• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

TESIS

DEA NITA DESLIA SARI 177026015

PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)

STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA

SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM

DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains dalam Program Studi Magister Fisika pada Program Pascasarjana

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPA Universitas Sumatera Utara

DEA NITA DESLIA SARI 177026015

PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA

SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM

DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, 1 September 2020

DEA NITA DESLIA SARI NIM.177026015

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademia Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dea Nita Deslia Sari

Nomor Induk Mahasiswa : 177026015

Program Studi : Magister Ilmu Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan informasi kepada Universitas Sumatera Utara Hak bebas Royalti (Non-Ekslusif Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN

METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, September 2020

DEA NITA DESLIA SARI

(5)
(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 1 September 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Kerista Tarigan, M.Eng,Sc ANGGOTA :

1. Dr. Agung Imaduddin, M.Eng 2. Dr. Kurnia Sembiring,MS 3. Dr. Syahrul Humaidi,M.Sc 4. Dr. Fauzi, MS

(7)

STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI TEMPERATUR SINTERING MENGGUNAKAN

METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian superkonduktor FeSe melalui proses kompaksi dies dan proses reaksi padatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh suhu sintering terhadap pembentukan fasa, mikrostruktur, dan sifat superkonduktor FeSe dengan penambahan doping Nb, I, dan Mg dan pengaruh variasi komposisi stoikiometri terhadap sifat struktur dan superkonduktivitas FeSe, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu kandidat superkonduktor berbasi besi. Bahan baku yang digunakan serbuk besi, bubuk selenium, bubuk niobium, bubuk magnesium, dan bubuk iodine. Bahan baku di giling menggunakan mortar agate selama 3 jam. Metode yang digunakan adalah metode vacuum dan Powder In Sealed Tube pada suhu sintering 745oC dan 845oC dengan kenaikan suhu 7oC/menit selama 3 jam.

Karakterisasi yang digunakan adalah uji XRD untuk menganalisis pembentukan fasa, uji SEM-EDX untuk menganalisis mikrostruktur dan uji Cryogenic Magnet untuk menganalisis resistivity dan temperatur kritis. Kandidat terbaik terjadi pada suhu sintering 845˚C dengan penambahan Nb 1wt% yang memiliki fasa superkonduktor (β- FeSe) dengan fraksi volum 81% dan morfologi yang memiliki ukuran kristal yang kecil dengan kerapatan butir yang tinggi, sehingga terjadi sedikitnya porositas. Nilai Tconset sampel sebesar 14,69K dengan nilai ρonset 0,01484 Ω.cm dan nilai RRR 1,1147.

Nilai Tconset ini tertinggi diantara semua sampel meskipun tidak terdapat Tczero. Kata kunci : FeSe, Superkonduktor, sintering vacuum, sintering Powder In Sealed

Tube

(8)

STUDY OF THE EFFECT OF DOPING (Nb, I and Mg) ON FeSe

SUPERCONDUCTORS WITH SINTERING TEMPERATURE VARIATIONS USING VACUUM AND POWDER-IN-SEALED-TUBE METHODS

ABSTRACT

Research has been carried out, superconducting FeSe through the compacting dies process and the solid reaction process. The purpose of this study is to analyze the effect of sintering temperature on the formation of phases, microstructure, and the nature of FeSe superconductors by the addition of Nb, I, and Mg doping and the effect of variations in stoichiometric composition on structural properties and FeSe superconductivity, so that they can be used as a candidate for superconducting based on Nb, I, and Mg iron. The raw materials used are iron powder, selenium powder, niobium powder, magnesium powder, and iodine powder. The raw material is ground using an agate mortar for 3 hours. The method used is the vacuum method and Powder In Sealed Tube at a sintering temperature of 745oC and 845oC with a temperature rise of 7 oC /min for 3 hours. The characterization used was XRD test to analyze phase formation, SEM-EDX test to analyze microstructure and Cryogenic Magnet test to analyze resistivity and critical temperature. The best candidate occurs at sintering temperature of 845˚C with the addition of 1wt% Nb which has a superconducting phase (β-FeSe) with 81% volume fraction and morphology which has a small crystal size with high grain density, resulting in the least porosity. The sample Tconset value of 14.69K with a value of 0.01484 Ω.cm ρonset and RRR value of 1.1147. The Tconset value is the highest among all samples even though there is no Tczero.

Keywords : FeSe, Superconductor, vacuum sintering, powder in sealed tube sintering

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha pengasih dan maha penyayang dengan limpah karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan baik.

Tesis dengan judul “Studi Pengaruh Doping (Nb, I dan Mg) Pada Superkondutkro FeSe dengan Variasi Sintering Menggunakan Metode Vacuum dan Powder-In-Sealed-Tube”. Adalah merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Fisika

Keberhasilan dari penelitian dan penulisan ini banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun material untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Kerista Tarigan, M.Eng,Sc selaku pembimbing pertama dan Dr.Ir.Agung Imaduddin, M.Eng selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktunya selama penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada bapak Dr.

Kurnia Sembiring,MS dan Dr. Kerista Tarigan, M.Eng,Sc selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Fisika FMIPA-USU Medan, Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh staf dan Dosen Fisika FMIPA USU, pegawai FMIPA USU dan rekan-rekan kuliah. Akhirnya tidak terlupakan kepada Papa, Mama dan Adik keluarga yang selama ini telah memberikan dukungan secara moril maupun materil untuk penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran darn kritik yang membangun demi penyempurnaan tesis ini dan analisa yang disajikan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Medan, 1 September 2020

DEA NITA DESLIA SARI

(10)

DAFTAR ISI

PANITIA PENGUJI TESIS i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PRAKATA iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR LAMPIRAN viii

DAFTAR SINGKATAN ix

BAB 1 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Batasan Masalah 4

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB 2 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Definisi dan Sejarah Perkembangan Superkonduktor 6

2.2. Karakteristik Bahan Superkonduktor 8

2.2.1. Superkonduktivitas 8

2.2.2. Sifat Kelistrikan Superkonduktor 10

2.2.3. Sifat Kemagnetan Superkonduktor 12

2.2.4. Tipe – Tipe Superkonduktor 14

2.2.5. Superkonduktor Suhu Rendah 15

2.2.6. Superkonduktor Suhu Tinggi 15

2.3. Superkonduktor FeSe 15

2.4. Niobium 19

2.5. Iodium 21

2.6. Magnesium 22

2.7. Proses Pembuatan 23

2.8. Metode Powder In Sealed Tube (PIST) 24

2.9. Metode Penekanan (Pressing) 25

(11)

2.10. Sintering 25

2.11. Karakterisasi Sampel 27

2.11.1 X-Ray Diffraction (XRD) 27

2.11.2 Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy

Analysis (SEM - EDS) 28

2.11.3 Uji Resistivitas 30

BAB 3 33

METODOLOGI PENELITIAN 33

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 33

3.2 Alat Dan Bahan Penelitian 33

3.2.1 Alat Penelitian 33

3.2.2 Bahan Penelitian 33

3.3 Diagram Alir 35

3.4 Prosedur Penelitian 36

3.4.1 Penimbangan Bahan 36

3.4.2 Pencampuran (Mixing) 37

3.4.3 Proses Kompaksi 38

3.4.4 Proses Sintering 39

3.4.5 Karakterisasi Sampel 40

BAB 4 45

HASIL DAN PEMBASAHAN 45

4.1 Hasil Difraksi Sinar-X 45

4.1.1. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) FeSeNb melalui proses sintering secara PIST dan Vacuum dengan temperatur 845˚C 46 4.1.2. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) MgFeSe melalui proses sintering

secara PIST dan Vacuum dengan suhu 845˚C 53

4.1.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) FeSeI melalui proses sintering secara

PIST dengan suhu 845˚C 59

4.1.4. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) FeSeNb melalui proses sintering

secara Vacuum dengan temperatur 745˚C 63

4.1.5. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) MgFeSe melalui proses sintering

secara Vacuum dengan temperatur 745˚C 66

4.1.6. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) FeSeI melalui proses sintering secara

Vacuum dengan temperatur 745˚C 69

4.2 Hasil Morfologi 72

4.2.1. Analisis uji SEM-EDX FeSeNb melalui proses sintering PIST dan

Vacuum pada temperatur 845˚C 72

(12)

4.2.2. Analisis uji SEM-EDX MgFeSe melalui proses sintering PIST dan

Vacuum pada temperatur 845˚C 75

4.2.3. Analisis uji SEM-EDX FeSeI melalui proses sintering PIST pada

temperatur 845˚C 77

4.2.4. Analisis uji SEM-EDX FeSeNb melalui proses sintering Vacuum pada

temperatur 745˚C 79

4.2.5. Analisis uji SEM-EDX MgFeSe melalui proses sintering Vacuum pada

temperatur 745˚C 80

4.2.6. Analisis uji SEM-EDX FeSeI melalui proses sintering Vacuum pada

temperatur 745˚C 81

4.3 Hasil Analisis Uji Cryogenic Magnet 82

4.3.1. Analisis Cryogenic Magnet FeSeNbMelalui Proses Sintering Secara PIST

Dan Vacuum Dengan Temperatur 845oC 83

4.3.2. Analisis Cryogenic Magnet MgFeSeMelalui Proses Sintering Secara PIST

Dan Vacuum Dengan Temperatur 845oC 87

4.3.3. Analisis Cryogenic Magnet FeSeIMelalui Proses Sintering Secara PIST

Dengan Temperatur 845oC 89

4.3.4. Analisis Cryogenic Magnet FeSeNbMelalui Proses Sintering Secara

Vacuum Dengan Temperatur 745oC 91

4.3.5. Analisis Cryogenic Magnet MgFeSe Melalui Proses Sintering Secara

Vacuum Dengan Temperatur 745oC 92

4.3.6. Analisis Cryogenic Magnet FeSeIMelalui Proses Sintering Secara

Vacuum Dengan Temperatur 745oC 94

BAB 5 96

KESIMPULAN DAN SARAN 96

5.1. Kesimpulan 96

5.2. Saran 97

DAFTAR PUSTAKA 98

LAMPIRAN I 101

PERHITUNGAN DATA PENGUJIAN 101

LAMPIRAN III 107

HASIL UJI SCANNING ELECTRON MICROSCOPY-ENERGY DIPERSIVE

SPECTROSCOPY (SEM) 107

LAMPIRAN IV 111

HASIL UJI X-RAY DIFFRACTION (XRD) 111

LAMPIRAN V 130

PERHITUNGAN FWHM 130

LAMPIRAN VI 131

HASIL UJI CRYOGENIC MAGNET 131

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

I Perhitungan Data Pengujian 101

II Alat dan Bahan Penelitian 104

III Hasil Uji Scanning Electron Microscopy-Energy Dipersive

Spectroscopy (SEM-EDX) 107

IV Hasil Uji X-Ray Diffraction (XRD) 111

V Perhitungan FWHM 130

VI Hasil Uji Cryogenic Magnet 131

(14)

DAFTAR SINGKATAN

FPP = Four Point Probe

Fe = Ferrum

I = Iodine

Mg = Magnesium

Nb = Niobium

PIST = Powder In Sealed Tube RRR = Resudal Resistivity Ratio

Se = Selenium

SEM-EDX = Scanning Electron Microscopy - Energy Dipersive X-Ray XRD = Uji X-Ray Diffraction

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Superkonduktor menjadi topik yang akhir-akhir ini diperbincangkan dan dibahas dalam penelitian karena sifatnya unggul yaitu dapat menghantarkan arus listrik secara maksimum tanpa kehilangan daya sedikitpun dengan hambatan sama dengan nol.

Superkonduktor banyak menarik minat bagi para ilmuwan untuk mengembangkannya.

Suatu superkonduktor dapat berupa konduktor, semikonduktor ataupun isolator pada keadaan temperatur ruang. Temperatur menjadi perubahan sifat konduktivitas superkonduktor yang disebut dengan temperatur kritis (Tc). Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh fisikawan belanda Heike Kamerlingh Onnes pada tahun 1911.Onnes berhasil mencairkan helium (He) dengan cara mendinginkan hingga 4 K atau 269˚C. Kemudian Onnes mulai mempelajari sifat-sifat kelistrikan dari logam pada suhu yang sangat dingin. dalam penelitian ini, Onnes mengalirkan arus listrik pada kawat merkuri (Hg) yang murni dan sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya. Pada suhu 4,2 K, hambatannya tiba-tiba hilang tetapi arusnya masih mengalir melalui kawat merkuri secara terus-menerus.

Selanjutnya pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan bahan superkonduktor yang menolak medan magnet, suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet maka arus induksi akan menalir dalam konduktor tersebut. Dalam bahan superkonduktor yang menghasilkan sangat berlawanan dengan medan magnet. Dengan demikian magnet tersebut akan ditolak, material superkonduktor memilik sifat diamagnetisme sempurna yang dikenal sebagai efek meissner (Ismunandar,2002).

Perkembangan superkonduktor semakin pesat pada tahun 1957, tiga fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffe mengajukan teori bahwa superkonduktor memiliki elektron-elektron yang dalam keadaan berpasang-pasangan dan semuanya berada dalam kuantum yang sama, pasang-pasangan ini disebut dengan pasangan Cooper.

Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Lalu pada tahun 1986 Fisikawan dari Switzerland yaitu Ales Muller dan Georg Bednorz, melakukan penelitian di

(16)

Laboratorium Riset IBM di Ruschlikon. Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari suatu unsur lanthanum, barium, tembaga dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu tertinggi 30 K. penemuan ini menjadi sangat populer karena selama ini keramik dikenal sebagai isolator dan pada suhu ruang tidak menghantarkan listrik sama sekali.

Bahan magnetik seperti Besi tidak bisa digunakan sebagai material superkonduktor karena mempunyai arus searah dengan medan magnet, namun dengan penemuan yang dilakukan oleh Kamihara et al pada tahun 2008, Besi dapat digunakan sebagai material superkonduktor. Salah satu superkonduktor berbasis Besi (Fe) adalah superkonduktor FeSe. Sebagian besar superkonduktor FeSe memiliki temperatur kritis onset (Tconcet) sebesar 8 K (Hsu F. C. et al, 2008) Suatu bahan superkonduktor FeSe memiliki struktur kristal paling sederhana di antara superkonduktor dengan berbasis Fe. Superkonduktor FeSe tidak memiliki unsur arsenik, yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Sejak penemuan pada bahan superkonduktor berbasis Fe pada tahun 2008, penelitian tentang superkonduktor semakin meningkat seiring berjalannya waktu, karena Fe yang memiliki sifat feromagnetik seharusnya tidak memiliki superkonduktivitas (pada umumnya bahan superkonduktor diamagnetik). Karena munculnya superkonduktor berbasis Fe, penelitian tentang superkonduktor mengubah arahnya dan mulai mengeksplorasi superkonduktor jenis ini. Penghalang utama untuk pembuatan superkonduktor FeSe adalah munculnya fase δ-FeSe (struktur tetragonal dengan simetri kristal P4 / nmm), yang tidak memiliki sifat superkonduktor, selama sintesis superkonduktor β-FeSe. Di sini, teknik canggih untuk membuat superkonduktor β-FeSe murni serta menghindari oksidasi yang sangat penting.

Dengan demikian, mendapatkan perhatian khusus pada penanganan Se diperlukan untuk membuatnya tidak dapat dipisahkan dari campuran bubuk karena titik leleh dan titik didih yang rendah (masing-masing 220°C dan 685°C) (Imaduddin, 2017).

Pertama, FeSe adalah suatu struktur paling sederhana secara struktural dari semua senyawa. Superkonduktor memiliki suhu di bawah suhu kritis Tc 8K dan Tc dapat secara signifikan ditingkatkan dalam film tipis dan FeSe terinterkalasi atau dengan tekanan (p). Kedua, FeSe menjalani transisi struktural dari tetragonal ke keadaan ortorombik pada Ts = 90K pada p ambient yang terbukti nematik, yaitu dengan adanya dorongan oleh derajat kebebasan elektronik. Berbeda dengan

(17)

superkonduktor berbasis Fe lainnya, transisi nematik di FeSe tidak disertai oleh transisi antiferromagnetik. Dengan demikian, disarankan bahwa FeSe mewakili platform yang ideal untuk mempelajari fase murni nematik dan keterkaitannya dengan superkonduktivitas. Ketiga, FeSe ditemukan oleh korelasi elektronik yang kuat yang mengarah ke energi Fermi kecil yang ukurannya sebanding dengan kesenjangan superkonduktor. Ini baru-baru ini mengangkat mempertanyakan apakah FeSe terletak jauh di dalam rezim crossover antara BCS kopling lemah dengan superkonduktivitas BEC kopling kuat. Yang terakhir ditandai dengan superkonduktor fluktuasi pada kisaran suhu (T) yang lebar di atas Tc (Gati Elena, 2019).

Pada superkonduktor FeSe ada beberapa parameter yang harus diperhatikan untuk mendapatkan jenis struktur kristal tetragonal β-FeSe. Pengendalian superkonduktivitas secara umum dikendalian oleh dua parameter utama yang terdiri dari sifat intrinsic seperti Tc dan microstruktur (batas butir dan pengotor), sifat ekstrinsik seperti rapat arus kritis (Jc). Pada komposisi stoikiometri merupakan parameter yang paling berpengaruh dalam struktur superkonduktor. (T. Mousavi, 2014). Dan terdapat parameter lain yang menentukan kondisi optimum dari superkonduktor adalah pada waktu dan temperatur pemanasan, temperatur yang tepat akan mendapatkan superkonduktor FeSe struktur kristal Tetragonal β-FeSe, dan jika temperatur pemanasannya terlalu tinggi akan mendapatkan fasa-fasa pengotor. Oleh karena itu, sulit menentukan komposisi stoikiometri Fe dan penentuan temperatur pemanasan yang sangat tepat berpengaruh dalam pembuatan superkonduktor.

Dari penguraian di atas maka akan dilakukan penelitian mengenai pembuatan superkonduktor dengan penambahan bahan FeSe dengan doping Nb, Mg, dan I. Oleh karena itu peneliti bertujuan untuk meneliti dengan judul “STUDI PENGARUH DOPING (Nb, I dan Mg) PADA SUPERKONDUKTOR FeSe DENGAN VARIASI SUHU SINTERING MENGGUNAKAN METODE VACUUM DAN POWDER-IN-SEALED-TUBE”.

(18)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh metoda vacuum dan PIST terhadap pembentukan fasa FeSe dengan doping Nb, I, dan Mg?

2. Bagaimana pengaruh doping Nb, I, dan Mg terhadap pembentukan fasa FeSe, melalui uji XRD, morfologi permukaan melalui uji SEM EDS, dan sifat superkonduktor melalui uji resistivitas?

3. Bagaimana pengaruh suhu sintering terhadap pembentukan fasa FeSe dengan doping Nb, I, dan Mg melalui uji XRD, morfologi permukaan melalui uji SEM EDS, dan sifat superkonduktor melalui uji resistivitas?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang dipakai pada penelitian ini adalah:

1. Dalam penelitian ini, pembuatan pellet dan PIST pada FeSe dengan penambahan serbuk Nb, I dan Mg dimasukkan kedalam tabung SS316 dan dies untuk membentuk pellet bahan sampel serbuk tersebut.

2. Karakterisasi dilakukan menggunakan cryogenic untuk mempengaruhi suhu kritis (Tc), XRD untuk mengetahui fasa yang terbentuk, dan SEM EDS untuk mengetahui analisa morfologi pada sampel superkonduktor.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis metode vacuum dan PIST pada pembentukan fasa superkonduktor FeSe pengaruh doping Nb, I, dan Mg

2. Mengsintesis sampel superkonduktor FeSe dengan mengunakan metode vacuum dan PIST pada suhu sinter 745˚C dan 845˚C, dengan penambahan doping Nb, I dan Mg.

3. Menganalisis pengaruh temperatur sintering terhadap pembentukan fasa, mikrosturktur, dan sifat superkonduktor FeSe dengan doping Nb, I, dan Mg.

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan yaitu:

Penelitian ini dapat diharapkan untuk memberikan pemahaman dan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya mengenai pengaruh temperatur sintering dan penambahan doping Nb, I dan Mg pada mikrostruktur dan superkonfduktor FeSe.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Sejarah Perkembangan Superkonduktor

Superkonduktor merupakan suatu material yang memiliki sifat menghantarkan arus listrik tanpa adanya resistansi sehingga dapat mengalirkan arus listrik dengan tidak kehilangan daya sedikitpun. Adapun superkonduktor dapat berupa seperti konduktor, semikonduktor dan isolator pada temperatur ruang.

Pada tahun 1911, ilmuwan Belanda Kamerlingh Onnes pertama kali menemukan superkonduktivitas dalam Hg dengan 4,2 K, Onner melihat hambatan pada kawat merkuri murni tiba-tiba menjadi hilang tetapi arusnya mengalir secara terus-menerus. Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochenfeld menemukan penolakan medan magnet pada bahan superkonduktor. Diketahui, konduktor yang digerakkan dalam medan magnet maka arus induksi akan mengalir dalam konduktor. Akan tetapi, arus dalam bahan superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan magnet tersebut sehingga material superkondutor tidak dapat ditembus oleh medan tersebut. (Ismunandar, 2002) Hasil percobaan Onnes diilustrasikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Superkonduktivitas pada kawat Hg (Bennemann dan Ketterson, 2008) Pada gambar 2.1 menunjukkan plot original resistansi listrik Hg (merkuri) versus temperatur yang ditemukan oleh Onnes, dimana pada gambar menunjukkan kurva karateristik material superkonduktor. Berbeda dengan material lainnya seperti

(21)

konduktor dan semikonduktor, pada material superkonduktor resistansi turun secara tiba-tiba menuju nol. Perbedaan hubungan resistivitas terhadap temperatur pada material superkonduktor, semikonduktor, dan konduktor dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut.

Gambar 2. 2 (a) Pengaruh Temperatur terhadap Resistansi terhadap Logam dan superkonduktor Hg (Puri, 2008) dan (b) Variasi Resistansi dari Konduktor dan

Thermistor (Semikonduktor) terhadap Temperatur (Kaufman, 1984) .

Pada gambar 2.2 (a) menunjukkan bahwa hubungan resistansi pada temperatur untuk material superkonduktor dan konduktor. Dimana kurva superkonduktor dengan bahan Hg yang telah diselidiki Onnes, menunjukkan bahwa resistansi turun secara tiba-tiba mencapai 0 ohms pada suhu 4,2 K. Sedangkan pada material konduktor normal (biasa) terlihat bahwa pada suhu 0 K resistansi sekitar 0,1 ohms (Puri, 2008).

Sedangkan pada gambar 2.2 (b) menunjukkan hubungan resistansi terhadap suhu pada material thermistor (yang merupakan material semikonduktor) dan konduktor, dimana material semikonduktor memiliki karakteristik yang sangat sensitif terhadap perubahan temperatur dan menyebabkan resistansinya tidak linear (Kaufman, 1984).

Superkonduktor konvesional dikembangkan dari tahun 1911 sampai dengan tahun 1980 superkonduktor tersebut meliputi Hg, Pb, Nb, NbO, NbN, V3Si, Nb3Sn, NbAlGe, dan Nb3Ge (K.H. Bennemann, 2008).

Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper, dan Schrieffer mengajukan tentang teori superkonduktor bahwan elektron-elektron yang terdapat dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Cooper Pairs adalah pasang-pasangan tersebut. Pada dua elektron tersebut memiliki muatan yang sama dengan demikian hal ini bertentangan dengan hukum Coulomb yang mengatakan bahwa dua buah partikel

(22)

dengan muatan yang sama akan saling tolak-menolak. Dikarenakan pada saat sebuah elektron bertumbukan dengan sebuah atom positif menghasilkan muatan positif dengan konsentrasi yang kecil pada elektron. Elektron positif tersebut akhirnya tertarik oleh elektron yang bermuatan negatif sehingga membentuk pasangan Cooper. Pada teori ini dikenal dengan BCS (Barden , Cooper, dan Schrieffe) (Pikantan, 1989).

Gambar 2.3. Teori ini dikemukakan pada tahun 1957.

Gambar 2. 3 Keadaan superkonduktor atom kisi pada logam 2.2. Karakteristik Bahan Superkonduktor

Sifat konduktivitas eleterik atau resistivitas dapat dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan resistivitasnya, yaitu : isolator (106-1020 Ωm), semikonduktor (10-4- 106 Ωm), konduktor (10-8-10-4 Ωm) dan superkonduktor (nilai resistivitasnya nol) (Pikantan, 1989).

2.2.1. Superkonduktivitas

Superkonduktivitas merupakan suatu keadaan kesetimbangan pada termodinamika yang mempengaruhi sifat listrik dan sifat magnetic bahan. Dan apabila arus yang besar dialirkan paa superkonduktor, ia akan memngalami perubahan keadaan normal, walaupun dibawah Tc. Hal ini terjadi karena adanya arus listrik pada kawat superkonduktor membuat medan magnet disekitarnya. Kekuatan pada medan magnet meningkat dengan menguatnya arus pada kawat. Jika medan magnetnya mencapai titik kritis maka superkonduktor akan kembali keadaan normal. Nilai maksimum medan magnet pada temperatur tertentu dinamakan medan magnet kritis (Hc). Oleh karena itu aka nada arus maksimum yang dapat dibawa superkonduktor dinamakan kerapatan arus kritis (Jc). Fenomena superkonduktivitas ditentukan oleh

(23)

tiga parameter yang saling ketergantungan satu sama lain yaitu Tc, Hc, dan Jc. Ketika ketiga sifat kritis pada Tc, Jc, dan Hc diplot pada grafik tiga dimensi akan terbentuk sebuah permukaan yang dikenal sebagai permukaan kritis, critical surface, seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2. 4 Permukaan kritis skematis dari superkonduktor suhu tinggi dalam ruang temperatur T, bidang terapan H, dan arus kritis J. Bahan tersebut tetap superkonduktor dalam arti mempertahankan parameter urutan lokal dalam permukaan yang ditentukan oleh bidang kritis atas Hc2 dan arus kritis Jc. Namun di atas garis Hirrev (T) dalam bidang H−T, urutan jarak jauh hilang dan garis fluks dapat bergerak bebas, menghasilkan resistensi aliran fluks.(Rey, 2015)

Superkonduktivitas muncul dari interaksi yang menarik antara pasangan elektron dan interaksi dengan getara kisi. Jika pada temperatur ruang, elektron yang berada pada benda padat akan sulit terdeteksi karena kondisi ini sangat eksrim bagi elektron, akibat tingginya temperatur bagi ion yang mengeluarkan elektron, maka ion tersebut bergetar/bervibrasi dan menyebabkan sifat asli elektron yang dikeluarkan tidak mudah terdeteksi, sehingga untuk mempelajari superkonduktivitas, bahan harus diturunkan temperaturnya dibawah temperatur kritis bahan (Flukiger, 2012).

Karakteristik signifikan superkonduktivitas yang merupakan pengamatan resistivitas bernilai nol di bawah Tc dibandingkan dengan logam biasa yang mempertahankan beberapa sisa resistivitas pada temperatur rendah. Suatu bahan superkonduktor dalam keadaan normal resistivitasnya sebanding atau lebih tinggi dari resistivitas logam.

Pada superkonduktor memiliki temperatur kritis onset (Tconset) dan temperatur kritis zero (Tczero). Tconset adalah titik dimana pada temperatur tertentu resistivitas bahan akan turun, dan sedangkan Tczero adalah titik dimana pada temperatur tertentu bahan

(24)

bernilai 0 (nol). Dapat dilihat dari grafik temperatur kritis onset (Tconset) dan temperatur kritis zero (Tczero) pada gambar 2.5.

Gambar 2. 5 Grafik temperatur kritis onset (Tconset) dan temperatur kritis zero (Tczero) (Wang, 2012)

2.2.2. Sifat Kelistrikan Superkonduktor

Kisi-kisi pada bahan logam dan berbasis pada electron bebas. Dan ketika medan listrik diberikan pada bahan, electron akan mendapatkan percepatan. Maka medan listrik akan menghamburkan elektron ke segala arah dan menumbuk atom-atom pada kisi. Hal ini dapat mengakibatkan adanya hambatan listrik pada logam konduktor.

Pada bahan superkonduktor terjadi juga interaksi antara elektron dan inti atom. Namun elektron dapat melewati inti tanpa mengalami hambatan dari atom kisi.

Efek ini dapat dijelaskan oleh teori BCS bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan elektron ini disebut pasangan cooper. Ketika elektron melewati kisi, inti yang bermuatan positif menarik elektron yang bermuatan negatif dan mengakibatkan elektron bervibrasi/bergetar. Ilustrasi pasangan cooper bergerak melewati kisi dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai berikut:

Gambar 2. 6 Ilustrasi pasangan cooper bergerak melalui kisi (Flukiger, 2012) ρ

T Tc onset

Tc zero

(25)

ada dua buah elektron yang melewati kisi, elektron kedua akan mendekati elektron pertama karena gaya tarik dari inti atom-atom kisi lebih besar. Gaya ini akan melebihi gaya tolak-menolak antar elektron sehingga kedua elektron bergerak berpasangan. Ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai berikut:

Gambar 2.7 Ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon (Flukiger, 2012) Pada Gambar 2.7 di atas merupakan ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon. Ketika elektron pertama pada pasangan cooper melewati inti atom kisi.

Elektron yang mendekati inti atom kisi akan bergetar/bervibrasi memancarkan phonon, sedangkan elektron lainnya menyerap phonon. Pertukaran phonon ini mengakibatkan gaya tarik menarik antar elektron. Pasangan elektron ini akan melalui kisi tanpa gangguan dengan kata lain tanpa hambatan.

Pada temperatur rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol (R=0). Material yang diturunkan temperaturnya dalam nitrogen cair atau helium cair, resistivitasnya akan turun seiring dengan penurunan temperatur. Pada temperatur tertentu, resistivitas material akan turun secara drastis menjadi nol menyebabkan arus mengalir tanpa batas waktu dan tanpa kehilangan daya sedikitpun (Pikatan, 1989). Dalam superkonduktor tidak ada perbedaan tegangan yang dibutuhkan untuk mempertahankan arus. Di atas kepadatan arus, superkonduktivitas akan hilang dalam materi.

Arus dilewatkan melalui dua probe terluar dan beda potensial diukur melalui probe lainnya. Untuk material superkonduktor, selama arus (I) tidak melebihi arus kritis (Ic) maka beda potensial (V) akan bernilai nol, namun ketika arus (I) sama dengan arus kritis (Ic) maka V mempunyai harga tertentu. Sedangkan untuk menghitung resistivity, dipakai perhitungan seperti di bawah ini.

R = 𝜌𝐿

𝐴 (2.1)

(26)

Dimana :

ρ = Resistivity (Ohm.cm) A = luas penampang (cm2) L = panjang (cm)

2.2.3. Sifat Kemagnetan Superkonduktor

Superkonduktor dapat dikatakan sebagai bahan yang memiliki sifat diamagnetik, yaitu medan magnet (B) sama dengan nol jika bahan diturunkan suhunya hingga di bawah Tc dan medan magnet yang diberikan tidak perlu terlalu tinggi (Sukirman dkk, 2003). Hal ini terjadi karena superkonduktor menolak fluks magnet yang mencoba memasuki bahan superkonduktor (Cyrot dan Pavuna, 1992). Pada keadaan penolakan medan luar ini maka disebut diamagnetis sempurna, sedangkan pada peristiwa tersebut dikenal dengan Efek Meissner. Gejala efek Meissner pada superkonduktor dinyatakan dengan persamaan berikut. Lihat persamaan 2.2.

𝐵̅ = 𝜇0(𝐻̅ + 𝑀̅) = 0 (2.2)

Dengan, 𝐵̅ : Induksi magnet 𝐻̅ : Medan magnet luar 𝑀̅ : Magnetisasi bahan

𝜇0 : Permeabilitasi ruang hampa

Pada bahan anisotropic linier besarnya magnetisasinya adalah :

𝑀̅ = 𝑥𝑚𝐻̅ (2.3)

dengan, 𝑥𝑚 : Suseptibilitas magnetic

Substitusi persamaan (2.2) ke persamaan (2.3), maka dapat dihasilkan : 𝐵̅ = 𝜇0 (𝐻̅ + 𝑥𝑚𝐻̅) = 0

atau, 𝑥𝑚 = −1 (2.4)

Keadaan suseptibilitas magnetic = -1 dinamakan keadaan diamagnetisme sempurna.

Efek Meissner ditunjukkan pada gambar 2.8.

(27)

Gambar 2.8 Jenis pengukuran magnetisasi bidang didinginkan (FC)

Perilaku skematis dari bidang Ha terapan dan kerapatan fluks magnet B di dasar- didinginkan (FC) dan eksperimen zero-field-cooled (ZFC) pada superkonduktor tipe I dan material non-superkonduktor dengan konduktivitas sempurna. Sementara percobaan ZFC (a→b), diikuti oleh penerapan bidang Ha (c) dan kemudian penghapusan bidang (d), tidak membedakan antara dua jenis bahan, sebenarnya dari superkonduktivitas konvensional adalah diamagnetisme sempurna, seperti yang ditunjukkan oleh percobaan FC (jalur e → f → g, pendinginan sampel di bidang dan kemudian penghapusan bidang) yang dikenal sebagai efek Meissner. Fluks magnetik dikeluarkan dari bagian dalam spesimen (B = 0) oleh arus super yang mengalir dalam kedalaman penetrasi di permukaan dengan adanya Ha suhu di bawah Tc. Oleh karena itu, 𝐵 = 𝐻 + 4𝜋𝑀 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐵 = 𝜇0(𝐻̅ + 𝑀̅) = 0 (cgs/mks), di mana 𝜇0 = 4𝜋 × 10−7 Henries / meter adalah permeabilitas ruang bebas. Jika superkonduktor hanyalah sebuah konduktor yang sempurna dengan konduktivitas tak terbatas (𝜎 = ∞) dan didinginkan di bawah Tc dengan adanya medan magnet kondisi-tetap H, tidak akan ada pengusiran fluks magnet (B = 0) di Tc karena tidak ada waktu magnet yang bervariasi lapangan dH / dt. Konduktor yang sempurna didinginkan di medan magnet mapan-tanah kembali akan hanya melewati Tc seolah-olah tidak ada yang terjadi. Jika, di sisi lain, konduktor yang sempurna didinginkan dalam medan magnet nol dan

(28)

selanjutnya medan magnet diterapkan (mis., dH / dt > 0), konduktor yang sempurna akan mengusir fluks. Jenis percobaan magnetisasi ini disebut sebagai ZFC dan secara skematis ditunjukkan pada Gambar2.9 (kanan). Dengan demikian, diamagnetisme sempurna yang diamati dari efek Meissner dengan eksperimen magnetisasi FC adalah tanda nyata superkonduktivitas. (Rey, 2015)

2.2.4. Tipe – Tipe Superkonduktor 2.2.4.1. Superkonduktor Tipe I

Pada umumnya superkonduktor tipe 1 terbuat dari logam murni, seperti Hg, Pb, Nb yang masing-masing mempunyai temperatur kritis sebesar 4,2K, 7,2K dan 9,2K. Unsur-unsur atau elemen tunggal lainnya yang dapat menjadi superkonduktor pada kondisi di bawah tekanan, diantaranya Si, Ge, P, As, S, Se, Sr, Sb, Te, Bi, Bo, Y, Cr, Cs, Ce, dan U. Sifat superkonduktivitas bahan dapat kembali ke keadaan normal apabila:

• Temperatur dinaikkan melebihi temperatur kritis (T >Tc).

• Medan magnet dinaikkan melebihi medan magnet kritis (H >Hc) Berdasarkan nilai medan magnet yang diberikan (H>Hc) dapat menghilangkan keadaan diamagnetik sempurna di dalam bahan superkonduktor.

2.2.4.2. Superkonduktor Tipe II

Superkonduktor tipe II banyak dijumpai dalam bentuk campuran logam (alloy), diantaranya NbTi, Nb3Sn, Nb3Ge, MgB2 dan FeSe yang masing-masing mempunyai temperatur kritis sebesar 9K, 18K, 23K, 39K dan 55K. Jika dibandingkan dengan superkonduktor tipe I, maka temperatur kritis pada tipe II lebih tinggi daripada tipe I.

Pada superkonduktor tipe II ini mempunyai dua medan magnet kritis yaitu medan magnet kritis rendah Hc1 dan medan magnet kritis tinggi Hc2. Pada daerah dibawah medan magnet kritis rendah Hc1 maka fluks magnet akan ditolak secara sempurna oleh bahan. Hal ini dapat diartikan bahwa jika harga medan magnet yang diberikan lebih kecil dari medan magnet kritis (H < Hc1) maka superkonduktor tipe II ini akan bersifat seperti superkonduktor tipe I. Pada keadaan di atas medan magnet kritis Hc1, sebagian fluks akan menembus keadaan interior bahan superkonduktor sampai rentang daerah medan kritis Hc2, fluks yang menerobos masuk bahan superkonduktor inilah yang dinamakan flux pinning. Apabila H > Hc2 maka bahan

(29)

akan kembali ke keadaan normal. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I dan (b) tipe II (Wang, 2012)

Berdasarkan Gambar 2.9, superkonduktor tipe I memiliki satu nilai medan magnet kritis (Hc), sedangakan superkonduktor tipe II memiliki dua nilai medan magnet kritis (Hc1 dan Hc2).

2.2.5. Superkonduktor Suhu Rendah

Superkonduktor temperatur rendah merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis dibawah temperatur nitrogen cair (77K), sehingga untuk memunculkan superkonduktvitasnya maka material tersebut menggunakan helium cair sebagai pendingin (Windartun, 2008). Adapun contoh dari superkonduktor temperatur rendah adalah Hg (4,2 K), Pb (7,2 K).

2.2.6. Superkonduktor Suhu Tinggi

Superkonduktor temperatur tinggi merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis diatas temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga untuk memunculkan superkonduktvitasnya maka material tersebut menggunakan nitrogen cair sebagai pendingin (Windartun, 2008). Adapun contoh dari superkonduktor temperatur tinggi adalah Y-Ba-Cu-O (92 K).

2.3. Superkonduktor FeSe

Superkonduktor baik berbasis logam/paduan logam dan keramik terus dikembangkan. Superkonduktor FeAs merupakan superkonduktor berbasis Fe yang pertama kali ditemukan pada tahun 2008. Sejak saat itu, superkonduktor berbasis Fe

(30)

terus dikembangkan. Pada tahun yang sama, superkonduktor FeSe ditemukan dengan suhu kritis sebesar 8 K (Hsu, F.S. et al, 2008). Beberapa penelitian tentang superkonduktor FeSe disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Rangkuman suhu kritis hasil penelitian dengan berbagai metode superkonduktor FeSe (Mousavi, et al, 2014).

Specimen

Composition Processing Method* Tc / K Reference

Fe1.01Se Powder 9 McQueen et al.

FeSe

Thin film by molecular beam

epitaxy Up to 7 Jourdan et al.

FeSe1-x Thin films by PLD Up to 9 Wang et al.

FeSe0.88 Single crystal bulk (doped) 11 Wua et al.

FeSe Thin films by PLD Up to 8 Nie et al

FeSe Polycrystalline bulk 8 Hsu et al

FeSe Polycrystalline bulk by milling 8.9 Xia et al.

FeSe1-x Powder Up to 13 Margadonna et al.

FeSex Thin films by PLD 11.8 Han et al.

FeSe Thin films by PLD 2–11.5 Chen et al.

FeSe Thin films by PLD 11.4 Nabeshima et al

*PLD, pulsed laser deposition.

Struktur kristal superkonduktor berbasis Fe dicirikan terdiri dari lapisan FePn atau FeCh (Pn: Pnictogen, Ch: Chalcogen). Fe pniktida mengandung Fe dan unsur dari golongan VA, terutama fosfor (P) dan arsen (As) sedangkan Fe kalkogenida mengandung Fe dan unsur dari golongan VI A, terutama selenium (Se) dan telurium (Te). Superkonduktor berbasis Fe dikategorikan ke dalam famili “1111” dengan bentuk umum ReOFePn (Re: Rare Earth, Pn: Pnictogen), “122” dengan bentuk umum AeFe2Pn2 (Ae: Alkaline – Earth metal), “111” dengan bentuk umum AFePn (Pn:

Pnictogen) dan “11” dengan bentuk umum FeCh (Ch: Chalcogen).

FeCh yang mengandung Fe dan unsur dari golongan VI A didefinisikan sebagai chalcogen yang secara umum ditujukan untuk sulfida (FeS), selenida (FeSe) dan tellurida (FeTe) dibandingkan oksida (Mousavi, et al, 2014). Semua FeCh ini memiliki struktur kristal PbO. Berkurangnya jari-jari chalcogen menjadikan struktur PbO

(31)

cenderung menjadi tidak stabil. Dari ketiga FeCh tersebut, senyawa FeTe yang paling stabil.

Superkonduktor Fe selenida (FeSe) dengan Tc 8 K ditemukan oleh Hsu, et al pada tahun 2008. Pola difraksi sinar-x dan suhu kritis FeSe0.88 hasil percobaan yang dilakukan oleh Hsu, et al ditunjukkan pada Gambar 2.10. FeSe memiliki struktur tipe PbO dengan space group P4/nmm yang tersusun oleh lapisan Fe2Se2. Superkondukor berbasis Fe memiliki struktur berlapis dan properti fisik dua dimensi seperti pada Gambar 2.11 tetapi FeSe memiliki struktur yang sederhana diantara senyawa lainnya (Mousavi,et al, 2014). Struktur kristal superkonduktor FeSe0,88 yang berhasil disintesis oleh Hsu et al yang ditunjukkan pada Gambar 2.12 memiliki parameter kisi a = b = 0,37676 nm dan c = 0,54847 nm.

Gambar 2.10 Suhu kritis FeSe0,88 (Hsu, F.S. et al, 2008).

FeSe memiliki transisi struktur pada suhu rendah yang tidak seperti pada superkonduktor berbasis Fe lainnya. Mizuguchi dan Yoshihiko menganggap transisi fasa struktur merupakan faktor kemungkinan sehingga dihasilkan nilai suhu kritis (Tc) yang rendah dan fraksi volum superkonduktivitas dalam FeSe yang lebih kecil dibandingkan superkonduktor berbasis Fe lainnya.

(32)

Gambar 2.11 Struktur famili a). 1111, b). 122, c). 111 dan d). 11 (Mousavi,et al, 2014).

Gambar 2.12 Struktur kristal FeSe0,88 (Hsu, F.S. et al, 2008).

Diagram fasa adalah diagram yang menunjukkan hubungan antara suhu dengan fasa yang terbentuk pada material. Diagram fasa ini sebagai acuan untuk pabrikasi, pemilihan komposisi dan aplikasi bahan dan produk kimianya. Gambar 2.13 menunjukkan diagram fasa Fe-Se pada tekanan atmosfer.

(33)

Gambar 2. 13 Diagram fasa Fe-Se weight percent (wt.%) (Okamoto, 1991).

Mousavi, et al memaparkan tentang bagaimana tentang pemilihan komposisi kimia dari material FeSe yang mengacu pada nilai atomik %. Nilai atomik % dirangkum dari beberapa hasil penelitian dengan menggunakan beberapa metode.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari Gambar 2.14.

Gambar 2. 14 Diagram fasa Fe-Se atomic percent (at.%) (Mousavi,et al, 2014).

2.4. Niobium

Niobium adalah logam langka, lunak, bisa ditempa, dan berwarna putih abu-abu.

Unsur ini memiliki struktur kristal kubus dengan sifat fisika dan kimia menyerupai tantalum. Niobium mudah bereaksi dengan oksigen, karbon, halogen, nitrogen, dan

(34)

sulfur, bahkan pada suhu ruang. Sejak tahun 1950-an untuk mengembangkan paduan berbasis niobium (Nb) untuk aplikasi reaktor nuklir dirgantara dan terestrial yang diusulkan karena penampang lintang penyerapan neutron termal rendah untuk Nb, kompatibilitas yang baik dengan logam cair alkali, sifat mekanik suhu tinggi yang dapat diterima, dan fabricabilitas yang baik. (Lance L, 2019)

Sejak penemuan superkonduktivitas di La [O1-xFx] FeA, superkonduktor berbasis besi (IBS) telah diselidiki secara intensif lebih dari sepuluh tahun belakangan ini karena suhu transisi superkonduktor yang relatif tinggi (Tc), bidang kritis atas yang tinggi (Hc2), dan anisotropi kecil. Di antara keluarga superkonduktor berbasis besi yang dikenal, FeSe tetragonal (β-FeSe) dari superkonduktor tipe II memiliki struktur kristal yang agak sederhana, toksisitas yang jauh lebih sedikit, dan banyak fitur menarik lainnya. Meskipun memiliki suhu transisi superkonduktor yang relatif rendah (Tc ~ 8 K) dalam keadaan normal format massa, β-FeSe telah populer sejak penemuannya berdasarkan sensitivitas ekstremnya terhadap stoikiometri dan Tc yang sangat dapat disetel dalam kedua curah tersebut atau bentuk film tipis. Khususnya, Sun et al. melaporkan Tc 38,3 K di bawah tekanan hidrostatik hingga 8,8 GPa dalam jumlah besar. Menurut laporan lain, Tc dari monolayer FeSe yang tumbuh di SrTiO3 yang didoping Nb dapat meroket dengan urutan besarnya hingga 109K dengan pengukuran transportasi listrik. Banyak upaya untuk menggantikan serbuk Fe telah dilaporkan melalui elemen logam doping, termasuk Mg, Al, Ti, V, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, Mo, Sn, Ag, dll. Namun, kebanyakan dari mereka memperburuk superkonduktivitas FeSe, dan hanya Cr, V, Sn, Ag, Si dan Pb yang dapat meningkatkan Tc sampai batas tertentu.

Berbeda dengan superkonduktor lain, seperti MgB2 dan superkonduktor suhu rendah berbasis Nb, untuk kerapatan arus kritis Jc, kecuali untuk Te dan S, hampir tidak ada peningkatan signifikan yang memiliki telah dicapai dalam jumlah besar FeSe oleh doping logam.

Pada penelitian Qingshuang, pengaruh signifikan doping Nb pada mikrostruktur, superkonduktor dan sifat transportasi FeSe polikristalin. Pengukuran XRD menunjukkan bahwa beberapa Nb memasukkan β-FeSe dan situs Fe tersubstitusi. Tc yang lebih tinggi dan koneksi intergranular yang lebih baik menunjukkan bahwa doping Nb bermanfaat untuk kinerja superkonduktor senyawa FeSe. Dengan penambahan penggabungan Nb, di samping Tc yang disempurnakan,

(35)

bidang kritis atas secara jelas ditingkatkan hingga sekitar 28 T untuk FeNb0.04Se.

Panjang koherensi ξ (0) yang diperoleh berdasarkan Hc2 menunjukkan tidak adanya perilaku link di FeNbxSe. Analisis kepadatan arus kritis dan gaya penjernihan volum yang dinormalisasi menunjukkan bahwa penambahan Nb yang tepat dapat meningkatkan konektivitas butir dan memperkenalkan penjepit batas butir yang efektif, yang menghasilkan peningkatan luar biasa dalam Jc pada medan magnet tinggi. (Qingshuang, 2019)

2.5. Iodium

Iodium adalah elemen kimia dengan simbol I dan nomor atom 53. Yang paling berat dari halogen stabil, itu ada sebagai padatan non-logam ungu-hitam berkilau pada kondisi standar yang meleleh untuk membentuk cairan ungu tua pada 114 derajat Celcius, dan mendidih menjadi gas violet pada 184 derajat Celcius. Unsur ini ditemukan oleh kimiawan Perancis Bernard Courtois pada tahun 1811. Dinamai dua tahun kemudian oleh Joseph Louis Gay-Lussac dari properti ini, setelah ἰώδης Yunani

"berwarna ungu". Iodium terjadi di banyak negara oksidasi, termasuk iodida (I-), iodat (IO-3), dan berbagai anion berkala. Ini adalah yang paling banyak mengandung halogen stabil, menjadi unsur paling banyak ke enam puluh satu. Ini adalah nutrisi mineral esensial terberat.

Iodium adalah halogen keempat, yang menjadi anggota kelompok 17 dalam tabel periodik, di bawah fluor, klor, dan brom; itu adalah anggota stabil terberat dari kelompok (halogen kelima yang langka dan buron, astatin radioaktif, tidak dipelajari dengan baik karena biaya dan tidak dapat diaksesnya dalam jumlah besar, tetapi tampaknya menunjukkan berbagai sifat yang tidak biasa karena efek relativistik).

Iodium memiliki konfigurasi elektron [Kr] 4d105s25p5, dengan tujuh elektron di kulit kelima dan terluar menjadi elektron valensi. Seperti halogen lainnya, ia adalah satu elektron yang kurang dari satu oktet penuh dan karenanya merupakan agen pengoksidasi yang kuat, bereaksi dengan banyak elemen untuk menyelesaikan kulit terluarnya, meskipun sesuai dengan tren periodik, ia adalah zat pengoksidasi terlemah di antara stabil. halogen: ia memiliki elektronegativitas terendah di antara mereka, hanya 2,66 pada skala Pauling (bandingkan fluor, klor, dan brom pada masing-masing 3,98, 3,16, dan 2,96; astatin melanjutkan tren dengan ke elektronegatif). Unsur

(36)

Iodiumkarenanya membentuk molekul diatomik dengan rumus kimia I2, di mana dua atom Iodium berbagi sepasang elektron untuk masing-masing mencapai oktet yang stabil untuk diri mereka sendiri; pada suhu tinggi, molekul-molekul diatomik ini secara reversibel memisahkan sepasang atom yodium. Demikian pula, anion iodida, I, adalah agen pereduksi terkuat di antara halogen stabil, menjadi yang paling mudah teroksidasi kembali menjadi I2 diatomik. (Astatin melangkah lebih jauh, karena memang tidak stabil seperti At- dan mudah teroksidasi menjadi At0 atau At+, meskipun keberadaan At2 tidak menetap).

2.6. Magnesium

Magnesium merupakan salah satu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Mg dan nomor atom 12. Unsur Mg berupa padatan berwarna abu-abu berkilap. Magnesium memiliki nilai densitas 1,7g/cm3, terendah dari semua struktur logam, mudah terbakar, dan mudah bereaksi dengan logam lain. Oleh karena itu, Magnesium tidak cukup kuat dalam bentuk yang murni, sehingga Magnesium dipadukan dengan berbagai elemen-elemen untuk memperoleh sifat yang lebih baik.

(Callister dan Rethwisch, 2014).

Menurut Feng Lan, doping Mg pada material FeSe dibawah temperatur 150K memiliki resistivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan material FeSe tanpa doping Mg. Hal ini dapat terjadi karena doping Mg dikaitkan dengan efek hamburan elektron (adanya interaksi) di kondisi normal. Berdasarkan hasil XRD, disimpulkan bahwa dopan Mg sebagian besar bereaksi dengan FeSe membentuk fasa MgSe dan Fe:

Mg + FeSe → MgSe + Fe, namun Mg jarang masuk ke dalam kisi kristal dari β-FeSe dan juga jarang menyubstitusi Fe. Dari hasil pengamatan morfologi, ketika jumlah doping Mg meningkat, morfologi FeSe semakin halus (Lan, et al., 2014).

Selain itu, menurut Wenbin Qiu doping Mg dapat menginduksi variasi konsentrasi pembawa elektron dan memasukkan doping elektron, yang secara signifikan memengaruhi kinerja superkonduktor akhir dalam FeSe-film. Doping Mg yang optimal memiliki efek positif pada kinerja superkonduktor FeSe, namun degradasi atau bahkan keruntuhan akan terjadi pada superkonduktivitas ketika kandungan Mg berlebih dimasukkan ke dalam material FeSe (Qiu, et al., 2016).

(37)

2.7. Proses Pembuatan

Secara umum, proses-proses metode metalurgi serbuk meliputi:

a. Penyusunan (Composing)

Proses ini merupakan tahap awal penyusunan/pemilihan material yang sesuai dengan kebutuhan yang kemudian dilanjutkan dengan proses penimbangan material yang akan digunakan sebagai sampel. Pemilihan material ini berkaitan dengan sifat-sifat fisik maupun sifat mekanis bahan sehingga sifat material paduan yang dibutuhkan dapat benar-benar diprediksi (Dewi, 2016).

b. Pencampuran (Mixing)

Proses ini merupakan tahapan lanjutan pada metalurgi serbuk dalam memengaruhi sifat mekanis paduan setelah proses penyusunan dilakukan, karena dibutuhkan kecermatan dalam tahap pengukuran komposisi material-material penyusun paduan (Dewi, 2016).

c. Penggerusan

Proses ini merupakan penumbukan material padat yang biasa dilakukan pada material serbuk, bertujuan untuk menghomogenisasi material dengan adanya pengecilan butiran sehingga permukaan kontak antar partikel dapat lebih baik.

Proses penggerusan akan mengurangi rongga antar partikel pereaksi sehingga permukaan partikel yang lebih kecil dapat bereaksi lebih luas. Penggerusan dapat dilakukan manual menggunakan mortar atau otomatis menggunakan ball mill atau vibratory mill. Keunggulan metode manual menggunakan mortar yaitu kecil kemungkinan tercemarnya sampel saat proses milling (Suryani, 2016).

d. Penekanan (Compacting)

Kompaksi merupakan proses pemberian tekanan terhadap material yang bertujuan agar luas kontak antarmuka partikel dapat meningkat. Metode kompaksi terdiri dari dua macam, yaitu Cold Compressing dan Hot Compressing. Cold Compressing merupakan proses penekanan material yang dilakukan pada temperatur kamar. Metode ini digunakan jika material yang digunakan mudah teroksidasi, seperti Al, Fe, dan lain-lain. Sedangkan Hot Compressing merupakan proses penekanan material dengan penambahan temperatur yang dilakukan di atas temperatur kamar. Metode ini digunakan jika material yang digunakan tidak mudah teroksidasi (Nayiroh, 2015).

(38)

e. Pemanasan (Sintering)

Sintering merupakan tahap lanjutan untuk meningkatkan kekuatan ikatan antar butir. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses sintering yaitu temperatur dan waktu sintering, yang sangat menentukan kuat ikat butiran (Dewi, 2016).

2.8. Metode Powder In Sealed Tube (PIST)

Metode sintesis material superkonduktor yang paling sederhana adalah metode reaksi padatan dalam tabung tertutup Powder In Sealed Tube (PIST) (Dewi, 2018).

Tujuan utama PIST adalah agar sampel tidak mengalami evaporasi dan oksidasi ketika proses perlakuan panas. Keuntungan dari proses PIST adalah biaya rendah dan proses fabrikasi yang sederhana. Selain itu, proses pemanasan dapat dilakukan pada kondisi atmosfer tanpa pengondisian dengan menggunakan Gas Inert serta tidak perlu divakumkan. Terdapat tiga langkah prosedur dari PIST yang perluu dilakukan, yaitu menyiapkan serbuk prekursor dan memasukkannya kedalam tabung stainless steel (SS) yang sudah di-press salah satu ujungnya, selanjutnya melakukan press diujung lainnya dan terakhir adalah proses sintering. Tiap ujung pipa SS di-press untuk mencegah kontak antara serbuk dengan udara luar agar tidak terjadi oksidasi.

Gambar 2.15 Skema Proses Powder In Sealed Tube

(39)

2.9. Metode Penekanan (Pressing)

Penekanan (pressing) adalah kompaksi yang secara simultan dengan pencetakan dari bubuk atau granular dalam cetakan dies. Adapun tahapan-tahapan dalam pencetakkan dies adalah pertama dengan memasukkan bubuk kedalam dies, lalu dikompaksi dan membentuk bulatan kemudian dikeluarkan dari cetakan. Ada beberapa metoda penekanan yaitu single action: pendorong atas saja yang bergerak, dies:

penekanan tetap; dan floating dies bila pendorong bawah tetap sedangkan dies dan pendorong atas bergerak.

Penekanan (Pressing) merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk.

Terdapat dua cara penekanan yaitu penekanan dingin (cold compaction) dan penekanan panas (hot compaction). Dalam penekanan, terdapat pergeseran antar pertikel maupun partikel-dinding cetakan, oleh karena itu distribusi tekanan tidak merata keseluruh padatan sampel yang mengakibatkan akan mempengauhi hasil yang diperoleh setelah dikeluarkan dari cetakan. Sedangkan pada cacat pellet itu sendiri umumnya berbentuk laminasi yaitu pada tutup ujung (end cap) dan tutup cincin (ring cap).

Gambar 2.16 Skema proses penekanan mengunakan dies 2.10. Sintering

Sintering adalah proses pemanasan sampai suhu tinggi yang menyebabkan bersatunya partikel dan meningkatnya efektivitas reaksi tegangan permukaan. Selama proses ini terbentuk batas-batas butir yang merupakan tahap rekristalisasi dan gas-gas yang ada menguap. Suhu sinter umumnya berada pada 0.7-0.9 dari suhu cair serbuk

(40)

utama. Untuk waktu pemanasan tergantung dari jenis logam dan tidak diperoleh manfaat tambahan dengan diperpanjangnya waktu pemanasan.Gambar 2.17 menunjukkan bentuk partikel serbuk saat sebelum dan sesudah sintering (Hadrian kariman, dkk.2009)

Gambar 2.17 Penyusutan Pori pada Proses Sintering (Ibnuwibowo, 2012) Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widyastuti, dkk., (2008) melakukan penelitian tentang kompaktibilitas komposit isotropik Al/Al2O3 dengan variabel waktu tahan sinter. Pada penelitian ini komposit isotropik Al/Al2O3 dibuat dari aluminium sebagai matrik dan Al/Al2O3 sebagai penguat.Fraksi volum penguat yang digunakan adalah 10%, 20%, 30% dan 40%. Suhu sintering 600˚C dan gaya tekan kompaksi 15 kN. Pengujian yang dilakukan adalah uji tekan dan pengamatan metalografi. Hasil yang diperoleh adalah kompaktibilitas komposit Al/Al2O3 mencapai nilai optimum saat waktu tahan sintering 2 jam. Fraksi volum penguat terbaik adalah 40% dan waktu tahan sintering optimum adalah 2 jam. Toto, (2009) melakukan penelitian tentang hot pressing metalurgi serbuk aluminium dengan variasi suhu pressing (suhu ruang) 100˚C, 200˚C dan 300˚C, pemanasan dan pengepresan menggunakan alat cetakan hot pressing metalurgi serbuk. Beban pengepresan adalah 5400 kg. Disinter dalam oven dengan suhu 450ºC selama 60 menit. Dari hasil penelitian 30 menunujukkan bahwa semakin meningkatnya suhu hot pressing maka kekerasan bushing juga meningkat sedangkan laju keausannya menurun. E. Surojo (2014) melakukan proses hot pressing bahan komposit fly ash /phenolic dengan tekanan 40 MPa dan pada suhu sinter 150-165˚C selama 8 menit, kemudian dipanaskan dalam furnace pada 120˚C selama 1 jam, 150˚C selama 1 jam dan 180˚C untuk 8 jam. Koefisien gesekan berkurang pada phenolic 20% sementara pada phenolic 30% dan 40% koefisien gesekan relatipe stabil. Hasil menunjukan bahwa koefisien dari gesekan berkurang dengan bertambahnya fraksi volum phenolic dan fly

(41)

ash, Phenolic resin tidak mempengaruhi sensitivitas koefisien gesek sebaliknya fly ash mempengaruhi sensitivitas keofisien dari gesekan.

2.11. Karakterisasi Sampel 2.11.1 X-Ray Diffraction (XRD)

Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895. Roentgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung muatan (discharge tube) yang karena misteriusnya diberi nama sinar-X. Sinar-X pada tabung muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-elektroda tabung yang menghasilkan sinar elektron yang ditumbukkan ke bahan tertentu (Suminar, 2010).

Sinar X merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki energi antara 200 eV – 1 MeV dengan panjang gelombang 0,5 – 2,5 Å mendekati jarak antar atom kristal.

Sinar X yang mengenai suatu bahan maka intensitas sinar X yang ditransmisikan lebih kecil dari intensitas datang karena sinar X diserap oleh bahan dan hamburan oleh atom- atom bahan. Berkas sinar X yang fasenya berbeda akan saling menghilangkan dan saling menguatkan ketika fasenya sama sehingga menghasilkan berkas difraksi.

Difraksi sinar-X (X-ray Diffractometer) atau yang sering dikenal dengan XRD merupakan intrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi bahan kristalit maupun non-kristalit, sebagai contoh identifikasi struktur kristalit (kualitatif) dan fasa (kuantitatif) dalam suatu bahan dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik sinar-X.

Berkas difraksi sinar-X harus memenuhi hukum Bragg yang menyatakan bahwa perbedaan lintasan berkas difraksi sinar-X merupakan kelipatan panjang gelombang.

Fenomena difraksi sinar-X pada suatu bahan dijelaskan pada Gambar 2.18.

Difraksi sinar-X oleh atom-atom pada bidang atom paralel a dan a1 yang terpisah oleh jarak d. Dua berkas sinar-X i1 dan i2 bersifat paralel, monokromatik dan koheren dengan panjang gelombang  yang datang pada bidang dengan sudut 𝜃. Jika kedua berkas sinar tersebut berturut-turut terdifraksi oleh M dan N menjadi i1’ dan i2’ yang masing-masing membentuk sudut 𝜃 terhadap bidang dan bersifat paralel, monokromatik dan koheren. Perbedaan panjang i1 – M – i1’ dengan i2 – N – i2’ sama dengan n kali panjang gelombang. Persamaan difraksi ini secara matematis ditulis dalam persamaan:

(42)

n = ON + NP (2.5) n = d sin 𝜃 + d sin 𝜃 = 2 d sin 𝜃 (2.6)

Gambar 2.18 Difraksi sinar X oleh atom-atom pada bidang (Ismunandar, 2006) Sinar-X dihasilkan di suatu tabung sinar katoda dengan pemanasan kawat pijar untuk menghasilkan elektron-elekron, kemudian elektron-elektron tersebut dipercepat terhadap suatu target dengan memberikan suatu voltase. Ketika elektron-elektron mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan elektron-elektron dalam target, karakteristik spektrum sinar-X dihasilkan. Spektrum ini terdiri atas Kα dan Kβ. Agar dihasilkan sinar-X monokromatik yang diperlukan untuk difraksi maka digunakan filter. Tembaga merupakan bahan yang paling umum untuk difraksi kristal tunggal dengan panjang gelombang Cu Kα =1,540598Å. Sampel dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik.

2.11.2 Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy Analysis (SEM - EDS)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menghasilkan gambar sampel dengan memindai berkas elektron terfokus. Elektron ini berinteraksi dengan elektron dalam sampel, menghasilkan berbagai sinyal yang dapat dideteksi dan yang mengandung informasi tentang topografi, morfologi dan komposisi sampel. Berkas elektron secara umum dipindai dalam pola scan raster dan posisi berkas dikombinasikan dengan sinyal yang terdeteksi untuk menghasilkan gambar (Sikha, 2013). Skema prinsip kerja SEM dijelaskan pada Gambar 2.19.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian di SMA Pondok Pesantren Puteri Ummul Mukminin Makassar dengan jumlah sampel sebanyak 58 orang, melalui alat pengumpul data berupa kuesiener dengan jumlah item

Berkaitan dengan ibu hamil yang tersangka infeksi saluran kencing pada penelitian ini dijumpai tidak sesuai dengan teori yang menyatakan faktor risiko infeksi

Untuk mengambil keputusan manajemen yang baik diperlukan data dan informasi yang memadai, informasi yang cukup penting adalah tentang bagaimana keadaan di masa depan, sebagai

Sedangkan untuk siklus bebas hambatan (extra urban cycle) kondisi sebaliknya terjadi, dimana emisi CO dengan bahan bakar LGV hanya sepertiga emisi CO dari pertamax.

untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta, hlm.. JOM FISIP Vol. Persentase kurang dari 70% dikatakan “Kurang”. Data yang diperoleh dari angket diolah dengan

Diharapkan situs jual beli Bukalapak dapat menjadi alternatif media promosi bagi UKM sehingga dapat membantu meningkatkan penjualan produk atau jasanya tanpa

Contoh, siswa membuat soal yang berkaitan dengan pesawat sederhana, kemudian dari soal tersebut siswa menjawab dengan caranya sendiri, dari jawaban tersebut

SUCOFINDO menentukan masyarakat yang secara wilayah lebih dekat pada perusahaan terlebih dahulu, hal tersebut berdampak kepada masyarakat sekitar yang lebih mengetahui