IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN
MURABAHAH
PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI)
CABANG SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Ekonomi Syariah
Oleh,
SAMARUL FALAH
NIM : S 340908019
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN
MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI)
CABANG SURAKARTA
Disusun oleh :
SAMARUL FALAH NIM : S 340908019
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tandatangan Tanggal
Pembimbing I : Prof. Dr. MUCHSIN, SH ……….. ………..
Pembimbing II: MUH ADNAN, SH. M.Hum ……….. ………..
NIP. 195407121984 03 1002
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN
MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI)
CABANG SURAKARTA
Disusun oleh :
SAMARUL FALAH NIM : S 340908019
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan N a m a Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr.Adi Sulistiyono, SH. MH. ... ... Nip. 196302091988031003
Sekretaris Prof.Dr.Hartiwiningsih,SH.M.Hum. ... ... Nip. 196702031985032001
Anggota 1. Prof. Dr. Muchsin, SH. ... ...
2.Moh Adnan, SH.M.Hum ... ... Nip. 195407121984031002
Mengetahui
Ketua Program Studi Prof. Dr.H.Setiono, SH.,M.S. ...
Ilmu Hukum NIP. 130 345 735
Direktur Program Prof. Drs.Suranto,MSc.,Ph.D. ...
PERNYATAAN
N a m a : Samarul Falah
NIM : S 340908019
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :
“Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank
Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta”, adalah benar-benar karya saya
sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan
tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 2010
Yang membuat pernyataan,
PERSEMBAHAN
Akhirnya, dengan kerja keras yang penulis lakukan untuk menyelesaikan
tesis ini, sebagai salah satu syarat kelulusan studi di Program Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, telah terselesaikan dengan baik dan
sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Penulisan ini tidak akan mungkin dapat
terselesaikan tanpa bantuan dari pihak lain
Maka dengan kerendahan hati, penulis mempersembahkan tesis ini kepada
1. Kedua orang tua saya yang telah memberikan cinta kasih, dan dengan ikhlas
telah mempertaruhkan segalanya demi masa depan penulis.
2. Isteriku tercinta Dhurrotul Lum’ah dan ananda M. Elmanaviean, Izzun Nastiti,
Ezza Selisa Yua serta Adela Aunal Haqqa, yang telah merelakan berbagi
waktu untuk penyelesaian tesis ini, saya do’akan semoga kalian sukses
menggapai cita-cita dan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat didunia
sampai akhherat, amin.
3. Guru-guru saya yang telah memberikan bimbingan dan mendidik saya dengan
penuh ikhlas dan sabar, semoga semua ilmu yang telah engkau berikan akan
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah
melimpahkan Rahmat dan KaruniaNya, shalawat serta salam semoga tetap
kepangkuan beliau Nabi Muhammad SAW. Dengan melakukan berbagai upaya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “Implementasi
Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank Muamalat Indonesia
(BMI) Cabang Surakarta “.
Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagaian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum. Penulis menyadari bahwa tesis ini
masih jauh dari sempurna sehingga kritik maupun saran yang bertujuan untuk
perbaikan tesis ini sangat diharapkan.
Dalam penyusunan tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ(K) selaku Rektor
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D., selaku Direktur Program Pasca
Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Moh. Jamin, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum
4. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH. MS., selaku Ketua Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret sekaligus Pembimbing dan Tim Penguji yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan dengan
ketulusan dan kearifan telah berkenan mengoreksi, mengarahkan dan
membimbing hingga penulisan tesis ini selesai.
5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH. M.Hum., sebagai Sekretaris Program Pasca
Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta
6. Bapak Prof. Dr. Muchsin, SH. (Pembimbing I) dan Bapak Moh Adnan, SH.
M.Hum., (Pembimbing II) yang telah mencurtahkan waktu, tenaga dan pikiran
dengan penuh keikhlasan dan kesabaran untuk memberikan bimbingan,
pengarahan, saran-saran serta berbagai kemudahan yang sangat bermanfaat
dalam penyusunan tesis ini.
7. Segenap Dosen pengajar Progam Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan bimbingan dan bantuannya
hingga Penulis mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
hukum.
8. Bapak Kepala PT. Bank Muamalat Indonesia Cabang Surakarta yang telah
memberikan ijin penelitian, data, serta memberikan saran dan masukan kepada
Penulis sehingga tesis ini dapat Penulis selesaikan.
9. Staf dan Karyawan Progam Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah membantu dan memberikan semangat serta memberikan
dorongan kepada penulis.
10.Penghargaan kepada : Istriku tercinta Dhurrotul Lum’ah dan ananda M.
Elmanaviean, Izzun Nastiti, Ezza Selisa Yua serta Adela Aunal Haqqa, dengan
11.Rekan-rekan dan keluarga yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang
telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis selama
menyelesaikan tesis ini.
Semoga amal kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT.
Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Surakarta, 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
C. Prinsip-Prinsip Dalam Ekonomi Syariah ...
D. Konsepsi Hukum Kontrak Syariah ...
4. Jenis Pembiayaan ...
5. Pembiayaan Murabahah ...
a. Definisi, Rukun dan Syarat Jenis Murabahah ...
b. Aspek Syariah Murabahah ...
c. Aspek Teknis Murabahah ...
d. Ketentuan Fatwa Tentang Murabahah ...
e. Aspek Teknis Perbankan Syariah ...
F. Penelitian Yang Relevan ...
G. Kerangka Berfikir ...
1. Pelaksanaan Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan
Murabahah Sesuai Dengan Prinsip Syariah ...
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak
Dalam Pembiayaan Murabahah ...
B. Pembahasan...
1. Implementasi Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan
Murabahah Dalam Realitasnya di BMI Cabang
Surakarta ...
2. Upaya-upaya Kreditur Terhadap Debitur yang
ABSTRAK
Samarul Falah, 2010, “IMPLEMENTASI HUKUM KONTRAK DALAM
PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA“, Tesis: Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan mendasar konsep pelaksanaan Bank Konvensional dan Bank Syariah pasca lahirnya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil, dalam operasionalnya berdasarkan aqidah dan moral Islam yang mengutamakan prinsip-prinsip syariah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta dalam pelaksanaan Hukum Kontrak dalam Pembiayaan Murabahah dan upaya –upaya yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia apabila terjadi penyimpangan dalam akad/kontrak yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan atau kreditur melakukan wanprestasi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris atau penelitian hukum sosiologis dengan menggunakan data primer. Data ini diperoleh secara langsung melalui wawancara, dokumen, maupun observasi. Sedangkan untuk melengkapi data tersebut, juga dilaksanakan penelitian dalam rangka memperoleh data sekunder.
Hasil penelitian mengungkapkan tentang pelaksanaan hukum kontrak dalam Pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, bila disinkronkan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tantang Perbankan Syariah dan regulasi lainnya seperti ; Peraturan Bank Indonesia (PBI), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai hukum material ekonomi syariah secara umum telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dan bila terjadi wanprestasi, pihak perbankan memilih menyelesaikan dengan perdamaian melalui pembinaan.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta, hendaknya benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara komprehensif dan dalam upaya menyelesaikan pihak yang wanprestasi, selalu mengedepankan perdamaian, selanjutnya untuk mensosialisasikan perbankan yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, BMI melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat secara simultan.
ABSTRACT
Samarul Falah, 2010, "IMPLEMENTATION OF THE LAW UNDER
CONTRACT MURABAHAH FINANCE WITH BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) BRANCH SURAKARTA", Thesis: Graduate Legal Studies Program University of Surakarta Eleven March.
Writing is emphasized by the existence of fundamental differences in concept and execution of Conventional Banks after the birth of Islamic Banking Act No. 21 of 2008 regarding Islamic Banking. Bank Muamalat Indonesia (BMI) which is the first Islamic bank in Indonesia using the principle of profit sharing in the operations based on Islamic moral and doctrinal camps which put the principles of shariah.
This study aims to determine how far the Bank Muamalat Indonesia (BMI) of Surakarta Branch in the implementation of the Financing Murabahah Contract Law and the efforts undertaken by Bank Muamalat Indonesia in the event of irregularities in the agreement / contract that is not compliant with sharia principles and / or creditors do breach of contract.
This study is an empirical juridical or sociological legal research using primary data. These data were acquired through interviews, documents, and observation. Meanwhile, to complement these data, it also conducted research in order to obtain secondary data.
The results reveal about the execution of contract law in Murabaha Financing with Bank Muamalat Indonesia (BMI) of Surakarta Branch, when synchronized with the principles of sharia, as in Act number 21 of 2008 challenged Islamic Banking and other regulations such as Bank Indonesia Regulation (P BI) , National Sharia Board Fatwa (DSN), Islamic Economic Law Compilation (KHES) as sharia law in general economic material in accordance with the principles of sharia. And in case of default, the banks chose to settle peace through training.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Sebelum lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang mengandung di dalamnya aktivitas perbankan
syariah, penerapan syariah Islam dalam tata hukum positif di Indonesia
sebenarnya telah memperoleh tempat yang signifikan. Hal ini tercermin
pada 2 hal yaitu : (a) Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan
kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut
agamanya masing-masing sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal
29 ayat 2. Pengertian ibadah menurut pandangan Islam tidak hanya
mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Ibadah Mahdhoh),
tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia (muamalah)
termasuk aktifitas ekonomi. (b) KUH Perdata pasal 1338 menyatakan
bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-undang serta harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif juga dapat
diwujudkan dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya
setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah terutama yang
terbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu
Surat Perjanjian. Dengan kata lain jika bank syariah dan nasabah membuat
perjanjian yang bentuk formalnya didasarkan pada pasal 1320 KUH
Perdata yaitu : (1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, (2)
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) Mengenai suatu hal
KUH Perdata, tiap isi, materi, atau substansinya didasarkan atas ketentuan
syariah maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, baik dilihat dari sisi
hukum positif maupun dari sisi syariah.
Di dalam praktek, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah
dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu kepada KUH
Perdata juga harus merujuk kepada UU No 10 tahun 1998 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan dari sisi
Syariah selain mengacu pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, juga berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia.
Perbankan Islam atau yang lazim disebut Perbankan Syariah sebagai
Lembaga Intermediasi Keuangan (Financial Intermediaty Institution)
mulai tumbuh sejak deregulasi dibidang perbankan pada tahun 1988 yang
memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, termasuk
diperbolehkannya pendirian bank dengan bunga nol persen (zero interest)
yang secara implisit berarti telah mengijinkan operasional perbankan yang
bebas bunga (Interest free banking).
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan semakin memberikan angin segar dalam menumbuh
kembangkan operasional perbankan yang tidak didasarkan pada sistem
bunga, tetapi didasarkan melalui mekanisme bagi hasil, hal ini dikuatkan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang bagi hasil.
Selanjutnya dengan adanya amandemen Undang-undang Perbankan
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memperbolehkan
operasional Bank berdasarkan prinsip Syari’ah baik Bank umum maupun
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di dalam pasal 13 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang perbankan, menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah
untuk penyimpanan dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syari’ah diantaranya adalah :
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah).
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah).
c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah).
d. Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (Ijarah) atau adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijarah Wa Iqtiqna’).
Pengalaman selama masa krisis ekonomi ini memberikan pelajaran
berharga, dengan prinsip risk sharing (berbagai resiko) atau profit and loss
sharing (bagi hasil) merupakan suatu prinsip yang dapat berperan
meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam keadaan ekonomi
yang memburuk, pengusaha akan memikul sendiri resiko dan kejatuhan
usaha, walau kejatuhan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan. Atau
ketidakmampuan pengusaha tersebut. Meskipun pada akhirnya mungkin
akan menjadi risk sharing melalui debt workout dan lain sebagainya,
namun prosesnya lebih memakan waktu, tenaga dan biaya.
Lain halnya dengan prinsip syariah, penyaluran dana dilakukan
berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip bagi hasil atau berbagai resiko
(profit and loss sharing) antara pemilik dana dan pengguna sudah
diperjanjikan secara jelas sejak awal. Prinsip syariah berlandaskan nilai
keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan. Nilai tersebut
diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip
Syariah yang disebut Perbankan Syariah.
Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang
berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsipnya dalam ekonomi Islam
adalah larangan riba dalam segala bentuknya dan menggunakan sistem
prinsip bagi hasil. Dengan sistem ini Bank Syari'ah dapat menciptakan
iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi
menciptakan posisi yang berimbang antara pihak bank dan nasabah. Dalam
jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional
karena hasil keuntungannya tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal,
tetapi juga oleh pengelola modal.1
Rumusan dalam sistem perbankan syariah yang sama sekali berbeda
dengan sistem perbankan konvensional. Hal ini karena perbankan yang
memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap
muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam memilih tujuan-tujuan
syariah (Maqasid al syariah) serta petunjuk operasional untuk mencapai
tujuan tersebut, tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan
manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik,
juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan
sosio ekonomi serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara
kepuasan duniawi dan ukhrowi.
Perbedaan pokok antara Perbankan Syariah dengan Perbankan
Konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan syariah.
Riba dilarang, sedangkan jual beli (al-bai’) dihalalkan. Dengan demikian
maka membayar dan menerima bunga pada uang yang dipinjam dan
meminjamkan dilarang2.
Sejak dekade tahun 1970-an, umat Islam diberbagai Negara telah
berusaha untuk mendirikan bank syariah, tujuan dan pendirian
bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan
mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinhsip Islam, syariah Islam dan
tradisinya ke dalam transaksi keuangan, perbankan dan bisnis-bisnis lain
yang terkait prinsip utama yang dianut oleh bank-bank Islam adalah :
a. Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.
b. Menjalankan bisnis dan aktifitas perdagangan yang berbasis pada
memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah.
1 Undang-undang perbankan syariah dan surat berharga syariah, FM. Fokus Media, 2008 hal.83 2
c. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi kegiatan zakat.
Namun dalam perbankan konvensional terdapat kegiatan-kegiatan yang
dilarang dalam syariat Islam, seperti menerima dan membayar bunga
(riba), membayar produksi dan perdagangan barang-barang yang
diharamkan, seperti minuman keras (khamr), kegiatan yang mendekati
dengan gambling (maisir) untuk tranksaksi-transaksi tertentu dalam
foreign exchange dealing serta higly and indeed speculative transaction
(gharar) dalam investmen banking.
Perbedaan mendasar dalam konsep pelaksanaan di bank konvensional
dan bank syariah yaitu antara lain perbedaan konsep antara bunga dan bagi
hasil, perbedaan antara investasi dan membungakan uang dan perbedaan
antara utang uang dengan utang barang.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank syariah
pertama di Indonesia yang menggunakan prinsip bagi hasil, dalam
operasionalnya juga berdasarkan aqidah dan moral Islam, sehingga akan
tercapai keselamatan dan kesejahteraan dunia dan akherat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis ingin mengangkat
dalam sebuah penelitian yang berjudul : IMPLEMENTASI HUKUM
KONTRAK DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK
MUAMALAT INDONESIA (BMI) CABANG SURAKARTA.
B. Perumusan Masalah.
1. Apakah pelaksanaan hukum kontrak dalam Pembiayaan Murabahah di
Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Surakarta telah sesuai dengan
prinsip-prinsip sebagaimana dalam hukum ekonomi syari’ah secara
komprehensif ?
2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak kreditur bila
debitur wanprestasi ?
1. Tujuan obyektif :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum kontrak dalam pembiayaan
murabahah pada BMI Cabang Surakarta apakah telah sesuai dengan
prinsip-prinsip ekonomi syariah secara komprehensif .
b. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan oleh pihak kreditur
apabila debitur melakukan pengingkaran terhadap kontrak
(wanprestasi).
2. Tujuan Subyektif :
Untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai
derajat Magister Hukum dalam bidang Ilmu Hukum, konsentrasi utama
: Hukum Ekonomi Syariah Di Program Studi Ilmu Hukum Program
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian.
1. Manfaat Teoritis.
a. Memberikan referensi kepada pembuat undang-undang dan penentu
kebijakan untuk menyempurnakan hokum positif, khusunya
regulasi-regulasi yang berkaitan dengan Hukum Ekonomi Syariah
dan Lembaga Intermediasi Keuangan (Perbankan syariah).
b. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang konsep-konsep
dan sistem operasional yang berlaku dalam perbankan syariah.
c. Memberikan pengertian dan pemahaman sistem operasional dalam
BMI dan khususnya BMI Cabang Surakarta, sehingga masyarakat
dapat menentukan opsi yang dapat meyakinkan, yang berkaitan
dengan pelaksanaan hukum kontrak.
d. Agar sistem operasional dalam perbankan syariah dapat diterima
oleh masyarakat dengan membandingkan sistem operasional dalam
perbankan konvensional.
a. Memberikan kontribusi kepada pembuat undang-undang dan
penentu kebijakan dalam sistem operasional perbankan syariah yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
b. Mengetahui sistem operasional dalam perbankan syariah yang
sesuai dengan sistem ekonomi syariah.
c. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan BMI Cabang Surakarta
terhadap Hukum Kontrak yang timbul adanya wanprestasi.
d. Mengetahui dampak dari masing-masing hukum kontrak yang
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Implementasi Hukum
Dalam pembahasan ini penulis sengaja menggunakan istilah
“ implementasi”3. Kata Implementasi berasal dari bahasa Inggris
“ Implementation” yang artinya pelaksanaan, implementasi. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “ Implementasi” artinya
“pelaksanaan penerapan”4
Pengertian implementasi adalah sebagai proses yang melibatkan
sejumlah sumber-sumber yang di dalamnya termasuk manusia, dana,
kemajuan, organisasi, baik oleh pemerintah maupun swasta5. Dalam
penelitian ini, implementasi dimaksudkan ialah proses pelaksanaan atau
penerapan suatu aturan baik itu berupa undang-undang atau produk hukum
lainnya yang telah ditetapkan oleh pemegang otoritas untuk itu dan berlaku
dalam suatu komunitas masyarakat, lembaga maupun instansi.
Menurut Mazmanian dan Sabatier sebagaimana dikutip oleh Solichin
Abdul Wahab6, bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan
kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan menyebutkan
target secara jelas, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai serta berbagai
cara untuk mengatur proses pelaksanaan atau proses implementasinya.
Birokrasi Pada Era Baru Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2007 Insan Cendekia, Surabaya, Hlm.193
6
Proses ini berjalan melalui tahapan tertentu., biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan undang-undang, disusul kemudian peraturan yang
berbentuk pelaksanaan oleh lembaga atau instansi yang berwenang,
kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh
kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki maupun yang
tidak dari output tersebut, dampak keputusan dan akhirnya
perbaikan-perbaikan penting atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan-perbaikan-perbaikan
terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan7.
Dalam pelaksanaan suatu peraturan, keberhasilannya sangat
ditentukan oleh proses implementasi atas peraturan tersebut. Suatu
peraturan akan dapat berhasil dengan baik setidaknya ada 3 hal yang harus
diperhatikan, ytiu tujuan yang hendak dicapai, sasaran yang spesifik dan
cara untuk mencapai sasaran tersebut. Cara untuk mencapai sasaran
tersebut yang biasa disebut dengan implementasi dan diterjemahkan ke
dalam perencanaan, kegiatan dan anggaran. Di dalam aktifitas
implementasi seharusnya sudah dirumuskan secara jelas, siapa
pelaksananya, kelompok sasarannya, besar dana dan sumbernya,
manejemen program dan tolok ukur keberhasilan kinerja program.
Pada tahapan implementasi ini merupakan tahapan yang amat penting
dalam pelaksanaan dari keseluruhan suatu proses kebijakan. Peraturan atau
kebijakan public sebaik apapun tanpa implementasi akan sia-sia. Dalam
kaitan seperti ini implementasi adalah bagian mata rantai yang penting
dalam suatu kebijakan public menuju kepada hasil yang diharapkan.
Hukum adalah alat dan bukan tujuan, yang mempunyai tujuan itu
adalah manusia. Akan tetapi karena manusia sebagai anggota masyarakat,
tidak mungkin dapat dipisahkan dengan hukum, maka yang dimaksud
dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan itu8. Tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan sudah barang tentu hendak diwujudkan di dalam masyarakat. Melalui hukumlah
tujuan tersebut diterjemahkan dalam kenyataan sosial. Hukum diharapkan
mampu sebagai sarana untuk memwujudkan tujuan tersebut karena
pembangunan telah menghasilkan bermacam-macam tujuan yang ingin
dicapai dalam waktu yang bersamaan. Melalui penormaan tingkah laku,
hukum memasuki semua segi kehidupan manusia dan memberikan suatu
kerangka bagi hubungan-hubungan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat satu terhadap yang lain..
Hukum merupakan The Normative Life of The State and Its Citizen9. Hukum menentukan serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan
bagaimana akibatnya, dan untuk itu hukum lalu menentukan tingkah laku
mana yang dilarang dan mana yang diijinkan. Penormaan ini dilakukan
dengan membuat kerangka umum dari suatu perbuatan yang diwujudkan
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang ada.
Hukum agar dapat berlaku secara efektif harus memiliki aspek
filosofis, yuridis dan sosiologis. Sedangkan tujuan hukum adalah
menciptakan sebuah perdamaian dan tugas hukum adalah menciptakan
ketertiban dan keadilan.
Menurut Fuller, bahwa ukuran mengenai adanya sistem hukum yang
baik didasarkan atas asas-asas yang disebut Principle of legality, yaitu : 1).
Suatu sistem hukum harus mengandung suatu peraturan-peraturan yang
tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat “ ad
hoc”; 2). Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan ; 3).
Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada
yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu apabila dipakai sebagai
pedoman prilaku dengan membolehkan peraturan secara berlaku surut
berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku
8 Dudu Daswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, ctk. Pertama, refika Aditama Bandung, 2000, hl.23
bagi waktu yang akan dating; 4). Peraturan harus disusun dalam rumusan
yang bias dimengerti ; 5). Suatu sistem hukum itu tidak boleh mengandung
peraturan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6). Peraturan-peraturan
tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7). Tidak boleh ada kebiasaan untuk merubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi; 8). Harus ada
kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari10.
Fungsi dan peran hukum dalam masyarakat sebagaimana sistematika
Teori Hukum Thomas Aquinas11 mendasari pemahaman mengenai
sosiologi hukum mendasarkan pada :
a. Hakikat hukum.
Secara umum hukum itu memiliki 2 (dua) jenis konsep : pertama,
konsep hukum dalam arti umum, dan kedua, hukum sebagai sistem
aturan. Hukum sebagai konsep umum, mempunyai tiga bagian, yaitu :
hakikat hukum, jenis hukum dan pengaruh atau efek hukum. Sedangkan
hakikat hukum ada 4 (empat) hal yang menjadi pokok kajian, yaitu :
hubungan hukum dengan akal budi, tujuan hukum, asal usul hukum dan
promulgasi (penyebarluasan atau sosialisasi) hukum. Hakekat hukum
dapat diterangkan melalui pola pikir silogistik dengan
mempertentangkan beberapa keberatan sebagai premis-premisnya dan
hasil analisis menjadi kesimpulan yang berisi menjawab pertanyaan.
b. Hubungan hukum dan akal budi, Thomas Aquinas mengatakan bahwa
hukum memiliki karakter memerintah dan melarang. Hukum adalah
aturan dan ukuran perbuatan yang memerintah manusia untuk berbuat
sesuatu atau melarang perbuatan itu. Lex (bahasa latin) bisa berarti
undang-undang, berasal dari kata “ ligare” yang artinya mengikat
manusia untuk berbuat sesuatu. Pengertian tersebut mengandung
10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, cet. Pertama, Angkasa, Bandung. 1986. hlm. 2
11
hakikat hukum adalah sesuatu yang termuat dalam akal budi dan
gagasan tentang kehendak (misal : memerintah, mengarahkan) untuk
tujuan tertentu.
Sedangkan hakikat hukum, dijelaskan oleh Thomas Aquinas, sebagai
berikut12 :
(a) Hukum sebagai aturan dan ukuran berlaku melalui cara mengatur dan
mengukur. Jika yang mengatur dan mengukur itu akal budi, maka
hukum itu di dalam akal budi.
(b) Hukum berlaku melalui hal-hal yang diatur dan diukur. Pelaksanaan
pekerjaan dan hasilnya merupakan perbandingan konsep dari kegiatan
akal budi, yaitu memahami atau menalar. Kegiatan menalar dan
memahami dilakukan melalui tiga tahap, yaitu proses akal spekulatif,
pembentukan preposisi dan penyusunan silogisme sebagai pekerjaan
yang harus dikerjakan.
B. Teori Bekerjanya Hukum
Hukum sebagai idealisme memiliki hubungan yang erat dengan
konseptualisme keadilan secara abstrak. Apa yang dilakukan oleh hukum
adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh
masyarakatnya ke dalam bentuk yang konkrit, berupa pembagian atau
pengolahan sumber-sumber daya kepada masyarakatnya. Hal demikian itu
berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat atau Negara yang
berorientasi kesejahteraan dan kemakmuran. Hakekat dari pengertian
hukum sebagai suatu sistem norma, maka sistem hukum itu merupakan
cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan
kelompok mereka.
Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat
memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Berbagai pengertian
hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh M. Frideman
(dalam bukunya Ismi Warasih) bahwa hukum itu merupakan gabungan
antara komponen struktur, substansi dan kultur. Komponen struktur yaitu
kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai
macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum
tersebut. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum,
berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik
oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Komponen kultural yang
terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya
hukum (kultural hukum). Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah
laku seluruh warga masyarakat. 13.
Lawrence Meir Friedman mengemukakan tentang tiga unsure sistem
hukum (Three Elements of Legal sistem). Ketiga unsur sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut, yaitu : (1) Struktur Hukum
(Legal Structure), (2) Substansi Hukum (Legal Substantie) dan (3) Kultur
Hukum (Legal culture) 14.
Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan
bahan-bahan hukum secara teratur.
Komponen substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya
aturan yang ada dalam Kitab Undang-undang atau law in the books.
13 Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, Hlm.30
14
Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara pertauran hukum dengan tingkah laku hukum
seluruh warga masyarakat15.
Secara singkat menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut :
a. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin.
b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin
itu.
c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
Paul dan Diaz mangajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan sistem hukum, yaitu :
a. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan
dipahami.
b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
c. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga
harus cukup efektif dalama penyelesaian sengketa-sengketa.
e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu
memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif 16.
Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit
masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai
dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada
dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Karena
kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi kepada masalah politik
15
yang sarat dengan diskriminasi terhadap kelompok lain. Untuk memahami
bagaimana fungsi hukum, sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh hukum, yaitu :
a. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan
menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang
boleh dilakukan.
b. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan
kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya.
c. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
d. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara
mengatur kembali hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
dengan menun jukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan
yang boleh dilakukan.
Dari empat pekerjaan hukum tersebut, menurut Satjipto Rahardjo secara
sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum. Yaitu :
a. Social Control (kontrol sosial)
Sosial kontrol merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga
masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah
digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol sosial ini adalah :
1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan
maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang.
2) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat.
3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal
terjadi perubahan-perubahan sosial.
b. Social engineering (rekayasa sosial).
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum
atau keadaan masyarakat sebagaiman diinginkan oleh pembuat hukum.
Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk
lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat
dimasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang.
Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada
akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru
dimasyarakat17.
Robert B Seidman, menyatakan tindakan apapun yang diambil baik
oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat
undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas
kekuatan-kekuatan soaial, budaya, ekonomi dan politik, dan hal-hal lain
sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja
dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang
berlaku menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas
lembaga-lembaga pelaksanaannya18.
Dengan demikian peranan yang pada akhirnya dijalankan oleh lembaga
dalam pranata hukum itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai
factor, Robert B Seidman mencoba untuk menerapkan padangan
tersebut di dalam analisanya mengenai bekerjanya hukum dalam
masyarakat yang dilukiskan dalam bagan sebagai berikut :
Bekerjanya kekuatan-kekuatan Personal & sosial
Pembuatan Undang- undang Peraturan
Umpan balik Umpan balik
Norma
17 Satjipto Rahardjo, 1986, masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru bandung, hlm. 119-120.
Penegakan Hukum Pemegang Peranan
Peran yang dimainkan
Bekerjanya kekuatan-kekuatan Bekerjanya kekuatan-kekuatan
Personal & sosial Personal & sosial
Gambar 1
Teori Bekerjanya Hukum
Olehnya bagan itu diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut :
a. Setiap penuturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang
pemegang peranan itu diharapkan bertindak.
b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan
lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek kekuatan
sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya.
c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi
peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan komplek ketentuan-ketentuan sosial, politik dan
lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari
para pemegang peranan.
d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka,
sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek ketentuan-ketentuan sosial politik,
ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan
balik datang dari para pemegang peranan.serta birokrasi. 19
Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau
keefektifan hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan
atau suatu komitmen) bersangkutan dengan 5 (lima) faktor pokok yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri
b. Faktor penegak hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum dan merupkana tolok ukur dari efektivitas penegakan
hukum.
Menurut Radbruch, hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai
dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu :
a. Keadilan.
b. Kemanfaatan/kegunaan .
c. Kepastian hukum. 20
Disamping itu ada 3 (tiga) dasar berlakunya hukum atau undang-undang
yaitu berlaku secara : filosofis, sosiologis, dan yuridis, sehingga nilai
idealis atau nilai dan dasar berlakunya hukum atau undang-undang dapat
berlaku sebagai berikut :
Keadilan Filosofis
HUKUM
Kegunaan Sosiologi
Kepastian hukum Yuridis
Gambar 2
Nilai Identitas dan Dasar Berlakunya
Agar hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga
masyarakat, maka hukum tadi harus seluas mungkin sehingga melembaga
dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah
satu syarat bagi penyebaran serta pelembaga hukum. Komunikasi hukum
tersebut dapat dilakukan secara formil yairu melalui suatu tata cara
informal yang terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, maka ada
salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan
pengatur perilaku. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difussi, yaitu
penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Proses difussing tersebut antara lain dapat dipengaruhi
oleh :
a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal
ini hukum) mempunyai kegunaan.
b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya yang
mungkin merupakan pengaruh negatif dan positif.
c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak
oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi dan unsur lama.
d. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum,
mempengaruhi efektifitas hukum di dalam merubah serta mengatur
perilaku warga masyarakat.
Menurut Lon Fuller, ada delapan nilai yang diwujudkan oleh hukum.
Kedelapan nilai tersebut yang dinamakannya dengan prinsip legalitas
adalah :
a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa
tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau atau
b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak .
c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
d. Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terinci, ia
harus dapat dimengerti oleh rakyat.
e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
f. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama
lain.
g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum
dan peraturan-peraturan yang telah dibuat. 21
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan
hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih
daripada itu. Hukum yang demikian itu sama sekali tidak dapat disebut
hukum.
C. Prinsip-Prinsip Dalam Ekonomi Syariah.
Mencermati substansi pandangan M. M. Metwally yang dikutip oleh
Gemala Dewi, dalam mengulas nilai atau prinsip dasar ekonomi Islam,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nilai Khilafah.
Merupakan fungsi kekhalifahan manusia di bumi sebagai pemegang
amanah untuk mengelola segala isi alam untuk kepentingan dan
keperluan hidupnya.
2. Nilai Kepemilikan Terbatas.
Pelaku ekonomi harus menyadari bahwa perolehan dan hasil usaha
yang dicapai bukanlah milik mutlak, melainkan sebagai amanah Tuhan
yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya nanti.
3. Nilai Kerja Sama (ta’awun).
Nilai kerja sama menempatkan manusia sebagai subjek untuk saling
membantu terhadap sesama dan tidak saling mengeksploitasi.
4. Nilai Solidaritas dan Distribusi Kekayaan.
Pelaku ekonomi harus memiliki rasa solidaritas sesama manusia
sehingga selalu bisa berbagi peluang dalam usaha pengembangan diri.
Hal itu menyebabkan terjadinya distribusi kekayaan yang merata dan
adil. Tidak dibenarkan melakukan akumulasi kekayaan dan
penimbunan barang untuk kepentingan sepihak.
5. Nilai Pemilikan Kolektif.
Kepemilikan terhadap sumber-sumber daya tertentu, berupa air,
padang rumput, dan api serta sarana umum lainnya tidak boleh dimiliki
secara sepihak, melainkan harus dikendalikan oleh negara.
6. Asas Pertanggungjawaban Ganda22.
Pelaku ekonomi tidak akan terbebas dari tanggung jawabnya, baik
untuk sebuah proses yang benar dan halal maupun terhadap suatu proses
yang salah dan haram, masing-masing akan diberikan ganjaran. Inilah
konsekuensi nilai pertanggungjawaban yang tidak mungkin dihindarkan
karena keyakinan akan adanya hari kiamat sebagai hari pembalasan.
Deskripsi mengenai nilai dasar atau prinsip ekonomi Islam juga
diberikan oleh Ali Yafie23. Menurutnya, secara prinsip terdapat empat pilar-pilar sebagai dasar dalam transaksi ekonomi, yaitu :
1. Tauhid.
Sistem etika Islam yang meliputi kehidupan manusia dibumi secara
keseluruhan selalu tercermin dalam konsep tauhid yang dalam
pengertian absolut hanya berhubungan dengan Tuhan. Meskipun
demikian, karena manusia bersifat ilahiah ini. Umat manusia tidak lain
adalah wadah kebenaran dan harus memantulkan cahaya
22 Gemala Dewi, Wirduaningsih dan Yeni Salma Barlinti, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, edisi I, ctk. pertama, Kencana, Jakarta
Nya dalam semua manifestasi duniawi. Allah SWT., menegaskan hal
ini dalam Firman-Nya sebagai berikut :
َﺳ
Artinya :Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu ? (QS. Fushilat : 53).
Tauhid pada tingkatan absolut meningkatkan makhluk untuk
melakukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak Allah SWT.,
sebagaimana ditegaskan dalam surat Yusuf ayat 40 yang artinya, “
Keputusan hanya terletak pada Allah, yang telah memerintahkan untuk
tidak menyembah selain Dia”. Dalam ayat lain ditegaskan pula yang
artinya, “ Katakanlah, sesungguhnya shalatku, pengurbananku,
hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam”. (QS. Al
An’am : 162).
Secara substantif, nilai tauhid mengandung dua dimensi utama, yaitu
sebagai berikut : Pertama, tauhid rububiyah, artinya keyakinan bahwa
semua yang ada di alam ini adalah milik Allah dikuasai langsung
oleh-Nya. Kedua, tauhid uluhiyah, artinya keyakinan bahwa dengan aturan
Nya lah segala makhluk menjalankan kehidupannya. Kedua nilai yang
terkandung di dalam tauhid itu, oleh Rasulullah diterapkan dalam
setiap kegiatan ekonomi. Setiap harta (asset) dalam transaksi bisnis
hakikatnya adalah milik Allah dan pelaku ekonomi hanyalah
mendapatkan amanah mengelola. Oelh karena itu, setiap aset dan anasir
transaksi harus dikelola sesuai dengan ketentuan pemilik yang hakiki,
yakni Allah SWT. Dengan kepeloporan Nabi Muhammad SAW., dalam
meninggalkan praktek riba’ (unsury-interest), transaksi fiktif (gharar),
perjudian spekulasi (maysir) dan komoditi haram merupakan wujud dan
2. Keseimbangan (Adil).
Dalam pandangan Islam, sistem kehidupan berasal dari sebuah persepsi
Ilahiah mengenai keharmonisan alam. Dalam perspektif Islam,
keberagaman harus diseimbangkan agar menghasilkan tatanan sosial
yang baik, sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah :
ِاﱠﻧ
Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (QS. Al Qamar : 49).
Nilai keseimbangan atau keharmonisan sosial tidaklah dalam makna
yang statis, melainkan lebih bersifat dinamis yang senantiasa
mengerahkan segala kekuatan untuk menentang segenap ketidakadilan.
Keseimbangan juga harus mewujudkan dalam kehidupan ekonomi yang
menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Profit and loss sharing
principle (bagi hasil) boleh dikatakan sebagai represtasi model yang
berimbang dan adil.
3. Kehendak bebas.
Salah satu kontribusi yang paling orisinil dalam filsafat sosial adalah
konsep mengenai kebebasan. Hanya Tuhanlah yang mutlak bebas,
tetapi dalam batas-batas skema penciptaan-Nya, manusia juga relatif
bebas dengan kemahatauan Tuhan atas segala kegiatan manusia selama
di bumi.
Prinsip kebebasan inipun mengalir dalam kegiatan ekonomi Islam.
Prinsip transaksi ekonomi adalah halal, seolah-olah mempersilahkan
para pelakunya melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai yang
diinginkan, menumpahkan kreatifitas, modifikasi dan ekspansi seluas
dan sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan
siapapun secara lintang agama.
Berkaitan dengan hal ini , Nabi Muhammad SAW., telah memberikan
banyak diskripsi termasuk selama kerja sama bisnis yang dapat
itu. Model usaha tersebut antara lain, mudharabah, musyarakah,
murabahah, ijarah, wakalah, salam, istishna dan sebagainya.
4. Pertanggungjawaban (Al-Muhasabah)
Prinsip pertanggungjawabn ini telah diwariskan oleh Nabi Muhammad
SAW., terutama dalam kerangka dasar etika dan bisnisnya. Kebebasan
harus dibarengi dengan pertanggungjawaban manusia yang harus
manjalani konsekuensi logisnya, setelah menentukan daya pilih antar
yang baik dan buruk. Allah SWT. befirman :
terbangunnya transaksi yang fair dan bertanggungjawab. Nabi
mencontohkan sebuah integritas yang tinggi dalam memenuhi segenap
klausul kontraknya dengan pihak lain, misalnya dalam hal pelayanan
kepada pembeli, pengiriman barang secara tepat waktu, dan kualitas
barang yang dikirim. Disamping itu beliaupun kerap mengaitkan suatu
proses ekonomi dengan pengaruhnya terhadap masyarakat dan
lingkungan. Untuk itu Nabi melarang memperjualbelikan
produk-produk tertentu yang dapat merusak masyarakat dan lingkungan.
Dengan mendasarkan analisis pada sejumlah kategorisasi
prinsip-prinsip ekonomi Islam dari sejumlah pakar tersebut, Muslimin
selanjutnya menegaskan lima prinsip dasar ekonomi Islam, yaitu
sebagai berikut :
1. Prinsip tauhid.
Prinsip ini merupakan yang paling fundamental dalam ajaran Islam
sekaligus sebagai misi utama Rasulullah yang harus disampaikan
(tablig) kepada seluruh manusia di bumi. Prinsip tauhid dalam
ekonomi Islam begitu esensial karena mengandung ajaran kepada
hubungan kemanusiaan (muamalah) sama pentingnya dan harus
diseimbangkan.
2. Prinsip keseimbangan.
Setiap proses dalam kegiatan ekonomi Islam harus didasarkan pada
prinsip kesimbangan. Maksud dari kesimbangan disini bukan hanya
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan duniawi dan ukhrawi,
tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan antara kepentingan
individu dengan kepentingan kolektif (umum) serta kesimbangan
antara lahir dan batin. Implementasi keseimbangan dalam ekonomi
Islam mencakup juga keseimbangan dalam mendistribusikan
kekayaan yang dimiliki oleh negara melalui hasil pendapatan,
seperti zakat, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), fai (harta
rampasan perang tidak melalui peperangan), kharaj (pajak atas
daerah yang ditaklukan dalam perang), ushr (zakat tanaman) dan
seterusnya.
3. Prinsip Khilafah.
Keberadaan manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan dimuka bumi,
harus menjalankan aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh pemberi mandat kekhalifahan. Eksistensi manusia sebagai
pemegang amanah dan pemimpin, secara eksplisit tercantum dalam
Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, Al-An’am : 165, Shad : 28 dan
Al Hadid : 57.
4. Prinsip Keadilan.
Salah satu prinsip terpenting dalam proses ekonomi berbasis Islam
ialah keadilan. Berperilaku adil tidak hanya didasarkan pada
ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Rasul, tetapi juga didasarkan pada
pertimbangan hukum alam yang diciptakan berdasarkan prinsip
keseimbangan dan keadilan.
Implementasi keadilan dalam proses pembangunan ekonomi sangat
Tuhan akan mendukung proses pemerintahan yang adil walaupun
kafir dan Tuhan tidak akan mendukung proses pemerintahan yang
zalim walaupun Islam. Prinsip keadilan ini harus terwujud dalam
segala dimensi kehidupan. Bila hal ini tidak terlaksana, maka
penindasan, kekerasan, dan eksploitasi akan terus berlangsung.
Keadilan merupakan ruh dari penerapan nilai-nilai kemanusiaan,
keharmonisan, dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
D. Konsepsi Hukum Kontrak Syariah 1. Hukum Kontrak/akad.
Di dalam Al Qur'an yang berhubungan dengan hukum kontrak
antara perjanjian, yaitu : al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Menurut
Abdul Manan24 yang dimaksud hukum kontrak dalam Islam disebut dengan " Akad" yang berasal dari bahasa Arab " Al-Aqdu", yang berarti
perbuatan perjanjian, kontrak atau permufakatan (al-ittifaq) dan
transaksi.
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan
ikatan (ar-rabt) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan
dua ujung tali yang mengikatkan salah satunya pada ujung yang lainnya
hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.25
Secara Etimologi akad berarti "ikatan" yaitu ikatan antara ujung
sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
abstrak dari satu sisi atau dua sisi26. Etimologi akad menurut M. Hasby Ash-shiddieqy adalah " mengikat ", yaitu mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga
24 Abdul Manan, Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syariah, Makalah, MARI, 2008
25
Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.I (Jakarta Raya Grafindo Persada, 2002) hal.75
26
bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda27. Akad diartikan juga sebagai " sambungan ", yaitu sambungan yang memegang kedua
tepi itu dan mengikatnya. Akad juga diartikan sebagai " janji " sebagai
mana dijelaskan dalam QS.Al-Maidah (5);1, : " Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah janji-janjimu ".
Sedangkan Terminologi, akad (perjanjian) dapat ditinjau dari segi
secara umum dan khusus :
1. Pengertian umum :
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa, Menurut pendapat Ulama
Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah akad adalah segala sesuatu
yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti
Wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa,
perwakilan dan gadai.
2. Pengertian khusus :
Pengertian akad secara khusus adalah perikatan ( yang ditetapkan
dengan) ijab dan qobul berdasarkan ketentuan syara yang
berdampak pada objeknya.contoh, ijab adalah pernyataan seorang
pejual "saya telah menjual barang ini kepadamu" atau sejenisnya.
Dengan demikian, ijab qobul adalah suatu perbuatan atau
pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad
diantara dua orang atau lebih.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan akad (perjanjian) adalah suatu yang sengaja
dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan
masing-masing.
Menurut Afzalur Rahman seperti yang dikutip M. Syafii Antonio,
dalam prinsip ekonomi syariah, akad yang dilakukan berdasarkan
27
hukum Islam. Sering kali nasabah (pelaku bisnis ) berani melanggar
kontrak yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum
positif belaka, tetapi tidak demikian dengan kontrak tersebut memiliki
pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah ( hari qiyamat ) nanti.
Setiap akad dalam ekonomi syariah, baik dalam hal barang ( objek ),
pelaku transaksi (subjek), maupun ketentuan lainya, harus memenuhi
ketentuan syarat dan rukunya.
Sedangkan menurut pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah ( KHES ) adalah " kesepakatan dalam suatu perjanjian antara
dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu ". dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan akad adalah suatu yang disengaja
dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan
masing-masing.
Perikatan bisa berarti al-'aqdu (akad ), dan juga berarti al-'ahdu
(janji). Istilah al-'aqdu bisa disamakan dengan istilah verbintenis dalam
KUH perdata. Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan
istilah perjanjian overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang
untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain28. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yang artinya :
"sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa"
Menurut Jumhur Ulama, akad adalah pertalian antara ijab dan
qabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya29.
Menurut Abdoerraoef, bahwa terjadinya suatu perikatan (al-'aqdu)
adalah melalui tiga tahap, yakni : pertama, al-'aqdu, yaitu pernyataan
28 Fathurrahman Jamil, Hukum Perjanjian Syariah Dalam KompilasiHukum Perikatan oleh Mariam darus Badrulzaman et al., cet.1, Citra AdityaBhakti, Bandung, 2001, hlm.247 .
dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. janji ini
mengikat orang yang mengatakanya untuk melaksanakan janji tersebut.
Kedua, persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi
terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Ketiga, apabila
perjanjian telah dilaksanakan kedua belah pihak, maka terjadilah apa
yang dimaksud dengan al-'aqdu30.
Makna dan pengertian perikatan (akad) dalam konsep ekonomi
syariah, sebagaimana diuraikan diatas, tidak jauh berbeda dengan
perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH
perdata. Perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian
menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal31.
Perbedaan proses perikatan antara hukum Islam dengan KUH
perdata adalah mengenai tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan
islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua, baru
kemudian lahir perikatan. sedangkan pada KUH perdata, perjanjian
antar pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian
menimbulkan perikatan diantara mereka.
Sementara menurut Abd.Gani Abdullah, dalam perikatan Islam
titik tolak yang paling membedakan adalah pentingnya unsur ikrar (ijab
dan qabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak
30 Abdoerraoef, Al-Qur'an dan Ilmu Hukum, NA Comparative Study, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.122-123..
tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar, maka terjadilah
'aqdu32.
a. Unsur-unsur akad.
Sebelum terjadi akad dalam perjanjian/perikatan harus
terwujud terlebih dahulu adanya beberapa unsur dari perikatan itu
sendiri yang terdiri dari :
1. Shigat al-aqad yaitu : suatu yang didasarkan dari dua belah pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati keduanya tentang terjadinya akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, isyarat dan tulisan (sighat yang biasa disebut ijab kabul).
2. Akad dengan perbuatan yaitu perbuatan yang menunjukkan
saling meridloi.
3. Akad dengan isyarat bagi yang tidak agi yang tidak bisa berbicara, bagi yang bisa berbicara tidak diperkenankan melakukan akad dengan isyarat, melainkan harus dengan lisan, tulisan atau perbuatan.
Lebih rinci Gemala Dewi, juga menguraikan ada tiga unsur yang
terkandung dalam akad, yaitu :
1. Pertalian ijab dan dan kabul.
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (maujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut kepada pihak lain (qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan sesuatu perikatan.
2. Dibenarkan oleh syara’.
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur dalam Al Qurán dan Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun obyek akad, tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan mengakibatkan akad tersebut tidak sah. .
3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya.
Akad merupakan salah satu tindakan hukum terhadap obyek hukum (tasharuf). Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
32
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan akad, secara detail ada dua syarat yaitu :
1. Syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam segala hal macam akad.
2. syarat khusu yaitu syarat-syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini bisa disebut Syarat-syarat tambahan (idhofiyah) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi.
b. Rukun dan Syarat Akad.
Di dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan
syarat yang harus dipenuhi. Rukun menurut bahasa adalah yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan33. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan/petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan34. Dalam syariah, rukun dan syarat sama-sama
menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Rukun menurut
terminologi adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan
sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu35. Sedangkan syarat menurut terminologi adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar'i dan ia berada di
luar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum pun
tidak ada36.
Perbedaan antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun
merupakan sifat yang padanya tergantung keberadaan hukum dan ia
termasuk dalam rukun itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat
yang kepadanya bergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada
diluar hukum itu sendiri37.
33 Departemen Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia, balai pustaka, jakarta, 2002, hlm.966
34 Ibid hlm 1114
35 Abdul Aziz Dahlan, ed.Ensiklopedi Hukum Islam,, jilid.5, ikhtiar Baru Van Hoeve, jakarta, 1996, hlm.1510
36