Muhammad Amin Koordinator Konsosrsium Solo/Jari Jawa Tengah
Bagan 5 : 4 Tahapan Penyusunan SPKD
3. Pelaksanaan Penyusunan SPKD
Agar tidak mengulang kesalahan dan kelemahan pengukuran indikator kemiskinan selama ini, maka diperlukan pendekatan paradigmatik dan metodologis yang berbeda. Dulu, kemiskinan dan kebijakan untuk menanggulanginya, senantiasa menggunakan pendekatan/kriteria ekonomi (kemiskinan konsumsi). Sehingga, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diambil, senantiasa bersifat jangka pendek. Bukan hanya itu, kebijakan yang dikeluarkan itu justru menimbulkan problem sosial baru di tengah masyarakat. Tengoklah program BLT, Raskin, Bantuan modal/kredit, dan sebagainya, yang tidak menyentuh akar kemiskinan masyarakat itu sendiri. Seperti yang dibahas pada bab-bab awal buku ini, indikator kemiskinan yang tumpang tindih, penyamarataan kebutuhan masyarakat miskin, dan anggaran yang tidak pro-rakyat miskin, menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, Analisis Kemiskinan
Partisipatif (AKP) beserta tahapan-tahapan persiapan di atas, menjadi bagian penting untuk dilaksanakan.
a. Analisis Kemiskinan Partisipatif .
Tim fasilitator yang telah direkrut dan dilatih, dapat memilih beberapa metode Analisis Kemiskinan Partisipatif yang cocok bagi daerah atau wilayahnya masing-masing. Analisis kemiskinan partisipatif didefinisikan sebagai suatu proses partisipasi yang memberikan ruang kepada masyarakat miskin (laki-laki dan perempuan) serta lintas pelaku (stakeholders) di suatu daerah untuk memahami, memetakan, serta bekerjasama dalam membuat perencanaan untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan. Inti dari metode AKP adalah cara yang dapat dianggap dapat menjelaskan penyebab kemiskinan di masyarakat secara lengkap, dengan menghadirkan suara komunitas miskin itu sendiri. Beberapa metode atau pendekatan yang bisa dipilih diantaranya :
Metode PRA (Participatory Rural/Research Apprasial)
Dengan mengkombinasikan antara AKP dengan metode PRA ini kita dapat menggali, memetakan, dan menganalisis kemiskinan dengan menggunakan beberapa instrumen. Meliputi : kriteria kemiskinan, pemetaan kemiskinan, diagram masalah, kalender musim, diagram Venn, rangking masalah, kalender aktivitas dan sebagainya. Beberapa instrumen tersebut tidak harus digunakan semuanya, melainkan dipilih sesuai dengan konteks daerah masing-masing. Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan metode ini antara kain :
1. Memberikan ruang akses pada masyarakat miskin, untuk terlibat di dalam perencanaan dan penanggulangan kemiskinan
2. Memberikan peran dan kesempatan kepada stakeholders kota untuk ikut memerangi kemiskinan
3. Memahami persepsi dan kriteria kemiskinan secara lebih kritis berdasarkan persepsi masyarakat miskin itu sendiri
4. Menghasilkan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang partisipatif, dengan melibatkan seluruh stakeholders dan masyarakat miskin itu sendiri
5. Dapat memantau secara langsung peran dari berbagai kelembagaan yang ada di masyarakat, misal : ketersediaan pelayanan sosial, peran jaringan, ormas,
dan paguyuban komunitas miskin, tingkat partisipasi komunitas miskin, akses dan kontrol komunitas terhadap informasi, dan peran lembaga pemerintah atau NGO dalam mengurangi kemiskinan di wilayahnya.
Metode PPA (Participatory Poverty Assessment)
PPA (Participatory Poverty Assessment) didefinisikan sebagai sebuah instrumen untuk memasukkan pandangan si miskin (voice the poor) ke dalam analisis kemiskinan dan strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui kebijakan publik 18. Inti PPA adalah Partisipasi dan Jaminan masuknya aspirasi si miskin itu di dalam pengambilan kebijakan daearah, khususnya kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Kajian terhadap kemiskinan itu harus secara partisipatif, yakni memperluas keterlibatan stakeholder yang ada. Langkah ini setidaknya memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, dukungan dan legitimasi terhadap strategi Penanggulangan Kemiskinan daerah yang akan dibentuk ini menjadi lebih kuat. Kedua, definisi, indikator, kriteria, dan analisis kemiskinan daerah tersebut menjadi semakin tajam dan mengena. Sebab, perspektif si miskin itu menjadi bagian utamanya.
Berbeda dengan metode lainnya, PPA lebih menekankan pada nilai participatory. Artinya, PPA menempatkan orang-orang miskin sebagai subjek utama dalam proses pemahaman terhadap masalah kemiskinan dan memastikan suara masyarakat miskin masuk ke dalam perumusan (perencanaan) dan formulasi strategi-aksi (pelaksanaan dan pengawasan) yang termuat dalam suatu kebijakan publik. Maksud dari perubahan orientasi adalah PPA berpengaruh pada anggaran, kebijakan, dan proses kelembagaan negara. PPA Juga bukan sekadar analisis terhadap kemiskinan, tetapi PPA juga merekomendasikan kebijakan. Hasil PPA itu nanti dapat disinkronkan terhadap Anggaran dan Kebijakan publik.
Selama ini pemerintah memaknai anggaran negara sebagai anggaran pembiayaan untuk pemerintah semata, bukan anggaran untuk publik atau rakyat. Paradigma yang menyesatkan ini mendorong pemerintah mengalokasikan dana lebih banyak untuk pengeluaran rutin, bukan
pengeluaran pembangunan. Pendanaan yang pro-si miskin (pro poor budget adalah mengubah salah kaprah tersebut. APBD bukan penganggaran pemerintah semata, melainkan juga penganggaran untuk publik. Anggaran publik itu kemudian ditujukan untuk pemenuhan hak-hak dasar warga tadi.
Maka pro poor budget adalah wujud prioritas kewajiban negara untuk mengalokasikan anggaran bagi kebutuhan dasar si miskin. Catatan pentingnya, dalam mengalokasikan anggaran untuk masyarakat miskin tidak boleh menyederhanakan apalagi di-gebyah uyah (sama rata). Nelayan, pedagang, petani, kaum miskin kota, buruh, serta komunitas hutan dan perkebunan mempunyai definisi dan situasi kemiskinan yang berbeda-beda, sehingga perlu penanganan yang spesifik. Sama dalam Hak, namun berbeda dalam prioritas dan pilihan kebijakan.
Dengan demikian, jika PPA atau PRA di atas digunakan, Ruang bagi masyarakat miskin dan stakeholder lainnya untuk masuk dalam proses penyusunan anggaran dan perencanaan kebijakan akan semakin terbuka.
Syarat agar hasil PPA bisa berimplikasi pada keluarnya kebijakan yang positif adalah adanya komitmen pemerintah untuk memasukkan suara si miskin sebagai pertimbangan utama. Sudah saatnyalah suara mereka didengar, sebelum semuanya terlambat...!
b. Perumusan dan Klasifikasi Masalah
Setelah semua data tentang kemiskinan, baik kuantitatif maupun kualitatif, melalui proses Analisis Kemiskinan Partisipatif di atas, maka tahapan selanjutnya adalah mengklasifikasikan berbagai temuan data tersebut dengan membuat rumusan masalahnya terlebih dahulu. Misalnya, rumusan masalah dibuat berdasarkan item-item pertanyaan yang digunakan untuk menggali masalah kemiskinan pada saat APK dilakukan. Kemudian, setelah rumusan masalah diperoleh, maka data lapangan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu (sektoral, kewilayahan, tingkat urgensi penyelesaian, dsb) untuk kemudian disusun daftar prioritas (penanganan jangka pendek/mendesak, menengah, atau jangka panjang) dan bentuk penyelesaiannya (pemberdayaan, kebijakan, regulasi, dsb).
c. Kaji Ulang Kebijakan
Setelah perumusan dan klasifikasi masalah mengerucut, maka tahap selanjutnya adalah meninjau ulang kebijakan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan yang dikaji adalah kebijakan yang secara langsung ataupun tidak, berdampak terhadap kemiskinan masyarakat. Contohnya, kebijakan penataan PKL, City Walk, Pelarangan Becak, Penutupan lokalisasi, Perda Tata Ruang Kota dan sebagainya, yang bersentuhan langsung atau tidak dengan basis material masyarakat miskin. Khususnya menyangkut akses dan kontrol masyarakat miskin (laki-laki/perempuan) terhadap sumber daya itu.
Kebijakan yang dapat ditinjau ulang bisa dari program pemerintah daerah/pusat, Perda/UU/PP, dan APBN/APBD. Peninjauan kebijakan tersebut dapat difokuskan pada beberapa pertanyaan berikut :
1. Apakah Hak-Hak Dasar Warga telah terpenuhi dan dipayungi oleh kebijakan yang ada ?
2. Apakah kebijakan pemerintah pro rakyat miskin atau sebaliknya?
3. Apakah kebijakan itu tepat sasaran dan bermanfaat bagi rakyat miskin?
4. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah tersebut ?
5. Apakah kebijakan tersebut dapat mengurangi atau justru berpotensi menambah kemiskinan baru di daerah?
d. Strategi dan Rencana Aksi Daerah
Perumusan Strategi dan Rencana Aksi daerah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Strategi penanggulangan kemiskinan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman, dan panduan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan dan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Selama ini, indikator dan gambaran kemiskinan antar SKPD di lingkup pemerintah daerah sering berbeda satu sama lain. Untuk itu, rangkaian tahapan bersama yang telah dilalui di atas (dari konsolidasi awal hingga perumusan strategi) bertujuan agar ada kesamaan persepsi tentang kemiskinan, indikator, dan cara penanggulangannya. Jangan sampai, setiap SKPD berjalan sendiri-sendiri. Sebab, bukannya beban penduduk miskin itu berkurang, tetapi
justru semakin tidak tepat sasaran dan terkesan hanya “kejar tayang” program semata. Ada baiknya, dalam rumusan strategi penanggulangan kemiskinan daerah tersebut juga memuat sasaran target dan schedule waktu pelaksanaannya. Sehingga akan lebih memudahkan TKPKD dalam mengontrol pelaksanaannya di lapangan. Selain itu, dalam menyusun SPKD, Tim penyusun dapat mengaitkannya dengan dokumen perencanaan daerah lainnya, seperti RPJPN, RPJMN, RPJPD, RPJMD, dan termasuk SNPK itu sendiri.
e. Konsultasi (bukan sosialisasi !) Publik
Setelah Strategi dan Rencana Aksi Daerah itu tersusun, tahap selanjutnya adalah melakukan konsultasi publik. Tahap ini merupakan pengejawantahan dari prinsip transparansi yang menjadi aspek utama dalam Good Governance. Artinya, di dalam dialog publik nanti, diharapkan akan terjadi interaksi yang efektif antara pemerintah dan publik untuk saling mencari, menganalisis, dan mengkritisi kebijakan satu sama lain. Perlu diingat, konsultasi publik ini bukan sekedar arena sosialisasi program atau temuan pemerintah. Sebab, seringkali ketika berhadapan secara langsung dengan publik, pemerintah cenderung alergi apabila kebijakannya dikritik. Hal ini tidak perlu terjadi, apabila kedua belah pihak sudah sepaham, bahwa suatu kebijakan tidak akan berjalan dengan baik apabila pembuat kebijakan (pemerintah) dan sasaran kebijakan (masyarakat) itu masih saling curiga, skeptis, dan enggan berkomunikasi. Konsultasi publik yang digelar dalam rangkaian penyusunan SPKD ini terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Konsultasi dengan publik khusus masyarakat/komunitas miskin
2. Konsultasi dengan khalayak luas yang melibatkan lintas pelaku (stakeholders) Pada setiap bagian konsultasi publik yang akan digelar tersebut, tim penyusun dokumen SPKD hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan yang harus dipenuhi agar konsultasi publik ini bukan semacam seminar tanpa hasil belaka, melainkan dapat sesuai dengan target yang direncanakan.