• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Wonogiri, Juni Redaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KATA PENGANTAR. Wonogiri, Juni Redaksi"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 i KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan bimbinganNya sehingga Jurnal Inisiasi Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 telah terbit. Sejalan dengan adanya Online Jurnal System (OJS), Jurnal Inisiasi kini lebih mudah diakses sehingga kedepan semoga lebih diminati. Periode ini Jurnal inisiasi memuat artikel-artikel dari aspek sumber daya alam diantaranya kajian produksi fisik ubi, gaplek dan pati pada lokasi penanaman berbeda, uji konversi produk ubi kayu, pemanfaatan periode bero untuk penanaman kacang hijau, penggunaan biopestisida ekstrak mimba, produksi bunga kamilen dari beberapa umur panen dan kulit rambutan sebagai penolak serangga. Aspek perekonomian memuat artikel-artikel meliputi pembuatan nata de bligo, serbuk gergaji sebagai bahan briket dan batalastik sebagai solusi penanganan sampah plastik Aspek sosial budaya memuat tulisan analisis daya tarik wisata pada destinasi wisata kampung wayang kepuhsari dan pemberdayaan masyarakat sentra industri buah naga.

Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada para penulis, Mitra Bestari dan editor atas sumbang pemikiran secara ilmiah sebagai dasar pembangunan.

Pada akhirnya, semoga artikel yang dimuat dalam edisi ini bermanfaat.

Wonogiri, Juni 2017

Redaksi

(2)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 ii DAFTAR ISI

i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI

ASPEK SUMBER DAYA ALAM Uji Konversi Produk Ubikayu

Eko Murniyanto dan Putri Andini Mandasari ... 1-7 Pemanfaatan Periode Bero Setelah Pergiliran Tanaman Kedua pada Lahan Kering

Dengan Pemulsaan Jerami Terhadap Hasil Tanaman Kacang Hijau (Vigna Radiata L.)

R. Fitriyah ... 8-12 Pengaruh Biopestisida Ekstrak Mimba Terhadap Tingkat Serangan Hama dan Produksi

Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill.)

J. Reditiya... 13-17 Produksi Bunga Kamilen (matricaria chamomilla l) dari Beberapa Umur Panen

Heru Sudrajad, Teguh, Nita Supriyati ... 18-21 Pemanfaatan Kulit Rambutan (Nephelium Lappaceum L) dalam Pembuatan Lilin

Aromaterapi Penolak Serangga

Anisa Wantifa Pratiwi, Ima Kusuma Wardani, Nuria Cahyani, Sutanti ... 22-27 ASPEK PEREKONOMIAN

Formulasi Pembuatan Nata De Bligo

Nadiah Lukita Sari ... 28-31 Kombinasi Arang Kayu Dengan Serbuk Gergaji Pada Pembuatan Bahan Bakar Briket

Iwan Ristanto ... 32-38 Inovasi Batalastik Sebagai Solusi Penanganan Sampah Plastik

Dony Purnomo ... 39-42 ASPEK SOSIAL BUDAYA

Analisis Komponen Daya Tarik Wisata Pada Destinasi Wisata Kampung Wayang Kepuhsari Kabupaten Wonogiri

Lilyk Eka Suranny ... 43-49 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Sentra Industri Pertanian Buah Naga

Syamsu A Noo dan Retno Wahyu W ... 50-56

ISSN 2303-0844

(3)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 1 Kajian Produksi, Fisik Ubi, Gaplek dan Pati pada Lokasi Penanaman yang Berbeda

Putri Andini Mandasari 1) dan 2) Eko Murniyanto

1) Asisten Lapang Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang

2) Tim Leader Pilot Project Ubikayu Model Kooperatif Kabupaten Sampang, Dewan Riset Daerah Wonogiri dan Fakultas Pertanian UTM

Email : [email protected]

ABSTRACT

Ubi pada ubikayu termasuk dalam ubi akar karenanya jumlah akar dan lingkungan perakaran (rhizosfer) menentukan perkembangan ubi dan mutunya. Lingkungan perakaran menyangkut sifat fisik, kimia, biologi dan ini berbeda untuk setiap jenis tanah. Manakala diketahui maka beberapa sifat diantaranya dikondisikan melalui teknologi budidaya, namun petani di beberapa wilayah penanaman ubikayu memiliki kapasitas yang sama akibatnya sifat-sifat tanah mendominasi terhadap potensi produksi dan sifat-sifat lainnya. Kajian di 3 (tiga) lokasi penanaman menunjukkan terjadinya perbedaan dan itu yang akan ditunjukkan dalam uraian selanjutnya.

Kata kunci : lokasi penanaman, produksi, gaplek, pati.

PENDAHULUAN

Ubikayu (Manihot esculenta Grantz) saat ini menjadi komoditi akibat kemanfaatannya untuk berbagai keperluan industry. Industri olahan berbahan baku ubikayu diantaranya chip, pellet, tepung tapioka, dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose dan alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol. Pengolahan lanjut dari hasil olahan tersebut dapat berupa pakan, makanan, minuman dan barang-barang lainnya seperti bioplastik. Hafsah (2003 dalam Saleh dkk., 2012) menyatakan bahwa sebagian besar produksi ubikayu di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90%), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chip dan tepung tapioka. Dari total produksi yang ada (19,3 juta ton), lebih kurang sebanyak 75% dikonsumsi sebagai bahan pangan (secara langsung atau melalui proses pengolahan), 13-14% untuk keperluan industri non-pangan, 2% untuk pakan dan 9% tercecer. Usaha peternakan yang meningkat dengan laju pertumbuhan 12,9% per tahun untuk ternak pedaging dan 18,0% per tahun untuk ternak petelur, permintaan ubikayu untuk pakan juga akan meningkat.

Produktivitas ubikayu setiap hektar sebanyak 18,2 ton, dalam dasa warsa

terakhir rata-rata laju peningkatan produksi sebanyak 3,25% namun luas penanaman menurun -0,37% (Saleh dkk., 2012).

Fluktuasi produksi tahunan ini diakibatkan tingkat produktivitas dan luas penanaman mengalami pasang surut. Ditinjau dari tingkat produktivitas dimungkinkan akibat penerapan teknologi yang tersedia kurang optimal atau teknologi belum mempertimbangkan kondisi lahan dimana ubikayu ditanam. Ubikayu yang ditanam di lahan dengan jenis tanah liat berbeda tingkat pertumbuhan dan perkembangannya jika ditanam di jenis tanah debu atau pasiran.

Meskipun jenis tanah sama jika solum tanah berbeda, antara tipis dan tebal, maka keragaan ubikayu juga berbeda. Ubikayu yang ditanam pada lahan dengan kandungan liat tinggi, solum tipis cenderung membentuk ubi yang besar dan pendek, sebaliknya jika di tanam pada lahan dengan kandungan debu tinggi dan solum tebal cenderung membentuk ubi yang kecil dan panjang. Lebih lanjut terhadap penampakan ubi, pati dan tepung gapleknya. Karama (2003) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas ubikayu dan ubijalar antara lain disebabkan oleh: (a). Sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya produktivitasnya rendah, (b). Kualitas bibit yang digunakan seringkali

(4)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 2 kurang baik, (c). Ubikayu dan ubijalar

sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). Pengelolaan tanaman dilakukan secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya.

Sentra produksi ubikayu meliputi:

Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I.

Yogyakarta. Data produksi ubikayu tahun 2000-2009 terlihat pada tahun 2000 pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubikayu yang dominan dalam memberi kontribusi produksi nasional sebesar 57,2%.

Saleh et al. (2000) juga menjelaskan bahwa sebagian besar usahatani ubikayu di Indonesia yang dilakukan oleh petani kecil dengan kemampuan modal dan teknologi terbatas sangat respon terhadap signal harga yang diimplementasikan dalam bentuk usahatani ubikayu mereka pada tahun berikutnya. Apabila harga ubikayu baik, luas panen musim berikutnya naik dan sebaliknya bila harga ubikayu pada musim tersebut kurang bagus, maka luas panen pada tahun berikutnya juga berkurang.

METODE

Kajian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu Sampang, Pati dan Blora. Kajian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2017.

Pada bulan itu ubikayu telah berumur 18 bulan. Kondisi ini terjadi akibat pada tahun 2016 terjadi hujan hampIr sepanjang tahun, sementara itu harga ubikayu mengalami penurunan yang tajam. Bulan dimana kajian ini dilakukan curah hujan hampir tidak ada, sementara harga mulai naik.

Penetapan sampel satuan lahan dilakukan secara purposive, sampel ubikayu dilakukan dengan memilih varietas yang sama yaitu Kasesart, sedangkan teknologi yang diterapkan terhadap ubikayu sampel dipilih pada petani yang melakukan budidaya ubikayu secara konvensional.

Jumlah petani sampel di masing-masing daerah kajian ditetapkan 3 (tiga) orang.

Produksi ubikayu dalam bentuk ubi basah dihitung dengan mengalikan antara produksi setiap pohon dengan populasi/ha. Populasi didekati dengan menghitung jarak tanam

yang diterapkan. Fisik ubi diamati pada bentuk, panjang ubi dan diameter ubi.

Gaplek diamati dengan cara menimbang ubi yang telah dikupas untuk setiap batang.

Tepung tapioca dihitung dengan menimbang tepung yang terjadi setelah ubi dikupas, diparut, diperas, diendapkan kemudian dikeringkan matahari. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Agroklimat Daerah Kajian

Kabupaten Sampang berada disekitar garis khatulistiwa, mengalami dua perubahan musim yaitu kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan April sampai September, sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Rata-rata hari hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Pangarengan, sedang yang terrendah terdapat di Kecamatan Banyuates. Rata-rata hujan bulanan tertinggi terdapat di Kecamatan Kedungdung, sedang terendah terdapat pada Kecamatan Torjun. Luas panen budidaya ubi kayu tertinggi di Kabupaten Sampang terdapat di Kecamatan Omben, Ketapang dan Tambelangan demikian juga dengan hasil produksinya (BPS Sampang).

Nugraha dkk. (2015) menyebutkan bahwa Kabupaten Pati memiliki variasi agroklimat yang cukup tinggi. Kondisi ini belum tentu cocok untuk budidaya tanaman ubikayu. Masyarakat Kabupaten Pati yang membudidayakan ubikayu terdapat pada wilayah pesisir utara laut Jawa hingga lereng gunung Muria. Adanya variasi perlakuan yang diterapkan oleh para petani mempengaruhi produktivitas hingga potensi ekonomi dari tanaman ubikayu. Untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen (Wargiono et al., 2006).

Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai

(5)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 3 dengan kebutuhan tanaman tiap fase

pertumbuhan. Daerah sentra produksi ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E, serta jenis lahan yang didominasi oleh tanah alkalin dan tanah masam, kurang subur, dan peka terhadap erosi (Roja, 2009).

Keadaan iklim rata-rata yang dikeluarkan oleh Badan Meteoroologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah, meyebutkan bahwa iklim rata-rata Kabupaten Blora yaitu: suhu terendah 23°C dan tertinggi 40°C. Kelembaban udara terendah 58% dan tertinggi 77%, Curah hujan terendah 12,00 mm/th dan tertinggi 1.074,00 mm/th. Kecepatan angin rata-rata terendah 6,4 knot dan tertinggi 38,6 knot.

Susunan tanah di Kabupaten Blora terdiri

atas 56%tanah grumosol, 39% tanah mediteran dan 5% tanah aluvial. Komoditas ubi kayu merupakan komoditas yang ditanam pada lahan kering/ladang sehingga pertumbuhannya sangat tergantung pada iklim dan curah hujan. Luas panen ubikayu di Kabupaten Blora tertinggi terdapat pada Kecamatan Japah, Randublatung dan Todonan.

Produksi

Produktivitas ubikayu dalam lima tahun terakhir di tiga daerah kajian menunjukkan bahwa Pati merupakan Kabupaten dengan tingkat produktivitas tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten Blora dan produktivitas terendah terdapat pada Kabupaten Sampang. (Tabel 1).

Tabel 1. Produktivitas Ubikayu di Tiga Daerah Kajian (ton/ha)

Tahun Sampang Pati Blora

---ton/ha---

2015 11,38 43,55 28,76

2014 11,47 41,67 27,60

2013 11,01 43,03 27,55

2012 11,72 37,21 18,73

2011 * 30,57 18,20

*= tidak tersedia data Sumber data : BPS Sampang, Pati dan Blora Pada tahun 2012, produksi ubi kayu

Kabupaten Sampang sebanyak 11,72 ton/ha.

Produksi mengalami penurunan menjadi 11,01 pada tahun 2013. Kemudian pada tahu selanjutnya produksi mengalami peningkatan yaitu 11,47 ton/ha pada tahun 2014 dan 11,38 ton/ha pada tahun 2015.

Kabupaten Pati merupakan salah satu daerah penghasil ubikayu terbesar di Jawa Tengah. Pada tahun 2011 dan 2012 produksi ubikayu di Kabupaten Pati sekitar 30 ton/ha, yaitu 30,57 ton/ha (2011) dan 37,21 ton/ha (2012). Pada tahun 2013 sampai tahun 2015 mengalami peningkatan produksi menjadi 43,03 ton/ha (2013), meskipun demikian pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 41, 67 ton/ha dan meningkat kembali menjadi 43,55 ton/ha pada tahun 2015. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati).

Kabupaten Blora menjadi Kabupaten dengan produksi tertinggi kedua pada derah kajian setelah kabupaten Pati. Jumlah produksi ubi kayu Kabupaten Blora pada tahun 2011 dan 2012 sekitar 18 ton/ha yaitu

18,20 ton pada tahun 2011 dan 18,73 ton pada tahun 2012. Pada tahun 2013 dan tahun 2014 mengalami peningkatan yaitu 27,55 ton/ha (2013) dan 27,76 ton/ha (2014).

Produksi tertinggi selama 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2015 yaitu 28,76 ton/ha.

Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi ubi kayu meluputi: luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea dan pupuk posca secara serempak berpengaruh positif dan nyata terhadap jumlah produksi ubi kayu. Luas lahan, dan bibit secara parsial berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi ubi kayu, sedangkan tenaga kerja pupuk urea dan pupuk posca tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu (Syafina et al., 2015). Jarak tanam erat hubungannya dengan jumlah populasi.

Semakin banyak populasi, semakin tinggi potensi hasil yang diperoleh. Pemilihan jarak tanam ini tergantung dari jenis varietas yang digunakan dan tingkat kesuburan tanah. Untuk tanah-tanah yang subur digunakan jarak tanam 1 m x 1 m; 1 m x 0,8 m; 1 m x 0,75 m maupun 1 m x 0,7 m,

(6)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 4 sedangkan untuk tanah-tanah miskin

digunakan jarak tanam rapat yaitu 1 m x 0,5 m, 0,8 m x 0,7 m (Roja, 2009).

Ubikayu yang ditanam pada bulan September-Nopember dan dipanen pada bulan Juli-Oktober atau pada usia 9-11 BST memilik hasil panen dengan bobot dan rendemen pati terbaik (Radjit et al., 2012).

Adaptasi ubi kayu pada lingkungan tumbuh lebih baik dibanding tanaman pangan lain (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al-dd yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi yang baik tersebut menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan meskipun diusahakan pada lahan sub-optimal atau marjinal. Jumlah hara yang diambil dalam setiap ton ubi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 1994; Howeler, 2002). Oleh karena itu produktivitas ubi kayu dalam jangka panjang pada lahan sub-

optimal/marjinal akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya apabila tidak disertai dengan pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi.

Dalam rangka memperoleh hasil ubi kayu yang tinggi pemupukan sangat diperlukan, mengingat tanaman ini sebagian besar dibudidayakan pada lahan yang tanahnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K, ubikayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut.

Gaplek

Gaplek merupakan produk olahan ubi kayu yang dihasilkan melalui proses pengeringan dan dapat disimpan dalam waktu yang lama sekitar 6-8 bulan.

Pembuatan gaplek diawali dengan pengelupasan ubi, pencucian, pencacahan menjadi ukuran lebih kecil dari bentuk sebenarnya. Persentase bobot ubi lepas kulit, kulit basah dan gaplek disajikan dalam

Tabel 2.

Tabel 2. Persentase Bobot Ubi Lepas Kulit, Kulit Basah dan Gaplek Belah di Tiga Daerah Kajian Lokasi Bobot Ubi Lepas Kulit Bobot Kulit Ubi Bobot Gaplek Belah

---%---

Sampang 80.95 19.05 38.87

Pati 87.39 12.61 41.03

Blora 78.67 22.33 36.89

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada lokasi Pati mendapati persentase bobot ubi lepas tertinggi yaitu 87,39% dibandingkan Sampang dan Blora. Hal ini sejalan dengan persentase bobot kulit ubi dari lokasi Pati mendapati persentase bobot paling rendah yaitu 12,61%. Hal ini disebabakan karena struktur kulit ubi tipis. Lokasi Blora mendapati persentase bobot lepas kulit terrendah yaitu 78,67% karena persentase bobot kulit ubi mendapatdan persentase terdapat yaitu 87,39%. Hal ini disebabkan karena struktur kulit ubi lokasi tersebut tebal. Kulit yang tebal diduga terjadi karena struktur tanah penanaman remah atau gembur atau yang dipertahankan sejak awal pertumbuhan sampai panen sehingga sirkulasi O2 dan CO2 terutama di daerah

lapisan olah mendukung pembesaran ubi sangat baik. Hal ini dapat diketahui dari bentuk/wujud/onggok ubi kayu lepas kulit asal lokasi Blora besar namun persentase bobot gapleknya terrendah yaitu 36,89%, dapat bermakna kandungan air lokasi tersebut tinggi. Struktur tanah yang remah dan gembur disebabkan karena kandungan bahan organik yang cukup. Pupuk organik yang ditambahkan pada tanah mempunyai fungsi untuk menggemburkan lapisan tanah permukaan (trop soil), meningkatkan populasi jazad renik tanah, mempertinggi daya serap dan daya simpan air yang secara

(7)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 5 keseluruhan akan meningkatkan kesuburan

tanah. Pori total tanah akan meningkat dan

akan menurunkan berat volume tanah (Atmojo, 2006).

Gambar 1. Ubi kayu lepas kulit dari tiga daerah kajian Gaplek chips, Tapioka dan Ampas

Gaplek chips merupakan olahan kering dari ubi kayu yang dipotong-potong tipis menyerupai lempengan. Gaplek chips dibuat dengan tujuan agar pengeringan lebih cepat karena ukuran potongan kecil dan tipis.

Selain itu hasil dari chips memudahkan dalam proses pengolahan selanjutnya seperti proses penepungan. Tepung tapioka merupakan tepung pati hasil ekstrak dari ubi

kayu. Tepung tapioka mempunyai kegunaan sebagai pembantu dalam berbagai industri.

Dan juga dapat digunakan sebagai bahan bantu warna pemutih (Tri dan Agusto, 1990). Ampas merupakan limbah ubi kayu yang salah satunya dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Persentase bobot Gaplek chips kering, tepung tapioka dan ampas kering disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Bobot Chips Kering di Tiga Daerah Kajian

Lokasi Gaplek Chips Kering Tepung Tapioka Ampas Kering ---%---

Sampang 34.77 22.90 11.17

Pati 39.23 37.50 15.75

Blora 35.52 27.90 13.56

Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung pengganti terigu sampai sebanyak 20%.

Pada tahun 2012 Indonesia mengimpor terigu 6 juta ton, apabila ubikayu dapat dimanfaatkan untuk substitusi terigu sebesar 30%, maka devisa yang dapat diselamatkan sangat besar. Ubi kayu mempunyai produktivitas biomasa tinggi sehingga mampu dikembangkan feedstock bioindustry yaitu menjadi bioenergi dan produk biomasa utamanya akan menjadi pakan ternak (Simatupang, 2012). Usahatani ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Peluang peningkatan hasil ubi di tingkat petani masih besar dengan cara

perbaikan budidaya dan penggunaan varietas unggul (Prastiawati et al., 2011). Secara umum, rendemen kadar pati meningkat seiring bertambahnya umur panen.

Bertambahnya rendemen pati pada umur tertentu yaitu sekitar 8-9 bulan, setelahnya akan mengalami penurunan kadar pati.

Penurunan kadar pati diduga akibat meningkatnya komponen-komponen non pati seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Peningkatan komponen- komponen non pati tersebut disebabkan terjadinya degradasi komponen non pati dan penurunan kadar pati (Pantasico, 1975).

A. Sampang B. Pati C. Blora

(8)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 6 SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan kajian produksi, fisik ubi, gaplek dan pati pada lokasi penanaman yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Produksi ubi kayu pada lokasi penanaman yang berbeda menghasilkan hasil yang beda pula.

2. Ubikayu yang ditanam di Kabupaten Pati memiliki potensi gaplek belah, gaplek chips dan tepung tapioca paling tinggi dibanding dua daerah kajian lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. ?????. Kabupaten Sampang Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang.

Atmojo, S.W. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Balitkabi. 2003. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Ubi-ubian.

Balitkabi Malang.

Balitkabi. 2010. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Ubi-ubian Tahun 2005-2009. Balitkabi Malang.

Hafsah, M.J. 2003. Bisnis ubi kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Nugraha, H.D., Agus Suryanto dan Agung Nugroho. 2015. Kajian Potensi Produktivitas Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.) di Kabupaten Pati . Jurnal Produksi Tanaman, Volume 3, Nomor 8, Desember 2015, hlm.

673 – 682

Howeler, R.H. 1994. Integrated soil and crop management to prevent environment degradation in cassava based cropping systems in Asia.

Proc. of workshop on Upland Agriculture in Asia, April 6-8, Bogor, Indonesia, : 195-224

Howeler, R.H. 2002. Cassava mineral nutrition and fertilization. In. R.J.

Hillocks, J.M. Thresh and A.C.Belloti (ed). Cassava Biology.

Production and Utilization. Pp: 115 – 147. Cabi Publishing, CAB International, Wallingford. Oxon.

Karama, S. 2003. Potensi, tantangan dan kendala ubi kayu dalam mendukung ketahanan pangan, p.1–14. Dalam:

Koes Hartojo et al. (ed.).

Pemberdayaan ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi- ubian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Nasir Saleh, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie. 2012. Peningkatan Produksi dan Kualitas Ubi-ubian.

Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Ubi-ubian (Balitkabi), Malang.

Pantastico, E.B. 1975. Postharvest Physiology Handling and Ultilization of Tropical and Subtropical Fruit and Vegetable.

Edited by ER. B. Pantastico.

Westport, Connecticut. The Avi Publishing, Co., Inc.

Prasetiaswati, Nila., Budhi S. Radjit, Yudi Widodo, dan Nasir Saleh. 2012.

Kelayakan Usahatani Ubikayu Sistem Mukibat di Tingkat Petani:

Studi Kasus di Jawa dan Lampung.

Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal: 671- 680.

Radjit, Budhi S., N. Saleh., dan A. Munip.

2012. Penyediaan Ubikayu Sebagai Bahan Baku Industri Melalui Pengaturan Waktu Tanam dan Umur Panen. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal : 714- 721.

Roja, A. 2009. Ubikayu : Varietas dan Teknologi Budidaya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Padang.

(9)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 7 Saleh, N. , B. Santoso, Y. Widodo, A.

Munip, E.Ginting dan N.

Prasyaswati. 2006. Alternatif teknologi produksi ubikayu mendukung agroindustri. Laporan akhir tahun 2006.

Saleh, N., K. Hartojo and Suyamto. 2000.

Present situation and future potential of cassava in Indonesia. Cassava Potential in Asia in 21 st Century.

Proc. 6th Regional Cassava Workshop. Ho Chi Minh city, Vietnam. p : 47-60.

Syafina, L., Supriana, T., dan Emalisa.

2015. Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Produksi Ubi kayu (Manihot esculanta). Journal on SocialEconomic of Agriculture and Agribusiness. Vol. 4 (1).

Tri, Radiyati dan Agusto, W.M. 1990.

Tepung Tapioka (perbaikan).

Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990 Hal 10-13.

Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto.

2006. Teknologi Produksi Ubikayu Mendukung Industri Bioethanol.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

(10)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 8 Pemanfaatan Periode Bero Setelah Pergiliran Tanaman Kedua ada Lahan Kering dengan

Pemulsaan Jerami terhadap Hasil Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.) R. Fitriyah

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura

ABSTRACT

Madura is an island of mostly dry climates. Dry land occurs due to very low rainfall, so water availability is very limited, high air temperature and low humidity. Crop rotation that is commonly applied in Madura especially Sumenep in the rainy season (November-May) ie corn- peanuts, while in June to October not planted / bero. One effort that can be done in the bero period is by planting crops that may be resistant to remaining moisture or tolerant dry soil conditions such as green bean plants by manipulating the environment through the use of hay mulch. The objective of the study was to study the effect of the utilization of the bero period after the second crop rotation on dry land with the straw mulching on green bean crops. The design used a non factorial randomized block design with 4 treatments of straw mulch which was poured 6 times: T1: dosage 5 ton / ha, T2: dosage 7 ton / ha, T3: dose 10 ton / ha, and T4: 12,5 ton /Ha. The results showed that: (1) The treatment of straw mulch has significant effect on time variable of flower formation. The best treatment was obtained from the use of 10 tons / ha of straw mulch. (2) The treatment of mulch mulch has no significant effect on the number of pod / plant varieties, the number of pods cipo / plant and seed / plant weight, but the tendency of treatment with the highest value on the variables of pod / plant and seed / plant weight Giving of straw mush with a dose of 10 ton / ha.

Key words: bero period, dry land, straw mulch, green beans.

PENDAHULUAN

Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian.

Lahan dibedakan menjadi dua macam, yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan kering di Indonesia yang potensial untuk pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha di antaranya 70,7 juta ha terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha terletak di dataran tinggi. Sebagian besar dari lahan tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah 35,50 juta ha di dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi (Kurnia dan Hidayat, 2001).

Lahan kering terjadi akibat dari curah hujan yang sangat rendah, sehingga ketersediaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi lahan kering tersebut mengakibatkan sulitnya membudidayakan berbagai produk

pertanian. Faktor primer yang diperlukan tanaman untuk tumbuh adalah media tanam, air, cahaya, angin, dan nutrisi tanaman.

Semua faktor yang diperlukan tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik tersebut terhambat oleh kondisi daerah lahan kering yang memiliki iklim dan cuaca ekstrim (Bamualim, 2004).

Madura merupakan sebuah pulau yang sebagian besar luasnya beriklim kering dengan hamparan lahan yang luas dan tidak semua tanaman pertanian dapat dibudidayakan akibat waktu hujan yang tidak menentu dan ketersediaan air tidak terpenuhi dimana diketahui curah hujan dominan berkisar antara 1200 -1400 mm/tahun yaitu 31,15% dari luas wilayah Madura (Zaed et al., 2010). Air merupakan komponen utama tubuh tanaman, bahkan hampir 90% sel sel tanaman dan mikrobia terdiri dari air. Air yang diserap tanaman di samping berfungsi sebagai komponen sel- selnya, juga berfungsi sebagai media reaksi

(11)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 9 pada hampir seluruh proses metabolismenya

yang apabila telah terpakai diuapkan melalui mekanisme transpirasi, yang bersama-sama dengan penguapan dari tanah sekitarnya (evaporasi) disebut evapotranspirasi (Hanafiah, 2012).

Pergiliran tanaman yang lazim di terapkan di Madura khususnya Sumenep pada musim penghujan (Nopember-Mei) yaitu jagung-kacang tanah, sedangkan pada bulan Juni hingga Oktober tidak ditanami/bero. Periode bero terjadi akibat curah hujan rata-rata selama 5 (lima) tahun pada bulan Juni sebesar 87,86 mm, Juli sebesar 36,8 mm, Agustus sebesar 1,02 mm, September sebesar 5 mm dan Oktober sebesar 46,82 mm sehingga petani tidak berani menanam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menanam tanaman yang dimungkinkan tahan terhadap kelembaban sisa atau toleran kondisi tanah yang kering seperti tanaman kacang hijau.

Kacang hijau adalah tanaman kacang

Budidaya tanaman secara berkelanjutan perlu adanya sedikit manipulasi. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut yaitu dengan penggunaan mulsa. Hal ini berguna untuk memperbaiki tata udara tanah dan juga ketersediaan air bagi tanaman (Karyati, 2004). Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit, sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Tujuan penelitian untuk mempelajari pengaruh pemanfaatan periode bero setelah pergiliran tanaman kedua pada lahan kering dengan pemulsaan jerami terhadap hasil tanaman kacang hijau.

METODE

Penelitian dilakukan di desa Lenteng Timur Kabupaten Sumenep yang berada pada ketinggian ± 500 m dpl dengan jenis tanah Litosol, suhu udara rata-rata 26-29°C.

Pergiliran tanaman yang lazim diterapkan di tempat percobaan adalah jagung – kacang- kacangan – bero. Penelitian ini dilakukan setelah tanaman kacang tanah dipanen pada pergiliran tanaman kedua. Alat yang digunakan meliputi: Alat yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi cangkul, tugal, timbangan, penggaris, kertas, alat tulis, plastik dan label, kalkulator, bambu, jaring dan ember. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi benih kacang hijau varietas lokal dari Sumenep, mulsa jerami, pupuk kotoran sapi dan air.

Tahapan penelitian meliputi:

persiapan benih, persiapan lahan, penanaman, pemberian mulsa, penyiangan, pemeliharaan tanaman, penyulaman, pembumbunan dan pemanenan. Rancangan menggunakan rancangan Acak Kelompok non faktorial dengan 4 perlakuan yang diuang 6 kali yaitu: T1: takaran 5 ton/ha, T2:

takaran 7 ton/ha, T3: takaran 10 ton/ha, dan T4: 12,5 ton/ha. Variabel yang diamati meliputi waktu terbentuknya bunga, jumlah polong/tanaman, jumlah polong cipo/tanaman dan bobot biji pertanaman.

Data yang diperoleh diolah menggunakan Analisis of Varians (ANOVA), apabila terdapat pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan dengan uji BJND 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Waktu Terbentuknya Bunga

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap waktu terbentuknya bunga pertama sehingga dilakukan uji lanjut BJND 5%. Rerata waktu terbentuknya bunga pertama setiap perlakuan pemberian mulsa jerami disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Waktu Terbentuk Bunga Kacang Hijau dengan Konsentrasi Pemulsaan Jerami (HST)

Perlakuan Waktu Terbentuknya Bunga

T1 35,50 bc

T2 34,78 b

T3 33,50 a

T4 36.00 c

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada BJND 5%.

HST : hari setelah tanam

(12)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 10 Tabel 1 menunjukkan bahwa waktu

terbentuknya bunga tercepat tanaman kacang hijau akibat pemberian mulsa jerami terjadi pada perlakuan T3 yaitu takaran 10 ton/ha selama 33,50 hst, sedangkan waktu terbentuknya bunga paling lama terjadi pada perlakuan T4 yaaitu selama 36.00 hst.

Jumlah Polong/Tanaman

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mulsa jerami padi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong/tanaman. Rerata jumlah polong/tanaman akibat pemberian mulsa jerami padi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rerata Jumlah Polong/Tanaman Kacang Hijau Akibat Konsentrasi Pemulsaan Jerami.

Perlakuan Jumlah Polong/tanaman

T1 65,67

T2 61,00

T3 70,00

T4 59,72

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah polong/tanaman akibat pemberian mulsa jerami tidak memberikan pengaruh nyata.

Kecenderungan jumlah polong terbanyak terjadi pada perlakuan T3 yaitu 70.00 polong, sedangkan kecenderungan jumlah polong paling sedikit yaitu pada perlakuan T4 yaitu 59,72 polong.

Jumlah Polong Cipo/Tanaman

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mulsa jerami tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong cipo/tanaman. Rerata jumlah polong cipo/tanaman akibat pemberian mulsa jerami disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Rerata Jumlah Polong Cipo/Tanaman Kacang Hijau dengan Konsentrasi Pemulsaan Jerami.

Perlakuan Jumlah Polong Cipo/Tanaman

T1 9,61

T2 10,95

T3 10,55

T4 8,50

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mulsa jerami tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata jumlah polong cipo/tanaman. perlakuan T2

(perlakuan pemberian mulsa jerami dengan dosis 7,5 ton/ha) memiliki kecenderungan rerata tertinggi yaitu 10,95 sedangkan pada perlakuan T4 (perlakuan pemberian mulsa jerami dengan dosis 12,5 ton/ha) memiliki kecenderungan rerata terendah yaitu 8,50.

Bobot Biji/Tanaman

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mulsa jerami berpengaruh tidak nyata terhadap bobot biji/tanaman. Rerata bobot biji/tanaman akibat pemberian mulsa jerami disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata Bobot Biji/Tanaman Kacang Hijau Akibat Konsentrasi Pemulsaan Jerami.

Perlakuan Bobot Biji/tanaman

T1 4,35

T2 4,23

T3 4,95

T4 4,11

Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot biji/tanaman akibat pemberian musa jerami kecenderungan bobot biji/tanaman terberat terjadi pada perlakuan T3 yaitu 4,95 g, sedangkan kecenderungan bobot biji/tanaman teringan terjadi pada perlakuan T2 yaitu 4,23 g.

PEMBAHASAN

Pemberian mulsa jerami padi sebanyak 5 ton/ha sampai 12,5 ton/ha memberikan pengaruh nyata pada waktu terbentuknya bunga. Hal ini disebabkan karena waktu terbentuknya bunga dipengaruhi oleh penyinaran, keadaan lingkungan meliputi kelembaban tanah dan faktor genetik. Selain itu tanaman kacang hijau mempunyai sifat pertumbuhan bunga yang tidak terbatas. Bunga pertama muncul pada hari ke 33 sampai 38 setelah tanam (Trustinah, 1993). Fase pembungaan tanaman merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman untuk memperbanyak diri atau berkembang biak. Pembungaan dapat digunakan untuk menaksirkan masa generatif sehingga polong pada tanaman dapat dipanen sesuai waktu yang diharapkan (Sitompul dan Guritno, 1995). Menurut Fahrudin (2000), umur berbunga kacang hijau dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti suhu, nutrisi, intensitas cahaya dan

(13)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 11 kelembaban yang mempengaruhi respon

kacang hijau yang sesuai untuk pembungaan namun dapangan lama penyinaran biasanya merupakan pengaruh utama dalam induksi pembungaan.

Pada variabel jumlah

polong/tanaman, pemberian dosis mulsa jerami padi 5 sampai 12,5 ton/ha berpengaruh tidak nyata pada jumlah polong/tanaman kacang hijau. Hal ini diduga karena dalam kondisi normal tanaman belum mampu memanfaatkan input energi secara maksimal dan tanggapan tanaman terhadap pengaruh linkungan. Pengaruh perlakuan mulsa pada penelitian ini lebih tertuju pada menghambat proses evaporasi dari permukaan tanah sekitar perakaran.

Fauzan (2002) menyatakan bahwa fungsi mulsa sebagai bahan organik untuk meningkatkan unsur hara tanaman dapat dilihat pada musim berikutnya.

Penggunaan mulsa jerami padi mampu memodifikasi faktor lingkungan, kelembaban, dan kadar air menjadi lebih tinggi sehingga mendorong penyerapan unsur hara oleh tanaman. Sejalan dengan yang dilaporkan Umboh (2002) bahwa penggunaan mulsa jerami padi mengakibatkan penurunan suhu tanah pada siang hari yang mampu menekan evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan kehilangan air dari permukaan tanah. Selain itu, tanah yang tidak diberi mulsa cenderung menurunkan kadar bahan organik tanah, sebaliknya pada tanah yang diberi mulsa kandungan bahan organiknya cenderung meningkat.

Macam perlakuan pemberian mulsa jerami padi dari dosis 5 ton/ha (T1), 7,5 ton/ha (T2), 10 ton/ha (T3), dan 12,5 ton/ha (T4) memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter jumlah polong cipo/tanaman kacang hijau. Hal ini diduga karena tanaman kacang hijau gagal saat membentuk biji akibat terserang oleh hama penggerek polong yang tidak bisa dikendalikan dengan pemberian mulsa jerami padi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil bobot biji per tanaman akibat pemberian mulsa jerami padi 5 ton/ha berbeda tidak nyata dengan 7,5 ton/ha, 10 ton/ha dan 12,5

ton/ha, meskipun demikian perlakuan mulsa jerami dengan dosis 10 ton/ha (T3) kecenderungan bobot biji tertinggi yaitu 4,95 gram. Hal ini diduga karena mulsa jerami padi belum mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang akan mempermudah penyediaan unsur-unsur hara tanaman untuk pembentukan dan perkembangan biji. Bobot kering biji merupakan menifestasi hasil fotosintesis tanaman yang diakumulasikan dalam bentuk bahan kering, sehingga bobot biji kering tanaman dijadikan landasan seberapa besar tanaman melakukan fotosintesis dalam menyerap unsur hara dan mineral-mineral yang dibutuhkan tanaman. Menurut Kumalasari et al, (2005), terjadinya dekomposisi dari bahan mulsa organik sehingga mensuplai unsur hara bagi tanaman dan kondisi lingkungan serta mempermudah mineral dari bahan organik untuk digunakan tanaman. Agung dan Rahayu (2004) menambahkan bahwa ketersediaan air yang cukup pada saat pertumbuhan generatif dapat meningkatkan bobot biji, sebab bobot biji sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang diberikan dalam musim tanam. Pemberian mulsa jerami padi secara signifikan meningkatkan tersedianya fosfor dan kalium dalam tanah (Sosteby et al, 2004). Hasil dekomposisi bahan organik dapat meningkatkan unsur N, P, dan K dimana unsur hara tersebut dapat meningkatkan karbohidrat pada proses fotosintesis, karena unsur N berfungsi untuk membentuk klorofil dan untuk menyerap cahaya matahari sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis, sedangkan unsur K mampu meningkatkan absorbsi CO2 kaitannya dengan membuka dan menutupnya stomata daun yang selanjutnya karbohidrat tersebut ditranslokasi tanaman saat memasuki fase reproduktif dan disimpan dalam biji (Harjadi dan Setyati, 2002). Sehingga meningkatnya serapan hara dapat meningkatkan jumlah bobot biji. Namun pada penelitian ini pemberian mulsa jerami padi belum mampu meningkatkan serapan unsur hara, sehingga jumlah polong juga tidak meningkat yang akibatnya bobot biji betambah.

(14)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 12 SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Perlakuan pemberian mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap variabel waktu terbentuknya bunga. Perlakuan terbaik diperoleh dari penggunaan mulsa jerami sebanyak 10 ton/ha.

2. Perlakuan pemberian mulsa jermai tidak berpengaruh nyata pada variabel jumlah polong/tanaman, jumlah polong cipo/tanaman dan bobot biji/tanaman, namun kecenderungan perlakuan dengan nilai tertinggi pada variabel jumlah polong/tanaman dan bobot biji/tanaman terdapat pada perlakuan T3 yaitu pemberian musa jerami dengan takaran 10 ton/ha.

SARAN

Untuk meningkatkan hasil tanaman kacang hijau disarankan menggunakan mulsa jerami padi yang dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman yang dihasilkan lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, T dan A.Y. Rahayu. 2004. Analisis Efisiensi Serapan N, Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Kultivar Kedelai Unggul Baru dengan Cekaman Kekeringan dan Pemberian Pupuk Hayati. Agrosains. Semarang. Hal 70-74.

Hanafiah, K.A. 2012. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Grafindo Prasada. Jakarta.

Karyati, T. 2004. Pengaruh Penggunaan Mulsa dan Pemupukan Urea Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Cabai Merah (Capsicum annum L.) Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Vol.2 (1): 13-16.

Trustinah, A. Kasno, N. Nugrahaeni. 2007.

Peningkatan Produksi Kacang- kacangan sdan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan.

Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi umbian. Malang.

Fachrudin, L. 2000. Budidaya Kacang- kacangan. Kanisius.Yogyakarta.

Fauzan, A. 2002. Pemanfaatan Mulsa dalam Pertanian Berkelanjutan. Pertanian Organik. Malang. H. 182-187.

Sitompul, SN dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta.

Sonsteby, A., A. Nes and F. Mage. 2004.

Effect of bark mulch and NPK fertilizer on yield, leaf nutrien status and soil mineral nitrogen during three years of strawberry production.

Acta. Agric. Scand. Sect. B, Soil and Plant 54:128 - 134.

Umboh, A.H. 2002. Petunjuk Penggunaan Mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Zaed, Sidqi., Suhartono, dan Khoiruddin.

2010. Pengaruh Interval Pemberian Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glicine Max (L) Merill) pada Berbagai Jenis Tanah.

Jurnal Penelitian Kedelai. Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo Madura. Bangkalan. Embriyo Vol.5 (1).

(15)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 13 Pengaruh Biopestisida Ekstrak Mimba Terhadap Tingkat Serangan Hama

dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill.) J. Reditiya

Prodi Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

ABSTRACT

Soybean is a tropical plant. Madura is an island that mostly dry climate area, the availability of water comes from rain water source. Besides dry Madurese fields, increased soybean production can be considered considering that soybean does not require much water for its growth. Efforts to increase soybean production experienced various constraints mainly biotic constraints that became the limiting factor of production of potential pests that attack and reduce production reached 80%. Control using synthetic pesticides has a negative impact on crops, the environment and humans. The alternative is to use a natural pesticide (biopesticide) from a plant containing a poisonous active substance such as the neem. The purpose of this research is to study the effect of the effectiveness of natural pesticide use (biopestisida) of mimba extract on the level of pest and soybean crop production. The design used was Group Random Design (RAK) 1 factor with 3 replications. Treatment levels include P0: control; P1: 150 ml of mimba seed extract / 1000 ml of water; P2: 350 ml of mimba seed extract / 1000 ml of water; P3: 500 ml of mimba seed extract / 1000 ml of water; P4: 50 ml of mimba leaf extract / 1000 ml of water; P5:

100 ml mimba leaf extract / 1000 ml water and P6: 150 ml mimba leaf extract / 1000 ml of water. The results of the study showed that (1) Biopesticide did not give significant effect on pest attack level, but the lowest level of attack was effective to reduce attack rate by 32.9% compared to control; (2) neoprene extract biopestisida have no significant effect on the components of production variables include: plant biomass weight, weight of 100 seeds, seed / plant weight, number of pods / plants, number of cipo pods / plants.

Key words: biopesticide, mimba, pest attack, soybean.

PENDAHULUAN

Kacang kedelai (Glycine max (L.) Merill.) merupakan tanaman daerah tropis yang menghendaki suasana panas selama hidupnya. Tumbuh di daerah dengan curah hujan rendah dan memanfaatkan sisa kelembaban pada tanah bekas tanaman yang diairi seperti padi. Tanaman ini tumbuh baik dimusim kemarau sementara dimusim penghujan pertumbuhan vegetatif sangat cepat sehingga mudah rebah (Soeprapto, 2001).

Madura merupakan pulau yang sebagian besar luasannya beriklim kering, ketersediaan airnya sebagian besar berasal dari sumber air hujan. Kekurangan atau kelebihan air berpengaruh kurang baik bagi tanaman, sehingga menurunkan kualitas dan produktifitas hasil (Syukur et al., 2015).

Disamping lahan Madura yang kering, peningkatan produksi kacang kedelai dapat dipertimbangkan mengingat tanaman kedelai tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Selain hal itu, pemeliharaan tetap harus dilakukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman seperti penyiangan, pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.

Dalam budidaya yang sangat penting untuk diperhatikan adalah pengendalian organisme pengganggu tanaman khususnya hama karena dapat menurunkan produksi yang signifikan. Pengendalian organisme pengganggu yang menggunakan pestisida utamanya sintetis berhasil menyelamatkan hasil pertanian yang dihancurkan oleh jazad pengganggu, namun menimbulkan dampak negatif terhadap alam, lingkungan dan manusia (Sastruotomo, 1982). Adisomato

(16)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 14 dkk (1997) dan Sudarmo (1992) juga

menambahkan dampak negatif pestisida sintetik diantaranya fitotoksik terhadap tanaman, resistensi hama, dan ledakan hama sekunder serta pengaruh dari organisme non-sasaran. Alternatif yang dapat digunakan guna mengurangi dampak negatif pestisida sintetik adalah penggunaan pestisida alami (biopestisida) dari zat aktif bersifat racun atau mengandung bahan pestisida yang dihasilkan oleh tanaman.

Terdapat sekitar 2.400 jenis tumbuhan yang mengandung bahan pestisida (Kardinan, 2000). Salah satu diantaranya adalah mimba dengan kandungan bahan aktif azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin dan bahan lainnya (Utami, 1999). Azadirachtin berfungsi sebagai reppelent (penolak), zat anti feedant (penolak makan pada hama), racun sistemik, racun kontak, zat anti fertilisasi dan penghambat pertumbuhan. Pengaplikasian zat tersebut adalah dengan mengekstrak dari daun dan biji. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 1980-an oleh ahli biologi sebagai pengendali hama tanaman (Partopuro, 1989;

Sudarmadji, 1994). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh keefektifan penggunaan biopestisida ekstrak mimba terhadap tingkat serangan hama tanaman kedelai untuk memepertahankan produksi tanaman kedelai.

METODE

Penelitian ini dilakukan di lahan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang pada bulan Maret 2016. Alat yang digunakan meliputi: cangkul, alat tugal, jrigen penyimpan biji mimba dan perasan daun mimba yang dambil dari bagian tajuk tengah daun. Bahan yang diguakan meliputi:

benih kacang kedelai varietas gerobogan (Balitkabi Malang), daun dan biji mimba serta pupuk NPK.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) 1 faktor dengan ulangan 3 kali. Perlakuan yang dilakukan diantaranya P0: kontrol; P1: 150 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air; P2: 350 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air; P3: 500

ml ekstrak biji mimba/1000 ml air; P4: 50 ml ektrak daun mimba/1000 ml air; P5: 100 ml ekstrak daun mimba/1000 ml air dan P6:

150 ml ekstrak daun mimba/1000 ml air.

Tahapan yang dilakukan meliputi persiapan benih, persiapan lahan dan pembuatan bedengan sebanyak 21 bedengan dengan pxlxt (2mx1,5mx0,3) dan jarak antar bedengan adalah 30 cm, penanaman benih dengan ditugal kedalaman 3-4 cm dan jarak tanam 40cmx15cm menggunakan 2 biji perlubang tanam, pemeliharaan meliputi:

penyiraman, pemupukan, pengendalian hama dan pemanenan.

Variabel yang diamati meliput tingkat serangan hama, bobot 100 biji, bobot biji pertanaman, bobot biomassa total, jumlah polong isi/tanaman dan jumlah polong cipo/tanaman. Data dianalisis ragam, apabila terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT 5% untuk mengetahui beda rerata perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

1. Tingkat Serangan Hama

Hasil analisis ragam perlakuan pemberian biopestisida ekstrak mimba berpengaruh tidak nyata terhadap variabel tingkat serangan hama pada tanaman kedelai.

Rerata tingkat serangan hama disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Tingkat Serangan Hama Akibat Pemberian Biopestisida Ekstrak Mimba pada Tanaman Kedelai (%).

Perlakuan Tingkat Serangan Hama (%)

P0 12,34

P1 9,22

P2 10,33

P3 9,71

P4 9,18

P5 8,29

P6 11,55

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa tingkat serangan hama terendah pada perlakuan P5 yaitu pemberian ekstrak daun mimba 100 ml/1000 ml sebesar 8,29%, sedangkan tingkat serangan tertinggi terdapat pada perlakuan P0 (kontrol) sebesar 12,34%.

(17)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 15 2. Bobot Biomassa Tanaman

Tabel 2. Rerata Bobot Biomassa (g) Akibat Pemberian Biopestisida Ekstrak Mimba pada Tanaman Kedelai.

Perlakuan Bobot Biomassa

P0 13, 77

P1 15,87

P2 16,45

P3 14,81

P4 15,35

P5 19,17

P6 18,78

Hasil analisis ragam perlakuan pemberian biopestisida ekstrak mimba menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel biomassa tanaman kedelai (Tabel 2). Varibel bobot biomassa terringan akibat pemberian biopestisida ekstrak mimba terjadi pada perlakuan P0 (kontrol) yaitu seberat 13,77 g, sedangkan bobot biomassa tanaman terberat terjadi pada perlakuan P5 yaitu pemberian 100 ml ekstrak daun mimba/1000 ml air seberat 19,17 g.

3. Bobot 100 Biji, Bobot Biji/Tanaman, Jumlah Polong Isi/Tanaman dan Jumlah Polong Cipo/Tanaman

Hasil analisis ragam pemberian biopestisida ekstrak mimba menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap variabel pengamatan bobot 100 biji, bobot biji/tanaman, jumlah polong isi/tanaman dan jumlah polong cipo/tanaman. Rerata bobot 100 biji, bobot biji/tanaman, jumlah polong isi dan jumlah polong cipo/tanaman akibat pemberian biopestisida ekstrak mimba pada tanaman kedelai disajikan dalam Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa bobot 100 biji perlakuan permberian biopestisida ekstrak mimba pada tanaman kedelai terringan terjadi perlakuan P4 (50 ml ektrak daun mimba/1000 ml air) yaitu 29,18 g, sedangkan bobot 100 biji terberat terjadi pada perlakuan P2 (350 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air) yaitu 43,02 g. Pada variabel bobot biji/tanaman, bobot terringan terjadi pada perlakuan P3 (500 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air) yaitu 24,60 g dan terberat pada perlakuan P1 (kontrol) yaitu 31,10 g.

Tabel 3. Rerata Bobot 100 Biji (g), Bobot biji/tanaman (g), Jumlah Polong Isi (buah) dan Jumlah Polong Cipo/tanaman Akibat Pemberian Biopestisida Ekstrak Mimba pada Tanaman Kedelai.

Perlakuan Bobot

100 biji

Bobot Biji/

tanaman

Jumlah Polong isi

/tanaman

Jumlah Polong Cipo/

tanaman

P0 32,50 29,19 46,50 3,44 P1 29,98 31,10 52,50 3,39 P2 43,02 26,73 44,95 4,22 P3 30,06 24,60 43,39 3,56 P4 29,18 27,19 41,45 2,44 P5 31,84 30,89 47,56 3,39 P6 36,66 29,37 47,84 3,11 Jumlah polong isi/tanaman terkecil terjadi pada perlakuan P4 yaitu 50 ml ektrak daun mimba/1000 ml air sebanyak 41,45 buah dan terbesar pada perlakuan P2 yaitu 350 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air sebanyak 52,50 buah. Jumlah polong cipo/tanaman terkecil pada perlakuan P4 yaitu 50 ml ektrak daun mimba/1000 ml air sebanyak 2,44 buah dan jumlah polong cipo/tanaman terbanyak yaitu perlakuan P2 yaitu 350 ml ekstrak biji mimba/1000 ml air sebanyak 4,22 buah.

PEMBAHASAN

Usaha peningkatan produksi kedelai sering kali mengalami berbagai kendala utamanya kendala biotik yang menjadi faktor pembatas dalam produksi. Faktor pembatas produktifitas kedelai di daerah tropik yaitu banyaknya jenis hama potensial yang dapat menyerang dan menurunkan produksi kedelai yang dapat mencapai 80 %, bahkan gagal panen apabila tidak ada pengendalian terhadap hama.

Di Indonesia telah diidentifikasi ada 100 lebih jenis hama potensial, 16 diantaranya termasuk hama utama yang dapat menyerang tanaman mulai dari tumbuh sampai saat menghasilkan polong (Adisarwanto, 2005). Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka menekan populasi hama diantaranya : secara kultur teknis, mekanis, biologis, maupun dengan penggunaan insektisida. Pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik

(18)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 16 merupakan cara yang paling mudah dan

hasilnya nampak jelas dalam waktu yang singkat, namun beberapa dekade ini harga insektisida meningkat tajam. Selain itu dampak negatif pemakaian insektisida sintetik dapat membunuh musuh alami hama dan organisme bukan sasaran lainnya, timbulnya hama sekunder, resistensi, resurjensi, masalah residu dan pencemaran lingkungan (Untung, 1993).

Tingkat Serangan Hama

Pengaplikasian biopestisida ekstrak mimba pada tanaman kedelai berpengaruh tidak nyata pada rerata variabel tingkat serangan hama, hal ini dikarenakan populasi hama yang ada atau yang menyerang tanaman hanya sedikit sehingga non perlakuan atau kontrol dan tanaman perlakuan selain kontrol tidak jauh berbeda persentase tingkat serangannya. Tinggi rendahnya tingkat efikasi daun mimba sangat dipengaruhi oleh besar dan kecilnya konsentrasi yang digunakan dan besarnya konsentrasi berbanding lurus dengan tingginya persentase mortalitas dimana semakin besar konsentrasi maka semakin tinggi persentase mortalitasnya (Matnawy, 2007).

Perlakuan P5 (100 ml ekstrak daun mimba/1000 ml air) sebagai tingkat serangan terendah yaitu 8,29%, efektif menekan serangan hama sebesar 32,9%

dibandingkan dengan perlakuan kontrol sebagai tingkat serangan tertinggi yaitu 12,34%. Sejalan dengan hasil penelitian Wowiling (2008) yang menyatakan bahwa, biopestisida ekstrak mimba sangat efektif terhadap hama karena beberapa senyawa yang dikandungnya dapat mempengaruhi kehidupan serangga. Ektraksi mimba mempengaruhi serangga melalui berbagai macam cara, antara lain menghambat stadium larva, mengganggu kopulasi dan komunikasi seksual serangga, mencegah betina untuk meletakkan telur, menghambat reproduksi atau menyebabkan serangga mandul, meracuni larva dan dewasa, dan mengurangi napsu makan atau memblokir kemampuan makan.

Bobot Biomassa Tanaman

Berdasarkan hasil sidik ragam terhadap variabel pengamatan bobot biomassa total (g) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian biopestisida ekstrak mimba sebagai pestisida alami pada tanaman kedelai memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena populasi hama yang ada atau yang menyerang tanaman tidak banyak, sehingga rata-rata bobot biomassa pada tanaman kontrol dan tanaman yang diberi perlakuan tidak jauh berbeda atau hampir sama persentase bobotnya.

Tingginya intensitas serangan disebabkan oleh pengaruh padatnya populasi serangga yang lebih tinggi, Wowiling (2008) menyatakan bahwa intensitas serangan juga dipengaruhi oleh sumber makanan. pada prinsipnya intensitas serangan dipengaruhi oleh padat populasi dan kebutuhan makanan serangga, sehingga inetensitas serangan cenderung berbanding lurus dengan jumlah populasi, dimana dalam kondisi pada padat populasi tinggi maka intensitas serangan juga tinggi.

Bobot 100 Biji, Bobot Biji/Tanaman, Jumlah Polong Isi/Tanaman dan Jumlah Polong Cipo/Tanaman.

Tinggi rendahnya tingkat efikasi daun mimba yang diuji sangat dipengaruhi oleh besar dan kecilnya konsentrasi yang digunakan dan besarnya konsentrasi berbanding lurus dengan tingginya persentase mortalitas, yaitu semakin besar konsentrasi maka semakin tinggi juga persentase mortalitasnya. Pemberian biopestisida ekstrak mimba menunjukkan tidak berpengaruh nyata pada Tabel 3. Hal ini diduga penambahan ekstrak daun mimba belum mampu diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman yang diberi perlakuan, sehingga bobot 100 biji tidak berbeda nyata.

Aplikasi biopestisida ekstrak mimba pada tanaman kedelai memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata, hal ini diduga jumlah populasi hama yang ada atau yang menyerang tanaman sedikit sehingga, rata- rata bobot biji per tanaman pada tanaman kontrol dan tanaman yang diberi perlakuan tidak jauh berbeda bobotnya.

(19)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 17 Berdasarkan hasil analisis sidik

ragam jumlah polong berisi dan polong cipo/tanaman tidak dipengaruhi oleh dosis biopestisida ekstrak mimba pada tanaman kedelai varietas gerobogan. Perlakuan pengaplikasian biopestisida ekstrak mimba sebagai pestisida alami pada tanaman kedelai memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada variabel jumlah polong isi/tanaman dan polong cipo/tanaman. Hal ini di duga karena jumlah atau populasi hama yang ada sedikit sehingga rata-rata tingkat serangan hama pada tanaman kontrol dan tanaman yang diberi perlakuan tidak jauh berbeda. Perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dikarenakan biopestisida ini bersifat sistemik yang cara kerjanya tidak membunuh hama secara langsung, tetapi racun pada pestisida akan menempel pada tanaman, kemudian racun akan terserap kedalam jaringan tanaman melalui daun dan akar sehingga racun pada pestisida akan bereaksi jika hama memakan bagian dari tanaman.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian pengaruh pemberian biopestisida ekstrak mimba terhadap tingkat serangan hama dan produksi tanaman kedelai dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemberian biopestisida ekstrak mimba tidak memberikan pengaruh nyata pada variabel tingkat serangan hama, namun perlakuan tingkat serang terendah efektif menekan tingkat serangan 32,9%

dibandingkan dengan kontrol.

2. pemberian biopestisida ekstrak mimba tidak berpengaruh nyata terhadap komponen variabel produksi meliputi:

bobot biomassa tanaman, bobot 100 biji, bobot biji/tanaman, jumlah polong isi/tanaman, jumlah polong cipo/tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2005. Kedelai Penebar Swadaya, Jakarta.

Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Matnawy Hudi. 2007. Perlindungan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.

Partopuro, F.P. 1989. Ekstraksi daun Nimba.

Pusat Antar Universitas Ilmu hayati.

Institut Teknologi Bandung.

Bandung.

Soeprapto, H.S. 1991. Bertanam Kedelai, Cetakan Ke-6. PT. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sudarmo S. 2005. Pestisida Nabati.

Pembuatan dan Pemanfaatannya.

Penerbit Kansius.

Sudarmadji, D. 1994. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan nimba sebagai insektisida nabati. Hlm. 222-229.

Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. D Soetopo (editor). Bogor Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti.

2015. Teknik Pemuliaan Tanaman.

Departemen Agronomi dan Holtikultura, Fakultas Pertanian, ITB. 300 Hal.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yokyakarta.

Wowiling, J. 2003. Pestisida Nabati Mimba (Azadirachta indica A. Juss) dalam Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).

Sulawesi Utara.

(20)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 18 Produksi Bunga Kamilen (Matricaria Chamomilla L dari Beberapa Umur Panen

Heru Sudrajad, Teguh, Nita Supriyati

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

ABSTRACT

Kamilen plant (Matricaria chamomilla L) that grows in Indonesia is a plant introduced from subtropical areas that grow only in a mountainous area at an altitude of more than 1.000 m asl.

Kamilen plants used are part of the flower. Harvesting the plant kamilen do different and unknown optimal harvesting. Harvest kamilen interest can not be done simultaneously but gradually. Flowers kamilen ready harvest is already unfolded but no one petal has fallen. The aim of research to determine the length of the harvest period and the average yield of interest kamilen (Matricaria chamomilla L) in a single growing season. Research has done in garden Research and Development of Medicinal Plants and Traditional Medicine in December 2014 through April 2015 using an 8 stage of harvesting 32 dap, 39 dap, 46 dap, 53 dap, 60 dap, 67 dap and 74 dap. Results showed interest kamilen harvest at the stage of harvesting 7 dap obtained the highest results with average yields 8.00 kg/100 m2 and the total harvest of flowers kamilen 35.57 kg/100 m2. From the results of this research is that the period of crop kamilen 32 to 74 days after planting for 7 times harvest during the rainy season in one growing season Key words: Kamilen, Matricaria chamomilla L, introduction, flowers, harvesting.

PENDAHULUAN

Tanaman kamilen (Matricaria chamomilla L) di Indonesia merupakan tanaman introduksi dari daerah subtropis yang tumbuh hanya di daerah pegunungan, pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl.

Sinonim dari Matricaria chamomilla L adalah Matricaria recucita L atau M.

suaviolens L. dengan nama daerah teh kembang (Jawa/Sunda) (WHO, 1999 dan Heyne, 1987).

Chamomile atau nama umumnya kamomil, atau chamomile, adalah tanaman yang memiliki nama ilmiah Matricaria kamomil L., Anthemis nobilis atau Chamaemelum nobile (L.), dari keluarga tanaman Compositae (Asteraceae), telah lama diyakini berkhasiat untuk mengatasi gangguan masalah tidur, insomnia, pencernaan, kecemasan, dan lain-lain.

Kamomil berasal dari Tanaman yang ditemukan di Eropa, Afrika Utara, dan Asia utara . (Anonim,2014)

Tanaman kamilen yang digunakan adalah bagian bunganya yang mengandung minyak atsiri 0,4 -1,5% yang berwarna biru

dengan kandungan utama kamazulen 1-15%.

Senyawa utama lainnya adalah a-bisabolol dan senyawa seskuiterpen lainnya yang mencapai lebih dari 50% dari total minyak atsiri. Kandungan apigenin dan flavonoid glikosida lebih dari 8% dari berat kering (Kementerian Kesehatan, 2011)

Kamilen termasuk salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional yang secara empirik bermanfaat sebagai tonikum, obat kejang, kosmetik, penenang dan keputihan.

Berdasarkan efek farmakologi pada berbagai studi in vivo kamilen menunjukkan efek anti inflamasi dan ekstrak bunga kamilen dapat menyebabkan susunan jaringan endometrial lebih baik. Selain itu untuk obat penghilang bau badan, bakteriostatik, antimikrobia, carminatif, obat penenang dan pencegah infeksi (Zanganeh, et al., 2010 dan Shahram S., O. Alizadeh, 2011).

Penggunaan simplisia bunga kamilen sebagai obat tradisional yang semakin meningkat, maka perlu suatu usaha untuk untuk menjamin kontinuitas suplai bahan baku jamu dan menjaga keberadaan bahan tersebut dialam dengan upaya

(21)

INISIASI Volume 6 Edisi 1 Juni 2017 19 melestarikannya dengan melakukan

langkah-langkah budidaya yang tepat (Sri Sugati, S. dan J. R., Hutapea, 1991)

Penelitian tentang budidaya tanaman kamilen (Matricaria chamomilla L) belum banyak dilakukan sehingga perlu langkah budidaya untuk memperoleh bahan baku dengan kualitas baik, homogen, berkesinambungan dan terjamin ketersediaannya (Kusumodewi, Y., 2000).

Kamilen merupakan tanaman subtropis sehingga untuk menghasilkan mutu yang tinggi, teknik budidaya kamilen di daerah tropis harus disesuaikan dengan kondisi daerah asalnya. Perbanyakan tanaman kamilen dapat dilakukan dengan benih atau biji (Kementerian Kesehatan, 2011)

Panen pada tanaman kamilen tidak dapat dilakukan secara serempak. Belum ditemukan masa panen sampai berapa lama dan belum jelas sampai berapa kali panen tanaman kamilen dalam satu kali masa tanam. Waktu muncul bunga pertama kali pada tanaman kamilen tidak secara bersamaan sehingga bunga yang muncuk pertama akan mengalami mekar sempurna lebih dahulu, sehingga akan berdampak pada waktu panennya. Belum diketahui sampai berapa lama yang masih ekonomis dan kualitasnya masih baik. Umumnya pemanenan dilakukan secara bertahap dan dapat dimulai begitu tanaman menghasilkan bunga yaitu sekitar umur 2-3 bulan di lahan.

Proses panen yang baik dilakukan dengan cara memotong tangkai bunga secara hati- hati. Tanda-tanda bunga yang siap panen adalah sudah mengembang sempurna namun kelopaknya belum ada yang gugur. Dari hal tersebut diatas maka dilakukan penelitian hasil panen tanaman kamilen (Matricaria chamomilla L) dari beberapa umur panen.

METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2014 sampai Maret 2015 (musim penghujan) di kebun penelitian Tlogodlingo Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu pada ketinggian 1700 m dpl.

Bahan yang digunakan adalah biji kamilen (Matricaria chamomilla L). Biji yang sudah

tua diambil dari hasil panen tanaman induk yang sehat. Kemudian dikeringkan 3-5 hari dan disemaikan dalam bak plastik sampai umur 1 bulan didalam rumah kaca, selanjutnya bibit dipindahkan kedalam polibag sampai umur 1 bulan untuk siap ditanam dilahan.

Bibit ditanam pada petak dengan luas 100 m 2 diulang tiga kali yang dibuat gulutan dengan ukuran lebar 100 cm dan tinggi 25 cm kemudian di pasang atau ditutup dengan mulsa plastik. Selanjutnya dilubangi untuk penanaman bibit kamilen dengan jarak tanam 25 x 30 cm dan diberi pupuk organik 40 g/lubang.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan interval umur panen yaitu di panen pada umur 32 hst, 39 hst, 46 hst, 53 hst, 60 hst, 67 hst dan 74 hst dengan cara memotong tangkai bunga secara hati-hati. Tiap-tiap periode panen bunga ditimbang berat basah dan jumlah total akhir panen. Parameter pengamatan adalah berat basah bunga kamilen pada tiap interval umur panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perlakuan interval waktu panen terhadap hasil panen bunga kamilen (Matricaria chamomilla L) dilihat pada tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval umur panen sangat berpengaruh terhadap hasil panen bunga kamilen.

Tabel 1. Pengaruh interval waktu panen terhadap hasil panen bunga kamilen (Matricaria chamomilla L) (kg bunga segar)

Perlakuan Rata-rata panen Panen 32 hst 6,00 c Panen 39 hst 4,00 b Panen 46 hst 3,40 a Panen 53 hst 3,27 a Panen 60 hst 3,07 a Panen 67 hst 7,83 d Panen 74 hst 8,00 d

Total 35, 57

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

hst = hari setelah tanam.

Gambar

Gambar 1. Ubi kayu lepas kulit dari tiga daerah kajian  Gaplek chips, Tapioka dan Ampas
Gambar  3.    Bunga  kamilen  siap  panen  dan  bunga  kamilen  belum  siap  panen
Tabel 3. Hasil Uji repelensi Lilin Aromaterapi dari Kulit Rambutan (Nephelium lappaceum L)
Gambar 1. Aktifitas pabrik kayu lapis, di Manjung Wonogiri dan Limbah serbuk dan kayu  Kombinasi  arang  kayu  dengan  serbuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Realitanya, banyak produk grafika, misalkan kemasan dan buku yang sudah dikemas secara baik dan menarik masih saja kalah dalam persaingan dipasar, bisa saja

Upaya Pemerintah dalam peningkatan sektor pertanian di harapkan dapat pula meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat pedesaan yang sebagian besar mata pencaharian

Pola pengasuhan anak tidak mempengaruhi kenaikan status gizi balita, hal ini sesuai dengan penelitian oleh Supardi Ardiansyah, 2012 di Kabupaten Kepulauan Selayar bahwa

Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial yang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari

Presiden $oeharto digam'arkan se'agai seorang *emim*in yang otoriter, yang menera*kan gaya ke*emim*inan coercive, yang selalu menginginkan agar *erintah dan

tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir

mahasiswa peserta ujian mata kuliah tersebut. 5) Untuk mata kuliah yang diberikan oleh satu tim tenaga pengajar, nilai prestasinya ditentukan bersama oleh seluruh

Kebijakan; (3) Metode Elektik, metode Elektik lebih memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mendesain sendiri program homeschooling yang sesuai; (4) Metode Montessori,