• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskriptif : gambaran culture shock yang dialami mahasiswa asal Papua di Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi deskriptif : gambaran culture shock yang dialami mahasiswa asal Papua di Yogyakarta."

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

vii

STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI

MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA

Heni Ariyanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dengan berfokus pada tahapan dan gejala yang dialami. Kedua fokus tersebut dinilai perlu karena tahapan dan gejala yang terjadi mungkin saja berbeda karena terdapat faktor interpersonal dan intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock. Pendekatan deksriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta dan tinggal di Yogyakarta dalam kurun waktu 1 sampai 2 tahun, subjek dipilih menggunakan criterion sampling. Mengacu kepada kedua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan ada empat tahapan culture shok yang dialami, yaitu honeymoon, crisis/culture shock, recovery, dan adjustment. Terdapat delapan gejala culture shock yang dialami, yaitu a) Merasa sedih, sendirian dan terasingkan; b) Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal; c) Takut melakukan kontak fisik; d) Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama; e) Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka; f) Kehilangan identitas dan kurang percaya diri; g) Merindukan keluarga dan rumah; h) Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi).

(2)

viii

DESCRIPTIVE STUDY: THE DESCRIPTION OF CULTURE SHOCK

EXPERIENCED PAPUA STUDENTS IN YOGYAKARTA

Heni Ariyanti

ABSTRACT

This research aims to describe how the culture shock experienced by Papuan students in Yogyakarta by focusing on the stages and symptoms experienced. The second focus was considered necessary because of the stages and symptoms that occur may be different because there are interpersonal and intrapersonal factors that can affect the culture shock. Descriptive approach was chosen to answer the research question. The study involved students from Papua who study and live in Yogyakarta in Yogyakarta over a period of 1 to 2 years, subjects were selected using criterion sampling. Referring to the second focus of the study, the results of this study indicate there are four stages of culture shock is experienced, the honeymoon, crisis / culture shock, recovery, and adjustment. There are eight symptoms experienced culture shock, namely a) Feeling sad, alone and alienated, b) Not being able to speak and understand the language used by the local people and tend to avoid contact with the local people; c) Fear of physical contact; d) desire for interact with fellow; e) feeling Insecure (excessive fear) fear of being cheated, robbed, fearing f) Loss of identity and lack of confidence; g) Longing for family and home; h) Troubled by health (flu, fever, diarrhea, allergies).

(3)

 

STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI

MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Heni Ariyanti

089114016

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

i   

STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI

MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Heni Ariyanti

089114016

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv   

HALAMAN MOTTO

“Pesawat dapat terbang karena

menantang angin. Hadapi masalahmu!

Tantang! Dan terbanglah!”

“ If you fill your heart with regrets of

yesterday and the worries of tomorrow,

so you have no today to thankfull for”

(8)

v   

HALAMAN PERSEMBAHAN

(9)
(10)

vii   

STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA

Heni Ariyanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dengan berfokus pada tahapan dan gejala yang dialami. Kedua fokus tersebut dinilai perlu karena tahapan dan gejala yang terjadi mungkin saja berbeda karena terdapat faktor interpersonal dan intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock. Pendekatan deksriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta dan tinggal di Yogyakarta dalam kurun waktu 1 sampai 2 tahun, subjek dipilih menggunakan criterion sampling. Mengacu kepada kedua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan ada empat tahapan culture shok yang dialami, yaitu honeymoon, crisis/culture shock, recovery, dan adjustment. Terdapat delapan gejala culture shock yang dialami, yaitu a) Merasa sedih, sendirian dan terasingkan; b) Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal; c) Takut melakukan kontak fisik; d) Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama; e) Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka; f) Kehilangan identitas dan kurang percaya diri; g) Merindukan keluarga dan rumah; h) Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi).

Kata kunci: tahapan culture shock, gejala culture shock, mahasiswa asal Papua di Yogyakarta

 

 

 

 

 

(11)

viii   

DESCRIPTIVE STUDY: THE DESCRIPTION OF CULTURE SHOCK EXPERIENCED PAPUA STUDENTS IN YOGYAKARTA

Heni Ariyanti

ABSTRACT

This research aims to describe how the culture shock experienced by Papuan students in Yogyakarta by focusing on the stages and symptoms experienced. The second focus was considered necessary because of the stages and symptoms that occur may be different because there are interpersonal and intrapersonal factors that can affect the culture shock. Descriptive approach was chosen to answer the research question. The study involved students from Papua who study and live in Yogyakarta in Yogyakarta over a period of 1 to 2 years, subjects were selected using criterion sampling. Referring to the second focus of the study, the results of this study indicate there are four stages of culture shock is experienced, the honeymoon, crisis / culture shock, recovery, and adjustment. There are eight symptoms experienced culture shock, namely a) Feeling sad, alone and alienated, b) Not being able to speak and understand the language used by the local people and tend to avoid contact with the local people; c) Fear of physical contact; d) desire for interact with fellow; e) feeling Insecure (excessive fear) fear of being cheated, robbed, fearing f) Loss of identity and lack of confidence; g) Longing for family and home; h) Troubled by health (flu, fever, diarrhea, allergies).

(12)
(13)

x   

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas segala penyertaan

dan berkah yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Struktur Deskriptif:

Gambaran Culture Shock yang Dialami Mahasiswa Asal Papua Di Yogyakarta” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak

pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh

karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Psi selaku dekan Fakultas

Psikologi.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen pembimbing akademik

yang memberikan pelajaran berharga tentang perjuangan menyelesaikan

skripsi.

3. Ibu M.M. Nimas Eki, S., M.Si., Psi selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support

yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah

ditentukan-Nya.

4. Bapak H. Wahyudi, M. Si dan Ibu Dra. Lucia Pratidarmanastiti selaku

Dosen Penguji Skripsi, terima kasih atas bimbingan dan saran yang telh

(14)

xi   

5. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih

atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama menimba ilmu

di Fakultas Psikologi

6. AS, HR, VL dan IF selaku subjek penelitian ini. Terima kasih atas bantuan

dan kesediaan kalian untuk berbagi pengalaman dan informasi dengan

penulis.

7. Segenap keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan serta doa

kepada penulis. Sepupu – sepupu mba ndit, mba ika, mba endah, nane

yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan penelitian ini.

8. Sahabat – sahabat saya Tiwi, Cik Mei, Nursih, Pauline, Anis, Lusi terima

kasih untuk kebersamaan, keceriaan, semangat, pengalaman yang telah

terjalin selama ini.

9. Teman – Teman Psikologi kelas A yang namanya tidak bisa disebutkan

satu – persatu, terima kasih atas segala kebersamaan dan pengalaman yang

telah diberikan.

10.Teman – teman kos yang selalu memberikan semangat dan bantuannya

kepada penulis Mba icha, Feni, Novia, Rista, Ori, Agnes, Ka lisa, Maria,

Indah, Hellen, Angel, Cilla, Rossa, Epong dan Mba Sum terima kasih atas

semuanya. Teman kos lamaku Carol, terima kasih atas rekomendasian

subjek penelitiannya.

11.Sahabat – sahabat jauhku yang selalu memberikan motivasi untuk segera

(15)

xii   

Nube, Ani, Ole, Mas Adji, Kojek, Kiki, Om Domi, A ucup. Terima kasih

atas segala keceriaan dan kelucuan kalian yang selalu membuat rindu.

12.Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini,

terima kasih.

Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya

perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah

dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar

harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi

perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 23 Juli 2013

Penulis,

(16)

xiii    DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

(17)

xiv   

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9

A. Culture Shock ... 9

1. Pengertian Culture Shock ... 9

2. Tahap – tahap Culture Shock ... 11

3. Gejala – gejala Culture Shock ... 14

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi Culture Shock ... 20

B. Mahasiswa Asal Papua ... 22

C. Review Penelitian Terdahulu Mengenai Culture Shock ... 24

D. Gambaran Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Yogyakarta ... 27

E. Pertanyaan Penelitian ... 31

BAB III. METODE PENELITIAN ... 32

A. Jenis Penelitian ... 32

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Subjek Penelitian ... 33

D. Metode Pengumpulan Data ... 33

E. Prosedur Analisis Data ... 37

1. Organisasi Data ... 37

2. Pengkodean (Coding) ... 37

3. Interpretasi ... 38

4. Membuat Rangkuman Temuan Penelitian ... 38

F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian ... 38

(18)

xv   

2. Kredibilitas Alat Pengumpul Data ... 39

3. Reliabilitas Penelitian ... 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Proses Penelitian ... 41

1. Persiapan Penelitian ... 41

2. Pelaksanaan Penelitian ... 42

3. Proses Analisis Data ... 43

4. Jadwal Pengambilan Data ... 44

B. Profil Subjek ... 48

1. Subjek 1 (AS) ... 48

2. Subjek 2 (HR) ... 53

3. Subjek 3 (VL) ... 57

4. Subjek 4 (IF) ... 61

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 65

D. Deskripsi Tema ... 67

E. Pembahasan ... 80

1. Temuan dari Fokus Penelitian ... 80

2. Temuan Tambahan ... 85

BAB V. PENUTUP ... 88

A. Kesimpulan ... 88

(19)

xvi   

C. Saran ... 89

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 89

2. Bagi Subjek Penelitian ... 90

3. Bagi Lembaga Pendidikan/Instansi Terkait ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(20)

xvii   

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... …….…34

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AS)……….45

Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HR) ... .45

Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (VL) ... 46

Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4 (IF) ... 47

Tabel 6. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 65

(21)

xviii   

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Protokol Wawancara... …….…95

Lampiran 2. Transkip Verbatim Wawancara dan Analisis Data Subjek

Penlitian ... ……….99

Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara ... 191

Lampiran 4. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancra ... 196

(22)

1    BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas

sebagian orang memilih untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, yaitu

perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka memilih melanjutkan studi di

kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya ketika SMA. Hal ini tentu dilatar

belakangi oleh berbagai macam alasan, salah satunya ialah mencari perguruan

tinggi yang memiliki kualitas cukup baik. Bukan hanya berpindah kota,

bahkan bagi mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa juga banyak yang

berlomba-lomba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi yang terdapat di Pulau

Jawa.

Biasanya mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa memilih untuk

meneruskan pendidikannya di Pulau Jawa, karena selain terdapat banyak

perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di Pulau Jawa pun dinilai lebih

baik dibanding perguruan tinggi di Luar Pulau Jawa (Niam, 2009). Daerah

yang banyak diminati oleh pelajar untuk melanjutkan pendidikan umumnya

adalah kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa, seperti Bandung, Jakarta,

Bogor, Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Yogyakarta. Dari beberapa

daerah tersebut Yogyakarta yang cukup dikenal sebagai kota pelajar. Hal ini

dikarenakan Yogyakarta memiliki banyak perguruan tinggi, baik yang

(23)

 

sekitar puluhan ribu calon mahasiswa baru. Diantara mereka banyak yang

berasal dari berbagai daerah di luar Pulau Jawa (Republikaonline, 2010).

Salah satu populasi terbesar mahasiswa yang berasal dari luar Pulau

Jawa di Yogyakarta adalah populasi mahasiswa yang berasal dari Papua.

Terlihat dari jumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Yogyakarta, mencapai

kurang lebih 7.500 orang. Jumlah ini terdiri atas mahasiswa yang sedang

menempuh pendidikan di jenjang S1, S2 dan S3 (Aliansi Mahasiswa Papua

Jogja, 2011). Keadaan ini tentu saja dilatar belakangi oleh berbagai macam

alasan.Menurut Boveington (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Sebuah

Survei tentang Para Pelajar Papua yang Kuliah di Jawa Timur, salah satu hal

yang memotivasi mahasiswa yang berasal dari Papua untuk melanjutkan

pendidikannya di Jawa Timur, yakni karena mereka merasa mutu pendidikan

di Papua masih kurang bagus.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boveington (2007) ini

dijelaskan bahwa yang memotivasi mahasiswa asal Papua melanjutkan

pendidikannya di pulau Jawa karena mutu pendidikan di Papua yang masih

kurang baik. Hal ini dilakukan karena mereka ingin mengembangkan Papua

dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Bagi mahasiswa asal Papua

dengan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mahasiswa akan

memperbaiki ketertinggalan dan mengembangkan sumber daya manusia yang

ada di Papua. Mereka ingin membagikan ilmu yang mereka miliki disana dan

mereka menyebutkan ingin “Papua yang Maju” sebagai cita-cita mereka

(24)

 

Perilaku mahasiswa asal Papua yang belajar ke Pulau Jawa dan setelah

selesai studi kembali ke kampung halaman, membuat mereka dapat

digolongkan ke dalam sojourner. Menurut Ady, Klineberg & Hull (dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001) sojourner adalah orang-orang yang datang sementara waktu di tempat yang baru dan setelah tujuan tercapai akan kembali

ke tempat asal. Datang ke sebuah tempat yang baru merupakan situasi yang

dapat menimbulkan kecemasan, karena mereka menjumpai beberapa

perbedaan antara tempat asal mereka dengan tempat tinggal mereka yang baru.

Hal ini juga dialami oleh mahasiswa asal Papua yang memilih untuk

melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa, terutama di Yogyakarta.

Papua dan Yogyakarta tentu saja memiliki latar belakang budaya yang

sangat berbeda. Yogyakarta memiliki budaya Jawa yang cukup kental dan

bahasa daerah yang digunakan oleh mayoritas penduduknya. Mayoritas

penduduk Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari –

hari. Dalam menyampaikan pendapatnya pun budaya di Jawa tengah,

termasuk Yogyakarta lebih bersifat unggah – ungguh dan kurang dapat

bersikap arsetif (Bagus, M. G., 2002). Hal yang berbeda antara Yogyakarta

dengan kota di Jawa Tengah lainnya yaitu di Yogyakarta terdapat banyak

mahasiswa yang berasal dari beragam daerah dan memiliki latar belakang

budaya yang berbeda. Ini yang menyebabkan Yogyakarta disebut sebagai kota

pelajar. Dengan demikian, mahasiswa di Yogyakarta dituntut memiliki

kemampuan berkomunikasi yang baik agar dapat menyesuaikan diri di

(25)

 

Mahasiswa Papua mengatakan bahwa tidak sedikit dosen yang

menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia

sebagai bahasa utamanya. Situasi seperti ini terkadang membuat mahasiswa

yang berasal dari Papua merasa tidak nyaman. Hal ini pernah dialami oleh

salah satu mahasiswa asal Papua, ia mengatakan bahwa terkadang dosen

menggunakan bahasa Jawa ditengah-tengah perkuliahannya. Hal ini dirasa

sebagai salah satu hambatan baginya dalam memahami materi perkuliahan

(Wawancara, 16 Oktober 2012).

Di Papua, mahasiswa asal Papua terbiasa dengan bahasa Indonesia

dengan logat Papua yang khas. Bahasa tersebut biasanya lebih singkat

dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang asli. Misalnya dalam bahasa

Indonesia kita mengatakan “saya atau kami pergi ke pasar” dengan logat

Papua bisanya mereka cukup mengucap “sa atau kam pi di pasar”. Contoh lain

misalnya kalimat tanya dalam bahasa Indonesia “anda hendak pergi kemana?”

dalam bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas akan mengucap “ko

mo pi dimana?”. Selain bahasa yang lebih disingkat pola atau penggunaan

kata bantu seperti di- dan ke- cukup berbeda (Fauzi, 2012).

Selain itu, nada bicara yang digunakan oleh mahasiswa Papua

cenderung lebih kerasa sehingga terkesan seperti orang yang marah atau

membentak. Hal ini dibenarkan oleh salah satu mahasiswa asal Papua di

Yogyakarta yang mengaku bahwa terkadang ketika mereka berbicara banyak

orang di Yogyakarta menduga mereka sedang marah. Kemudian ia pun

(26)

 

terbiasa untuk asertif. Akan tetapi, mereka menyadari bahwa di Yogyakarta

mereka harus lebih berhati – hati dalam berbicara karena karakter orang Jawa

yang sensitif (Wawancara, 16 oktober 2012).

Mahasiswa Papua juga memiliki sikap individualitas yang tinggi,

khususnya mereka yang berasal dari daerah Pantai Utara, Papua. Hal ini

menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa bekerja sama dan menerima

kehadiran orang lain (Koentjaraningrat, 2002). Hal ini sesuai dengan

pernyataan Kroeber & Kluckhohn yang menyebutkan bahwa budaya sangat

mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, seperti penyesuaian diri,

pemecahan masalah, belajar dan kebiasaan yang dimiliki (dalam Berry,

Poortinaga, Segall & Dasen 1999).

Perbedaan-perbedaan antara kondisi di daerah asal dengan di daerah

baru dapat memunculkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mahasiswa

pendatang. Menurut Furnham dan Bochner (Hidajat dalam Niam, 2009)

hal-hal yang tidak menyenangkan seperti masalah perbedaan bahasa antara daerah

asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan

mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari

munculnya culture shock.

Culture shock didefinisikan sebagai dampak yang timbul dari perpindahan budaya yang familiar ke budaya yang tidak familiar, biasa

dialami oleh orang-orang ketika mereka berpergian atau pergi ke suatu sosial

(27)

 

dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami

oleh individu ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara budaya

maupun sosial baru.Oberg (dalam Irwin, 2007) menjelaskan hal ini disebabkan

oleh kecemasan individu karena ia kehilangan simbol-simbol yang selama ini

dikenalnya dalam interaksi, yang terjadi ketika individu tinggal dalam budaya

yang baru dengan jangka waktu yang relatif lama.

Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai perilaku yang tertanam dalam

diri individu.Budaya merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari individu,

akumulasi dari pengalaman yang disosialisasikan dalam bentuk perilaku

melalui pembelajaran sosial (social learning). Selain itu, kebudayaan juga

didefinisikan sebagai pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk

perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol – simbol yang mereka terima. Semua

hal itu diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generas

kepada generasi berikutnya (Liliweri. A, 2002). Pada penelitian ini budaya

dibatasi pada perilaku terkait dengan cara berinteraksi yang telah tertanam

dalam diri individu, karena di perguruan tinggi mereka harus berinteraksi

dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan memiliki latar

belakang budaya yang beragam, dan peningkatan pada prestasi dan

penilaiannya (Belle & Paul, Upcraft dan Gardner, dalam Santrock, 2002).

Dampak culture shock sangat terasa bagi mahasiswa baru, sebab mahasiswa baru sedang berada pada masa peralihan dari remaja menuju

dewasa awal. Selain itu, mahasiswa baru harus menghadapi masa transisi dari

(28)

 

sekolah yang lebih besar, dan tidak bersifat pribadi. Keadaan tersebut

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Rosenthal & Russell

(2006) yang menemukan bahwa remaja mudah terpengaruh oleh perubahan

yang terjadi dalam hidupnya, apalagi perubahan yang berkaitan dengan

adanya perubahan budaya yang mudah menimbulkan culture shock.

Mahasiswa yang berasal dari Papua sangat rentan mengalami culture shock. Hal ini dikarenakan mereka memiliki latar budaya yang sangat berbeda dengan budaya yang berada di Yogyakarta.Hal ini didukung oleh Niam (2009)

dalam penelitiannya yang berjudul koping terhadap stres pada mahasiswa luar

Jawa yang mengalami culture shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta menemukan bahwa mahasiswa pendatang yang berasal dari luar Pulau Jawa

banyak mengalami masalah atau kesulitan ketika ia berada di Surakarta.

Mahasiswa yang berasal dari Papua memiliki perbedaan budaya yang

sangat mencolok dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Teori sebelumnya

menjelaskan bahwa salah satu hal yang memperngaruhi culture shock adalah besar kecilnya perbedaan budaya di lingkungan asalnya dengan lingkungan

kebudayaan yang dimasukinya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui

bahwa cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berlangsung di Papua dan

Yogyakarta memiliki perbedaan yang cukup jauh. Dengan demikian, peneliti

(29)

 

B. Rumusan Masalah

Rumusan yang mendasari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat

bagaimana gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah literatur pengetahuan dan riset

penelitian di Indonesia mengenai gambaran mahasiswa yang mengalami

culture shock, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan ragam budaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin memberikan sumbangan

pengetahuan di bidang antropologi dan psikologi, khususnya psikologi

budaya.

2. Manfaat Praktis

Bagi subjek penelitian, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan untuk mengevaluasi diri. Bagi dosen dan orang tua

penelitian ini dapat memberikan informasi untuk selanjutnya digunakan

(30)

9   

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Culture Shock

1. Pengertian Culture Shock

Kebudayaan didefinisikan sebagai pandangan hidup dari

sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol –

simbol yang mereka terima. Semua hal itu diwariskan melalui proses

komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya

(Liliweri. A, 2002). Culture shock dideskripsikan sebagai reaksi individu ketika mereka menyadari dirinya berada pada suatu tempat baru, aneh dan

tidak dikenal (Bochner dalam Lonner & Malpass, 1994). Culture shock

juga didefinisikan sebagai pengalaman depresi dan kecemasan dari banyak

orang ketika mereka melakukan perjalanan atau berpindah ke sebuah

keadaan sosial dan aturan budaya yang baru (Irwin, 2007).

Guanipa (1998) mendeskripsikan culture shock sebagai kecemasan yang dialami oleh individu ketika ia pindah ke lingkungan yang

benar-benar baru. Istilah culture shock mengungkapkan kurangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan

suatu hal dilingkungan yang baru dan mengetahui apa saja yang cocok dan

tidak cocok dalam lingkungan yang baru tersebut.

(31)

   

(Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004), meskipun individu tersebut

hanya tinggal dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini terjadi karena

individu merasakan ketidaknyamanan dan mengalami disorientasi saat

berada di lingkungan yang baru, ditambah petunjuk

-petunjuk yang ada di lingkungan baru tersebut tidak dapat dikenali

(Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004). Petunjuk-petunjuk tersebut

merupakan tanda-tanda yang berkaitan dengan cara-cara yang dimiliki

oleh individu untuk mengendalikan diri dalam hidup sehari-hari. Selain

itu, tanda-tanda tersebut juga digunakan untuk berkomunikasi dengan

orang lain (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).

Perasaan negatif akan muncul ketika individu kehilangan petunjuk

dalam hidup dan merasakan seuatu ketidaknyamanan saat berada di

lingkungan yang baru. Biasanya individu tersebut akan mengalami

perasaan cemas, tidak berdaya dan lekas marah.

Kalervo Oberg (1960) menyebutkan bahwa kecemasan dipicu

akibat individu kehilangan tanda-tanda dan simbol-simbol sosial yang

familiar dalam pergaulan (dalam Irwin, 2007). Individu tersebut juga akan

merasakan rindu pada lingkungan yang lama (Chruch, dalam Heine,

2008).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

(32)

baru, karena individu tersebut kehilangan tanda-tanda sosial yang familiar

dalam pergaulannya.

2. Tahap – tahap Culture Shock

Culture shock dapat diketahui melalui tahapan yang dirasakan oleh individu. Dalam culture shock terdapat empat tahap-tahap reaksi emosional yang akan dirasakan oleh individu, yaitu:

a. Tahap honeymoon

Tahap pertama yang akan dialami oleh individu adalah tahap

‘bulan madu’. Pada tahap ini, individu akan mengalami ketertarikan

pada suatu hal yang baru. Orang-orang di lingkungan baru tersebut

terlihat sangat ramah dan sopan (Irwin 2007). Selain itu, pendatang

sangat antusias dan senang dengan hal-hal baru yang ada di lingkungan

barunya. Segala bentuk pertemuan yang dialami oleh pendatang baru

akan menjadi menyenangkan dan memuaskan (Odera, 2003).

Pada tahap ini, individu menikmati kemampuannya dapat

berkomunikasi dengan bahasa setempat dan gembira dapat

berpartisipasi dengan lingkungannya yang baru dan asing (Lysgaard

dalam Heine, 2008).

Tahap ini terjadi selama beberapa hari atau minggu hingga

enam bulan, bergantung pada kegiatan yang akan dihabiskan oleh

orang tersebut selama berada di lingkungan yang baru (Oberg dalam

(33)

selama satu tahun. Selama bulan-bulan pertama ini, biasanya

merupakan waktu yang sangat baik. Sebab waktu tersebut merupakan

proses pertama mengenal hal-hal baru dapat dilakukan dengan baik

(Pujiriyani & Rianty, 2010).

Di tahap ini, individu sedang berusaha untuk bisa beradaptasi

dengan keadaan di lingkungan barunya.Individu sedang belajar untuk

mengenali lingkungannya. Baginya seluruh keadaan baru yang dialami

merupakan suatu hal yang unik dan masih menyenangkan. Dalam

melewati tahap honeymoon ini, ada individu yang kurang mampu untuk mengenali lingkungannya dengan baik. Individu yang kurang

mampu tersebut akan memasuki tahap yang selanjutnya, yaitu crisis

atau culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010). b. Tahap crisis atau culture shock

Pada tahap kedua ini, individu mungkin mengalami beberapa

masa sulit dan krisis dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya

kesulitan dalam komunikasi yang mungkin terjadi, seperti tidak

dipahami oleh individu lain (Odera, 2003). Pada tahap ini, mungkin

ada perasaan ketidakpuasan, ketidaksabaran, marah, sedih dan

inkompetensi perasaan. Hal ini terjadi ketika seseorang sedang

mencoba untuk beradaptasi dengan budaya baru yang sangat berbeda

dengan budaya lamanya (Odera, 2003).

Biasanya individu-individu akan berpaling kepada

(34)

diajak bicara dengan cara pandang yang sama. Seringkali muncul

pendewaan terhadap kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur

barunya sebagai kulutr yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan

dan aneh (Irwin, 2007).

Transisi antara metode lama yang digunakan untuk beradaptasi

dengan individu-individu di lingkungan yang baru adalah proses yang

sulit dan membutuhkan waktu untuk dapat menyelesaikannya. Selama

masa transisi ini, individu akan mengalami perasaan ketidakpuasan

yang kuat (Odera, 2003).

Oberg menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan

menentukkan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat

barunya. Pada masa ini bisa muncul keinginan regresi,

keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan dengan

kondisi-kondisi yang ada di daerah asalnya serta mendapatkan perlindungan

dari individu-individu yang memiliki budaya yang sama (dalam Irwin,

2007).

Di tahap ini, individu seringkali menyadari bahwa kemampuan

berbahasa individu tidak cukup baik untuk membantunya di

lingkungan yang baru.Selain itu, individu mulai merindukan tentang

kampung halamannya, seperti cuaca, jenis-jenis olahraga yang populer,

atau makanan aneh yang mereka makan pada waktu libur festival.

Tahap ini berlangsung selama 6 sampai 18 bulan setelah melewati

(35)

c. Tahap recovery

Tahap ini meliputi kemampuan individu memecahkan krisis

yang dimiliki dan mempelajari budaya yang ada di lingkungan barunya

(Oberg dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).

d. Tahap adjustment

Tahap ini menggambarkan perasaan senang dan telah memiliki

kemampuan fungsional yang baik dalam lingkungan barunya (Oberg

dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).Dimana, individu mulai

merasa terbiasa dan mulai menikmati pengalaman yang dimiliki.

Kemampuan berbahasa individu juga mulai meningkat dan dapat

mengikuti pola kehidupan sehari-hari.Individu juga lebih mampu

untuk bersahabat dengan orang-orang lokal dan dapat beradaptasi

dengan hal-hal di lingkungan yang baru.Individu sudah tidak merasa

aneh di lingkungan barunya. Kemampuan individu dalam berpikir juga

sudah bisa menyesuaikan dengan orang-orang di lingkungan barunya.

Keadaan ini dapat bertahan selama beberapa tahun lamanya (Lysgaard

dalam Heine, 2008).

3. Gejala – gejala Culture Shock

Untuk dapat menangani gejala culture shock yang dialami individu, maka perlu dikenali beberapa gejalanya. Gejala yang ditunjukkan

oleh individu antara lain, individu akan merasa terasingkan dan sendirian,

(36)

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut ditunjukkan dengan menghindari

kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya yang baru

dan enggan untuk berbicara dengan orang lain (Pujiriyani & Rianty, 2010).

Hal ini terjadi karena individu tersebut merasa tidak nyaman untuk

berinteraksi dengan orang lain. Individu tersebut merasa kehilangan

petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya (Hooves,

dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain itu, dirinya juga harus hidup

terpisah dari orang-orang terdekatnya dan mulai merasa kehilangan

dukungan (Sandhu & Asrabadi, dalam Furnham, 2004).

Gejala lain yang akan dialami oleh individu ialah masalah terkait

dengan perubahan tempramen. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku individu

yang mudah tersinggung, mudah kesal dan marah. Selain itu, individu

tersebut juga akan menunjukan perasaan depresi, merasa lemah dan

menderita (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam

diri individu tersebut diliputi oleh respon-respon negatif akibat

keberadaannya di lingkungan yang baru (Oberg dalam Bochner, 1994;

Smith & Bond, 1993). Keadaan ini membuat individu tersebut menjadi

mudah marah menghadapi hal-hal yang dialaminya (Church dalam Heine,

2008). Keadaan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan bahwa

orang yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan, depresi dan stress (Thomson, Rosenthal & Russell, 2006).

Gejala berikutnya yang mungkin muncul adalah mulai muncul

(37)

menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana (Pujiriyani & Rianty,

2010). Dengan demikian, akan muncul keinginan untuk terus bergantung

pada orang yang berasal dari tempat yang sama (Hooves dalam Mulyana

& Rakhmat, 2009). Pertemuan antara dua budaya yang berbeda, dapat

memunculkan persoalan dan terkadang persoalan tersebut belum pernah

dialami sebelumnya. Dalam setiap pemecahan masalah, setiap individu

akan bernegosiaasi dengan caranya masing-masing (Ward, Bochner &

Furnham, 2001). Oleh karena itu, ketika individu menghadapi masalah di

lingkungan budayanya yang baru dan masih menggunakan model

pemecahan masalah dari budayanya yang lama, maka masalah tersebut

dirasa berat dan tidak dapat diselesaikannya. Keadaan seperti ini yang

kemudian membuat individu tersebut ingin tetap dekat dan bergantung

dengan orang yang berasal dari budaya yang sama dan dapat diajak

berkomunikasi dengan lebih dekat (Oberg dalam Irwin, 2008; Guanipa,

2008). Individu tersebut juga lebih suka bersahabat dengan individu yang

berasal dari budaya yang sama (Bochner & Furnham, 2001).

Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak dapat bekerja secara

efektif juga menjadi gejala culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010). Seorang individu yang mengalami gejala culture shock biasanya akan mengalami gangguan pada kemampuannya dalam melakukan suatu hal.

Individu tersebut tidak dapat bekerja seefektif dan sebaik mungkin.

Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri individu tersebut telah

(38)

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Dengan demikian, pekerjaan yang sedang

atau telah dilakukan oleh individu tersebut akan selalu terasa kurang

memuaskan.

Individu yang mengalami culture shock juga akan menunjukkan rasa kehilangan identitas dan kurangnya percaya diri (Pujiriyani & Rianty,

2010). Perubahan dalam konteks budaya tersebut mampu mengubah

identitas individu. Keadaan ini disebabkan karena indentitas dibentuk dan

dipertahankan berdasarkan konteks budaya, sehingga pengalaman dalam

konteks budaya yang baru seringkali memunculkan pertanyaan tentang

identitas (Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004).

Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman

inilah yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal ini terjadi karena ketika individu masuk

ke dalam lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan

berinteraksi dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang

didapatkannya, mampu membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya

yang selama ini tidak sesuai dengan keadaannya saat ini. Dengan

demikian, kedaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi rasa percaya diri

individu tersebut, sehingga ia akan mengalami rasa kurang percaya diri

(Pujiriyani & Rianty, 2010).

Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,

(39)

2008). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan

lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya

(Church dalam Heine, 2008).

Gejala culture shock yang selanjutnya adalah individu mulai mengalami gangguan makan, minum dan istirahat yang berlebihan

(Pujiriyani & Rianty, 2010). Individu yang mengalami culture shock

mungkin akan mengalami gangguan makan dan minum. Hal tersebut

terjadi karena kebiasaan makan juga diatur dalam budaya (Porter &

Samovar dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).

Ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut juga

akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu, budaya

juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan

pekerjan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang diikuti

dan perubahan tempat tinggal (Furnham & Bochner, 2001). Perubahan

yang dialami oleh individu tersebut, akhirnya mengganggu gaya hidup

yang sudah dimiliki dalam budaya yang sebelumnya.

Individu yang mengalami gangguan makan, minum dan pola tidur

ini pada akhirnya juga akan bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan

dalam menghadapi penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit

yang dialaminya termasuk penyakit yang sepele (Pujiriyani & Rianty,

2010; Hooves dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Individu tersebut juga

mulai mengalami sakit kepala dan sakit perut (Gudykunst & Kim dalam

(40)

Pada saat individu berada di lingkungan budaya yang berbeda,

orang tersebut akan lebih banyak mengalami distress dan membutuhkan

konsultasi medis (Babiker, Cox & Miller dalam Heine, 2008). Hal ini

dilakukan karena individu tersebut merasa butuh bantuan seseorang yang

memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh karena itu, pada saat

mengalami suatu penyakit yang ringan, orang tersebut akan langsung

melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut juga mendukung

munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan diri dan

lingkungannya yang menjadi berlebihan (Pujiriyani & Rianty, 2010).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa

gejala-gejala culture shock antara lain:

a. Merasa sedih, sendirian dan terasingkan

b. Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh

orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal

c. Takut melakukan kontak fisik

d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama

e. Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu,

dirampok, takut terluka

f. Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita, dan lemah

g. Mudah tersinggung, kesal dan marah

h. Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah

yang sederhana

(41)

j. Merindukan keluarga dan rumah

k. Memiliki hasrat makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan

sangat kurang/sedikit (insomnia)

l. Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi)

m. Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness (kebersihan yang berlebihan) terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun

tempat tidur

.

4. Faktor - faktor yang mempengaruhi Culture Shock

Sandhu dan Asrabadi (dalam Furnham, 2004) juga menjelaskan

bahwa munculnya culture shock dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor interpersonal dan intrapersonal.

Faktor interpersonal meliputi kemampuan individu dalam

berkomunikasi, seperti kecakapan bahasa dan kemampuan sosial. Ada pula

kesulitan individu untuk membentuk pertemanan dan membangun

dukungan sosial dengan orang-orang di lingkungan pergaulan yang baru.

Perasaan individu yang kehilangan dukungan sosial dari orang-orang

terdekat, terutama keluarga.Selain itu, adanya perbedaan harapan dan

norma-norma sosial antara lingkungan lama dan baru. Kemudian muncul

pula masalah pendidikan yang sedang dijalani dan kesulitan imigrasi.

Faktor intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock

meliputi, munculnya perasaan kehilangan yang mendalam terhadap

(42)

ketidaktentuan karena individu berada pada lingkungan pergaulan yang

baru.

Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyesuaikan diri

dengan lingkungan budaya yang baru sangat berpengaruh terhadap culture shock.Penyesuaian diri antarbudaya sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern, menurut Brislin (1981), ialah faktor watak (traits)

dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang membentuk

keseluruhan kepribadian seseorang. Kecakapan atau skills menyangkut

segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang

akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi,

keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya. Selain itu, sikap individu

juga sangat berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya.

Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri

antarbudaya adalah besar kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat

asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinnya (Soelaeman,

1987)

Dengan demikian, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi

culture shock terbagi menjadi tiga, yakni faktor interpersonal, faktor intrapersonal dan faktor ekstern (yang berasal dari luar diri individu).

Faktor interpersonal seperti kemampuan sosial dan kecakapan yang

dimiliki terkait dengan bahasa, adat istiadat, tata krama. Sedangkan faktor

(43)

perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keluarga dan teman. Selain

itu, munculnya perasaan inferioritas dan ketidaktentuan karena individu

berada pada lingkungan pergaulan yang baru. Faktor esktern yang

mempengaruhi culture shock adalah besar kecilnya perbedaan kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.

.

B. Mahasiswa Asal Papua

Mahasiswa merupakan sebuah status yang diberikan kepada seseorang

yang belajar di perguruan tinggi. Dalam bahasa inggris, orang yang belajar di

perguruan tinggi juga disebut sebagai student yang artinya “seseorang yang berusaha keras”. Julukan tersebut memang sangat cocok diberikan kepada

mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa bukan hanya merupakan

status, melainkan orang yang memiliki tugas untuk bekerja keras dalam

studinya (Bertens, 2005).

Mahasiswa juga digambarkan sebagai orang muda, berpendidikan,

memiliki motvasi tinggi, memiliki kemampuan beradaptasi dan lebih baik

daripada banyak teman sebayanya (Furnham, 2004).

Orang Papua adalah mereka yang berasal dari suku asli Papua, yaitu

mereka yang berasal dari salah satu kelompok Suku Melanesia, seperti suku

Aitinyono, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamatu, Mandaca, Biak dan Serui

(Albarra dalam Kompasiana, 2011). Orang-orang muda tersebut memiliki

ciri-ciri fisik, seperti berambut keriting, berkulit hitam dan berhidung mancung

(44)

Berdasarkan penjelasan mahasiswa di atas, diketahui mahasiswa asal

Papua merupakan status yang dimiliki oleh orang muda yang berasal dari suku

asli Papua. Dimana orang muda tersebut memilih untuk belajar terlebih dahulu

di sebuah institut atau pendidikan sarjana/ professional, sebelum memasuki

dunia kerja yang kompleks yang menuntut persiapan karir yang spesifik.

Mahasiswa asal Papua memiliki kebiasaan yang berbeda dengan

mahasiswa dari budaya lain di Indonesia, yaitu kebiasaan untuk memakan

pinang dan sirih. Selain itu, ada juga perilaku mahasiswa asal Papua yang suka

minum minuman keras lalu membuat keributan (Albarra dalam Kompasiana,

2011).

Seorang pelajar asal Papua membenarkan keadaan tersebut. Dia

mengatakan bahwa kebiasaan mahasiswa asal Papua yang suka minum

minuman keras dan membuat keributan, memunculkan pandangan bahwa

orang Papua itu kasar dan keras kepala. Hal ini pada akhirnya membuat

mahasiswa Papua kurang dapat diterima dengan baik dan membuat mereka

merasa tidak nyaman berada di wilayah orang lain.

Kebiasaan lain yang dimiliki oleh beberapa mahasiswa asal Papua

yang dapat menyebabkan mereka mengalami culture shock adalah sikap individualitas yang tinggi, khusunya mereka yang berasal dari daerah Pantai

Utara, Papua. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa bekerja

sama dan menerima kehadiran orang lain (Koentjaraningrat, 2002). Sedangkan

(45)

bekerja sama dengan mahasiswa yang lainnya (Chen, Irvine & York, Shade &

New, Thomas dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).

C. Review Penelitian Terdahulu Mengenai Culture Shock

Terdapat beberapa penelitian terkait dengan culture shock yang telah dilakukan terlebih dahulu. Beberapa penelitian terfokus pada pengalaman

culture shock yang dialami oleh mereka yang berpindah ke lingkungan yang baru.salah satu pengalaman culture shock adalah pengalaman culture shock

pendatang yang berada di Rwanda yang dilakukan oleh Peter Odera (2003).

Subjek penelitian ini merupakan orang yang berasal dari Afrika Timur yang

sedang berdomisili di Rwanda. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan

beberapa pengalaman culture shock yang mereka alami, antara lain.

Pola – pola perilaku yang berbeda antara Afrika Timur (terutama dari

Kenya, Urganda dan Tanzania) dengan Rwanda.Di Afrika Timur mereka

terbiasa menyapa dengan megatakan hey atau sekedar jabat tangan. Hal ini

bertentangan dengan cara menyapa yang berlaku di Rwanda, mereka biasanya

menyapa orang lain dengan memeluk secara berlebihan. Kurangnya budaya

antri yang terjadi di Rwanda menjadi kekagetan tersendiri bagi pendatang

yang berasal dari Kenya, Uganda dan Tanzania.Mereka yang berasal dari

Negara – Negara tersebut terbiasa menggunakan prinsip yang pertama datang

maka yang dilayani dalam mengantri. Namun perilaku penduduk asal tidak

(46)

datang terlambat memiliki hak untuk melompat antrian dan untuk mendorong

jalan agar maju kedepan.

Ketepatan waktu tampaknya bukan menjadi prinsip nomor satu bagi

penduduk asli Rwanda. Kebiasaan seperti ini kemudian yang menyebabkan

keterlambatan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Disisi lain, waktu

adalah sesuatu yang dihargai di Negara-negara Afrika Timur. Orang menjaga

waktu mereka untuk janji, karena setiap penundaan itu artinya ia akan

kesulitan untuk kembali membuat janji baru.

Afrika timur terkenal ramah kepada orang asing ketika mereka berada

di daerahnya sendiri. Biasanya mereka mengundang tamu ke rumahnya atau

sekedar mengajak tamunya jalan-jalan dan menunjukkan beberapa tempat

menarik di daerahnya. Hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi di

Rwanda. Orang – orang di Rwanda umumnya cenderung menyendiri dan malu

untuk mengundang mitra asing mereka atau untuk menunjukkan kepada

mereka tempat – tempat menarik di Negaranya. Hal ini membuat interaksi

antara penduduk asal dengan pendatang menjadi sangat dangkal.

Selain itu, penelitian terkait dengan culture shock yang pernah dilakukan di Indonesia adalah koping terhadap stres pada mahasiswa luar jawa

yang mengalami culture shock di Univeristas Muhammadiyah Surakarta

(Niam, 2009). Hasil dari penelitian ini ada 13 bentuk koping yang dilakukan

mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi culture shock, antara lain: a) mencari

dukungan sosial, b) penerimaan terhadap perbedaan, c) keaktifan diri, d)

(47)

negosiasi, i) pengurangan beban masalah, j) harapan, k) penghindaran

terhadap masalah, l) putus asa, m) koping individual tidak efektif.

Penelitian lainnya terkait dengan culture shock yaitu berjudul culture shock communication mahasiswa perantauan di Madura, yang dilakukan oleh Suryandari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan UTM. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, peneliti menggunakan metode

observasi dan depth interview dalam teknik pengambilan data. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa perantauan di UTM angkatan 2010 yang

diambil secara acak.Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebagian

besar mahasiswa perantauan Mahasiswa UTM mengalami fase optimistik

dimana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke

Madura.Sebagian besar mahasiswa mengalami culture shock.

Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik

maupun emosional.Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari

pola makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit. Mahasiswa yang tidak

mengalami masalah kultural (culture shock) adalah mereka yang berasal dari 4 daerah di wilayah Madura. Semakin mirip dan dekat budaya asal dengan

budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil. Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis manajemen konflik

yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan

memahami budaya di Madura sedangkan yang satunya lagi menghindar.

(48)

mahasiswa merasalebih nyaman tinggal di Madura dan tidak mengalami

kesulitan dalam denganproses belajar mereka.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui

beberapa pengalaman culture shock yang dialami oleh beberapa subjek dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Hal tersebut memberikan

gambaran kepada peneliti mengenai berbagai perbedaan dalam berkomunikasi

dan berinteraksi yang di pengaruhi oleh latar belakang budaya. Dengan

demikian peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran culture shock

yang dialami oleh mahasiswa Papua ketika melanjutkan pendidikannya di

Yogyakarta.

D. Gambaran Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Yogyakarta

Ketika seorang individu berpindah ke suatu tempat dengan keadaan

sosial budaya yang baru maka orang tersebut akan mengalami culture shock,

individu tersebut mengalami perpindahan dari budaya yang familiar ke budaya

yang tidak familiar (Odera, 2003). Mahasiswa Papua yang melanjutkan

pendidikannya di Yogyakarta mengalami perubahan keadaan sosial budaya,

mereka berpindah dari budaya yang familiar ke suatu budaya yang tidak

familiar. Hal ini dikarenakan Papua dan Yogyakarta memiliki latar belakang

budaya yang tentu saja sangat berbeda.

Sebagian besar masyarakat Papua menggunakan bahasa Indonesia

dengan logat papua yang khas. Penggunaan logat Papua yang khas ini

(49)

Penggunaan bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas biasanya lebih

singkat dibandingkan dengan Bahasa Indonesia yang asli. Misalnya dalam

bahasa Indonesia kita mengucapkan “saya atau kami pergi ke pasar” dengan

logat Papua biasanya mereka cukup mengucapkan “sa atau kam pi di pasar”.

Contoh lain misalnya kalimat tanya dalam bahasa Indonesia “anda hendak

pergi kemana?” dalam bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas

mereka akan mengucapkan “ko mo pi dimana?” (Fauzi, 2012).

Ketika mahasiswa asal Papua berpindah ke Yogyakarta, salah satu hal

yang harus mereka hadapi adalah perbedaan bahasa. Yogyakarta memiliki

bahasa daerah, yakni bahasa Jawa sedangkan mahasiswa asal Papua terbiasa

menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas. Berdasarkan

hasil wawancara yang dilakukan mahasiswa asal Papua merasa cukup

kesulitan untuk bisa memahami bahasa Jawa. Ini tentu saja dapat

menimbulkan munculnya culture shock bagi mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta.

Menurut Furnham dan Bochner (Hidajat dalam Niam, 2009) hal-hal

yang tidak menyenangkan seperti masalah perbedaan bahasa antara daerah

asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan

mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari

munculnya culture shock.

Selain itu, hal lain yang dapat memicu timbulnya culture shock adalah munculnya perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keluarga dan teman.

(50)

terpisah dengan orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan

teman-temannya. Keadaan seperti ini tentu saja akan memunculkan rasa kehilangan.

Mereka akan merasa kehilangan dukungan dari keluarga dan temannya

(Sandhu & Asrabadi, dalam Furnham, 2004).

Mahasiswa baru yang berasal dari Papua merasakan kesulitan ketika

berada di Lingkungan barunya di Yogyakarta. Rasa kesulitan ini diperburuk

oleh timbulnya rasa kehilangan karena mereka harus terpisah dengan orang

terdekatnya seperti keluarga, sahabat dan teman. Keadaan seperti ini yang

kemudian memunculkan perasaan inferioritas dan ketidaktentuan dalam diri

individu. Ketika mahasiswa asal Papua berpindah ke Yogyakarta, ia akan

mengalami situasi lingkungan pergaulan yang baru. Di daerah asalnya yaitu

Papua, mereka menjadi masyarakat mayoritas. Namun ketika berada di

Yogyakarta mereka akan menjadi masyarakat minoritas. Keadaan seperti

inilah yang kemudian akan memunculkan rasa inferioritas pada diri individu.

Selain itu, individu juga akan mengalami perubahan identitas.

Perubahan identitas diri ini terjadi karena diri adanya perubahan pengalaman

yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu (Pujiriyani &

Rianty, 2010). Hal ini terjadi karena ketika individu masuk ke dalam

lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan berinteraksi dengan

keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang didapatkannya, mampu

membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya yang selama ini tidak sesuai

(51)

ketidakpastian dalam diri individu yang dapat memicu timbulnya culture shock.

Hal lain yang turut mempngaruhi munculnya culture shock pada mahasiswa asal Papua adalah besar kecilnya perbedaan kebudayaan tempat

asalnya dengan lingkungan kebudayaan yang dimasukinya. Semakin berbeda

kebudayaan antar individu yang berinteraksi, semakin sulit kedua indivudi

tersebut membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Selain itu,

semakin berbeda antar budaya maka interaksi sosial degan mahasiswa lokal

akan semakin rendah (Munandar, 1995).

Mahasiswa Papua terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan

logat Papua yang khas dan Yogyakarta pun memiliki bahasa daerah yaitu

bahasa Jawa. Selain itu, mahasiswa asal Papua terbiasa menggunakan nada

bicara yang keras, sehingga ketika itu digunakan di Yogyakarta memunculkan

interpretasi yang berbeda atau disalahpahami. Hal lain yang juga berbeda

adalah cara menyampaikan penolakan atau ketidaksetujuan, mahasiswa asal

Papua terbiasa menyampaikan ketidaksetujuan atau penolakannya dengan

asertif. Sedangkan di Yogyakarta orang biasanya menunjukkan penolakannya

dengan hati – hati atau unggah – ungguh.Perbedaan yang cukup jauh antara

Papua dan Yogyakarta inilah yang memicu munculnya culture shock pada mahasiswa asal Papua di Yogyakarta.

Berdasar dari faktor – faktor tersebut mahasiswa Papua yang

(52)

gejala culture shock yang dialami oleh individu kemungkinan berbeda. Dengan demikian, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran culture shock

yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di

Yogyakarta.

E. Pertanyaan Penelitian

Dalam sebuah penelitian deskriptif, hal yang paling mendasar untuk

melakukan suatu penelitian adalah pertanyaan penelitian. Pertanyaan utama di dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta?

Selanjutnya, pertanyaan diperinci menjadi dua fokus, yaitu:

(53)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul “Gambaran Culture Shock Mahasiswa Asal Papua Di Yogyakarta” ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pilihan

metode ini dinilai sesuai untuk memenuhi tujuan peneilitian, yaitu untuk

memberikan gambaran mengenai tahapan culture shock yang dialami subjek dan gejala culture shock yang muncul, karena penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi.

Dengan demikian, penelitian deskriptif mengambil masalah atau

memusatkan perhatian kepada masalah – masalah aktual sebagaimana adanya.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang

menjadi pusat perhatiannya untuk kemudian digambarkan atau dilukiskan.

B. Fokus Penelitian

Terdapat dua fokus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Tahapan culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta (Bagaimana tahapan culture shock yang dialami oleh subjek?) 2. Bentuk gejala culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di

(54)

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang merupakan

mahasiswa asal Papua yang sedang menjalani perkuliahan aktif di Yogyakarta.

Keempat subjek ditentukan mennggunakan criterion sampling, yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti yaitu mahasiswa asal Papua di

Yogyakarta yang masih duduk di semester 2 dan semester 4.

Keempat subjek penelitian ini memiliki karakteristik yang sama yakni

lahir dan tinggal di Papua sampai dengan SMA. Selain itu mereka memiliki

perawakan khas Papua dimana mereka mayoritas berkulit hitam dan berambut

ikal. Tiga subjek dalam penelitian ini tinggal di perkotaan di Papua yakni Jaya

Pura, sedangkan satu subjek berasal dari daerah pedalaman di Papua. Tiga dari

subjek penelitian ini tinggal di kost di Yogyakarta dan satu dari subjek

penelitian ini tinggal bersama neneknya di Yogyakarta.

Kriteria tersebut dinilai peneliti sesuai dengan pengalaman atas

fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2007).

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk memperoleh

data. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu.

Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara dengan pedoman umum, yaitu selama proses wawancara peneliti

(55)

wawancara adalah untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang

harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah semua aspeknya sudah ditanyakan (Poerwandari, 2005).

Daftar pertanyaan disusun oleh peneiliti sebagai panduan selama

proeses wawancara agar peneliti tetap fokus dengan tujuan penelitian yang

sudah ditetapkan sebelumnya.Panduan pertanyaan disusun berdasarkan fokus

penelitian dan bersifat terbuka agar tidak mengarahkan subjek pada jawaban

tertentu.

Berikut ini adalah panduan pertanyaan wawancara yang digunakan

selama proses wawancara:

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara

PROSES CULTURE SHOCK

NO TAHAP PERTANYAAN WAWANCARA 1. Tahap

Honeymoon

1. Tolong ceritakan apa yang memotivasi Anda untuk melanjutkan pendidikan di kota Yogyakarta?

2. Bagaimana perasaan Anda ketika awal sekali Anda tiba di Yogyakarta? Kenapa?

3. Tolong deskripsikan bagaimana perasaan senang dan antusias Anda ketika Anda tinggal di lingkungan yang baru?

4. Apa saja yang Anda pikirkan tentang Yogyakarta pada saat itu? Kenapa?

5. Apa saja yang Anda lakukan pada saat itu? Kenapa?

6. Berapa lama perasaan dan pikiran itu Anda rasakan?

2. Tahap crisis

atau culture shock

1. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda harus tinggal di Yogyakkarta terpisah dengan keluarga di Papua?

2. Menurut Anda hal apa saja yang Anda rasakan berbeda ketika Anda berada di Papua dan ketika Anda berada di Yogyakarta?

(56)

dengan bahasa, kebiasaan dan budaya yang ada di Yogyakarta?

4. Apa saja yang ada dalam pemikiran Anda saat Anda melihat beberapa hal yang berbeda dan belum pernah Anda alami sebelumnya? Kenapa? 5. Apa saja yang Anda rasakan pada saat itu?

Kenapa?

6. Kapan perasaan tidak nyaman itu mulai muncul? 7. Apakah keadaan seperti itu kemudian

memberikan dampak bagi aktivitas Anda sehari – hari?

8. Tolong ceritakan apa saja dampak yang Anda rasakan?

(tanyakan gejala yang dialami) 3. Tahap

recovery

1. Bagaimana cara Anda mengatasi perasaan tidak nyaman tersebut?

2. Kapan Anda merasa mulai bisa mengatasi perasaan – perasaan tidak nyaman itu?

3. Apa saja yang Anda pikirkan pada saat itu? Kenapa?

4. Lalu bagaimana perasaan Anda ketika Anda sudah mulai bisa mengatasi rasa tidak nyaman tersebut? Kenapa?

4. Tahap

adjustment

1. Apakah saat ini Anda merasakan perasaan Anda sudah jauh lebih baik? Kenapa?

2. Apa saja perasaan yang Anda rasakan sekarang? 3. Kenapa perasaan – perasaan itu bisa muncul? 4. Apakah saat ini Anda sudah merasa nyaman

tinggal di Yogyakarta? Kenapa?

5. Apa yang Anda pikirkan tentang Yogyakarta dan orang – orang di Yogyakarta?

6. Bagaimana kemampuan bahasa Jawa Anda saat ini?

7. Apakah saat ini Anda sudah memiliki rutinitas? 8. Apa saja rutinitas Anda saat ini?

9. Apakah itu sudah dapat berjalan dengan baik? 10.Bagaimana relasi Anda di lingkungan yang baru

ini?

11.Apakah Anda memiliki cukup banyak teman di lingkungan baru sekarang?

12.Sejak kapan Anda merasakan hal ini? GEJALA CULTURE SHOCK

NO GEJALA – GEJALA CULTURE SHOCK

PERTANYAAN WAWANCARA 1. a. Merasa sedih, sendirian dan terasingkan

(57)

bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal

c. Takut melakukan kontak fisik

d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama

e. Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka

f. Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita dan lemah

g. Mudah tersinggung, kesal dan marah h. Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu

menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana

i. Kehilangan identitas dan kurang percaya diri

j. Merindukan keluarga dan rumah

k. Memiliki hasra makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan sangat kurang/sedikit (insomnia)

l. Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi)

m.Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness (kebersihan yang berlebihan) terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun tempat tidur.

(pertanyaan akan disesuaikan oleh jawaban dari masing-masing subjek, karena gejala yang dirasakan oleh subjek mungkin

saja berbeda)

Proses wawancara ini melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Mencari subjek yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk

berpartisipasi menjadi subjek penelitian.

2. Membangun rapport, menjelaskan tujuan penelitian dan kembali memastikan kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian.

3. Menyusun jadwal wawancara berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan

subjek penelitian.

(58)

5. Melakukan wawancara

Data wawancara akan direkam menggunakan digital recorder dan selanjutnya akan disalin dalam bentuk transkrip verbatim.

E. Prosedur Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif tidak ada rumusan baku untuk melakukan

analisis data. Patton (dalam Poerwandari, 2005) memyatakan bahwa ada

beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengolahan dan analisis data

yaitu, peneliti wajib memonitor dan melaporkan proses dan prosedur analisis

data secara jujur dan selengkap mungkin.

Berikut ini adalah langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini:

1. Organisasi Data

Organisasis data diawali dengan memindahkan rekaman hasil

wawancara setiap subjek dari digital voice recorder ke dalam bentuk tulisan dan menghasilkan transkrip verbatim yang berbentuk kolom.

Pengetikan transkrip verbatim dilakukan segera setelah proses wawancara

berakhir. Hal ini dilakukan agar ingatan peneliti masih segar dengan

kondisi dan bahasa non verbal subjek saat wawancara berlangsung.

2. Pengkodean (coding)

Setelah data mentah hasil wawancara disusun menjadi transkip

verbatim, peneliti melakukan penomoran untuk setiap baris kemudian

dilanjutkan dengan pemberian kode. Kode diberikan dibelakang jawaban

(59)

relevan dengan fokus penelitian dan yang bukan. Pada tahap ini peneliti

tidak mengubah esensi kalimat yang diucapkan subjek dan yang bisa

dilakukan adalah mengeluarkan kata-kata atau kalimat kunci (Audifax,

2008).

3. Interpretasi

Maksud interpretasi dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan

analisis tematik dengan mencari dan menemukan tema dari data yang

diperoleh. Analisis tematik dilakukan setelah data berbentuk kolom dan

diberi kode. Analisis tematik merupakan proses mengkode data yang

selanjutnya akan menghasilkan daftar tema dan model tema. Tema-tema

yang muncul diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena dari hasil

penelitian ini dan dapat digunakan untuk menginterpretasikan data hasil

penelitian.

4. Membuat Rangkuman Temuan Penelitian

Rangkuman temuan penelitian dibuat setelah peneliti melakukan

interpretasi dengan analisi tematik. Selanjutnya, peneliti mendeskripsikan

tema-tema yang muncul dari hasil analisis dan membuat rangkuman

temuan penelitian secara keseluruhan dalam bentuk tabel.

F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian

1. Kredibilitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif istilah kredibilitas dipakai setara dengan

Gambar

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AS)………………………….45
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 2 Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AS)
Tabel 4 Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (VL)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Wireless Mesh Network (WMN) adalah jaringan komunikasi Wireless dengan topologi Mesh yang dimana setiap node di jaringan memiliki tugas merelay dari node yang

Pada akhirnya upaya pencegahan yang telah dan akan dilakukan dapat dijadikan contoh sebagai bentuk dari perpaduan antara dialog aksi dan dialog kehidupan yang

Kepala Bidang Pemberdayaan dan Par timas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, Abdul Chair mengatakan, jika dibandingkan dengan periode yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari metode terbaik untuk mengklasifikasikan sel nukleus dan sel radang berdasarkan analisa teksur GLCM ( Gray Level

Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem

Perbedaan dalam penelitian ini maksudnya adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemandirian belajar dan pemahaman konsep yang diperoleh siswa setelah

Sebagai pegangan kasar untuk menentukan diameter pipa pada berbagai debit dan panjang pipa dapat digunakan Tabel 17 yang didasarkan pada kecepatan aliran

Beberapa uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang adanya pengaruh dari pemberian informasi tentang informed consent pada