• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEMBENTUKAN VERBA BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SISTEM PEMBENTUKAN VERBA BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

0

SISTEM PEMBENTUKAN VERBA

BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA

TESIS

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Deskriptif

Oleh:

Husniah Ramadhani Pulungan

S110908006

PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

xvi

ABSTRAK

Husniah Ramadhani Pulungan. S110908006. Sistem Pembentukan Verba Bahasa Batak Angkola dari Dasar Verba. Pembimbing I: Prof. Dr. H.D. Edi Subroto. Pembimbing II: Dr. Djatmika, M.A. Tesis: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Maret, 2011.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan afiks-afiks derivasional dan afiks-afiks infleksional pembentuk verba Bahasa Batak Angkola (BBA) dari dasar verba beserta aspek semantik dan keproduktifannya. Penyediaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam, teknik pustaka, dan teknik kerjasama dengan informan, lalu teknik simak, teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat adalah sebagai teknik lanjutannya. Sumber data dalam penelitian ini

adalah kaset, interview dengan informan, dan beberapa buku yang ditulis dalam

BBA. Adapun data yang dianalisis berupa verba dalam BBA baik monomorfemik maupun polimorfemik yang tuturan/ kalimatnya mengalami afiks derivasi dan afiks infleksi. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode agih

atau distribusional dengan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent

analysis), teknik urai/ pilih unsur langsung (immediate constituent analysis),

teknik oposisi dua-dua, dan teknik perluasan atau ekspansi. Penelitian ini juga menggunakan metode padan dengan teknik dasar pilah unsur tertentu.

Hasil analisis data, menunjukkan bahwa dari 100 verba dasar transitif dan 25 dasar verba intransitif yang berada dalam ruang lingkup Paradigma I adalah

sebagai berikut. Bentuk-bentuk afiks derivasional adalah kategori D–i dan

kategori D–kon. Aspek semantiknya adalah makna afiks derivasional –i

(frekuentatif, dan lokatif), dan makna afiks derivasional –kon (benefaktif,

melakukan dengan perbuatan alat, melakukan dengan sungguh-sungguh (intensif), kausatif, dan direktif), sedangkan produktifitasnya terbatas karena sifatnya yang

unpredictable. Bentuk-bentuk afiks infleksional adalah kolom A (kategori

maN-D, di-D, hu-D, di-D-ho, di-D-ia, tar-D), kolom B (kategori maN-D-i, di-D-i,

hu-D-i, di-D-iho, di-D-iia, tar-D-i), dan kolom C (kategori maN-D-kon, di-D-kon,

hu-D-kon, di-D-konho, di-D-konia, tar-D-kon). Aspek semantiknya adalah bentuk

baris 1 berfokus pada agen, sedangkan baris 2-6 berfokus pada pasien, kemudian

produktifitasnya luas karena sifatnya yang predictable. Namun, terdapat beberapa

verba tertentu yang tidak dapat dilekati afiks derivasi dan infleksi karena alasan semantis, dan beberapa verba, hukumnya harus dihapal karena sudah menjadi konvensi di masyarakat.

Sistem pembentukan verba Bahasa Batak Angkola adalah salah satu objek kajian di bidang Linguistik Deskriptif. Karenanya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian sejenis berikutnya. Semoga, penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam upaya pelestarian bahasa Nusantara sebagai kekayaan bangsa.

(3)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Batak Angkola (selanjutnya BBA) adalah salah satu bahasa

Nusantara yang sudah mulai mengalami pergeseran dalam pemakaiannya. Hal itu

disebabkan oleh adanya budaya merantau dan datangnya para perantau dari

daerah lain yang mau tidak mau secara langsung ataupun tidak langsung

membawa perubahan budaya dan bahasa bagi masyarakat itu sendiri baik di kota

maupun di desa. Di samping itu, walaupun para orang tua masih menggunakan

BBA dalam kehidupan sehari-hari, ternyata akibat era globalisasi kecenderungan

para orang tua untuk lebih mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing

kepada para generasi penerusnya lebih besar daripada mengajarkan BBA, dengan

tujuan agar para generasi penerus ini dapat mengikuti perkembangan zaman yang

sudah semakin canggih.

Di satu sisi, sikap para orang tua ini berdampak positif karena dilandasi

rasa ingin maju, tetapi di sisi lain sangat disayangkan sekali karena tanpa disadari

sikap para orang tua yang demikian dapat membuat penggunaan BBA semakin

lama semakin berkurang dan akhirnya bahasa daerah ini bisa punah. Hal ini tidak

boleh terjadi, karena BBA merupakan warisan sejarah yang sudah turun-temurun

berperan sebagai alat komunikasi yang signifikan antarmasyarakat Batak

Angkola. Alangkah baiknya apabila masyarakat Batak Angkola mau menyadari

dan mau bersama-sama menjaga dan melestarikan bahasa daerah ini. Setidaknya,

(4)

walaupun tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena faktor situasional,

masyarakat dapat menggunakannya dalam keluarga atau ketika bertemu sanak

saudara karena itu merupakan sebuah ciri dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia

khususnya bagi masyarakat Batak Angkola tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin ikut berperan serta dalam

pelestarian BBA dengan membuat penelitian mengenai sistem verba BBA yang

bertujuan agar masyarakat Batak Angkola baik para orang tua maupun generasi

muda dapat mempelajari BBA. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan

bermanfaat bagi masyarakat guru bahasa, masyarakat linguistik, dan masyarakat

umum yang ingin mengetahui dan menambah wawasan tentang BBA. Senada

dengan pernyataan di atas, Harahap (2007:ii) menyatakan bahwa Undang-Undang

No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang dalam rangka

melestarikan budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional.

Ginting (1997:2) menekankan dalam UUD 1945 bab XV ayat 1 dan 2

dipaparkan bahwa bahasa-bahasa daerah masih dipakai sebagai alat perhubungan

dan alat komunikasi yang hidup, dihargai dan dipelihara oleh negara. Hal ini

dikarenakan bahasa daerah itu adalah bahagian dari kebudayaan nasional yang

tetap hidup dan berkembang. Dengan demikian, bahasa daerah itu adalah

pendukung kebudayaan serta menjadi lambang identitas daerah yang turut

menunjang pembinaan bahasa nasional. Berlandaskan pernyataan-pernyataan di

atas diharapkan pelaksanaan sosialisasi dari pelestarian BBA ini akan lebih mudah

(5)

commit to user

BBA merupakan bagian dari jenis bahasa suku Batak yang terdapat di

Sumatera Utara. Menurut Hutahuruk (1987:6) suku Batak itu mempunyai tujuh

sub suku: Toba, Dairi, Angkola, Mandailing, Campuran, Karo dan Simalungun.

Adapun pembagian tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:

1) Daerah Kabupaten Tapanuli Utara

a. Orang Batak Toba berada di pulau Samosir (Pangururan); sekitar

Danau Toba (Balige); tanah datar Humbang (Siborong-borong); dan

lembah Silindung (Tarutung).

b. Orang Batak Dairi di tanah Pakpak dengan kota Sidikalang.

2) Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan

a. Orang Batak Angkola berada di sekitar Padangsidimpuan, Sipirok dan

Gunung Tua;

b. Orang Mandailing berada di sekitar Panyabungan, Natal dan Muara

Sipongi.

3) Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pesisir)

Di daerah ini yang tinggal adalah pertemuan orang Batak Toba (mayoritas)

dengan orang Batak Angkola dan orang pendatang dari luar suku Batak;

terdapat di daerah pantai dari Sibolga sampai Barus.

4) Daerah Kabupaten Karo, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang Batak

Karo (Kabanjahe).

5) Derah Kabupaten Simalungun, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang

(6)

Tarigan dalam Hasibuan (1972:6) membagi bahasa-bahasa Batak

sebagai berikut:

1. Angkola

2. Karo

3. Mandailing

4. Pakpak

5. Simalungun

6. Toba

Tinggibarani (2008:1) menyatakan bahwa bahasa Angkola adalah salah

satu bahasa di daerah Tapanuli bahagian Selatan, yang dipergunakan sehari-hari

oleh masyarakat Marancar, Angkola, Sipirok, Padangbolak/Padanglawas,

Barumun-Sosa, dan dapat dimengerti oleh penduduk daerah kabupaten

Mandailing Natal, dengan dialek atau logat yang berbeda.

Hasibuan (1972:14) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

masyarakat Angkola ialah orang-orang yang masih terikat dengan kebudayaan

Angkola dalam hidupnya sehari-hari dan memakai bahasa Angkola sebagai

bahasa ibunya. Kemudian, Siregar dan Nasution (dalam Hasibuan (1972:14-15))

menjelaskan bahwa daerah yang memakai bahasa Angkola meliputi kecamatan

Padangsidimpuan, kecamatan Sipirok, kecamatan Batangtoru, kecamatan Batang

Angkola, kecamatan Sosopan, kecamatan Padangbolak dan kecamatan Barumun

(7)

commit to user

Gambar 1. Peta Kabupaten Tapanuli Selatan

Gambar peta Kabupaten Tapanuli Selatan di atas menunjukkan batas

wilayah antara daerah Angkola dan daerah Batak lainnya. Daerah Angkola berada

di antara daerah Mandailing dan daerah Toba sehingga BBA mendapat pengaruh

dari bahasa Batak Angkola dan bahasa Batak Toba, baik dalam penulisan,

pengucapan, dan perbendaharaan kata. Walaupun demikian, BBA adalah tetap

bahasa yang berdiri sendiri.

Situs profil daerah kabupaten Tapanuli Selatan menyatakan bahwa

penduduk kabupaten Tapanuli Selatan atau penduduk Angkola berjumlah 629,212

jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk ini dapat dilihat bahwa sebenarnya masih

terdapat potensi yang besar dalam mengembangkan dan melestarikan BBA ini.

Penelitian tentang BBA memang sudah mengalami perkembangan,

(8)

disayangkan penelitian tentang sistem pembentukan verba masih kurang

mendapat perhatian.

Chafe (1973:10) yang menyatakan bahwa struktur semantik dibentuk

dari verba sebagai pusatnya, yang kemudian disertai nomina yang berhubungan

dengannya. Dalam hal ini, verba memiliki peranan yang penting dalam struktur

semantik karena verba merupakan inti informasi dari suatu tuturan dalam

berkomunikasi. Pernyataan ini senada dengan Alwi, dkk., (2003) yang

menjelaskan bahwa verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat

karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain

yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas peneliti tertarik untuk meneliti sistem

pembentukan verba BBA dari dasar verba. Penelitian ini hanya fokus pada

masalah morfologi mengenai afiks-afiks derivasional dan infleksional pembentuk

verba dari dasar verba BBA yang nantinya akan menghasilkan sistem

pembentukan verba BBA kelas I dan kelas II dalam paradigma I.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah, penelitian

ini merupakan kajian atas sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar.

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini diwujudkan dalam serangkaian bentuk

pertanyaan sebagai berikut:

(9)

commit to user

2. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?

3. Bagaimanakah afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar verba?

4. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

deskripsi tentang sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar yang secara

rinci dijabarkansebagai berikut:

1. Mendeskripsikan afiks-afiks derivasional pembentuk verba BBA dari dasar

verba.

2. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.

3. Mendeskripsikan afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar

verba.

4. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan rujukan

tentang sistem afiks derivasi dan afiks infleksi dari dasar verba BBA bagi

penelitian-penelitian selanjutnya dalam usaha melestarikan bahasa daerah yaitu

BBA.

Berdasarkan uraian di atas, maka manfaat penelitian ini dapat

(10)

1) Manfaat teoretis

1. Sebagai hasil dokumentasi dan deskripsi BBA yang dapat digunakan

sebagai sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya.

2. Sebagai bahan perbandingan terhadap bahasa-bahasa daerah yang ada di

Nusantara sebagai pelestarian bahasa daerah.

3. Sebagai sumber informasi untuk penyusunan tata BBA khususnya yang

berkaitan dengan verba.

4. Penelitian ini dapat memperkaya kajian di bidang linguistik pada

umumnya dan di bidang morfologi BBA pada khususnya.

2) Manfaat praktis

1. Menambahkan dan menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat

Angkola terhadap BBA.

2. Sebagai bahan pengajaran bahasa daerah terutama tentang sistem sistem

(11)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Landasan Teori

Penulis menguraikan beberapa landasan teori dan kajian pustaka untuk

memberi gambaran tentang uraian penelitian ini dan juga beberapa penelitian

yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

1. Penjenisan Kata Bahasa Indonesia Secara Umum

Secara umum kata dalam Bahasa Indonesia terdiri atas beberapa jenis.

Alwi, dkk., (2003) memaparkan bahwa kata dapat dibagi menjadi sepuluh jenis

yaitu verba, ajektiva, adverbia, nomina, pronomina, numeralia, kata tugas,

interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Kesepuluh jenis kata ini memiliki

peran yang berbeda penerapannya di dalam kalimat yang dapat dilihat sebagai

berikut:

a. Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena verba

berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada

dalam kalimat tersebut. Contoh: lari, belajar, dan seterusnya.

b. Ajektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus

tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Contoh: baik,

rajin, pintar, putih dan seterusnya.

c. Adverbia adalah kata yang menjelaskan verba, ajektiva, atau adverbia lain.

Contoh: sangat, selalu, hampir, hanya, dan seterusnya.

(12)

d. Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan

konsep atau pengertian. Contoh: guru, kucing, meja, kebangsaan, dan

seterusnya.

e. Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain.

Contoh: saya, kamu, dia, mereka, dan seterusnya.

f. Numeralia adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud

(orang, binatang, atau barang) dan konsep. Contoh: lima hari, setengah

abad, orang ketiga, beberapa masalah, dan seterusnya.

g. Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti

leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas,

melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat.

Contoh: dan, ke, karena, dari, dan seterusnya.

h. Interjeksi adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara.

Contoh: ayo, mari, aduh, nah, dan seterusnya.

i. Artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina, seperti: yang

bersifat gelar, yang mengacu ke makna kelompok, dan yang menominalkan.

Contoh: sang, hang, si, dan seterusnya.

j. Partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk

dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang mengiringinya. Contoh: -kah,

(13)

commit to user

Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985) membagi kategorisasi kata

sebagai berikut:

a. Nomina adalah kategori gramatikal yang tidak dapat bergabung dengan

tidak.

b. Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina.

c. Ajektiva adalah kategori kata yang ditandai oleh (1) kemungkinannya

didampingi partikel seperti lebih, sangat, dan agak, atau (2) ciri-ciri

morfologis, seperti -if (dalam sensitif), dan –i (dalam alami). Secara

semantis, ajektiva mengungkapkan makna keadaan suatu benda.

d. Numeralia adalah kategori gramatikal yang tidak bergabung dengan tidak

tapi dapat bergabung dengan nomina, seperti dalam dua guru. Istilah

numeralia dipakai menyatakan konsep sintaksis yang mewakili bilangan

yang terdapat dalam alam di luar bahasa.

e. Verba adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai

kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan kata

di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’. Secara

semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan, proses, atau keadaan.

f. Adverbia adalah kategori yang mendampingi kategori verba, ajektiva,

numeralia, adverbia, dan proposisi.

g. Preposisi adalah partikel yang berfungsi menghubungkan kata atau frase

(14)

h. Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi

menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau

mengukuhkan apa yang telah diketahui oleh pembicara.

i. Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan

anteseden.

j. Konjungsi adalah kategori yang berfungsi meluaskan satuan yang lain dalam

konstruksi hipotaktis. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang

setataran ataupun yang tidak setataran.

k. Interjeksi bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaktis

tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam sebuah kalimat.

l. Kategori fatis bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan

pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kategori fatis ini tidak

dapat diucapkan dalam monolog. Kategori fatis ini biasanya terdapat dalam

konteks dialog atau wawacara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang

diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

m. Pertindihan kelas kategori, contoh:

(1) Sapi saya mati kemarin. (mati sebagai verba intransitif).

(2) Mati itu bukan akhir segalanya. (mati sebagai nomina).

(3) Ini harga mati. (mati sebagai ajektiva).

Pendapat para ahli di atas menunjukkan bahwa penjenisan kata

secara umum dalam bahasa Indonesia masih belum seragam. Hal ini terjadi

(15)

commit to user

dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya pada saat dibutuhkan. Dalam penelitian

ini, Peneliti hanya akan fokus pada jenis kata verba saja.

2. Verba dalam Bahasa Indonesiadan Ciri-cirinya

Verba merupakan jenis kata yang menjadi inti dari sebuah kalimat

pada umumnya. Verba sudah dapat mewakili aksi apa yang akan dilakukan

oleh subjek kepada objek ataupun sebaliknya. Beberapa penjelasan verba

menurut para ahli dapat dilihat sebagai berikut.

2.1 Ciri-ciri Verba dalam Bahasa Indonesia

Kridalaksana, dkk., (2008:254) menyatakan bahwa verba (verb)

adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat; dalam

beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala,

aspek, persona, atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur

semantis perbuatan, keadaan, atau proses; kelas ini dalam Bahasa

Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak

dan tidak mungkin diawali dengan kata sangat, lebih, dan sebagainya;

misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya.

Alwi, dkk., (2003:87) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat

diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis,

dan (3) bentuk morfologisnya. Namun secara umum verba dapat

diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari

(16)

a. Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat

dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain.

Contoh:

(4) Pencuri itu lari.

(5) Mereka sedang belajar di kamar.

(6) Bom itu seharusnya tidak meledak.

(7) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia.

Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah predikat,

yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat itu. Dalam

sedang belajar, tidak meledak, dan tidak akan suka verba belajar, meledak

dan suka berfungsi sebagai inti predikat.

b. Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan

yang bukan sifat atau kualitas.

Contoh:

(1)Makna inheren perbuatan, seperti: mendekat, mencuri, membelikan,

memukuli, mandi, memberhentikan, menakut-nakuti, dan naik haji.

(2)Makna inheren proses, seperti: mati, jatuh, mengering, mengecil,

meninggal, kebanjiran, terbakar, dan terdampar.

(3)Makna inheren keadaan, seperti: terdingin (paling dingin) dan tersulit

(paling sulit).

c. Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat dilekati prefiks

(17)

commit to user

d. Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang

menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar,

*sangat pergi, dan *bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat

berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.

Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985:51) menjelaskan bahwa verba

adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai

kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan

kata di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’.

Secara semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan,

proses, atau keadaan. Jika dilihat dari bentuknya, verba dapat dibedakan

atas verba dasar bebas dan verba turunan. Jika dilihat dari banyaknya

argumen, verba dapat dibedakan menjadi verba intransitif dan verba

transitif. Jika dilihat dari hubungan verba dengan argumen, verba dapat

dibedakan menjadi verba aktif dan verba pasif. Jika dilihat dari interaksi

antara argumen, verba dapat dibedakan atas verba resiprokal dan verba

nonresiprokal. Jika dilihat dari sudut referensi dan argumennya, verba

dapat dibedakan atas verba reflektif dan verba nonreflektif. Jika dilihat

dari sudut hubungan identifikasi antara kedua argumennya, dapat

dibedakan verba kopulatif dan verba ekuatif.

Beberapa penjelasan di atas, memperlihatkan penjabaran

tentang verba itu sendiri. Namun dalam hal ini, peneliti hanya akan

(18)

dasar dan verba turunan (segi morfologis), dan dari banyaknya argumen

seperti verba intransitif dan verba transitif (segi sintaksis).

2.2 Bentuk Verba Bahasa Indonesia

Menurut Kridalaksana, dkk., (1985:52) bentuk verba terdiri atas

dua, yaitu:

(1) Verba Dasar Bebas

Verba dasar bebas adalah morfem dasar bebas. Contoh:

duduk pergi makan pulang

mandi tidur minum

(2) Verba Turunan

Verba turunan adalah verba yang telah mengalami afiksasi,

reduplikasi, atau gabungan proses. Sebagai bentuk turunan, dapat

kita jumpai verba berafiks dan verba bereduplikasi:

a. Verba berafiks

Contoh: ajari dituliskan

bernyanyi jahitkan

bertaburan kematian

bersentuhan menjalani

melahirkan kehilangan

mempercayai termuat

(19)

commit to user

b. Verba bereduplikasi

Contoh: bangun-bangun pulang-pulang

ingat-ingat senyum-senyum

makan-makan

Lebih lanjut, Alwi, dkk., (2003) menjabarkan bentuk verba seperti

berikut.

1. Asal: berdiri sendiri tanpa afiks : ada, datang, mandi, tidur,

tinggal, tiba, suka, turun, pergi

a. Dasar bebas, : mendarat, melebar, mengering,

afiks wajib membesar, berlayar, bertelur,

bersepeda, bersuami

2. Turunan b. Dasar bebas, : (mem)baca, (mem)beli,

afiks manasuka (meng)ambil, (men)dengar,

(be)kerja, (ber)karya, (ber)jalan

c. Dasar terikat, : bertemu, bersua, membelalak,

afiks wajib menganga, mengungsi, berjuang

b. Berulang : berjalan-jalan, memukul-mukul,

makan-makan

c. Majemuk : naik haji, campur tangan,

cuci muka, mempertanggung-jawabkan

Bagan 1. Bentuk Verba

Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa verba dalam Bahasa

Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, yakni

(1) verba asal: verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

sintaksis, dan (2) verba turunan: verba yang harus atau dapat memakai

afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan/atau pada posisi

sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga subkelompok, yakni

(a) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya, darat), tetapi

memerlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba (mendarat),

(20)

(b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya,baca) yang dapat

pula memiliki afiks (membaca), dan (c) verba yang dasarnya adalah dasar

terikat (misalnya, temu) yang memerlukan afiks (bertemu). Di samping

ketiga subkelompok verba turunan itu, ada juga verba turunan yang

berbentuk kata berulang (misalnya, makan-makan, berjalan-jalan) dan

kata majemuk (misalnya, naikhaji, bertanggungjawab).

Merujuk pada pendapat para ahli di atas dapat dinyatakan bahwa

pembagian bentuk verba sudah semakin kompleks dan rinci. Namun,

dalam hal ini peneliti hanya akan meneliti mengenai (1) verba asal dan

(2) verba turunan ((b) dasar bebas, afiks manasuka dan (c) dasar terikat,

afiks wajib).

2.3 Sintaksis Verba Bahasa Indonesia

Kridalaksana, dkk., (1985) menyatakan bahwa verba dalam Bahasa

Indonesia dibedakan atas verba intransitif dan verba transitif. Adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut.

2.3.1 Verba Intransitif

Kridalaksana (1985:52-53) menyatakan bahwa verba intransitif

adalah verba yang menghindarkan objek. Proposisi yang memakai verba

ini hanya mempunyai satu argumen. Dalam verba intransitif terdapat

sekelompok verba yang berpadu dengan argumen; misalnya, alih bahasa,

(21)

commit to user

2.3.2 Verba Transitif

Kridalaksana (1985:54) menyatakan bahwa verba transitif adalah

verba yang memerlukan objek. Objek adalah konstituen kalimat yang

kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada

kalimat aktif (Alwi, dkk., 2003:328). Lebih lanjut beliau menjelaskan

bahwa objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal yang berada

langsung di belakang perdikat, dapat menjadi subjek akibat pemasifan

kalimat dan dapat diganti dengan pronomina –nya. Objek terdiri dari

objek langsung dan objek tak langsung. Dikenal juga dengan istilah

Objek dan Pelengkap atau Komplemen. Alwi, dkk., (2003:329)

menyatakan bahwa pelengkap berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa

adjectival, frasa preposisional, atau klausa yang berada langsung

di belakang predikat jika tak ada objek dan di belakang objek kalau unsur

ini hadir. Pelengkap juga tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan

kalimat, serta tidak dapat diganti dengan -nya kecuali dalam kombinasi

preposisi selain di, ke, dari, dan akan. Konfigurasi makna yang

menjelaskan isi komunikasi dari pembicara; terjadi dari predikator yang

berkaitan dengan satu argumen atau lebih disebut Proposisi

(Kridalaksana, 2008:201). Proposisi yang menggunakan verba ini

mempunyai dua atau tiga argumen. Argumen adalah nomina atau frase

(22)

proposisi

predikator argumen1 argumenn

Banyaknya objek tergantung pada banyaknya argumen. Berdasarkan

banyaknya argumen, terdapat verba transitif sebagai berikut.

(1) Verba Monotransitif

Verba monotransitif adalah verba yang mempunyai dua argumen.

Contoh:

Proposisi

(8) Sayamenulissurat

argumen 1 predikator argumen 2

subjek verba monotransitif objek

‘Menulis’ adalah verba monotransitif yang memiliki dua argumen yaitu

‘saya’ dan ‘surat’. ‘Saya’ adalah argumen1 dan ‘surat’ adalah argumen

2. Di samping argumen, kalimat di atas juga memiliki subjek dan

predikat bila ditinjau dari sintaksis. ‘Saya’ berperan sebagai subjek,

sedangkan ‘surat’ berperan sebagai objek. Dari verba ‘menulis’ yang

memunculkan ‘saya’ dan ‘surat’, menunjukkan suatu proposisi yang

menjelaskan makna dari kalimat tersebut.

(2) Verba Ditransitif

Verba ditransitif adalah verba yang mempunyai tiga argumen.

Contoh: Proposisi

(9) Ibu memberi adik kue

argumen 1 predikator argumen 2 argumen 3

(23)

commit to user

Verba

Memberi’ adalah verba ditransitif yang memiliki tiga argumen yaitu

ibu’ sebagai argumen 1, ‘adik’ sebagai argumen 2, ‘kue’ sebagai

argumen 3. Verba ‘memberi’ membutuhkan objek ‘adik’, dan

pelengkap/komplemen ‘kue’. Verba ‘memberi’ memunculkan proposisi

yang menjelaskan makna dari kalimat tersebut di atas.

Kemudian, Alwi, dkk., (2003:97) menyimpulkan perilaku

sintaksis verba seperti yang terlihat pada berikut.

Ekatransitif

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa perilaku

sintaksis verba adalah sebagai berikut.

Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai

objek dalam kalimat aktif, dan objek ini dapat berfungsi sebagai subjek

dalam kalimat pasif. Contohnya:

(10) Ibu sedang membersihkan kamar itu.

(11) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur.

Verba yang dicetak miring dalam contoh (10) dan (11) adalah

verba transitif. Masing-masing verba diikuti oleh nomina atau frasa

nominal, yaitu kamar itu, pemimpin yang jujur. Nomina atau frasa

nominal itu berfungsi sebagai objek yang dapat juga dijadikan

(24)

(12) Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu.

(13) Pemimpin yang jujur itu pasti dicintai oleh rakyat.

Verba transitif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

(a) Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek.

Contoh:

(14) Saya sedang mencari pekerjaan.

Mencari pada kalimat (14) adalah verba ekatransitif karena kedua

verba ini hanya memerlukan sebuah objek (pekerjaan). Objek

dalam kalimat yang mengandung verba ekatransitif dapat diubah

fungsinya sebagai subjek dalam kalimat pasif.

(b) Verba Dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti

oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai

pelengkap. Contoh:

(15) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.

Verba mencarikan pada kalimat (15) adalah verba dwitransitif

karena kalimat tersebut memiliki objek (adik saya) dan pelengkap

(pekerjaan). Objek dapat saja tidak dinyatakan secara eksplisit,

tetapi yang tersirat di dalam kalimat itu tetap menunjukkan adanya

objek tadi. Jadi, kalimat Saya sedang mencarikan pekerjaan

mengandung arti bahwa pekerjaan itu bukan untuk saya, tetapi

(25)

commit to user Contoh lain:

(16) Ibu memberi saya uang

Kalimat di atas, bila dipasifkan akan menjadi “Saya diberi uang

oleh ibu”. Kata ‘Saya’ yang bisa dipasifkan adalah objek,

sedangkan kata ‘oleh ibu’ adalah komplemen/pelengkap.

(c) Verba Semitransitif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh

juga tidak. Contoh:

(17) Ayah sedang membaca koran.

(18) Ayah sedang membaca.

Kalimat (17) dan (18) menunjukkan bahwa verba membaca adalah

verba semitransitif karena verba itu memiliki objek (koran) seperti

pada contoh (17), tetapi juga boleh berdiri sendiri tanpa objek

seperti pada (18). Jadi, objek untuk verba semitransitif bersifat

manasuka.

Verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di

belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.

(19) Maaf, Pak, Ayah sedang mandi.

(20) Kami harus bekerja keras untuk membangun negara.

(21) Petani di pegunungan bertanam jagung.

Verba mandi dan bekerja pada (19) dan (20) adalah verba taktransitif

karena tidak dapat diikuti nomina. Verba bertanam pada (21) memang

diikuti oleh nomina jagung, tetapi nomina itu bukanlah objek dan

(26)

bertanam disebut verba taktransitif, sedangkan jagung merupakan

pelengkap.

Verba taktransitif juga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

(a) Verba taktransitif berpelengkap wajib

Contoh:

(22) Rumah orang kaya itu berjumlah dua puluh buah.

Verba berjumlah (22) adalah verba berpelengkap, termasuk

verba semitransitif dan pelengkap verba itu harus ada dalam

kalimat. Jika pelengkap itu tidak hadir, kalimat yang

bersangkutan tidak sempurna dan tidak berterima.

(b) Verba taktransitif tak berpelengkap

Contoh:

(23) Gadis itu tersipu-sipu.

Verba tersipu-sipu adalah verba yang tidak dapat diberi

pelengkap. Hal ini dikarenakan bahwa di antara verba seperti

itu ada yang diikuti oleh kata atau frasa tertentu yang

kelihatannya seperti pelengkap, tetapi sebenarnya adalah

keterangan.

(c) Verba taktransitif berpelengkap manasuka

Contoh:

(24) Kantongnya berisi uang.

(27)

commit to user

kalimat ini, tapi dalam konteks pemakaian yang lain, verba itu

dapat juga tidak diikuti oleh pelengkapnya. Namun kalimat ini

tidak bisa dipasifkan.

3. Penjenisan Kata Bahasa Batak Angkola Secara Umum

Edi Subroto (1991:34) menyatakan bahwa jenis kata adalah suatu

sistem yang mencakup seperangkat kategori morfologis tertentu dan yang

memperlihatkan perilaku sintaksis tertentu. Jadi dasar paradigma morfologis

dipergunakan bersama dengan dasar sintaksis untuk menentukan jenis kata.

Dalam hal suatu jenis kata tidak mempunyai ciri paradigma morfologis atau

hanya mempunyai ciri paradigma morfologis sedikit, penentuan jenis kata

ditentukan secara sintaksis.

Tinggi Barani (2008) menjelaskan bahwa jenis kata dalam Bahasa

Angkola terdiri dari:

1. Kata ganti diri atau pengganti nama orang lain yang disebut juga dengan

personal pronoun. Contoh: au ‘saya’, ho ‘engkau’, dan seterusnya.

2. Kata kerja atau pekerjaan yang dilakukan yang disebut juga dengan verb.

Contoh: kehe ‘pergi’, mardalan ‘berjalan’, dan seterusnya.

3. Kata petunjuk benda atau demonstrative pronoun yaitu untuk

menunjukkan suatu benda. Untuk menunjuk benda, harus lebih dahulu

diperhatikan jarak benda itu baik dekat, jauh, atau agak jauh. Mengenai

jumlah banyak atau sedikit tidak mempengarui bentuk kata dalam kalimat.

(28)

4. Kata Tanya maksudnya tiap-tiap bertanya harus dimulai dengan kata

tanya. Contoh: didia ‘dimana’, siandia ‘dari mana’, dan seterusnya.

5. Kata perangkai (preposition) adalah kata yang menghubungkan antara

kata benda yang pertama dengan kata benda yang kedua. Contoh:

(25) Seekor kucing di atas tilam.

Dua benda kucing dan tilam dihubungkan kata di atas, yang disebut

kata perangkai.

6. Keterangan waktu (adjunct of time) adalah kata-kata yang memberi

keterangan agar kalimat itu lebih jelas. Contoh:

sadarion = hari ini

ancogot = besok

dompak = sedang, dan seterusnya.

7. Keterangan tempat (adjunct of place) adalah kata-kata yang menerangkan

tempat. Contoh:

(26) Halahi tinggal dison. ‘Mereka tinggal di sini’

dison = di sini

disandun = di sana, dan seterusnya.

8. Kata bilangan (numeral), contoh:

sada = satu

dua = dua, dan seterusnya.

9. Petunjuk benda (demonstrativepronoun), contoh:

(29)

commit to user

10.Kata kepunyaan (possessive pronoun) dalam bahasa Angkola berasal dari

kata ke-punya-an, yakni dari kata dasar punya ‘puna’. Contoh:

Au puna = saya punya

Ho puna = engkau punya, dan seterusnya.

11.Kata sifat (adjective) adalah kata yang menjelaskan keadaan. Contoh:

poso = muda

hancit = sakit, dan seterusnya.

12.Kata imbuhan (augmentation) adalah kata yang ditambahkan atau

diimbuhkan pada kata dasar sehingga mengubah pengertian dari kata

dasar. Kata imbuhan ada yang ditempatkan pada awal kata dasar, disebut

panjoloi, akhir kata dasar disebut panyidungi, dan diselipkan pada kata

dasar disebut panyoloti. Contoh:

Kata dasar awalan akhiran sisipan

lojong marlojong lojongkon -

lari berlari larikan -

dan seterusnya.

Selanjutnya, Harahap (2007:401) menyatakan bahwa jenis kata

dalam bahasa Angkola Mandailing disebut “Golongan ni Hata” atau

Ragam ni Hata” yang terdiri dari:

1. Hata bonda (kata benda) adalah kata yang mengandung pengertian

benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, misalnya:

bagas (tekanan suara pada ba…./ pada suku kata pertama) = rumah

(30)

arsak (tekanan suara pada ar…./ pada suku kata pertama) = kesedihan

2. Hata harejo (kata kerja) adalah kata yang mengandung pengertian

berbuat, misalnya:

oban = bawa

inum = minum

porsan = pikul, dan sebagainya.

3. Hata sifat (kata sifat) adalah kata yang mengandung pengertian

keadaan dari sesuatu, baik kata benda maupun kata ganti, misalnya:

bontar = putih

loja = lelah

pistar = pandai

4. Hata panggonti (kata ganti) adalah kata-kata yang mengandung

pengertian “menggantikan” atau mewakili sesuatu atau benda,

misalnya:

au = saya, aku

ho = engkau

ia = ia, dia, dan seterusnya.

5. Hata patorangkon (kata keterangan) yaitu kata-kata yang menerangkan

sesuatu kata kerja atau kata sifat dalam kalimat, misalnya:

ondope = barusan

natuari = kemarin

(31)

commit to user

6. Hata pandjoloi (kata depan) adalah kata yang mendepani kata benda

atau tempat, misalnya:

di = di

tu = ke

sian = dari

7. Hata patuduhon (kata tunjuk) adalah kata yang menunjuk sesuatu,

misalnya:

on = ini

indon = yang ini, dan seterusnya.

8. Hata sapa-sapa (kata tanya) adalah kata yang digunakan untuk

bertanya, misalnya:

aha = apa

ise = siapa

andigan = kapan

9. Hata pandohoti (kata sandang) adalah kata yang mendampingi nama,

misalnya:

si = si, seperti: si Amat

ompu = kakek, nenek, seperti: ompu raja = (si) kakek raja, dan

seterusnya.

10.Hata panyambung (kata penghubung) adalah kata yang berfungsi

menghubungkan kata dengan kata atau kalimat dengan kalimat,

misalnya:

(32)

11.Hata piopio (kata seru) adalah kata seru yang mengandung seruan,

misalnya:

O! = Oh! Hai, seperti: o anggi! = hai adik(ku)

Ile baya = aduhai, amboi, seperti: ile baya, nada be da be = aduhai,

apa boleh buat, dan seterusnya.

12.Hata etongan (kata bilangan) yaitu kata-kata yang menunjukkan

bilangan, misalnya:

sada = satu

dua = dua

tolu = tiga, dan seterusnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat dilihat

bahwa jenis kata verba terdiri dari verba monomorfemis dan verba

polimorfemis. Verba monorfemis terdiri dari transitif dan intransitif seperti

verba kehe ‘pergi’, tolap ‘tiba’, gadis ‘jual’, dst. Verba polimorfemis dapat

dibentuk dari afiksasi, perulangan, dan majemuk. Namun dalam penelitian

ini yang akan dianalisis hanya verba polimorfemis yang dibentuk dari

afiksasi saja.

3.1 Ciri-ciri Verba Bahasa Batak Angkola

Verba dalam BBA memiliki ciri-ciri umum yang hampir sama dengan

ciri-ciri verba dalam Bahasa Indonesia. Verba (kata kerja) merupakan salah

(33)

commit to user

melalui penambahan afiks atau dengan kata lain disebut dengan proses

morfemis. Ini adalah salah satu keistimewaan verba, karena setiap verba yang

mengalami penambahan afiks akan mengalami perubahan nosi. Verba

memiliki makna yang mengacu pada aksi seperti perintah.

Selanjutnya, verba dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri yang

dimilikinya. Alwi, dkk. (2003:87-88) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat

diketahui dengan mengamati perilaku semantik, perilaku sintaksis, dan bentuk

morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan

dari kelas kata yang lain, terutama dari ajektiva, karena ciri-ciri sebagai

berikut.

a) Verba memiliki fungsi utama sebagi predikat atau sebagai inti predikat

dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. Contoh:

(27) Pencuri itu lari. ‘Marlojong panangko i’

Marlojong [marl¿j¿N] ‘berlari’, panangko [panaNko] ‘pencuri’, i [i]

‘itu’

(28) Mereka sedang belajar di kamar. ‘Dompak marsiajar halahi di bilik’

Dompak [d¿mpa/] ‘sedang’, marsiajar [marsiajar] ‘belajar’, halahi

[halahi] ‘mereka’, di [di] ‘di’, bilik [bIlI/] ‘kamar’

(29) Bom itu seharusnya tidak meledak. ‘Samustina bom i inda mapultak

Samustina [samùstIna] ‘semestinya’, bom [b¿m] ‘bom’, i [i] ‘itu’,

inda [inda] ‘tidak’, mapultak [mapùlta/] ‘meledak’.

(30) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia. Nangkan giot

(34)

Nangkan [naNkan] ‘tidak akan’, giot [gIot] ‘mau/suka’, halak

[hala/] ‘orang’, asing [asIN] ‘asing’, i [i] ‘itu’, masakan

[masakan] ‘masakan’, ni [ni] ‘dari’, Indonesia [ind¿nesia]

‘Indonesia’.

Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah

predikat, yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat

itu. Selanjutnya, dalam sedang belajar ‘dompak marsiajar’ (dompak

‘sedang’ – marsiajar ‘belajar’à marsi- ‘ber-’ + ajar ‘ajar’), tidak

meledak ‘inda mapultak’(inda ‘tidak’ – mapultak ‘meledak’ à ma-

me-’ + pultak ‘ledak’), dan tidak akan suka ‘nangkan giot’ (nangkan

‘tidak akan’ – giot ‘suka’), verba belajar ‘marsiajar’ , meledak

mapultak’ dan suka ‘giot’ berfungsi sebagai inti predikat.

b) Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan

yang bukan sifat atau kualitas. Contohnya maridi ‘mandi’, madabu ‘jatuh’,

mapultak ‘meledak’.

c) Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks

ter-yang berarti ‘paling’. Verba seperti mati‘mate’ atau suka ‘giot’, misalnya,

tidak dapat diubah menjadi *termati ‘tarmate’ atau *tersuka‘targiot’.

d) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang

menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar

‘tarmarsiajar’, *sangat pergi ‘sangat kehe’, dan *bekerja sekali

(35)

commit to user

marbahaya’, agak mengecewakan ‘tar mangacewaon’, dan

mengharapkan sekali ‘amana harop’.

e) Verba BBA biasanya terletak di awal subjek dalam kalimat. Misalnya:

(31) marsiajar halalai di sikola [marsiajar halalai di sik¿la] ‘Mereka

belajar di sekolah’. Marsiajar adalah verba, halalai adalah mereka, di

sikola adalah keterangan. Namun, dalam penerjemahannya menjadi

‘Belajar mereka di sekolah’, dan untuk penerjemahan yang lebih baik

untuk dimengerti adalah ‘Mereka belajar di sekolah’. Tetapi, verba BBA

juga sering terletak setelah subjek. Seperti (32) Ia marlojong [ia

marl¿j¿N] ‘Dia berlari’. Ia adalah subjek, dan marlojong adalah verba.

Dengan demikian, letak SV atau VS sama-sama digunakan dalam

kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Angkola. Penggunaannya tidak

bisa dipastikan kapan tepatnya harus SV atau VS karena tuturan itu keluar

secara alami saja.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penelitian ini

mengkhususkan pada verba dasar agar lebih mudah dalam

pengklasifikasian dan pengidentifikasian verba yang transitif dan

intransitif. Sehingga perumusan sistem pembentukan verba BBA dari

morfem dasar ini akan lebih terarah pelaksanaannya.

4. Morfem, Morf, dan Alomorf

Morfem merupakan unit terkecil yang memiliki arti, morf

(36)

realisasi dari morfem. Hal ini sesuai dengan pernyataan-pernyataan para

ahli sebagai berikut.

Langacker (1972:56) menyatakan bahwa morfem adalah unit

terkecil yang memiliki nilai semantik yang konstan. Selanjutnya, Bauer

(2003:12,17) menguraikan bahwa unit-unit yang muncul pada bentuk kata

disebut morf. Seperangkat jenis morf mewujudkan morfem yang sama.

Morf yang berwujud sebuah morfem yang khas dan secara fonetik atau

secara leksikal atau secara gramatikal disebut alomorf dari morfem.

Verhaar (2008:106) menyatakan bahwa morfem itu suatu satuan

yang abstrak: dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa

“nol”, dapat juga berupa nada tertentu. Berbeda dengan morfem itu,

alomorf-alomorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak

perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita

membutuhkan bentuk yang kelihatannya cukup konkret yang disebut

“morf”.

Lebih lanjut dipaparkan oleh Katamba (1994:24,26) bahwa morfem

adalah pembeda terkecil dari bentuk kata yang berkolerasi dengan pembeda

terkecil di dalam makna kata atau kalimat atau di dalam struktur

gramatikal. Analisis dari kata menjadi morfem dimulai dengan pemisahan

morf. Sebuah morf adalah wujud pembentukan kembali beberapa morfem

di dalam bahasa. Hal ini menunjukkan bunyi pembeda yang searah (fonem)

(37)

commit to user

Perbedaan kategori morfem dapat dilihat pada bagan berikut ini:

leksikal (kata leksik)

bebas

fungsional

morfem (kata tugas)

derivasional

afiks

infleksional

Bagan 3. Klasifikasi Morfem

Jika mempertimbangkan bunyi sebagai realisasi aktual dari fonetik,

dapat ditemukan bahwa morf adalah bentuk aktual dari realisasi morfem.

Dengan demikian, bentuk cat adalah morf tunggal yang direalisasikan dari

morfem leksikal. Bentuk cats terdiri dari dua morf, relialisasi dari sebuah

morfem leksikal dan sebuah morfem infleksional (‘jamak’). Sebagai

catatan bahwa terdapat alofon dari sebuah fonem khusus, kemudian dapat

menghubungkan alomorf dari sebuah morfem khusus. Apabila dilihat

dalam BBA maka salah satu contoh bentuknya yaitu pada nomina daganak

‘anak-anak’. Daganak berasal dari morfem bebas danak yang berarti

seorang anak, terjadi proses infeksi pada morfem tersebut yaitu dengan

penambahan morfem terikat –ga- diantara morfem danak.

Sebuah situs internet yang bernama ling.udel.edu. memaparkan

bahwa morfem adalah unit terkecil dari arti linguistik; sebuah kata tunggal

(38)

unsystematically dapat dianalisis menjadi lima bagian morfem yaitu

un+system+atic+al+ly); sebuah unit gramatikal yang perpaduan bunyi

dan artinya berubah-ubah sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut;

setiap kata dari setiap bahasa tersusun dari satu morfem atau lebih. Berikut

adalah uraian pembagian suku kata morfem.

Satu morfem boy (satu suku kata)

desire, lady, water (dua suku kata)

crocodile (tiga suku kata)

salamander (empat suku kata), atau lebih suku kata

Dua Morfem boy+ish

desire + able

Tiga Morfem boy + ish + ness

desire + able + ity

Empat Morfem gentle + man + li + ness

un + desire + able + ity

Lebih dari empat morfem un + gentle + man + li + ness

anti + dis + establish + ment + ari + an + ism

Selanjutnya dijelaskan bahwa morfem terdiri atas morfem bebas

dan morfem terikat. Morfem bebas yaitu morfem yang dapat digunakan

sebagai sebuah kata dan dapat berdiri sendiri (tanpa membutuhkan elemen

yang mengikutinya, seperti: afiks), contoh: girl, system, desire, hope, act,

(39)

commit to user

sendiri secara bebas (atau terpisah) dari kata. Morfem terikat adalah afiks

(prefiks, sufiks, infiks, and sirkumfiks).

Kemudian, dijelaskan pula bahwa morfem terbagi atas root dan

stem atau dengan kata lain disebut dengan akar dan dasar. Uraian

mengenai root dan stem ini dapat dilihat dengan jelas dalam tabel berikut.

TABEL 1

PERBEDAAN ANTARA ROOT DAN STEM

Root Stem

Leksikal non-afiks mengandung morfem-morfem yang tidak dapat dianalisis lagi menjadi bagian-bagian yang terkecil. Contoh:

· Ketika sebuah morfem akar

dikombinasikan dengan morfem afiks, itulah bentuk dari sebuah stem.

· Afiks-afiks yang lain dapat

(40)

Stem un + system + atic + al (prefiks + noun + sufiks + sufiks)

Kata un + system + atic + al + ly (prefiks + noun + sufiks + sufiks

+sufiks)

Sementara itu, Alwi, dkk. (2003:28-29) menyatakan bahwa dalam

bahasa ada bentuk (seperti kata) yang dapat “dipotong-potong” menjadi

bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi

bagian yang lebih kecil lagi sampai ke bentuk yang, jika dipotong lagi,

tidak mempunyai makna.

Kata memperbesar, misalnya, dapat kita potong sebagai berikut:

mem-perbesar

per-besar

Jika besar dipotong lagi, maka be- dan –sar masing-masing tidak

mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem.

Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem

bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,

dinamakan morfem terikat.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa anggota satu morfem yang

wujudnya berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang sama

dinamakan alomorf. Morfem biasanya diapit oleh tanda kurung kurawal

{…}. Morfem, morf dan alomorf dalam BBA adalah sebagai berikut:

a) Morfem, misalnya, morfem terikat yaitu : {maN-} ‘meN-’, {tar-} ‘ter-’,

(41)

commit to user

b) Morf, misalnya {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-} ‘mem-’, {mang-}

‘meng-’, {many-} ‘meny-’.

c) Alomorf, misalnya semua {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-}

‘mem-’, {mang-} ‘meng-’, {many-} ‘meny-’ merupakan alomorf dari

{maN-} ‘meN-’.

Untuk sementara, penjelasan mengenai morfem BBA ini masih terus

menjadi perbincangan dan bahan penelitian.

5. Morfem Dasar

Kridalaksana (2008:44) menyatakan bahwa morfem dasar (base

morpheme) adalah mofem yang dapat diperluas dengan dibubuhi afiks; misal:

juang dalam berjuang.

Morfem yang dileburi morfem yang lain disebut morfem dasar

(Verhaar, 2008:98). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dileburkan itu berupa

imbuhan atau klitika atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau

morfem yang sama (dalam reduplikasi). Morfem dasar terdiri atas tiga macam,

yaitu (1) pangkal, (2) akar, dan (3) pradasar.

Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam

undo, dan hak dalam berhak. Morfem akar adalah morfem dasar yang

berbentuk terikat, agar menjadi bentuk bebas harus mengalami pengimbuhan,

misalnya: infinitif verbal Latin amare ‘mencintai’ memiliki akar –am, dan akar

am- itu selamanya membutuhkan imbuhan (misalnya imbuhan “infinitif aktif”

(42)

tidak akan menghasilkan bentuk bebas, dan pemajemukan dengan am- juga

tidak memungkinkan. Pradasar adalah bentuk yang membutuhkan

pengimbuhan dan pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.

Misalnya, morfem ajar berupa pradasar. Morfem ini dapat menjadi bebas

melalui pengimbuhan (misalnya dalam mengajar, belajar, dan lain

sebagainya), dapat juga melalui pengklitikaan, (misalnya dalam kami ajar, saya

ajar, dan sebagainya), dan dapat juga dengan pemajemukan (misalnya dalam

kurang ajar).

Kemudian, morfem dasar tidak selalu berupa monomorfemis. Sebagai

misal kata berpengalaman, terdiri atas pangkal (polimorfemis) pengalaman

diimbuhi ber-, tetapi pangkal itu sendiri adalah polimorfemis dan dapat dibagi

lagi atas pangkal (monomorfemis) alam ditambahi imbuhan (terbagi) pen- -an.

Atau dengan contoh yang lain, seperti bentuk pradasar berikut, yaitu: ajar.

Adapun kemungkinan-kemungkinan pengimbuhan yang dapat muncul adalah

sebagai berikut: belajar, pelajar, mengajar, pengajar, mengajari,

mengajarkan, mempelajari, diajar, diajari, diajarkan, kuajar, kuajari,

kuajarkan, kauajar, dan lain sebagainya.

6. Morfem afiks

Morfem aditif (additive morpheme) merupakan konsep yang mencakup

dasar, prefiks, sufiks, infiks, suprafiks, konfiks, simulfiks, dan pengulangan

(43)

commit to user

Selanjutnya, Kridalaksana (1985:19) menjelaskan bahwa dalam bahasa

Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan atas

tujuh macam sebagai berikut.

a. Prefiks adalah afiks yang diletakkan di muka bentuk dasar. Contoh: meN-,

di-, ber-, ke-, ter-, se-, peN-, dan pe-/per.

b. Infiks adalah afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar. Contoh: -el-,

-er-, dan –em-.

c. Sufiks adalah afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar. Contoh: -kan,

-i, -nya, -wati, -wan, -isme, dan –isasi.

d. Simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental

yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks

dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar

dan fungsinya ialah memverbalkan nomina, ajektiva, atau kelas kata lain.

Contoh berikut terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku: kopi-ngopi,

soto-nyoto, sate-nyate, kebut-ngebut.

e. Kombinasi afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang

dihubungkan dengan sebuah bentuk dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang

khusus dan hanya merupakan gabungan beberapa afiks yang mempunyai

bentuk dan makna gramatikal tersendiri, digabungkan secara simultan pada

bentuk dasar. Contoh:

(1) memperkatakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi tiga

(44)

(2) mempercayakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi dua

afiks: satu prefiks dan satu sufiks.

Dalam bahasa Indonesia kombinasi afiks yang dikenal ialah

me-…-kan, me-…-i, memper-…-kan, memper-…-i, ber-…-kan, ter-…-kan,

pe-…-an, dan se-…-nya.

Selanjutnya, kombinasi afiks dikenal juga dengan nama afiks

gabung yaitu beberapa afiks yang terdapat dalam satu kata jadi misalnya:

berkewarganegaraan nomina dasar: warga dan negara

ke-warga-negara-an konfiks: ke-an

kewarga-negaraan prefiks: ber-

ber- disini: ber- & ke-an adalah afiks gabung.

f. Konfiks adalah afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar

dan satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem

terbagi. Konfiks harus dibedakan dengan kombinasi afiks. Konfiks adalah

satu morfem dengan satu makna gramatikal. Greenberg (1966)

menggunakan istilah ambifiks untuk morfem ini. Istilah lain untuk gejala

ini adalah sirkumfiks. Istilah dan konsep konfiks sudah lama dikenal dalam

linguistik dan pernah dikenalkan oleh Knobloch (1961:57) dan Akhmanova

(1966:423).

Dalam bahasa Indonesia ada empat konfiks, yaitu ke-…-an,

peN-…-an, per-…-an, dan ber-…-an, yang terlihat dalam contoh berikut.

(45)

commit to user

(2) Pengiriman kita jumpai konfiks peN-…-an. Juga kita temukan bentuk

pengirim dan kiriman. Jadi, peN-…-an dalam pengiriman mempunyai

makna gramatikal tersendiri.

(3) Persahabatan, per-…-an adalah sebuah konfiks. Sahabat adalah bentuk

dasarnya, sedangkan bentuk *persahabat dan *sahabatan tidak

ditemukan. Jadi, bentuk per-…-an mempuyai makna gramatikal

tersendiri.

(4) Bertolongan, ber-…-an merupakan konfiks, tetapi ber-…-an dalam

berpajangan bukan konfiks karena proses pembentukannya berbeda.

Proses ber-…-an dalam berpajangan ialah ber+pajangan, sedangkan

dalam bertolongan prosesnya ialah ber-…-an + tolong. Ber-

mengandung makna ‘mempunyai’, sedangkan ber-…-an mengandung

makna ‘resiprokal’.

g. Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri

suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem

suprasegmental. Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Proses afiksasi bukanlah hanya sekedar perubahan bentuk saja.

Sebenarnya, ada pula perubahan makna gramatikal karena afiks adalah bentuk

yang sedikit banyak mengubah makna gramatikal bentuk dasar.

Proses yang lengkap: ajar- belajar- pelajar

pelajaran

mengajar pengajar pengajaran

(46)

commit to user

Proses dengan rumpang: juang berjuang pejuang

menjuang pejuang

suruh menyuruh penyuruh bersuruh pesuruh

Bentuk bersuruh ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada

antara lain dalam dialek Melayu Riau Daratan. Dalam bahasa Indonesia kini

masih terdapat bentuk-bentuk ber- yang berfungsi seperti itu, tetapi terbatas

jumlahnya, yaitu batu bersurat, beras bertumbuk, dan dalam peribahasa

Gayung bersambut, kata berjawab”.

Dari kejadian kata itu tampak bahwa tidak semua matriks terisi.

Adanya rumpang dalam pola itu, di samping kesahihan sistem yang disokong

oleh proses morfofonemis yang dialami oleh bentuk itu masing-masing, harus

diterima sebagai kenyataan dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, adanya

rumpang itu dapat dianggap sebagai potensi pembentukan kata yang dapat

dikembangkan lebih jauh.

Sementara itu, adapun beberapa pembagian afiks dalam BBA, yaitu :

1)Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut

prefiksasi. Contohnya: kata dasar potuk [p¿tuk] ‘pukul’ menjadi mamotuk

[mam¿tuk] ‘memukul’, mengalami prefiksasi yang berupa prefiks nasal

{maN-}. Fonem /p/ pada kata dasar luluh karena adanya proses nasalisasi.

2)Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang

disebut sufiksasi. Contohnya: kata dasar ela [ela] ‘ambil’ menjadi elai

[elaI] ‘ambili’, mengalami sufiksasi yaitu sufiks {-i}.

(47)

commit to user

menjadi binaen [binaen] ‘dibikin/dibuat’, mengalami infiksasi yaitu infiks

{-in-}.

4)Konfiks/simulfiks/ambifiks/sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian

di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam

proses yang dinamai konfiksasi/simulfiksasi/ambifiksasi/sirkumfiksasi.

Namun dalam penelitian ini istilah yang digunakan adalah konfiks dan

konfiksasi saja. Contohnya: kata dasar suan [suw¿n] ‘tanam’ menjadi

manyuani [maøuw¿ni] ‘menanami’, mengalami konfiksasi yaitu konfiks

{maN-i}.

7. Morfologi Infleksional dan Morfologi Derivasional

Morfologi secara tradisional dibagi menjadi dua cabang infleksi dan

derivasi. Kedua hal ini biasanya dipandang secara terpisah; infeksi adalah

bagian dari sintaksis, sementara derivasi adalah bagian dari leksem. (Bauer,

2003:92).

Verhaar (2008:121) menjelaskan bahwa fleksi, atau morfologi

infleksional, adalah proses morfemis yang diterapkan pada kata sebagai unsur

leksikal yang sama, sedangkan derivasi, atau morfologi derivasional adalah

proses morfemis yang mengubah kata sebagai unsur leksikal tertentu menjadi

unsur leksikal yang lain.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, morfologi infleksional dan

morfologi derivasional adalah proses morfemis yang berperan besar dalam

(48)

bahasa memiliki keunikan tersendiri yang dapat menunjukkan tunggal atau

jamak, kala waktu, gender, bahkan perubahan kelas kata.

Yule (1996:76-77) memaparkan bahwa morfem derivasional digunakan

untuk membuat kata-kata baru dalam bahasa dan sering digunakan untuk

membuat kata-kata yang berbeda kategori gramatikalnya dari stem. Dengan

demikian, penambahan morfem derivasional –ness mengubah adjektif good

‘baik’ menjadi goodness ‘kebaikan’. Morfem infleksional tidak digunakan

untuk menghasilkan kata-kata baru dalam bahasa Inggris, tapi lebih mengacu

pada aspek fungsi gramatikal dari sebuah kata. Morfem infleksional digunakan

untuk menunjukkan apakah sebuah kata itu jamak atau tunggal, apakah past

tense atau bukan, dan apakah perbandingan (komparatif) atau bentuk posesif.

Bahasa Inggris hanya memiliki delapan morfem infleksional yang dapat dilihat

sebagai berikut:

Let me tell you about Jim’s two sisters.

One likes to have fun and is always laughing.

The other liked to study and has always taken things seriously.

One is the loudest person in the house and the other is quieter than a mouse.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa terdapat dua

infleksi, -‘s (posesif) dan –s, (jamak) yang menyatu pada nomina. Ada empat

yang menyatu dengan verba -s (orang ketiga tunggal dalam kala present), -ing

(present participle), -ed (past tense) dan –en (past participle). Ada dua

Gambar

Gambar 1. Peta Kabupaten  Tapanuli Selatan
TABEL 1  PERBEDAAN ANTARA ROOT DAN STEM
TABEL 2 Perbedaan antara Infleksi dan Derivasi
  TABEL 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No

Kombinasi afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang dilekatkan pada dasar kata, oleh karena verba bahasa Jepang adalah polimorfemik, maka proses afiksasi dengan