Vera Kartika Giyatri LSM Spek-HAM
A. KACAMATA BARU KEMISKINAN
1. Lebih Dekat Dengan Kemiskinan
etika berbicara tentang kemiskinan, mau tidak mau, kita harus mengelompokkan siapakah yang pantas disebut miskin dan siapa yang tidak? Merumuskan batas kemiskinan itu menjadi sangat penting, apalagi ketika kita akan memulai sebuah analisis. Bukan hanya tentang kondisi kemiskinan yang terjadi, namun juga menganalisis the Depth of Poverty (how poor are the poor?) 1 dan tak lupa melihat pula the Duration of Poverty (how long are the poor, Poor?) itu sendiri.
Menentukan garis kemiskinan secara sepihak, memang sebuah kesewenang-wenangan. Bahkan, meskipun disitu telah ada satu definisi kemiskinan yang disepakati bersama. Sebab, pada dasarnya setiap definisi tidak akan mampu mencakup keseluruhan problem kemiskinan. Seperti halnya teori, tak pernah ada satu teori yang mampu digunakan untuk menjawab semua persoalan manusia. Pun dalam penentuan garis kemiskinan. Pendapat orang awam dan para ahli nampaknya akan selalu berselisih pada soal Apa dan Seluas apa kemiskinan harus didefinisikan?
Apakah akan dimasukkan pada definisi absolut-nya (ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar) ataukah pada definisi relatif-nya (kesenjangan dengan lingkungan sekitar) ?
Mar‟ie Muhammad, Mantan Menkeu RI, mendefiniskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga, atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non pangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan, dan kebutuhan transportasi.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut 2
Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif terkait dengan isu seputar ketimpangan dalam pembagian pendapatan3. Mereka sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan rata-rata masyarakat sekitarnya. Sedangkan kemiskinan kultural, berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya. Sekalipun, ada usaha dari pihak lain untuk membantunya.
K
Lebih jauh, pemahaman selama ini menyebutkan ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi. Pertama, kemiskinan alamiah. Dan kedua, kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana alam.
Sedangkan kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, membuat sebagian anggota masyarakat yang lain tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin.
Kemiskinan juga diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat di bawah situasi sistem pemerintahan, yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Hal ini lebih dikenal sebagai kemiskinan struktural.
Umumnya, ketika orang awam, akademisi, maupun birokrat berbicara tentang kemiskinan, mereka senantiasa berkutat pada kemiskinan yang bersifat material.
Indikatornya, seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan hidup secara layak. Dalam bahasa lain, disebut pula sebagai kemiskinan konsumsi. Tentu saja, definisi kemiskinan semacam ini, belum menyeluruh dan menyentuh akar kemiskinan itu sendiri. Asumsinya :
Ada kemungkinan, definisi kemiskinan para ahli di atas, ternyata berbeda dengan definisi kemiskinan dari si miskin itu sendiri ?
Jika memang demikian, maka wajar jika para pembuat kebijakan selama ini, dengan serampangan mengambil kesimpulan, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan memberikan “bantuan-bantuan” fisik dan materi belaka
Akibatnya, selain kontraproduktif, kebijakan itu justru menimbulkan problem sosial baru yang lebih rumit.
Contoh kasus kesimpangsiuran dalam menentukan siapakah yang miskin?
dapat dilihat dalam kriteria kemiskinan yang digunakan pemerintah selama ini. Biro Pusat Statistik (BPS), misalnya, untuk mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran
untuk kebutuhan pokok. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI) atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan 4
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen (1) Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan (2) Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan garis kemiskinan dihitung terpisah, untuk daerah perkotaan dan pedesaan5 (pertanyaan lanjutannya, apa pula kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu daerah disebut desa dan kota?). Dari perhitungan di atas, melahirkan definisi penduduk miskin adalah : penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran (tingkat konsumsi) per kapita per bulan-nya di bawah Garis Kemiskinan.
Sementara itu, masyarakat sipil, memandang kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana individu atau masyarakat mengalami keterbatasan pilihan dan kemampuan (lack of choice and capability). Dalam pandangan tersebut, kemiskinan dimaknai sebagai suatu situasi hilangnya hak serta peluang individu atau sekelompok masyarakat terhadap penguasaan, pengelolaan, dan pengontrolan atas sumber daya yang diperlukan bagi terjaminnya kehidupan mereka. Dengan kata lain, mereka merupakan individu atau sekelompok masyarakat yang rentan karena faktor-faktor penentu hidupnya berada di luar kontrol dan kendalinya 6.
Pengertian terakhir di atas, menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara berbagai dimensi kemiskinan. Sebab, disamping dimensi ekonomi, ternyata kemiskinan juga mengandung dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan dalam menyampaikan aspirasi (voicelessness). Selain itu, pengertian tentang kemiskinan sendiri sangat dinamis, dan terus mengalami perubahan menurut ruang dan waktu yang dilintasinya. Kemiskinan sifatnya sangat kontekstual. Namun demikian, ada beberapa pokok dimensi yang harus tercakup ke dalam definisi kemiskinan, Dimensi tersebut antara lain 7:
a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) b. Ketidakmampuan mengakses kebutuhan dasar hidup lainnya (pendidikan,
kesehatan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)
c. Ketiadaan jaminan masa depan (tidak memiliki investasi apapun untuk keluarga)
d. Kerentanan terhadap goncangan, baik yang bersifat individual maupun massal
e. Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan SDA f. Termarginalkan dalam kegiatan sosial masyarakat
g. Ketidakmampuan mengakses pekerjaan dan mata pencaharian yang berkesinambungan
h. Ketidakmampuan berusaha karena difabel
i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, korban kekerasan dalam rumah tangga, janda miskin, dsb)
Selain berbagai dimensi kemiskinan di atas, satu lagi yang tidak boleh terlupakan dalam mendefinisikan kemiskinan, yaitu dimensi feminis dan ketimpangan gender. Di mana pun, kemiskinan selalu menampilkan wajah perempuan di depan. Banyak penelitian kontemporer mengungkapkan, dalam sebuah keluarga miskin, perempuan senantiasa berperan sebagai katup penyelamat bagi perekonomian keluarga. Setidaknya ada empat peran perempuan miskin di dalam keluarga8. Pertama, sebagai pengelola keuangan sumah tangga. Kedua, sebagai penanggungjawab seluruh pekerjaan domestik. Ketiga, sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Dan keempat, sebagai salah satu simpul jaringan sosial yang penting dalam hal transfer sosial, khususnya pada masa-masa kritis dan krisis. Sehingga, dalam melihat perempuan dan prostitusi, misalnya, kita dapat memposisikan mereka sebagai korban dari belenggu kemiskinan yang ada. Sehingga, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus sampai kepada mereka.
Dengan demikian, desentralisasi definisi, indikator, dan kebijakan penanggulangan kemiskinan dari pusat kepada daerah, harus terus digalakkan dengan memperhatikan berbagai dimensi kemiskinan di atas. Dengan kata lain, redefinisi kemiskinan harus sesuai dengan kondisi masing-masing kota dan desa, sehingga kebijakan penanggulangannya akan menjadi relevan dan benar-benar tepat sasaran.
2. Perbedaan Angka : Sumber Polemik
umber data utama yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), yang diperbaharui setiap tiga tahun sekali. Data kemiskinan hasil Susenas (39,05 juta Jiwa pada Maret 2006) hanya menunjukkan agregat dan persentase penduduk miskin. Tetapi data itu tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan dimana alamat mereka? Dengan demikian, data ini kurang operasional di lapangan.
Disamping SUSENAS, BPS melaksanakan pula Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE) untuk memperoleh data mikro yang memuat informasi nama kepala rumah tangga dan lokasi tempat tinggal secara lengkap dari penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sasarannya tidak hanya rumah tangga sangat miskin dan miskin, tetapi juga yang mendekati miskin. Jumlah rumah tangga penerima BLT versi BPS adalah 19,2 juta rumah tangga.
Berbeda dengan BPS, metode Susenas mengukur kemiskinan (rumah tangga penerima BLT) dengan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diukur dengan pendekatan kebutuhan dasar makanan (setara 2100 kalori/kapita/hari). Pendekatan Kualitatif diukur dengan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan. 14 variabel kualitatif itu adalah :
S
Kolom 1 : 14 Varibel Kualitatif Untuk Mengukur