• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA LEXI WENAS DALAM NOVEL SIRKUIT KEMELUT KARYA ASHADI SIREGAR (ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONFLIK PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA LEXI WENAS DALAM NOVEL SIRKUIT KEMELUT KARYA ASHADI SIREGAR (ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA) SKRIPSI"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONFLIK PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA LEXI WENAS DALAM NOVEL SIRKUIT KEMELUT KARYA ASHADI SIREGAR

(ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh:

Bella Emelia Aryani 161224073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang-orang yang sering menanyakan kepada penulis perihal kapan waktu pelaksanaan sidang, serta kepada orang spesial yang senantiasa menemani dan memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini, yaitu Puspa Ningtyas Atmaja.

(3)

v MOTTO

“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

(Q.S At-Talaq: 4)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.”

(Q.S Al-Baqarah: 286)

(4)

viii ABSTRAK

Aryani, Bella Emelia. 2020. Konflik Psikologis Tokoh Utama Lexi Wenas dalam Novel Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar (Analisis Psikologi Sastra).

Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang konflik psikologis tokoh utama Lexi Wenas dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan tokoh dan penokohan, alur, dan latar yang terdapat dalam novel Sirkuit Kemelut untuk mengetahui konflik psikologis yang dialami tokoh utama Lexi Wenas.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan, alur, dan latar serta konflik psikologis tokoh utama Lexi Wenas akibat tidak terpenuhinya kebutuhan kebutuhan dasar.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Lexi Wenas, sedangkan tokoh tambahan adalah Joice, Kulman, Bonar, Papa Alex, Mama Alex, Paul, Om Albert, Papa Joice, Mama Joice, keluarga gelandangan, kondektur bus, kepala LP Cipinang, Hakim, Om Bun Leng, Om Bun Hwa, Sunliang, Karim, Wanda, Tante Liana, Om Burhan, Zulkifli, dan Elsa. Penokohan menggunakan teknik ekspositori dan teknik dramatik. Alur dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar meliputi delapan tahapan, yaitu paparan, rangsangan, gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, dan selesaian. Latar yang digambarkan dalam novel ini adalah latar waktu, latar tempat, latar suasana, dan latar sosial.

Hasil analisis psikologi sastra menurut teori kepribadian Abraham Maslow dalam menentukan konflik psikologis tokoh utama Lexi Wenas yang muncul karena tidak terpenuhinya beberapa aspek, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan keberadaan, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

Kata Kunci: konflik psikologis, unsur intrinsik, teori kepribadian, psikologi sastra

(5)

ix ABSTRACT

Aryani, Bella Emelia. 2020. Psychological Conflicts of Lexi Wenas as the Main Character in Ashadi Siregar‘s Sirkuit Kemelut. Thesis. Yogyakarta:

Indonesian Language Education and Literature Study Program, Department of Languages and Arts, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University.

This research investigated the psychological conflicts of the main character, Lexi Wenas, in Ashadi Siregar’s novel, Sirkuit Kemelut. Aim of the research was to describe the character and characterization, plot, and setting of the Sirkuit Kemelut novel to know the psychological conflicts that were experienced by the main character, Lexi Wenas.

The research employed a qualitative descriptive method. The method was used to describe the intrinsic features, for instance, character and characterization, plot, setting, and psychological conflicts that were experienced by the main character Lexi Wenas due to unfulfilling basic needs.

Research analysis showed that there was one main character and several supporting characters in Ashadi Siregar’s Sirkuit Kemelut. The main character was Lexi Wenas, while the supporting characters were Joice, Kulman, Bonar, Papa Alex, Mama Alex, Paul, Uncle Albert, Papa Joice, Mama Joice, homeless family, bus conductor, Head of Cipinang Penitentiary Institution, judge, Uncle Bun Leng, Uncle Bun Hwa, Sunliang, Karim, Wanda, Aunt Liana, Uncle Burhan, Zulkifli, and Elsa. Expository and dramatic techniques were used to analyze the characterization. The plot of the Sirkuit Kemelut novel by Ashadi Siregar included eight phases, namely exposition, inciting moment, rising action, conflict, complication, climax, reversal, and resolution. Types of setting reflected in this novel were the setting of time, setting of place, setting of environment, and social background.

The analysis of literary psychology according to Abraham Maslow’s personality theory revealed that psychological conflicts experienced by Lexi Wenas emerged because he could not fulfill several categories of needs: physiological, safety, love, acknowledgment, esteem, and self-actualization.

Keywords: psychological conflict, intrinsic feature, personality theory, literary psychology

(6)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Batasan Istilah ... 8

(7)

xiv

1.6 Sistematika Penyajian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

2.1 Penelitian yang Relevan ... 10

2.2 Landasan Teori ... 13

2.2.1 Pengertian Novel... 13

2.2.2 Unsur Fakta Cerita ... 15

2.2.3 Psikologi Sastra... 34

2.2.4 Teori Kepribadian Humanistik Abraham Maslow... 38

2.2.5 Teori Konflik ... 42

2.3 Kerangka Berpikir ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 48

3.1 Pendekatan Penelitian ... 48

3.2 Jenis Penelitian ... 49

3.3 Data dan Sumber Data ... 50

3.4 Instrumen Penelitian ... 51

3.5 Teknik pengumpulan data ... 51

3.6 Teknik analisis data ... 52

3.7 Triangulasi ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Deskripsi Data ... 55

(8)

xv

4.2 Hasil Penelitian ... 56

4.2.1 Unsur Fakta Cerita ... 56

4.2.2 Analisis Konflik Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar ... 99

4.3 Pembahasan ... 112

4.3.1 Unsur Fakta Cerita ... 113

4.3.2 Wujud Konflik Psikologis Tokoh Utama Lexi Wenas ... 117

BAB V PENUTUP ... 123

5.1 Kesimpulan ... 123

5.2 Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128

BIOGRAFI ... 131

LAMPIRAN ... 132

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dalam menghasilkan suatu karya yang memiliki nilai estetis serta manfaat bagi penikmatnya. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Karya sastra merupakan hasil imajinasi dari seorang pengarang yang diciptakan oleh diri sendiri maupun lingkungan (Wellek dan Warren, 2014:3). Selain berasal dari imajinasi pengarang, karya sastra juga dapat dihasilkan dengan adanya proses kreatif pengarang dalam mendeskripsikan ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengarang berhubungan dengan manusia dan kehidupan yang melingkupinya. Proses kreatif sangat menentukan baik buruknya sebuah karya sastra yang nantinya akan disuguhkan kepada pembaca. Sebagai karya kreatif, karya sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan manusia akan keindahan dengan pemilihan diksi yang tepat, sehingga pembaca mampu menafsirkan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karya sastra tersebut. Karya sastra juga merupakan seni penggambaran ekspresi diri yang dicurahkan dalam bentuk tulisan. Tulisan- tulisan tersebut kemudian dikembangkan dan diperindah dengan cara disenandungkan, dibaca dengan nada dan intonasi yang menarik, serta didemonstrasikan.

(10)

Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya (Siswanto dan Roekhan, 2015:91). Di dalam karya sastra, cerita serta bait-bait yang tertuang dalam kata-kata lahir dari sebuah renungan seorang sastrawan yang ingin mengungkapkan gagasannya. Hasil renungan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaruh latar belakang pengarang, imajinasi, dan lingkungan. Karya satra yang ditulis menjabarkan suatu kisah atau kejadian dari peristiwa tertentu. Melalui kejadian atau peristiwa inilah pengarang menghidupkan cerita dengan membangun karakter-karakter tokoh yang berperan penting dalam cerita tersebut. Tentunya karakter yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh tersebut sangat berbeda, mengingat manusia juga memiliki karakter yang berbeda dengan manusia lainnya. Berasal dari perbedaan dalam cerita tersebut terjadilah suatu peristiwa yang menarik. Peristiwa-peristiwa tersebut yang berhubungan dengan konflik, baik konflik dengan tokoh lain, konflik lingkungan, konflik dengan diri sendiri, maupun konflik dengan Tuhan.

Karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali aspek kejiwaan atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Oleh karena itu, peneliti dapat mengaitkan antara ilmu psikologi dengan karya sastra.

Alasan ini didorong dengan adanya tokoh dalam karya sastra yang dimanusiakan, tokoh dalam karya sastra semua diberi jiwa dan mempunyai raga supaya terlihat seolah-olah hidup di dalam bayangan pembaca.

Pada dasarnya antara psikologi dan sastra memiliki persamaan yaitu sama-sama membicarakan manusia dan keberlangsungannya sebagai makhluk

(11)

individu dan makhluk sosial. Psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasi karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi (Wiyatmi, 2011:1). Pemahaman manusia dalam sastra akan lengkap apabila ditunjang oleh psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti bahwa teori penelitian psikologi sastra berupa keterkaitan antara teori sastra dan teori psikologi.

Jika para peneliti sekadar menikmati suatu bacaan melalui pendekatan sastra, akan terasa kurang lengkap dan menyeluruh ketika ingin mencoba menggali lebih dalam tentang perilaku tokoh, apakah tokoh-tokoh tersebut mengalami masalah kejiawaan dalam dirinya? Keingin tahuan inilah yang mendorong para pakar psikologi dan sastra untuk menggali keterkaitan antara karya sastra dan ilmu psikologi. Penelitian psikologi sastra memiliki peran penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti:

pertama, pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan; kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan- balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan; dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis. Sebenarnya sastra dan psikologi dapat bersimbiosis dalam perannya terhadap kehidupan, karena keduanya sama- sama berurusan dengan persoalan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Keduanya memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah. Oleh karena itu,

(12)

pendekatan psikologi dianggap penting penggunaannya dalam penelitian sastra.

Analisis psikologi terhadap karya sastra, terutama fiksi dan drama, tampaknya memang tidak terlalu berlebihan karena baik sastra maupun psikologi sama- sama membicarakan manusia. Hal yang berbeda adalah sastra membicarakan manusia yang diciptakan manusia imajiner oleh pengarang, sedangkan psikologi membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di alam nyata. Meskipun sifat-sifat manusia dalam karya sastra bersifat imajiner, tetapi di dalam karya sastra menggambarkan karakter dan jiwa pengarang yang menjadikan manusia hidup di alam nyata sebagai model dari ciptaan pengarang. Terlebih salah satu tuntunan karakter tokoh adalah adanya dimensi psikologis tokoh selain dimensi sosial dan fisik. Dengan demikian, dalam menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia.

Sebagai tokoh imajinasi atau tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang bukanlah menjadi suatu pembatasan dengan tokoh nyata dalam menjalani proses kehidupan. Walaupun memiliki kesan imajiner, tokoh dalam fiksi juga memiliki peran yang sama dengan kehidupan manusia yang sebenarnya. Hal tersebut dikarenakan pengarang memasukkan aspek-aspek kemanusiaan pada diri tokoh-tokoh imajinasinya, sehingga terkesan hidup selayaknya manusia pada umumnya dengan segala bentuk permasalahan yang dihadapi. Aspek-aspek kemanusiaan itulah yang nantinya merupakan objek utama kajian psikologi sastra.

(13)

Dari uraian di atas, peneliti mengkaji novel Sirkuit Kemelut yang merupakan salah satu karya sastra yang ditulis oleh Ashadi Siregar dan terbit pada tahun 1976. Novel tersebut merupakan salah satu novel yang menampilkan berbagai watak serta perilaku terkait dengan kejiwaan dan pengalaman konflik-konflik yang ditampilkan melalui sosok tokoh utama lelaki yang bernama Lexi Wenas dan mengangkat kisah perjalanan kehidupannya.

Dinamika kehidupan Lexi bermula dari keluarga broken home dan menyeretnya ke pergaulan bebas dan kisah cinta yang rumit. Hal ini membuat kepribadiannya penuh dengan tekanan. Lexi tumbuh menjadi lelaki pembenci kehidupan. Dia benci pada ibu yang melahirkannya karena perempuan itu meninggalkannya demi cinta lelaki lain. Dia juga membenci ayahnya yang tak pernah menyayanginya. Di atas itu semua dia membenci dirinya karena telah membuat kesalahan fatal, memperkosa gadis yang sebetulnya disayanginya. Kasus pemerkosaan itu membuat Lexi terusir dari rumah ayahnya. Dia berjuang untuk hidup di jalan, sampai akhirnya dia berhasil menjadi pembalap motor terkenal dan memiliki banyak uang. Tapi, Lexi tak peduli dengan uangnya, karena dia tak tahu apa sebetulnya tujuan hidupnya. Sampai akhirnya ia menemukan pelabuhan hatinya pada diri seorang wanita lembut seusia ibunya. Wanita yang mencintainya bak anak sendiri, namun Lexi mencintainya seperti kekasihnya.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji konflik psikologis dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar dari segi psikologi tokohnya. Hal itu dikarenakan novel tersebut menggambarkan kondisi dan perasaan yang sama dengan beberapa orang di dunia. Oleh sebab itu, peneliti

(14)

ingin mengetahui kondisi kejiwaan seseorang yang mengalami konflik di kehidupannya seperti dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar.

Kemudian untuk membantu menganalisis konflik psikologis yang dialami tokoh utama dalam novel tersebut, peneliti akan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologi atau kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Watak tokoh dalam sebuah cerita adalah bagian dari unsur intrinsik sebuah karya sastra, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra, sedangkan pendekatan ekstrinsik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi yang menerapkan hukum-hukum psikologi pada karya sastra bukan berdasar psikologi pengarang. Dalam hal ini, analisis dimaksudkan untuk mengetahui unsur intrinsik berupa tokoh, penokohan, alur, dan latar serta konflik psikologis tokoh utama dalam novel Sirkuit Kemelut dengan unsur psikologi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah tokoh, penokohan, alur, latar dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar?

b. Bagaimanakah wujud konflik psikologis yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar?

(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam peneliti ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan tokoh, penokohan, alur dan latar novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar.

2. Memaparkan wujud konflik psikologis yang dialami tokoh utama dalam novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca, adapun manfaatnya sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada peneliti sastra terutama dalam memahami karakter dan konflik psikologi dari tokoh utama novel berjudul Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar.

b. Manfaat Praktis

1) Dapat dijadikan bahan kajian mahasiswa khususnya untuk lebih memahami tentang penelitian sastra dengan ilmu psikologi.

2) Dapat meningkatkan pengetahuan Metodologi Penelitian mahasiswa, terutama dalam menganalisis kepribadian tokoh dalam cerita fiksi.

3) Dapat memberikan referensi bagi peneliti dalam proses penelitian.

(16)

1.5 Batasan Istilah

Untuk memahami penelitian ini, peneliti memberikan batasan-batasan istilah dalam mendukung pemahaman pembaca. Berikut batasan istilah, yaitu:

a. Konflik psikologis: konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita (Nurgiyantoro, 2013:181).

b. Tokoh utama: tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan serta tokoh yang sering muncul dalam suatu cerita dan memiliki peran penting pada jalannya cerita (Nurgiyantoro, 2013:259).

c. Psikologi sastra: kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya (Endraswara, 2004:96).

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam skripsi ini disajikan terbagi dalam lima bab.

Bab I dalam pendahuluan akan menguraikan (a) latar belakang, (b) rumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) batasan istilah, dan (f) sistematika penyajian. Baba II menguraikan landasan teori yang digunakan sebagai acuan yang terdiri dari (a) penelitian terdahulu yang relevan, (b) kajian pustaka, dan (c) kerangka berpikir. Bab III adalah metodologi penelitian yang berisi (a) pendekatan dan jenis penelitian, (b) data dan sumber data penelitian, (c) instrument penelitian, (d) teknik pengumpulan data, (e) teknik analisis data, dan (f) triangulasi.

Bab IV berisi hasil dan pembahasan, yang meliputi (a) analisis tokoh, penokohan, alur, dan latar yang membentuk konflik psikologis tokoh utama, (b) analisis konflik

(17)

psikologis dengan teori kepribadian Abraham Maslow, dan (c) konflik psikologis tokoh utama. Bab V berisi tentang (a) kesimpulan dan (b) saran. Bagian akhir skripsi ini terdapat daftar pustaka dan lampiran.

(18)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian yang Relevan

Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menemukan dua penelitian yang relevan dengan judul “Konflik Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar (Analisis Psikologi Sastra)”, yaitu penelitian milik Arina Destinawati tahun 2012 yang merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta yang mengangkat judul “Konflik Psikologis Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Sebuah Cinta yang Menangis Karya Herlinatiens”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih mengkaji tentang bentuk-bentuk konflik psikologis yang dialami oleh tokoh utama perempuan dalam novel Sebuah Cinta yang Menangis karya Herlinatiens. Novel ini juga memiliki sisi psikologis tentang seorang perempuan yang mengalami pertentangan batin tentang cinta dan kehidupannya serta memiliki isi cerita yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan perasaan yang melingkupinya. Perasaan tersebut melingkupi perasaan kasih sayang, pergolakan batin, dan sebuah keinginan dan pencapaiannya. Hal seperti itulah yang membuat novel tersebut dapat diteliti menggunakan analisis psikologi sastra. Selain itu, peneliti juga mengkaji usaha-usaha tokoh utama perempuan dalam menyelesaikan konflik psikologis dalam novel Sebuah Cinta yang Menangis karya Herlinatiens.

(19)

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengangkat judul tentang “Analisis Psikologi Tokoh Utama dalam Novel Tentang Kamu Karya Tere Liye Menggunakan Psikologi Behaviorisme serta Kaitannya dengan Pembelajaran Sastra di SMA”. Penelitian ini ditulis oleh Nurul Azmi Hidayati mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram yang selesai pada tahun 2018 dan berpijak pada teori psikologi yang membahas tentang psikologi tokoh dalam novel dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra.

Penelitian tersebut memiliki pokok yang telah dirumuskan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Bagaimanakah psikologi tokoh utama yang terdapat dalam novel Tentang Kamu karya Tere Liye berdasarkan psikologi behaviorisme perspektif Skinner? (2) Bagaimanakah kaitan hasil analisis psikologi tokoh utama yang terdapat pada Novel Tentang Kamu karya Tere Liye berdasarkan psikologi behaviorisme perspektif Skinner dengan pembelajaran sastra di SMA? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan psikologi tokoh utama yang terdapat dalam Novel Tentang Kamu karya Tere Liye berdasarkan psikologi behaviorisme perspektif Skinner serta menemukan kaitannya dengan pembelajaran sastra di SMA.

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Data yang dianalisis dalam penelitian ini berupa kutipan atau dialog-dialog tokoh utama yang terdapat di dalam novel Tentang Kamu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Tokoh utama Sri Ningsih adalah seorang yang kreatif, cerdas, cerdik,

(20)

bertanggung jawab, tidak mudah putus asa, memiliki solidaritas yang tinggi, sederhana, mandiri, penyabar, penyayang, serta bijaksana (2) Hasil analisis psikologi tokoh utama berdasarkan psikologi behaviorisme B.F. Skinner memiliki kaitan dengan pembelajaran sastra di SMA, sesuai dengan kurikulum KTSP yang memiliki Standar Kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat novel Indonesia atau novel terjemahan, dan Kompetensi Dasar (KD) menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia atau novel terjemahan.

Berdasarkan dua penelitian yang terdahulu, dapat diketahui adanya hubungan atau keterkaitan antara karya sastra (novel) dengan ilmu psikologi. Kedua penelitian yang telah dilaksanakan memiliki kesamaan objek yang dianalisis dalam karya sastra berbentuk novel dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pada penelitian pertama, dianalisis konflik batin yang dialami oleh tokoh utama, sedangkan pada penelitian kedua dianalisis psikologi atau kejiawaan dari tokoh utama. Perbedaan dari penelitian satu dan penelitian dua juga terletak pada keterkaitan dari hasil analisis tersebut. Penelitian pertama mengaitkan hasil analisisnya terhadap kehidupan sosial, sedangkan penelitian kedua mengaitkan hasil analisisnya dengan pembelajaran kurikulum di SMA. Selain itu, ada hal yang membekadan antara kedua penelitian terdahulu dengan penelitian ini, yaitu terletak pada objek dan teori psikologi yang digunakan.

Arina Destinawati meneliti konflik psikologis tokoh dalam novel menggunakan teori kepribadian Sigmund Freud, sedangkan Nurul Azmi Hidayati menggunakan teori kepribadian behaviorisme milik B.F. Skinner. Kebaruan penelitian yang ditulis oleh peneliti adalah penerapan teori kepribadian humanistik

(21)

Abraham Maslow dalam menganalisis kejiwaan tokoh. Peneliti mengambil teori tersebut dikarenakan teori dari Abaram Maslow dirasa cocok untuk menganalisis kejiwaan tokoh utama akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga menjadikan gejolak atau pertentangan dalam batin tokoh dengan menggunakan teori kepribadian humanistik milik Abraham Maslow.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) Pengertian novel, (2) Unsur fakta cerita, (3) Tokoh dan penokohan, (4) Alur, (5) Latar, (6) Pendekatan psikologi sastra, (7) Teori kepribadian humanistik Abraham Maslow, (8) Teori mengenai konflik psikologis. Teori-teori tersebut sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Adapun uraian teori di atas dijabarkan sebagai berikut.

2.2.1 Pengertian Novel

Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra yang disebut fiksi.

Selain itu, novel dalam bahasa Italia novella dan dalam bahasa Jerman novelle yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Semakin berkembangnya zaman, novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‘novelet’ yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2013:12).

(22)

Sugihastuti dan Suharto (2005: 43) menjelaskan bahwa novel merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur yang terpadu. Unsur-unsur tersebut yang akan memberikan kesan berupada perasaan kepada pembaca setelah mengetahui isi cerita dari novel tersebut.

KBBI (2005) novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Rangkaian cerita dalam novel tentunya mengandung berbagai unsur baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Unsur intrinsik atau dalam Bahasa Inggris intrinsic adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra. Keterpaduan anatar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel tampak lebih menarik. Unsur-unsur yang dimaksudkan yaitu seperti yang dikatakan oleh Nurgiyantoro (2013: 30) meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Dari beberapa uraian mengenai pengertian novel di atas, dapat dikatakan bahwa novel adalah karangan prosa fiksi yang panjang dan memiliki struktur yang didalamnya mengandung unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur-unsur tersebut yang membangun novel menjadi cerita yang menarik bagi pembaca. Selain itu, novel juga memiliki nilai-nilai budaya, sosial, pendidikan, bahkan moral yang dapat memberi pesan positif kepada pembaca.

(23)

2.2.2 Unsur Fakta Cerita

Stanton (2007:22) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema dan sarana pengucapan (cerita). Fakta (fact) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot dan latar. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Ketiganya dirangkum menjadi satu dan dinamakan sebagai struktur faktual atau tingkatan faktual cerita.

Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.

2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan

Dalam sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi pemeran di cerita tersebut.

Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang sama persis. Ada istilah yang pengertiannya merujuk pada tokoh cerita dan pada teknik pengembangannya dalam sebuah cerita.

a) Tokoh

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) menjelaskan bahwa tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Selain itu, Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedangkan

(24)

penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas diri tokoh melalui kata dan tindakannya.

Walau tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, namun dapat dikatakan sama halnya dengan seorang tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana dalam kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, serta memiliki pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dunia fiksi, tokoh haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dan perwatakan yang disandangnya. Apabila terjadi seorang tokoh bersikap dan bertindak tidak sesuai dengan citranya yang telah digambarkan sebelumnya, hal itu seharusnya tidak terjadi begitu saja, tetapi harus dapat dipertanggungjwabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memiliki kadar plausibilitas. Karena tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Perbedaan tokoh ke dalam kategori ini didasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita tersebut, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan mungkin hanya dalam porsi yang relatif singkat. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (centar character), sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan atau tokoh peripheral (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini senantiasa

(25)

hadir dalam setiap kejadian yang ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan sering diabaikan atau kurang mendapat perhatian karena sinopsis cerita hanya berisi intisari cerita yang diperankan oleh tokoh utama (Nurgiyantoro, 2013:258).

Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, tergantung dari segi fungsi penampilan tokoh. Fungsi ini membedakan adanya tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Altenbernd & Lewis dan Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2013:261) menjelasakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Demikian pembaca akan memberikan empati kepada tokoh tersebut. Namun, dalam novel atau cerita fiksi lainnya harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya permasalahan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh yang menjawab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, secara fisik ataupun secara batin. Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan ketegangan sehingga cerita menjadi menarik.

Konflik yang dialami tokoh protagonis tidak harus disebabkan oleh tokoh antagonis yang dapat ditunjuk secara jelas. Dapat pula disebabkan oleh hal-hal lain di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan yang lebih tinggi,

(26)

dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2013:262). Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh tokoh/manusia disebut sebagai kekuatan antagonis, antagonistic force menurut Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2013:262). Konflik bahkan mungkn disebabkan oleh diri sendiri, misalnya seorang tokoh akan memutuskan sesuatu yang penting dengan menuntut konsekuansi, sehingga terjadi pertentangan dalam diri tokoh itu sendiri.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh adalah orang atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita maka cerita tersebut tidak akan hidup dan tidak menarik. Kehadiran tokoh juga berperan sebagai penyampai informasi melalui tuturan dan tindakannya yang mengandung nilai-nilai penting serta pesan bagi pembaca.

b) Penokohan

Stanton (2007:33) menjelaskan mengenai penggunaan istilah karakter dalam berbagai cerita yang merujuk pada dua konteks yang berbeda. Konteks pertama, yaitu karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dengan demikian, karakter dapat diartikan sebagai ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’.

Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimiliki, keduanya merupakan suatu kepaduan yang utuh.

Istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan

‘perwatakan’, sebab ia sekaligus mencakup masalah tentang siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan atau pelukisannya dalam

(27)

sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Penokohan sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2013:248).

Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi yang dapat dikaji atau dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya, misalnya unsur penokohan dengan unsur plot, tema, unsur latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan lain-lain. Salah satunya dalam kaitannya unsur penokohan dengan unsur plot, plot sekadar merupakan sarana untuk memahami perjalanan kehidupan tokoh. Atau sebaliknya, untuk menunjukkan jati diri dan kehidupan tokoh, ia perlu diplotkan perjalan kehidupannya. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa penokohan dan pemlotan merupakan dua fakta cerita yang saling memengaruhi dan menggantungkan antara satu dengan yang lainnya. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Terdapat kejadian demi kejadian ketegangan konflik dan sampai ke klimaks yang notabene semuanya merupakan hal-hal yang essensial dalam plot.

Dari tokoh-tokoh tersebut, terdapat dua teknik penggambaran tokoh, yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik ekspositori disebut juga dengan teknik analitis, penulisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung oleh pengarang. Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, hal itu tidak akan berwujud penuturan yang berbentuk dialog. Hal inilah yang membantu pembaca dengan mudah memahami ciri-ciri kedirian tokoh tanpa harus menafsirkan sendirir dengan kemungkinan-

(28)

kemungkinan yang kurang tepat. Berbeda halnya dengan teknik dramatik, yaitu dilakukan secara tidak langsung. Maksudnya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata atau ucapan maupun nonverbal lewat tindakan, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2013:279-283).

Nurgiyantoro (2013:283-297) mengemukakan penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Berbagai teknik yang dimaksud, yaitu (a) teknik cakepan, (b) teknik tingkah laku, (c) teknik pikiran dan perasaan, (d) teknik arus kesadaran, (e) teknik reaksi tokoh, (f) teknik reaksi tokoh lain, (g) teknik pelukisan latar, (h) teknik pelukisan fisik, (i) catatan tentang identifikasi tokoh.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa penokohan berbeda dengan tokoh. Penokohan merupakan gambaran pengarang dalam menampilkan karakter atau watak tokoh dalam sebuah cerita. Karakter tokoh tersebut dapat ditampilkan dengan du acara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Artinya, karakter tokoh dapat dilihat melalui deskripsi pengarang atau melalui dialog antar tokoh.

2.2.2.2 Alur

Stanton (2007:26) mengemukakan bahwa alur atau plot merupakan rangkian peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada

(29)

peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa-peristiwa yang tidak terhubung secara kausal sering dipandang ‘irelevan’ terhadap alur dan sering diabaikan dalam penulisan ringkasan alur. Akan tetapi, sebuah cerita yang dianggap bagus jarang sekali mengandung peristiwa-peristiwa irelevan. Bahkan, semakin sedikit karakter dalam sebuah cerita, semakin rekat dan padat pula alur yang mengalir di dalamnya.

Selain itu, Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Sama halnya pengertian plot menurut Forster (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) yang menjelaskan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Jadi, dari beberapa pandangan ahli terhadap pengertian dari plot sendiri sebenarnya memiliki inti yang sama, bahwa plot merupakan sebuah urutan kejadian yang berisi peristiwa- peristiwa yang terjadi karena adanya sebab dan akibat untuk mencapai suspense dan surprise pada pembaca.

Plot merupakan cerminan bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan manusia bersifat plot jika memiliki sifat khas, yaitu mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang terpenting adalah menarik untuk diceritakan. Sebagaimana dikatakan oleh Forster

(30)

(dalam Nurgiyantoro, 2013:169) bahwa plot dalam cerita fiksi memiliki sifat misterius dan intelektual. Artinya, plot dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah.

Plot juga menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mengharukan dan mencekam bagi pembaca. Hal itu mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya.

Nurgiyantoro (2013:212-213) mengemukakan bahwa plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Salah satunya yaitu didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu jumlah dan kepadatan. Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam teks fiksi yang bersangkutan. Urutan waktu dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita.

Oleh sebab itu, karena memiliki kebebasan kreativitas, pengarang dapat memanipulasi urutan waktu kejadian sekreatif mungkin, tidak harus bersifat linear kronologis. Dalam hal ini dapat dibedakan plot ke dalam dua kategori: kronologis dan tidak kronologis. Dari dua kategori tersebut, dapat dibedakan ke dalam dua jenis plot, yang pertama disebut sebagai plot lurus, maju atau dapat disebut dengan progresif dan yang kedua disebut sebagai regresif flash-back, atau sorot balik/mundur.

Plot dalam sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtut dimulai dari tahap awal, tengah dan akhir. Lalu, urutan kejadian yang berplot regresif berarti tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dapat dimulai dari tahap tengah bahkan akhir,

(31)

kemudian dilanjutkan dengan tahap awal cerita. Pada pemlotan jenis regresif ini, pembaca langsung disuguhkan dengan teks adegan-adegan konflik yang meninggi, kemudian pembaca baru disuguhkan peristiwa secara kronologis (Nurgiyantoro, 2013:213-214).

Dari kedua plot tersebut, terdapat pula jenis plot lainnya, yaitu plot campuran. Secara garis besar plot sebuah novel bersifat progresif, tetapi di dalamnya beberapa adegan bersifat regresif. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, pengategorian plot sebuah novel ke dalam progresif atau regresif, sebenarnya lebih didasarkan pada jenis plot yang lebih menonjol. Hal itu disebabkan pada kenyataan sebuah novel pada umumnya yang mengandung kedua jenis plot tersebut (Nurgiyantoro, 2013:216).

Secara umum plot cerita memiliki unsur-unsur dan tahapan di dalamnya, berikut penjelasannya:

1. Unsur-Unsur Plot a. Peristiwa

Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 2013:173) mengartikan bahwa peristiwa sebagai pearalihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.

Melalui pengertian ini dapat dibedakan kalimat dalam cerita fiksi menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Peristiwa

sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. (1) Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan atau memengaruhi perkembangan plot. Kehadiran peristiwa-peristiwa tersebut dalam

(32)

kaitannya dengan logika cerita merupakan suatu keharusan dan jika sejumlah peristiwa fungsional ditinggalkan atau dihilangkan, hal itu akan menyebabkan cerita menjadi lain atau bahkan menjadi kurang logis. (2) Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita atau secara plot. Berbeda halnya dengan peristiwa fungsional, peristiwa kaitan kurang memengaruhi perkembangan plot cerita, sehingga seandainya ditinggalkan atau dihilangkan tidak berpengaruh terhadap lagika cerita. (3) Peristiwa acuan, peristiwa ini adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh atau berhubungan dengan pengembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh.

b. Konflik

Konfik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan mengisyaratkan adanya aksi dan aksi balasan menurut Wellek & Werren (dalam Nurgiyantoro, 2013:179). Konflik menunjuk pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, mereka tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya menurut Meredith & Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 2013:179).

(33)

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:181) mengemukakan bahwa bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal. (1) Konflik eksternal (external conflict) adalah konflik yang terjadi anatara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau mungkin dengan lingkungan manusia atau bahkan tokoh lain. Dengan demikian menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2013:181) konflik eksternal dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical conflict) dan konflik sosial (social conflict). a) Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya, adanya banjir besar, kemarau panjang, gunung Meletus, dan sebagainya yang memicu suatu masalah. b) Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh kontak sosial antarmanusia. Seperti halnya masalah perburuhan, penindasan, percekcokan, peperangan, atau kasus-kasusu hubungan sosial lainnya. (2) Konflik internal (atau: konflik kejiwaan, konflik batin) adalah konflik yang terjadi ddalam hati dan pikiran serta dalam jiwa seorang tokoh dalam cerita. Jadi, konflik ini adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah yang alainnya.

(34)

c. Klimaks

Stanton (2007:32) menjelaskan bahwa klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari terjadinya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa saat itu memang harus terjadi. Stanton (2007:32) menjelaskan lagi bahwa klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan akan diselesaikan. Hal itu diperkuat oleh Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2013:185) yang mengemukakan bahwa klimaks sebagai any moment of great intensity in literary work.

Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut sulit dikenali karena konflik- konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri (Stanton, 2007:32).

2. Tahapan Plot

Plot sebuah cerita harus memiliki hubungan dan keterkaitan antar peristiwa. Hubungan tersebut hendaklah jelas, logis, dan dapat dikenali hubungan kewaktuannya. Sehingga, dapat menyuguhkan cerita yang utuh dan padu. Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2013:201) mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end).

Tahapan plot dapat digambarkan sebagai berikut.

(35)

a. Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita disebut juga sebagai tahap perkenalan.

Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap awal juga sering dipergunakan untuk pengenalan tokoh-tokoh cerita, dapat berwujud deskripsi fisik, bahkan mungkin juga perwatakannya.

Tahap awal berupa pengenalan tokoh yang akan membawa pembaca untuk berkenalan atau mengenali tokoh yang dikisahkan.

Melalui cara ini, pembaca dapat mengetahui tentang “siapa dan bagaimana” tokoh-tokoh tersebut khususnya yang berhubungan dengan jati diri tokoh itu sendiri. Melalui tahap awal inilah pembaca dapat mengetahui kisah yang akan diceritakan dalam novel yang dibacanya.

Berikut adalah penjelasan bagian dalam tahapan awal sebuah plot.

1) Paparan (exsposition)

Paparan adalah penyampaian informasi awal kepada pembaca yang disebut juga dengan eksposisi. Pada bagian ini pengarang memberikan gambaran awal kepada pembaca untuk mengikuti jalan ceritanya. Pengarang memperkenalkan para tokoh, menggambarkan secara singkat watak para tokoh, dan menjelaskan tempat terjadinya peristiwa dalam cerita.

2) Rangsangan (inciting moment)

(36)

Pada rangsangan terjadi peristiwa yang menimbulkan terjadinya gawatan sehingga memiliki potensi untuk mengembangkan jalan cerita yang akan berlanjut pada bagian gawatan. Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru sebagai katalisator. Tak ada patokan tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan berapa lama sesudah itu sampai pada gawatan.

3) Gawatan/tegangan (rising action)

Tegangan ialah ketidakpastian yang berkepanjang dan semakin menjadi-jadi. Adanya tegangan menyebabkan pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan cerita serta penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.

b. Tahap Tengah

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian yang menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal atau konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita. Dalam tahap inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik dapat dilihat kembali pada pembicaraan sebelumnya.

1) Tikaian (conflict)

(37)

Tikaian ialah perselisihan yang timbul sebagai akibat ari adanya dua kekuatan yang bertentangan, satu diantaranya diwakili oleh manusia/seorang yang biasanya menjadi protagonis dalam cerita. Tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri tokoh itu sendiri (Sudjiman, 1988:35).

2) Rumitan (complication)

Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks cerita.

3) Klimaks

Klimaks akan terjadi apabila sudah mencapa puncaknya.

Oleh sebab itu klimaks dapat dikatakan sebgai puncak cerita.

c. Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks (Nurgiyantoro, 2013:205). Pada tahap ini berisi tetang kesudahan cerita, atau menyarankan pada akhir sebuah cerita. Pembaca akan mengetahui akhir dari kisah yang diceritakan didalamnya. Kisah akhir cerita dapat berupa akhir yang Bahagia atau bahkan akhir yang menyedihkan seperti kematian.

Berikut penjelasan beberapa struktur dalam tahap akhir:

(38)

1) Leraian (falling action)

Leraian adalah tahap yang menunjukkan peristiwa kea rah penyelesaian.

2) Selesaian (denouement)

Selesaian merupakan bagian akhir atau penutup cerita. Tidak menutup kemungkinan sebuah cerita berakhir dalam keadaan salah satu atau bahkan beberapa tokoh masih berada dalam masalah.

Dari uraian penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa plot merupakan urutan atau jalannya suatu cerita yang berisi urutan kejadian dan tiap kejadian itu dihubungkan dengan sebab akibat dari peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pernyataan ini menjelaskan bahwa plot atau alur merupakan rangkaian cerita yang berisi kejadian karena adanya sebab dan akibat. Selain itu, alur juga memiliki struktur berupa tahapan-tahapan yang dibagi menjadi tiga, yaitu tahap awal, tengah, dan akhir.

2.2.2.3 Latar

Stanton (2007:35) mengemukakan latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Lalu, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:302) mengemukakan latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu

(39)

sejarah dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Kemudian, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:302) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Pengelompokan inilah yang dapat membangun suatu cerita menjadi utuh dan lebih menarik untuk dibaca karena keterkaitan atau kesinambungan antara ketiga elemen tersebut.

1. Unsur Latar

Nurgiyantoro (2013:314) menyebutan unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial-budaya. Ketiga unsur ini saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.

Penjelasan ketiga unsur pokok tersebut adalah sebagai berikut, a. Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, bahkan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, Juranggede, Cemarajajar, Kramat, Grojogan, dan lain-lain.

Sedangkan tempat dengan inisial tertentu, juga menyaran pada tempat tertentu, misalnya kota M, S, T dan desa B. Latar tempat yang tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum

(40)

tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota kecamatan, dan sebagainya.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah waktu dalam karya naratif, menurut Genette (dalam Nurgiyantoro, 2013:318) memiliki makna ganda, di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, sedangkan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.

Kejelasan wakyu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu penceritaanya.

Dalam latar waktu, jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam cerita fiksi, keadaan itu akan menyebabkan cerita menjadi tidak wajar, bahkan mungkin sekali tidak masuk akal dan pembaca seolah merasa dibohongi. Misalnya, seperti cerita majapahit, tetapi menggunakan bahasa/property masa kini. Hal inilah yang dalam dunia fiksi dikenal dengan sebutan anakronisme, tidak cocok dengan urutan (perkembangan) waktu (sejarah). Dengan demikian, anakronisme lebih menyaran pada hal-hal yang bersifat negatif.

c. Latar Sosial-Budaya

(41)

Nurgiyantoro (2013:322) menjelaskan latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Masalah tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial- budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial-budaya memang dapat meyakinkan penggambaran suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya masyarakat. Di samping berupa hal- hal yang telah dikemukakan, latar sosial-budaya dapat pula digunakan dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Selain penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam cerita fiksi juga banyak yang berhubungan dengan latar sosial-budaya.

d. Latar Penyituasian (Suasana)

Nurgiyantoro (2013:334) latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya latar penyituasian. Dalam cerita pada tahap awal, tengah, akhir pada umumnya berisi latar penyituasian atau yang disebut latar suasana.

Adanya situasi tertentu yang mampu “menyeret” pembaca ke dalam cerita, akan menyebabkan pembaca terlibat secara emosional. Hal ini

(42)

penting sebab dari sinilah pembaca akan tertarik, bersimpati, dan berempati, meresapi dan mengkhayati cerita secara insentif.

Perlu diketahui pula bahwa atmosfer cerita adalah emosi yang dominan dirasakan oleh tokoh dan berfungsi untuk mendukung elemen- elemen cerita lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan (Altenberd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2013:335). Atmosfer tersebut dapat ditimbulkan dengan deskripsi detail-detail, irama tindakan, tingkat kejelasan dan kemasukakalan berbagai peristiwa, kualitas dialog, dan bahasa yang dipergunakan.

Dari uraian di atas, latar merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. latar mencakup penggambaran tentang letak geografis, waktu berjalannya peristiwa, suasana atau emosioal tokoh, serta keadaan lingkungan sosial. Dalam berbagai cerita dapat diketahui bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang berhubungan dengan tokoh.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa latar juga berperan penting dalam menampilkan karakterisasi tokoh pada karya sastra.

2.2.3 Psikologi Sastra

Psikologi berasal dari kata Yunani phyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa (Sarlito, 2018:1). Dapat dikatakan pula psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2010:3).

(43)

Wundt (dalam Walgito, 2010:7) psikologi itu merupakan ilmu tentang kesadaran manusia. Di samping itu, Woodworth dan Marquis (dalam Walgito, 2010:8) mengajukan pendapat bahwa yang dimaksud dengan psikologi itu merupakan ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu. Karena itu psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas, dari perilaku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan.

Lalu, sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sastra adalah bahasa yang digunakan dalam kitab- kitab. Namun, dapat dikatakan pula bahwa sastra merupakan ungkapan ekspresi manusia yang berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan pada pemikiran, pengalaman, hingga perasaan dalam bentuk imajinatif.

Jatman (dalam Endraswara, 2013:97) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional. Karena, baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sams-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.

Kedua bidang ilmu tersebut merupakan suatu kajian yang meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Kajian psikologi sastra merupakan sebuah interdisipliner antara psikologi dan sastra (Endraswara dalam Minderop, 2010:59). Daya Tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan

(44)

potret jiwa. Lalu, Endraswara (2013:96) menjelaskan psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologi hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karya dalam berkarya.

Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara dalam Minderop, 2010:54). Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan, psikologi sastra pun mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan.

Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian.

Pertama, adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.

Kedua, adalah studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Lalu keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca) (Wellek & Werren, 1990:90). Pendekatan psikologi merupakan kritik yang ingin memperlihatkan proses kejiwaan pengarang pada saat menciptakan karya sastra dan proses kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra.

(45)

Dengan menggunakan pendekatan psikologi, dapat diamati tingkah laku tokoh- tokoh dalam sebuah karya sastra (novel). Apabila tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel sesuai dengan aspek kejiwaan manusia, hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan teori-teori psikologi dapat dikatakan berhasil karena dapat menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Hardjana, 1985:66).

Dari beberapa istilah di atas, psikologi sastra merupakan ilmu yang menggabungkan antara teori tentang kejiwaan manusia dengan teori sastra.

Walaupun psikologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki otonom dan berdiri sendiri dengan objek psikologinya adalah manusia, sedangkan objek novel adalah manusia rekaan pengarang. Namun diantara keduanya terdapat titik temu yang teorinya dapat dimanfaatkan untuk membantu mengkaji karakter tokoh-tokoh dalam karya sastra.

Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisi terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian (Endraswara dalam Minderop, 2010:59).

Terdapat berbagai macam teori psikologi dari pakar-pakar atau ahli ilmu psikologi. Teori yang banyak dikolaborasikan dengan karya sastra adalah teori kepribadian, karena teori ini lebih menitik beratkan pada analisis kepribadian tokoh atau manusia. Diantaranya adalah teori kepribadian psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, teori kepribadian behavioral yang dikemukakan

(46)

oleh B.F. Skinner, teori kepribadian kognitif yang dikemukakan oleh Albert Ellis dan teori kepribadian humanistik oleh Abraham Maslow.

Dari beberapa teori kepribadian di atas, teori kepribadian humanistik yang dikemukakan oleh Abraham Maslow merupakan teori yang digunakan peneliti untuk menganalisis konflik psikologis tokoh dalam novel Sirkuit Kemelut. Di dalam teori kepribadian humanistik milik Abraham Maslow ini dijelaskan tentang lima kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang dianalisis oleh peneliti dalam kaitannya dengan konflik psikologis yang dialami tokoh dalam novel tersebut.

2.2.4 Teori Kepribadian Humanistik Abraham Maslow

Konsep fundamental Maslow menyebutkan, manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis atau naruliah (Hamzah, 2019:59). Kebutuhan- kebutuhan itu merupakan inti dari kodrat manusia, hanya saja terkadang manusia lemah, mudah tertipu dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Suatu sifat dapat dipandang sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi syarat- syarat berikut: ketidakhadirnya akan menimbulkan penyakit, kehadirannya akan mencegah penyakit, dan pemulihannya akan menyembuhkan penyakit.

Setiap manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, untuk memenuhi kebutuhannya manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada.

Adapun hierarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut: (1) kebutuhan fisiologis atau kebutuhan dasar, (2) kebutuhan akan rasa aman dan tentram, (3) kebutuhan

(47)

untuk dicintai dan disayangi, (4) kebutuhan dihargai, dan (5) kebutuhan untuk aktualisasi diri (Hamzah, 2019:60).

Kebutuhan Dasar 1: Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan fisiologis (physiological needs) adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya, karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup. Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis itu antara lain kebutuhan akan makanan, air, oksigen, aktif, istirahat, keseimbangan temperature, seks, dan kebutuhan akan stimulasi sensoris.

Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan absolut (kelaparan dan kehausan) semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan semua kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini (Hamzah, 2019:60).

Kebutuhan Dasar 2: Kebutuhan Keamanan (Safety)

Menurut Maslow, kebutuhan akan rasa aman ini adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Sesudah kebutuhan keamanan terpuaskan secukupnya, muncul kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur hukum, keteraturan, batas, kebebasan dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan fisiologis dan keamanan pada dasarnya adalah kebutuhan mempertahankan kehidupan.

Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan hidup jangka pendek, sedang keamanan adalah pertahanan hidup jangka Panjang (Hamzah, 2019:61).

Kebutuhan Dasar 3: Kebutuhan Dimiliki dan Rasa Cinta (Belonging and Love) Sesudah kebutuhan fisiologis dari keamanan relatif terpuaskan, kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang

(48)

dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta.

Kebutuhan akan cinta ran rasa memiliki ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan efektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan berlainan jenis di lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat (Koeswara, 1991:122).

Kebutuhan dimiliki ini terus penting sepanjang hidup. Ada dua jenis cinta (dewasa) yakni Deficiency atau D-Love dan Being atau B-love. Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-Love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks, atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya: hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat orang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, yang memperoleh daripada memberi. B-Love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan orang itu. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang.

Kebutuhan Dasar 4: Kebutuhan Harga Diri (Self Esteem)

Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan yakni: Harga diri, penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan dari orang lain. Harga diri dapat meliputi: kepercayaan diri, kompetensi,

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini antara lain tentang kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, bagaimana efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016

Atas dasar permohonan Pemohon tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

melaksanakan program layanan bimbingan konseling dalam kategori tidak besar. Item no 15 pada apakah cukup jumlah waktu yang dibutuhkan untuk. melaksanakan program

Salah satu yang menjadi pilihan penyelesaian sengketa adalah mediasi yang merupakan suatu proses yang dilaksanakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak yang dilakukan

Maksilektomi merupakan suatu tindakan bedah pada sinonasal yang bersifat rumit mengingat kedekatannya dengan struktur organ vital seperti mata dan otak. Sehingga untuk

19 Jika saya sedang bermain dengan teman- teman, saya sering lupa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru saya. 20 Saya berusaha bertanya atau mencari

Suma'mur, Keselamatan Kerja dan Gunung Agung,

KRIPTOGRAFI DENGAN KOMPOSISI CAESAR CIPHER DAN AFFINE CIPHER UNTUK MENGUBAH PESAN RAHASIA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |