• Tidak ada hasil yang ditemukan

roadmap diversifikasi pangan 2011 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "roadmap diversifikasi pangan 2011 2015"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DIVERSIFIKASI PANGAN

TAHUN 2011 - 2015

ROADMAP

© Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

Tahun 2012

Foto:

Dokumentasi Badan Ketahanan Pangan

Desain:

Penebar Art

Penerbit: Kementerian Pertanian

Kantor Pusat Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No.3, Ragunan-Jakarta 12550, INDONESIA

Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Ketahanan pangan adalah suatu

kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup,

(3)
(4)
(5)

DAFTAR TABEL

(6)
(7)
(8)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Buku Roadmap Diversiikasi Pangan 2011-2015 ini

disusun sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan

percepatan diversiikasi atau penganekaragaman

konsumsi pangan. Diversiikasi pangan merupakan

salah satu prioritas dari empat target sukses pertanian,

karena itu program atau gerakan percepatan diversiikasi

konsumsi pangan harus dilaksanakan secara terstruktur

dan terukur, dengan kegiatan, sasaran, dan ukuran kinerja yang jelas.

Roadmap ini merupakan penjabaran dari Peraturan Presiden (Perpres) No.

22 Tahun 2009. Dalam Perpres tersebut disebutkan dua sasaran dari upaya

diversiikasi pangan yaitu: (1) memasyarakatkan pola konsumsi pangan yang

beragam, bergizi, seimbang dan aman, serta, (2) mengurangi konsumsi beras/

kapita 1,5% per tahun. Saya meyakini bahwa program diversiikasi konsumsi

pangan ini hanya akan berhasil apabila semua pemangku kepentingan aktif

mendukung pelaksanaan program ini.

Perjalanan panjang upaya pelaksanaan diversiikasi pangan di Indonesia telah

mengalami pasang surut dari masa ke masa. Namun demikian, upaya tersebut

sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, bahkan konsumsi

(9)

yang cukup merisaukan secara perlahan beralih ke makanan yang bahan bakunya

tidak diproduksi di Indonesia pada saat ini, yaitu terigu.

Di sisi lain sebenarnya banyak tersedia makanan sumber karbohidrat berasal

dari pangan lokal seperti ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas, ganyong), sukun,

jagung dan pisang. Makanan-makanan sumber karbohidrat tersebut posisinya

di masyarakat dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan nasi, sehingga

muncul pameo kalau belum makan nasi dianggap belum makan. Kita akan terus

berupaya mengubah sikap masyarakat tersebut, agar di masa datang lebih

berminat untuk mengonsumsi makanan sumber karbohidrat dari bahan baku

lokal. Untuk itu, tentunya makanan tersebut harus beragam, bergizi seimbang

serta aman dikonsumsi untuk mendukung seseorang hidup sehat, aktif, dan

produktif. Untuk mencapai hal tersebut, kegiatan utama diversiikasi pangan pada

dasarnya berupa: (1) promosi dan sosialisasi pola konsumsi pangan beragam,

bergizi seimbang dan aman, (2) pemanfaatan lahan pekarangan dengan pola

pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), dan pengembangan

olahan pangan berbasis pangan lokal.

Saya berharap buku ini dapat dijadikan acuan oleh seluruh pemangku

kepentingan dalam implementasi kebijakan percepatan penganekaragaman

konsumsi pangan.

Menteri Pertanian RI

(10)

Diversiikasi atau penganekaragaman pangan

merupakan salah satu kunci sukses pembangunan

pertanian sebagaimana tertuang dalam Rencana

Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.

Upaya peningkatan diversiikasi pangan dimaksudkan

untuk meningkatkan ketersediaan dan konsumsi

pangan yang beragam dan bergizi seimbang, dan

menghindari ketergantungan pada 1 jenis pangan pangan pokok seperti beras.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati kedua

terbesar, dengan 77 spesies tanaman sumber karbohidrat seperti serealia

(jagung, sorghum, hotong, jali, jawawut dll), ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas,

sagu, ganyong, garut, gembili, gadung dll), dan buah (sukun, pisang, labu kuning,

buah bakau, dll). Pangan sumber karbohidrat tersebut tersedia dan tumbuh

subur di seluruh Indonesia, dan secara tradisional dikonsumsi sebagai pangan

pokok maupun kudapan.

Dengan kecenderungan bergesernya budaya makan masyarakat ke arah

makanan instan, maka ketersediaan pangan lokal harus diupayakan mengikuti

trend permintaan konsumen dan tersedia di pasar serta mudah dijangkau secara

isik maupun ekonomi (murah). Tujuan yang diinginkan adalah meningkatkan

(11)

kualitas konsumsi pangan masyarakat ke arah pangan yang beragam dan bergizi

seimbang serta aman, berbasis sumberdaya lokal, untuk hidup sehat, aktif dan

produktif.

Upaya peningkatan diversiikasi pangan memerlukan dukungan dan sinergi

kegiatan lintas sektor serta peran aktif para pemangku kepentingan termasuk

pembuat kebijakan, pelaku usaha, peneliti dan para pihak yang peduli terhadap

ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal dan pengembangan sumber daya

manusia Indonesia yang berkualitas.

Pada akhirnya saya mengharapkan dukungan dari semua stakeholder terkait untuk

secara bersama-sama menyukseskan upaya peningkatan diversiikasi pangan

dengan mengutamakan pangan-pangan lokal sumber karbohidrat, sumber

protein, sumber vitamin dan mineral yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Kepala Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian

(12)

T

ingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu penyebab masih

rendahnya kualitas konsumsi pangan nasional, yang belum

beragam dan bergizi seimbang yang diindikasikan oleh skor Pola

Pangan Harapan. Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian

sebesar 996 kkal/kap/hari atau mencapai 80.6 persen terhadap total energi

padi-padian (1.236 kkal/kap/hr) pada tahun 2011.

Beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak

hanya telah membudaya dalam pola konsumsi pangan masyarakat namun juga

dianggap memiliki citra pangan yang lebih baik dari sisi sosial. Sementara komoditi

sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di

masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi

dan teknologi serta sebagai ekses dari kebijakan pemerintah berupa program

penyaluran beras bagi keluarga miskin atau RASKIN.

Sementara keberagaman jenis pangan dan keseimbangan gizi dalam pola

konsumsi pangan dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Dengan memperhatikan pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang masih

belum sesuai harapan tersebut, maka penganekaragaman konsumsi pangan

Ringkasan

(13)

atau diversiikasi konsumsi pangan menjadi penting untuk

dilaksanakan guna menciptakan generasi sumber daya

manusia yang lebih berkualitas dan berdaya saing.

Untuk mencapai kualitas konsumsi pangan yang lebih baik,

perlu ditingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani,

kacang-kacangan, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan

buah atau dikenal sebagai penganekaragaman konsumsi

secara horizontal. Selain itu, peningkatan kualitas konsumsi

pangan juga dapat dicapai melalui penganekaragaman

vertikal yaitu konsumsi aneka ragam jenis pangan sumber

karbohidrat dan olahannya (jenis padi-padian: jagung dan

olahannya, hotong, sorghum, biji jali, dan jenis padi-padian

lainnya), aneka pangan sumber protein dan olahannya

(aneka pangan hewani dan aneka kacang-kacangan), serta

aneka pangan sumber vitamin dan olahannya (beragam jenis

sayur dan buah-buahan). Dengan demikian, peningkatan

konsumsi kelompok pangan sumber tenaga, pembangun

dan pengatur perlu diiringi dengan penurunan konsumsi

beras.

Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden

No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber

Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman konsumsi

pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau khas

daerah. Hal ini agar diartikan bahwa pengurangan konsumsi

beras tidak dapat digantikan dengan konsumsi gandum/

terigu yang hampir seluruhnya diimpor. Sementara

konsumsi umbi-umbian bukan hanya sebagai pangan

pilihan pengganti padi-padian namun juga sebagai pangan

(14)

berpati (starchy foods) yang banyak mengandung serat dan dibutuhkan tubuh

untuk dikonsumsi setiap hari, seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, labu

kuning, dan sukun.

Upaya diversiiikasi konsumsi pangan tentunya akan menghadapi berbagai

tantangan seperti laju pertumbuhan penduduk yang harus disertai dengan

ketersediaan pangan yang memenuhi gizi. Dari aspek psikologis, modernisasi

dalam kehidupan masyarakat tanpa disadari menggerus pola konsumsi

masyarakat dari mengonsumsi pangan lokal kepada pangan yang instan. Situasi

pergeseran pola konsumsi pangan masyarakat ini disebabkan oleh banyak hal

seperti masih kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konsumsi pangan

beragam, bergizi seimbang dan masih aman. Sebagian masyarakat masih

memiliki prinsip “asal kenyang”. Di sisi lain, untuk mempercepat proses adaptasi

masyarakat kembali kepada pangan lokal diperlukan pengembangan teknologi

tepat guna baik untuk memproduksi maupun mengolah bahan pangan terutama

pangan lokal non beras. Melalui teknologi tepat guna dapat ditingkatkan nilai

tambah dan nilai sosial dari pangan lokal selain beras. Saat ini ketersediaan dan

akses terhadap teknologi semacam itu diindikasikan relatif rendah.

Dengan semakin disadarinya bahwa diversiikasi konsumsi pangan merupakan

suatu tuntutan yang penting untuk dilaksanakan melalui suatu gerakan

percepatan diversiikasi konsumsi pangan secara terkoordinasi dan sinergi antar

kebijakan di tingkat pusat lintas sektor dan daerah serta dukungan partisipasi

aktif pihak swasta dan masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk program dan

kegiatan sesuai kewenangan masing-masing namun saling mendukung, termasuk

pengembangan program-program percepatan pengurangan kemiskinan.

Berbagai kegiatan pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dalam rangka

percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Kegiatan promosi/kampanye

dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, poster, baliho, lealet, komik dan

(15)

edaran tentang upaya penganekaragaman konsumsi berbasis sumber daya lokal.

Pengenalan masyarakat terhadap menu pilihan pengganti beras dan terigu baik

sebagai pangan pokok maupun kudapan, dilakukan dengan melibatkan para ahli

teknologi pangan dari perguruan tinggi dan Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Di samping itu upaya peningkatan kualitas konsumsi pangan dilakukan

melalui upaya pemberdayaan kelompok wanita untuk mengoptimalkan

pemanfaatan pekarangan dengan menanam sayur dan buah serta budidaya ternak

kecil melalui pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari.

Sawut Singkong Kuning Lengkap

(16)

Keladi Isi Ubi Ungu

Kentang Golong Lengkap

(17)

Nasi Jagung Campur

(18)

A. Latar Belakang

Membangun ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara

pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketahanan pangan dimaksud adalah

kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan

dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,

aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu

kunci sukses Kementerian Pertanian adalah peningkatan diversiikasi pangan

untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok tertentu.

Hal ini didasari oleh pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang masih

belum beragam, bergizi seimbang, dan aman serta masih didominasi oleh beras.

Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 996 kkal/kap/

hari atau mencapai 80,6 persen terhadap total energi padi-padian (1.236 kkal/

kap/hr) pada tahun 2011. Di samping itu, rendahnya konsumsi pangan hewani,

sayuran, buah dan aneka kacang menyebabkan kualitas konsumsi pangan

masyarakat masih rendah yang diindikasikan dengan skor Pola Pangan Harapan

(PPH) 77,3 tahun 2011 atau masih di bawah PPH yang ideal sebesar 100.

Keberagaman jenis pangan dan keseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan

dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Penganekaragaman

pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang

beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.

pendahuluan

(19)

Penganekaragaman konsumsi pangan atau diversiikasi

pangan harus dilaksanakan guna menciptakan sumber daya

manusia yang lebih berkualitas dan berdaya saing. Data Human

Development Reports UNDP (United Nations Development

Programme) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

2011, mengindikasikan bahwa Indonesia dikategorikan ke

dalam Medium Human Development dan menduduki peringkat

124 dari 187 negara, sementara Singapura peringkat 26, Brunei

Darussalam peringkat 33, Malaysia peringkat 61, Thailand

peringkat 103 dan Vietnam peringkat 128.

Selain itu, masih banyak tantangan yang akan dihadapi dalam

pemenuhan kebutuhan pangan di masa mendatang, baik

secara nasional, regional bahkan internasional, seperti laju

pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi di

berbagai belahan dunia, serta isu perubahan iklim. Sementara,

sumber daya alam (lahan dan air) semakin terbatas, sebagai

akibat dari konversi lahan pertanian ke non pertanian,

meluasnya wilayah gurun atau penggurunan (desertiication),

serta konversi bahan pangan menjadi bahan bakar.

Meroketnya harga pangan dunia pada tahun 2007 dan

2008 merupakan satu contoh nyata dari distorsi terhadap

keseimbangan antara pasokan dan permintaan pangan

dunia. Oleh karena itu, berbagai upaya (dari sisi pasokan dan

permintaan) perlu dilakukan untuk menghadapi berbagai

tantangan itu, salah satunya adalah optimalisasi pemanfaatan

sumber hayati (nabati dan hewani) yang tersedia melalui

peningkatan teknologi mulai dari budidaya, penanganan

pasca panen hingga pendistribusian serta penumbuhan

kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal

Perkembangan Pola pokok sudah bergeser luar biasa yaitu konsumsi beras menjadi 81,1%, sedangkan konsumsi ubi kayu 10,02% dan jagung 7,82%. hanya sebesar 3,1% dan ubi kayu 8,83%

Tahun 2010:

(20)

yang mampu berkontribusi terhadap pola makan yang beragam dan bergizi

seimbang, sekaligus dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap

pangan pokok tertentu.

Peran industri dan swasta dalam pengembangan pangan lokal untuk mendukung

diversiikasi pangan masih harus ditingkatkan. Pada umumnya industri yang

bergerak di bidang pangan masih mengandalkan terigu sebagai bahan baku

utama meskipun sudah dikembangkan tepung pengganti terigu yang berbasis

sumber daya lokal seperti ubi kayu, dan banyak sumber karbohidrat dari jenis

Perkembangan Kebijakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Tahun 1960 Program Perbaikan Menu Makanan Rakyat

Tahun 1969 Pemerintah mempopulerkan slogan “Pangan Bukan Hanya Beras” dengan tujuan untuk memanfaatkan bahan pangan lokal, maka diperkenalkan Beras Tekad dari singkong untuk mengganti beras.

Tahun 1974 Pencanangan kebijakan diversiikasi pangan (INPRES Nomor 14 Tahun 1974) tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat disempurnakan dengan Inpres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Menganekaragamkan Jenis Pangan dan Meningkatkan Mutu Gizi Makanan Rakyat.

Tahun 1993-1998

Program Diversiikasi Pangan dan Gizi dilaksanakan oleh Departemen Pertanian.

Tahun 1989 Dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dengan Program “Aku Cinta Makanan Indonesia”.

Tahun 1996 Undang-undang No. 7 Tentang Pangan

Tahun 2002 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tentang Ketahanan Pangan

Tahun 2009 Peraturan Presiden RI No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal.

Tahun 2009 Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/ OT.140/10/2009, Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP).

Tahun 2009 Undang-Undang No. 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Tahun 2010 Peraturan Menteri Pertanian No.65/Permentan/ OT.140/12/2010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Tahun 2010 Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembangunan yang berkeadilan

Kementerian PPN/Bappenas bertanggung jawab dalam Penyusunan Rencana Aksi Š

Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015

Pemerintah Provinsi melalui Gubernur diinstruksikan untuk menyusun Rencana Š

Aksi Daerah Pangan dan Gizi (atau disingkat RAD-PG) pada Tahun 2011

Tahun 2010 Undang-Undang No. 13 tentang Hortikultura

(21)

umbi-umbian termasuk sagu dapat dijadikan bahan pangan

pokok masyarakat kedepan. Berkembangnya teknologi

pangan dan inovasi-inovasi yang telah dilakukan oleh Badan

Litbang Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan

perguruan tinggi telah banyak menghasilkan paket teknologi

pangan yang berbasis kearifan lokal, menjadi produk pangan

yang dapat dikomersilkan.

Hal tersebut juga diungkapkan Presiden pada Konferensi

Dewan Ketahanan Pangan tahun 2012 dan Sidang Kabinet

Terbatas dalam Safari Ramadhan Bidang Pangan di

Kementerian Pertanian yang mengamanatkan perlunya

koordinasi dan sinergi kegiatan penelitian dan pengembangan

pengolahan pangan dengan sektor industri, agar penelitian

dapat dirasakan masyarakat khususnya dalam mendukung

program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

(P2KP) yang selama ini belum masuk dalam mainstream

pembangunan industri pangan Indonesia, sehingga perlu

dilaksanakan kegiatan kerjasama antara pemerintah dan

swasta dalam pengembangan diversiikasi pangan.

Efektivitas pangan percepatan penganekaragaman konsumsi

pangan akan tercapai apabila didukung dan berjalan seiring

dengan pengembangan bisnis pangan dan industri pangan

lokal. Kondisi ini menuntut komitmen yang tinggi dari

berbagai pihak serta memerlukan rencana bisnis dan industri

aneka ragam pangan yang komprehensif. Rencana bisnis dan

industri aneka ragam pangan tersebut perlu dikembangkan

untuk pemantapan pelaksanaan penganekaragaman

konsumsi pangan di berbagai daerah. Dalam rencana tersebut,

diperlukan komitmen yang kuat dari para pelaku usaha baik di

Manfaat terciptanya

hidup sehat, aktif dan

(22)

Mengapa Penganekaragaman Pangan Penting

Pola konsumsi pangan masyarakat belum beragam, bergizi seimbang,

V

dan aman, serta masih didominasi oleh beras dan terigu.

Pemanfaatan pangan lokal khususnya sumber karbohidrat belum

V

optimal.

Total permintaan kebutuhan beras terus meningkat sejalan dengan

V

pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (1,49%/tahun).

Semakin nyata dampak perubahan iklim global yang dapat

V

mempengaruhi kapasitas produksi pangan domestik dan global.

Percepatan peningkatan status gizi perlu segera dilakukan, karena

V

sifat masalah gizi yang jelas terlihat masih cukup berat.

tingkat nasional maupun daerah untuk menyukseskan pengembangan industri

aneka ragam pangan berbasis sumber daya lokal.

Dampak Perubahan Iklim Global

Saat ini dunia sedang menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan

dengan adanya krisis global ditambah dengan isu perubahan iklim yang semakin

dirasakan. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan

Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang atau 11,96 persen, berkurang 890 ribu

orang atau 0,53 persen dibanding dengan penduduk miskin pada bulan yang

sama tahun 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Patut diwaspadai

perubahan iklim dapat meyebabkan meningkatnya kerentanan masyarakat

yang hidup dibawah garis kemiskinan dan tidak memiliki kapasitas cukup dalam

menghadapi dampak perubahan iklim.

Adanya perubahan iklim global tersebut memberikan dampak pada penurunan

kapasitas produksi pangan. Di satu sisi sebagian besar negara produsen justru

cenderung mengamankan produksi pangannya untuk memenuhi kebutuhan

(23)

salah satunya melalui gerakan diversiikasi pangan berbasis sumber daya lokal

sebagaimana dituangkan di dalam buku Roadmap ini.

Roadmap Diversiikasi Pangan tahun 2011 – 2015 menginformasikan situasi pola

konsumsi pangan saat ini baik di tingkat nasional maupun wilayah, tantangan

dan peluang, kebijakan, strategi dan pelaksanaan program diversiikasi pangan,

keterlibatan swasta dan pemangku kepentingan dalam menyukseskan program

diversikasi pangan.

B. Maksud dan Tujuan

Roadmap Diversiikasi Pangan tahun 2011 – 2015 ini merupakan acuan bagi

pemangku kepentingan dalam upaya meningkatkan diversiikasi pangan secara

lebih terintegrasi, sinergis, efektif, dan eisien untuk meningkatkan keragaman

dan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Dari sisi konsumsi merupakan upaya membudayakan pola konsumsi V

pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk mendukung

hidup sehat, aktif, dan produktif;

Dari sisi pengembangan bisnis pangan memberi dorongan dan insentif V

pada rantai bisnis pangan yang lebih beragam dan aman yang berbasis

sumber daya lokal;

Pada sisi produksi mendorong pengembangan berbagai ragam V

produksi pangan, dan menumbuhkan beragam usaha pengolahan

pangan (rumah tangga, UMKM, swasta);

Dari sisi kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan V

nasional terhadap pangan impor, dan secara mikro mengurangi

ketergantungan konsumen pada satu jenis pangan tertentu, serta

mendorong setiap wilayah untuk mengoptimalkan potensi sumber daya

pangan setempat dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk;

Dari sisi swasembada akan lebih menjamin dicapainya swasembada V

(24)

A. Kondisi Umum

1. Kondisi Gizi Masyarakat

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, secara nasional

prevalensi kurang gizi pada balita (berat badan menurut umur) sebesar 17,9

persen, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007 sebesar 18,4 persen.

Hal yang sama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun

2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010 dan prevalensi pendek pada balita adalah

35,6 persen tahun 2010, menurun dari 36,7 persen pada tahun 2007. Penurunan

juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita sangat kurus

menurun dari 13,6 persen tahun 2007 menjadi 13,3 persen tahun 2010.

Gambar 1. Status Gizi Balita di Indonesia

Kondisi Pola &

konsumsi Pangan

Saat ini

(25)

Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita,

tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang

memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Untuk

prevalensi pendek pada balita masih ada 15 provinsi yang memiliki prevalensi

diatas prevalensi nasional, dan untuk prevalensi anak kurus teridentiikasi 19

provinsi yang memiliki prevalensi di atas prevalensi nasional.

Sumber: Riskesdas, 2010. Gambar 2.

Prevalensi Balita Gizi Kurang di Indonesia Tahun 2010

Disamping itu, data yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi

(RAN-PG) juga menggambarkan kondisi yang beragam antar provinsi berdasarkan

data Riskesdas tahun 2010 dan data proporsi penduduk sangat rawan pangan

yang bersumber dari Susenas 2009. Kondisi ini merupakan dasar pertimbangan

dalam menyusun perencanaan khususnya terkait dengan intervensi pemerintah

yang diperlukan dalam mengatasi permasalahan pangan dan gizi di provinsi

bersangkutan. Stratiikasi Provinsi Berdasarkan Tingkat Prevalensi Anak Balita

Pendek dan Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan dapat dilihat pada matriks

(26)

Tabel 1. Stratifikasi Provinsi Berdasarkan Tingkat Prevalensi Anak Balita Pendek dan Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan

Status

Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan ≤ 14,47 persen

Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan > 14,47 persen

Persentase

Sumber : - Data anak balita yang pendek berasal dari Riskesdas 2010

- Data proporsi penduduk sangat rawan pangan berasal dari Susenas 2009

(27)

2. Situasi Konsumsi Pangan Masyarakat

a. Situasi Konsumsi Pangan Nasional

Kondisi pola konsumsi pangan masyarakat dapat bergeser dengan cukup

dinamis, dipengaruhi oleh banyak hal seperti kondisi sosial, budaya dan ekonomi,

preferensi dan ketersediaan. Namun sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan

Presiden No.22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman

Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman

konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau pangan lokal.

Pengurangan konsumsi beras juga harus disertai dengan pengurangan konsumsi

gandum/terigu yang seluruhnya diimpor. Konsumsi beras sebagai sumber

karbohidrat dapat disubsitusi dengan karbohidrat lain yang biasa dikonsumsi

masyarakat berdasarkan kearifan lokal antara lain: jagung, sorghum, hotong,

jali, sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, labu kuning, dan sukun. Perbandingan

komposisi capaian pola pangan harapan berdasarkan data Susenas tahun 2011

dengan PPH, dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

(28)

Perkembangan situasi konsumsi pangan pada tahun 2011 secara kuantitas

dan kualitas belum memenuhi kondisi konsumsi energi menurut PPH untuk

memenuhi kecukupan energi sebesar 2.000 kkal/kapita/hari. Perincian realisasi

kontribusi energi (pangan) penduduk Indonesia tahun 2011 diuraikan pada Tabel

2. Berdasarkan komposisinya, pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia

masih belum memenuhi kaidah gizi seimbang yang dianjurkan. Untuk mencapai

kualitas konsumsi pangan yang lebih baik, maka di tahun mendatang harus

ditingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, buah/

biji berminyak, serta sayur dan buah (penganekaragaman konsumsi secara

horizontal) pada proporsi yang direkomendasikan oleh PPH. Peningkatan kualitas

konsumsi pangan juga dapat dicapai melalui penganekaragaman vertikal yaitu

konsumsi aneka ragam jenis pangan sumber karbohidrat dan olahannya (jenis

padian: jagung dan olahannya, hotong, sorghum, biji jali, dan jenis

padi-padian lainnya), aneka pangan sumber protein dan olahannya (aneka pangan

hewani dan aneka kacang-kacangan), serta aneka pangan sumber vitamin dan

olahannya (beragam jenis sayur dan buah-buahan).

(29)

Konsumsi jagung dalam kelompok padi-padian masih rendah dibanding

konsumsi jenis padi-padian lain (beras dan terigu). Begitu juga dengan konsumsi

jenis umbi-umbian terutama sagu dan jenis umbi lainnya masih rendah. Konsumsi

pangan sumber protein hewani lebih banyak bersumber dari ikan, daging unggas

dan telur. Kacang kedelai memiliki proporsi konsumsi yang lebih tinggi sebagai

sumber protein nabati utama dalam pola konsumsi pangan penduduk selama

tahun 2011. Komoditas minyak sawit dan kelapa merupakan jenis pangan dari

kelompok minyak/lemak serta buah/biji berminyak yang memiliki proporsi

konsumsi cukup besar dalam sumbangan energi pola konsumsi penduduk

nasional. Gambaran konsumsi ini menunjukkan bahwa konsumsi penduduk

Indonesia masih didominasi pangan sumber energi (serealia, minyak/lemak,

dan buah/biji berminyak), dan masih kurang konsumsi pangan sumber vitamin

mineral, serta kurang konsumsi buah-buahan (Tabel 3). Sumber : Susenas 2011 Triwulan I; BPS diolah Pusat PKKP – BKP

Keterangan : Angka Kecukupan Energi 2000 kkal/kap/hari (Widya Karya Pangan dan Gizi VIII, 2004)

- Energi : Dalam kkal

- Gram : Untuk berat jenis pangan menurut kelompok - AKG : Angka Kecukupan Gizi

Tabel 2. Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia Berdasarkan PPH

(30)

Kelompok Bahan Pangan Konsumsi Tahun 2011

IV. Minyak dan Lemak 204

a. Minyak kelapa 36 4,1 1,5

b. Minyak sawit 163 18,1 6,6

c. Minyak lainnya 5 0,6 0,2

V. Buah/biji berminyak 33

a. Kelapa 27 5,1 1,9

VIII. Sayuran dan buah 83

a. Sayur 44 133,7 48,8

b. Buah 39 63,6 23,2

IX. Lain-lain 39

a. Minuman 29 49,9 18,2

b. Bumbu-bumbuan 10 11,3 4,1

Tabel 3. Konsumsi Berdasarkan Kelompok Pangan Penduduk Indonesia Tahun 2011

(31)

b. Situasi Konsumsi Pangan Wilayah

Seperti halnya kondisi nasional, situasi konsumsi di beberapa provinsi juga belum

mencapai keberagaman dan keseimbangan, hal ini dilihat dari skor mutu pangan

(skor Pola Pangan Harapan) yang masih jauh di bawah ideal. Berdasarkan hasil

olah data Susenas-BPS tahun 2011, skor mutu pangan tertinggi sebesar 86,8

dicapai oleh Provinsi Bali, dan skor mutu pangan terendah terdapat di Provinsi

Papua sebesar 69,6 pada tahun 2011 (Gambar 4).

Umumnya hampir seluruh provinsi belum memiliki pola konsumsi pangan yang

beragam dan bergizi seimbang. Hanya sembilan provinsi yang mampu mencapai

skor mutu pangan diatas 80. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan

beragam, dan bergizi seimbang belum menjadi pola konsumsi pangan penduduk

rata-rata nasional. Konsumsi pangan penduduk masih didominasi oleh sumber

karbohidrat terutama padi-padian yaitu proporsi beras menempati porsi yang

besar dalam menu makanan sebagian besar penduduk provinsi secara nasional.

(32)

(Sumber: Susenas 2011 Triwulan I, BPS diolah BKP)

Gambar 4. Capaian Skor PPH per Provinsi Tahun 2011

Konsumsi di beberapa sentra produksi cenderung memiliki kualitas konsumsi

pangan penduduk yang rendah yaitu seperti di Provinsi Sumatera Selatan, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB memiliki skor mutu pangan dibawah

skor PPH sebesar 77. Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan pangan yang

memadai di suatu wilayah belum menjamin konsumsi pangan yang berkualitas,

karena pola konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan pola perilaku,

(33)

B. Pola Konsumsi

1. Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat

Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia selama lima tahun terakhir (2005-2010)

umumnya didominasi oleh beras dan terigu. Jika dilihat perkembangannya pola

konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia tahun 2005, sebagian besar (22 provinsi

dari 33 provinsi) di Indonesia memiliki pola konsumsi beras-terigu, sedangkan 11 provinsi

lainnya memiliki pola konsumsi beras-terigu-ubi kayu (Provinsi DI Yogyakarta dan Maluku

Utara), beras-jagung-ubi kayu (Provinsi Nusa Tenggara Timur), beras-jagung-terigu

(Provinsi Gorontalo), beras-terigu-ubi kayu-sagu (Provinsi Sulawesi Tenggara dan Maluku),

dan beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu (Provinsi Papua). Pola konsumsi pangan pokok

Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat tidak terpantau karena

data SUSENAS tahun 2005 untuk provinsi tersebut tidak tersedia.

Pada tahun 2007, pola konsumsi pangan pokok tidak banyak mengalami perubahan

dibandingkan dengan tahun 2005. Terdapat 24 provinsi dengan pola konsumsi

pangan pokok terigu dan hanya Provinsi Gorontalo pola konsumsinya

beras-jagung. Provinsi Lampung mengalami perubahan pola konsumsi pangan pokok dari

beras-terigu pada tahun 2005 menjadi beras-terigu-ubi kayu pada tahun 2007. Provinsi

Jawa Timur dan Gorontalo memiliki pola konsumsi pangan pokok beras-jagung-terigu.

Provinsi Sulawesi Tenggara juga mengalami perubahan pola konsumsi pangan pokok

menjadi beras-terigu-sagu. Provinsi Maluku dan Maluku Utara memiliki pola konsumsi

pangan pokok beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar, dan hanya Provinsi Papua dengan pola

konsumsi pangan pokok beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Pola konsumsi Provinsi

Papua Barat tidak terpantau karena data tidak tersedia.

Pada tahun 2008, pola konsumsi pangan pokok tidak mengalami perubahan

yang signiikan dibandingkan pada tahun 2007. Terdapat 24 provinsi dengan

pola konsumsi pangan pokok beras-terigu. Provinsi Lampung dan Maluku Utara

memiliki pola konsumsi pangan pokok beras-terigu-ubi kayu, sedangkan Provinsi

(34)

beras-jagung-terigu, dan hanya Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan pola konsumsi pangan

pokok beras-jagung-ubi kayu. Terdapat beberapa provinsi yang mengalami

perubahan pola konsumsi, diantaranya Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi

beras-terigu-ubi kayu-sagu, Provinsi Papua menjadi beras-terigu-ubi jalar-sagu

dan Provinsi Maluku menjadi beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Pola konsumsi

pangan pokok provinsi Papua Barat tidak terpantau karena data tidak tersedia.

Pola konsumsi pangan pokok tahun 2009 mengalami beberapa perubahan

dibandingkan tahun 2008. Terdapat 27 provinsi dengan pola konsumsi beras-terigu.

Provinsi Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Barat mengalami perubahan pola konsumsi

menjadi beras-terigu, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami perubahan

pola konsumsi menjadi beras-jagung. Terdapat 5 provinsi di wilayah Indonesia Timur

yang memiliki pola konsumsi tiga komoditas atau lebih, yaitu Gorontalo dengan pola

konsumsi beras-jagung-terigu, Provinsi Maluku Utara pola konsumsinya

beras-terigu-ubi kayu, Provinsi Maluku dan Papua Barat pola konsumsinya beras-terigu-beras-terigu-ubi

kayu-sagu, serta Provinsi Papua pola konsumsinya beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu.

Pola konsumsi pangan pokok tahun 2010 tidak mengalami perubahan

dibandingkan dengan tahun 2009. Terdapat 27 provinsi dengan pola konsumsi

pangan pokok beras-terigu. Provinsi Nusa Tenggara Timur pola konsumsinya

beras-jagung. Terdapat lima provinsi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki

pola konsumsi pangan pokok tiga komoditas atau lebih, yaitu Gorontalo dengan

pola konsumsi pangan pokok beras-jagung-terigu, Provinsi Maluku Utara pola

konsumsinya beras-terigu-ubi kayu, Provinsi Maluku dan Papua Barat pola

konsumsinya beras-terigu-ubi kayu-sagu, serta Provinsi Papua pola konsumsinya

beras-terigu-ubi kayu-ubi jalar-sagu. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5

(35)

2. Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein

Pola konsumsi pangan sumber protein nasional selama lima tahun terakhir

didominasi oleh ikan, kacang kedele, daging unggas dan telur. Pangan sumber

protein penduduk Indonesia sebagian besar bersumber dari pangan hewani yaitu

ikan. Indonesia dengan wilayah lautan yang luas menjadi potensi penyediaan

ikan yang sangat potensial dalam memenuhi kebutuhan protein penduduk.

Konsumsi ikan yang telah menjadi pola di hampir sebagian besar wilayah

Indonesia didorong oleh keterjangkauan secara ekonomi yaitu harga ikan lebih

terjangkau di seluruh tingkat pendapatan masyarakat. Kontribusi ikan dalam pola

konsumsi pangan sumber protein rata-rata sebesar 40 persen selama tahun 2005

-2010. Sumbangan protein yang cukup besar ini menjadikan asupan konsumsi

protein asal pangan hewani dapat dipenuhi (Tabel 5).

Jenis pangan sumber protein yang dikonsumsi selama tahun 2005 – 2010 lebih

didominasi oleh pangan hewani dibanding nabati. Sejak tahun 2007 semua

komoditas pangan hewani telah menjadi tren konsumsi pangan penduduk

Indonesia. Hal ini mencerminkan tingginya preferensi masyarakat terhadap

pangan hewani dibanding pangan sumber protein nabati. Selama lima tahun

terakhir dari semua jenis pangan sumber protein nabati, hanya kacang kedelai

yang memiliki tren konsumsi yang tinggi dibanding jenis kacang-kacangan

lainnya. Kontribusi kacang kedelai hampir 12 kali lipatnya dibanding rata-rata

konsumsi kacang tanah, dan hampir 6 kali lipat dibanding rata-rata konsumsi

kacang hijau. Untuk itu, diperlukan upaya lebih maksimal untuk meningkatkan

konsumsi kacang-kacangan dalam rangka diversiikasi konsumsi pangan. Namun

di sisi lain, konsumsi jenis kacang-kacangan lain seperti kacang mete, kacang

merah, dan sebagainya, sudah banyak dikonsumsi di Indonesia namun belum

tercatat sehingga pola konsumsi pangan sumber protein asal pangan nabati

(36)

G

ambar

5.

P

ola

K

onsumsi

P

angan

Sumb

er

Kar

b

ohidr

a

t

Indonesia

T

ahun

(37)

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan Pasal 78 ayat 6 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah

menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan publik di bidang peternakan

dan kesehatan hewan melalui upaya peningkatan kesadaran gizi masyarakat

dalam mengonsumsi produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal.

Tabel 5. Perkembangan Pola Konsumsi Sumber Protein Selama 2005 –2010

No Jenis Pangan Kontribusi Konsumsi (% AKP)

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1

Daging ruminansia 4.6 4.3 5.1 5.3 5.3 5.5

2 Daging unggas 10.3 8.8 11.0 11.1 11.0 11.9

3 Telur 9.2 9.1 9.3 9.1 9.7 10.5

4 Susu 3.7 4.0 5.4 5.4 5.3 5.2

5 Ikan 42.3 42.2 38.6 42.2 41.7 41.3

6 Kedelai 23.8 27.2 24.7 22.4 23.2 21.7

7 Kacang tanah 3.7 2.6 4.0 2.7 2.3 2.5

Sumber : Data Susenas 2005-2010, BPS diolah BKP

3. Pola Konsumsi Pangan Sumber Vitamin dan Mineral

Pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral secara nasional umumnya

didominasi oleh buah-buahan. Selama tahun 2005, 2007 hingga 2010 pisang

(38)

mineral penduduk Indonesia. Selama tahun 2005, jenis pangan sumber vitamin

yang telah menjadi pola konsumsi yaitu pisang, daun ketela pohon, rambutan,

dan salak. Pada tahun 2007, rambutan dan salak tidak lagi menjadi pola konsumsi

tapi duku tergolong menjadi komoditas buah-buahan yang berkontribusi dalam

pola konsumsi sumber vitamin dan mineral. Pola konsumsi sumber vitamin

mineral pada tahun 2008-2009 sama dengan pola konsumsi pada tahun 2005,

sedangkan pada tahun 2010, hanya pisang dan daun ketela pohon yang tercatat

dalam pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral (Tabel 6).

Tabel 6. Pola Konsumsi Pangan Sumber Vitamin dan Mineral Tahun 2005-2010

No Jenis Pangan

Kontribusi Konsumsi (%AKE)

2005 2007 2008 2009 2010

1 Daun Ubi Kayu 8.3 8.7 9.6 9.8 7.5

2 Rambutan 7.5 4.8 7.1 5.0 4.0

3 Duku 3.0 5.1 1.1 0.7 4.1

4 Salak 5.3 4.2 6.5 5.3 4.3

5 Pisang Lain2 16.0 16.2 17.3 17.2 15.0

6 Gado-gado 6.6 - - - 6.4

Sumber : Data Susenas, 2005, 2007-2010; BPS; diolah BKP

Dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral

penduduk Indonesia umumnya didominasi oleh komoditas pangan yang

bersumber dari pekarangan atau paling tidak bisa dikembangkan oleh setiap

keluarga di pekarangan yang dimilikinya. Pemenuhan kebutuhan akan sumber

vitamin dan mineral umumnya dipenuhi dari daun ketela pohon untuk jenis

sayuran dan buah pisang untuk jenis buah-buahan yang semuanya bisa

dikembangkan di pekarangan, bahkan pada lahan pekarangan yang sangat

(39)

dalam pemanfaatannya serta lebih dikembangkan lagi dalam budidaya tanaman

sayuran dan buah-buahan untuk konsumsi pangan sehari-hari.

Berdasarkan pasal 95 Undang-Undang No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura

bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan konsumsi

hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan sayuran

sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian angka konsumsi

buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan standar kesehatan; dan

(c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum pendidikan nasional atau

daerah.

Dalam undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa komoditas sayur dan

buah bukan hanya sebagai pendamping pangan pokok melainkan tergolong

sebagai pangan utama yang harus dikonsumsi masyarakat setiap harinya.

Selain itu, undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa pencapaian angka

konsumsi sayur dan buah per kapita setiap tahunnya didasarkan pada standar

kesehatan, yang dalam perencanaan konsumsi pangan sejalan dengan standar

komposisi Pola Pangan Harapan (PPH). Standar konsumsi sayur dan buah

berdasarkan komposisi Pola Pangan Harapan yaitu sebanyak 250 gram/kap/hari.

Kondisi pola konsumsi sayur dan buah penduduk Indonesia saat ini masih

dibawah anjuran, sehingga perlu upaya peningkatan konsumsi sayur dan buah

bagi seluruh masyarakat, diantaranya melalui pendidikan formal (kurikulum

pendidikan), maupun melalui sosialisasi secara berkelanjutan kepada seluruh

lapisan masyarakat.

Apabila dilihat dari pangan lokal yang dikonsumsi masyarakat di tingkat provinsi

banyak yang masih mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dihidupkan

kembali budaya makannya, seperti pada Lampiran 5.

(40)

A. Tantangan

Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya percepatan diversiikasi konsumsi

pangan, adalah:

1.

Meningkatnya jumlah penduduk

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk

Indonesia adalah 1,3% per tahun, sehingga pada tahun 2009 penduduk Indonesia

diprakirakan sejumlah 231.369.500 jiwa. Namun berdasarkan sensus penduduk

tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.556.363 jiwa,

meningkat sebesar 2,67% dari prakiraan jumlah penduduk tahun 2009.

Laju pertumbuhan jumlah penduduk ini menuntut adanya ketersediaan pangan

dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau dan tersedia di setiap saat, hal ini

merupakan tantangan yang sangat besar. Ditambah lagi dengan kebijakan

pemerintah yang masih lebih terfokus kepada penyediaan beras (pangan

pokok) tanpa disertai pertimbangan yang memadai bagi peningkatan produksi/

pengadaan pangan yang berbasis sumber daya lokal seperti umbi-umbian

yang selain dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat, juga sumber serat.

Mengonsumsi beras tetap harus dilengkapi dengan umbi-umbian karena dapat

melengkapi fungsi gizi dari beras.

TANTANGAN,

PERMASALAHAN DAN

PELUANG

(41)

2. Globalisasi perdagangan dan pergeseran pola konsumsi

pangan masyarakat ke arah pangan yang lebih instan

Semakin terbukanya perdagangan global dan dihapuskannya hambatan

perdagangan berakibat pada menjamurnya produk pangan impor dengan

jenis-jenis pangan yang tidak seluruhnya dapat dikembangkan di dalam negeri. Aneka

pangan impor baik bahan mentah (gandum, aneka sayuran, aneka buah, daging,

ikan, susu, dan sebagainya), hingga berbagai jenis pangan siap saji tinggi lemak

dan gula namun rendah serat dan karbohidrat kompleks membawa perubahan

pada semakin banyaknya jenis-jenis pangan yang tidak dapat diproduksi secara

lokal namun masuk dalam pola konsumsi pangan. Menjamurnya restoran yang

menyajikan makanan siap saji ini telah menggeser kebiasaan makan di rumah

dan konsumsi pangan tinggi serat rendah gula yang biasa disiapkan di rumah.

Disamping itu seiring dengan perkembangan/kemajuan teknologi, peningkatan

status sosial-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan gaya hidup yang lebih

“modern” yang menuntut masyarakat untuk bergerak lebih cepat mendorong

pemilihan konsumsi makanan serba instant. Ditinjau dari pandangan ilmu gizi

perubahan perilaku tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya masalah

gizi lebih, obesitas dan penyakit degeneratif (Baliwati dkk, 2004).

3. Masih rendahnya tingkat konsumsi pangan sumber protein,

vitamin dan mineral serta tingginya konsumsi beras dan

terigu

Kondisi pola konsumsi pangan masyarakat yang masih didominasi oleh beras/padi,

perlu mendapat perhatian dengan menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan

konsumsi umbi-umbian dari kelompok sumber karbohidrat. Di samping itu, perlu

pula meningkatkan konsumsi produk ternak dan ikan sebagai sumber protein;

serta sayuran dan buah sebagai sumber vitamin, mineral dan zat gizi lainnya.

Kualitas konsumsi masyarakat pada tahun 2010 untuk kelompok pangan hewani serta

sayuran dan buah masih di bawah target Pola Pangan Harapan (PPH). Sebagai contoh,

(42)

skor PPH masih 16,1 sedangkan skor idealnya adalah sebesar 24,0. Rendahnya

konsumsi protein hewani sangat erat hubungannya dengan daya beli masyarakat.

Namun protein nabati dari kacang-kacangan seperti kedelai, dapat menjadi alternatif

untuk memenuhi kebutuhan protein dan pola makan namun ketersediaan aneka

kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati, relatif masih kurang memadai.

4. Penggunaan bahan baku pangan lokal masih terkendala

dengan masalah kontinuitas ketersediaan yang belum stabil

dan mutunya sangat beragam.

Di tataran produsen maupun petani, belum dapat menjamin secara penuh untuk

menjaga kesinambungan tersedianya bahan baku pangan lokal secara terus –menerus

sepanjang waktu. Ketersediaan bahan baku pangan lokal masih sangat dipengaruhi

oleh faktor musim panen. Pada saat panen tiba, bahan baku pangan lokal melimpah di

pasaran, namun sebaliknya jika bukan musimnya akan sangat sulit didapatkan.

Dalam kondisi seperti ini diperlukan investasi untuk memproduksi bahan baku

pangan lokal secara lebih berkesinambungan dan menghasilkan produk yang

memenuhi kebutuhan standar yang diinginkan oleh industri dan mempunyai

daya simpan, sehingga ketersediaannya terdistribusi sepanjang tahun. Pola

kemitraan antara pihak industri dan petani produsen merupakan solusi saling

menguntungkan yang perlu dikembangkan. Disamping itu untuk menjamin

kontinuitas produksi, pendekatan dengan pengembangan food estate juga cukup

baik, terutama di luar Jawa. Perlu ada upaya membangun sinergitas di antara

sektor hilir (industri pengolah) dengan sektor hulu (produsen) agar suplai bahan

baku dapat lebih terjamin, dan industri pengolah dapat merencanakan produksi

dengan standar kualitas yang lebih baik.

5. Kebijakan produksi pertanian belum mempertimbangkan

kecukupan gizi

Program pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan masyarakat secara luas

yang dilaksanakan selama ini masih bersifat kuantitas, belum mempertimbangkan

(43)

pola konsumsi masyarakat yang bisa berbeda antar daerah. Pola Pangan

Harapan harus menjadi patokan dalam merencanakan produksi komoditas yang

akan dikembangkan sesuai dengan sumber daya setempat. Kebijakan yang

ada selama ini masih mengacu pada peningkatan swasembada yang hanya

mempertimbangkan kondisi supply demand secara agregat di tingkat nasional,

tanpa mempertimbangkan kebutuhan konsumsi pangan secara beragam dan

bergizi seimbang, di tiap wilayah.

Pada perkembangan selanjutnya, pelaksanaan P2KP tahun 2012 mulai dikenalkan

Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Sebagai contoh adalah beras

analog yang diproduksi menggunakan berbagai jenis bahan baku lokal seperti

ubi kayu, sagu, sorgum, jagung, dan sebagainya yang sekaligus diperkaya dengan

zat gizi sumber vitamin dan mineral dalam proses fortiikasi, agar kandungan

gizinya tidak kalah dengan yang ada pada beras. Produk yang dihasilkan dari

kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan lokal sehingga

dapat dijadikan bahan pengganti beras dalam program subsidi pangan bagi

masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini disebut RASKIN.

6.

Perubahan iklim

Dampak pemanasan global yang menyebabkan timbulnya perubahan iklim

mengancam tersedianya bahan pangan di tingkat produksi. Pangan pokok

yang selama ini dikonsumsi masyarakat secara umum dikhawatirkan dapat

mengalami kegagalan panen akibat tidak dapat diprediksinya musim hujan

yang dapat menyebabkan sulitnya pengairan. Kondisi cuaca yang ekstrim

juga dikhawatirkan dapat mengganggu produksi pangan khususnya terhadap

komoditas pangan yang selama ini menjadi pangan pokok. Hal ini memerlukan

strategi perencanaan produksi pangan yang beradaptasi dengan perubahan

iklim tersebut. Ketergantungan pada satu jenis komoditi seperti beras akan

menimbulkan masalah karena harus mencari varietas-varietas baru yang sesuai

dengan kondisi perubahan iklim. Padahal banyak spesies sumber karbohidrat

(44)

B. Permasalahan

1. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya

konsumsi beragam, bergizi seimbang dan aman

Saat ini pengetahuan masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam bergizi

seimbang dan aman masih kurang. Sebagian masyarakat masih memiliki prinsip

“asal kenyang”. Kondisi ini akan menyebabkan ketidakseimbangan asupan gizi

yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada gizi kurang maupun gizi lebih.

Pengetahuan yang kurang akan menimbulkan bermacam permasalahan seperti

salah pemilihan jenis dan jumlah makanan, cara mengolah bahan makanan yang

kurang tepat, sehingga banyak zat gizi yang hilang serta kurangnya kesadaran

dalam memanfaatkan potensi alam secara berkelanjutan.

2. Terbatasnya ketersediaan dan akses terhadap inovasi

teknologi

Pengembangan teknologi tepat guna sangat diperlukan baik untuk memproduksi

maupun mengolah bahan pangan terutama pangan lokal non beras, guna

meningkatkan nilai tambah dan nilai sosialnya. Namun ketersediaan dan akses

terhadap teknologi semacam itu diindikasikan kurang memadai. Disamping itu,

teknologi yang dikembangkan oleh berbagai lembaga penelitian dan perguruan

tinggi juga belum bebas diakses oleh para pelaku usaha.

Kondisi keterbatasan di atas, akan menjadi hambatan bagi pengembangan pangan

lokal. Peran perguruan tinggi menjadi penting dalam mengatasi permasalahan

keterbatasan ketersediaan dan akses terhadap teknologi pangan lokal.

3.

Keberagaman varietas yang ditanam oleh masyarakat.

Sebagaimana kondisi Indonesia yang mempunyai keanekaragaman hayati nomor

dua di dunia, begitu juga dengan varietas tanaman pangan lokal yang dimiliki

memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkannya. Namun

(45)

ditanam petani dan sesuai dengan kebutuhan industri yang bersangkutan agar

produk olahannya dapat dibuat dengan standar kualitas dan kemasan yang lebih

baik.

4. Kurangnya dukungan permodalan untuk produksi maupun

untuk pengolahan karena skim kredit yang ada belum dapat

digunakan untuk pengembangan bahan baku pangan lokal.

Modal merupakan hal yang sangat utama untuk keberlanjutan usaha. Selama ini,

para petani dan pengolah tepung yang berbahan baku lokal seperti ubi kayu,

sagu, ganyong, dan lain sebagainya merasa kesulitan dalam mengajukan modal

kepada lembaga keuangan, seperti perbankan, koperasi maupun fasilitas kredit

yang ditawarkan pemerintah lainnya. Kelompok dan jenis usaha yang dilakukan

belum cukup meyakinkan lembaga keuangan untuk mendapatkan dana sebagai

bantuan modal.

5. Harga bahan baku pangan lokal masih belum stabil dan relatif

lebih tinggi daripada harga terigu, sehingga harga produk

akhir juga cenderung lebih tinggi.

Kontinuitas ketersediaan bahan baku sangat berpengaruh pada harga. Semakin

banyak permintaan dan penawaran sedikit, maka harga bahan baku pangan lokal

cenderung mahal, begitu pula sebaliknya. Pada musim panen, harga cenderung

turun. Kondisi ini menyebabkan luktuasi harga yang sangat signiikan dan

merugikan petani maupun para pelaku usaha dan industri. Untuk itu perlu ada

kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pelaku

usaha industri pangan untuk menjamin kontinuitas pasokan dan harga yang adil

bagi kedua belah pihak.

6. Belum ada jaminan keamanan produk pangan lokal yang

dihasilkan

Upaya pemerintah dalam memenuhi hak konsumen untuk dapat mengakses produk

pangan lokal yang aman hingga saat ini belum dapat terpenuhi karena belum adanya

(46)

produk pangan merupakan hal yang sangat kompleks, mengingat faktor yang berpotensi

sebagai pembawa resiko dapat muncul dalam setiap titik pada rantai pangan, mulai dari

produksi, distribusi, dan pengolahan hingga siap untuk dikonsumsi. Faktor keamanan

produk pangan dapat dinilai dari sumber resiko dan dampaknya terhadap kesehatan

manusia. Secara umum, jaminan keamanan produk pangan harus mampu melindungi

masyarakat terutama dari pangan yang tidak aman atau tercemar oleh cemaran kimia,

biologi, dan isik. Namun demikian, sampai dengan saat ini jaminan keamanan produk

pangan masih bersifat ”partial”, seperti upaya peningkatan ketersediaan produk Prima 3

dan mengoptimalkan hasil uji terhadap produk pangan (uji terhadap pestisida, mikroba,

dan logam berat), belum mengarah kepada kawasan pangan yang aman.

Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yang telah diganti dengan

Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan menekankan pentingnya keamanan

pangan baik untuk pangan segar, pangan olahan dan pangan siap saji. Kementerian

Pertanian bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan keamanan

pangan segar (sayur, buah, daging, telur dan susu). Pelaksanaan penanganan

keamanan pangan segar mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

C. Peluang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang begitu besar

termasuk umbi-umbian. Kebanyakan komoditi ini tersedia secara tradisional dan

dibudidayakan secara sederhana di lahan kering dan tadah hujan. Di beberapa

daerah pangan lokal selain beras sejak dulu telah menjadi pangan pokok seperti

sagu dan umbi-umbian di Maluku dan Papua, jagung di Madura, Jawa Timur dan

beberapa daerah di Nusa Tenggara serta ubi kayu di daerah pegunungan di Jawa

Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Daerah yang memiliki potensi pangan

pilihan selain beras dapat dilihat pada Lampiran 2 (Gambar 2.1.–2.4). Pangan

lokal memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dibandingkan dengan nasi/beras.

(47)

Ubi kayu

1.

Pangan Sumber Karbohidrat

Jagung. Produksi jagung Indonesia terus meningkat. Data

BPS menunjukkan dalam periode 1990–2011, produksi jagung

meningkat dari 6,73 juta ton menjadi 17,64 juta ton atau

peningkatan dengan laju 5,34 persen per tahun. Peningkatan

luas areal pertanaman jagung meningkat dari sekitar 3,15 juta

ha menjadi 3,86 juta ha, dengan laju 1,49 persen per tahun;

dan peningkatan produktivitas dari 2,13 ton/ha menjadi 4,56

ton/ha atau peningkatan dengan laju 3,74 persen per tahun

(Lampiran 3; Tabel 3.1. – 3.2.)

Produk pangan olahan dari bahan jagung bukan lagi

menjadi bahan pangan yang ‘inferior’, terutama dengan

berkembangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan.

Produk pangan dari jagung seperti gula jagung dan minyak

jagung diyakini dapat menurunkan kadar gula darah dan non

kolesterol.

Ubi kayu. Sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu dapat

dikonsumsi dalam bentuk langsung maupun makanan olahan

yang berasal dari tepung.

Tanaman ubi kayu relatif mudah dibudidayakan, dapat

dibudidayakan pada ketinggian dari 0 sampai 1500 m dpl

dengan curah hujan antara 750 – 1.000 mm per tahun. Ubi

kayu juga dapat diusahakan pada segala jenis tanah asal

mempunyai drainase yang baik, dengan pH tanah yang

dikehendaki antara 4,5 sampai 8,0. Penanaman ubi kayu

dilakukan secara monokultur atau tumpangsari dengan

tanaman lain.

Mie Jagung

Jagung Bose (Pangan Lokal Ntt) Jagung

(48)

Ubi kayu mempunyai prospek menjadi sumber bahan pangan

pilihan dalam diversiikasi pangan, beberapa keunggulan

dari ubi kayu ini adalah: a) tanaman ini sudah dikenal dan

dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai

bahan pokok dan sebagai bahan cadangan pangan pada

musim paceklik; b) masyarakat Pulau Jawa khususnya di

pedesaan telah terbiasa mengolah dan mengonsumsinya

dalam bentuk gatot dan tiwul; c) nilai kandungan gizinya

cukup tinggi; dan d) mudah beradaptasi dengan lingkungan

atau lahan yang marginal dan beriklim kering.

Dalam periode 1990 – 2011, produksi ubi kayu meningkat dari

15,83 juta ton menjadi 24,04 juta ton atau peningkatan dengan

laju 2,18 persen per tahun. Peningkatan produksi tersebut

terutama karena kontribusi peningkatan produktivitas. Dalam

tahun 1990 - 2011 produktivitas ubi kayu meningkat dengan

laju 2,57 persen per tahun yaitu dari 12,07 ton/ha 20,29 ton/

ha; sementara luas areal pertanaman ubi kayu cenderung

menurun dari 1,31 juta ha pada tahun 1990 menjadi 1,18

juta ha, atau penurunan dengan laju (0,38) persen per tahun

(Lampiran3; Tabel 3.3. – 3.5.).

Ubi jalar. Sebagai sumber bahan pangan yang mempunyai

potensi tinggi namum belum didayagunakan secara maksimal.

Di Indonesia, penggunaan tepung ubi jalar memang belum

sebanyak di luar negeri. Kondisi ini merupakan peluang bagi

pengembangan ubi jalar. Indonesia termasuk lima besar

negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia, dengan produksi

2 juta ton per tahun. Brownies cassava

Beras analog

Ubi jalar

(49)

Produksi ubi jalar terus meningkat, pada tahun 1990 – 2011

produksi ubi jalar Indonesia meningkat dari 1,97 juta ton

menjadi 2,19 juta ton atau peningkatan dengan laju 0,82

persen per tahun. Peningkatan produksi tersebut terjadi

terutama karena kontribusi peningkatan produktivitas, yaitu

peningkatan sebesar 1,30 persen per tahun, dari produktivitas

sebasar 9,44 ton per hektar di tahun 1990 menjadi 12,32 ton

per hektar. Sementara luas panen ubi kayu nasional justru

cenderung menurun. Dalam tahun 1990-2011 luas panen

menurun dari 208,73 ribu hektar menjadi 178,12 ribu hektar

(Lampiran 3; Tabel 3.6. – 3.7.).

Talas. Tanaman pangan yang bersifat menahun. Talas bisa

dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi

pantai sampai pegunungan yang terletak 1.000 – 1.300 m di

atas permukaan laut baik liar maupun dibudidayakan. Saat ini

daerah yang dikenal sebagai sentra Talas adalah Bogor, Banten

dan Malang. Beberapa jenis talas yang dapat dikonsumsi telah

dikenal seperti talas sutera, talas bentul, talas ketan, talas

paris, talas loma, talas pandan, talas lampung, talas mentega,

talas gambir atau talas hideung (Sunda = hitam).

Tanaman talas relatif mudah ditanam di hampir semua jenis

tanah dan juga dapat ditumpangsarikan. Budidaya tanaman

talas dapat menghasilkan produksi yang baik pada lingkungan

bersuhu 21° C -27° C, kelembaban udara 50% - 90%, adanya

sinar matahari langsung, dan curah hujan 2.000 mm/tahun.

Pada kondisi optimal, hasil produksi dapat mencapai 10 ton/

hektar. Di sisi lain, di samping dikonsumsi sebagai makanan

pokok dan makanan tambahan karena mengandung

karbohidrat tinggi, protein, lemak, dan vitamin, tanaman yang

Roll cake ubi ungu

Es krim ubi jalar ungu

Talas

(50)

mengandung asam perusi atau asam biru ini, juga memiliki nilai ekonomi tinggi.

Dalam perkembangannya, talas bukan lagi makanan inferior, dalam bentuk

tepung bahan baku talas dapat dibuat produk makanan bernilai tinggi.

Sagu. Sumber bahan pangan lain yang yang telah dimanfaatkan di beberapa daerah

di Indonesia adalah sagu (Metroxylon sp). Bersadarkan data dari berbagai sumber yang

dirangkum Bintoro (2000), taksiran luas area sagu di Indonesia berkisar 4.376.829 Ha,

seperti terangkum dalam Lampiran 3 (Tabel 3.8.).

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama

tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola

dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara

dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang

dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. Sagu tumbuh baik pada

lahan marginal seperti gambut, rawa, payau atau lahan tergenang di mana

tanaman lain tidak mampu tumbuh.

No Bahan Pangan

3 Jawawut/sokuia) 334 9.7 3.5 73.4 - 11.9 100

4 Sorghum/lenab) 395 20.3 8.73 58.8 6.6 5.6 100 5 Sorghum Jagung Rote b) 385 10.6 7.4 69.0 1.1 11.9 100 6 Hermada (tepung) b) 367 2.4 1.5 86.0 1.2 9.0 100 7 Hotong (hotoburu) b) 366 9.9 3.6 73.4 2.4 10.7 100

8 Jali/nyolaia) 289 11.0 4.0 61.0 - - 90

9 Jagung Kuning Pipila) 366 9.8 7.3 69.1 2.4 11.5 100 Berasan:

10 Beras Jagung Instan – Semarang Jateng b)

374 5.42 0.3 71.8 2.6 19.8 100

Tepung:

(51)

No Bahan Pangan

11 Tepung Jagung b) 374 7.0 4.2 77.1 1.4 10.3 100

II. Umbi-umbian A Ubi Kayu

10 Ubi kayu putih a) 146 1.2 0.3 34.7 - 62.5 75 11 Ubi kayu kuning a) 157 0.6 0.3 37.9 - 60.0 75

Berasan :

12 Beras Singkong (Rasi) b) 359 1.4 0.9 86.5 1.9 7.8 100

13 Beras Aruk b) 353 0.6 0.8 85.9 0.2 12.5 100

20 Tapioka (pati singkong) 362 0.5 0.3 86.9 - - 100 Mie :

29 Tepung ganyong 356 1.0 1.53 84.6 0.23 16.6 100 Mie :

(52)

Lanjutan Tabel 7.

38 Tepung talas 376 3.4 0.8 88.7 1.4 5.7 100

G Gadung 43 Bakau segar (Halmahera) b) 147 10.5 2.0 26.5 1.2 59.9

-Tepung :

44 Tepung buah bakau b) 367 4.3 1.1 85.0 2.1 7.6 100 45 Tepung buah bakau NTT b) 269 22.2 0.67 52.4 1.4 24.3 -46 Tepung buah bakau

Halmahera b)

(53)

-Lanjutan Tabel 7.

IV Komposit

Tepung :

47 Tepung sijalejo

48 Tepung jalejo b) 366 19.1 2.5 66.9 2.4 9. 100

Mie :

49 Mie kering jalejo b) 369 14.4 1.6 74.3 1.5 8.2 100

50 Mie jalejo+bayam (kering)b) 362 13.7 2.1 72.2 1.4 10.6 100

51 Mie jalejo+wortel (kering)b) 369 14.2 2.0 73.4 1.5 8.9 100

52 Mie basah jalejo b) 193 7.9 0.9 38.4 0.8 52.1 100

53 Mie jalejo+bayam (basah) b) 199 7.7 1.1 39.5 0.8 51.0 100

54 Mie jalejo+wortel (basah) b) 197 7.4 1.1 39.3 0.8 51.4 100

Keterangan: Sumber a) Berdasarkan DKBM, Depkes

b) Hasil analisis lab. Fisik Terpadu, GMSK, IPB

c) Hasil analisis laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, IPB d) Laboratorium Bogasari

No Bahan Pangan

Zat Gizi

BDD (%) Energi

(kkal)

Protein (gr)

Lemak (gr) Kh (gr)

Abu (gr)

Air (gr)

(54)

Kapurung Cookies talas

Sagu Papeda

2.

Pangan Sumber Protein

Pangan sumber protein hewani memberikan kontribusi yang cukup besar dalam

pemenuhan konsumsi pangan dan gizi terutama dalam pencapaian skor PPH.

Namun demikian, tingkat konsumsi kelompok pangan hewani tahun 2011 sebesar

95.9 gram/kapita/hari, masih kurang dibandingkan standar konsumsi ideal

sebesar 150 gram/kapita/hari. Apabila dilihat tingkat konsumsi per komoditas

untuk pangan hewani yang terdiri dari daging ruminansia, daging unggas, telur,

susu dan ikan, sebagai berikut:

Daging ruminansia sebesar 5,5 gram/kap/hari (standar 8,6 gram/kap/hari) V

Daging unggas sebesar 13,0 gram/kap/hari (standar 18,7 gram/kap/hari) V

Telur sebesar 19,6 gram/kap/hari (standar 28,8 gram/kap/hari) V

Susu sebesar 5,7 gram/kap/hari (standar 6,6 gram/kap/hari) V

(55)

Dari data tersebut terlihat bahwa konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia

masih rendah, kurang lebih dua per tiga dari standar kebutuhan konsumsi pangan

hewani. Komposisi kandungan gizi beberapa pangan hewani dapat dilihat pada

daftar berikut:

1 Daging Anak Sapi 190,0 19,1 12,0 0,0 100,0

2 Daging Asap 191,0 32,0 6,0 0,0 100,0

3 Daging Babi Gemuk 457,0 11,6 45,0 0,0 100,0

4 Daging Babi Kurus 376,0 14,1 35,0 0,0 100,0

5 Daging Domba 206,0 17,1 14,8 0,0 100,0

6 Daging Kambing 154,0 16,6 9,2 0,0 100,0

7 Daging Kerbau 84,0 18,7 0,5 0,0 100,0

8 Daging Kuda 118,0 18,1 4,1 0,9 100,0

9 Daging Sapi 207,0 18,8 14,0 0,0 100,0

10 Daging Ayam 302,0 18,2 25,0 0,0 58,0

11 Telur Ayam 162,0 12,8 11,5 0,7 90,0

12 Telur Bebek (Itik) 189,0 13,1 14,3 0,8 90,0

13 Telur Penyu 144,0 12,0 10,2 0,0 90,0

14 Ikan Bandeng 129,0 20,0 4,8 0,0 80,0

15 Ikan Bawal 96,0 19,0 1,7 0,0 80,0

16 Ekor Kuning 109,0 17,0 4,0 0,0 80,0

17 Ikan Mas 86,0 16,0 2,0 0,0 80,0

18 Ikan Segar 113,0 17,0 4,5 0,0 80,0

19 Susu Sapi 61,0 3,2 3,5 4,3 100,0

20 Susu Kambing 64,0 4,3 2,3 6,6 100,0

Tabel 8. Komposisi Zat Gizi Beberapa Pangan Hewani

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM-Depkes, 1995)

Apabila dilihat dari produksi, komoditas pangan tersebut cukup untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat akan tetapi karena faktor daya beli dan pendapatan

sehingga akses terhadap pangan hewani masih rendah. Data produksi dapat

Gambar

Tabel 3.  Konsumsi Berdasarkan Kelompok Pangan Penduduk Indonesia  Tahun 2011
Tabel 4.  Pembagian Kelompok Wilayah Berdasarkan Skor PPH dan Tingkat
Gambar 4. Capaian Skor PPH per Provinsi Tahun 2011
Gambar 5. Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Indonesia Tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2 - 6 tahun di Indonesia.. Hasil

Secara kuantitas terjadi penurunan tingkat konsumsi energy protein dan skor Pola Pangan Harapan tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 apablia memperhatikan

(2004) seperti berikut : (1) Diversifikasi konsumsi pangan pokok, protein hewani, protein nabati, vitamin, mineral dan serat menuju pangan yang beranekaragam

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me- nilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2—6 tahun di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2 - 6 tahun di Indonesia.. Hasil

4.375.466.750, untuk pencapaian indikator Skor Pola Pangan Harapan (PPH) ketersediaan, Skor Pola Pangan Harapan (PPH) konsumsi, jumlah konsumsi energi, jumlah konsumsi protein

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me - nilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2—6 tahun di

ANGKA AKTUAL SKOR POLA PANGAN HARAPAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK BERDASARKAN DATA SURVEY SOSIAL EKONOMI NASIONAL DIY TAHUN 2015 .... PENGELUARAN UNTUK KONSUMSI DAN HARGA PANGAN