commit to user
0
SISTEM PEMBENTUKAN VERBA
BAHASA BATAK ANGKOLA DARI DASAR VERBA
TESIS
Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Deskriptif
Oleh:
Husniah Ramadhani Pulungan
S110908006
PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
xvi
ABSTRAK
Husniah Ramadhani Pulungan. S110908006. Sistem Pembentukan Verba Bahasa Batak Angkola dari Dasar Verba. Pembimbing I: Prof. Dr. H.D. Edi Subroto. Pembimbing II: Dr. Djatmika, M.A. Tesis: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Maret, 2011.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan afiks-afiks derivasional dan afiks-afiks infleksional pembentuk verba Bahasa Batak Angkola (BBA) dari dasar verba beserta aspek semantik dan keproduktifannya. Penyediaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam, teknik pustaka, dan teknik kerjasama dengan informan, lalu teknik simak, teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat adalah sebagai teknik lanjutannya. Sumber data dalam penelitian ini
adalah kaset, interview dengan informan, dan beberapa buku yang ditulis dalam
BBA. Adapun data yang dianalisis berupa verba dalam BBA baik monomorfemik maupun polimorfemik yang tuturan/ kalimatnya mengalami afiks derivasi dan afiks infleksi. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode agih
atau distribusional dengan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent
analysis), teknik urai/ pilih unsur langsung (immediate constituent analysis),
teknik oposisi dua-dua, dan teknik perluasan atau ekspansi. Penelitian ini juga menggunakan metode padan dengan teknik dasar pilah unsur tertentu.
Hasil analisis data, menunjukkan bahwa dari 100 verba dasar transitif dan 25 dasar verba intransitif yang berada dalam ruang lingkup Paradigma I adalah
sebagai berikut. Bentuk-bentuk afiks derivasional adalah kategori D–i dan
kategori D–kon. Aspek semantiknya adalah makna afiks derivasional –i
(frekuentatif, dan lokatif), dan makna afiks derivasional –kon (benefaktif,
melakukan dengan perbuatan alat, melakukan dengan sungguh-sungguh (intensif), kausatif, dan direktif), sedangkan produktifitasnya terbatas karena sifatnya yang
unpredictable. Bentuk-bentuk afiks infleksional adalah kolom A (kategori
maN-D, di-D, hu-D, di-D-ho, di-D-ia, tar-D), kolom B (kategori maN-D-i, di-D-i,
hu-D-i, di-D-iho, di-D-iia, tar-D-i), dan kolom C (kategori maN-D-kon, di-D-kon,
hu-D-kon, di-D-konho, di-D-konia, tar-D-kon). Aspek semantiknya adalah bentuk
baris 1 berfokus pada agen, sedangkan baris 2-6 berfokus pada pasien, kemudian
produktifitasnya luas karena sifatnya yang predictable. Namun, terdapat beberapa
verba tertentu yang tidak dapat dilekati afiks derivasi dan infleksi karena alasan semantis, dan beberapa verba, hukumnya harus dihapal karena sudah menjadi konvensi di masyarakat.
Sistem pembentukan verba Bahasa Batak Angkola adalah salah satu objek kajian di bidang Linguistik Deskriptif. Karenanya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian sejenis berikutnya. Semoga, penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam upaya pelestarian bahasa Nusantara sebagai kekayaan bangsa.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa Batak Angkola (selanjutnya BBA) adalah salah satu bahasa
Nusantara yang sudah mulai mengalami pergeseran dalam pemakaiannya. Hal itu
disebabkan oleh adanya budaya merantau dan datangnya para perantau dari
daerah lain yang mau tidak mau secara langsung ataupun tidak langsung
membawa perubahan budaya dan bahasa bagi masyarakat itu sendiri baik di kota
maupun di desa. Di samping itu, walaupun para orang tua masih menggunakan
BBA dalam kehidupan sehari-hari, ternyata akibat era globalisasi kecenderungan
para orang tua untuk lebih mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing
kepada para generasi penerusnya lebih besar daripada mengajarkan BBA, dengan
tujuan agar para generasi penerus ini dapat mengikuti perkembangan zaman yang
sudah semakin canggih.
Di satu sisi, sikap para orang tua ini berdampak positif karena dilandasi
rasa ingin maju, tetapi di sisi lain sangat disayangkan sekali karena tanpa disadari
sikap para orang tua yang demikian dapat membuat penggunaan BBA semakin
lama semakin berkurang dan akhirnya bahasa daerah ini bisa punah. Hal ini tidak
boleh terjadi, karena BBA merupakan warisan sejarah yang sudah turun-temurun
berperan sebagai alat komunikasi yang signifikan antarmasyarakat Batak
Angkola. Alangkah baiknya apabila masyarakat Batak Angkola mau menyadari
dan mau bersama-sama menjaga dan melestarikan bahasa daerah ini. Setidaknya,
walaupun tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena faktor situasional,
masyarakat dapat menggunakannya dalam keluarga atau ketika bertemu sanak
saudara karena itu merupakan sebuah ciri dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia
khususnya bagi masyarakat Batak Angkola tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin ikut berperan serta dalam
pelestarian BBA dengan membuat penelitian mengenai sistem verba BBA yang
bertujuan agar masyarakat Batak Angkola baik para orang tua maupun generasi
muda dapat mempelajari BBA. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan
bermanfaat bagi masyarakat guru bahasa, masyarakat linguistik, dan masyarakat
umum yang ingin mengetahui dan menambah wawasan tentang BBA. Senada
dengan pernyataan di atas, Harahap (2007:ii) menyatakan bahwa Undang-Undang
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang dalam rangka
melestarikan budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional.
Ginting (1997:2) menekankan dalam UUD 1945 bab XV ayat 1 dan 2
dipaparkan bahwa bahasa-bahasa daerah masih dipakai sebagai alat perhubungan
dan alat komunikasi yang hidup, dihargai dan dipelihara oleh negara. Hal ini
dikarenakan bahasa daerah itu adalah bahagian dari kebudayaan nasional yang
tetap hidup dan berkembang. Dengan demikian, bahasa daerah itu adalah
pendukung kebudayaan serta menjadi lambang identitas daerah yang turut
menunjang pembinaan bahasa nasional. Berlandaskan pernyataan-pernyataan di
atas diharapkan pelaksanaan sosialisasi dari pelestarian BBA ini akan lebih mudah
commit to user
BBA merupakan bagian dari jenis bahasa suku Batak yang terdapat di
Sumatera Utara. Menurut Hutahuruk (1987:6) suku Batak itu mempunyai tujuh
sub suku: Toba, Dairi, Angkola, Mandailing, Campuran, Karo dan Simalungun.
Adapun pembagian tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:
1) Daerah Kabupaten Tapanuli Utara
a. Orang Batak Toba berada di pulau Samosir (Pangururan); sekitar
Danau Toba (Balige); tanah datar Humbang (Siborong-borong); dan
lembah Silindung (Tarutung).
b. Orang Batak Dairi di tanah Pakpak dengan kota Sidikalang.
2) Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan
a. Orang Batak Angkola berada di sekitar Padangsidimpuan, Sipirok dan
Gunung Tua;
b. Orang Mandailing berada di sekitar Panyabungan, Natal dan Muara
Sipongi.
3) Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pesisir)
Di daerah ini yang tinggal adalah pertemuan orang Batak Toba (mayoritas)
dengan orang Batak Angkola dan orang pendatang dari luar suku Batak;
terdapat di daerah pantai dari Sibolga sampai Barus.
4) Daerah Kabupaten Karo, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang Batak
Karo (Kabanjahe).
5) Derah Kabupaten Simalungun, Sumatera Timur adalah tempat tinggal orang
Tarigan dalam Hasibuan (1972:6) membagi bahasa-bahasa Batak
sebagai berikut:
1. Angkola
2. Karo
3. Mandailing
4. Pakpak
5. Simalungun
6. Toba
Tinggibarani (2008:1) menyatakan bahwa bahasa Angkola adalah salah
satu bahasa di daerah Tapanuli bahagian Selatan, yang dipergunakan sehari-hari
oleh masyarakat Marancar, Angkola, Sipirok, Padangbolak/Padanglawas,
Barumun-Sosa, dan dapat dimengerti oleh penduduk daerah kabupaten
Mandailing Natal, dengan dialek atau logat yang berbeda.
Hasibuan (1972:14) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat Angkola ialah orang-orang yang masih terikat dengan kebudayaan
Angkola dalam hidupnya sehari-hari dan memakai bahasa Angkola sebagai
bahasa ibunya. Kemudian, Siregar dan Nasution (dalam Hasibuan (1972:14-15))
menjelaskan bahwa daerah yang memakai bahasa Angkola meliputi kecamatan
Padangsidimpuan, kecamatan Sipirok, kecamatan Batangtoru, kecamatan Batang
Angkola, kecamatan Sosopan, kecamatan Padangbolak dan kecamatan Barumun
commit to user
Gambar 1. Peta Kabupaten Tapanuli Selatan
Gambar peta Kabupaten Tapanuli Selatan di atas menunjukkan batas
wilayah antara daerah Angkola dan daerah Batak lainnya. Daerah Angkola berada
di antara daerah Mandailing dan daerah Toba sehingga BBA mendapat pengaruh
dari bahasa Batak Angkola dan bahasa Batak Toba, baik dalam penulisan,
pengucapan, dan perbendaharaan kata. Walaupun demikian, BBA adalah tetap
bahasa yang berdiri sendiri.
Situs profil daerah kabupaten Tapanuli Selatan menyatakan bahwa
penduduk kabupaten Tapanuli Selatan atau penduduk Angkola berjumlah 629,212
jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk ini dapat dilihat bahwa sebenarnya masih
terdapat potensi yang besar dalam mengembangkan dan melestarikan BBA ini.
Penelitian tentang BBA memang sudah mengalami perkembangan,
disayangkan penelitian tentang sistem pembentukan verba masih kurang
mendapat perhatian.
Chafe (1973:10) yang menyatakan bahwa struktur semantik dibentuk
dari verba sebagai pusatnya, yang kemudian disertai nomina yang berhubungan
dengannya. Dalam hal ini, verba memiliki peranan yang penting dalam struktur
semantik karena verba merupakan inti informasi dari suatu tuturan dalam
berkomunikasi. Pernyataan ini senada dengan Alwi, dkk., (2003) yang
menjelaskan bahwa verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat
karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain
yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.
Berdasarkan pernyataan di atas peneliti tertarik untuk meneliti sistem
pembentukan verba BBA dari dasar verba. Penelitian ini hanya fokus pada
masalah morfologi mengenai afiks-afiks derivasional dan infleksional pembentuk
verba dari dasar verba BBA yang nantinya akan menghasilkan sistem
pembentukan verba BBA kelas I dan kelas II dalam paradigma I.
B. Perumusan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah, penelitian
ini merupakan kajian atas sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini diwujudkan dalam serangkaian bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
commit to user
2. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?
3. Bagaimanakah afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar verba?
4. Bagaimanakah aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
deskripsi tentang sistem pembentukan verba BBA dari morfem dasar yang secara
rinci dijabarkansebagai berikut:
1. Mendeskripsikan afiks-afiks derivasional pembentuk verba BBA dari dasar
verba.
2. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.
3. Mendeskripsikan afiks-afiks infleksional pembentuk verba BBA dari dasar
verba.
4. Mendeskripsikan aspek semantik dari keproduktifan afiks-afiks derivasional.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan rujukan
tentang sistem afiks derivasi dan afiks infleksi dari dasar verba BBA bagi
penelitian-penelitian selanjutnya dalam usaha melestarikan bahasa daerah yaitu
BBA.
Berdasarkan uraian di atas, maka manfaat penelitian ini dapat
1) Manfaat teoretis
1. Sebagai hasil dokumentasi dan deskripsi BBA yang dapat digunakan
sebagai sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya.
2. Sebagai bahan perbandingan terhadap bahasa-bahasa daerah yang ada di
Nusantara sebagai pelestarian bahasa daerah.
3. Sebagai sumber informasi untuk penyusunan tata BBA khususnya yang
berkaitan dengan verba.
4. Penelitian ini dapat memperkaya kajian di bidang linguistik pada
umumnya dan di bidang morfologi BBA pada khususnya.
2) Manfaat praktis
1. Menambahkan dan menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat
Angkola terhadap BBA.
2. Sebagai bahan pengajaran bahasa daerah terutama tentang sistem sistem
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Landasan Teori
Penulis menguraikan beberapa landasan teori dan kajian pustaka untuk
memberi gambaran tentang uraian penelitian ini dan juga beberapa penelitian
yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
1. Penjenisan Kata Bahasa Indonesia Secara Umum
Secara umum kata dalam Bahasa Indonesia terdiri atas beberapa jenis.
Alwi, dkk., (2003) memaparkan bahwa kata dapat dibagi menjadi sepuluh jenis
yaitu verba, ajektiva, adverbia, nomina, pronomina, numeralia, kata tugas,
interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Kesepuluh jenis kata ini memiliki
peran yang berbeda penerapannya di dalam kalimat yang dapat dilihat sebagai
berikut:
a. Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena verba
berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada
dalam kalimat tersebut. Contoh: lari, belajar, dan seterusnya.
b. Ajektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus
tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Contoh: baik,
rajin, pintar, putih dan seterusnya.
c. Adverbia adalah kata yang menjelaskan verba, ajektiva, atau adverbia lain.
Contoh: sangat, selalu, hampir, hanya, dan seterusnya.
d. Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan
konsep atau pengertian. Contoh: guru, kucing, meja, kebangsaan, dan
seterusnya.
e. Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain.
Contoh: saya, kamu, dia, mereka, dan seterusnya.
f. Numeralia adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud
(orang, binatang, atau barang) dan konsep. Contoh: lima hari, setengah
abad, orang ketiga, beberapa masalah, dan seterusnya.
g. Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti
leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas,
melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat.
Contoh: dan, ke, karena, dari, dan seterusnya.
h. Interjeksi adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara.
Contoh: ayo, mari, aduh, nah, dan seterusnya.
i. Artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina, seperti: yang
bersifat gelar, yang mengacu ke makna kelompok, dan yang menominalkan.
Contoh: sang, hang, si, dan seterusnya.
j. Partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk
dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang mengiringinya. Contoh: -kah,
commit to user
Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985) membagi kategorisasi kata
sebagai berikut:
a. Nomina adalah kategori gramatikal yang tidak dapat bergabung dengan
tidak.
b. Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina.
c. Ajektiva adalah kategori kata yang ditandai oleh (1) kemungkinannya
didampingi partikel seperti lebih, sangat, dan agak, atau (2) ciri-ciri
morfologis, seperti -if (dalam sensitif), dan –i (dalam alami). Secara
semantis, ajektiva mengungkapkan makna keadaan suatu benda.
d. Numeralia adalah kategori gramatikal yang tidak bergabung dengan tidak
tapi dapat bergabung dengan nomina, seperti dalam dua guru. Istilah
numeralia dipakai menyatakan konsep sintaksis yang mewakili bilangan
yang terdapat dalam alam di luar bahasa.
e. Verba adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai
kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan kata
di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’. Secara
semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan, proses, atau keadaan.
f. Adverbia adalah kategori yang mendampingi kategori verba, ajektiva,
numeralia, adverbia, dan proposisi.
g. Preposisi adalah partikel yang berfungsi menghubungkan kata atau frase
h. Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi
menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau
mengukuhkan apa yang telah diketahui oleh pembicara.
i. Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan
anteseden.
j. Konjungsi adalah kategori yang berfungsi meluaskan satuan yang lain dalam
konstruksi hipotaktis. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang
setataran ataupun yang tidak setataran.
k. Interjeksi bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaktis
tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam sebuah kalimat.
l. Kategori fatis bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kategori fatis ini tidak
dapat diucapkan dalam monolog. Kategori fatis ini biasanya terdapat dalam
konteks dialog atau wawacara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang
diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.
m. Pertindihan kelas kategori, contoh:
(1) Sapi saya mati kemarin. (mati sebagai verba intransitif).
(2) Mati itu bukan akhir segalanya. (mati sebagai nomina).
(3) Ini harga mati. (mati sebagai ajektiva).
Pendapat para ahli di atas menunjukkan bahwa penjenisan kata
secara umum dalam bahasa Indonesia masih belum seragam. Hal ini terjadi
commit to user
dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya pada saat dibutuhkan. Dalam penelitian
ini, Peneliti hanya akan fokus pada jenis kata verba saja.
2. Verba dalam Bahasa Indonesiadan Ciri-cirinya
Verba merupakan jenis kata yang menjadi inti dari sebuah kalimat
pada umumnya. Verba sudah dapat mewakili aksi apa yang akan dilakukan
oleh subjek kepada objek ataupun sebaliknya. Beberapa penjelasan verba
menurut para ahli dapat dilihat sebagai berikut.
2.1 Ciri-ciri Verba dalam Bahasa Indonesia
Kridalaksana, dkk., (2008:254) menyatakan bahwa verba (verb)
adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat; dalam
beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperti ciri kala,
aspek, persona, atau jumlah. Sebagian besar verba mewakili unsur
semantis perbuatan, keadaan, atau proses; kelas ini dalam Bahasa
Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak
dan tidak mungkin diawali dengan kata sangat, lebih, dan sebagainya;
misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya.
Alwi, dkk., (2003:87) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat
diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis,
dan (3) bentuk morfologisnya. Namun secara umum verba dapat
diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari
a. Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat
dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain.
Contoh:
(4) Pencuri itu lari.
(5) Mereka sedang belajar di kamar.
(6) Bom itu seharusnya tidak meledak.
(7) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia.
Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah predikat,
yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat itu. Dalam
sedang belajar, tidak meledak, dan tidak akan suka verba belajar, meledak
dan suka berfungsi sebagai inti predikat.
b. Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas.
Contoh:
(1)Makna inheren perbuatan, seperti: mendekat, mencuri, membelikan,
memukuli, mandi, memberhentikan, menakut-nakuti, dan naik haji.
(2)Makna inheren proses, seperti: mati, jatuh, mengering, mengecil,
meninggal, kebanjiran, terbakar, dan terdampar.
(3)Makna inheren keadaan, seperti: terdingin (paling dingin) dan tersulit
(paling sulit).
c. Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat dilekati prefiks
commit to user
d. Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar,
*sangat pergi, dan *bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat
berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.
Selanjutnya, Kridalaksana, dkk., (1985:51) menjelaskan bahwa verba
adalah kategori gramatikal yang dalam konstruksi mempunyai
kemungkinan diawali dengan kata tidak, tidak mungkin diawali dengan
kata di, ke, dari, dan tidak mungkin diawali dengan prefiks ter- ‘paling’.
Secara semantis, verba mengungkapkan makna perbuatan,
proses, atau keadaan. Jika dilihat dari bentuknya, verba dapat dibedakan
atas verba dasar bebas dan verba turunan. Jika dilihat dari banyaknya
argumen, verba dapat dibedakan menjadi verba intransitif dan verba
transitif. Jika dilihat dari hubungan verba dengan argumen, verba dapat
dibedakan menjadi verba aktif dan verba pasif. Jika dilihat dari interaksi
antara argumen, verba dapat dibedakan atas verba resiprokal dan verba
nonresiprokal. Jika dilihat dari sudut referensi dan argumennya, verba
dapat dibedakan atas verba reflektif dan verba nonreflektif. Jika dilihat
dari sudut hubungan identifikasi antara kedua argumennya, dapat
dibedakan verba kopulatif dan verba ekuatif.
Beberapa penjelasan di atas, memperlihatkan penjabaran
tentang verba itu sendiri. Namun dalam hal ini, peneliti hanya akan
dasar dan verba turunan (segi morfologis), dan dari banyaknya argumen
seperti verba intransitif dan verba transitif (segi sintaksis).
2.2 Bentuk Verba Bahasa Indonesia
Menurut Kridalaksana, dkk., (1985:52) bentuk verba terdiri atas
dua, yaitu:
(1) Verba Dasar Bebas
Verba dasar bebas adalah morfem dasar bebas. Contoh:
duduk pergi makan pulang
mandi tidur minum
(2) Verba Turunan
Verba turunan adalah verba yang telah mengalami afiksasi,
reduplikasi, atau gabungan proses. Sebagai bentuk turunan, dapat
kita jumpai verba berafiks dan verba bereduplikasi:
a. Verba berafiks
Contoh: ajari dituliskan
bernyanyi jahitkan
bertaburan kematian
bersentuhan menjalani
melahirkan kehilangan
mempercayai termuat
commit to user
b. Verba bereduplikasi
Contoh: bangun-bangun pulang-pulang
ingat-ingat senyum-senyum
makan-makan
Lebih lanjut, Alwi, dkk., (2003) menjabarkan bentuk verba seperti
berikut.
1. Asal: berdiri sendiri tanpa afiks : ada, datang, mandi, tidur,
tinggal, tiba, suka, turun, pergi
a. Dasar bebas, : mendarat, melebar, mengering,
afiks wajib membesar, berlayar, bertelur,
bersepeda, bersuami
2. Turunan b. Dasar bebas, : (mem)baca, (mem)beli,
afiks manasuka (meng)ambil, (men)dengar,
(be)kerja, (ber)karya, (ber)jalan
c. Dasar terikat, : bertemu, bersua, membelalak,
afiks wajib menganga, mengungsi, berjuang
b. Berulang : berjalan-jalan, memukul-mukul,
makan-makan
c. Majemuk : naik haji, campur tangan,
cuci muka, mempertanggung-jawabkan
Bagan 1. Bentuk Verba
Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa verba dalam Bahasa
Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, yakni
(1) verba asal: verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks
sintaksis, dan (2) verba turunan: verba yang harus atau dapat memakai
afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan/atau pada posisi
sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga subkelompok, yakni
(a) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya, darat), tetapi
memerlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba (mendarat),
(b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya,baca) yang dapat
pula memiliki afiks (membaca), dan (c) verba yang dasarnya adalah dasar
terikat (misalnya, temu) yang memerlukan afiks (bertemu). Di samping
ketiga subkelompok verba turunan itu, ada juga verba turunan yang
berbentuk kata berulang (misalnya, makan-makan, berjalan-jalan) dan
kata majemuk (misalnya, naikhaji, bertanggungjawab).
Merujuk pada pendapat para ahli di atas dapat dinyatakan bahwa
pembagian bentuk verba sudah semakin kompleks dan rinci. Namun,
dalam hal ini peneliti hanya akan meneliti mengenai (1) verba asal dan
(2) verba turunan ((b) dasar bebas, afiks manasuka dan (c) dasar terikat,
afiks wajib).
2.3 Sintaksis Verba Bahasa Indonesia
Kridalaksana, dkk., (1985) menyatakan bahwa verba dalam Bahasa
Indonesia dibedakan atas verba intransitif dan verba transitif. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut.
2.3.1 Verba Intransitif
Kridalaksana (1985:52-53) menyatakan bahwa verba intransitif
adalah verba yang menghindarkan objek. Proposisi yang memakai verba
ini hanya mempunyai satu argumen. Dalam verba intransitif terdapat
sekelompok verba yang berpadu dengan argumen; misalnya, alih bahasa,
commit to user
2.3.2 Verba Transitif
Kridalaksana (1985:54) menyatakan bahwa verba transitif adalah
verba yang memerlukan objek. Objek adalah konstituen kalimat yang
kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada
kalimat aktif (Alwi, dkk., 2003:328). Lebih lanjut beliau menjelaskan
bahwa objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal yang berada
langsung di belakang perdikat, dapat menjadi subjek akibat pemasifan
kalimat dan dapat diganti dengan pronomina –nya. Objek terdiri dari
objek langsung dan objek tak langsung. Dikenal juga dengan istilah
Objek dan Pelengkap atau Komplemen. Alwi, dkk., (2003:329)
menyatakan bahwa pelengkap berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa
adjectival, frasa preposisional, atau klausa yang berada langsung
di belakang predikat jika tak ada objek dan di belakang objek kalau unsur
ini hadir. Pelengkap juga tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan
kalimat, serta tidak dapat diganti dengan -nya kecuali dalam kombinasi
preposisi selain di, ke, dari, dan akan. Konfigurasi makna yang
menjelaskan isi komunikasi dari pembicara; terjadi dari predikator yang
berkaitan dengan satu argumen atau lebih disebut Proposisi
(Kridalaksana, 2008:201). Proposisi yang menggunakan verba ini
mempunyai dua atau tiga argumen. Argumen adalah nomina atau frase
proposisi
predikator argumen1 argumenn
Banyaknya objek tergantung pada banyaknya argumen. Berdasarkan
banyaknya argumen, terdapat verba transitif sebagai berikut.
(1) Verba Monotransitif
Verba monotransitif adalah verba yang mempunyai dua argumen.
Contoh:
Proposisi
(8) Sayamenulissurat
argumen 1 predikator argumen 2
subjek verba monotransitif objek
‘Menulis’ adalah verba monotransitif yang memiliki dua argumen yaitu
‘saya’ dan ‘surat’. ‘Saya’ adalah argumen1 dan ‘surat’ adalah argumen
2. Di samping argumen, kalimat di atas juga memiliki subjek dan
predikat bila ditinjau dari sintaksis. ‘Saya’ berperan sebagai subjek,
sedangkan ‘surat’ berperan sebagai objek. Dari verba ‘menulis’ yang
memunculkan ‘saya’ dan ‘surat’, menunjukkan suatu proposisi yang
menjelaskan makna dari kalimat tersebut.
(2) Verba Ditransitif
Verba ditransitif adalah verba yang mempunyai tiga argumen.
Contoh: Proposisi
(9) Ibu memberi adik kue
argumen 1 predikator argumen 2 argumen 3
commit to user
Verba
‘Memberi’ adalah verba ditransitif yang memiliki tiga argumen yaitu
‘ibu’ sebagai argumen 1, ‘adik’ sebagai argumen 2, ‘kue’ sebagai
argumen 3. Verba ‘memberi’ membutuhkan objek ‘adik’, dan
pelengkap/komplemen ‘kue’. Verba ‘memberi’ memunculkan proposisi
yang menjelaskan makna dari kalimat tersebut di atas.
Kemudian, Alwi, dkk., (2003:97) menyimpulkan perilaku
sintaksis verba seperti yang terlihat pada berikut.
Ekatransitif
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa perilaku
sintaksis verba adalah sebagai berikut.
Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai
objek dalam kalimat aktif, dan objek ini dapat berfungsi sebagai subjek
dalam kalimat pasif. Contohnya:
(10) Ibu sedang membersihkan kamar itu.
(11) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur.
Verba yang dicetak miring dalam contoh (10) dan (11) adalah
verba transitif. Masing-masing verba diikuti oleh nomina atau frasa
nominal, yaitu kamar itu, pemimpin yang jujur. Nomina atau frasa
nominal itu berfungsi sebagai objek yang dapat juga dijadikan
(12) Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu.
(13) Pemimpin yang jujur itu pasti dicintai oleh rakyat.
Verba transitif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
(a) Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek.
Contoh:
(14) Saya sedang mencari pekerjaan.
Mencari pada kalimat (14) adalah verba ekatransitif karena kedua
verba ini hanya memerlukan sebuah objek (pekerjaan). Objek
dalam kalimat yang mengandung verba ekatransitif dapat diubah
fungsinya sebagai subjek dalam kalimat pasif.
(b) Verba Dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti
oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai
pelengkap. Contoh:
(15) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.
Verba mencarikan pada kalimat (15) adalah verba dwitransitif
karena kalimat tersebut memiliki objek (adik saya) dan pelengkap
(pekerjaan). Objek dapat saja tidak dinyatakan secara eksplisit,
tetapi yang tersirat di dalam kalimat itu tetap menunjukkan adanya
objek tadi. Jadi, kalimat Saya sedang mencarikan pekerjaan
mengandung arti bahwa pekerjaan itu bukan untuk saya, tetapi
commit to user Contoh lain:
(16) Ibu memberi saya uang
Kalimat di atas, bila dipasifkan akan menjadi “Saya diberi uang
oleh ibu”. Kata ‘Saya’ yang bisa dipasifkan adalah objek,
sedangkan kata ‘oleh ibu’ adalah komplemen/pelengkap.
(c) Verba Semitransitif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh
juga tidak. Contoh:
(17) Ayah sedang membaca koran.
(18) Ayah sedang membaca.
Kalimat (17) dan (18) menunjukkan bahwa verba membaca adalah
verba semitransitif karena verba itu memiliki objek (koran) seperti
pada contoh (17), tetapi juga boleh berdiri sendiri tanpa objek
seperti pada (18). Jadi, objek untuk verba semitransitif bersifat
manasuka.
Verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di
belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
(19) Maaf, Pak, Ayah sedang mandi.
(20) Kami harus bekerja keras untuk membangun negara.
(21) Petani di pegunungan bertanam jagung.
Verba mandi dan bekerja pada (19) dan (20) adalah verba taktransitif
karena tidak dapat diikuti nomina. Verba bertanam pada (21) memang
diikuti oleh nomina jagung, tetapi nomina itu bukanlah objek dan
bertanam disebut verba taktransitif, sedangkan jagung merupakan
pelengkap.
Verba taktransitif juga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
(a) Verba taktransitif berpelengkap wajib
Contoh:
(22) Rumah orang kaya itu berjumlah dua puluh buah.
Verba berjumlah (22) adalah verba berpelengkap, termasuk
verba semitransitif dan pelengkap verba itu harus ada dalam
kalimat. Jika pelengkap itu tidak hadir, kalimat yang
bersangkutan tidak sempurna dan tidak berterima.
(b) Verba taktransitif tak berpelengkap
Contoh:
(23) Gadis itu tersipu-sipu.
Verba tersipu-sipu adalah verba yang tidak dapat diberi
pelengkap. Hal ini dikarenakan bahwa di antara verba seperti
itu ada yang diikuti oleh kata atau frasa tertentu yang
kelihatannya seperti pelengkap, tetapi sebenarnya adalah
keterangan.
(c) Verba taktransitif berpelengkap manasuka
Contoh:
(24) Kantongnya berisi uang.
commit to user
kalimat ini, tapi dalam konteks pemakaian yang lain, verba itu
dapat juga tidak diikuti oleh pelengkapnya. Namun kalimat ini
tidak bisa dipasifkan.
3. Penjenisan Kata Bahasa Batak Angkola Secara Umum
Edi Subroto (1991:34) menyatakan bahwa jenis kata adalah suatu
sistem yang mencakup seperangkat kategori morfologis tertentu dan yang
memperlihatkan perilaku sintaksis tertentu. Jadi dasar paradigma morfologis
dipergunakan bersama dengan dasar sintaksis untuk menentukan jenis kata.
Dalam hal suatu jenis kata tidak mempunyai ciri paradigma morfologis atau
hanya mempunyai ciri paradigma morfologis sedikit, penentuan jenis kata
ditentukan secara sintaksis.
Tinggi Barani (2008) menjelaskan bahwa jenis kata dalam Bahasa
Angkola terdiri dari:
1. Kata ganti diri atau pengganti nama orang lain yang disebut juga dengan
personal pronoun. Contoh: au ‘saya’, ho ‘engkau’, dan seterusnya.
2. Kata kerja atau pekerjaan yang dilakukan yang disebut juga dengan verb.
Contoh: kehe ‘pergi’, mardalan ‘berjalan’, dan seterusnya.
3. Kata petunjuk benda atau demonstrative pronoun yaitu untuk
menunjukkan suatu benda. Untuk menunjuk benda, harus lebih dahulu
diperhatikan jarak benda itu baik dekat, jauh, atau agak jauh. Mengenai
jumlah banyak atau sedikit tidak mempengarui bentuk kata dalam kalimat.
4. Kata Tanya maksudnya tiap-tiap bertanya harus dimulai dengan kata
tanya. Contoh: didia ‘dimana’, siandia ‘dari mana’, dan seterusnya.
5. Kata perangkai (preposition) adalah kata yang menghubungkan antara
kata benda yang pertama dengan kata benda yang kedua. Contoh:
(25) Seekor kucing di atas tilam.
Dua benda kucing dan tilam dihubungkan kata di atas, yang disebut
kata perangkai.
6. Keterangan waktu (adjunct of time) adalah kata-kata yang memberi
keterangan agar kalimat itu lebih jelas. Contoh:
sadarion = hari ini
ancogot = besok
dompak = sedang, dan seterusnya.
7. Keterangan tempat (adjunct of place) adalah kata-kata yang menerangkan
tempat. Contoh:
(26) Halahi tinggal dison. ‘Mereka tinggal di sini’
dison = di sini
disandun = di sana, dan seterusnya.
8. Kata bilangan (numeral), contoh:
sada = satu
dua = dua, dan seterusnya.
9. Petunjuk benda (demonstrativepronoun), contoh:
commit to user
10.Kata kepunyaan (possessive pronoun) dalam bahasa Angkola berasal dari
kata ke-punya-an, yakni dari kata dasar punya ‘puna’. Contoh:
Au puna = saya punya
Ho puna = engkau punya, dan seterusnya.
11.Kata sifat (adjective) adalah kata yang menjelaskan keadaan. Contoh:
poso = muda
hancit = sakit, dan seterusnya.
12.Kata imbuhan (augmentation) adalah kata yang ditambahkan atau
diimbuhkan pada kata dasar sehingga mengubah pengertian dari kata
dasar. Kata imbuhan ada yang ditempatkan pada awal kata dasar, disebut
panjoloi, akhir kata dasar disebut panyidungi, dan diselipkan pada kata
dasar disebut panyoloti. Contoh:
Kata dasar awalan akhiran sisipan
lojong marlojong lojongkon -
lari berlari larikan -
dan seterusnya.
Selanjutnya, Harahap (2007:401) menyatakan bahwa jenis kata
dalam bahasa Angkola Mandailing disebut “Golongan ni Hata” atau
“Ragam ni Hata” yang terdiri dari:
1. Hata bonda (kata benda) adalah kata yang mengandung pengertian
benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, misalnya:
bagas (tekanan suara pada ba…./ pada suku kata pertama) = rumah
arsak (tekanan suara pada ar…./ pada suku kata pertama) = kesedihan
2. Hata harejo (kata kerja) adalah kata yang mengandung pengertian
berbuat, misalnya:
oban = bawa
inum = minum
porsan = pikul, dan sebagainya.
3. Hata sifat (kata sifat) adalah kata yang mengandung pengertian
keadaan dari sesuatu, baik kata benda maupun kata ganti, misalnya:
bontar = putih
loja = lelah
pistar = pandai
4. Hata panggonti (kata ganti) adalah kata-kata yang mengandung
pengertian “menggantikan” atau mewakili sesuatu atau benda,
misalnya:
au = saya, aku
ho = engkau
ia = ia, dia, dan seterusnya.
5. Hata patorangkon (kata keterangan) yaitu kata-kata yang menerangkan
sesuatu kata kerja atau kata sifat dalam kalimat, misalnya:
ondope = barusan
natuari = kemarin
commit to user
6. Hata pandjoloi (kata depan) adalah kata yang mendepani kata benda
atau tempat, misalnya:
di = di
tu = ke
sian = dari
7. Hata patuduhon (kata tunjuk) adalah kata yang menunjuk sesuatu,
misalnya:
on = ini
indon = yang ini, dan seterusnya.
8. Hata sapa-sapa (kata tanya) adalah kata yang digunakan untuk
bertanya, misalnya:
aha = apa
ise = siapa
andigan = kapan
9. Hata pandohoti (kata sandang) adalah kata yang mendampingi nama,
misalnya:
si = si, seperti: si Amat
ompu = kakek, nenek, seperti: ompu raja = (si) kakek raja, dan
seterusnya.
10.Hata panyambung (kata penghubung) adalah kata yang berfungsi
menghubungkan kata dengan kata atau kalimat dengan kalimat,
misalnya:
11.Hata piopio (kata seru) adalah kata seru yang mengandung seruan,
misalnya:
O! = Oh! Hai, seperti: o anggi! = hai adik(ku)
Ile baya = aduhai, amboi, seperti: ile baya, nada be da be = aduhai,
apa boleh buat, dan seterusnya.
12.Hata etongan (kata bilangan) yaitu kata-kata yang menunjukkan
bilangan, misalnya:
sada = satu
dua = dua
tolu = tiga, dan seterusnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, secara umum dapat dilihat
bahwa jenis kata verba terdiri dari verba monomorfemis dan verba
polimorfemis. Verba monorfemis terdiri dari transitif dan intransitif seperti
verba kehe ‘pergi’, tolap ‘tiba’, gadis ‘jual’, dst. Verba polimorfemis dapat
dibentuk dari afiksasi, perulangan, dan majemuk. Namun dalam penelitian
ini yang akan dianalisis hanya verba polimorfemis yang dibentuk dari
afiksasi saja.
3.1 Ciri-ciri Verba Bahasa Batak Angkola
Verba dalam BBA memiliki ciri-ciri umum yang hampir sama dengan
ciri-ciri verba dalam Bahasa Indonesia. Verba (kata kerja) merupakan salah
commit to user
melalui penambahan afiks atau dengan kata lain disebut dengan proses
morfemis. Ini adalah salah satu keistimewaan verba, karena setiap verba yang
mengalami penambahan afiks akan mengalami perubahan nosi. Verba
memiliki makna yang mengacu pada aksi seperti perintah.
Selanjutnya, verba dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri yang
dimilikinya. Alwi, dkk. (2003:87-88) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat
diketahui dengan mengamati perilaku semantik, perilaku sintaksis, dan bentuk
morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan
dari kelas kata yang lain, terutama dari ajektiva, karena ciri-ciri sebagai
berikut.
a) Verba memiliki fungsi utama sebagi predikat atau sebagai inti predikat
dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. Contoh:
(27) Pencuri itu lari. ‘Marlojong panangko i’
Marlojong [marl¿j¿N] ‘berlari’, panangko [panaNko] ‘pencuri’, i [i]
‘itu’
(28) Mereka sedang belajar di kamar. ‘Dompak marsiajar halahi di bilik’
Dompak [d¿mpa/] ‘sedang’, marsiajar [marsiajar] ‘belajar’, halahi
[halahi] ‘mereka’, di [di] ‘di’, bilik [bIlI/] ‘kamar’
(29) Bom itu seharusnya tidak meledak. ‘Samustina bom i inda mapultak’
Samustina [samùstIna] ‘semestinya’, bom [b¿m] ‘bom’, i [i] ‘itu’,
inda [inda] ‘tidak’, mapultak [mapùlta/] ‘meledak’.
(30) Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia. ‘Nangkan giot
Nangkan [naNkan] ‘tidak akan’, giot [gIot] ‘mau/suka’, halak
[hala/] ‘orang’, asing [asIN] ‘asing’, i [i] ‘itu’, masakan
[masakan] ‘masakan’, ni [ni] ‘dari’, Indonesia [ind¿nesia]
‘Indonesia’.
Bagian yang dicetak miring pada kalimat-kalimat di atas adalah
predikat, yaitu bagian yang menjadi pengikat bagian lain dari kalimat
itu. Selanjutnya, dalam sedang belajar ‘dompak marsiajar’ (dompak
‘sedang’ – marsiajar ‘belajar’à marsi- ‘ber-’ + ajar ‘ajar’), tidak
meledak ‘inda mapultak’(inda ‘tidak’ – mapultak ‘meledak’ à ma-
‘me-’ + pultak ‘ledak’), dan tidak akan suka ‘nangkan giot’ (nangkan
‘tidak akan’ – giot ‘suka’), verba belajar ‘marsiajar’ , meledak
‘mapultak’ dan suka ‘giot’ berfungsi sebagai inti predikat.
b) Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas. Contohnya maridi ‘mandi’, madabu ‘jatuh’,
mapultak ‘meledak’.
c) Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks
ter-yang berarti ‘paling’. Verba seperti mati‘mate’ atau suka ‘giot’, misalnya,
tidak dapat diubah menjadi *termati ‘tarmate’ atau *tersuka‘targiot’.
d) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar
‘tarmarsiajar’, *sangat pergi ‘sangat kehe’, dan *bekerja sekali
commit to user
marbahaya’, agak mengecewakan ‘tar mangacewaon’, dan
mengharapkan sekali ‘amana harop’.
e) Verba BBA biasanya terletak di awal subjek dalam kalimat. Misalnya:
(31) marsiajar halalai di sikola [marsiajar halalai di sik¿la] ‘Mereka
belajar di sekolah’. Marsiajar adalah verba, halalai adalah mereka, di
sikola adalah keterangan. Namun, dalam penerjemahannya menjadi
‘Belajar mereka di sekolah’, dan untuk penerjemahan yang lebih baik
untuk dimengerti adalah ‘Mereka belajar di sekolah’. Tetapi, verba BBA
juga sering terletak setelah subjek. Seperti (32) Ia marlojong [ia
marl¿j¿N] ‘Dia berlari’. Ia adalah subjek, dan marlojong adalah verba.
Dengan demikian, letak SV atau VS sama-sama digunakan dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Angkola. Penggunaannya tidak
bisa dipastikan kapan tepatnya harus SV atau VS karena tuturan itu keluar
secara alami saja.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penelitian ini
mengkhususkan pada verba dasar agar lebih mudah dalam
pengklasifikasian dan pengidentifikasian verba yang transitif dan
intransitif. Sehingga perumusan sistem pembentukan verba BBA dari
morfem dasar ini akan lebih terarah pelaksanaannya.
4. Morfem, Morf, dan Alomorf
Morfem merupakan unit terkecil yang memiliki arti, morf
realisasi dari morfem. Hal ini sesuai dengan pernyataan-pernyataan para
ahli sebagai berikut.
Langacker (1972:56) menyatakan bahwa morfem adalah unit
terkecil yang memiliki nilai semantik yang konstan. Selanjutnya, Bauer
(2003:12,17) menguraikan bahwa unit-unit yang muncul pada bentuk kata
disebut morf. Seperangkat jenis morf mewujudkan morfem yang sama.
Morf yang berwujud sebuah morfem yang khas dan secara fonetik atau
secara leksikal atau secara gramatikal disebut alomorf dari morfem.
Verhaar (2008:106) menyatakan bahwa morfem itu suatu satuan
yang abstrak: dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa
“nol”, dapat juga berupa nada tertentu. Berbeda dengan morfem itu,
alomorf-alomorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak
perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita
membutuhkan bentuk yang kelihatannya cukup konkret yang disebut
“morf”.
Lebih lanjut dipaparkan oleh Katamba (1994:24,26) bahwa morfem
adalah pembeda terkecil dari bentuk kata yang berkolerasi dengan pembeda
terkecil di dalam makna kata atau kalimat atau di dalam struktur
gramatikal. Analisis dari kata menjadi morfem dimulai dengan pemisahan
morf. Sebuah morf adalah wujud pembentukan kembali beberapa morfem
di dalam bahasa. Hal ini menunjukkan bunyi pembeda yang searah (fonem)
commit to user
Perbedaan kategori morfem dapat dilihat pada bagan berikut ini:
leksikal (kata leksik)
bebas
fungsional
morfem (kata tugas)
derivasional
afiks
infleksional
Bagan 3. Klasifikasi Morfem
Jika mempertimbangkan bunyi sebagai realisasi aktual dari fonetik,
dapat ditemukan bahwa morf adalah bentuk aktual dari realisasi morfem.
Dengan demikian, bentuk cat adalah morf tunggal yang direalisasikan dari
morfem leksikal. Bentuk cats terdiri dari dua morf, relialisasi dari sebuah
morfem leksikal dan sebuah morfem infleksional (‘jamak’). Sebagai
catatan bahwa terdapat alofon dari sebuah fonem khusus, kemudian dapat
menghubungkan alomorf dari sebuah morfem khusus. Apabila dilihat
dalam BBA maka salah satu contoh bentuknya yaitu pada nomina daganak
‘anak-anak’. Daganak berasal dari morfem bebas danak yang berarti
seorang anak, terjadi proses infeksi pada morfem tersebut yaitu dengan
penambahan morfem terikat –ga- diantara morfem danak.
Sebuah situs internet yang bernama ling.udel.edu. memaparkan
bahwa morfem adalah unit terkecil dari arti linguistik; sebuah kata tunggal
unsystematically dapat dianalisis menjadi lima bagian morfem yaitu
un+system+atic+al+ly); sebuah unit gramatikal yang perpaduan bunyi
dan artinya berubah-ubah sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut;
setiap kata dari setiap bahasa tersusun dari satu morfem atau lebih. Berikut
adalah uraian pembagian suku kata morfem.
Satu morfem boy (satu suku kata)
desire, lady, water (dua suku kata)
crocodile (tiga suku kata)
salamander (empat suku kata), atau lebih suku kata
Dua Morfem boy+ish
desire + able
Tiga Morfem boy + ish + ness
desire + able + ity
Empat Morfem gentle + man + li + ness
un + desire + able + ity
Lebih dari empat morfem un + gentle + man + li + ness
anti + dis + establish + ment + ari + an + ism
Selanjutnya dijelaskan bahwa morfem terdiri atas morfem bebas
dan morfem terikat. Morfem bebas yaitu morfem yang dapat digunakan
sebagai sebuah kata dan dapat berdiri sendiri (tanpa membutuhkan elemen
yang mengikutinya, seperti: afiks), contoh: girl, system, desire, hope, act,
commit to user
sendiri secara bebas (atau terpisah) dari kata. Morfem terikat adalah afiks
(prefiks, sufiks, infiks, and sirkumfiks).
Kemudian, dijelaskan pula bahwa morfem terbagi atas root dan
stem atau dengan kata lain disebut dengan akar dan dasar. Uraian
mengenai root dan stem ini dapat dilihat dengan jelas dalam tabel berikut.
TABEL 1
PERBEDAAN ANTARA ROOT DAN STEM
Root Stem
Leksikal non-afiks mengandung morfem-morfem yang tidak dapat dianalisis lagi menjadi bagian-bagian yang terkecil. Contoh:
· Ketika sebuah morfem akar
dikombinasikan dengan morfem afiks, itulah bentuk dari sebuah stem.
· Afiks-afiks yang lain dapat
Stem un + system + atic + al (prefiks + noun + sufiks + sufiks)
Kata un + system + atic + al + ly (prefiks + noun + sufiks + sufiks
+sufiks)
Sementara itu, Alwi, dkk. (2003:28-29) menyatakan bahwa dalam
bahasa ada bentuk (seperti kata) yang dapat “dipotong-potong” menjadi
bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi
bagian yang lebih kecil lagi sampai ke bentuk yang, jika dipotong lagi,
tidak mempunyai makna.
Kata memperbesar, misalnya, dapat kita potong sebagai berikut:
mem-perbesar
per-besar
Jika besar dipotong lagi, maka be- dan –sar masing-masing tidak
mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem.
Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem
bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,
dinamakan morfem terikat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa anggota satu morfem yang
wujudnya berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang sama
dinamakan alomorf. Morfem biasanya diapit oleh tanda kurung kurawal
{…}. Morfem, morf dan alomorf dalam BBA adalah sebagai berikut:
a) Morfem, misalnya, morfem terikat yaitu : {maN-} ‘meN-’, {tar-} ‘ter-’,
commit to user
b) Morf, misalnya {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-} ‘mem-’, {mang-}
‘meng-’, {many-} ‘meny-’.
c) Alomorf, misalnya semua {ma-} ‘me-’, {man-} ‘men-’, {mam-}
‘mem-’, {mang-} ‘meng-’, {many-} ‘meny-’ merupakan alomorf dari
{maN-} ‘meN-’.
Untuk sementara, penjelasan mengenai morfem BBA ini masih terus
menjadi perbincangan dan bahan penelitian.
5. Morfem Dasar
Kridalaksana (2008:44) menyatakan bahwa morfem dasar (base
morpheme) adalah mofem yang dapat diperluas dengan dibubuhi afiks; misal:
juang dalam berjuang.
Morfem yang dileburi morfem yang lain disebut morfem dasar
(Verhaar, 2008:98). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dileburkan itu berupa
imbuhan atau klitika atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau
morfem yang sama (dalam reduplikasi). Morfem dasar terdiri atas tiga macam,
yaitu (1) pangkal, (2) akar, dan (3) pradasar.
Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam
undo, dan hak dalam berhak. Morfem akar adalah morfem dasar yang
berbentuk terikat, agar menjadi bentuk bebas harus mengalami pengimbuhan,
misalnya: infinitif verbal Latin amare ‘mencintai’ memiliki akar –am, dan akar
am- itu selamanya membutuhkan imbuhan (misalnya imbuhan “infinitif aktif”
tidak akan menghasilkan bentuk bebas, dan pemajemukan dengan am- juga
tidak memungkinkan. Pradasar adalah bentuk yang membutuhkan
pengimbuhan dan pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.
Misalnya, morfem ajar berupa pradasar. Morfem ini dapat menjadi bebas
melalui pengimbuhan (misalnya dalam mengajar, belajar, dan lain
sebagainya), dapat juga melalui pengklitikaan, (misalnya dalam kami ajar, saya
ajar, dan sebagainya), dan dapat juga dengan pemajemukan (misalnya dalam
kurang ajar).
Kemudian, morfem dasar tidak selalu berupa monomorfemis. Sebagai
misal kata berpengalaman, terdiri atas pangkal (polimorfemis) pengalaman
diimbuhi ber-, tetapi pangkal itu sendiri adalah polimorfemis dan dapat dibagi
lagi atas pangkal (monomorfemis) alam ditambahi imbuhan (terbagi) pen- -an.
Atau dengan contoh yang lain, seperti bentuk pradasar berikut, yaitu: ajar.
Adapun kemungkinan-kemungkinan pengimbuhan yang dapat muncul adalah
sebagai berikut: belajar, pelajar, mengajar, pengajar, mengajari,
mengajarkan, mempelajari, diajar, diajari, diajarkan, kuajar, kuajari,
kuajarkan, kauajar, dan lain sebagainya.
6. Morfem afiks
Morfem aditif (additive morpheme) merupakan konsep yang mencakup
dasar, prefiks, sufiks, infiks, suprafiks, konfiks, simulfiks, dan pengulangan
commit to user
Selanjutnya, Kridalaksana (1985:19) menjelaskan bahwa dalam bahasa
Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang secara tradisional diklasifikasikan atas
tujuh macam sebagai berikut.
a. Prefiks adalah afiks yang diletakkan di muka bentuk dasar. Contoh: meN-,
di-, ber-, ke-, ter-, se-, peN-, dan pe-/per.
b. Infiks adalah afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar. Contoh: -el-,
-er-, dan –em-.
c. Sufiks adalah afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar. Contoh: -kan,
-i, -nya, -wati, -wan, -isme, dan –isasi.
d. Simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental
yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks
dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar
dan fungsinya ialah memverbalkan nomina, ajektiva, atau kelas kata lain.
Contoh berikut terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku: kopi-ngopi,
soto-nyoto, sate-nyate, kebut-ngebut.
e. Kombinasi afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang
dihubungkan dengan sebuah bentuk dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang
khusus dan hanya merupakan gabungan beberapa afiks yang mempunyai
bentuk dan makna gramatikal tersendiri, digabungkan secara simultan pada
bentuk dasar. Contoh:
(1) memperkatakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi tiga
(2) mempercayakan sebuah bentuk dasar dengan kombinasi dua
afiks: satu prefiks dan satu sufiks.
Dalam bahasa Indonesia kombinasi afiks yang dikenal ialah
me-…-kan, me-…-i, memper-…-kan, memper-…-i, ber-…-kan, ter-…-kan,
pe-…-an, dan se-…-nya.
Selanjutnya, kombinasi afiks dikenal juga dengan nama afiks
gabung yaitu beberapa afiks yang terdapat dalam satu kata jadi misalnya:
berkewarganegaraan nomina dasar: warga dan negara
ke-warga-negara-an konfiks: ke-an
kewarga-negaraan prefiks: ber-
ber- disini: ber- & ke-an adalah afiks gabung.
f. Konfiks adalah afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar
dan satu di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem
terbagi. Konfiks harus dibedakan dengan kombinasi afiks. Konfiks adalah
satu morfem dengan satu makna gramatikal. Greenberg (1966)
menggunakan istilah ambifiks untuk morfem ini. Istilah lain untuk gejala
ini adalah sirkumfiks. Istilah dan konsep konfiks sudah lama dikenal dalam
linguistik dan pernah dikenalkan oleh Knobloch (1961:57) dan Akhmanova
(1966:423).
Dalam bahasa Indonesia ada empat konfiks, yaitu ke-…-an,
peN-…-an, per-…-an, dan ber-…-an, yang terlihat dalam contoh berikut.
commit to user
(2) Pengiriman kita jumpai konfiks peN-…-an. Juga kita temukan bentuk
pengirim dan kiriman. Jadi, peN-…-an dalam pengiriman mempunyai
makna gramatikal tersendiri.
(3) Persahabatan, per-…-an adalah sebuah konfiks. Sahabat adalah bentuk
dasarnya, sedangkan bentuk *persahabat dan *sahabatan tidak
ditemukan. Jadi, bentuk per-…-an mempuyai makna gramatikal
tersendiri.
(4) Bertolongan, ber-…-an merupakan konfiks, tetapi ber-…-an dalam
berpajangan bukan konfiks karena proses pembentukannya berbeda.
Proses ber-…-an dalam berpajangan ialah ber+pajangan, sedangkan
dalam bertolongan prosesnya ialah ber-…-an + tolong. Ber-
mengandung makna ‘mempunyai’, sedangkan ber-…-an mengandung
makna ‘resiprokal’.
g. Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri
suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem
suprasegmental. Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Proses afiksasi bukanlah hanya sekedar perubahan bentuk saja.
Sebenarnya, ada pula perubahan makna gramatikal karena afiks adalah bentuk
yang sedikit banyak mengubah makna gramatikal bentuk dasar.
Proses yang lengkap: ajar- belajar- pelajar
pelajaran
mengajar pengajar pengajaran
commit to user
Proses dengan rumpang: juang berjuang pejuang
menjuang pejuang
suruh menyuruh penyuruh bersuruh pesuruh
Bentuk bersuruh ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada
antara lain dalam dialek Melayu Riau Daratan. Dalam bahasa Indonesia kini
masih terdapat bentuk-bentuk ber- yang berfungsi seperti itu, tetapi terbatas
jumlahnya, yaitu batu bersurat, beras bertumbuk, dan dalam peribahasa
“Gayung bersambut, kata berjawab”.
Dari kejadian kata itu tampak bahwa tidak semua matriks terisi.
Adanya rumpang dalam pola itu, di samping kesahihan sistem yang disokong
oleh proses morfofonemis yang dialami oleh bentuk itu masing-masing, harus
diterima sebagai kenyataan dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, adanya
rumpang itu dapat dianggap sebagai potensi pembentukan kata yang dapat
dikembangkan lebih jauh.
Sementara itu, adapun beberapa pembagian afiks dalam BBA, yaitu :
1)Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut
prefiksasi. Contohnya: kata dasar potuk [p¿tuk] ‘pukul’ menjadi mamotuk
[mam¿tuk] ‘memukul’, mengalami prefiksasi yang berupa prefiks nasal
{maN-}. Fonem /p/ pada kata dasar luluh karena adanya proses nasalisasi.
2)Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang
disebut sufiksasi. Contohnya: kata dasar ela [ela] ‘ambil’ menjadi elai
[elaI] ‘ambili’, mengalami sufiksasi yaitu sufiks {-i}.
commit to user
menjadi binaen [binaen] ‘dibikin/dibuat’, mengalami infiksasi yaitu infiks
{-in-}.
4)Konfiks/simulfiks/ambifiks/sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian
di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam
proses yang dinamai konfiksasi/simulfiksasi/ambifiksasi/sirkumfiksasi.
Namun dalam penelitian ini istilah yang digunakan adalah konfiks dan
konfiksasi saja. Contohnya: kata dasar suan [suw¿n] ‘tanam’ menjadi
manyuani [maøuw¿ni] ‘menanami’, mengalami konfiksasi yaitu konfiks
{maN-i}.
7. Morfologi Infleksional dan Morfologi Derivasional
Morfologi secara tradisional dibagi menjadi dua cabang infleksi dan
derivasi. Kedua hal ini biasanya dipandang secara terpisah; infeksi adalah
bagian dari sintaksis, sementara derivasi adalah bagian dari leksem. (Bauer,
2003:92).
Verhaar (2008:121) menjelaskan bahwa fleksi, atau morfologi
infleksional, adalah proses morfemis yang diterapkan pada kata sebagai unsur
leksikal yang sama, sedangkan derivasi, atau morfologi derivasional adalah
proses morfemis yang mengubah kata sebagai unsur leksikal tertentu menjadi
unsur leksikal yang lain.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, morfologi infleksional dan
morfologi derivasional adalah proses morfemis yang berperan besar dalam
bahasa memiliki keunikan tersendiri yang dapat menunjukkan tunggal atau
jamak, kala waktu, gender, bahkan perubahan kelas kata.
Yule (1996:76-77) memaparkan bahwa morfem derivasional digunakan
untuk membuat kata-kata baru dalam bahasa dan sering digunakan untuk
membuat kata-kata yang berbeda kategori gramatikalnya dari stem. Dengan
demikian, penambahan morfem derivasional –ness mengubah adjektif good
‘baik’ menjadi goodness ‘kebaikan’. Morfem infleksional tidak digunakan
untuk menghasilkan kata-kata baru dalam bahasa Inggris, tapi lebih mengacu
pada aspek fungsi gramatikal dari sebuah kata. Morfem infleksional digunakan
untuk menunjukkan apakah sebuah kata itu jamak atau tunggal, apakah past
tense atau bukan, dan apakah perbandingan (komparatif) atau bentuk posesif.
Bahasa Inggris hanya memiliki delapan morfem infleksional yang dapat dilihat
sebagai berikut:
Let me tell you about Jim’s two sisters.
One likes to have fun and is always laughing.
The other liked to study and has always taken things seriously.
One is the loudest person in the house and the other is quieter than a mouse.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa terdapat dua
infleksi, -‘s (posesif) dan –s, (jamak) yang menyatu pada nomina. Ada empat
yang menyatu dengan verba -s (orang ketiga tunggal dalam kala present), -ing
(present participle), -ed (past tense) dan –en (past participle). Ada dua