vii
STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI
MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA
Heni Ariyanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dengan berfokus pada tahapan dan gejala yang dialami. Kedua fokus tersebut dinilai perlu karena tahapan dan gejala yang terjadi mungkin saja berbeda karena terdapat faktor interpersonal dan intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock. Pendekatan deksriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta dan tinggal di Yogyakarta dalam kurun waktu 1 sampai 2 tahun, subjek dipilih menggunakan criterion sampling. Mengacu kepada kedua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan ada empat tahapan culture shok yang dialami, yaitu honeymoon, crisis/culture shock, recovery, dan adjustment. Terdapat delapan gejala culture shock yang dialami, yaitu a) Merasa sedih, sendirian dan terasingkan; b) Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal; c) Takut melakukan kontak fisik; d) Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama; e) Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka; f) Kehilangan identitas dan kurang percaya diri; g) Merindukan keluarga dan rumah; h) Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi).
viii
DESCRIPTIVE STUDY: THE DESCRIPTION OF CULTURE SHOCK
EXPERIENCED PAPUA STUDENTS IN YOGYAKARTA
Heni Ariyanti
ABSTRACT
This research aims to describe how the culture shock experienced by Papuan students in Yogyakarta by focusing on the stages and symptoms experienced. The second focus was considered necessary because of the stages and symptoms that occur may be different because there are interpersonal and intrapersonal factors that can affect the culture shock. Descriptive approach was chosen to answer the research question. The study involved students from Papua who study and live in Yogyakarta in Yogyakarta over a period of 1 to 2 years, subjects were selected using criterion sampling. Referring to the second focus of the study, the results of this study indicate there are four stages of culture shock is experienced, the honeymoon, crisis / culture shock, recovery, and adjustment. There are eight symptoms experienced culture shock, namely a) Feeling sad, alone and alienated, b) Not being able to speak and understand the language used by the local people and tend to avoid contact with the local people; c) Fear of physical contact; d) desire for interact with fellow; e) feeling Insecure (excessive fear) fear of being cheated, robbed, fearing f) Loss of identity and lack of confidence; g) Longing for family and home; h) Troubled by health (flu, fever, diarrhea, allergies).
STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI
MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Heni Ariyanti
089114016
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI
MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Heni Ariyanti
089114016
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“Pesawat dapat terbang karena
menantang angin. Hadapi masalahmu!
Tantang! Dan terbanglah!”
“ If you fill your heart with regrets of
yesterday and the worries of tomorrow,
so you have no today to thankfull for”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
vii
STUDI DESKRIPTIF: GAMBARAN CULTURE SHOCK YANG DIALAMI MAHASISWA ASAL PAPUA DI YOGYAKARTA
Heni Ariyanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dengan berfokus pada tahapan dan gejala yang dialami. Kedua fokus tersebut dinilai perlu karena tahapan dan gejala yang terjadi mungkin saja berbeda karena terdapat faktor interpersonal dan intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock. Pendekatan deksriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta dan tinggal di Yogyakarta dalam kurun waktu 1 sampai 2 tahun, subjek dipilih menggunakan criterion sampling. Mengacu kepada kedua fokus penelitian, hasil penelitian ini menunjukkan ada empat tahapan culture shok yang dialami, yaitu honeymoon, crisis/culture shock, recovery, dan adjustment. Terdapat delapan gejala culture shock yang dialami, yaitu a) Merasa sedih, sendirian dan terasingkan; b) Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal; c) Takut melakukan kontak fisik; d) Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama; e) Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka; f) Kehilangan identitas dan kurang percaya diri; g) Merindukan keluarga dan rumah; h) Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi).
Kata kunci: tahapan culture shock, gejala culture shock, mahasiswa asal Papua di Yogyakarta
viii
DESCRIPTIVE STUDY: THE DESCRIPTION OF CULTURE SHOCK EXPERIENCED PAPUA STUDENTS IN YOGYAKARTA
Heni Ariyanti
ABSTRACT
This research aims to describe how the culture shock experienced by Papuan students in Yogyakarta by focusing on the stages and symptoms experienced. The second focus was considered necessary because of the stages and symptoms that occur may be different because there are interpersonal and intrapersonal factors that can affect the culture shock. Descriptive approach was chosen to answer the research question. The study involved students from Papua who study and live in Yogyakarta in Yogyakarta over a period of 1 to 2 years, subjects were selected using criterion sampling. Referring to the second focus of the study, the results of this study indicate there are four stages of culture shock is experienced, the honeymoon, crisis / culture shock, recovery, and adjustment. There are eight symptoms experienced culture shock, namely a) Feeling sad, alone and alienated, b) Not being able to speak and understand the language used by the local people and tend to avoid contact with the local people; c) Fear of physical contact; d) desire for interact with fellow; e) feeling Insecure (excessive fear) fear of being cheated, robbed, fearing f) Loss of identity and lack of confidence; g) Longing for family and home; h) Troubled by health (flu, fever, diarrhea, allergies).
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas segala penyertaan
dan berkah yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Struktur Deskriptif:
Gambaran Culture Shock yang Dialami Mahasiswa Asal Papua Di Yogyakarta” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak
pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Psi selaku dekan Fakultas
Psikologi.
2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen pembimbing akademik
yang memberikan pelajaran berharga tentang perjuangan menyelesaikan
skripsi.
3. Ibu M.M. Nimas Eki, S., M.Si., Psi selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support
yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah
ditentukan-Nya.
4. Bapak H. Wahyudi, M. Si dan Ibu Dra. Lucia Pratidarmanastiti selaku
Dosen Penguji Skripsi, terima kasih atas bimbingan dan saran yang telh
xi
5. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih
atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama menimba ilmu
di Fakultas Psikologi
6. AS, HR, VL dan IF selaku subjek penelitian ini. Terima kasih atas bantuan
dan kesediaan kalian untuk berbagi pengalaman dan informasi dengan
penulis.
7. Segenap keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan serta doa
kepada penulis. Sepupu – sepupu mba ndit, mba ika, mba endah, nane
yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan penelitian ini.
8. Sahabat – sahabat saya Tiwi, Cik Mei, Nursih, Pauline, Anis, Lusi terima
kasih untuk kebersamaan, keceriaan, semangat, pengalaman yang telah
terjalin selama ini.
9. Teman – Teman Psikologi kelas A yang namanya tidak bisa disebutkan
satu – persatu, terima kasih atas segala kebersamaan dan pengalaman yang
telah diberikan.
10.Teman – teman kos yang selalu memberikan semangat dan bantuannya
kepada penulis Mba icha, Feni, Novia, Rista, Ori, Agnes, Ka lisa, Maria,
Indah, Hellen, Angel, Cilla, Rossa, Epong dan Mba Sum terima kasih atas
semuanya. Teman kos lamaku Carol, terima kasih atas rekomendasian
subjek penelitiannya.
11.Sahabat – sahabat jauhku yang selalu memberikan motivasi untuk segera
xii
Nube, Ani, Ole, Mas Adji, Kojek, Kiki, Om Domi, A ucup. Terima kasih
atas segala keceriaan dan kelucuan kalian yang selalu membuat rindu.
12.Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini,
terima kasih.
Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya
perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah
dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar
harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi
perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 23 Juli 2013
Penulis,
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
xiv
BAB II. LANDASAN TEORI ... 9
A. Culture Shock ... 9
1. Pengertian Culture Shock ... 9
2. Tahap – tahap Culture Shock ... 11
3. Gejala – gejala Culture Shock ... 14
4. Faktor – faktor yang mempengaruhi Culture Shock ... 20
B. Mahasiswa Asal Papua ... 22
C. Review Penelitian Terdahulu Mengenai Culture Shock ... 24
D. Gambaran Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Yogyakarta ... 27
E. Pertanyaan Penelitian ... 31
BAB III. METODE PENELITIAN ... 32
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Fokus Penelitian ... 32
C. Subjek Penelitian ... 33
D. Metode Pengumpulan Data ... 33
E. Prosedur Analisis Data ... 37
1. Organisasi Data ... 37
2. Pengkodean (Coding) ... 37
3. Interpretasi ... 38
4. Membuat Rangkuman Temuan Penelitian ... 38
F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian ... 38
xv
2. Kredibilitas Alat Pengumpul Data ... 39
3. Reliabilitas Penelitian ... 40
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Proses Penelitian ... 41
1. Persiapan Penelitian ... 41
2. Pelaksanaan Penelitian ... 42
3. Proses Analisis Data ... 43
4. Jadwal Pengambilan Data ... 44
B. Profil Subjek ... 48
1. Subjek 1 (AS) ... 48
2. Subjek 2 (HR) ... 53
3. Subjek 3 (VL) ... 57
4. Subjek 4 (IF) ... 61
C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 65
D. Deskripsi Tema ... 67
E. Pembahasan ... 80
1. Temuan dari Fokus Penelitian ... 80
2. Temuan Tambahan ... 85
BAB V. PENUTUP ... 88
A. Kesimpulan ... 88
xvi
C. Saran ... 89
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 89
2. Bagi Subjek Penelitian ... 90
3. Bagi Lembaga Pendidikan/Instansi Terkait ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... …….…34
Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AS)……….45
Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HR) ... .45
Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (VL) ... 46
Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4 (IF) ... 47
Tabel 6. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 65
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Protokol Wawancara... …….…95
Lampiran 2. Transkip Verbatim Wawancara dan Analisis Data Subjek
Penlitian ... ……….99
Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara ... 191
Lampiran 4. Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancra ... 196
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas
sebagian orang memilih untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, yaitu
perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka memilih melanjutkan studi di
kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya ketika SMA. Hal ini tentu dilatar
belakangi oleh berbagai macam alasan, salah satunya ialah mencari perguruan
tinggi yang memiliki kualitas cukup baik. Bukan hanya berpindah kota,
bahkan bagi mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa juga banyak yang
berlomba-lomba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi yang terdapat di Pulau
Jawa.
Biasanya mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa memilih untuk
meneruskan pendidikannya di Pulau Jawa, karena selain terdapat banyak
perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di Pulau Jawa pun dinilai lebih
baik dibanding perguruan tinggi di Luar Pulau Jawa (Niam, 2009). Daerah
yang banyak diminati oleh pelajar untuk melanjutkan pendidikan umumnya
adalah kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa, seperti Bandung, Jakarta,
Bogor, Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Yogyakarta. Dari beberapa
daerah tersebut Yogyakarta yang cukup dikenal sebagai kota pelajar. Hal ini
dikarenakan Yogyakarta memiliki banyak perguruan tinggi, baik yang
sekitar puluhan ribu calon mahasiswa baru. Diantara mereka banyak yang
berasal dari berbagai daerah di luar Pulau Jawa (Republikaonline, 2010).
Salah satu populasi terbesar mahasiswa yang berasal dari luar Pulau
Jawa di Yogyakarta adalah populasi mahasiswa yang berasal dari Papua.
Terlihat dari jumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Yogyakarta, mencapai
kurang lebih 7.500 orang. Jumlah ini terdiri atas mahasiswa yang sedang
menempuh pendidikan di jenjang S1, S2 dan S3 (Aliansi Mahasiswa Papua
Jogja, 2011). Keadaan ini tentu saja dilatar belakangi oleh berbagai macam
alasan.Menurut Boveington (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Sebuah
Survei tentang Para Pelajar Papua yang Kuliah di Jawa Timur, salah satu hal
yang memotivasi mahasiswa yang berasal dari Papua untuk melanjutkan
pendidikannya di Jawa Timur, yakni karena mereka merasa mutu pendidikan
di Papua masih kurang bagus.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boveington (2007) ini
dijelaskan bahwa yang memotivasi mahasiswa asal Papua melanjutkan
pendidikannya di pulau Jawa karena mutu pendidikan di Papua yang masih
kurang baik. Hal ini dilakukan karena mereka ingin mengembangkan Papua
dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Bagi mahasiswa asal Papua
dengan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mahasiswa akan
memperbaiki ketertinggalan dan mengembangkan sumber daya manusia yang
ada di Papua. Mereka ingin membagikan ilmu yang mereka miliki disana dan
mereka menyebutkan ingin “Papua yang Maju” sebagai cita-cita mereka
Perilaku mahasiswa asal Papua yang belajar ke Pulau Jawa dan setelah
selesai studi kembali ke kampung halaman, membuat mereka dapat
digolongkan ke dalam sojourner. Menurut Ady, Klineberg & Hull (dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001) sojourner adalah orang-orang yang datang sementara waktu di tempat yang baru dan setelah tujuan tercapai akan kembali
ke tempat asal. Datang ke sebuah tempat yang baru merupakan situasi yang
dapat menimbulkan kecemasan, karena mereka menjumpai beberapa
perbedaan antara tempat asal mereka dengan tempat tinggal mereka yang baru.
Hal ini juga dialami oleh mahasiswa asal Papua yang memilih untuk
melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa, terutama di Yogyakarta.
Papua dan Yogyakarta tentu saja memiliki latar belakang budaya yang
sangat berbeda. Yogyakarta memiliki budaya Jawa yang cukup kental dan
bahasa daerah yang digunakan oleh mayoritas penduduknya. Mayoritas
penduduk Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari –
hari. Dalam menyampaikan pendapatnya pun budaya di Jawa tengah,
termasuk Yogyakarta lebih bersifat unggah – ungguh dan kurang dapat
bersikap arsetif (Bagus, M. G., 2002). Hal yang berbeda antara Yogyakarta
dengan kota di Jawa Tengah lainnya yaitu di Yogyakarta terdapat banyak
mahasiswa yang berasal dari beragam daerah dan memiliki latar belakang
budaya yang berbeda. Ini yang menyebabkan Yogyakarta disebut sebagai kota
pelajar. Dengan demikian, mahasiswa di Yogyakarta dituntut memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik agar dapat menyesuaikan diri di
Mahasiswa Papua mengatakan bahwa tidak sedikit dosen yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia
sebagai bahasa utamanya. Situasi seperti ini terkadang membuat mahasiswa
yang berasal dari Papua merasa tidak nyaman. Hal ini pernah dialami oleh
salah satu mahasiswa asal Papua, ia mengatakan bahwa terkadang dosen
menggunakan bahasa Jawa ditengah-tengah perkuliahannya. Hal ini dirasa
sebagai salah satu hambatan baginya dalam memahami materi perkuliahan
(Wawancara, 16 Oktober 2012).
Di Papua, mahasiswa asal Papua terbiasa dengan bahasa Indonesia
dengan logat Papua yang khas. Bahasa tersebut biasanya lebih singkat
dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang asli. Misalnya dalam bahasa
Indonesia kita mengatakan “saya atau kami pergi ke pasar” dengan logat
Papua bisanya mereka cukup mengucap “sa atau kam pi di pasar”. Contoh lain
misalnya kalimat tanya dalam bahasa Indonesia “anda hendak pergi kemana?”
dalam bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas akan mengucap “ko
mo pi dimana?”. Selain bahasa yang lebih disingkat pola atau penggunaan
kata bantu seperti di- dan ke- cukup berbeda (Fauzi, 2012).
Selain itu, nada bicara yang digunakan oleh mahasiswa Papua
cenderung lebih kerasa sehingga terkesan seperti orang yang marah atau
membentak. Hal ini dibenarkan oleh salah satu mahasiswa asal Papua di
Yogyakarta yang mengaku bahwa terkadang ketika mereka berbicara banyak
orang di Yogyakarta menduga mereka sedang marah. Kemudian ia pun
terbiasa untuk asertif. Akan tetapi, mereka menyadari bahwa di Yogyakarta
mereka harus lebih berhati – hati dalam berbicara karena karakter orang Jawa
yang sensitif (Wawancara, 16 oktober 2012).
Mahasiswa Papua juga memiliki sikap individualitas yang tinggi,
khususnya mereka yang berasal dari daerah Pantai Utara, Papua. Hal ini
menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa bekerja sama dan menerima
kehadiran orang lain (Koentjaraningrat, 2002). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Kroeber & Kluckhohn yang menyebutkan bahwa budaya sangat
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, seperti penyesuaian diri,
pemecahan masalah, belajar dan kebiasaan yang dimiliki (dalam Berry,
Poortinaga, Segall & Dasen 1999).
Perbedaan-perbedaan antara kondisi di daerah asal dengan di daerah
baru dapat memunculkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mahasiswa
pendatang. Menurut Furnham dan Bochner (Hidajat dalam Niam, 2009)
hal-hal yang tidak menyenangkan seperti masalah perbedaan bahasa antara daerah
asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan
mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari
munculnya culture shock.
Culture shock didefinisikan sebagai dampak yang timbul dari perpindahan budaya yang familiar ke budaya yang tidak familiar, biasa
dialami oleh orang-orang ketika mereka berpergian atau pergi ke suatu sosial
dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami
oleh individu ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara budaya
maupun sosial baru.Oberg (dalam Irwin, 2007) menjelaskan hal ini disebabkan
oleh kecemasan individu karena ia kehilangan simbol-simbol yang selama ini
dikenalnya dalam interaksi, yang terjadi ketika individu tinggal dalam budaya
yang baru dengan jangka waktu yang relatif lama.
Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai perilaku yang tertanam dalam
diri individu.Budaya merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari individu,
akumulasi dari pengalaman yang disosialisasikan dalam bentuk perilaku
melalui pembelajaran sosial (social learning). Selain itu, kebudayaan juga
didefinisikan sebagai pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk
perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol – simbol yang mereka terima. Semua
hal itu diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generas
kepada generasi berikutnya (Liliweri. A, 2002). Pada penelitian ini budaya
dibatasi pada perilaku terkait dengan cara berinteraksi yang telah tertanam
dalam diri individu, karena di perguruan tinggi mereka harus berinteraksi
dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan memiliki latar
belakang budaya yang beragam, dan peningkatan pada prestasi dan
penilaiannya (Belle & Paul, Upcraft dan Gardner, dalam Santrock, 2002).
Dampak culture shock sangat terasa bagi mahasiswa baru, sebab mahasiswa baru sedang berada pada masa peralihan dari remaja menuju
dewasa awal. Selain itu, mahasiswa baru harus menghadapi masa transisi dari
sekolah yang lebih besar, dan tidak bersifat pribadi. Keadaan tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Rosenthal & Russell
(2006) yang menemukan bahwa remaja mudah terpengaruh oleh perubahan
yang terjadi dalam hidupnya, apalagi perubahan yang berkaitan dengan
adanya perubahan budaya yang mudah menimbulkan culture shock.
Mahasiswa yang berasal dari Papua sangat rentan mengalami culture shock. Hal ini dikarenakan mereka memiliki latar budaya yang sangat berbeda dengan budaya yang berada di Yogyakarta.Hal ini didukung oleh Niam (2009)
dalam penelitiannya yang berjudul koping terhadap stres pada mahasiswa luar
Jawa yang mengalami culture shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta menemukan bahwa mahasiswa pendatang yang berasal dari luar Pulau Jawa
banyak mengalami masalah atau kesulitan ketika ia berada di Surakarta.
Mahasiswa yang berasal dari Papua memiliki perbedaan budaya yang
sangat mencolok dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Teori sebelumnya
menjelaskan bahwa salah satu hal yang memperngaruhi culture shock adalah besar kecilnya perbedaan budaya di lingkungan asalnya dengan lingkungan
kebudayaan yang dimasukinya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berlangsung di Papua dan
Yogyakarta memiliki perbedaan yang cukup jauh. Dengan demikian, peneliti
B. Rumusan Masalah
Rumusan yang mendasari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat
bagaimana gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah literatur pengetahuan dan riset
penelitian di Indonesia mengenai gambaran mahasiswa yang mengalami
culture shock, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan ragam budaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin memberikan sumbangan
pengetahuan di bidang antropologi dan psikologi, khususnya psikologi
budaya.
2. Manfaat Praktis
Bagi subjek penelitian, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan untuk mengevaluasi diri. Bagi dosen dan orang tua
penelitian ini dapat memberikan informasi untuk selanjutnya digunakan
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Culture Shock
1. Pengertian Culture Shock
Kebudayaan didefinisikan sebagai pandangan hidup dari
sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol –
simbol yang mereka terima. Semua hal itu diwariskan melalui proses
komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya
(Liliweri. A, 2002). Culture shock dideskripsikan sebagai reaksi individu ketika mereka menyadari dirinya berada pada suatu tempat baru, aneh dan
tidak dikenal (Bochner dalam Lonner & Malpass, 1994). Culture shock
juga didefinisikan sebagai pengalaman depresi dan kecemasan dari banyak
orang ketika mereka melakukan perjalanan atau berpindah ke sebuah
keadaan sosial dan aturan budaya yang baru (Irwin, 2007).
Guanipa (1998) mendeskripsikan culture shock sebagai kecemasan yang dialami oleh individu ketika ia pindah ke lingkungan yang
benar-benar baru. Istilah culture shock mengungkapkan kurangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan
suatu hal dilingkungan yang baru dan mengetahui apa saja yang cocok dan
tidak cocok dalam lingkungan yang baru tersebut.
(Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004), meskipun individu tersebut
hanya tinggal dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini terjadi karena
individu merasakan ketidaknyamanan dan mengalami disorientasi saat
berada di lingkungan yang baru, ditambah petunjuk
-petunjuk yang ada di lingkungan baru tersebut tidak dapat dikenali
(Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004). Petunjuk-petunjuk tersebut
merupakan tanda-tanda yang berkaitan dengan cara-cara yang dimiliki
oleh individu untuk mengendalikan diri dalam hidup sehari-hari. Selain
itu, tanda-tanda tersebut juga digunakan untuk berkomunikasi dengan
orang lain (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Perasaan negatif akan muncul ketika individu kehilangan petunjuk
dalam hidup dan merasakan seuatu ketidaknyamanan saat berada di
lingkungan yang baru. Biasanya individu tersebut akan mengalami
perasaan cemas, tidak berdaya dan lekas marah.
Kalervo Oberg (1960) menyebutkan bahwa kecemasan dipicu
akibat individu kehilangan tanda-tanda dan simbol-simbol sosial yang
familiar dalam pergaulan (dalam Irwin, 2007). Individu tersebut juga akan
merasakan rindu pada lingkungan yang lama (Chruch, dalam Heine,
2008).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
baru, karena individu tersebut kehilangan tanda-tanda sosial yang familiar
dalam pergaulannya.
2. Tahap – tahap Culture Shock
Culture shock dapat diketahui melalui tahapan yang dirasakan oleh individu. Dalam culture shock terdapat empat tahap-tahap reaksi emosional yang akan dirasakan oleh individu, yaitu:
a. Tahap honeymoon
Tahap pertama yang akan dialami oleh individu adalah tahap
‘bulan madu’. Pada tahap ini, individu akan mengalami ketertarikan
pada suatu hal yang baru. Orang-orang di lingkungan baru tersebut
terlihat sangat ramah dan sopan (Irwin 2007). Selain itu, pendatang
sangat antusias dan senang dengan hal-hal baru yang ada di lingkungan
barunya. Segala bentuk pertemuan yang dialami oleh pendatang baru
akan menjadi menyenangkan dan memuaskan (Odera, 2003).
Pada tahap ini, individu menikmati kemampuannya dapat
berkomunikasi dengan bahasa setempat dan gembira dapat
berpartisipasi dengan lingkungannya yang baru dan asing (Lysgaard
dalam Heine, 2008).
Tahap ini terjadi selama beberapa hari atau minggu hingga
enam bulan, bergantung pada kegiatan yang akan dihabiskan oleh
orang tersebut selama berada di lingkungan yang baru (Oberg dalam
selama satu tahun. Selama bulan-bulan pertama ini, biasanya
merupakan waktu yang sangat baik. Sebab waktu tersebut merupakan
proses pertama mengenal hal-hal baru dapat dilakukan dengan baik
(Pujiriyani & Rianty, 2010).
Di tahap ini, individu sedang berusaha untuk bisa beradaptasi
dengan keadaan di lingkungan barunya.Individu sedang belajar untuk
mengenali lingkungannya. Baginya seluruh keadaan baru yang dialami
merupakan suatu hal yang unik dan masih menyenangkan. Dalam
melewati tahap honeymoon ini, ada individu yang kurang mampu untuk mengenali lingkungannya dengan baik. Individu yang kurang
mampu tersebut akan memasuki tahap yang selanjutnya, yaitu crisis
atau culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010). b. Tahap crisis atau culture shock
Pada tahap kedua ini, individu mungkin mengalami beberapa
masa sulit dan krisis dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya
kesulitan dalam komunikasi yang mungkin terjadi, seperti tidak
dipahami oleh individu lain (Odera, 2003). Pada tahap ini, mungkin
ada perasaan ketidakpuasan, ketidaksabaran, marah, sedih dan
inkompetensi perasaan. Hal ini terjadi ketika seseorang sedang
mencoba untuk beradaptasi dengan budaya baru yang sangat berbeda
dengan budaya lamanya (Odera, 2003).
Biasanya individu-individu akan berpaling kepada
diajak bicara dengan cara pandang yang sama. Seringkali muncul
pendewaan terhadap kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur
barunya sebagai kulutr yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan
dan aneh (Irwin, 2007).
Transisi antara metode lama yang digunakan untuk beradaptasi
dengan individu-individu di lingkungan yang baru adalah proses yang
sulit dan membutuhkan waktu untuk dapat menyelesaikannya. Selama
masa transisi ini, individu akan mengalami perasaan ketidakpuasan
yang kuat (Odera, 2003).
Oberg menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan
menentukkan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat
barunya. Pada masa ini bisa muncul keinginan regresi,
keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan dengan
kondisi-kondisi yang ada di daerah asalnya serta mendapatkan perlindungan
dari individu-individu yang memiliki budaya yang sama (dalam Irwin,
2007).
Di tahap ini, individu seringkali menyadari bahwa kemampuan
berbahasa individu tidak cukup baik untuk membantunya di
lingkungan yang baru.Selain itu, individu mulai merindukan tentang
kampung halamannya, seperti cuaca, jenis-jenis olahraga yang populer,
atau makanan aneh yang mereka makan pada waktu libur festival.
Tahap ini berlangsung selama 6 sampai 18 bulan setelah melewati
c. Tahap recovery
Tahap ini meliputi kemampuan individu memecahkan krisis
yang dimiliki dan mempelajari budaya yang ada di lingkungan barunya
(Oberg dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).
d. Tahap adjustment
Tahap ini menggambarkan perasaan senang dan telah memiliki
kemampuan fungsional yang baik dalam lingkungan barunya (Oberg
dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).Dimana, individu mulai
merasa terbiasa dan mulai menikmati pengalaman yang dimiliki.
Kemampuan berbahasa individu juga mulai meningkat dan dapat
mengikuti pola kehidupan sehari-hari.Individu juga lebih mampu
untuk bersahabat dengan orang-orang lokal dan dapat beradaptasi
dengan hal-hal di lingkungan yang baru.Individu sudah tidak merasa
aneh di lingkungan barunya. Kemampuan individu dalam berpikir juga
sudah bisa menyesuaikan dengan orang-orang di lingkungan barunya.
Keadaan ini dapat bertahan selama beberapa tahun lamanya (Lysgaard
dalam Heine, 2008).
3. Gejala – gejala Culture Shock
Untuk dapat menangani gejala culture shock yang dialami individu, maka perlu dikenali beberapa gejalanya. Gejala yang ditunjukkan
oleh individu antara lain, individu akan merasa terasingkan dan sendirian,
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut ditunjukkan dengan menghindari
kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya yang baru
dan enggan untuk berbicara dengan orang lain (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Hal ini terjadi karena individu tersebut merasa tidak nyaman untuk
berinteraksi dengan orang lain. Individu tersebut merasa kehilangan
petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya (Hooves,
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain itu, dirinya juga harus hidup
terpisah dari orang-orang terdekatnya dan mulai merasa kehilangan
dukungan (Sandhu & Asrabadi, dalam Furnham, 2004).
Gejala lain yang akan dialami oleh individu ialah masalah terkait
dengan perubahan tempramen. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku individu
yang mudah tersinggung, mudah kesal dan marah. Selain itu, individu
tersebut juga akan menunjukan perasaan depresi, merasa lemah dan
menderita (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam
diri individu tersebut diliputi oleh respon-respon negatif akibat
keberadaannya di lingkungan yang baru (Oberg dalam Bochner, 1994;
Smith & Bond, 1993). Keadaan ini membuat individu tersebut menjadi
mudah marah menghadapi hal-hal yang dialaminya (Church dalam Heine,
2008). Keadaan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan bahwa
orang yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan, depresi dan stress (Thomson, Rosenthal & Russell, 2006).
Gejala berikutnya yang mungkin muncul adalah mulai muncul
menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana (Pujiriyani & Rianty,
2010). Dengan demikian, akan muncul keinginan untuk terus bergantung
pada orang yang berasal dari tempat yang sama (Hooves dalam Mulyana
& Rakhmat, 2009). Pertemuan antara dua budaya yang berbeda, dapat
memunculkan persoalan dan terkadang persoalan tersebut belum pernah
dialami sebelumnya. Dalam setiap pemecahan masalah, setiap individu
akan bernegosiaasi dengan caranya masing-masing (Ward, Bochner &
Furnham, 2001). Oleh karena itu, ketika individu menghadapi masalah di
lingkungan budayanya yang baru dan masih menggunakan model
pemecahan masalah dari budayanya yang lama, maka masalah tersebut
dirasa berat dan tidak dapat diselesaikannya. Keadaan seperti ini yang
kemudian membuat individu tersebut ingin tetap dekat dan bergantung
dengan orang yang berasal dari budaya yang sama dan dapat diajak
berkomunikasi dengan lebih dekat (Oberg dalam Irwin, 2008; Guanipa,
2008). Individu tersebut juga lebih suka bersahabat dengan individu yang
berasal dari budaya yang sama (Bochner & Furnham, 2001).
Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak dapat bekerja secara
efektif juga menjadi gejala culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010). Seorang individu yang mengalami gejala culture shock biasanya akan mengalami gangguan pada kemampuannya dalam melakukan suatu hal.
Individu tersebut tidak dapat bekerja seefektif dan sebaik mungkin.
Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri individu tersebut telah
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Dengan demikian, pekerjaan yang sedang
atau telah dilakukan oleh individu tersebut akan selalu terasa kurang
memuaskan.
Individu yang mengalami culture shock juga akan menunjukkan rasa kehilangan identitas dan kurangnya percaya diri (Pujiriyani & Rianty,
2010). Perubahan dalam konteks budaya tersebut mampu mengubah
identitas individu. Keadaan ini disebabkan karena indentitas dibentuk dan
dipertahankan berdasarkan konteks budaya, sehingga pengalaman dalam
konteks budaya yang baru seringkali memunculkan pertanyaan tentang
identitas (Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004).
Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman
inilah yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal ini terjadi karena ketika individu masuk
ke dalam lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan
berinteraksi dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang
didapatkannya, mampu membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya
yang selama ini tidak sesuai dengan keadaannya saat ini. Dengan
demikian, kedaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi rasa percaya diri
individu tersebut, sehingga ia akan mengalami rasa kurang percaya diri
(Pujiriyani & Rianty, 2010).
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,
2008). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan
lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya
(Church dalam Heine, 2008).
Gejala culture shock yang selanjutnya adalah individu mulai mengalami gangguan makan, minum dan istirahat yang berlebihan
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Individu yang mengalami culture shock
mungkin akan mengalami gangguan makan dan minum. Hal tersebut
terjadi karena kebiasaan makan juga diatur dalam budaya (Porter &
Samovar dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut juga
akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu, budaya
juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan
pekerjan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang diikuti
dan perubahan tempat tinggal (Furnham & Bochner, 2001). Perubahan
yang dialami oleh individu tersebut, akhirnya mengganggu gaya hidup
yang sudah dimiliki dalam budaya yang sebelumnya.
Individu yang mengalami gangguan makan, minum dan pola tidur
ini pada akhirnya juga akan bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan
dalam menghadapi penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit
yang dialaminya termasuk penyakit yang sepele (Pujiriyani & Rianty,
2010; Hooves dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Individu tersebut juga
mulai mengalami sakit kepala dan sakit perut (Gudykunst & Kim dalam
Pada saat individu berada di lingkungan budaya yang berbeda,
orang tersebut akan lebih banyak mengalami distress dan membutuhkan
konsultasi medis (Babiker, Cox & Miller dalam Heine, 2008). Hal ini
dilakukan karena individu tersebut merasa butuh bantuan seseorang yang
memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh karena itu, pada saat
mengalami suatu penyakit yang ringan, orang tersebut akan langsung
melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut juga mendukung
munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan diri dan
lingkungannya yang menjadi berlebihan (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa
gejala-gejala culture shock antara lain:
a. Merasa sedih, sendirian dan terasingkan
b. Tidak mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh
orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal
c. Takut melakukan kontak fisik
d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama
e. Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu,
dirampok, takut terluka
f. Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita, dan lemah
g. Mudah tersinggung, kesal dan marah
h. Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
yang sederhana
j. Merindukan keluarga dan rumah
k. Memiliki hasrat makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan
sangat kurang/sedikit (insomnia)
l. Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi)
m. Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness (kebersihan yang berlebihan) terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun
tempat tidur
.
4. Faktor - faktor yang mempengaruhi Culture Shock
Sandhu dan Asrabadi (dalam Furnham, 2004) juga menjelaskan
bahwa munculnya culture shock dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor interpersonal dan intrapersonal.
Faktor interpersonal meliputi kemampuan individu dalam
berkomunikasi, seperti kecakapan bahasa dan kemampuan sosial. Ada pula
kesulitan individu untuk membentuk pertemanan dan membangun
dukungan sosial dengan orang-orang di lingkungan pergaulan yang baru.
Perasaan individu yang kehilangan dukungan sosial dari orang-orang
terdekat, terutama keluarga.Selain itu, adanya perbedaan harapan dan
norma-norma sosial antara lingkungan lama dan baru. Kemudian muncul
pula masalah pendidikan yang sedang dijalani dan kesulitan imigrasi.
Faktor intrapersonal yang dapat mempengaruhi culture shock
meliputi, munculnya perasaan kehilangan yang mendalam terhadap
ketidaktentuan karena individu berada pada lingkungan pergaulan yang
baru.
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan budaya yang baru sangat berpengaruh terhadap culture shock.Penyesuaian diri antarbudaya sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern, menurut Brislin (1981), ialah faktor watak (traits)
dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang membentuk
keseluruhan kepribadian seseorang. Kecakapan atau skills menyangkut
segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang
akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi,
keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya. Selain itu, sikap individu
juga sangat berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya.
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri
antarbudaya adalah besar kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat
asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinnya (Soelaeman,
1987)
Dengan demikian, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi
culture shock terbagi menjadi tiga, yakni faktor interpersonal, faktor intrapersonal dan faktor ekstern (yang berasal dari luar diri individu).
Faktor interpersonal seperti kemampuan sosial dan kecakapan yang
dimiliki terkait dengan bahasa, adat istiadat, tata krama. Sedangkan faktor
perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keluarga dan teman. Selain
itu, munculnya perasaan inferioritas dan ketidaktentuan karena individu
berada pada lingkungan pergaulan yang baru. Faktor esktern yang
mempengaruhi culture shock adalah besar kecilnya perbedaan kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
.
B. Mahasiswa Asal Papua
Mahasiswa merupakan sebuah status yang diberikan kepada seseorang
yang belajar di perguruan tinggi. Dalam bahasa inggris, orang yang belajar di
perguruan tinggi juga disebut sebagai student yang artinya “seseorang yang berusaha keras”. Julukan tersebut memang sangat cocok diberikan kepada
mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa bukan hanya merupakan
status, melainkan orang yang memiliki tugas untuk bekerja keras dalam
studinya (Bertens, 2005).
Mahasiswa juga digambarkan sebagai orang muda, berpendidikan,
memiliki motvasi tinggi, memiliki kemampuan beradaptasi dan lebih baik
daripada banyak teman sebayanya (Furnham, 2004).
Orang Papua adalah mereka yang berasal dari suku asli Papua, yaitu
mereka yang berasal dari salah satu kelompok Suku Melanesia, seperti suku
Aitinyono, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamatu, Mandaca, Biak dan Serui
(Albarra dalam Kompasiana, 2011). Orang-orang muda tersebut memiliki
ciri-ciri fisik, seperti berambut keriting, berkulit hitam dan berhidung mancung
Berdasarkan penjelasan mahasiswa di atas, diketahui mahasiswa asal
Papua merupakan status yang dimiliki oleh orang muda yang berasal dari suku
asli Papua. Dimana orang muda tersebut memilih untuk belajar terlebih dahulu
di sebuah institut atau pendidikan sarjana/ professional, sebelum memasuki
dunia kerja yang kompleks yang menuntut persiapan karir yang spesifik.
Mahasiswa asal Papua memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
mahasiswa dari budaya lain di Indonesia, yaitu kebiasaan untuk memakan
pinang dan sirih. Selain itu, ada juga perilaku mahasiswa asal Papua yang suka
minum minuman keras lalu membuat keributan (Albarra dalam Kompasiana,
2011).
Seorang pelajar asal Papua membenarkan keadaan tersebut. Dia
mengatakan bahwa kebiasaan mahasiswa asal Papua yang suka minum
minuman keras dan membuat keributan, memunculkan pandangan bahwa
orang Papua itu kasar dan keras kepala. Hal ini pada akhirnya membuat
mahasiswa Papua kurang dapat diterima dengan baik dan membuat mereka
merasa tidak nyaman berada di wilayah orang lain.
Kebiasaan lain yang dimiliki oleh beberapa mahasiswa asal Papua
yang dapat menyebabkan mereka mengalami culture shock adalah sikap individualitas yang tinggi, khusunya mereka yang berasal dari daerah Pantai
Utara, Papua. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa bekerja
sama dan menerima kehadiran orang lain (Koentjaraningrat, 2002). Sedangkan
bekerja sama dengan mahasiswa yang lainnya (Chen, Irvine & York, Shade &
New, Thomas dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).
C. Review Penelitian Terdahulu Mengenai Culture Shock
Terdapat beberapa penelitian terkait dengan culture shock yang telah dilakukan terlebih dahulu. Beberapa penelitian terfokus pada pengalaman
culture shock yang dialami oleh mereka yang berpindah ke lingkungan yang baru.salah satu pengalaman culture shock adalah pengalaman culture shock
pendatang yang berada di Rwanda yang dilakukan oleh Peter Odera (2003).
Subjek penelitian ini merupakan orang yang berasal dari Afrika Timur yang
sedang berdomisili di Rwanda. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan
beberapa pengalaman culture shock yang mereka alami, antara lain.
Pola – pola perilaku yang berbeda antara Afrika Timur (terutama dari
Kenya, Urganda dan Tanzania) dengan Rwanda.Di Afrika Timur mereka
terbiasa menyapa dengan megatakan hey atau sekedar jabat tangan. Hal ini
bertentangan dengan cara menyapa yang berlaku di Rwanda, mereka biasanya
menyapa orang lain dengan memeluk secara berlebihan. Kurangnya budaya
antri yang terjadi di Rwanda menjadi kekagetan tersendiri bagi pendatang
yang berasal dari Kenya, Uganda dan Tanzania.Mereka yang berasal dari
Negara – Negara tersebut terbiasa menggunakan prinsip yang pertama datang
maka yang dilayani dalam mengantri. Namun perilaku penduduk asal tidak
datang terlambat memiliki hak untuk melompat antrian dan untuk mendorong
jalan agar maju kedepan.
Ketepatan waktu tampaknya bukan menjadi prinsip nomor satu bagi
penduduk asli Rwanda. Kebiasaan seperti ini kemudian yang menyebabkan
keterlambatan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Disisi lain, waktu
adalah sesuatu yang dihargai di Negara-negara Afrika Timur. Orang menjaga
waktu mereka untuk janji, karena setiap penundaan itu artinya ia akan
kesulitan untuk kembali membuat janji baru.
Afrika timur terkenal ramah kepada orang asing ketika mereka berada
di daerahnya sendiri. Biasanya mereka mengundang tamu ke rumahnya atau
sekedar mengajak tamunya jalan-jalan dan menunjukkan beberapa tempat
menarik di daerahnya. Hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi di
Rwanda. Orang – orang di Rwanda umumnya cenderung menyendiri dan malu
untuk mengundang mitra asing mereka atau untuk menunjukkan kepada
mereka tempat – tempat menarik di Negaranya. Hal ini membuat interaksi
antara penduduk asal dengan pendatang menjadi sangat dangkal.
Selain itu, penelitian terkait dengan culture shock yang pernah dilakukan di Indonesia adalah koping terhadap stres pada mahasiswa luar jawa
yang mengalami culture shock di Univeristas Muhammadiyah Surakarta
(Niam, 2009). Hasil dari penelitian ini ada 13 bentuk koping yang dilakukan
mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi culture shock, antara lain: a) mencari
dukungan sosial, b) penerimaan terhadap perbedaan, c) keaktifan diri, d)
negosiasi, i) pengurangan beban masalah, j) harapan, k) penghindaran
terhadap masalah, l) putus asa, m) koping individual tidak efektif.
Penelitian lainnya terkait dengan culture shock yaitu berjudul culture shock communication mahasiswa perantauan di Madura, yang dilakukan oleh Suryandari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan UTM. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, peneliti menggunakan metode
observasi dan depth interview dalam teknik pengambilan data. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa perantauan di UTM angkatan 2010 yang
diambil secara acak.Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebagian
besar mahasiswa perantauan Mahasiswa UTM mengalami fase optimistik
dimana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke
Madura.Sebagian besar mahasiswa mengalami culture shock.
Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik
maupun emosional.Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari
pola makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit. Mahasiswa yang tidak
mengalami masalah kultural (culture shock) adalah mereka yang berasal dari 4 daerah di wilayah Madura. Semakin mirip dan dekat budaya asal dengan
budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil. Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis manajemen konflik
yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan
memahami budaya di Madura sedangkan yang satunya lagi menghindar.
mahasiswa merasalebih nyaman tinggal di Madura dan tidak mengalami
kesulitan dalam denganproses belajar mereka.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui
beberapa pengalaman culture shock yang dialami oleh beberapa subjek dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Hal tersebut memberikan
gambaran kepada peneliti mengenai berbagai perbedaan dalam berkomunikasi
dan berinteraksi yang di pengaruhi oleh latar belakang budaya. Dengan
demikian peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran culture shock
yang dialami oleh mahasiswa Papua ketika melanjutkan pendidikannya di
Yogyakarta.
D. Gambaran Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Yogyakarta
Ketika seorang individu berpindah ke suatu tempat dengan keadaan
sosial budaya yang baru maka orang tersebut akan mengalami culture shock,
individu tersebut mengalami perpindahan dari budaya yang familiar ke budaya
yang tidak familiar (Odera, 2003). Mahasiswa Papua yang melanjutkan
pendidikannya di Yogyakarta mengalami perubahan keadaan sosial budaya,
mereka berpindah dari budaya yang familiar ke suatu budaya yang tidak
familiar. Hal ini dikarenakan Papua dan Yogyakarta memiliki latar belakang
budaya yang tentu saja sangat berbeda.
Sebagian besar masyarakat Papua menggunakan bahasa Indonesia
dengan logat papua yang khas. Penggunaan logat Papua yang khas ini
Penggunaan bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas biasanya lebih
singkat dibandingkan dengan Bahasa Indonesia yang asli. Misalnya dalam
bahasa Indonesia kita mengucapkan “saya atau kami pergi ke pasar” dengan
logat Papua biasanya mereka cukup mengucapkan “sa atau kam pi di pasar”.
Contoh lain misalnya kalimat tanya dalam bahasa Indonesia “anda hendak
pergi kemana?” dalam bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas
mereka akan mengucapkan “ko mo pi dimana?” (Fauzi, 2012).
Ketika mahasiswa asal Papua berpindah ke Yogyakarta, salah satu hal
yang harus mereka hadapi adalah perbedaan bahasa. Yogyakarta memiliki
bahasa daerah, yakni bahasa Jawa sedangkan mahasiswa asal Papua terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Papua yang khas. Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan mahasiswa asal Papua merasa cukup
kesulitan untuk bisa memahami bahasa Jawa. Ini tentu saja dapat
menimbulkan munculnya culture shock bagi mahasiswa asal Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta.
Menurut Furnham dan Bochner (Hidajat dalam Niam, 2009) hal-hal
yang tidak menyenangkan seperti masalah perbedaan bahasa antara daerah
asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan
mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari
munculnya culture shock.
Selain itu, hal lain yang dapat memicu timbulnya culture shock adalah munculnya perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keluarga dan teman.
terpisah dengan orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan
teman-temannya. Keadaan seperti ini tentu saja akan memunculkan rasa kehilangan.
Mereka akan merasa kehilangan dukungan dari keluarga dan temannya
(Sandhu & Asrabadi, dalam Furnham, 2004).
Mahasiswa baru yang berasal dari Papua merasakan kesulitan ketika
berada di Lingkungan barunya di Yogyakarta. Rasa kesulitan ini diperburuk
oleh timbulnya rasa kehilangan karena mereka harus terpisah dengan orang
terdekatnya seperti keluarga, sahabat dan teman. Keadaan seperti ini yang
kemudian memunculkan perasaan inferioritas dan ketidaktentuan dalam diri
individu. Ketika mahasiswa asal Papua berpindah ke Yogyakarta, ia akan
mengalami situasi lingkungan pergaulan yang baru. Di daerah asalnya yaitu
Papua, mereka menjadi masyarakat mayoritas. Namun ketika berada di
Yogyakarta mereka akan menjadi masyarakat minoritas. Keadaan seperti
inilah yang kemudian akan memunculkan rasa inferioritas pada diri individu.
Selain itu, individu juga akan mengalami perubahan identitas.
Perubahan identitas diri ini terjadi karena diri adanya perubahan pengalaman
yang kemudian dapat mempengaruhi rasa percaya diri individu (Pujiriyani &
Rianty, 2010). Hal ini terjadi karena ketika individu masuk ke dalam
lingkungan budaya yang baru, individu tersebut akan berinteraksi dengan
keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang didapatkannya, mampu
membuat dirinya merasa bahwa identitas dirinya yang selama ini tidak sesuai
ketidakpastian dalam diri individu yang dapat memicu timbulnya culture shock.
Hal lain yang turut mempngaruhi munculnya culture shock pada mahasiswa asal Papua adalah besar kecilnya perbedaan kebudayaan tempat
asalnya dengan lingkungan kebudayaan yang dimasukinya. Semakin berbeda
kebudayaan antar individu yang berinteraksi, semakin sulit kedua indivudi
tersebut membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Selain itu,
semakin berbeda antar budaya maka interaksi sosial degan mahasiswa lokal
akan semakin rendah (Munandar, 1995).
Mahasiswa Papua terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan
logat Papua yang khas dan Yogyakarta pun memiliki bahasa daerah yaitu
bahasa Jawa. Selain itu, mahasiswa asal Papua terbiasa menggunakan nada
bicara yang keras, sehingga ketika itu digunakan di Yogyakarta memunculkan
interpretasi yang berbeda atau disalahpahami. Hal lain yang juga berbeda
adalah cara menyampaikan penolakan atau ketidaksetujuan, mahasiswa asal
Papua terbiasa menyampaikan ketidaksetujuan atau penolakannya dengan
asertif. Sedangkan di Yogyakarta orang biasanya menunjukkan penolakannya
dengan hati – hati atau unggah – ungguh.Perbedaan yang cukup jauh antara
Papua dan Yogyakarta inilah yang memicu munculnya culture shock pada mahasiswa asal Papua di Yogyakarta.
Berdasar dari faktor – faktor tersebut mahasiswa Papua yang
gejala culture shock yang dialami oleh individu kemungkinan berbeda. Dengan demikian, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran culture shock
yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di
Yogyakarta.
E. Pertanyaan Penelitian
Dalam sebuah penelitian deskriptif, hal yang paling mendasar untuk
melakukan suatu penelitian adalah pertanyaan penelitian. Pertanyaan utama di dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua ketika melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta?
Selanjutnya, pertanyaan diperinci menjadi dua fokus, yaitu:
32 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul “Gambaran Culture Shock Mahasiswa Asal Papua Di Yogyakarta” ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pilihan
metode ini dinilai sesuai untuk memenuhi tujuan peneilitian, yaitu untuk
memberikan gambaran mengenai tahapan culture shock yang dialami subjek dan gejala culture shock yang muncul, karena penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi.
Dengan demikian, penelitian deskriptif mengambil masalah atau
memusatkan perhatian kepada masalah – masalah aktual sebagaimana adanya.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang
menjadi pusat perhatiannya untuk kemudian digambarkan atau dilukiskan.
B. Fokus Penelitian
Terdapat dua fokus dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tahapan culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Yogyakarta (Bagaimana tahapan culture shock yang dialami oleh subjek?) 2. Bentuk gejala culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang merupakan
mahasiswa asal Papua yang sedang menjalani perkuliahan aktif di Yogyakarta.
Keempat subjek ditentukan mennggunakan criterion sampling, yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti yaitu mahasiswa asal Papua di
Yogyakarta yang masih duduk di semester 2 dan semester 4.
Keempat subjek penelitian ini memiliki karakteristik yang sama yakni
lahir dan tinggal di Papua sampai dengan SMA. Selain itu mereka memiliki
perawakan khas Papua dimana mereka mayoritas berkulit hitam dan berambut
ikal. Tiga subjek dalam penelitian ini tinggal di perkotaan di Papua yakni Jaya
Pura, sedangkan satu subjek berasal dari daerah pedalaman di Papua. Tiga dari
subjek penelitian ini tinggal di kost di Yogyakarta dan satu dari subjek
penelitian ini tinggal bersama neneknya di Yogyakarta.
Kriteria tersebut dinilai peneliti sesuai dengan pengalaman atas
fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2007).
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk memperoleh
data. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu.
Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan pedoman umum, yaitu selama proses wawancara peneliti
wawancara adalah untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang
harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah semua aspeknya sudah ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Daftar pertanyaan disusun oleh peneiliti sebagai panduan selama
proeses wawancara agar peneliti tetap fokus dengan tujuan penelitian yang
sudah ditetapkan sebelumnya.Panduan pertanyaan disusun berdasarkan fokus
penelitian dan bersifat terbuka agar tidak mengarahkan subjek pada jawaban
tertentu.
Berikut ini adalah panduan pertanyaan wawancara yang digunakan
selama proses wawancara:
Tabel 1
Panduan Pertanyaan Wawancara
PROSES CULTURE SHOCK
NO TAHAP PERTANYAAN WAWANCARA 1. Tahap
Honeymoon
1. Tolong ceritakan apa yang memotivasi Anda untuk melanjutkan pendidikan di kota Yogyakarta?
2. Bagaimana perasaan Anda ketika awal sekali Anda tiba di Yogyakarta? Kenapa?
3. Tolong deskripsikan bagaimana perasaan senang dan antusias Anda ketika Anda tinggal di lingkungan yang baru?
4. Apa saja yang Anda pikirkan tentang Yogyakarta pada saat itu? Kenapa?
5. Apa saja yang Anda lakukan pada saat itu? Kenapa?
6. Berapa lama perasaan dan pikiran itu Anda rasakan?
2. Tahap crisis
atau culture shock
1. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda harus tinggal di Yogyakkarta terpisah dengan keluarga di Papua?
2. Menurut Anda hal apa saja yang Anda rasakan berbeda ketika Anda berada di Papua dan ketika Anda berada di Yogyakarta?
dengan bahasa, kebiasaan dan budaya yang ada di Yogyakarta?
4. Apa saja yang ada dalam pemikiran Anda saat Anda melihat beberapa hal yang berbeda dan belum pernah Anda alami sebelumnya? Kenapa? 5. Apa saja yang Anda rasakan pada saat itu?
Kenapa?
6. Kapan perasaan tidak nyaman itu mulai muncul? 7. Apakah keadaan seperti itu kemudian
memberikan dampak bagi aktivitas Anda sehari – hari?
8. Tolong ceritakan apa saja dampak yang Anda rasakan?
(tanyakan gejala yang dialami) 3. Tahap
recovery
1. Bagaimana cara Anda mengatasi perasaan tidak nyaman tersebut?
2. Kapan Anda merasa mulai bisa mengatasi perasaan – perasaan tidak nyaman itu?
3. Apa saja yang Anda pikirkan pada saat itu? Kenapa?
4. Lalu bagaimana perasaan Anda ketika Anda sudah mulai bisa mengatasi rasa tidak nyaman tersebut? Kenapa?
4. Tahap
adjustment
1. Apakah saat ini Anda merasakan perasaan Anda sudah jauh lebih baik? Kenapa?
2. Apa saja perasaan yang Anda rasakan sekarang? 3. Kenapa perasaan – perasaan itu bisa muncul? 4. Apakah saat ini Anda sudah merasa nyaman
tinggal di Yogyakarta? Kenapa?
5. Apa yang Anda pikirkan tentang Yogyakarta dan orang – orang di Yogyakarta?
6. Bagaimana kemampuan bahasa Jawa Anda saat ini?
7. Apakah saat ini Anda sudah memiliki rutinitas? 8. Apa saja rutinitas Anda saat ini?
9. Apakah itu sudah dapat berjalan dengan baik? 10.Bagaimana relasi Anda di lingkungan yang baru
ini?
11.Apakah Anda memiliki cukup banyak teman di lingkungan baru sekarang?
12.Sejak kapan Anda merasakan hal ini? GEJALA CULTURE SHOCK
NO GEJALA – GEJALA CULTURE SHOCK
PERTANYAAN WAWANCARA 1. a. Merasa sedih, sendirian dan terasingkan
bahasa yang digunakan oleh orang setempat dan cenderung menghindari kontak dengan orang lokal
c. Takut melakukan kontak fisik
d. Keinginan untuk berinteraksi dengan rekan sesama
e. Merasa tidak aman (rasa ketakutan yang berlebihan) takut ditipu, dirampok, takut terluka
f. Perubahan tempramen, depresi, merasa menderita dan lemah
g. Mudah tersinggung, kesal dan marah h. Sulit berkonsentrasi dan tidak mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang sederhana
i. Kehilangan identitas dan kurang percaya diri
j. Merindukan keluarga dan rumah
k. Memiliki hasra makan, minum dan tidur yang berlebihan atau bahkan sangat kurang/sedikit (insomnia)
l. Bermasalah dengan kesehatan (flu, demam, diare, alergi)
m.Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness (kebersihan yang berlebihan) terkait dengan masalah makan, minum, piring ataupun tempat tidur.
(pertanyaan akan disesuaikan oleh jawaban dari masing-masing subjek, karena gejala yang dirasakan oleh subjek mungkin
saja berbeda)
Proses wawancara ini melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Mencari subjek yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk
berpartisipasi menjadi subjek penelitian.
2. Membangun rapport, menjelaskan tujuan penelitian dan kembali memastikan kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian.
3. Menyusun jadwal wawancara berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan
subjek penelitian.
5. Melakukan wawancara
Data wawancara akan direkam menggunakan digital recorder dan selanjutnya akan disalin dalam bentuk transkrip verbatim.
E. Prosedur Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif tidak ada rumusan baku untuk melakukan
analisis data. Patton (dalam Poerwandari, 2005) memyatakan bahwa ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengolahan dan analisis data
yaitu, peneliti wajib memonitor dan melaporkan proses dan prosedur analisis
data secara jujur dan selengkap mungkin.
Berikut ini adalah langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini:
1. Organisasi Data
Organisasis data diawali dengan memindahkan rekaman hasil
wawancara setiap subjek dari digital voice recorder ke dalam bentuk tulisan dan menghasilkan transkrip verbatim yang berbentuk kolom.
Pengetikan transkrip verbatim dilakukan segera setelah proses wawancara
berakhir. Hal ini dilakukan agar ingatan peneliti masih segar dengan
kondisi dan bahasa non verbal subjek saat wawancara berlangsung.
2. Pengkodean (coding)
Setelah data mentah hasil wawancara disusun menjadi transkip
verbatim, peneliti melakukan penomoran untuk setiap baris kemudian
dilanjutkan dengan pemberian kode. Kode diberikan dibelakang jawaban
relevan dengan fokus penelitian dan yang bukan. Pada tahap ini peneliti
tidak mengubah esensi kalimat yang diucapkan subjek dan yang bisa
dilakukan adalah mengeluarkan kata-kata atau kalimat kunci (Audifax,
2008).
3. Interpretasi
Maksud interpretasi dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan
analisis tematik dengan mencari dan menemukan tema dari data yang
diperoleh. Analisis tematik dilakukan setelah data berbentuk kolom dan
diberi kode. Analisis tematik merupakan proses mengkode data yang
selanjutnya akan menghasilkan daftar tema dan model tema. Tema-tema
yang muncul diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena dari hasil
penelitian ini dan dapat digunakan untuk menginterpretasikan data hasil
penelitian.
4. Membuat Rangkuman Temuan Penelitian
Rangkuman temuan penelitian dibuat setelah peneliti melakukan
interpretasi dengan analisi tematik. Selanjutnya, peneliti mendeskripsikan
tema-tema yang muncul dari hasil analisis dan membuat rangkuman
temuan penelitian secara keseluruhan dalam bentuk tabel.
F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian
1. Kredibilitas Penelitian
Dalam penelitian kualitatif istilah kredibilitas dipakai setara dengan