• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA COPING STRESS REMAJA KORBAN CYBERBULLYING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DINAMIKA COPING STRESS REMAJA KORBAN CYBERBULLYING"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA COPING STRESS REMAJA KORBAN CYBERBULLYING

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Leonardus Metrananda Yudistira Kriswijaya 149114031

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

Tertawakan kekurangan diri sendiri terlebih dahulu, sebelum menertawakan kekurangan orang lain.

Aminkan segala sesuatu yang terjadi, sebab akan membuatmu mengerti maksud semuanya.

Sedikit lebih beda, lebih baik. Daripada sedikit lebih baik -Pandji Pragiwaksono-

(5)

v HALAMAN PERSEMBAHAN

Tuhan Yesus yang selalu memberikan jalan serta pencerahan ketika mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsi

Teruntuk teman-teman yang masih menjadi korban bully baik secara langsung maupun tidak langsung, pahamilah hal tersebut. Dengan suatu candaan bisa menjatuhkan mental seseorang. Jika teman-teman mengalaminya, speak up untuk

lebih berani membela apa yang menurut mu benar. Tidak ada salahnya membela apa yang teman-teman miliki.

Teruntuk ketiga korban cyberbullying, terimakasih telah ikut terlibat dalam penelitian dan secara rela berbagi cerita dalam pengalaman mengalami bullying.

Kalian hebat, bisa menahan omongan “sampah” dari orang yang belum kenal maupun sudah kenal.

(6)
(7)

vii DINAMIKA COPING STRESS REMAJA KORBAN

CYBERBULLYING

Leonardus Metrananda Yudistira Kriswijaya

ABSTRAK

Cyberbullying di media sosial banyak melibatkan remaja sebagai korban. Korban cyberbullying yang mengalami stres menarik untuk diteliti. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk melihat dinamika jenis coping stress yang digunakan oleh korban cyberbullying. Jenis penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif, khususnya analisis deduktif. Penelitian dilakukan terhadap tiga remaja korban cyberbullying pada waktu belajar di di SMP dan SMA. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika coping stress yang berbeda dari tiap partisipan. Variasi ini tidak lepas dari stres yang dirasakan dan situasi yang dihadapi saat mengalami stres. Ada yang semula coping stress berfokus pada emosi kemudian berubah menjadi coping stress berfokus pada masalah, atau sebaliknya.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu korban cyberbullying melakukan coping secara dinamis seperti seeking of instrumental social support, turning to religion, positive reinterpretation, dan supression of competing activities.

Kata kunci : cyberbullying, coping stress

(8)

viii COPING STRESS DYNAMIC ON TEENAGE

CYBERBULLYING VICTIMS

Leonardus Metrananda Yudistira Kriswijaya

ABSTRACT

Cyberbullying on social media often involves teenagers as victims. Victims of cyberbullying who experience stress are interesting to study. This study used qualitative method. The aim of using the qualitative method was to understand the kind of coping stress dynamic used by the cyberbullying victims. This study used qualitative analysis research, particulary deductive analysis. The study was conducted on three teenagers who were victims of cyberbullying while studying in junior high and high school. The data collection was done by semi structured interview. The results showed that the dynamics of coping with stress were different from each participant. This variation cannot be separated from the perceived stress and the situation encountered when experiencing stress. There was originally a stress coping focused on emotions then turned into a problem-focused stress coping, or vice versa. The conclusion of this study is that victims of cyberbullying perform dynamic coping such as: seeking of instrumental social support, turning to religion, positive reinterpretation, and supression of competing activities.

Keywords : cyberbullying, coping stress

(9)
(10)

x KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala anugrah, kekuatan, dan pencerahan yang telah diberikan untuk peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dinamika Coping Stress Remaja Korban Cyberbullying”. Peneliti berharap melalui penelitian ini, teman-teman remaja mendapatkan manfaat serta pengetahuan mengenai coping stress dalam konteks cyberbullying.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya dukungan dari banyak pihak serta terlibat dalam membantu kelancaran penelitian. Maka dari itu, izinkan peneliti untuk mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus dengan sesuatu yang tidak ada batasannya yang selalu memberikan jalan serta pencerahan dalam mengerjakan skripsi. Banyak halangan serta rintangan, namun Tuhan Yesus yang selalu membimbing sampai akhir tahap ini.

2. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Monica E. Madyaningrum, M.Psych, Ph.D., selaku Kepala Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

4. Romo Priyono Marwan, S. J. yang telah menjadi Dosen Pembimbing Akademik saya sedari semester satu hingga semester enam. Terima kasih sudah selalu menanyakan progress mengenai kegiatan perkuliahan. Terima kasih juga karena pernah meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah mengenai kegiatan perkuliahan. Tuhan Memberkati.

(11)

xi 5. Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik saya

sedari semester tujuh hingga selesainya skripsi ini. Terimakasih selalu menanyakan progress penyususnan skripsi dan baik menerima saya. Tuhan memberkati selalu.

6. Diana Permata Sari, S.Psi., M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membantu saya dalam menyelesaikan bimbingan skripsi di tengan kesulitan saya dalam menyusun skripsi. Terima kasih Bu Diana sudah memberikan waktu, tenaga serta kesabaran dalam bimbingan skripsi.

Terima kasih juga sudah mau mendengarkan curhatan saya mengenai kehidupan saya. Semoga kebaikannya dapat terbayar, Tuhan memberkati selalu.

7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ilmu selama kegiatan perkuliahan serta membantu dalam menyelesaikan penyusunan skripsi. Semoga dapat terealisasikan di kemudian hari dan di kehidupan.

8. Ketiga partisipan yakni LDR, A dan GL yang telah memberikan waktu untuk berbagi cerita di masa lalunya. Suatu kesempatan bisa mendengarkan dan mengetahui permasalahan yang pernah dialami dan berdinamika dalam mengatasi cyberbullying. Semoga kalian diberi kesehatan selalu dan lancar dalam menjalankan studi.

9. Bapak, Ibu, Bude dan Adik yang sudah bekerja dan berjuang untuk anaknya serta mendukung anaknya untuk dapat menyelesaikan studi. Terima kasih sudah selalu sabar dengan anakmu yang selalu lama dalam proses menyelesaikan skripsi. Terima kasih sudah memberikan kepercayaan kepada aku bahwa dapat menyelesaikan kewajiaban sebagai mahasiswa.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBARAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumuasan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat teoritis ... 9

2. Manfaat praktis ... 9

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Coping Stress... 10

1. Pengertian coping stress ... 10

2. Jenis-jenis coping stress... 11

B. Cyberbullying ... 13

1. Pengertian cyberbullying ... 13

2. Jenis-jenis cyberbullying ... 16

C. Tahapan Perkembangan ... 17

1. Remaja ... 17

2. Remaja akhir ... 18

D. Coping Stress bagi Remaja Korban Cyberbullying ... 19

E. Kerangka Berfikir ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

A. Jenis Penelitian ... 22

B. Fokus Penelitian ... 22

C. Partisipan Penelitian ... 23

D. Metode Pengumpulan Data ... 24

E. Metode Analisis Data ... 26

1. Penyusunan matriks kategorisasi... 26

2. Pegodean ... 28

F. Dependabilitas dan Kredibilitas ... 28

G. Refleksi Peneliti ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 31

1. Pelaksanaan penelitian ... 31

2. Ethical consederation ... 34

B. Partisipan Penelitian ... 36

1. Data partisipan ... 36

2. Latar belakang partisipan dan dinamika ... 37

(15)

xv

C. Hasil Penelitian ... 44

1. Analisis data partisipan 1 ... 44

2. Analisis data partisipan 2 ... 48

3. Analisis data partisipan 3 ... 50

4. Integrasi ketiga partisipan ... 51

5. Temuan baru dalam penelitian ... 55

D. Pembahasan ... 57

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Keterbatasan Penelitian ... 63

C. Saran ... 64

1. Bagi remaja korban cyberbullying ... 64

2. Bagi peneliti selanjutnya ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 74

(16)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Wawancara ... 25

Tabel 2 Kerangka Analisis Cyberbullying ... 26

Tabel 3 Kerangka Analisis Dinamika Coping Stress ... 27

Tabel 4 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Wawancara ... 34

Tabel 5 Data Partisipan ... 36

(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pikir ... 21

(18)

xviii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Kesepakatan Partisipan 1 ... 75

Lampiran Kesepakatan Partisipan 2 ... 77

Lampiran Kesepakatan Partisipan 3 ... 79

Lampiran Daftar Koding Cyberbullying dan Coping Stress ... 81

Lampiran Analisis Kesatu Partisipan 1 ... 103

Lampiran Analisis Kedua Partisipan 1 ... 112

Lampiran Analisis Partisipan 2 ... 123

Lampiran Analisis Partisipan 3 ... 136

(19)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cyberbullying di media sosial banyak terjadi di kalangan remaja. Instagram merupakan media sosial yang paling sering digunakan untuk melakukan perundungan secara online atau cyberbullying. Berdasarkan survey Ditch the Label (2020) yang dilakukan pada 10.020 remaja asal Inggris dengan rentang usia 12 hingga 20 tahun, sebanyak 42 % pernah menjadi korban cyberbullying di Instagram, di Facebook 37%, Snapchat 31%, WhatsApp 12%, YouTube 10%, dan Twitter 9%. Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2018 yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, 49% pengguna internet pernah pernah mengalamai cyberbullying dalam bentuk diejek atau dilecehkan di media sosial (Jayani, 2019).

Cyberbullying merupakan perilaku seseorang atau kelompok dengan secara sengaja dan berulang kali melakukan tindakan untuk menyerang dan menyakiti orang lain melalui sebuah komputer, gawai, dan alat elektronik lainnya (Rifauddin, 2016). Perilaku cyberbullying merupakan salah satu tindakan agresi seseorang dengan melakukan penghinaan, menyebarkan foto serta video di dalam media sosial maupun elektronik seperti SMS (Short Message Service), chat room, jejaring sosial dan lain-lain (Satalina, 2014).

Willard (2005) membagi beberapa jenis cyberbullying, yaitu (a) Flaming (berapi-api), yaitu teks berisi kata-kata ataupun kalimat yang penuh dengan

(20)

amarah dan secara frontal. Istilah “flame” disini merujuk pada kata pesan yang berapi-api. (b) Harassment (gangguan), pesan yang berisi gangguan melalu e- mail, SMS, hingga pesan teks yang ada di jejaring sosial (misal. instagram, twitter, facebook) yang dilakukan secara berulang. (c) Cyberstalking, mengganggu serta mencemarkan nama baik seseorang secara terus menerus sehingga membuat ketakutan yang berlebih pada korban. (d) Denigration (pencemaran nama baik), yaitu memberitahukan keburukan seseorang ke orang lain di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.

(e) Impersonation (peniruan), yaitu meniru seseorang menjadi orang lain dan mengirimkan pesan dan status yang tidak baik. (f) Outing & Trickery, yaitu outing, menyebarkan rahasia orang lain berupa pesan dan foto-foto pribadi orang lain, sedangkan trickery (tipu daya), membujuk seseorang dengan menipu agar mendapatkan sebuah rahasia maupun foto pribadi orang tersebut.

(g) Exclusion (pengeluaran), yaitu dengan secara sengaja mengeluarkan seseorang dari grup online.

Penelitian cyberbullying yang sering terjadi di kalangan remaja pernah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan UNICEF di tahun 2011 hingga 2013 yang dikeluarkan pada bulan Februari 2014. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tidak sedikit remaja di Indonesia yang telah menjadi korban cyberbullying. Penelitian ini melibatkan partisipan sejumlah 400 anak dan remaja pada usia 10 hingga 19 tahun.

Sebanyak 89% responden berkomunikasi secara online (melalui internet) dengan teman sebaya, 56% berkomunikasi secara online (melalui internet)

(21)

dengan keluarga dan 35% berkomunikasi melalui internet dengan guru mereka.

Melalui presentase tersebut, sebanyak 13% responden mengaku pernah menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman (Rifauddin, 2016).

Ada beberapa kasus cyberbullying yang pernah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Pertama adalah kasus cyberbullying yang berakhir tragis pernah dialami oleh YC, Ketua Festival Musik Lockstock pada tahun 2013 di Yogyakarta. Ia menabrakkan dirinya ke kereta api setelah akun Twitter YC diserang orang-orang akibat kegagalan dalam menjalankan festival yang ia tangani sebagai ketua. Lalu, kasus cyberbulying dialami oleh selebritis Instagram berinisial Awk. Ia menjadi incaran orang-orang di media sosial pada pertengahan tahun 2016 karena ia mengunggah postingan yang dianggap tidak sepatutnya untuk remaja berusia 19 tahun, dalam hal berpakaian, merokok, minum-minuman keras, menunjukan romantisme bersama kekasih, dan melakukan mengeluarkan kata kasar (Rastati, 2016).

Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti dengan beberapa narasumber yang mengalami cyberbullying, kebanyakan dari remaja perempuan mengatakan sebagian besar mengalami cemoohan atau ejekan di media sosial yaitu Instagram seperti badannya gemuk sekali maupun kurus sekali, kulitnya terlalu putih seperti mayat, hingga badan yang terlalu pendek. Cyberbullying jenis ini adalah cemoohan yang mengincar fisik seseorang. Ketika cyberbullying yang dialami remaja tersebut bersifat jangka panjang, maka akan

(22)

menimbulkan rasa percaya diri yang kurang, membolos sekolah, hingga stres berat (Rifauddin, 2016).

Dampak cyberbullying tidak lepas dari kondisi psikologis korban yang masih dalam masa remaja. Menurut Hurlock (2004), masa remaja ditandai oleh pencarian identitas. Remaja berusaha meniru, termasuk dalam hal penempilan fisiknya. Dalam fase ini, tentu remaja menjadi sangat sensitif terhadap kekurangan fisiknya sehingga dengan mudah merasa kecewa kondisi fisiknya menjadi bahan bullying. Djadmika (2010) menjelaskan bahwa remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya maupun seksualitasnya sehingga ada rasa tertarik dengan lawan jenis. Kekurangan dalam penampilan akan dipandang sebagai suatu masalah sangat serius.

Identifikasi diri remaja sebagai sedang menuju pribadi yang matang dan percaya diri kadang belum diikuti dengan emosi yang stabil sehingga remaja mudah stres.

Stres merupakan sebuah dampak dari adanya tindakan dan situasi serta kondisi lingkungan yang menyebabkan seseorang mendapatkan tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan (Sunyoto, 2015). Stres merupakan suatu ketidakseimbangan diri seseorang melalui suatu permintaan seperti kebutuhan fisik maupun psikologis dengan kemampuan respon yang gagal dalam memenuhi kebutuhan tersebut yang memberikan konsekuensi pada dirinya (Heiman & Kariv, 2005). Stres akan terjadi pada diri individu dengan seiring berjalannya waktu yang membuat stres tersebut tidak dapat sepenuhnya

(23)

dihindari yang menyebabkan individu merasa terganggu dan tidak nyaman ketika menjalankan kehidupannya (Sukadiyato, 2010).

Dampak dari stres pada seorang remaja akan memberikan efek negatif seperti perilaku minum minuman keras, merokok hingga bunuh diri. Selain itu, stres pada remaja dapat mempengaruhi penurunan nilai akademis mereka (Prasetyo & Wurjaningrum, 2008). Sebuah penelitian pada mahasiswa kedokteran menyebutkan bahwa stres yang dialami responden memiliki konsekuensi negatif dalam prestasi akademik, kompetensi, profesionalitas dan kesehatan yang akan mempengaruhi perkembangan dan gejala penyakit (Sutjiato, Kandou & Tucunan 2015).

Heman dan Kariv (2005), menambahkan bahwa faktor yang dapat menyebabkan stres terbagi menjadi dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari diri individu seperti kondisi fisik, motivasi serta kepribadian seseorang yang dapat mempengaruhi. Sedangkan faktor eksternal dialami melalui lingkungan luar, seperti pekerjaan, keluarga, fasilitas, teman sebaya dan lain-lain. Nevid, Rathus dan Greene (2014) mengatakan faktor yang mempengaruhi stres, yaitu (a) harapan akan efikasi diri, (b) ketahanan diri, (c) optimisme, (d) dukungan sosial, (e) identitas etnik, dan (f) jenis coping stress yang dipilih.

Coping stress merupakan kemampuan seseorang untuk peka terhadap suatu perasaan maupun suatu respon psikologis yang terjadi pada peristiwa tertentu, seperti halnya ketika remaja sedang mengalami masalah dalam dirinya.

Tujuannya untuk dapat bertahan di dalam kehidupan ketika situasinya tidak

(24)

mendukung (Ekasari &Yuliyana, 2012). Menurut Lazarus dan Folkman, (1986) coping merupakan suatu usaha seseorang untuk dapat mengurangi stres dalam dirinya dengan cara proses pengaturan (management) atau tuntutan baik dari eksternal dan internal yang dapat dinlai sebagai beban pada kemampuannya. Maka pada saat seorang remaja mengalami kondisi stres akibat suatu masalah, maka remaja tersebut akan berusaha untuk dapat mengurangi perasaan stres yang dialaminya (Meiriana, 2016).

Coping stress merupakan cara individu dalam mengatasi masalah atau menangani emosinya yang ada dalam dirinya maupun pikirannya yang bersifat negatif (Weiten, 2010). Hal ini hanya pribadi individu yang dapat mengerti apa yang sedang dialaminya ketika menjadi korban cyberbullying lalu individu tersebut akan mencari sebuah cara dalam menanggulangi perasaan negatif yang remaja alami. Terdapat dua jenis coping yang bisa dilakukan oleh remaja yakni problem focused coping dan emotion focused coping (Caver, Scheier &

Weintraub 1989).

Penelitian ini layak dilakukan guna mendapatkan suatu gambaran serta cara mengenaicoping stress pada remaja korban cyberbullying. Dari hasil yang akan didapat, akan menjadi referensi untuk remaja yang pernah mendapatkan perlakuan cyberbullying terutama untuk remaja akhir yang masih melakukan studi baik di sekolah maupun di perkuliahan. Selain itu, dapat menjadi referensi untuk guru bimbingan konseling di sekolah-sekolah.

Pada penelitian ini, jenis coping stress yang digunakan memiliki perbedaan dengan jenis coping stress yang digunakan pada peneliti terdahulu. Peneliti

(25)

terdahulu (Putra & Ariana, 2016) menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984), sedangkan peneliti menggunakan teori coping stress milik Carver, dkk (1989). Penelitian ini mnggunakan teori tersebut karena jenis coping stress yang dikemukakan oleh Carver, dkk (1989) bervariasi, sehingga peneliti dapat mengklasifikasikan hasil penelitian secara mendalam dan terperinci. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda dengan teknik analisis yang digunakan oleh peneliti terdahulu dimana peneliti terdahulu menggunakan teknik analisis tematik theory driven (Putra & Ariana, 2016). Teknik tersebut diawali dengan pembahasan dari teori yang digunakan, kemudian membentuk atau mencari indikator- indikator serta kasus nyata yang mampu mendukung teori tersebut (Hendriana

& Hendriani, 2015). Di sisi lain dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi kualitatif deduktif karena teknik ini dapat membantu peneliti dalam merumuskan pertanyaan penelitian. Selain itu, teknik ini dapat diterapkan manakala sudah ada hasil penelitian tertentu mengenai suatu fenomena dan peneliti selanjutnya ingin memvalidasi atau menguji kembali, Hsieh &

Shannon (dalam Supratiknya, 2015)

Penelitian sebelumnya mengenai cyberbullying sudah pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Penelitian sebelumnya, cyberbullying dapat menemukan hasil seperti berpengaruh dalam interaksi peer group (Budiarti, 2016). Cyberbullying juga berpengaruh pada komunikasi interpersonal (Vydia, Irliana, & Savitri, 2014). Melalui penelitian sebelumnya mengenai hasil

(26)

cyberbullying muncul beragam jenis hasil penelitiannya, seperti variabel pengaruh interaksi dalam peer group hasilnya jika interaksi peer group lebih tinggi, maka tingkat prilaku cyberbullying akan rendah, begitu juga sebaliknya.

Lalu untuk variabel komunikasi interpersonal, melalui hasilnya terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan cyberbullying. Selain itu, hasil dari variabel self-esteem mengungkapkan bahwa adanya perbedaan dari hasil self-esteem dengan korban cyberbullying.

Untuk hasil variabel kematangan emosi, terdapat bahwa adanya hubungan negatif antara kematangan emosi dengan kecenderungan perilaku cyberbullying. Hasil dari fenomena cyberbullying mengatakan bahwa hal tersebut akan memberi dampak negatif bagi korban dan pelaku.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, penelitian ini ingin mengetahui dinamika jenis coping stress remaja yang menjadi korban cyberbullying?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana dinamika jenis coping stress saat menjadi korban cyberbullying.

(27)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah penelitian untuk kajian psikologi perkembangan terutama dalam jenis coping stress pada remaja yang menjadi korban cyberbullying.

2. Manfaat Praktis

a. Remaja korban cyberbullying

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi remaja korban cyberbullying tentang bagaimana menyelesaikan masalahnya sendiri melalui coping stress.

a. Masyarakat umum

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan wawasan yang luas untuk mengenai perilaku cyberbullying yang terjadi pada remaja yang khususnya ada di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan masyarakat mampu memahami bagaimana cara melakukan coping stress saat menjadi korban cyberbullying.

b. Guru BK

Setelah mengetahui cyberbullying yang dialami remaja khususnya siswa, harapannya seorang guru terutama guru bimbingan konseling dapat mengawasi serta membimbing siswanya terutama yang mengalami atau menjadi korban cyberbullying.

(28)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Coping Stress

1. Pengertian Coping Stress

Hinkle (dalam Lazarus dan Folkman, 1984) mengatakan bahwa stres merupakan suatu ketegangan, tekanan, kekuatan serta usaha yang dilakukan pada objek benda maupun individu sebagai kekuatan mental.

Sarafino dan Smith (2012) mengungkapkan stres merupakan kondisi individu yang disebabkan lingkungannya yang membuat individu tersebut merasa mendapatkan tuntutan dari berbagai sumber, seperti sistem biologis, sosial, hingga psikologis dari individu. Nevid, Rathus dan Greene (2014) menyatakan terdapat enam faktor yang dapat mempengaruhi stres, yaitu: (1) Harapan Akan Efikasi Diri, (2) Ketahanan Diri, (3) Dukungan Sosial, (4) Optimisme, (5) Identitas Etnik, (6) Jenis coping stress yang dipilih.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), coping adalah suatu strategi untuk melakukan suatu hal dalam memecahkan masalah dari sesuatu yang sederhana hingga bersifat realistis juga dapat berfungsi dalam membebaskan beban pada masalah yang nampak maupun tidak nampak.

Coping akan berusaha melalui kognitif dan perilaku seseorang dalam mengatasi, mengurangi dan bertahan dalam menghadapi sebuah tuntutan (dalam Ekasari & Yuliyana, 2012). Sementara itu, Siswanto (2007)

(29)

mengungkapkan coping merupakan konsep penengah dalam memahami kesehatan mental seseorang untuk dapat mengatasi situasi serta kondisi dalam keadaan tertantang, ancaman serta kehilangan. Coping juga merupakan reaksi seseorang dalam menanggapi suatu keadaa seperti stres maupun tertekan.

Dapat ditarik kesimpulan melalui pemaparan teori di atas, coping stress merupakan sebuah cara untuk dapat merespon suatu permasalahan yang terjadi pada diri individu melalui sistem kognitif dan perilaku untuk dapat mengurangi serta mengatasi masalah yang dihadapinya.

2. Jenis-jenis Coping Stress

Carver, dkk (1989) membagi dua jenis dimensi coping stress, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping.

a. Problem focused coping (Lazarus dan Folkman, 1984) yaitu cara seseorang untuk dapat mengubah kondisi yang tertekan dengan menghadapi malsalah yang mengakibatkan munculnya stres. Berikut di bawah ini akan dijelaskan mengenai jenis-jenis problem focused coping.

1) Active coping

Sebuah proses dalam mengambil langkah untuk dapat menghapus serta menghindar dari stressor dengan maksud untuk memerbaiki dampak dari stressor itu sendiri.

(30)

2) Planning

Sebuah cara untuk berpikir bagaimana individu menghadapi stressor. Individu akan melalukan sebuah rencana untuk mengatur strategi mengenai langkah yang akan diambil serta memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menghadapi masalah tersebut.

3) Suppression of competing activities

Cara individu untuk menekankan aktivitasnya dalam menyelesaikan masalah dan mengabaikan urusan lain untuk dapat konsentrasi dalam menghadapi stressor.

4) Restraint coping

Individu yang melakukan ini dengan cara menunggu saat yang tepat untuk dapat bertindak maupun tidak bertindak dalam mengambil keputusan secara cepat.

5) Seeking of instrumental social support

Sebuah cara upaya untuk mencari saran, bantuan serta informasi melalui orang disekitarnya.

b. Emotion-focused coping (Lazarus dan Folkman, 1984) adalah usaha seseorang untuk mengurangi serta menghilangkan respon emosional ketika kondisi seseorang mengalami tekanan. Berikut jenis-jenis emotion focused coping.

1) Seeking of emotional social support

Individu berupaya untuk mendapatkan dukungan moral, simpati dan pemahaman dari orang lain.

(31)

2) Positive reinterpretation

Proses individu mengambil sisi positif dari apa yang sudah terjadi.

Coping tersebut bertujuan untuk mengelola emosi dibandingkan menghadapi stressor.

3) Acceptance

Sebuah penerimaan individu dari suatu situasi dan kondisi yang terjadi saat itu.

4) Denial

Individu yang menggunakan caranya untuk menolak bahwa individu tidak percaya bahwa stressor itu ada sehingga individu beranggapan bahwa stressor itu tidak ada.

5) Turning to religion

Cara individu yang beralih ke agama ketika ia ada disituasi tertekan dalam dirinya. Agama memiliki fungsi untuk mendukung emosional serta menjadi sarana reinterpretasi positif maupun upaya dalam menghadapi stressor. Individu yang mengambil cara tersebut akan mengembalikannya atau pasrah dengan masalahnya pada keyakinan yang dimiliki.

B. Cyberbullying

1. Pengertian Cyberbullying

Burgess-Proctor, Hinduja, dan Patchin (2009) mengatakan cyberbullying merupakan sebuah kegiatan atau perbuatan yang dapat

(32)

merugikan seseorang dengan cara sengaja serta berulang melalui sebuah media elektronik seperti computer, handphone maupun perangkat alat elektronik yang lainnya. Hinduja dan Patchin (2010) mengatakan cyberbullying adalah sebuah perbuatan yang dilakukan dengan cara mengirim pesan untuk mengancam dan mempermalukan seseorang melalui chat dan email serta menuliskan komentar dengan menghina, mengancam dan mengintimidasi seseorang di sebuah website serta media sosial. Lalu, Willard (2007) mendefinisikan cyberbullying sebagai perbuatan kejam terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting gambar maupun pesan yang menyakitkan bagi korbannya atau yang berkaitan dengan agresi sosial dengan menggunakan internet atau media elektronik lainnya.

Menurut Pandie dan Weismann (2016), terdapat faktor yang mendorong remaja mendapatkan perilaku cyberbullying, yakni (1) minimnya perlindungan sosial, (2) diri sendiri, dan (3) keluarga. Selain itu, Jalal, Idris dan Muliana (2021) mengungkapkan faktor yang menjadikan remaja rentan mengalami cyberbullying yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi, (1) kemampuan pelaku berempati, hal tersebut remaja tidak mengerti tentang etika yang baik dalam berperilaku online sehingga sulit untuk dikontrol dalam menggunakan media sosial. (2) karakter korban yang rentan dapat menjadikan remaja menjadi pelaku dan korban dari cyberbullying. (3) koneksivitas antara pelaku dan korban cyberbullying. Semakin tinggi

(33)

intensitas perilaku yang dilakukan pelaku maka korban akan semakin bersikap reaktif. (4) pelaku dan korban cyberbullying terjadi pada remaja perempuan maupun laki-laki. (5) faktor bersosialisasi sebagai pemicu terjadinya cyberbullying seperti berkomentar kasar. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu (1) intensitas penggunaan media sosial, semakin tinggi remaja menggunakan media sosial maka akan semakin besar peluang remaja berperilaku cyberbullying dan mendapatkan perlakuan cyberbullying. (2) adanya perkembangan media sosial yang semakin pesat sehingga remaja dapat dengan mudah mengakses atau membawa hal yang baru dalam masyarakat untuk melakukan penindasan di media sosial. (3) pengaruh perangkat teknologi yang menyebabkan remaja dapat melakukan suatu yang kejam dibandingkan dengan apa yang didapatkan remaja dalam pelaku bullying.

Dampak dari cyberbullying tentu akan menimbulkan banyak pengaruh seperti individu memiliki perasaan harga diri yang rendah, depresi atau mengalami stress yang mengakibatkan remaja akan melakukan bunuh diri (Rudi, 2010). Bottino, dkk (2015) mengungkapkan bahwa cyberbullying dapat menimbulkan stres emosional, kecemasan sosial, penggunaan obat terlarang, gejala depresi hingga usaha untuk melakukan bunuh diri. Menurut Gini dan Pozzoli (2013) bahwa siswa yang mengalami cyberbullying kemungkinan akan merasakan dua kali lebih besar dampaknya seperti kesehatan yang

(34)

meliputi sakit kepala dan sakit perut dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami cyberbullying.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa cyberbullying merupakan sebuah perilaku agresi yang dilakukan melalui media elektronik untuk menyerang korban dengan cara berulang.

2. Jenis-jenis Cyberbullying

Willard (2005) membagi beberapa jenis cyberbullying, yaitu :

a. Flaming (berapi-api), yaitu mengirimkan sebuah pesan teks berisi kata-kata ataupun kalimat yang penuh dengan amarah dan secara frontal. Istilah “flame” disini merujuk pada kata pesan yang berapi- api. Contohnya seperti dalam chatroom yang terjadi saling hina atau mencaci maki yang berbalas-balasan.

b. Harassment (gangguan), pesan yang berisi gangguan melalu e-mail, sms, hingga pesan teks yang ada di jejaring sosial (instagram, twitter, facebook) dilakukan secara berulang. Contoh ketika remaja mendapatkan pesan yang bersifat ofensif secara berulang.

c. Cyberstalking, mengganggu serta mencemarkan nama baik seseorang secara terus menerus sehingga membuat ketakutan yang berlebih pada korban. Contoh seorang pedofil yang mencoba mengontak korban dan meminta untuk bertemu secara terus menerus yang bertujuan untuk melecehkan korban.

d. Denigration, yaitu memberitahukan sebuah keburukan seseorang ke orang lain di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama

(35)

baik orang tersebut. Contoh ketika seseorang mengatakan keadaan yang buruk baik fisik maupun sifat korban ke orang lain.

e. Impersonation (peniruan), yaitu meniru seseorang menjadi orang lain dan mengirimkan pesan dan status yang tidak baik. Contoh membuat akun media sosial yang sama persis.

f. Outing & Trickery, yaitu outing menyebarkan rahasia orang lain berupa pesan dan foto-foto pribadi orang lain, sedangkan trickery (tipu daya), membujuk seseorang dengan menipu agar mendapatkan sebuah rahasia maupun foto pribadi orang tersebut. Contoh outing yaitu menyebarkan foto seperti kartu identitas, nomer telepon hingga alamat rumah. Sedangkan contoh trikery, individu akan berusaha mendapatkan kepercayaan korban untuk meminta data pribadi korban, lalu disebar ke media sosial.

g. Exclusion (pengeluaran), yaitu dengan secara sengaja mengeluarkan seseorang dari grup online.

C. Tahap Perkembangan Remaja 1. Remaja

Remaja merupakan salah satu periode di usia 13 tahun hingga 20 tahun baik remaja laki-laki dan perempuan yang sedang mengalami karakteristik seksual sekunder dan sifat kedewasaan dengan adanya perubahan fisik dan perubahan psikologis yang berkaitan dengan konsep diri (Widyatama, 2010). Remaja adalah masa transisi perkembangan

(36)

dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dimulai di usia 12 tahun dan berakhir di belasan tahun atau awal 20 tahun (Papalia, Olds &

Feldman, 2001).

Selain itu, remaja merupakan suatu peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang dimulai dari usia 10 tahun sampai 12 tahun dan berakhir di usia 18 hingga 22 tahun (Sarwono, 1997). Sementara itu, Monks (2002) mengungkapkan bahwa remaja berawal di usia 12 hingga 21 tahun yang terbagi pada remaja awal di usia 12-15 tahun merupakan remaja awal, usia 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun merupakan remaja akhir.

Melalui pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja merupakan suatu transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang berawal dari usia 13 tahun hingga 20 tahun.

2. Remaja Akhir

Masa remaja terbagi menjadi dua yakni remaja awal (early adolescent) di usia 10-13 tahun dan remaja akhir (late adolescent) di usia 18-22 tahun. Remaja akhir merupakan individu yang memulai dirinya dengan keinginan berkarir hingga mengeksplorasi dirinya dibandingkan dengan remaja awal (Santrock, 2007). Lebih lanjut menjelaskan bahwa remaja akhir dapat memahami situasi dirinya sebelum merespon sesuatu dengan cara yang emosional (Newman dan Newman, 2012). Hurlock (1980) mengungkapkan, remaja akhir dapat memahami situasi dirinya sebelum mereaksikan sesuatu dengan cara

(37)

yang emosional. Maka hal tersebut diharapkan remaja akhir memiliki keterampilan dalam menyadari emosi, mengontrol emosi, mengetahui emosi orang lain dan yang terpenting remaja dapat mengontrol tingkah laku agresifnya.

Remaja akhir adalah proses seseorang menuju ke masa dewasa dan ditandai dengan beberapa pencapaian yang telah diperoleh seperti (1) minat yang lebih baik pada fungsi intelektualitas, (2) ego dalam mencari suatu kesempatan untuk bergabung dengan orang lain dalam mencari pengalaman yang baru, (3) identitas seksual yang tidak dapat berubah, (4) egosentrisme yang diubah dengan keseimbangan baik kepentingan pribari maupun orang lain dan (5) adanya batasan pada privasi pribadi dengan orang lain (Sigelman dan Rider, 2009).

D. Coping Stress bagi Remaja Korban Cyberbullying

Setiap remaja yang menjadi korban cyberbullying akan mengalami berbagai macam jenis cyberbullying ketika dirinya mendapatkan perlakuan tersebut di media sosial yang digunakan. Awal terjadinya cyberbullying karena pelaku merasa dirinya menjadi yang terkuat sehingga pelaku akan mencari orang yang menurutnya orang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Pelaku cyberbullying tentu akan melakukan berbagai macam bentuk, seperti flaming (berapi-api), harassment (gangguan), cyberstalking, denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing & trickery, serta exclusion (pengeluaran) (Willard, 2005).

(38)

Hal ini yang dapat menyebabkan suatu dampak bagi korban cyberbullying.

Dampak dari perilaku cyberbullying tersebut, khususnya remaja yang menjadi korban cyberbullying akan merasakan kecemasan, menghindari pergaulan dengan teman sebaya, korban akan mengalami depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri. Ketika cyberbullying yang dialami remaja tersebut bersifat jangka panjang, maka akan menimbulkan rasa percaya diri yang kurang, membolos sekolah, hingga stres berat (Rifauddin, 2016).

Ketika remaja sudah mencapai stres dalam dirinya, langkah yang baik untuk tidak stres yang terlalu berat tentu akan melakukan strategi coping dirinya. Hal ini akan membuat remaja korban cyberbullying akan bisa membuat dirinya terbuka dalam lingkungan sosialnya tanpa takut dengan perlakuan orang lain serta dapat membatasi dirinya ketika akan di bully di media sosial oleh pelaku cyberbullying. Coping stress yang dapat dilakukan oleh remaja korban cyberbullying untuk mendapatkan gambaran yang dapat dilakukan dalam dua jenis coping yakni focused problem coping dan emotion problem coping. Focused problem coping merupakan cara seseorang untuk dapat mengubah kondisi yang tertekan dengan menghadapi masalah yang mengakibatkan munculnya stres. Focused problem coping dibagi menjadi beberapa cara, yaitu active coping, planning, suppression of competing activities, restraint coping, seeking of instrumental social support. Sedangkan emotion problem coping adalah usaha seseorang untuk mengurangi serta menghilangkan respon emosional ketika kondisi seseorang mengalami tekanan. Emotion problem coping terbagi menjadi

(39)

beberapa cara, yaitu seeking of emotional social support, positive reinterpretation, acceptance, denial, turning to religion.

E. Kerangka Berfikir Remaja

Cyberbullying Stres Coping Stress

1. Flaming 2. Harassment 3. Cyberstalking 4. Denigration 5. Impersonation 6. Outing & trickery 7. Exclusion

Problem Focused Coping - Active coping

- Planning - Suppression of

competing activities - Restraint coping - Seeking of

instrumental social support

Emotion Focused Coping - Seeking of emotional

social support - Positive

reinterpretation - Acceptance - Denial

- Turning to religion

Gambar 1. Kerangka Pikir

(40)

22 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Moleong (2014) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian pada suatu konteks alamiah dan dengan memanfaatkan metode alamiah. Selanjutnya, desain penelitian kualitatif yang akan digunakan adalah analisis isi kualitatif deduktif (AIK). Dalam hal ini peneliti akan menafsirkan data berupa teks secara subjektif melalui proses pengelompokan sistematik seperti pengodean serta memasukkan kriteria ke dalam tema-tema tertentu. Penggunaan bahasa sebagai ciri AIK deduktif yang bertujuan untuk mengungkap isi serta makna dari sebuah teks yang sesuai dengan konteks masalah (Supratiknya, 2015).

B. Fokus Penelitian

Fokus utama pada penelitian ini adalah mengungkap dinamika coping stress remaja ketika menjadi korban cyberbullying, meliputi coping yang berfokus pada masalah atau problem focused coping seperti active coping, suppression of competing activities, restraint coping, seeking of instrumental social support hingga coping yang berfokus pada emosi atau emotion focused coping yang berfokus pada emosi di antaranya seeking of emotional social support, positive reinterpretation, acceptance dan turning to religion.

(41)

C. Partisipan Penelitian

Partisipan merupakan orang yang terlibat aktif dalam penelitian dengan memberikan data atau informasi yang dibutuhkan. Istilah partisipan biasa digunakan dalam penelitian kualitatif ditujukan pada orang yang menjadi subjek penelitian. Dalam penelitian ini, subjek penelitian dipilih dengan cara purposive sampling yakni ketika peneliti memilih subjek melalui ciri-ciri yang sudah ditentukan peneliti serta tujuan dari penelitian yang akan dilakukan peneliti (Herdiansyah, 2015).

Penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif dengan pertanyaan deduktif dan akan dilakukan dengan analisis isi terarah. Selain itu, remaja akhir merupakan detik-detik seorang remaja akan melalui transisi ke masa dewasa awal. Kriteria yang dipilih sebagai partisipan berusia 18-20 yaitu pernah menjadi korban cyberbullying yang berdampak subjek mengalami stres dan berupaya melakukan coping stress. Remaja korban cyberbullying tentu akan mendapatkan tekanan yang berat dalam dirinya, sehingga remaja tersebut akan sulit berkembang di lingkungan sosialnya terutama dengan teman sebaya baik laki-laki dan perempuan. Pada penelitian kualitatif, jumlah subjek tidak terlalu diperhitungkan, karena pada dasarnya kedalaman data lebih ditekankan untuk menggambarkan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2015).

Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja korban cyberbullying berjumlah 3 orang terdiri dari satu perempuan dan dua laki-laki. Ketiganya memenuhi kriteria sebagai partisipan. Pertama, ketiga partisipan yang pernah

(42)

menjadi korban cyberbulling. Kedua, pada saat menjadi korban cyberbullying masih berusia remaja dan masih bersekolah di bangku SMP dan SMA.

D. Metode Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara. Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti dapat melakukan face-to-face interview (wawancara berhadap- hadapan) dengan partisipan (Creswell, 2012). Wawancara dengan melakukan face to face, diharapkan terjadi komunikasi langsung, fleksibel serta terbuka, sehingga informasi yang didapat lebih banyak dan luas. Bentuk wawancara yang akan digunakan pada penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur.

Melalui pemaparan di atas, peneliti juga akan merespon jawaban dari partisipan sehingga peneliti tidak terpatok pada pertanyaan saja (Herdiansyah, 2015).

Wawancara semi terstruktur ini tetap didasarkan pada daftar pertanyaan terbuka sehingga berguna untuk memberikan stimulus pada informan, agak partisipan dapat secara terbuka untuk mengungkapkan pengalaman yang pernah dialaminya (Supratiknya, 2015). Adapun daftar pertanyaan tampak pada Tabel wawancara berikut.

(43)

Tabel 1

Tabel wawancara

No Pertanyaan

1 Latar belakang subjek

1. Identitas (nama, tempat tanggal lahir, usia, tempat tinggal, asal, jenjang studi)?

2. Apa yang anda ketahui tentang bullying dan cyberbullying?

3. Apakah anda pernah mengalami hal tersebut

2 Cyberbullying

1. Kapan anda merasa bahwa diri anda merasa di bully melalui media sosial?

2. Sudah terjadi berapa lama?

3. Bullying apa saja yang pernah anda alami di media sosial?

4. Bagaimana reaksi anda terhadap orang yang melakukan bullying pada anda?

5. Bagaimana perasaan anda saat anda mendapatkan bully?

6. Apa yang akan anda lakukan setelah anda mendapatkan perlakuan bully?

3 Coping stress

1. Apakah anda pernah merasa stres setelah mengalami bully di media sosial?

2. Apa sajakah yang dapat membuat anda stres?

3. Apa yang anda lakukan saat anda stres?

4. Bagaimana cara anda menanggulangi stres yang anda alami di media sosial ketika di bully?

5. Apakah cara tersebut efektif untuk diri anda?

(44)

E. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis isi deduktif atau yang dikenal juga dengan analisis isi terarah (Supratiknya, 2015). Pendekatan deduktif memiliki tujuan untuk memvalidasi sebuah kerangka teoretis serta menguji teori yang sudah ada (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Pelaksanaan analisis terarah dengan pendekatan deduktif mencakup langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penyusunan matriks kategorisasi

Langkah pertama, menyusun matriks melalui sebuah kategorisasi yang sesuai dengan teori pada tema penelitian, yaitu dinamika coping stress. Matriks kategori disusun secara deduktif seperti yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 2

Kerangka Analisis Cyberbullying

No Bentuk Cyberbullying

1 2 3

4 5 6 7

Flaming Harassment Cyberstalking

Denigration Impersonation Outing & Trickery Exclusion

 Pesan yang berupa amarah

 Pesan yang berupa gangguan

 Mengganggu subjek hingga ketakutan berlebih

 Mencemarkan nama baik

 Meniru seseorang

 Menyebarkan rahasia

 Mengeluarkan seseorang dari grup

(45)

Tabel 3

Kerangka Analisis Dinamika Coping Stress

No Jenis Coping Stress

1 Active coping  Menghapus dan menghindar

dari stressor

2 Planning  Membuat perencanaan

3 Suppression of competing activities

 Menyelesaikan permasalahan

 Mengabaikan urusan lain

untuk konsentrasi menghadapi stressor

4 Restraint coping  Menunggu saat yang tepat untuk bertindak maupun tidak bertindak dalam mengambil keputusan

5 Seeking of instrumental social support

 Mencari saran

 Meminta bantuan untuk dapat

informasi melalui orang sekitar

6 Seeking of emotional social support

 Mendapatkan dukungan moral

 Mendapatkan simpati

 Mendapatkan pemahaman

dari orang lain

7 Positive reinterpretation  Mengambil sesuatu yang positif

(46)

8 Acceptance  Menerima keadaan situasi dan kondisi yang terjadi

9 Denial  Menolak dan tidak percaya

bahwa stressor itu ada

10 Turning to religion  Berdoa

2. Pengodean

Pengodean dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan mengkategorikan bentuk manifestasi yang sedang diteliti. Pengodean dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, peneliti membaca transkrip wawancara terlebih dulu, kemudian menandai setiap bagian dari teks yang menggambarkan tema yang sedang diteliti. Kedua peneliti menentukan kode dari bagian teks yang sudah ditandai sebelumnya (Hsieh & Shannon, dalam Supratiknya, 2015).

F. Reliabilitas dan Kredibilitas Data

Keabsahan data penelitian tidak terlepas dari validitas dan reliabilitas penelitian. Validitas kualitatif menurut Creswell (2012) adalah sebuah upaya memeriksa kembali hasil penelitian dengan menggunakan prosedur maupun strategi tertentu. Gibs (dalam Creswell, 2012) menyebutkan reliabilitas kualitiatif merupakan pendekatan yang digunakan untuk membuktikan keajegan penelitian apabila diterapkan pada proyek penelitian yang berbeda.

(47)

Selain itu, penelitian ini melakukan cross check pada partisipan guna membuktikan keabsahan data informasi yang diperoleh.

Supratiknya (2015) mengungkapkan dengan adanya reliabilitas kualitatif mempunyai sebuah tujuan untuk melihat penelitian ini dapat digunakan untuk diterapkan pada penelitian lain. Creswell (2009 dalam Supratiknya, 2015) dengan memeriksa transkrip wawancara dan memeriksa kode merupakan cara dari memeriksa reliabilitas penelitian kualitatif.

G. Refleksi Peneliti

Peneliti merupakan korban dari perilaku bullying maupun cyberbullying.

Hal tersebut terjadi pada saat peneliti duduk di bangku SMP. Menurut peneliti, lingkungan sekolah SMP kurang mendukungnya. Saat SMP, peneliti pernah memiliki panggilan “kuntet” yang berarti pendek. Namun, peneliti tidak menyukai panggilan tersebut.

Sewaktu peneliti duduk di bangku SMA, peneliti memiliki teman dekat yang mendapatkan perilaku bullying dan cyberbullying. Teman peneliti memiliki panggilan hitam yang bermaksud badannya yang berwarna hitam.

Selain itu, ia juga sering dipukuli dengan teman-teman yang lainnya. Dari panggilan itu yang berlanjut ke media sosialnya.

Suatu saat peneliti menanyakan hal tersebut kepada teman saya “Kamu gak kesel apa tiap hari selalu di pukulin kaya gitu?”. Teman peneliti hanya menjawab “Ya, mau gimana lagi. Biar saling deket aja temenan sama mereka”. Padahal hal tersebut tidak selayaknya dilakukan kalau hanya untuk

(48)

berteman. Masih ada cara lain untuk melakukan perlakukan yang selayaknya

“teman”. Lalu saya menanyakan perasaan ke teman saya “Perasaan kamu gimana?”, temen saya menjawab “Ya kesel sih sebenernya, cuma ya itu tadi untuk bisa berteman dekat”. Saat itu kami hanya bisa berdiam tanpa melawan sedikitpun kepada teman-teman yang melakukan hal tersebut dengan alasan untuk kedekatan teman. Hal ini yang membuat peneliti tergerak untuk menyampaikan perasaan seseorang ketika mengalami perilaku bullying maupun cyberbullying. Padahal kami sebagai personal yang kuat memiliki kekuatan untuk melawan itu dan bisa menanganinya.

Pada penelitian yang sudah dijalankan, peneliti menyadari memang tidak mudah untuk menerima hal tersebut ketika seseorang mendapatkan perilaku cyberbullying sehingga dampak yang dirasakan. Peneliti perlu melatih emosi, ketika mendengarkan cerita dari teman-teman yang sudah berpartisipasi pada penelitian. Untuk kedepannya, ketika peneliti kembali mendapatkan perilaku cyberbullying, peneliti setidaknya sudah memiliki bekal untuk menanggulangi dampak tersebut.

(49)

31 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Pelaksanaan Penelitian

Partisipan penelitian ini merupakan tiga mahasiswa yang pernah mengalami cyberbullying. Peneliti mencari partisipan dengan cara menyebarkan survei secara online di media sosial. Survei tersebut berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai jenis cyberbullying. Peneliti mendapat respon sebanyak lima orang dari survei tersebut. Kemudian dari lima orang, peneliti memilih menjadi tiga orang dengan kesediaannya dalam mengikuti penelitian dengan wawancara di tengah pandemi Covid-19. Setelah itu, peneliti menghubungi mereka yang telah bersedia menjadi responden penelitian untuk dilakukan tahap selanjutnya, yaitu wawancara.

Sebelum melakukan pengambilan data dengan wawancara, peneliti melakukan rapport secara tidak langsung melalui pesan lewat Whatsapp karena masa pandemi Covid-19. Hal tersebut untuk membangun hubungan yang baik dan lebih terbuka antara peneliti dan partisipan. Periode membangun rapport dengan partisipan dilakukan pada bulan Mei 2020 sampai dengan November 2020. Saat melakukan rapport, peneliti menanyakan mengenai kondisi serta kesibukan partisipan selama masa pandemi.

Proses wawancara dilakukan pada bulan Juli 2020 sampai November 2020 secara langsung. Dalam melakukan wawancara, proses tersebut berada

(50)

dalam keadaan di tengah pandemi Covid-19 sehingga peneliti dan partisipan perlu memperhatikan protokol kesehatan dengan cara menjaga jarak, mencuci tangan atau menggunakan hand sanitaizer, dan menggunakan masker. Wawancara berlangsung dalam durasi yang berbeda-beda pada tiap partisipan, yaitu satu setengah jam hingga dua jam. Setelah seluruh proses wawancara selesai, peneliti melakukan konfirmasi lebih lanjut pada tiap partisipan guna menyamakan persepsi mengenai data yang sudah diberikan oleh partisipan.

Pertemuan pertama dengan Partisipan 1 berlangsung di sebuah taman terbuka di dekat rumah partisipan pada tanggal 18 Juli 2020. Sebelumnya peneliti menghubungi partisipan melalui pesan lewat Whatsapp untuk menyesuaikan jadwal bertemu. Pertemuan pertama peneliti melakukan rapport serta menyampaikan tujuan wawancara penelitian. Peneliti meminta kesediaan kepada P1 untuk menjadi partisipan dalam penelitian, lalu P1 mengisi persetujuannya pada lembar informed consent.

Pertemuan pertama dengan Partisipan 2 pada tanggal 9 Oktober 2020.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti menghubungi partisipan melalui Whatsapp untuk menyesuaikan jadwal wawancara. Pertemuan pertama berlangsung di rumah partisipan dan disambut dengan orang tua partisipan.

Peneliti bertemu dengan ibu dari P2 dengan melakukan rapport untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta meminta izin kepada ibu bersangkutan untuk mewawancarai partisipan. Ibu P2 sudah mengizinkan

(51)

dan partisipan sudah bersedia untuk diwawancarai. P2 mengisi informed consent yang telah disediakan sebagai bentuk kesediaan diwawancara.

Pertemuan pertama dengan Partisipan 3 pada tanggal 4 November 2020. Sebelum melakukan wawancara dengan partisipan, peneliti menghubungi partisipan melalui Whatsapp untuk menyesuaikan jadwal pertemuan untuk melakukan wawancara. Sesuai jadwal yang disepakati, peneliti dan partisipan bertemu di café yang sudah ditentukan sebelumnya.

Kemudian peneliti melakukan rapport untuk menjelaskan maksud dari sebuahn pertemuan, lalu peneliti meminta P3 untuk mengisi informed consent.

Waktu dan tempat pelaksanaan pengambilan data melalui wawancara kepada partisipan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4 berikut.

(52)

Tabel 4

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Wawancara

2. Ethical considerations

Penelitian ini bertepatan dengan pandemi Covid-19 yang melanda di Indonesia. Pada proses sebelum mengumpulkan data, peneliti dan partisipan akan menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dengan cara menjaga jarak, mencuci tangan dan menggunakan masker. Selain itu, peneliti dan partisipan membawa hand sanitazer sebagai opsi lain ketika saling kontak melalui benda yang digunakan seperti pulpen maupun kertas. Hal ini untuk saling menjaga kesehatan peneliti dan partisipan.

No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3 1 Wawancara Sabtu, 18 Juli

2020 15.00–

17.00 di taman dekat rumah partisipan

Jumat, 9 Oktober 2020 18.30-20.30 di kamar rumah partisipan

Rabu, 4

November 2020 14.00-16.00 di café

Jumat, 21

Agustus 2020 16.00-17.45 di taman dekat rumah partisipan

(53)

Ketika ingin memulai wawancara, penelitian ini menggunakan informed consent sebagai persetujuan antara peneliti maupun partisipan dalam menjalankan penelitian ini. Informed consent dimaksudkan untuk menjamin partisipan dengan semua informasi yang sudah diberikan untuk menjamin dan melindungi kerahasiaan dan hak partisipan yang mengikuti sebuah penelitian (Grady dalam Supratiknya, 2015). Peneliti menjelaskan kepada partisipan sebelum melakukan wawancara agar partisipan dapat mengikuti penelitian dengan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak partisipan, sehingga peneliti dan partisipan dalam melakukan penelitian dapat membangun situasi dan kondisi yang nyaman selama proses pengambilan data. Partisipan juga berhak untuk mengundurkan diri ketika partisipan yang bersangkutan mulai tidak nyaman dengan perlakuan partisipan.

Data yang akan diperoleh peneliti merupakan hasil sebuah wawancara dengan partisipan yang hanya bisa diakses oleh peneliti. Hasil wawancara yang diperoleh peneliti, wajib melindungi kerahasiaan data tersebut (HIMPSI, 2010). Proses dari data yang berupa alat perekam suara yang dipindahkan melalui sebuah teks yang dilakukan oleh peneliti itu sendiri.

Selain itu, peneliti akan menyadari bahwa selalu ada resiko yang muncul dalam proses pengambilan data, seperti perasaan cemas ketika mengingat masalah yang pernah dialami oleh partisipan, lalu perasaan kesal ketika menghadapi masalah tersebut. Pada kejadian tersebut, peneliti mencoba untuk mencairkan suasana dengan selipan humor yang akan meredam

(54)

perasaan tersebut hingga proses pengambilan data kembali berjalan dengan lancar.

B. Pertisipan Penelitian 1. Data Partisipan

Partisipan penelitian berjumlah tiga orang remaja yang pernah menjadi korban tindakan cyberbullying. Partisipan saat penelitian berstatus sebagai mahasiwa berusia 19 tahun dan 20 tahun. Dua partisipan berasal dari Bekasi, dan satu partisipan merupakan orang asli Yogyakarta. Data partisipan sebagaimana tampak pada Tabel berikut.

Tabel 5

Data Partisipan

No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3 1

2

Inisial

Jenis kelamin

LDR Permpuan

A Laki-laki

GL Laki-laki

3 Daerah asal Bekasi Yogyakarta Bekasi

4 Usia 19 tahun 20 tahun 20 tahun

5 Tempat tinggal Bekasi Kalasan Tambun

6 Anak ke 2 2 3

7 Status Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa

8 Jenis cyberbullying Body shaming

Body shaming Body shaming

(55)

9 Durasi

cyberbullying

Terkesan lama

Terkesan lama Terkesan lama 10 Frekuensi

cyberbullying

Dirasakan P1 sering

Dirasakan P2 sering

Dirasakan P3 sering 11. Tema

cyberbullying

Fisik tubuh kurus, jerawatan

Kulit hitam, panggilan dengan nama

hewan

Penamplan rambut

12 Intensitas cyberbullying

Sangat tinggi Tinggi Tinggi

2. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara

Data terkait dengan identitas ketiga partisipan dan latar belakang partisipan keluarga hingga partisipan menjadi korban cyberbullying penting disajikan untuk melihat identitas dan latar belakang partisipan.

a. Pertisipan 1 (P1)

P1 merupakan seorang remaja perempuan berusia 19 tahun yang berasal dari Bekasi. P1 tinggal bersama keluarganya yakni bapak dan ibu. Saat proses wawancara, P1 sedang menunggu hasil pengumuman SNMPTN dari universitas yang dipilih. P1 merupakan orang yang mudah bergaul dengan temannya baik dengan perempuan maupun laki- laki. Selain itu, P1 menceritakan bahwa teman-teman menilai dirinya merupakan orang yang aktif. Namun dibalik orang yang selalu aktif, P1

(56)

mengaku termasuk orang yang malas bergerak dan tidak peduli dengan hal yang menurutnya tidak penting untuk dibahas. P1 dapat mengalami mood swing secara tiba-tiba yang berasal dari lingkungan sekitar.

P1 adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya sudah menikah. Ayah P1 bekerja di suatu sekolah swasta dan ibu bekerja sebagai guru di Jakarta. P1 merasa bahwa hubungan dengan keluarganya baik-baik saja seperti keluarga pada umumnya seperti cara berkomunikasi dengan orang tua dan kakaknya. P1 merasa nyaman dengan ibunya ketika ingin menyampaikan cerita maupun pendapat ketika sedang mengalami suatu masalah baik personal maupun dengan lingkungannya. Jika P1 bercerita dengan ayahnya, ia merasa ayahnya hanya menanggapinya sebisa mungkin. Hubungan P1 dengan kakaknya memiliki kedekatan yang akrab namun jika bercerita dengan kakaknya hanya menanyakan mengenai pengalaman sehari-hari, pengalaman di sekolah dan pengalaman kakaknya setelah menikah.

Pertama kali P1 mengalami cyberbullying yaitu pada saat Facebook dan Twitter mulai berkembang. Saat itu P1 merasa dirinya disindir dan beberapa dari temannya menjelekkan dirinya di media sosial yang dapat dilihat banyak orang seperti mengatakan dirinya yang kurus dan wajahnya penuh jerawat. Selain itu, P1 mendapatkan komentar negatif dari akun yangtidak dikenal di media sosial Twitter dengan mengatakan P1 selalu mencari perhatian dan menjelekkan dirinya. Menghadapi bullying tersebut, P1 merasa kesal terhadap pelaku

(57)

yang sudah melakukan bullying pada dirinya. P1 merasa sedih dengan hal tersebut yang membuat dirinya menjadi menarik diri, stres hingga takut melakukan suatu hal yang dapat menimbulkan kesalahan dalam dirinya.

Wawancara dengan partisipan dilaksanakan sebanyak dua kali pada anggal 18 Juli 2020 dan 21 Agustus 2020. Wawancara pertama partisipan menggunakan kaos dan celana panjang serta masker untuk mengikuti protokol kesehatan guna menangkal Covid-19. Wawancara dilakukan di taman dekat rumah partisipan. Keadaan di sekitar taman tidak ramai sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar dan kondusif. Sebelum melakukan wawancara, peneliti dan partisipan melakukan rapport selama kurang lebih 30 menit guna mencairkan suasana dalam melakukan wawancara. Setelah itu, wawancara dilakukan selama sekitar kurang lebih 75 menit. Saat bertemu, partisipan terlihat semangat untuk menyampaikan pengalaman mengenai cyberbullying yang pernah dialaminya semasa sekolah. Wawancara berjalan dengan lancar, namun peneliti kurang dalam menggali pengalaman partisipan sehingga wawancara pertama mendapatkan data yang kurang mendalam.

Pada wawancara kedua, partisipanmenggunakan pakaian kaos dan celana jeans pendek selutut. Wawancara bertempat di taman dekat rumah partisipan berlangsung sekitar selama 60 menit. Wawancara dilakukan kembali karena peneliti kurang mendapatkan informasi lebih

(58)

dalam. Selama wawancara partisipan nampak lebih bersemangat dikarenakan ada sesuatu yang positif yang membuat partisipan lebih siap sehingga wawancara berjalan dengan lancar tanpa ada kendala apapun.

b. Partisipan 2 (P2)

P2 merupakan seorang remaja berusia 19 tahun sedang menjalankan studi di salah satu universitas swasta di kota Solo. P2 bertempat tinggal di Kalasan, Yogyakarta bersama dengan ibunya. P2 merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak P2 seorang perempuan yang sedang melakukan studi di Bandung. P2 merupakan anak yang penurut dan jarang pergi keluar rumah sehingga P2 membantu pekerjaan ibunya di rumah.

P2 merasa memiliki kedekatan yang baik dengan ibunya, karena dari kecil ia selalu dijaga ibunya hingga saat ini. Ketika P2 mengalami suatu masalah, maka ibunya selalu membela dan melindunginya. Maka dari itu, P2 tidak ingin membuat ibunya kecewa terhadap perilakunya.

Berbeda dengan ibunya yang selalu perhatian dan peduli pada P2, Ayah P2 sekedar memberikan masukan ketika P2 ingin melakukan sesuatu.

Sedangkan dengan kakaknya, P2 saat ini jarang bertemu dengan kakaknya karena sedang melakukan studi di Bandung. Namun sebelum kakaknya pindah ke Bandung, P2 kadang berantem dengan kakaknya karena ia membuat kamarnya berantakan sehingga kakaknya tidak terima dengan perlakukan P2.

(59)

Ibu dari P2 merupakan seorang ibu rumah tangga, namun memiliki pekerjaan sampingan yakni laundry pakaian dan ikut temannya berdagang roti. Sedangkan ayahnya saat itu bekerja sebagai pegawai swasta dan untuk saat ini tidak diberitahu informasi yang lebih oleh P2 mengenai ayahnya.

Pengalaman P2 menjadi korban cyberbullying berawal ketika P2 diejek oleh temannya serta akun tidak dikenal yang memanggilnya bukan dengan nama asli melainkan dengan nama hewan. Selain itu, P2 sempat dilecehkan fisiknya oleh pelaku dengan mengatakan dirinya hitam serta ada juga yang mengatakan kata-kata kasar yang membuat dirinya kesal, kecewa dan membuat P2 selalu berpikiran tentang hal-hal yang tidak mengenakkan dirinya.

Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2020. Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta izin pada ibu dari partisipan terlebih dahulu. Wawancara pertama dilakukan di rumah partisipan tepatnya di kamar tidur pertisipan. Saat melakukan wawancara, partisipan mengenakan kaos dan celana pendek untuk menambah rasa santai saat melakukan wawancara. Peneliti membangun rapport kepada partisipan guna melancarkan ketika melakukan wawancara. Partisipan terlihat mengikuti alur yang sudah disiapkan oleh peneliti. Pada saat wawancara, setiap respon yang di keluarkan oleh partisipan mengandung rasa kepercayaan diri dan penuh semangat dengan logat bahasa jawanya. Namun di sisi lain, ketika partisipan mengungkapkan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir ............................................................................
Gambar 1. Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung harus melakukan upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penyerapan anggaran dengan cara melakukan pengesahan anggaran

Temuan dalam penelitian ini adalah banyak mahasiswa program studi pendidikan sejarah yang mengajar di SMP tidak sesuai dengan bidang keahliannya sehingga mahasiswa mengalami

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Perbedaan

Untuk itu, tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk mengetahui bahwa validasi metode KLT-Densitometri pada penetapan kadar kurkumin dalam kapsul lunak OHT Rheumakur ®

“GENDERANG BARATAYUDHA” VISUALISASI NOVEL PEWAYANGAN KE DALAM BENTUK KOMIK SEBAGAI MEDIA PENYAMPAIAN CERITA PEWAYANGAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Laporan  Pengaduan  Pelayanan  Publik  yang  telah  disetujui  oleh  Kepala  Bidang  Dokumentasi 

Tujuan dokumentasi audit Suatu dasar untuk merencanakan audit Suatu catatan tentang bukti yang dikumpulkan dan hasil pengujian Data untuk menentukan jenis laporan

Generasi CPU pertama dan kedua yang lebih tua mempunyai kecepatan frekuensi clock relatif rendah, dan semua komponen sistem dapat bekerja pada kecepatan tersebut. Diantara hal-