertentu.

2) Pelembut arsitektur bangunan. Adapun yang dimaksud ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.0

Pada hakekatnya lokasi pusat kegiatan ekonomi terdapat di kawasan-kawasan perkotaan. Untuk dapat mewujudkan

eisiensi pemanfaatan ruang sebagai tempat

berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya, maka kawasan perkotaan perlu dikelola secara optimal melalui penataan ruang.

Menurut Nurkholis Hidayat, tata ruang kota dan wilayah itu adalah suatu usaha pemegang kebijakan untuk menentukan visi ataupun arah dari kota yang menjadi tanggung jawab pemegang kekuasaan di wilayah tersebut.2

Maka dari itu, fungsi penataan ruang selain untuk menjaga keseimbangan eko-logis, juga bisa mempengaruhi kesejah-teraan masyarakat. Apalagi penataan ruang di lokasi pusat kegiatan ekonomi terdapat di kawasan-kawasan perkotaan. menurut Prof. Eko Budiharjo, apa yang disebut ruang publik (public space) adalah tempat warga

melakukan kontak sosial, pada lingkungan masyarakat tradisional selalu tersedia dalam berbagai ras. Mulai dari pekarangan, lapangan desa, lapangan di lingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-alun yang berskala kota.3

Dalam ketentuan pada pasal 28 Un-dang-Undang No. 26 Tahun 2009 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa Ke-tentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupen sebagaimana dimaksud pada Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat ():

a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau

b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan

c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.

PKL pada umumnya adalah self employed, artinya mayoritas PKL hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan dan modal kerja.4

0 Pasal angka 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan”, Loc.Cit.

2 Ibid.

3 Eko Budiharjo, 997, Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 29.

4 Th. Ahung M. Harsiwi, ”Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan PKL”,

(8)

Pengertian Pedagang kaki Lima lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.5

Kegiatan penataan bagi pedagang kaki lima merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah. Selain jumlahnya yang semakin banyak, keberadaan pedagang kaki lima sendiri dipengaruhi berbagai aspek terutama ekonomi. Problematika dalam penataan pedagang kaki lima adalah bahwa jumlah mereka yang sangat banyak dan memerlukan ruang yang cukup besar untuk kegiatannya6. Sementara itu ruang publik yang besar juga digunakan oleh pengguna lain untuk berkegiatan sehingga munculah

konlik antara kelompok pengguna ruang

publik tersebut. Belum lagi jika pemerintah setempat menggunakan ruang tersebut untuk dijadikan proyek pemerintah.

Pedagang kaki lima tidak mungkin dihilangkan dari kegiatan di ruang publik, keberadaannya merupakan pelengkap dari segala unsur kehidupan publik terutama di kawasan perdagangan. Hanya saja

dalam penataannya perlu ditempatkan berdampingan dengan ruang untuk kegiatan sirkulasi kawasan, yaitu pedestrian dan jalan dengan alternative membuat suatu ruang publik baru yang semua kegiatan publik berlangsung dengan tetap mengutamakan optimalisasi ruang bagi pejalan kaki.

Upaya penataan bagi pedagang kaki lima sering dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang keberadaan para pedagang. Tidak semua dari implementasi kebijakan tersebut bisa diterima oleh setiap pedagang. Banyak dari penertiban yang dilakukan pemerintah berakibat kekisruhan bahkan hilangnya nyawa. Diperlukannya komunikasi dan sosialisasi mengenai kebijakan serta penegakan hukum secara tegas untuk menerapkan kebijakan yang telah dibuat.

Pemerintah setempat pun harus menyadari betul akan keberadaan para pedagang informal dan melihat mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek dari kehidupan yang mendukung ruang publik bagi masyarakat luas. Fokus penataan bukan saja dilihat dari segi untung bagi pemerintah atau pedagang saja, namun dari kedua pihak yang juga melibatkan peng- guna dari kawasan ruang publik tersebut. Selain itu perlu diperhatikan pula ke-langsungan lingkungan hidup yang juga mendukung daya dari keberadaan pedagang kaki lima agar tujuan dari penataan ruang bisa tercapai secara menyeluruh. Memfokuskan

5 Veronica Kumurur, ”PKL dan Potensinya Mempercantik”, http://veronicakumurur.blogspot.com, diakses 27 Januari 2009.

(9)

penataan yang baik bagi pedagang kaki lima, pengguna area ruang publik, dan ke-langsungan lingkungan hidup merupakan hal yang perlu disadari oleh pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman akan maksud dari kebijakan dalam penataan di ruang publik khususnya yang digunakan oleh para pedagang kaki lima.

Penelitian ini khusus membahas mengenai pedagang kaki lima kuliner. Kuliner adalah hasil olahan yang berupa masakan.7

Dalam kaitannya dengan penataan ruang bagi PKL, retribusi yang dibebankan kepada para PKL adalah Retribusi Perizinan Tertentu. Walaupun dalam pelaksanaannya, retribusi yang diberlakukan biasanya berupa retribusi kebersihan atau retribusi lainnya tergantung kebijakan masing-masing di daerahnya.

2. keterkaitan Pemerintah Daerah dengan Pedagang kaki Lima (PkL) kuliner di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman

Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan sesuai Pasal 8 ayat (2) UUD 945 yang menegaskan “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan”. Bahkan dalam Pasal 8 ayat (5) ditegaskan lagi bahwa “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luas-nya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.

Laju pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang cukup tinggi menuntut adanya campur tangan dari pemerintah daerah. Terlebih ketika disadari bahwa keberadaan PKL memiliki pengaruh dan dampak terhadap lingkungan disekitarnya. Usaha kecil seperti PKL merupakan salah satu alternatif dalam menanggulangi peningkatan jumlah pengangguran, saat pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Namun disisi lain PKL yang berada di trotoar mengurangi hak-hak pejalan kaki dan sering menimbulkan kemacetan dan kesemrawutan.Walaupun tidak mengguna-kan jalan untuk berjualan tapi realitasnya PKL tidak dapat menyediakan tempat parkir. Selain itu PKL juga menghasilkan sampah dan limbah cair khususnya PKL makanan dan minuman.

Aturan-aturan otonomi daerah menge-nai PKL dibuat karena keberadaan PKL di Yogyakarta pada dasarnya hak masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Pedagang kaki lima sebagai individu warga masyarakat perlu diberi kesempatan untuk mengambangkan ekonomi sektor informal. Selain itu Aturan tersebut dibuat karena PKL juga mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara kebersihan, kerapihan dan ketertiban serta menghormati hak-hak pihak lain untuk mewujudkan program penataan ruang yang memenuhi aspek lingkungan, aspek

7 Melayu Online, “Kuliner Melayu”, http://melayuonline.com/ind/culture/dig/631, diakses 8 Januari 200. 8 Irene Sarwindaningrum, “Menjaga Ciri Mencegah Benalu Malioboro Paling Mendesak Ditata”, Kompas,

(10)

ekonomi, dan aspek hubungan sosial8. Dalam perkembangannya keberadaan pedagang kaki lima di kawasan perkotaan telah menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum yang pastinya menimbulkan gangguan ketentraman, ketertiban masya-rakat, kebersihan lingkungan, dan kelancaran lalu lintas sehingga perlu dilakukan pengaturan agar tercipta tertib sosial dan ketentraman masyarakat.

Aturan yang dibuat juga diperuntuk-kan dalam rangka peningkatan upaya perlindungan, pemberdayaan, pengendalian dan pembinaan terhadap PKL serta perlindungan terhadap hak-hak pihak lain di Kota Yogyakarta.

Keterkaitan antara pemerintah daerah dengan PKL berhubungan juga dengan adanya pembebanan penarikan retribusi dari pemerintah daerah terhadap para PKL yang menggunakan kawasan di daerah tersebut. Pembebanan penarikan retribusi digunakan untuk menerima segala kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pelayanan yang telah disediakan atau sengaja dibuat untuk itu.

a. Pemerintah kota Yogyakarta Dalam rangka penertiban dan penata-an PKL pemerintah Kota Yogyakarta mem-bentuk Tim Teknis yang khusus menangani PKL,terdiri dari Dinas Desprindagkoptan, Dinas Ketertiban, Dinas Kimpraswil, dan Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Tim Teknis ini memiliki kewenangan dalam penentuan program pemberdayaan dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menata sekaligus menertibkan PKL di Kota Yogyakarta.

PKL di Kota Yogyakarta diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 26 Tahun

2002 yang memuat mengenai lokasi, proses pengajuan izin, kewajiban dan hak.Menurut Pasal 2 ayat (2) Perda No. 26 Tahun 2002 lokasi pedagang kaki lima ditentukan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk. Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Peraturan Walikota (Perwal) No. 45 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda PKL yang kemudian diubah melalui Perwal No. 62 Tahun 2009 mencatumkan ruas jalan yang diperbolehkan dijadikan lokasi berjualan oleh PKL.

Menurut Kepala Seksi Bangunan Pelengkap Jalan Bidang Bina Marga Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta, Ibu Indiyah syarat utama diperbolehkannya ruas jalan dapat dipergunakan adalah ruas jalan tersebut memiliki trotoar minimal ,5 meter. PKL hanya diperbolehkan menggunakan 60 % (persen) dari lebar trotoar, dan wajib menyisakan trotoar untuk pejalan kaki.

Pemerintah Kota Yogyakarta juga berupaya menertibkan dan menata PKL kuliner dengan mengeluarkan aturan hukum

bagi PKL dan sertiikasi PKL makanan

atau minuman yang diatur dalam Peraturan Wali kota Yogyakarta No. 45 Tahun 2007 dan Peraturan Wali kota Yogyakarta No. 62 Tahun 2009, yaitu:

. Ukuran lokasi usaha

 Untuk lebar trotoar ,5-3 meter, lebar trotoar.

 Untuk lebar trotoar >3 meter, lebar tempat usaha maksimal 2 meter 2. Persyaratan untuk PKL makanan/

minuman:

 Memasang daftar harga

 Melampirkan surat keterangan

(11)

minuman kemasan yang terdaftar di BBPOM.

 PKL yang berlokasi di depan perguruan tinggi harus mendapat-kan persetujuan dari pipmpinan perguruan tinggi, menjalankan usaha di malam hari dan mendu-kung sebagai kawasan wisata kuliner.

3. Waktu kegiatan usaha:

 Aktivitas PKL dibagi dua kategori waktu, yakni antara pukul 06.00-8.00 dan pukul 06.00-8.00-04.00. Setiap PKL menjalankan usaha pada salah satu waktu tersebut.

 PKL yang berlokasi di depan toko, khususnya lesehan, hanya dapat menjalankan usaha pada pukul 2.00-04.00.

Terkait penataan pedagang kaki lima Peraturan Wali kota Yogyakarta No. 62 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 45 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, menyebutkan bahwa tidak semua ruas jalan yang trotoarnya dapat diizinkan untuk lokasi usaha. Dalam Peraturan Walikota tersebut disebutkan ruas-ruas yang trotoarnya dapat diizinkan untuk lokasi PKL. Untuk lebih lanjut, daftar ruas yang trotoarnya diizinkan untuk lokasi usaha PKL akan dilampirkan di lampiran pada laporan ini.

Kewenangan mengeluarkan surat izin berada di Kecamatan tempat PKL tersebut

berjualan. Izin PKL memiliki jangka waktu dan dapat diperpanjang. Menurut Perda PKL syarat-syarat yang perlu dipenuhi adalah: a. memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP

Kota/ Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) Kota Yogyakarta

b. membuat surat pernyataan belum memiliki tempat usaha.

c. membuat surat pernyataan kesang-gupan untuk menjaga ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi fasilitas umum. d. membuat surat pernyataan kesanggup-an untuk mengembalikkesanggup-an lokasi usaha apabila Pemerintah Daerah akan mempergunakan untuk kepentingan umum yang lebih luas tanpa syarat apapun.

e. mendapatkan persetujuan dari pemilik/ kuasa hak atas nagunan/ tanah yang berbatasan langsung dengan jalan, apabila berusaha di daerah milik jalan dan atau persil;

f. mendapatkan persetujuan dari pemilik/ pengelola fasilitas umum, apabila menggunkan fasilitas umum.

g. Melampirkan Sertiikat laik Sehat yang

masih berlaku dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dagi pedagang kaki-lima dengan jenis dagangan makanan dan minuman kecuali makanan dan minuman kemasan yang terdaftar di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM)9

(12)

Keseriusan Pemerintah Kota Yogya-karta terhadap pelanggaran tata tertib mau-pun izin yang telah diatur pada Peraturan Daerah maupun Peraturan Walikota Yogya-karta yang dilakukan oleh PKL tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus mengenai pelanggaran tata tertib oleh PKL yang diajukan sampai Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta dengan perkara tindak pidana ringan. Kasus yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Hal tersebut merupakan bukti dari keseriusan penataan PKL oleh Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap segala jenis pelanggaran yang telah diatur oleh PerDa maupun PerWal. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kasus PKL yang telah ditangani oleh Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta.

Berbagai upaya penetaan dan penertib-an Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut tidak lepas pada jumlah PKL di Kota Yogyakarta yang tidak dapat dikatakan sedikit, tersebar di seluruh kecamatan dengan konsentrasi di jalan-jalan utama dan terus mengalami pertumbuhan. Adapun pusat PKL makanan sebagian berada di kawasan Malioboro, baik yang berada di sisi barat maupun timur dengan jumlah sekitar 250 pedagang. Jumlah PKL makanan di kawasan tersebut mencapai 5 persen dari seluruh jumlah PKL yang berdagang di kawasan khusus. Keberadaan PKL makanan, khususnya lesehan dan angkringan, hingga kini menjadi bagian dari geliat kota yang banyak disinggahi wisatawan.20

Pengendalian jumlah dilakukan me- lalui program “zero growth”. Menurut keterangan Kepala Bidang Pengendalian Operasi Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, Drs. Supriyadi, S.H. pembatasan ini dilaku-kan selain karena jumlah ruas jalan di Kota Yoyakarta tidak mengalami pertambahan juga karena ruas jalan yang diperbolehkan telah padat oleh PKL. Program ini direalisasikan salah satunya dengan membatasi ruas jalan dengan kata lain Pemerintah Kota Yogyakarta tidak menam-bah jumlah ruas jalan yang diperbolehkan.

Seperti yang telah dikemukakan di atas kewenangan penataan PKL merupakan kewenangan Tim Teknis yang terdiri dari Dinas Desprindagkoptan, Dinas Ketertib-an, Dinas Kimpraswil, Badan Lingkungan Hidup dan Kecamatan. Kewenangan ma-sing-masing instansi sesuai dengan kapasitas dan kompetensi. Dinas Desperindagkoptan menangani program pengembangan PKL, memberikan penyuluhan dan pendamping-an pada PKL untuk menjalpendamping-ankpendamping-an usaha-nya. Terkait pola penaataan PKL Dinas Desperindagkoptan memberikan masukan mengenai penempatan PKL dari segi ekonomis. Dinas Ketertiban memiliki wewenang untuk mentertibkan PKL, baik melalui penertiban mufakat maupun penertiban langsung (yustisi). Drs. Supriyadi, S.H. menyatakan bahwa dua jenis

penertiban tersebut memiliki kualiikasi

pelanggaran yang berbeda. Dalam hal penertiban yustisi Dinas Ketertiban tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, perkara langsung dilimpahkan ke

(13)

pengadilan untuk dienentuankan beban dan besaran sanksinya.

Relasi antara Dinas Kimpraswil dan PKL adalah digunakannya fasilitas umum sebagai lokasi berdagang para PKL. Secara umum PKL menggunakan tortoar yang merupakan salah satu bagian dari bangunan pelengkap jalan. Selain itu PKL khususnya PKL makanan dan minuman menghasilkan limbah cair yang sering disalurkan ke saluran limbah dan / atau saluran air hujan yang juga merupakan fasilitas umum. Selain limbah PKL juga menghasilkan limbah padat yang berupa sampah. Mengenai sampah instansi yang berwenang adalah Badan lingkungan hidup berkerjasama dengan pihak kecamatan.

1) Pola Penataan PkL di kota Yogya-karta

Berdasarkan kebijakan yang diambil pola penataan PKL di kota Yogyakarta dibagi menjadi tiga:

a) Relokasi

Relokasi adalah memindahkan PKL dari sebuah lokasi ke lokasi lain yang dirasa lebih tepat. Salah satu relokasi di Kota Yogyakarta adalah relokasi pedagang barang bekas di Jln. Mangkubungi, Alun-alun Selatan, dan Kranggan ke Pakuncen di Kecamatan Wirobrajan. walaupun terjadi pro-kontra namun relokasi ini dapat dikata-kan berhasil. Pertimbangan Pemerin-tah menurut Bapak Agus dari Dinas Desperindagkoptan adalah karena adanya komplain dari persil (pemilik toko) yang berada di belakang PKL di lain sisi terdapat lahan kosong yang dapat difungsikan, bekas pasar hewan Pakuncen. Pemerintah tidak begitu

saja memindahkan PKL, Pemerintah Kota memberikan subsidi untuk jangka waktu tertentu dan mempromosikan tempat baru hasil relokasi.

b) Penataan di lokasi semula

Pola penataan pedagang yang telah berjualan, dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Seperti lebar trotoar yang dibatasi dan ketinggian tenda yang ditentukan tidak boleh melebihi ketinggian tertentu. Realisasi dari pola penataan ini adalah penyeragaman tenda dan gerobak dagangan. Salah satu contohnya adalah di Kawasan Malioboro.

c) Pemunduran dari lokasi semula Pola penataan ini memindahkan PKL tidak jauh dari tempat semula. Dapat dilaksanakan karena ketersediaan lahan yang cukup disekitar tempat berjualan semula. Salah satu contohnya adalah di Kecamatan Ngampilan. Ketiga pola penataan ini merupakan inisiatif pemerintah dengan persetujuan PKL. Dari ketiga bentuk pola penataan tersebut relokasi-lah yang banyak menim-bulkan permasalahan. PKL biasanya mengalami ketakutan tidak mendapatkan keuntungan sebesar yang telah diterima selama bertahun-tahun di tempat semula berdagang. Di sisi lain dalam poses ini Pemerintah Kota juga mengalami kesulitan dalam penyediaan lahan untuk relokasi, belum lagi penyediaan dana untuk pembangunan dan pemeliharaan.

(14)

besar PKL yang secara mandiri mengelola sampahnya. Selain itu masih banyak pula PKL yang menggunakan saluran air hujan sebagai pembuangan air limbah.

2) Retribusi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2002 Tentang Retribusi Kebersihan. Setiap PKL yang berada di kawasan Kota Yogyakarta diwajibkan untuk membayar retribusi kebersihan. Besarnya retribusi dibedakan antara PKL non-makanan dan PKL makan-an. Menurut peraturan tersebut perbedaan besar retribusi tergantung pembagian kelompok PKL yang telah ditentukan sesuai

kualiikasi dalam peraturan tersebut. Namun

dalam kenyataannya besarnya retribusi yang dibayarkan PKL kepada pemerintah berbeda dan bisa ditentukan lain tergantung kesepakatan antara PKL dengan pemerintah dalam hal ini para petugas yang berwenang. Kesepakatan itu bisa terjadi apabila PKL mengajukan keberatan dengan alasan penjualan yang didapatkan rendah atau pemasukannya sedikit.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para PKL, mereka sama sekali tidak keberat- an dengan pembayaran retribusi oleh peme-rintah hanya saja besar-kecilnya retribusi tersebut bisa dikompromikan berdasarkan ramai-tidaknya penjualan mereka per-bulan. Hal itu pun tidak dipermasalahkan oleh pemerintah/petugas yang berwenang karena mereka juga mengetahui tingkat ramai-tidaknya penjualan setiap PKL yang ada.

Dari sini bisa diketahui bahwa pe-narikan retribusi oleh pemerintah masih menimbang unsur kemanusiaan dan tidak menerapkan aturan secara kaku. Inilah salah satu hal yang menjadikan hubungan

akrab antara PKL dengan pemerintah. Sikap pemerintah yang tidak arogansi dan kaku membuat PKL nyaman dan merasa diperhatikan walau masih ada beberapa hal yang dirasa kurang.

PKL sendiri sadar akan penarikan retri- busi kebersihan karena mereka pun setiap hari dalam penjualannya pasti menghasilkan sampah. Penarikan retribusi kebersihan di kawasan Kota Yogyakarta dapat dikategori-kan lancar walau besar-kecilnya retribusi kebersihan tidak sesuai dengan peraturan yang ada melainkan atas kesepakatan PKL dengan petugas setempat yang diukur dari ramai-tidaknya penjualan PKL.

b. Pemerintah Daerah kabupaten Sleman

Di Kabupaten Sleman pengaturan mengenai PKL adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor Tahun 2004. Sesuai Perda setiap PKL wajib memiliki izin lokasi, namun pada kenyataannya sebagian besar PKL di kabupaten Sleman tidak memiliki izin. Menurut Bapak Aji Kepala Bidang Perencanaan Sosial ekonomi Bappeda Kabupaten Sleman sebenarnya PKL menyalahi aturan karena menurut UU tetang lalu lintas tidak boleh ada kegiatan di trotoar yang diperuntukkan untuk fasilitas umum. Oleh sebab itu pada kenyataannya pemerintah tidak menizinkan adanya usaha PKL yang mempergunakan fasilitas umum khususnya trotoar. Hal ini juga di ungkapkan oleh Ibu Wulan, Kepala Bidang Perekonomian Setda Kab. Sleman bahwa pemerintah daerah tidak dapat memberikan izin pada PKL yang menggunakan trotoar. 1) Pola Penataan PkL di kabupaten

Sleman

(15)

mengantongi izin adalah PKL berada di lokasi relokasi Pemerintah Daerah. PKL dibiarkan saja asal tidak menimbulkan gangguan di masyarakat, karena PKL merupakan salah satu solusi atas ketidakmampuan Pemerintah Daerah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dari wujud kebijakannya pola penataan di kabupaten Sleman ada dua:

a) Relokasi

Relokasi di Kabupaten Sleman selain karena kesemrawutan juga karena adanya pembangunan atas lokasi yang semula digunakan oleh PKL. Program relokasi di kabupaten Sleman kurang berhasil, karena lokasi relokasi tidak digunakan lagi untuk berjualan. PKL beralasan tempat relokasi kurang strategis. Namun saat akan diadakan pengalihan pra pemilik hak guna atas tempat relokasi tidak mau melepaskannya, bahkan ada yang diperjualbelikan seperti yang diungkapkan Ibu Wulan. Hal ini juga menimbulkan kerugian Pemda karena pembuatan dan pemeliharaan gedung tempat relokasi menelan biaya yang cukup besar. Sedangkan pemasukan dari PKL tidak sepadan.

b) Penataan di lokasi semula

Penataan di lokasi semula biasanya diserahkan pada pemilik tempat maupun komunitas. Seperti pengurus kampung lokasi dimana tempat para PKL berada. Pemerintah daerah terbatas pada penertiban ketika sehabis berjualan tenda tidak dibereskan dan mengganggu pengguna trotoar.

2) Retribusi

Dengan alasan yang sama yaitu menjaga kebersihan, PKL di kawasan

Sleman mengerti bahwa setiap kegiatannya pasti menghasilkan sampah. Penarikan uang retribusi kebersihan dibayarkan setiap bulan langsung ke petugas yang berwenang.

Penarikan retribusi oleh pemerintah daerah setempat dilakukan tidak menyelu- ruh atau hanya sebagian PKL yang menem-pati kawasan-kawasan tertentu. Besarnya jumlah penarikan di setiap PKL juga berbeda, tergantung kesepakatan antara petugas yang berwenang dan PKL yang didasarkan oleh ramai-tidaknya penjualan dari PKL.

3. Pola Penataan PkL yang Dapat Menunjang kinerja Ekonomi di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman Keberadaan PKL telah menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat, apalagi bagi wisatawan dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta. Daya tarik PKL tentu saja menarik minat bagi penjual lainnya untuk menjadi PKL. Hal tersebut berakibat pada berkembangnya PKL di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu usaha PKL yang semakin menjamur di Daerah Istimewa Yogyakarta sedikit banyak mempengaruhi perekonomian daerah.

(16)

1) Pemerintah kota Yogyakarta

Selama ini pemerintah kota memegang Kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata, Kota Pendidikan, untuk itu perlu adanya pengendalian PKL, agar Yogyakarta tidak menjadi Kota PKL. Menurut kepala Bidang Pol. PP Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, pengendalian tersebut dengan cara menekan tumbuhnya PKL (zero growth PKL) di kota Yogyakarta, karena saat ini PKL yang berada di Kota Yogyakarta sudah terlampau banyak, yaitu berkisar 6000 PKL.

Pada kawasan khusus Malioboro saja, berdasarkan pendataan Dinas Perindakop Kota Yogyakarta di tahun 2008, jumlah total PKL adalah .642. Jumlah tersebut dibagi dalam tiga kecamatan di kawasan Malioboro, yaitu Kecamatan Danurejan berjumlah 34 PKL, Kecamatan Gedong Tengen berjumlah 66 PKL, Kecamatan Gondomanan berjumlah 667 PKL.Dan total PKL di Kecamatan di Kota Yogyakarta yang terdata berjumlah 3.727 PKL.

Banyaknya jumlah PKL yang berada di Kota Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogya-karta kemudian memberikan perhatian da-lam bentuk pembinaan dan penataan bagi PKL. PKL yang perlu dibina adalah PKL yang tidak tahu tata tertib sesuai Perwal No. 62 Tahun 2009 jo. Perwal No. 45 Tahun 2007 tentang Penertiban Pedagang Kaki Lima di Yogyakarta, misalnya PKL yang berda-gang di kawasan titik nol, dimana kawasan tersebut harus bebas dari PKL, PKL seperti ini bisa dilakukan pembinaan. Pembinaan PKL tersebut terkait dengan penataan PKL agar PKL dapat menjadi daya tarik wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak me- nimbulkan kerugian bagi pihak lain, seperti masyarakat pengguna jalan. Oleh karena itu,

menurut Kepala Seksi Bangunan Pelengkap Jalan, Bidang Bina Marga, Dinas Kimpras-wil, Ibu Indiah, bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta berupaya untuk menyediakan tempat bagi para PKL. Tempat-tempat yang diperbolehkan untuk berjualan bagi para PKL, antara lain ruang publik berupa trotoar, terminal, kawasan wisata.

Selain dapat menjadi daya tarik wisata, keberadaan PKL diakui pemerintah kota dapat menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu, dapat meringankan beban pemerintah kota dalam mengurangi pengangguran. Maka dari itu, pemerintah kota serius dalam melakukan pembinaan dengan cara memberlakukan izin bagi PKL yang ingin berdagang. Izin yang dimaksud adalah ijin yang dikeluarkan oleh tiap Kecamatan setelah mendapat persetujuan warga yang akan ditempati oleh para PKL, serta izin dari RT dan RW setempat. Biasanya, bukan persetujuan tetapi PKL hanya memberitahu saja pada warga kalau dia akan menempati wilayah tersebut untuk usahanya.

(17)

Retribusi bagi PKL makanan dan minuman diatur oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2002 tentang Retribusi Kebersihan. Dalam Perda tersebut mengatur mengenai pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat atas jasa penyelenggaraan pelayanan kebersihan. Mengenai struktur dan besarnya tarif retribusi pun beragam, diatur pada Pasal 8, Bab IV Struktur dan Besarnya Tarif, Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2002 tentang Retribusi Kebersihan. Untuk PKL makanan dibagi tiga (3) jenis wajib retribusi, yaitu PKL makanan kelompok A besar retribusi Rp 9000,00/bulan, kelompok B besar retribusi Rp. 7.500,00/bulan, kelompok C besar retribusi Rp. 4.500,00/bulan.2

Pendapatan daerah lebih bisa dirasakan ketika PKL menjadi daya tarik bagi wisatawan dari luar daerah untuk datang ke Kota Yogyakarta. Maka dari itu, pemerintah kota rela untuk mengeluarkan dana yang cukup besar bagi PKL untuk penataannya, seperti misalnya di kawasan Malioboro, PKL dibangun tempat air limbah sisa hasil usaha PKL yang keseluruhan pengelolaan-nya ada pada pemerintah kota.

Bagi PKL kuliner sendiri, retribusi bukan merupakan beban bagi mereka. Karena besar retribusi yang dibebankan sebanding dengan apa yang mereka peroleh dari Pemerintah Kota. Misalnya saja Peme-rintah Kota menyediakan fasilitas saluran air limbah bagi sisa usaha PKL makanan dan minuman di wilayah Malioboro, menyediakan tempat pembuangan sampah

sementara bagi PKL. Selain itu, retribusi yang dikenakan bagi para PKL, besarnya masih dianggap wajar dan sisanya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mengingat banyaknya minat konsumen untuk mendatangi PKL kuliner di Kota Yogyakarta, retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta tidak menjadi beban lagi bagi PKL kuliner. Mereka merasa masih sanggup membayar retribusi yang diwajibkan pada para PKL untuk membayarnya tiap bulan. Bahkan jarang ditemukan kasus PKL kuliner yang dikenai sanksi karena tidak membayar retribusi. Selain terjangkaunya retribusi yang dibebankan pada para PKL kuliner, keberadaan paguyuban PKL juga membantu. Paguyuban seperti suatu organisasi yang juga mempunyai struktur kepengurusan yang diatur oleh anggota dari paguyuban itu sendiri, yaitu PKL. Struktur kepengurusan tersebut yang mengurus tata tertib anggota paguyubannya agar selalu tertib, terutama dalam masalah retribusi.

2) Pemerintah Daerah kabupaten Sleman

Menurut Ibu Wulan, Setda Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Sleman, pemerintah kabupaten selama ini tidak pernah mengeluarkan izin bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk berjualan, hal ini dikarenakan untuk mencegah timbulnya PKL baru. Terkait ijin yang tertuang pada Perda No. Tahun 2004 tentang Pedagang Kaki Lima, pemerintah daerah hanya mengeluarkan izin untuk PKL yang berdagang di daerah relokasi yang sudah di sediakan oleh pemerintah daerah,

(18)

yaitu di Mrican, Manggung, dan Terminal Condong Catur (di Taman Kuliner). Hal itu berarti PKL di luar daerah yang ditentukan yaitu daerah relokasi, kegiatan PKL merupakan kegiatan informal.

Di kabupaten Sleman, PKL yang belum mendapatkan izin, tetap bisa menjalankan usahanya. Alasan pemerintah daerah tetap mengizinkan PKL berdagang tanpa ijin, adalah rasa kemanusiaan dan kesadaran dari pemerintah daerah sendiri bahwa pemerintah daerah belum bisa membuka lapangan pekerjaan yang banyak sehingga dapat menyerap pengangguran. Jadi, usaha PKL ini diharapkan bisa menyerap tenaga kerja di Kabupaten Sleman. Walaupun tidak ber-ijin, namun PKL di Kabupaten Sleman tetap harus mematuhi tata tertib yang diber-lakukan oleh pemerintah daerah dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

Karena tidak berijin, maka pemerintah daerah tidak menarik retribusi bagi para PKL. Kewenangan untuk menarik retribusi untuk saat ini ada pada lahan masyarakat dan pemrakarsa tempat (misal: PKL di kawasan UGM yang menarik retribusi adalah pihak UGM sendiri). Pemerintah daerah hanya menarik retribusi pada Pasar Pemda dalam radius 500 meter. Hal ini berarti bahwa Pemerintah Daerah belum mendapat pendapatan atau pemasukan kas daerah dari para PKL. Pemerintah Daerah hanya sebatas mempersilahkan usaha PKL dengan tidak mengganggu kepentingan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

Bagi PKL yang tidak berizin, hal tersebut menjadi lebih mudah karena PKL tidak diharuskan membayar retribusi

kepada pemerintah daerah, beban retribusi hanya sebatas kepada pemilik wilayah yang ditempati tersebut. Sehingga pemasukan dari hasil penjualan untuk kepentingan sehari-hari menjadi lebih banyak.

Namun, bagi PKL yang berada di tempat relokasi, mereka mengaku senang dengan tempat relokasi. Selain karena sudah berizin, tempat untuk berjualan yang sudah disediakan oleh pemerintah daerha pun nyaman. Menurut salah satu pengakuan PKL di Taman Kuliner, di tempat relokasi tersebut memang cenderung sepi. Maka dari itu untuk penarikan biaya retribusi, pemerintah daerah memberlakukan kebijakan retribusi yang dapat dicicil untuk bulan berikutnya, sehingga biaya retribusi yang mencapa Rp 75.000,00 per bulan tidak harus di bayar pada bulan itu juga. Menurut Ibu Wulan, hal tersebut dilakukan agar PKL dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari dahulu.

E. kesimpulan

Berdasarkan analisa dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pola penataan PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota di DIY adalah dengan membuat

kebijakan mengenai kualiikasi pola

(19)

DAFTAR PUSTAkA

A. Buku.

Budiharjo, Eko, 997, Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung.

Hermit, Herman, 2008, Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 00), Mandar Maju, Bandung. Muchsin, et. al., 2008, Aspek Kebijaksanaan

Hukum Penatagunaan Tanah & Pena-taan Ruang, Sinar Graika, Jakarta.

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung.

Ridwan, Juniarso, et. al., 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Penerbit Nuansa, Bandung.

B. Artikel Internet.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, “Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan”, http:// www.penataanruang.net/taru/nspm/11/ Bab1.pdf, diakses 8 Desember 2009. Kumurur, Veronica, ”PKL dan

Potensi-nya Mempercantik”, http://veronica-kumurur.blogspot.com, diakses 27 Januari 2009.

Melayu Online, “Kuliner Melayu”, http:// melayuonline.com/ind/culture/dig/631, diakses 8 Januari 200.

Pemerintah Kota Malang, “Rencana Tata Ruang dan Wilayah”, http://www. malangkota.go.id/pdf/Bahan_Web_

rtrw.pdf, diakses 29 Desember 2009. Sarwindaningrum, Irene, “Menjaga Ciri

Mencegah Benalu Malioboro Paling Mendesak Ditata”, Kompas, 9 Januari 200.

Sarwindaningrum, Irene, “PKL Makanan, Sisi Lain Daya Tarik Kota Yogyakarta”, Kompas, 9 Januari 200.

Siahaan, Febe Riyanti, “Penataan Ruang Publik untuk Menampung Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus: Daerah Komersil Blok M, Jakarta Selatan)”, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod= browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-feberiyant-881, diakses 8 Desember 2009.

Studiyanto, Anung B., “Ruang Publik”, http://masanung.staff.uns.ac.id, diakses 5 Januari 200.

Th. Ahung M. Harsiwi, ”Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan PKL”, http://id.shvoong.com/social-sciences, diakses 27 Januari 2009.

C. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor

2 Tahun 2002 tentang Kebersihan. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor

26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Glokalisasi yang dilakukan JHF ini sesuai dengan pernyataan Thomas Friedman, bahwa budaya lokal mampu menyerap budaya global, untuk memperkaya merekas dan menolak

1) Pada sesi pertama, dimulai dengan pertemuan pertama di dalam kelas B3 yang pada saat itu mereka baru saja selesai jam mata kuliah Psikologi Dakwah. Sebelumnya

Setelah melewati langkah langkah sebelumnya, yaitu pada proses visi serta proses pengembangan data data yang inti, maka bagian pertama yang dilakukan adalah membuat desain

Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah Dan Iklim Sekolah Terhadap Produktifitas Kerja Guru PAI di MTs Se KKM 1 Ciparay Kabupaten Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia

Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut diperoleh adanya hasil yang memuaskan terhadap penerapan model pembelajaran kontekstual berbantuan media video sebagai

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa fungsi bintang terdapat tiga menurut periwayatan, yakni sebagai navigasi atau arah petunjuk perjalanan dalam ilmu pengetahuan

[r]

a All requested