• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap orang yang melangsungkan sebuah perkawinan mempunyai tujuan yakni berupa kebahagiaan lahir maupun batin. Tujuan dari setiap lembaga perkawinan dimuat dalam angka 4 huruf a Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

”Manusia berasal dari sebuah keluarga, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh seorang manusia. Oleh karena itulah, manusia secara umum banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan keluarga.1

Bagi setiap orang sudah melakukan perkawinan pastinya akan saling menjaga satu sama lain dan membangun komitmen bersama. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Namun disisi lain dalam suatu perkawinan tak juga luput dari suatu masalah seperti masalah ekonomi, pekerjaan, dan penyatuan dua sifat yang sebelumnya saling belum diketahui. Pada

1 Didik M Arif Mansyur, Urgensi perlindungan korban kejahatan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, h. 134.

(2)

2

digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan.3 Namun berbeda dengan pengertian perkawinan menurut Sajuti Thalib, menurutnya perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-

mengasihi, tentram dan bahagia.4

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut ketentuan Pasal 80 KUHPerdata, sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pejabat hakekatnya Perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.2

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang

Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUHPerdata disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di hadapan Kantor Catatan Sipil.

Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama dan tidak dilakukan di hadapan Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi

2 Boedi Abdullah,M.Ag.perkawinan dan perceraian keluarga ,bandung:pustaka setia , cetakan 1, 2013 h,20

3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. h. 6

4 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, h. 2

(3)

3

hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata.

Dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa: “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Di dalam pasal 28B ayat 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan yang sah adalah perkawinan sesuai hukum agama dan negara. Bila dalam agama (Islam), perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah disetujui oleh mempelai pria dan wanita beserta keluarganya, ada saksi, ada wali, penghulu. Sedangkan bila ditinjau dari segi hukum negara, perkawinan telah sah jika telah sesuai dengan aturan agama ditambah telah dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

Perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan harus dicatat oleh petugas pencatat dengan maksud agar terjadi tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Terciptanya tertib administrasi kependudukan berarti menghindarkan kekacauan administrasi yang berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.5

Sedangkan Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak tercatat, artinya secara material telah memenuhi ketentuan syari'at dan dianggap

5 Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, h. 110-112.

(4)

4

sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di hadapan Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah. Perkawinan ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.6

Ketidak sadaran untuk saling mengerti dan bijak dalam menangani suatu masalah dapat mengakibatkan masalah dan konflik bagi perkawinan yang sedang di bina. Ketidak sadaran dan pengertian juga dapat menjadikan masalah semakin meruncing dan tidak kunjung mereda. Kondisi yang demikian menimbulkan sifat dasar dari manusia untuk menang sendiri dan emosi yang tidak terkendali yang akhirnya mengakibatkan terjadinya bentrok fisik dan salah satu pihak menjadi korban yang akhirnya menjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 ayat (1) undang- undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakuka perbuatan,

6 Chatib Rasyid. Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina (Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012).

(5)

5

pemasaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah persoalan yang domestik (privat) yang tidak diketahui oleh orang lain. KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Pada kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga mengandung norma hukum pidana, akan tetapi terdapat beberapa perkembangan dari delik yang sudah ada. Perkembangan tersebut merupakan akibat dari dampak a danya sebuah kebutuhan.

Apabila dikaji, sebenarnanya kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, karena yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terlalu umum, maka perlu adanya Undang-Undang yang lebih spesifik dalam mengatur kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan, menurut kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S.

Poerwadarminta, berarti sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Dalam bahasa Inggris, yang lebih lazim dipakai orang Indonesia, disebut violence. Istilah violence berasal dari dua kata bahasa latin: vis yang berarti daya atau kekuatan, dan latus (bentuk perfektum dari kata kerja ferre) yang berarti (telah) membawa. Maka secara harfiah, violence berarti membawa kekuatan, daya, dan paksaan.7

7 Benyamin Y. Bria, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Bagaimana Menyikapinya, Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2003, h.105.

(6)

6

Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Makadari itu setiap orang yang menjadi korban KDRT memiliki perlindungan hukum. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan perlindungan hukum adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara dengan aturan yang dipertahankan oleh negara atau penguasa dengan maksud agar tercapai ketertiban hidup bersama dan segala kepentingan berkaitan dengan itu.8

Menurut Arief Gosita tentang masalah korban kejahatan (victim right) yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain, yang mencari pemenuhan diri senidiri atau orang lain, yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.9

Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap

8 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, h.23.

9 Siswanto Sunarso, Victimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2012, h.31.

(7)

7

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran dalam lingkup rumah tangga. Dari pengertian diatas timbul suatu permasalahan apabila terjadi suatu kekerasan dalam lingkup rumah tangga namun pernikahannya tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau pernikahan siri.

Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra bagi para ahli hukum dalam menyikapi hal tersebut. Karena yang dimaksud dengan Lingkup rumah tangga terdapat suatu ketidak jelasan tentang siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Maka dengan demikian dapat dilihat dalam Putusan Nomor 94/Pid.Sus/2019/PN. Slt yang Terdakwanya ialah ACOK ARIFIN bin TAHAK dan juga korban Yeni Susilawati binti Sumarno. Yang tuduhan dan buktinya adalah Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana ”kekerasan dalam rumah tangga” yang melanggar pasal 44 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana dalam surat dakwaan Kesatu, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam ) bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap di tahan, membebani terdakwa dengan biaya perkara sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).

Bukti yang diberikan adalah berupa luka benjol disebelah kanan, dan merasakan sakit dibagian punggung yang mengakibatkan aktifitas korban menjadi terganggu karena pusing, hal ini sebagaimana Visum et Repertum (VeR) No.

(8)

8

370/1686/2019 Tanggal 09 Mei 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.

Aditya Ginanjar Wicaksono selaku dokter pada UPTD Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga.

Dengan demikian terdakwa telah di dakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif yaitu yang pertama melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau yang kedua melanggar pasal 44 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau ketiga melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP.

Dengan 3 alternatif tersebut, hakim memberikan putusan menggunakan alternatif ketiga karena Perkawinan terdakwa dengan korban hanya secara siri pada tahun 2005 dan sampai sekarang perkawinan tersebut belum di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) karena terkendala biaya artinya perkawinan antara terdakwa dengan saksi korban Yeni Susilawati tersebut hanya dilangsungkan di hadapan pemuka agama islam dan tidak pernah di daftarkan di kantor KUA, terlampirkan surat perkawinan syiri / Agama.

Berdasarkan Putusan tersebut Pasal 2 UU KDRT menjelaskan Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:

a. Suami, istri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,

(9)

9

persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;

dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Dengan adanya putusan tersebut Secara spesifik, Pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengungkapkan bahwa pihak kepolisian harus memberikan perlindungan terhadap korban berupa:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan pelayanan bimbingan rohani.

Dalam putusan tersebut perlindungan terhadap korban belum sesuai karena menurut pasal 2 angka 1 huruf (b) dan (c) UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa likup rumah tangga yang dimaksud adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja

(10)

10

membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dan juga pasal 2 angka 2 yang menjelaskan bahwa Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud yang dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Dalam UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak menjelaskan secara spesifik perkawinan yang maksud adalah perkawinan yang sah atau tidak. Penulis juga akan menjelaskan mengenai apa saja yang dimaksud dengan perkawinan yang di anggap sah dan bagaimana perkawinan yang di anggap tidak sah.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, namun ada yang masih skeptis terhadap eksistensi terhadap asas kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut.10

Tujuan penulis adalah untuk terciptanya perlindungan hukum bagi korban KDRT dan juga menguraikan bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan juga menguraikan mengenai perkawinan sah dan yang di anggap tidak sah.

10 H. R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 1998, h.93.

(11)

11 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yaitu bagaimana pertimbangan hakim atas kasus kekerasan dalam rumah tangga pada perkawinan siri dalam putusan Nomor 94 /Pid.Sus/2019/PN Slt?

C. Tujuan Penelitian

1. Menggambarkan pertimbangan hakim dan putusannya

2. Mengetahui dan menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dikaitkan dalam Putusan Nomor 94 /Pid.Sus/2019/PN Slt

3.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan ini adalah:

1. Manfaat teoritis, diharapkan penulisan hukum ini dapat memberikan masukan secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum terutama pada kasus kekerasan dalam rumah tangga dan juga uraian yang dimaksud dengan perkawinan yang sah dan tidak. Selain itu manfaat yang dapat diberikan untuk mengetahui bagaimana upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga

(12)

12

berdasarkan Undang - Undang Nomor. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

2. Manfaat praktis, memberikan masukan dan pengetahuan kepada para mahasiswa fakultas hukum, para praktisi hukum, penyelenggara pendidikan swasta khususnya dan yang terpenting bagi masyarakat pada umumnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga dan juga memberi wawasan kepada masyarakat mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tanga terhadap korban mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunaka oleh penulis adalah penelitian hukum normative atau juga yang disebut doctrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doctrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan.11

2. Pendekatan Penelitian

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. h.35

(13)

13

Yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan undang-undang (statue approach).

a. Pendekatan kasus (case approach) adalah suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum, dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.12 Dalam pendekatan kasus ini juga dapat dilihat dari berbagai alasan- alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk samapai kepada putusannya.

b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.13

F. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer adalah terdiri dari perundang-undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

12 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 47.

13 Ibid.hal 24

(14)

14

undangan dan putusan hakim14 yang berkaitan dengan kasus ini.

Berikut adalah bahan hukum primer yang digunakan:

1. Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

2. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

4. Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

5. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 6. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 7. Putusan Nomor: 94/PID.SUS/2019/PN SLT

8. KHI (Kompilasi Hukum Islam)

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua publikasi mengenai hukum yang berupa bukan dokumen resmi, seperti publikasi hukum seperti buku- buku, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan kamus-kamus hukum15 yang terkait dengan putusan pengadilan ini.

14 Ibid., h. 181.

15 Ibid., h. 181.

(15)

15 G. Unit Analisa

Menganalisa kesesuaian pertimbangan hakim terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dikaitkan dalam Putusan Nomor 94 /Pid.Sus/2019/PN Slt.

Referensi

Dokumen terkait

 Pengaruh perkembangan IPA dan teknologi pada pembangunan di segala bidang kehidupan telah memperlebar kesenjangan antara negara maju (kelompok utara) dengan negara

 enaga enaga kerja kerja adalah adalah seluruh seluruh jumlah jumlah penduduk penduduk "ang "ang dianggap dianggap dapat dapat $ekerja dan sanggup $ekerja

The first questionnaire contained some topics based on topic books and some techniques used by the teachers to teach those topics to the young learners.. The

Dengan demikian maka menjaga kebersihan pesantren merupakan hal yang sangat penting dan sebagai upaya hidup sehat sekaligus penanaman karakter peduli terhadap lingkungan

Bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh responden SMA adalah pelecehan seksual berupa kata-kata tidak senonoh, sedangkan bentuk kekerasan seksual pada

Penelitian ini mempunyai dua tujuan. 1) Mendeskripsikan jenis kata majemuk yang terdapat pada teks berita karya siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 4 Surakarta. 2) Mendeskripsikan

Pengaruh perubahan bunyi fonem konsonan /k/, /t/,/b/ dan /p/ kepada bunyi hentian glotis /ʔ/ pada posisi akhir kata juga merupakan aspek yang banyak digunakan oleh guru-guru

“Nikah Sirri dalam Perbincangan Media Massa” menjelaskan bahwa persoalan nikah sirri menjadi suatu yang sangat menarik dan berkembang di era modern ini. Nikah sirri