• Tidak ada hasil yang ditemukan

me-museum-kan KEMISKINAN!

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "me-museum-kan KEMISKINAN!"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

Alif Basuki Yanu Endar Prasetyo

Satu Langkah Bersama Untuk :

me-MUSEUM-kan

KEMISKINAN !

Saatnya Suara Si Miskin Didengar dan Menjadi Dasar Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah !

“ Kelak, kemiskinan hanya akan tinggal menjadi buah bibir sejarah dan dongeng bagi anak cucu kita. Bahwa dulu pernah ada kisah “orang miskin” di dunia. Kemudian, di akhir pekan yang indah, para orang tua dan guru akan mengajak anak-anak mereka, untuk berlibur dan jalan-jalan ke “museum kemiskinan” yang kita bangun itu...inilah mimpi perjuangan kami & mimpi itu takkan terwujud tanpa Anda bersama kami...”

(2)

SATU LANGKAH BERSAMA UNTUK MEMUSEUMKAN KEMISKINAN Alif Basuki dan Yanu Endar Prasetyo,

Cetakan pertama, Agustus 2007 Hak Cipta 2007 Pada Penulis

Diterbitkan Atas Kerjasama : The Asia Foundation (TAF)

Department For International Development (DFID) Center for Regional Studies and Information (PATTIRO)

Editor : Wawan

Desain Sampul :

Tata letak :

Dicetak Oleh :

Penerbit :

Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Surakarta

Center for Regional Studies and Information of Surakarta Sodipan Rt 08 Rw V Pajang Laweyan Surakarta 57146 Telp/Fak .0271-7651970

Email : [email protected]

Diperbolehkan mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini, asal mencantumkan sumber kutipan (judul dan nama penulis).

Dilarang memperbanyak buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

(3)

E T A L A S E

GAPURA

 ETALASE

 JENDELA KOLOM

 JENDELA BAGAN

 JENDELA GAMBAR

 PAPAN SINGKATAN GERBANG

A. Penjaga Gerbang : Komitmen Walikota Surakarta B. Pemandu Museum : Cerita Tentang Kemiskinan

1. Memuseumkan Kemiskinan : Cita-Cita Bersama dari Kota Surakarta 2. Siapapun kita, Harus Ikut Memerangi Kemiskinan !

(Pesan dari film The Girl in The Cafe) SERAMBI

BAB I MEMAHAMI HAKEKAT KEMISKINAN A. Kacamata Baru Kemiskinan

1. Lebih Dekat Dengan Kemiskinan 2. Perbedaan Angka : Sumber Polemik

B. Dunia yang Timpang : Sebuah Fakta Kemiskinan C. Kemiskinan Musuh Kita Bersama !

RUANG PAMERAN

BAB II SKETSA WAJAH SURAKARTA :

KEMISKINAN ANAK KANDUNG PERTUMBUHAN KOTA A. Sisi Buram Perkotaan ( Profil Kemiskinan Surakarta )

B. Penanganan Kemiskinan di Surakarta C. Implementasi Program Pemkot Surakarta

D. Sekilas Tentang Kebijakan Anggaran Berbasis Hak (pro poor budget) JALAN TENGAH

BAB III SINERGISITAS :

SENJATA AMPUH MEMERANGI KEMISKINAN

(4)

A. Inisiatif Awal Mendorong Gerakan Anti Kemiskinan di Surakarta

B. Penyusunan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daearah (TKPKD) C. Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)

1. Konsolidasi awal 2. Persiapan

3. Pelaksanaan Penyusunan SPKD 4. Pengesahan (legalisasi)

LORONG SUNYI

BAB IV SUARA-SUARA KOMUNITAS :

KADO REKOMENDASI UNTUK GERAKAN MEMUSEUMKAN KEMISKINAN

A. Pendekatan Berbasis Hak (Right Based Approach) B. Potret Kemiskinan di Surakarta

(Hasil Pemetaan Tim Inisiator Bersama Komunitas Sektoral dan Kewilayahan) 1. Becak dan Pengamen

2. PSK 3. PKL 4. Buruh 5. Hunian Liar 6. Kampung Kumuh

C. Rekomendasi Untuk Gerakan me-Museum-kan Kemiskinan ARTEFAK

 DAFTAR PUSTAKA

 MEDIA DAN JEJAK KEMISKINAN DI SURAKARTA

 DI BALIK LAYAR

 PENCATAT JEJAK

(5)

JENDELA KOLOM

Kolom Keterangan Hal

1 14 Varibel Kualitatif Untuk Mengukur Kemiskinan 2 Kriteria Rumah Tangga Miskin

3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut daerah Tahun 1996-2005

4 Fakta Kemiskinan Hari Ini

5 Alokasi APBN Untuk Pengentasan Kemiskinan

6 HAK DASAR RAKYAT

7 Luas wilayah, Jumlah penduduk, Rasio jenis kelamin, dan tingkat kepadatan di tiap kecamatan di kota Surakarta tahun 2005

8 Angka Pengangguran di Kota Surakarta tahun 2006 9 Perbandingan jumlah Gakin di Surakarta (2006-2007) 10 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Solo 11 Peta Kondisi Pendidikan di kota Solo tahun 2007

12 Perbandingan Alokasi dan Jumlah Pemohon Beasiswa Pendidikan di kota Solo tahun 2006 dan 2007

13 Anggaran Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) untuk Kemiskinan

14 Anggaran Dinas Kesehatan Kota (DKK) Untuk Kemiskinan 15 Anggaran Dinas Pendidikan Untuk Kemiskinan

16 Anggaran Dinas Tenaga Kerja Untuk Kemiskinan

17 Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag dan PM) 18 Kondisi Keluarga Miskin di Surakarta tahun 2007

19 Jumlah anggaran per SKPD di Pemerintah Kota Surakarta yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin

20 Hasil evaluasi program pada workshop “Pemetaan Situasi Kemiskinan dalam Rangka Mempersiapkan Kelembagaan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kota Surakarta”

21 Inisiatif Pembentukan TKPKD dan Kelembagaan Pengawas Dokumen SPKD 22 Kelembagaan TKPKD berdasar SE Mendagri No.412.6/3186/SJ

23 Landasan Hukum Penyusunan SPKD 24 Contoh Sistematika Dokumen SPKD

25 Contoh Berbagai Usulan Nyata dari Masyarakat/Komunitas dalam Isu Pemenuhan HAK PENDIDIKAN Kepada Pemerintah Kota Surakarta

26 Contoh Berbagai Usulan Nyata dari Masyarakat/Komunitas dalam Isu Pemenuhan HAK KESEHATAN Kepada Pemerintah Kota Surakarta

27 Contoh Berbagai Usulan Nyata dari Masyarakat/Komunitas dalam Isu Pemenuhan HAK EKONOMI DAN PEKERJAAN Kepada Pemerintah Kota Surakarta 28 Hunian liar di Kota Surakarta Tahun 2005

29 Hasil Penajaman Pada Workshop Sinkronisasi Antara Hasil FGD Komunitas dengan Program-Program Pemerintah Kota Surakarta

(6)

JENDELA BAGAN

Bagan Keterangan Hal

1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah 1996-2005

2 Peta Anggaran Negara (APBN) Program Penanggulangan Kemiskinan Yang dikelola oleh Kementrian, Departemen &

Lembaga (Belum termasuk dana yang dikelola oleh pemda)

3 Estimasi Target Pemerintah untuk Penurunan Jumlah Masyarakat Miskin dalam 4 Tahun (2006 – 2009)

4 Alur Kerja Bersama Tim Inisiator 5 4 Tahapan Penyusunan SPKD

6 Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Konsultasi Publik

(7)

JENDELA GAMBAR

Gambar Keterangan Hal

1 Diskusi dan konsolidasi rutin Tim Inisiator

2 Denyut kehidupan di pemukiman Liar, Tanggul, Tipes, Surakarta 3 Penarik Becak dan Pengamen Berebut Ruang dan Rejeki di Jalan 4 Buruh di berbagai sektor bernasib sama : selalu ditekan !

5 PKL : Bunga trotoar yang bersemi sepanjang musim. Butuh ditata bukan

“dibuang”.

6 PSK : Kapan Kami Tidak menjadi “objek pemerasan” lagi ?

7 Beruntung masih bisa berteduh dari panas dan hujan. Tapi saat penggusuran terjadi, kami serasa diperlakukan tidak manusiawi, layaknya

“wabah”menular yang harus diberangus

(8)

PAPAN SINGKATAN

AKP Analisis Kemiskinan Partisipatif

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BPS Badan Pusat Statistik

GAKIN Keluarga Miskin

IPM Indeks Pembangunan Manusia

MDGs Millenium Development Goals

PERDA Peraturan Daeran

PERMEN Peraturan Menteri PERPRES Peraturan Presiden

PP Peraturan Pemerintah

PPA Participatory Poverty Assessment PRA Participatory Rural/Research Appraisal

RAPBD Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

SE Surat Edaran

SKPD Satuan Kerja Pemerintah Daerah

SNPK Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan SPKD Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

TKPKD Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

DKRPP-KB Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

DISDIKPORA Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

DKK Dinas Kesehatan Kota

(9)

PENJAGA GERBANG 1

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam sejahtera untuk kita semua

emiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state. Catatan merah dari sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang sifatnya kompleks dan multi dimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi tetapi juga sosial, budaya, politik bahkan juga ideologi. Kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan mengakses kesehatan dan pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan kemiskinan juga menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya secara terbatas. Kemiskinan telah membatasi hak-hak rakyat. Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI).

Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan kronis. Untuk itu, diperlukan cara penanggulangan kemiskinan yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan strategi penanganan yang berkelanjutan, dan tidak bersifat temporer.

 Prosentase penurunan kemiskinan yang akan dilakukan oleh walikota dalam 1 tahun anggaran 2008 kedepan dengan melihat posisi kemiskinan di kota Solo berada pada peringkat 29 dari 33 kota di Pulau Jawa dan Bali, adalah dengan meningkatkan prosentase anggaran untuk meningkatkan penanggulangan kemiskinan dari yang sekarang untuk yang akan datang.

 Program Pemkot Surakarta dalam upaya penanggulangan kemiskinan o Relokasi dan pemberdayaan PKL

o Revitalisasi pasar pemberdayaan UKM o Puskesmas buka sampai sore hari o Puskesmas rawat inap

o Rumah layak huni

1 Sambutan walikota Surakarta pada dialog publik dan workshop “Menata Kelembagaan dan Strategi

K

(10)

o Sekolah plus o Solo kota vokasi

o Membuka peluang investasi, sehingga tercipta lapangan kerja dan mampu mengurangi jumlah pengangguran

Upaya yang akan dilakukan Pemkot dalam membangun stakeholder forum dalam rangka menaggulangi kemiskinan dengan berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang diterjemahkan dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) melalui proses inklusif dengan menerapkan Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP).

 Memfasilitasi stakeholder forum dalam penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan dengan membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan daerah

 Memberdayakan Masyarakat miskin untuk meningkatkan keswadayaan dan kemandiriannya dalam mengatasi kemiskinannya

 Menyusun agenda pembangunan daerah yang memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama

 Membangkitkan kesadaran kolektif agar semua memahami kemiskinan sebagai musuh bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas kemiskinan.

Strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan.

 Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam jangka pendek, tetapi memerlukan peran dan partisipasi aktif segenap stake holder terutama masyarakat itu sendiri, sehingga tercipta sinergi positif dalam mensejahterakan rakyat.

Demikian, Terima kasih Wassalamu’alaikum wr. Wb

WALIKOTA SURAKARTA Ir. JOKO WIDODO

(11)

PENJAGA GERBANG (2) 2

Assalamu’alaikum Wr. Wb Salam sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati :

 TIM Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TPKRI)

 Muspida Kota Surakarta

 Pimpinan dan Anggota DPRD

 Para pimpinan SKPD di lingkungan Pemkot Surakarta

 Para pimpinan organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, fungsionaris partai politik, dan akademisi

 Hadirin dan Tamu undangan yang berbahagia

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, hingga kita dapat menyelesaikan dialog publik dan workshop dengan baik dan lancar. Hasil-hasil dari dialog ini menjadi masukan sangat positif bagi pengambilan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam mengentaskan kemiskinan di kota Solo.

Memang, permasalahan kemiskinan tidak dapat diselesaikan dari salah satu sisi saja, namun permasalahan kemiskinan harus diselesaikan secara komprehensif. Dan inilah yang saat ini dilakukan pemkot, dengan mengkoordinasikan berbagai program pengentasan kemiskinan yang tersebar di berbagai SKPD. Dengan paduan, teori dan praktek, serta dialog- dialog semacam ini, kita berharap permasalahan kemiskinan dapat diselesaikan secara cepat dan tepat serta sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Akhirnya, dengan mengucap Alhamdulillahirobbil’alamin “Dialog Publik dan Workshop : Menata Kelembagaan Dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kota Surakarta” dengan resmi saya nyatakan ditutup.

Sekian, dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

WALIKOTA SURAKARTA Ir. H. JOKO WIDODO

2 Sambutan walikota surakarta Disampaikan dalam pada acara penutupan dialog publik dan workshop

“menata kelembagaan dan strategi penanggulangan kemiskinan kota surakarta” Hotel Indah Palace, Surakarta, 04 Juli 2007

(12)

Cerita Tentang Kemiskinan...

atatan ini merupakan rekam jejak dari sebuah pengalaman belajar. Satu dari sekian langkah panjang dan cita-cita kami untuk membuat kemiskinan menjadi

“tinggal sejarah” dalam peradaban manusia dan berupaya untuk memuseumkannya.

Meskipun terdengar utopis dan bukan “barang” baru, namun kehadiran buku ini kami maksudkan sebagai inspirator dan dukungan untuk semua orang-orang di luar sana, yang masih peduli dan menyingsingkan lengan untuk ikut mengangkat martabat bangsa, khususnya agar segera keluar dari kemiskinan yang akut ini. Tanpa memandang suku, ras, dan agama, kemiskinan adalah musuh yang harus kita perangi bersama-sama. Semoga, impian kami untuk mengangkat kemiskinan dari realitas dan menjadikannya dongeng bagi anak cucu kita kedepan, benar-benar maujud dengan nyata. Sama halnya dengan perjuangan selama ribuan tahun untuk menghapuskan perbudakan (slavery) di atas bumi ini, sekarang dapat kita rasakan hasilnya dan dengar “ceritanya”.

Untuk semua kawan-kawan yang terlibat langsung maupun tidak, kami sungguh banyak berhutang jasa. Tanpa kalian, catatan ini takkan selengkap yang bisa kami sajikan.

Terima kasih, terutama kepada kawan-kawan yang tergabung dalam Konsorsium Solo untuk Anggaran Rakyat Miskin yang terlibat dalam proses kegiatan kami, M. Amin (Jari) selaku koordinator konsorsium, Mas Didik (LPTP), Syamsul dan yu Wiji (Leskap), Sholahudin (kaukus 17++), Rifai (Inres), Zakaria (Kikis), Vera (Spek-HAM), Bidin (Sari), serta Dr.

Soemanto dan Mbak Ratna Devi dari PPK LPPM UNS. Tak lupa, Ir. H. Joko Widodo (Walikota), Pak Rudy (Wakil Walikota), dan Pak Qomarudin (Sekda Pemkot Surakarta) yang telah memberikan komitmennya. serta Pak Widi (Kepala Dinas DKRPP-KB) matur sembah nuwun telah ikut mensinergikan Gerakan Anti Kemiskinan di Surakarta ini.

Wa bil khusus, rasa bangga kami haturkan kepada temen-temen Pattiro Solo, Setyo, Magfur, Joko Pitek, Mbak Rohmah, Latri, Benny, Juhanda, dan Andy yang selalu hadir di waktu yang tepat. Untuk DFID (Departement for International Development) dan juga The Asia Foundation (TAF), terutama mas Alam SP, terima kasih sedalam-dalamnya atas kepercayaan dan kesempatan bermitra bersama kami dalam melaksankan program-progamnya di daerah.

Never ending fighting to make poverty a history !.

Surakarta, Agustus 2007 Navigator dan pencatat Jejak : Alif Basuki & Yanu Endar Prasetyo

C

(13)

Memuseumkan Kemiskinan : Cita-cita Bersama dari Kota Surakarta

roblem masyarakat miskin, baik di pedesaan, pelosok pegunungan, maupun perkotaan, dari waktu ke waktu ternyata tak kunjung usai diperbincangkan. Baik oleh pemerintah pusat maupun daerah sebagai pembuat kebijakan, akademisi yang melakukan penelitian, advokasi oleh LSM, hingga lembaga donor yang mengucurkan bantuannya. Meski telah sekian panjang waktu dan upaya semua pihak itu dijalankan, nampaknya belum bisa menjadikan kemiskinan sebagai sebuah sejarah yang harus di museumkan dalam kehidupan kita saat ini. Justru sebaliknya, kemiskinan hadir semakin nyata dan parah. Hingga detik ini, kemiskinan masih menjadi tema dan isu sentral dalam setiap kebijakan atau proyek pembangunan apapun dalam sebuah kawasan. Sebab, sepertinya jalan perjuangan untuk mengubur kemiskinan ini, masih terlampau terjal dan berliku, serta membutuhkan tenaga super ekstra untuk menjadikannya sebagai sebuah “kenangan”.

Cita-cita besar memuseumkan kemiskinan ini, meskipun sangat utopis, setidaknya dapat menjadi dorongan dan spirit baru bagi gerakan kita bersama dalam memerangi kemiskinan. Harus kita tegaskan lagi, bahwa kemiskinan adalah musuh kita bersama! Dengan menabuh genderang perang terhadap kemiskinan ini bersama-sama, diharapkan berdampak pada pengurangan jumlah masyarakat miskin dari tahun ke tahun.

Jika kita cermati, ada banyak faktor, mengapa kemiskinan enggan musnah dari negeri ini. Pertama, polemik selalu berkaitan dengan soal kriteria dan jumlah orang miskin. Kedua, untuk mengukur masyarakat miskin atau tidak, masih selalu digunakan ukuran yang bersifat ekonomis. Padahal, kemiskinan bukan melulu persoalan ekonomi. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, menjadi tidak significant. Seperti kita tahu, kemiskinan itu sangat terkait dengan kebijakan. Dampak langsung dari lahirnya kebijakan yang salah arah (akibat salah dalam diagnosisnya), adalah munculnya problem sosial baru yang dipicu oleh kebijakan itu sendiri malah. Contoh ; kebijakan beras untuk orang miskin (Raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Selalu saja sulit untuk menjalankan program semacam itu. Jika kebijakan itu dikeluarkan, maka dapat menyulut protes dari pihak lain di tengah masyarakat..

Sangat disayangkan, justru implementator di tingkatan paling bawah yang banyak disalahkan.

Padahal, mereka hanya menjalankan perintah dan tidak turut mengambil kebijakan itu.

Sehingga, dari sini dapat kita lihat ada perbedaan paradigma antara negara dan masyarakat. Selama ini, negara cenderung melihat kemiskinan berkait langsung dengan

P

(14)

ekonomi. Meski semua tahu, kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi, tetapi bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan pilihan dan kemampuan (lock of choice and capability).

Kekeliruan paradigmatik ini, berakibat pada kegagalan negara dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertama, Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi, terbukti mengalami kegagalan. Sebab, pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi, tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin di indikasikan dengan terlembaganya nilai- nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Sementara, dalam dimensi lain, banyak orang menjadi miskin pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.

Kedua, kebijakan dari negara selama ini, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas. Sehingga, program-program kebijakan itu tidak mampu memunculkan dorongan dari masyarakat miskin itu sendiri, agar berupaya keluar dari kemiskinannya. Sebaliknya, mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan oleh pihak lain. Padahal, program penanggulangan kemiskinan itu seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi mandiri dan produktif.

Ketiga, negara masih memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek.

Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Sehingga, suara si miskin itu akan dapat menjadi acuan dalam perumusan kebijakan atau penanggulangan kemiskinan.

Keempat, dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa daripada fasilitator. Kerapkali, turut campur tangan pemerintah masih terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Seolah, pemerintah sudah lebih tahu kebutuhan orang miskin itu daripada si miskin itu sendiri. Seharusnya, pemerintah bertindak sebagai fasilitator, yang bertugas mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat miskin itu. Dalam hal ini, Suharto (2003) mengatakan bahwa, paradigma baru lebih menekankan pada “apa yang dimiliki orang miskin itu?”, daripada “apa yang tidak dimiliki oleh orang miskin ?”. Potensi orang miskin tersebut, bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.

Selain kekeliruan cara pandang negara dalam melihat kemiskinan di atas, pada dasarnya, ada dua faktor pokok yang dapat menyebabkan kegagalan program

(15)

penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Satu, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran “bantuan-bantuan sosial”

praktis untuk orang miskin. Upaya seperti ini, tentu akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada. Apalagi, sifat bantuan itu tidaklah berbentuk pemberdayaan, tetapi sebaliknya, menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini, justru memperburuk sikap dan perilaku masyarakat miskin, dan bahkan mereka yang tidak miskin. Program penanggulangan kemiskinan, seharusnya lebih difokuskan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif. Sehingga, program itu mampu membebaskan ketergantungan orang miskin yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga memberi peluang terjadinya korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah baiknya, apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti pembebasan biaya pendidikan untuk Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Dua, gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Sehingga, program-program pengentasan yang ada, tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang bersifat lokal dan kontekstual. Akhirnya, banyak program yang sering tumpang tindih, tidak efektif dan efisien ketika dijadikan sebagai obat untuk menyembuhkan kemikinan.

Padahal, jikalau kita menengok komunitas kampung kumuh, hunian liar, pedagang kaki lima, tukang parkir, penarik becak, pengamen, dan PSK yang selalu mewarnai wajah kemiskinan di perkotaan. Kesadaran kritis untuk melawan kebijakan negara yang tidak berpihak pada mereka, mulai tumbuh di mana-mana. Mereka cukup lantang dalam menyuarakan problem sosial-ekonomi yang terus menghimpit dan mencekik. Pengalaman kami di Kota Surakarta, meskipun si miskin tidak berdaya, tetapi mereka menunjukan bahwa suara mereka masih kuat untuk memberontak dan menuntut keadilan untuk ikut menikmati kue pembangunan ini sebagai sesama anak bangsa.

„ala Kulli hal, Saat ini adalah momentum bagi kita semua untuk bangkit dan melawan kemiskinan sebagai musuh bersama. Kita tidak ingin isu kemiskinan ini justru menjadi komoditas ekonomi, yang sebenarnya hanya untuk memperbesar kucuran dana dari pemerintah pusat maupun negara-negara pemberi hutang. Momentum ini seharusnya bisa

(16)

ditangkap oleh semua pihak, terutama pemerintah, dengan berupaya memasukan suara si miskin dalam kebijakan dan sekaligus melibatkan dan menyelamatkan mereka dari jurang kemiskinan.

Agenda bersama untuk memuseumkan kemiskinan ini diikuti oleh rangkaian strategi dan kerja-kerja advokasi, dalam mengupayakan tersusunnya subuah dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang partisipatif. Semua ini merupakan pengalaman belajar dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama yang dilakukan dalam percepatan waktu, antara Pattiro Surakarta, Konsorsium LSM Solo, Pusat Penelitian Kependudukan LPPM UNS, serta Pemkot Surakarta yang berkomitmen untuk bersama-sama memerangi dan memuseumkan kemiskinan di Surakarta. Mimpi kami, anak cucu kita nanti tidak akan lagi melihat kemiskinan dalam realitas, tapi menjadikan kemiskinan itu tinggal sebagai sejarah masa lalu. Kelak, kita akan mengajak anak-cucu kita jalan-jalan dan melihat kemiskinan hanya di dalam museum. Kami yakin, upaya ini bukanlah cerita baru. Namun, dari pengalaman ini, kami berharap akan mampu menambah referensi dan inspirasi bagi siapapun, yang berkehendak untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh abadi yang harus dilawan dan diperangi. Dari Surakarta, kita perangi semua kemiskinan yang ada di pelosok desa dan kota di Indonesia.serta di seluruh dunia...Selamat bergabung, keep on fighting !

(17)

Siapapun Kita, Harus Ikut Memerangi Kemiskinan ! (Pesan dari film The Girl in The Cafe)

Suatu hari, di tahun awal millenium ke tiga, sebuah pertemuan internasional digelar di Reycjavik. Disambut oleh hujan salju dan demonstrasi ratusan orang yang datang dari berbagai negara. Kedatangan setiap wakil dari negara peserta konferensi itu pun, tak henti-hentinya mereka caci. Konon, International Summit itu dihadiri para petinggi keuangan dari delapan negara besar di dunia (G8 = Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Rusia, Jepang, dan China). Mereka bertemu untuk membahas tentang kebijakan keuangan luar negeri masing-masing negara.

Seperti konferensi-konferensi mereka sebelumnya, mereka akan membahas bagaimana cara dan kerjasama dalam memperkuat perekonomian negara mereka. Mereka yang duduk dalam pertemuan itu pula yang selama ini dikenal sebagai ”negara donor”

bagi negara-negara miskin di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka nanti juga akan memperdebatkan prioritas agenda ekonomi, termasuk pemberian hutang, perdagangan, dan bantuan yang akan mereka bagi-bagi kepada negara-negara miskin di dua pertiga belahan bumi lainnya. Itu pun setelah mereka yakin, tidak akan ada goncangan yang berarti di negara mereka akibat ”bantuan kemanusiaan” itu. Dapat dikatakan, di mulut dan tangan kedelapan orang itulah, kendali atas ekonomi dunia berada. Konyol dan ironi memang, masa depan ratusan negara dan jutaan orang ditentukan oleh kebijakan ekonomi segelintir negara. Tapi itulah yang terjadi.

Memasuki millenium baru, gonjang-ganjing ekonomi dunia semakin tidak menentu. Ditambah dengan kemiskinan luar biasa yang melanda Afrika dan negara- negara dunia ketiga lainnya. Faktanya, setiap hari, ada 30.000 orang mati akibat kondisi kemiskinan yang ekstrim. 15.000 anak-anak di seluruh negara miskin mati setiap harinya.

Artinya, setiap 3 detik, satu anak mati karena kelaparan. 800 juta orang hidup dengan kurang dari 1 $ per harinya. Itu di negara-negara miskin. Tentu berbeda kondisinya dengan negara-negara lain yang makmur. Di Skotlandia, Sapi saja mendapatkan subsidi hingga 12 ribu pounds per tahun. Jika mereka manusia, mereka bisa keliling dunia memakai pesawat kelas eksekutif dengan uang subsidi itu. Padahal, jika uang untuk

(18)

subsidi sapi itu dialihkan pada yang membutuhkan, maka 150.000 ribu ibu miskin tidak akan mati sia-sia. Adalah Lawrence, salah satu anggota senior tim keuangan Inggris yang gelisah akan fakta itu. Ia sadar sepenuhnya, di depannya telah berkumpul delapan orang yang keputusannya bisa menyelamatkan jutaan nyawa itu. Jika mereka mau peduli, setidak-tidaknya, dunia akan lebih baik dalam 159 tahun ke depan, batinnya. Dia pun satu dari sedikit orang yang kemudian memboyong proposal Millenium Goals, dengan agenda utamanya, mengurangi angka kemiskinan di dunia!

Namun, apalah artinya seorang Lawrence tua (Bill Nighy), pendiam, yang hanya seorang anggota tim keuangan. Keputusan tetap di tangan para menteri ”bandit” yang menjadi atasannya. Kalaupun ngotot berjuang, dia pasti akan dipecat. Dia tidak punya banyak pilihan. Apalagi setelah melihat konferensi itu bergeser arah menjadi ajang tarik-manarik kepentingan busuk dan keserakahan ekonomi masing-masing negara. Meski mereka tahu, jutaan nyawa bisa mereka selamatkan dengan sebuah kebijakan Millenium Goals tersebut, namun mereka enggan membahasnya.

Hingga seorang gadis cerdas dan pemberani, Gina (Kelly Macdonald) namanya, yang menjadi teman sekamar Lawrence di hotel, berhasil masuk pada sebuah jamuan makan malam, menjelang pertemuan terakhir konferensi G 8 itu. Tak seorang pun mengira dia akan berbuat sesuatu yang membuat semua hadirin malam itu tersentak kaget. Di tengah pidato sambutan salah seorang pemimpin G 8, tiba-tiba Gina menyela gelak tawa pemimpin itu di atas podium. Dengan sikap tenang namun memendam amarah yang sangat, Gina membeberkan fakta kemiskinan di luar sana. Semua hadirin terdiam. Suasana menjadi benar- benar hening. Belum pernah ada orang, bahkan pejabat, yang berani mencela sambutan seorang menteri. ”Tik, Tik, Tik...” Ibu jari dan jari tengahnya menghitung hingga tiga kali,

”Satu anak telah mati di luar sana”, kata Gina. Kemudian Ia mengulanginya tiga kali.

Semua yang ada di sana hanya diam. Diantara mereka yang masih memiliki hati nurani pun merasa malu atas pertemuan mewah yang tidak membawa perbaikan apapun bagi dunia. Sebelum Gina bicara lebih lanjut, ia diseret keluar oleh para penjaga keamanan. Tidak ada yang tahu, bahwa Gina hanyalah gadis biasa, yang tidak berpendidikan. Bahkan, ia baru saja keluar dari penjara. Sampai akhirnya dia bertemu Lawrence dan bisa masuk untuk akhirnya ”mengacau” pertemuan mewah itu.

Singkat cerita, keesokan harinya, saat delapan negara itu menentukan keputusan, proposal Millenium Development Goals itu pun (tanpa diduga) mereka setujui. Finally, meski

(19)

agak terlambat, mereka sadar, bahwa setiap generasi selalu melahirkan orang-orang hebat.

Dan generasi ini membutuhkan orang hebat yang mampu menjadikan kemiskinan itu menjadi ”tinggal sejarah”.

Siapa tahu, Andalah orang itu !

(20)

“Di daerah-daerah, sekarang mulai muncul inisiatif untuk melakukan penanggulangan kemiskinan. Mungkin, kita akan mulai dari mencari main problem dalam masyarakat itu apa? harus kita cari voice of poor itu supaya bisa masuk dalam strategi kebijakannya. Karena, meskipun ada musrenbang, itu hanya menghasilkan elit yang ternyata bukan representasi masyarakat.

Dan jangan lupa, ada kharakteristik khas dari si miskin itu sendiri yang harus kita pahami, yakni jika kita undang mereka tidak datang. Jika datang, mereka tidak bersuara! Ini bukan salah mereka. Maka kita harus merumuskan metodologi untuk mendapat voice poor tadi. Sehingga, instrumen ketika kita akan melakukan penggalian persolan kemiskinan adalah dengan menggunakan metode PPA (Participatory Poverty Assessment). Metode PPA ini untuk menjamin suara si miskin masuk dalam dokumen strategi penanggulangan kemiskinan. Selain itu, kata kunci lain dari persoalan kemiskinan adalah dengan mereview kebijakan yang ada. Sehingga dari sini kita bisa mulai pula untuk mereview kebijakan nasional yang menghambat orang berproduksi. Jadi, dalam menyusun dokumen strategi penanggulangan kemiskinan itu, kita tidak hanya menangkap fenomena saja ”

Zakaria

KIKIS

(21)

Rumusan tentang kemiskinan yang jelas

BAB I BAB I

Memahami Hakekat Kemiskinan :

Lebih Dekat Dengan Kemiskinan

Dunia Yang Timpang : Sebuah Fakta Kemiskinan

Kemiskinan Musuh Kita Bersama !

(22)

” Mereka (PSK Gilingan) bilang, kalau miskin itu ya tidak punya rumah, uang, dan untuk makan saja sulit. Soal penyebab kemiskinan mereka anggap akibat orang tua yang juga miskin. Untuk menutup hutang, terpaksa mereka menjual diri. Ada yang kelas 5 SD sudah dinikahkan.

Rata-rata mereka menghadapi persoalan keluarga, sehingga harus meninggalkan rumah. Selain itu, ada juga yang karena suami selingkuh dan bercerai. Persoalan lainnya, mereka tidak punya keterampilan. Untuk menjadi PRT (Pembantu Rumah Tangga) saja juga kesulitan. Mereka rata- rata di Solo sebagai pendatang. Ada juga yang asli Solo, mertua dan orang tua di Solo. Rata-rata orang tua juga banyak anak. Sehingga jadi kendala.

Untuk mengatasi itu, mereka hutang sesama teman atau rentenir (dengan bunga 10-20 % perminggu atau perbulan). Biaya sosial sehari-hari juga sangat banyak, karena terlibat urusan dengan tetangga dan kegiatan sosial masyarakat setempat. Misal, menengok orang sakit, nyumbang orang mantenan (nikah), iuaran dan uang keamanan untuk RT. Yang paling mereka takuti adalah RAZIA yang dilakukan oleh polisi berpakaian preman di sembarang tempat. Oknum polisi yang melakukan. Mereka hidup dalam kekhawatiran yang sangat, baik saat bekerja atau kapan saja. Belum lagi, Mereka sering sakit, kalau nggak punya uang, harus menahan dulu sakitnya. Biasanya nggak ke dokter tapi ke puskesmas. Anak-anaknya dititipkan kepada orang tua di desa, dan mereka tinggal di kost-kostan, dengan biaya rata-rata 150 ribu per bulan. Mereka juga diterima oleh warga.

Yang paling mereka minta adalah dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan dan mendapat perlindungan dari pemerintah. Mereka butuh lapangan pekerjaan dan modal untuk berjualan, pendidikan, dan sebagainya.

Sebab, mereka adalah ujung tombak keluarga ”

Vera Kartika Giyatri

LSM Spek-HAM

(23)

A. KACAMATA BARU KEMISKINAN

1. Lebih Dekat Dengan Kemiskinan

etika berbicara tentang kemiskinan, mau tidak mau, kita harus mengelompokkan siapakah yang pantas disebut miskin dan siapa yang tidak? Merumuskan batas kemiskinan itu menjadi sangat penting, apalagi ketika kita akan memulai sebuah analisis. Bukan hanya tentang kondisi kemiskinan yang terjadi, namun juga menganalisis the Depth of Poverty (how poor are the poor?) 1 dan tak lupa melihat pula the Duration of Poverty (how long are the poor, Poor?) itu sendiri.

Menentukan garis kemiskinan secara sepihak, memang sebuah kesewenang- wenangan. Bahkan, meskipun disitu telah ada satu definisi kemiskinan yang disepakati bersama. Sebab, pada dasarnya setiap definisi tidak akan mampu mencakup keseluruhan problem kemiskinan. Seperti halnya teori, tak pernah ada satu teori yang mampu digunakan untuk menjawab semua persoalan manusia. Pun dalam penentuan garis kemiskinan. Pendapat orang awam dan para ahli nampaknya akan selalu berselisih pada soal Apa dan Seluas apa kemiskinan harus didefinisikan?

Apakah akan dimasukkan pada definisi absolut-nya (ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar) ataukah pada definisi relatif-nya (kesenjangan dengan lingkungan sekitar) ?

Mar‟ie Muhammad, Mantan Menkeu RI, mendefiniskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga, atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non pangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan, dan kebutuhan transportasi.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut 2

Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif terkait dengan isu seputar ketimpangan dalam pembagian pendapatan3. Mereka sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan rata-rata masyarakat sekitarnya. Sedangkan kemiskinan kultural, berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya. Sekalipun, ada usaha dari pihak lain untuk membantunya.

K

(24)

Lebih jauh, pemahaman selama ini menyebutkan ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi. Pertama, kemiskinan alamiah. Dan kedua, kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana alam.

Sedangkan kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, membuat sebagian anggota masyarakat yang lain tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin.

Kemiskinan juga diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat di bawah situasi sistem pemerintahan, yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Hal ini lebih dikenal sebagai kemiskinan struktural.

Umumnya, ketika orang awam, akademisi, maupun birokrat berbicara tentang kemiskinan, mereka senantiasa berkutat pada kemiskinan yang bersifat material.

Indikatornya, seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan hidup secara layak. Dalam bahasa lain, disebut pula sebagai kemiskinan konsumsi. Tentu saja, definisi kemiskinan semacam ini, belum menyeluruh dan menyentuh akar kemiskinan itu sendiri. Asumsinya :

 Ada kemungkinan, definisi kemiskinan para ahli di atas, ternyata berbeda dengan definisi kemiskinan dari si miskin itu sendiri ?

 Jika memang demikian, maka wajar jika para pembuat kebijakan selama ini, dengan serampangan mengambil kesimpulan, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan memberikan “bantuan-bantuan” fisik dan materi belaka

 Akibatnya, selain kontraproduktif, kebijakan itu justru menimbulkan problem sosial baru yang lebih rumit.

Contoh kasus kesimpangsiuran dalam menentukan siapakah yang miskin?

dapat dilihat dalam kriteria kemiskinan yang digunakan pemerintah selama ini. Biro Pusat Statistik (BPS), misalnya, untuk mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran

(25)

untuk kebutuhan pokok. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI) atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan 4

Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen (1) Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan (2) Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan garis kemiskinan dihitung terpisah, untuk daerah perkotaan dan pedesaan5 (pertanyaan lanjutannya, apa pula kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu daerah disebut desa dan kota?). Dari perhitungan di atas, melahirkan definisi penduduk miskin adalah : penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran (tingkat konsumsi) per kapita per bulan-nya di bawah Garis Kemiskinan.

Sementara itu, masyarakat sipil, memandang kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana individu atau masyarakat mengalami keterbatasan pilihan dan kemampuan (lack of choice and capability). Dalam pandangan tersebut, kemiskinan dimaknai sebagai suatu situasi hilangnya hak serta peluang individu atau sekelompok masyarakat terhadap penguasaan, pengelolaan, dan pengontrolan atas sumber daya yang diperlukan bagi terjaminnya kehidupan mereka. Dengan kata lain, mereka merupakan individu atau sekelompok masyarakat yang rentan karena faktor-faktor penentu hidupnya berada di luar kontrol dan kendalinya 6.

Pengertian terakhir di atas, menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara berbagai dimensi kemiskinan. Sebab, disamping dimensi ekonomi, ternyata kemiskinan juga mengandung dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan dalam menyampaikan aspirasi (voicelessness). Selain itu, pengertian tentang kemiskinan sendiri sangat dinamis, dan terus mengalami perubahan menurut ruang dan waktu yang dilintasinya. Kemiskinan sifatnya sangat kontekstual. Namun demikian, ada beberapa pokok dimensi yang harus tercakup ke dalam definisi kemiskinan, Dimensi tersebut antara lain 7:

a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) b. Ketidakmampuan mengakses kebutuhan dasar hidup lainnya (pendidikan,

kesehatan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)

c. Ketiadaan jaminan masa depan (tidak memiliki investasi apapun untuk keluarga)

d. Kerentanan terhadap goncangan, baik yang bersifat individual maupun massal

(26)

e. Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan SDA f. Termarginalkan dalam kegiatan sosial masyarakat

g. Ketidakmampuan mengakses pekerjaan dan mata pencaharian yang berkesinambungan

h. Ketidakmampuan berusaha karena difabel

i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, korban kekerasan dalam rumah tangga, janda miskin, dsb)

Selain berbagai dimensi kemiskinan di atas, satu lagi yang tidak boleh terlupakan dalam mendefinisikan kemiskinan, yaitu dimensi feminis dan ketimpangan gender. Di mana pun, kemiskinan selalu menampilkan wajah perempuan di depan. Banyak penelitian kontemporer mengungkapkan, dalam sebuah keluarga miskin, perempuan senantiasa berperan sebagai katup penyelamat bagi perekonomian keluarga. Setidaknya ada empat peran perempuan miskin di dalam keluarga8. Pertama, sebagai pengelola keuangan sumah tangga. Kedua, sebagai penanggungjawab seluruh pekerjaan domestik. Ketiga, sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Dan keempat, sebagai salah satu simpul jaringan sosial yang penting dalam hal transfer sosial, khususnya pada masa-masa kritis dan krisis. Sehingga, dalam melihat perempuan dan prostitusi, misalnya, kita dapat memposisikan mereka sebagai korban dari belenggu kemiskinan yang ada. Sehingga, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus sampai kepada mereka.

Dengan demikian, desentralisasi definisi, indikator, dan kebijakan penanggulangan kemiskinan dari pusat kepada daerah, harus terus digalakkan dengan memperhatikan berbagai dimensi kemiskinan di atas. Dengan kata lain, redefinisi kemiskinan harus sesuai dengan kondisi masing-masing kota dan desa, sehingga kebijakan penanggulangannya akan menjadi relevan dan benar-benar tepat sasaran.

(27)

2. Perbedaan Angka : Sumber Polemik

umber data utama yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), yang diperbaharui setiap tiga tahun sekali. Data kemiskinan hasil Susenas (39,05 juta Jiwa pada Maret 2006) hanya menunjukkan agregat dan persentase penduduk miskin. Tetapi data itu tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan dimana alamat mereka? Dengan demikian, data ini kurang operasional di lapangan.

Disamping SUSENAS, BPS melaksanakan pula Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE) untuk memperoleh data mikro yang memuat informasi nama kepala rumah tangga dan lokasi tempat tinggal secara lengkap dari penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sasarannya tidak hanya rumah tangga sangat miskin dan miskin, tetapi juga yang mendekati miskin. Jumlah rumah tangga penerima BLT versi BPS adalah 19,2 juta rumah tangga.

Berbeda dengan BPS, metode Susenas mengukur kemiskinan (rumah tangga penerima BLT) dengan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diukur dengan pendekatan kebutuhan dasar makanan (setara 2100 kalori/kapita/hari). Pendekatan Kualitatif diukur dengan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan. 14 variabel kualitatif itu adalah :

S

Kolom 1 : 14 Varibel Kualitatif Untuk Mengukur Kemiskinan

1. Luas lantai 2. Jenis lantai 3. Jenis dinding

4. Fasilitas tempat buang air besar 5. Sumber air minum

6. Sumber penerangan 7. Bahan bakar

8. Membeli daging/ayam/susu 9. Frekuensi makan

10. Membeli pakaian baru 11. Kemampuan berobat

12. Lapangan usaha kepala rumah tangga 13. Pendidikan kepala rumah tangga, dan 14. Aset yang dimiliki rumah tangga

(28)

Percaya atau tidak, hal paling dilematis di dalam membahas persoalan kemiskinan adalah ketika harus menentukan kriteria seperti di atas. Karena tujuan dan metode pengumpulan data yang digunakan berbeda, maka data kemiskinan Susenas tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan data PSE (BPS). Akibat dari paradigma, pendekatan, metodologi, dan definisi kemiskinan yang tumpang tindih tersebut, ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang oleh pemerintah pusat pun akhirnya tidak memadai secara operasional dalam upaya pengentasan kemiskinan di daerah. Sebaliknya, data yang dihasilkan dari pusat tersebut, justru memungkinkan terjadinya kebijakan salah arah. Sebab, data tersebut tidak dapat mengidentifikasi kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro, perlu juga diperoleh data kemiskinan mikro yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut, perlu pula diintegrasikan dengan sistem statistik nasional, sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Kolom 2 : Kriteria Rumah Tangga Miskin 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa plester

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu

9. Hanya membeli satu set pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: Petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000 per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah di jual dengan nilai minimal Rp.500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Sumber : Enda.goblogmedia.com

(29)

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan data kemiskinan daerah tersebut, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan, sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah. Sebaliknya, pemerintah justru dapat mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat sasaran.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data kemiskinan lokal tersebut, bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak- pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal, nasional, maupun internasional, agar program pemberdayaan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran.

Selain program yang memberdayakan masyarakat, perlu juga dilakukan pemberdayaan terhadap pemerintah daerah dan instansi terkait selaku pembuat kebijakan, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dalam pemanfaatan data kemiskinan untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, maupun stake holder lainnya, dapat menggali informasi yang benar serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan yang solutif.

Selain membangun sistem pengambilan dan pengelolaan data kemiskinan secara lokal, perlu secepatnya dibentuk tim teknis yang dapat memonitoring dan mengevaluasi pengembangan sistem informasi kemiskinan daerah tersebut.

Pembentukan tim teknis ini, selain mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan LSM, juga agar melibatkan secara langsung komunitas si miskin itu sendiri. Sebagai catatan, pengumpulan data dan indikator kemiskinan daerah ini harus rendah biaya (low cost), suistanable, kredibel, dan mampu mengakomodir keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya setempat. Akhirnya, pemerintah daerah akan memiliki kesempatan mendefinisikan ulang persoalan kemiskinan itu, sesuai dengan konteks kedaerahan masing-masing. Dengan catatan, tetap selaras dengan definisi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan secara nasional.

(30)

B. DUNIA YANG TIMPANG : SEBUAH FAKTA KEMISKINAN

ecara umum, pemerintah memang wajib memprakarsai pengukuran berbagai indikator kemiskinan dari berbagai perspektif. Misalnya, indikator insiden kemiskinan (The Poverty Headcount Index), tingkat kedalaman kemiskinan (The Depth of Poverty), dan tingkat keparahan kemiskinan (The Severity of Poverty Gap). The Poverty Headcount Index atau The Incidence of Poverty menggambarkan prosentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. The Poverty Gap Index atau The Depth of Poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. The Severity of Proverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, dan ketimpangan di antara orang miskin9 .

Menurut laporan Statistik tentang tingkat kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,90 juta jiwa (17,75 %). Dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 3, 95 juta jiwa. Namun, ada sedikit kabar gembira (meskipun masih menjadi kontroversi) pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional. Penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta dari 39,90 juta orang (17,75%) menjadi 37,17 juta jiwa (16,58) dari jumlah penduduk 10.

Data BPS terbaru juga menunjukkan bahwa garis kemiskinan menunjukkan kenaikan 9,67 % dari Rp. 151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006, menjadi Rp.

166.697 per kapita per maret 2007. naiknya garis kemiskinan ini disebabkan oleh pengaruh adanya kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok masyarakat yang lebih tinggi daripada kenaikan tingkat inflasi selama satu tahun tersebut.

Kondisi umum kemiskinan di indonesia selama sepuluh tahun terakhir dapat dilihat di dalam tabel dan bagan di bawah ini :

S

(31)

Bagan 1 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di indonesia Menurut daerah 1996-2005

34,01 jt (17,47%)

49,50 jt (24,23%)

47,97 jt (23,43%)

38,70 jt (19,14%)

37,90 jt (18,41%)

38,40 jt (18,20%)

37,30 jt (17.42%)

36,10 jt (16,66%)

35,10 jt (15,97%)

39,05 jt*) (17,75%)

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00

1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Sumber : Katiman, Tim Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TPKRI) Kolom 3 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di indonesia

Menurut daerah Tahun 1996-2005

Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47

1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14

2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41

2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 12,40 22,70 35,10 11,37 19,51 15,97

Sumber : berita resmi statistik no 47/IX/1 september 2006

(32)

Pada dasarnya, ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia 11. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (Raskin), program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin, Asuransi Kesehatan Untuk Orang miskin (Askeskin), Bantuan langsung Tunai (BLT) dan sebagainya. Program bantuan semacam ini, akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada. Tetapi justru melahirkan persoalan baru, semisal konflik horizontal, Ketergantungan, korupsi, disintegrasi warga, hingga melahirkan mental „peminta-minta‟. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.

Kedua, gagalnya program penanggulangan kemiskinan dilatarbelakangi paradigma dan pemahaman yang kurang tepat tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Sehingga wajar, jika program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan dan pro rakyat miskin. Penyebabnya, sekali lagi, adalah data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini masih tumpang tindih dan bahkan tidak sesuai dengan kenyataan kemiskinan sebenarnya yang dirasakan oleh masyarakat.

Data BPS dan Susenas, yang selama ini menjadi acuan, memang hanya tepat ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik. Asumsi yang dibangun menekankan pada keseragaman dan fokus pada dampak. Kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar nan majemuk, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Akibat logisnya, angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan kepala daerah, karena adanya dua atau lebih angka kemiskinan yang sangat berbeda.

Secara konseptual, data makro BPS yang selama ini dihitung dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), sebenarnya dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antar-daerah. Namun, data makro

(33)

tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti model-model ekonometrik yang selama ini digunakan.

Negara, sebagai penanggung-jawab utama dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, ternyata memang belum menunjukkan kesungguhannya untuk melindungi, memajukan, menegakkan apalagi memenuhi hak rakyat atas pendidikan, pekerjaan, pangan, kesehatan, dan hak dasar hidup yang lain.

Kolom 4 : Fakta Kemiskinan Hari Ini

 Jumlah penduduk miskin dan mendekati miskin: 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 % (BPS, Maret 2006);

 Angka pengangguran: 10,24 % dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa ( 2006);

 Terbatasnya akses pelayanan hak-hak dasar warga ( kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman), dan infrastruktur, permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin;

 Permukiman kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang tersebar 110 kota di 42.000 desa (56.000 hektar kawasan kumuh) yang belum mendapat perhatian stakeholder secara holistik.

 Masih terdapat 66.000 desa yang masuk kategori desa miskin yang belum mendapatkan penanganan secara holistik.

 Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.

Kalangan ini hidup dengan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari 1.

 Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 turun 2,13 juta orang menjadi 37,17 juta. Angka tersebut merupakan 16,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia 1. Penduduk miskin antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan tidak hanya berubah. Pada bulan Maret 2007, sebagian besar (63,52) persen penduduk miskin berada di pedesaan.

(34)

3. KEMISKINAN MUSUH KITA BERSAMA !

elihat fakta kemiskinan di atas, kebijakan negara dalam upaya menanggulangi kemiskinan dalam kenyataannya masih belum signifikan dalam menurunkan jumlah masyarakat miskin. Hal ini sangat terkait dengan kebijakan negara yang menyandarkan standarisasi kemiskinan hanya berdasarkan kebutuhan konsumsi atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) bukan berdasar atas pemenuhan hak (right based approach). Cara pandang kemiskinan dengan pendekatan ekonomi ini, menjadi kurang relevan. Karena, banyak faktor lain yang justru menjadi akar persoalan kemiskinan, menjadi tidak terlihat.

Penanggulangan kemiskinan haruslah berperspektif hak. Artinya, negara harus berusaha secara maksimal memenuhi hak-hak dasar rakyatnya. Meliputi, hak atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan yang layak, serta hak-hak lain yang telah diatur dalam kovenan hak sipil dan ekosob yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Dalam rangka pemenuhan hak dasar tersebut, pemerintah tidak boleh melakukan pengingkaran dengan argumen karena keterbatasan yang dimiliki sehingga berusaha untuk tidak memenuhi secara optimal hak-hak dasar rakyatnya. Selama ini, pemerintah memang telah melakukan beberapa hal terkait penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Misal, anggaran untuk program pengentasan kemiskinan memang terus meningkat dari tahun ke tahun.

M

Kolom 5 : Alokasi APBN Untuk Pengentasan Kemiskinan

Tahun Alokasi APBN

2004 18 Triliun

2005 23 Triliun

2006 42 Triliun

2007 51 Triliun

2008 (rencana) 65 Triliun Sumber : data TPKRI tahun 1. 2006

(35)

Akan tetapi, karena standar dan indikator kemiskinan masih dilihat dari aspek ekonomi dan bukan berdasar pemenuhan hak dasar, peningkatan anggaran itu tidak mampu menyentuh akar kemiskinan, apalagi mengentaskannya. Selain itu, belum ada sistem yang menjamin berbagai program pengentasan kemiskinan yang ada benar-benar

Bagan 3 : Estimasi Target Pemerintah untuk Penurunan Jumlah Masyarakat Miskin dalam 4

Tahun (2006 – 2009)

17.7

10.24 14.4

9 10

7 8.2

5.1

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

(%)

2006 2007 Tahun2008 2009 Tingk.Kemiskinan Tingk. Pengangguran

Sumber : Katiman, Tim Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TPKRI)

Bagan 2 : Peta Anggaran Negara (APBN) Program Penanggulangan Kemiskinan Yang dikelola oleh

Kementrian, Departemen & Lembaga (Belum termasuk dana yang dikelola oleh pemda)

16.5 16

18

23 42

51

0 10 20 30 40 50 60

2002 2003 2004 2005 2006 2007*

(36)

sampai kepada individu maupun rumah tangga miskin yang membutuhkannya. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain :

 Belum koherennya Peningkatan pendanaan penanggulangan kemiskinan dari tahun ke tahun, dengan target pencapaian pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran secara kualitas dan kuantitas.

 Alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan di APBN dan di tingkat/aras APBD belum memadai, rata-rata sekitar 8 -12 % dari total APBN/APBD Provinsi 12

 Koordinasi kerja yang masih lemah terutama dalam hal : o pendataan

o pendanaan dan o kelembagaan

 Masih lemahnya koordinasi stakeholder/pemangku kepentingan pelaksana program penanggulangan kemiskinan yang mencakup :

o Koordinasi di antara instansi pemerintah pusat dan daerah, o integrasi program pada tahap perencanaan,

o sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan,

o sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan.

o belum optimalnya kelembagaan di pemerintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.

Kesalahan dan kegagalan negara dalam mendiagnosis kemiskinan, menorehkan beberapa rentetan kegagalan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Beberapa kegagalan tersebut antara lain :

1. Kegagalan Pemenuhan Hak-hak Dasar Rakyat 2. Lemahnya Penanganan Masalah Kependudukan

3. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lajunya pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadi beban rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup layak dan bermartabat.

4. Ketidak-setaraan dan ketidak-adilan Gender

(37)

5. Kebijakan-kebijakan yang belum mendorong pada keadilan dan kesetaraan gender.

6. Kesenjangan antar Daerah

o Ketimpangan antar daerah yang cukup tinggi karena masih terjadi perbedaan potensi daerah; potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan kapasitas fiskal daerah.

o Ketidak-tepatan orientasi kebijakan pembangunan di daerah tertentu.

7. Kebijakan Makro Ekonomi cenderung stabil/membaik, tapi ternyata belum berbanding lurus dengan penurunan angka Kemiskinan;

o Nilai tukar rupiah semakin menguat; Rp 10.241/US $. tahun 2001 = Rp 9.212, tahun 2006 = Rp 9.000 an

o Pertumbuhan Ekonomi yang terus membaik 0,8 % tahun 1999, 4,5 %, tahun 2003, 5,9 % tahun 2006 dengan laju inflasi dari 11,5 % tahun 2001 menjadi 8 % tahun 2006.

o Penerimaan dalam negeri (pajak) terus meningkat; 11,3 % PDB tahun 2001 menjadi 13,7 % PDB pada tahun 2006

Dengan fakta ini, harus mulai ditumbuhkan komitmen bahwa kemiskinan adalah musuh bersama yang harus kita perangi ! Kemiskinan, telah mencabut akar martabat kemanusiaan. Kemiskinan telah menghilangkan harga diri seseorang sebagai manusia di tengah lingkungan sosialnya. Bukan hanya kita, dunia pun telah mengibarkan bendera perang terhadap kemiskinan. Ada 19 negara, termasuk Indonesia di dalamnya, yang menyetujui dan kemudian menandatangani deklarasi Millenium pada bulan September tahun 2000 silam. Program Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) merupakan suatu komitmen dari berbagai bangsa di dunia untuk mengurangi angka kemiskinan dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. ada delapan (8) poin tujuan dari MDGs tersebut, antara lain :

1. Penghapusan kemiskinan dan kelaparan 2. Pendidikan untuk semua

3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4. Perlawanan terhadap penyakit menular (HIV, AIDS, TBC, dan lain-lain) 5. Penurunan angka kematian anak

6. Peningkatan kesehatan ibu

Gambar

Gambar  Keterangan  Hal
Gambar 1 : Diskusi dan konsolidasi rutin Tim Inisiator
Gambar 2 :Denyut kehidupan di pemukiman Liar, Tanggul, Tipes, Surakarta
Gambar 4 : Buruh di berbagai sektor bernasib sama : selalu ditekan !
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini relavan dengan penelitian yang dilakukan yang oleh Aisa Rahmi Syarif yang berjudul Pengaruh Hutang terhadap Profitabilitas perusahaan (Studi

Breksi autoklastik pada Pantai Lumpue berwarna abu-abu kehijauan, memperlihatkan struktur blocky yang terbentuk akibat adanya gumpalan-gumpalan gas pada saat

“mulut” terbuka diturunkan dengan mengulur tali hingga membentur tanah dasar laut. Saat tali ditarik kembali, secara otomatis mulut bottom grabber akan menggaruk material di

Analisis komponensial adalah penguraian unsur-unsur yang membentuk makna kosakata tertentu.. dalam analisis komponensional adalah penemuan kandungan makna kata atau

MA'HADUT THOLABAH Sejarah Kebudayaan Islam KAB.. LEBAKSIU Sejarah Kebudayaan

Simpulan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa kelas IV SDN Se-Gugus IV Kecamatan Limapuluh Kota Pekanbaru terbagi

Realia mampu memberikan pengalaman belajar langsung (Hands on Experience) bagi siswa. Dengan menggunakan benda nyata sebagai media, siswa dapat menggunakan berbagai

Kawasan Wisata di Pulau Panjang ini didesain menjadi satu kawasan wisata lengkap, untuk memenuhi seluruh kebutuhan wisata masyarakat, dengan Water Park sebagai