Dr. Qomarudin Sekda Pemkot Surakarta
A. PENDEKATAN BERBASIS HAK (RIGHT BASED APPROACH)
asalah kemiskinan, pada prinsipnya berhubungan erat dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup dasar yang merupakan hak setiap manusia. Masalah pemenuhan hak dasar manusia hingga saat ini merupakan permasalah bersama dari negara-negara yang sudah berkomitmen menghapus kemiskinan dengan telah mendeklarasikan diri melalui program Millenium Development Goals (MDGs). Dengan demikian, Indonesia yang menjadi salah satu pembuat kesepakatan tersebut, harus memiliki keberanian politik untuk mengubah paradigma pemerintah dalam melihat kemiskinan. Tidak lagi semata-mata kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan kebutuhan hidup layak secara ekonomi, melainkan menekankan pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang lebih luas. Pendekatan Berbasis Hak (Right Based Approach) berimplikasi pada perubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Pendekatan ini mengatur kewajiban negara (Pemerintah, DPR, TNI, Lembaga Tinggi Negara dan Penyelenggara negara lainnya) untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap dan progresif.
Menghormati bermakna negara akan meratifikasi konvensi tentang hak-hak dasar dan menyusun peraturan perundangan yang mendukung perlindungan dan pemenuhan hak dasar. Selain itu, Pemerintah juga akan melakukan berbagai upaya untuk meciptakan lingkungan yang kondusif bagi terlindunginya dan terpenuhinya hak dasar, dan tidak turut serta dalam pelanggaran hak-hak dasar tersebut. Melindungi bermakna negara akan melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak-hak dasar dari pelanggaran yang mungkin terjadi atau dilakukan oleh pihak ketiga. Memenuhi berarti negara akan menggunakan sumber daya dan sumber dana yang tersedia untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, termasuk menggerakkan secara aktif sumberdaya dari masyarakat, swasta dan berbagai pihak.
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang
M
lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas. Termasuk, melihat kemiskinan dari kacamata pemenuhan hak dasar setiap warga negara/manusia.
Inti dari Pendekatan Berbasis adalah mencoba memahami dan mendiskusikan situasi yang dialami oleh individu atau keluarga-keluarga miskin yang tidak sebatas sebagai dampak aktivitas pembangunan, tetapi lebih dilihat sebagai satu situasi berkait dengan masalah Hak Asasi Manusia, baik di wilayah isu ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Kemiskinan jangan lagi sekadar dimaknai sebagai akibat dari keterbatasan sumber daya alam atau takdir dari Tuhan. Buktinya, kurang melimpah apa kekayaan alam di negeri ini? Tapi toh hampir separuh penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Ketidakberdayaan orang miskin dalam mengakses atau menikmati hak-hak dasarnya juga tidak dapat secara otomatis pada
“kemalasan” keluarga miskin tersebut. Berapa banyak tetangga kita yang bekerja keras siang malam, menjadi buruh di sana-sini, tapi tetap saja miskin?
Jadi, Pendekatan Berbasis Hak mengakui bahwa setiap individu adalah pemilik Hak.
Hak itu melekat pada dirinya ketika ia terlahirkan sebagai manusia. Di dalam Hak tersebut sekaligus memang melekat kewajiban dan tanggung jawab. Namun, tugas utama Negara (Pemerintah) adalah untuk menghormati, mempromosikan, melindungi, dan memenuhinya.
Tuntutan itu sudah jelas diamanatkan oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bukan hanya itu, berbagai Konvensi maupun Kesepakatan Internasional berkait dengan Hak Asasi Manusia pun mengaturnya. Selain itu, Pendekatan Berbasis Hak menegaskan adanya perbedaan antara Hak dan Kebutuhan Dasar. Hak adalah sesuatu yang melekat pada seseorang karena ia terlahirkan sebagai manusia. Kepemilikan Hak itu akan membuka jalan pada seseorang untuk hidup lebih bermartabat sebagai manusia. Lebih dari itu, Hak itu ada dan akan tetap eksis meskipun Pemerintah masih merancang rencana kebijakan atau tidak berkemampuan untuk memenuhinya. Sementara itu, kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menopang kehidupannya, namun kurang memiliki legitimasi untuk dituntut pemenuhannya kepada Negara. Hak memiliki konteks yang berkait langsung dengan martabat manusia, sedangkan kebutuhan dasar menunjuk pada makna pencapaian kemapanan atau kesejahteraan 19.
Selama ini, Hak-Hak Dasar itu adalah hanyalah dianggap aspirasi. Sehingga ibarat angin lalu di telingan pemerintah. Namun, dengan segala perkembangan kontemporer, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dalam praksis ekonomi politik pembangunan yang ada sekarang, lebih mendukung pada upaya pemenuhan atau penikmatan hak-hak yang asasi itu secara bertahap. Dalam konteks penegakan HAM, gagasan tentang Pendekatan Berbasis Hak di atas, langsung atau tidak, juga mempengaruhi terjadinya pemahaman adanya kategorisasi
“negatif” dan “positif” dalam praktek HAM. Sehingga, lebih memiliki “taring” dihadapan pembuat kebijakan dan memaksa mereka untuk memenuhi atau setidaknya tidak melanggar Hak-Hak dasar warganya ini.
Terjadinya kemiskinan konsumsi (ekonomi) dan perampasan Hak mengindikasikan adanya hubungan kemiskinan dengan kondisi struktural yang membatasi kemerdekaan seseorang untuk menjalani hidup dan memegang teguh nilai-nilai kehidupan sosialnya.
Dengan begitu, memahami peristiwa kemiskinan seperti itu mendorong kita untuk merekronstruksi tatanan sosial agar lebih adil, khususnya melalui operasional kewajiban dan tanggung jawab Negara atau dalam konteks saat ini adalah pemerintah daerah. Argumen ini memberi wahana untuk menilai strategi dan kebijakan Pemerintah daerah apakah kesejahteraan memberi dampak bagi perbaikan kapabilitas manusia/warganya?
Selanjutnya, kemiskinan juga dapat dilihat melalui pendekatan kapabilitas sebagai sarana untuk menilai adanya diskriminasi seperti ras, agama, status sosial, warna kulit, perbedaan jenis kelamin atau mungkin sekedar kepemilikan KTP. Diskriminasi ini berbahaya yang dapat menghacurkan kapabilitas manusia warganegara, seperti misalnya dalam kasus adanya halangan, hambatan atau penolakan manusia warganegara miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik. Contoh di Surakarta, pada siang hari jumlah penduduk dan manusia yang beraktivitas di kota ini mencapat 1,5 juta jiwa lebih. Namun pada malam hari berkurang menjadi tinggal sekitar 550 ribu jiwa Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata banyak “penduduk non-KTP-Solo” yang bekerja pada siang harinya. Apabila pemerintah kota Solo memandang fenomena ini secara parsial, maka bisa jadi akan melahirkan kebijakan yang diskriminatif. Misalnya, tiba-tiba ada di antara penduduk non-KTP-Solo tersebut sakit atau kecelakaan, kemudian membutuhkan pelayanan kesehatan di puskesmas atau RS, apakah akses atas pengobatan itu akan dihalangi oleh karena ia tidak memiliki KTP Solo? Sehingga, tiba-tiba saja kartu Askeskin (yang mungkin juga tidak dibawa) itu menjadi tidak berlaku dan ia harus mengambilnya dulu di kotanya baru bisa dilayani? Bagaimana kalau sakitnya parah
dan butuh segera ditangani? Tentu saja, kita tidak ingin orang itu akan mati sia-sia hanya karena persoalan administratif yang terkadang diskriminatif itu. Inilah, pentingnya melihat kemiskinan secara holistik, bahwa kemiskinan menyangkut masalah kemanusiaan.
Pendekatan Berbasis Hak juga tidak dapat dilepaskan dari paradigma yang melihat bahwa “semua manusia adalah sama”. Amartya Sen20 dalam karyanya “Inequality Reexamined”, telah mencermati berbagai masalah rumit menyangkut perdebatan mengenai persamaan.
Sen berpendapat bahwa dalam membahas persamaan, selalu penting untuk memperhitungkan keberagaman manusia. Manusia berbeda antara satu sama lainnya dalam ciri-ciri eksternal sebagaimana lingkungan sosial dan lingkungan alam dimana mereka hidup.
Manusia juga berbeda menurut ciri-ciri personalnya sebagaimana terwujud dalam jenis kelamin, umur serta kemampuan fisik dan mentalnya. Penilaian atas klaim persamaan haruslah mempertimbangkan berbagai kondisi menyangkut eksistensi keberagaman manusia.
Retorika ampuh mengenai “persamaan manusia” seringkali cenderung mengelak dari perhatian atas perbedaan-perbedaan ini. Pertimbangan persamaan bagi semua boleh jadi akan menghasilkan perlakuan yang sangat tidak adil bagi mereka yang tidak beruntung. Menjamin persamaan substantif bisa jadi mendesak perlunya diberikan kebutuhan khusus jika terdapat ketidakadilan yang cukup kentara dan harus cepat diatasi. Sen mengusulkan „pendekatan kapabilitas‟ sebagai suatu „focal variable‟ penting untuk mengkaji tatanan sosial. Hidup bisa bervariasi mulai dari hal-hal mendasar seperti cukup sandang-pangan, menghindari bencana atau kematian prematur yang seharusnya bisa dicegah, hingga pada kondisi pemenuhan kebutuhan hidup pada tingkat lebih tinggi seperti bahagia, punya harga diri, atau berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Kapabilitas disini berarti kebebasan seseorang untuk mencapai kesejahteraan.
Kapabilitas sendiri bisa dipahami sebagai pencerminan dari kebebasan substantif.
Pendekatan kapabilitas memperhitungkan sejumlah cara dimana hidup bisa „diperkaya atau dimiskinkan‟. Pendekatan kapabilitas dapat menimbulkan implikasi kebijakan bagi mereka yang peduli dengan masalah persamaan. Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa isu sosial dan ekonomi didalam peristiwa kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari debat tentang peran negara. Banyak pihak mengajukan kritik dan terus mempersoalkan adanya dampak negatif dari perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan, begitu juga tentang peran dan kontribusi pemerintah hingga munculnya dampak negatif itu. Kendati begitu, pada waktu yang bersamaan, tuntutan yang ditujukan pada pemerintah untuk mengurangi peran dan
intervensinya dalam aktivitas ekonomi dan pembangunan, termasuk juga dalam hal perannya dalam memformulasi kebijakan publik, juga semakin berkembang. Di sini, ‟pasar‟ (market) dikedepankan untuk menggantikan peran aktif negara. Pertanyaan penting diajukan: lalu bagaimana dengan kewajiban dan tanggung jawab negara ---sesuai dengan perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan, untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar manusia warganegara, terutama dari kelompok miskin?
Beruntung, paradigma ini telah ditunjukkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan SNPK yang mentransformasikan masalah kemiskinan dalam kerangka nilai dan hukum Hak Asasi Manusia. Peran negara dalam hal masalah kemiskinan tidak dapat lagi dipahami sebagai tindakan kedermawanan atau sebagai kewajiban moral. Peran strategis Negara telah menjadi ‟kewajiban dan tanggung jawab hukum dari Negara ---atau dalam bahasa inggris disebut state obligation. Satu bentuk penegasan dari kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan tindakan kebijakan yang jelas dan terukur dalam penanggulangan kemiskinan.
Sekarang, masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro yang kita miliki. Selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan.
Dalam menyusun kebijakan, pendekatan berbasis hak dasar manusia menjadi titik tolak paling esensial untuk menghormati dan melindungi setiap warga negara, baik karena kelahiran ataupun proses naturalisasi, agar terpenuhi martabatnya sebagai bagian dari perikemanusiaan dan perikeadilan. Pendekatan yang berbasis hak dasar dalam mengatasi akar permasalahan kemiskinan saat ini, dinilai tepat untuk mengejar target dan tujuan dari
dilakukan secara partisipatif dan berkesinambungan. Dengan kata lain, perlu mendengarkan dan memahami keluhan dan suara dari kelompok miskin, baik laki-laki maupun perempuan.
Hak dasar yang harus diberikan negara adalah melindungi, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerderdaskan kehidupan warganegaranya.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin sosiologi, antropologi, kesehatan, dan lain sebagainya. Kata kunci dari penyelesaian semua problem dan hambatan di atas adalah : SINERGISITAS semua elemen, baik dari Pemerintah, lintas pelaku (stake holders), SKPD, LSM, Perguruan Tinggi, hingga komunitas-komunitas yang mengaku miskin itu sendiri.
Kolom 25 : Contoh Berbagai Usulan Nyata dari Masyarakat/Komunitas dalam Isu Pemenuhan HAK PENDIDIKAN Kepada Pemerintah Kota Surakarta
Usulan Program yang harus
didukung Pemerintah 1. Formulir untuk orang tua siswa sehingga bisa melihat
penghasilan dan pekerjaan. Hal ini untuk menentukan siapa penerima beasiswa khusus bagi orang miskin?
2. Peninjauan daftar ulang bagi siswa lama. Sebab ada kasus ketika naik kelas harus membayar Rp.200-Rp.300. apakah ada aturannya?
3. Peninjauan uang gedung dan SPP bagi siswa baru. Uang gedung SD (Rp. 250.000), Pengambilan raport, pungutan uang perpustakaan, dsb.
4. BOS untuk apa ??
5. Buku pelajaran hanya dipakai 1 tahun. Menurut
Permendiknas, buku pelajaran itu dipakai maksimal 5 tahun.
6. Beasiswa pendidikan bagi siswa miskin
7. Sosialisasi aturan program pendidikan dari kepala sekolah kepada wali murid
8. Kontrol orang tua siswa terhadap peraturan sekolah. Apa Tugas komite sekolah ?
9. Tinjau ulang mekanisme pemilihan komite sekolah
Memonitor peran
Sumber : Hasil Workshop 23 Juli 2007
Kolom 26 : Contoh Berbagai Usulan Nyata dari Masyarakat/Komunitas dalam