14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan 1. Pengertian Perlindungan Hukum
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.
Perlindungan dalam bahasa belanda recht bescherming. Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis17. Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Para ahli banyak menafsirkan mengenai perlindungan hukum, diantaranya menurut Satjito Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan pengayoman kepada Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum18. Sementara menurut Hetty Hasanah, perlindungan hukum merupakan upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum
17 Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua. Cet. 1. Jakarta. Balai Pustaka. 1991. Hal 595
18 Setiono. 2004. Rule Of Law (supremasi hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.. Hal 3
15
kepada manusia yang dirugikan hak asasi manusia mereka19. Lain halnya menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum. Kemudian menurut CST Kansil, perlindungan hukum adalah segala upaya hukum harus diberikan oleh aparat penegak hukum demi memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun20. Menurut Andi Hamzah, perlindungan hukum diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang bertujuan untuk mengamankan, menguasai, dan memenuhi kesejahteraan hidup sesuai dengan hak asasi manusia yang ada. Makna ini tidak terlepas dari fungsi hukum itu sendiri, yaitu untuk melindungi kepentingan manusia. Dengan kata lain, hukum itu memberikan perlindungan kepada manusia dalam memenuhi berbagai macam kepentingannya, dengan syarat manusia juga harus melindungi kepentingan manusia yang lain21.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya akibat dirugikannya hak asasi manusia sebelum suatu keputusan pemerintahan. Maupun perlindungan hukum yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Simanjuntak mendefinisikan perlindungan hukum sebagai segala upaya pemerintah untuk menjamin tersedianya kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara
19 Hetty Hasanah, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia, http://jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html, diakses pada 30 Mei 2021
20 C.S.T Kansil. 2018. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Hal 40
21 Yusnawan Lubis dan Mohamad Sodeli. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. Hal 35
16
tidak dilanggar, dan yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya perlindungan dari pemerintah kepada warganya b. Jaminan kepastian hukum
c. Berkaitan dengan hak-hak warga negara
d. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya22
Terdapat beberapa macam perlindungan hukum, contohnya sebagai berikut :
a. Perlindungan hukum terhadap konsumen (diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konusumen)
b. Perlindungan hukum terhadap Hak Cipta (diatur dalam UU No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta)
c. Perlindungan hukum terhadap Paten (diatur dalam UU No 14 Tahun 2001 Tentang Paten)
d. Perlindungan hukum terhadap Merek (diatur dalam UU No 13 Tahun 2016 Tentang Merek)
e. Perlindungan hukum terhadap Varietas Tanaman (diatur dalam UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman)
f. Perlindungan hukum terhadap Anak (diatur dalam UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak)23
Perlindungan hukum diberikan juga kepada tersangka sebagai pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum. perlindungan hukum terhadap tersangka
22 Ibid
23 Ibid. Hal 36
17
diberikan berkaitan dengan hak-hak tersangka yang harus dipenuhi agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
penegakan hukum menjadi syarat akan terwujudnya perlindungan hukum. Kepentingan setiap orang akan terlindungi jika hukum yang mengatur dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum. Sebagai contoh yaitu perlindungan hukum kepada konsumen akan terwujud apabila Undang-Undang Perlindungan Konsumen diterapkan dengan baik, sama halnya dengan hak cipta. Demikian pula kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat akan tertib, aman dan tentram jika norma-norma yang berlaku di lingkungan itu dilaksanakan24.
Penegakan hukum dan perlindungan hukum sangat penting karena dapat mewujudkan hal-hal sebagai berikut25:
a. Tegaknya Supremasi Hukum
Supremasi hukum mmepunyai arti bahwa hukum mempunyai kekuasaan bersifat mutlak, dalam mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan. Dengan kata lain, segala tindakan warga negara dan pemerintah selalu berldasarkan pada hukum yang berlaku. Penegakan supremasi hukum tidak akan terwujud jika aturan yang berlaku tidak ditegakkan dengan baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum
b. Tegaknya Keadilan
Hukum mempunyai tujuan utama yaitu menciptakan keadilan bagi setiap warga negara. Setiap warga negara dapat menikmati haknya masing-masing dan dapat melaksanakan kewajibannya. Hal tersebut merupakan wujud dari tegaknya keadilan. Hal tersebut dapat terwujud jika aturan ditegakkan.
24 Ibid. Hal 37
25 Ibid. Hal 37-38
18
c. Mewujudkan Perdamaian Dalam Kehidupan Masyarakat
Kehidupan yang diwarnai suasana yang damai merupakan harapan setiap orang. Perdamaian akan terwujud apabila setiap orang merasa dilindungi dalam segala bidang kehidupan. Hal itu akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku dilaksanakan.
2. Bentuk Perlindungan HukumTerhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU PKDRT dilahirkan untuk menyelamatkan korban para pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pada perlindungan Hak Asasi manusia (HAM) dalam UU PKDRT berisi pembaharuan yang lebih mengutamakan pencegahan (preventive) kekerasan dalam rumah tangga, daripada tindakan yang bersifat penghukuman (represive) dan memperluas konsep kekerasan pada rumah tangga, yang tak hanya mencakup kekerasan bersifat fisik, seksual, maupun psikis. Namun juga memasukkan perbuatan 'menelantarkan rumah tangga' menjadi suatu tindak kekerasan yg bisa dipidana. Berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari dampak kekerasan yang beragam terhadap korban, sehingga sudah semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda.
a) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam hukum pidana Indonesia, masih tetap memberikan ancaman bagi setiap pelaku kekerasan pada rumah tangga juga kejahatan lainnya. Beberapa ancaman pidana bagi pelaku kekerasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yg
19
sebelum berlakunya UU KDRT menjadi acuan aparat penegak hukum sebagai instrumen aturan untuk melindungi kaum perempuan dari kejahatan kekerasan.
b) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasa Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Beberapa pasal yang terkait dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasa Dalam Rumah Tangga sudah memungkinkan sebagai sarana atau upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagi acuan tindakan bagi aparat penegak hukum bagi pelaku KDRT. Dalam No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasa Dalam Rumah Tangga terdapat beberapa jenis perbuatan kekerasan yang merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 UU PKDRT yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dala m lingkup rumah tangganya, dengan cara : (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga”.
Ketentuan dalam pasal tersebut sudah sangat jelas arah yang ingin dicapai oleh UUPKDRT. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT.
c) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Petugas Pelayanan Perempuan dan Anak Polri Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah membentuk Unit Pelayanan perempuan serta Anak (PPA) di Kepolisian daerah (Propinsi), Kepolisian daerah serta Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) yang dikelola sang Polisi wanita. Hal tersebut di harapkan agar menyampaikan layanan kepada perempuan serta anak korban kejahatan. Diperlukan Unit Pelayanan
20
perempuan dan Anak ini memudahkan para korban kejahatan kesusilaan khususnya perempuan dan anak akan mendapatkan proteksi yang maksimal.
d) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Salah satu tugas dari Lembaga Bantuan Hukum adalah memberikan pendampingan kepada korban dari pelaku kejahatan. Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, pihak dari lembaga bantuan hukum yaitu para advokat ataupun paralegal akan memberikan bantuan hukum kepada korban, memberikan sosialisasi serta advokasi, dan jika korban akan memberikan kuasanya kepada lembaga bantuan hukum maka advokat LBH akan mendampingi korban dalam proses perkaranya.
3. Pengertian Perempuan
Perempuan merupakan makhluk lemah lembut dan penuh kasih sayang karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati. Adapun pengertian Perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar26. Namun dalam bukunya Zaitunah Subhan, perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks27. Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang
26 Siti Parhani, Antara Wanita dan Perempuan, Apa Bedanya?, https://magdalene.co/story/antara-wanita-dan- perempuan-apa-bedanya , diakses 30 Mei 2021
27 Zaitunah Subhan. 2004. Qodrat Perempuan Taqdir atau Mitos. Yogyakarta. Pustaka Pesantren. Hal 10
21
dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini28. Sementara itu feminisme perempuan mengatakan, bahwa perempuan merupakan istilah untuk konstruksi sosial yang identitasnya ditetapkan dan dikonstruksi melalui penggambaran29. Dari sini dapat dipahami bahwa kata perempuan pada dasarnya merupakan istilah untuk menyatakan kelompok atau jenis dan membedakan dengan jenis lainnya.
Menurut Murad, wanita adalah seorang manusia yang memiliki dorongan keibuan yang merupakan dorongan intinkif yang berhubungan erat dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis. Ia sangat melindungi dan menyayangi anak-anaknya terutama yang masih kecil. Sedangkan menurut Ibraham, wanita adalah seorang manusia yang memiliki tendensi feminim yang mengandung daya tarik kecantikan. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita adalah seorang gadis mengandung daya tarik kecantikan dan memiliki sifat keibuan yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat memiliki kematangan secara emosi dan afeksi serta memiliki sifat-sifat khas kewanitaan.
4. Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan realitas global yang tidak dapat dipungkiri telah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, khususnya yang banyak dialami dan dirasakan oleh kaum perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Kekerasan fisik adalah semua kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik bagi yang dikenai, dan ini mengambil kegiatan seperti menampar, mengikat, memukul, membenturkan, dan lain-lain. Sementara itu kekerasan non-fisik memiliki kecenderungan memperkuat dan mengawali terjadinya kekerasan fisik. Kekerasan non-fisik biasanya berupa memaki,
28 Suharso dan Ana Retnonin. 2017. Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Lux. Jakarta. Widya Karya Semarang.
Hal 448
29 Maggie Humm. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta. Fajar Pustaka. Hal 501
22
merayu dengan kata-kata jorok, menyiul, menatap, dan melontarkan lelucon berbau seks yang memiliki konotasi merendahkan perempuan. Selain itu, terdapat pula kekerasan seksual yang merupakan kekerasan atau serangan yang secara khusus ditujukan pada organ/alat reproduksi korban yang biasanya adalah perempuan.
Kekerasan seksual bertujuan untuk merusak, menghancurkan, dan menghina korban.
Berikut adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan :
a. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Ruang Lingkup Keluarga Bentuk kekerasan ini kerap terjadi terhadap anak perempuan atau istri.
Kekerasan dalam rumah tangga atau domestic violence merupakan bentuk penganiayaan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya secara fisik. Akibat dari kekerasan tersebut biasanya mengalami patah tulang, memar, kulit tersayat, dan depresi. Terjadinya kekerasan dalam keluarga ini bermula dari adanya kekuasaan yang timpang antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Situasi ini tidak jarang mengakibatkan tindakan kekerasan oleh suami terhadap istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga. Selain itu, kekerasan dalam ruang lingkup keluarga yang diawali dengan kekerasan fisik, akan berlanjut ke ranah kekerasan seksual dalam rumah tangga. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang menyangkut pelecehan seksual tanpa persetujuan korban atau sebetulnya korban tidak menghendakinya. Hal ini termasuk dalam pemaksaan hubungan seksual yang tidak disukai korban.
b. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Ruang Lingkup Pacaran
Dalam bentuk kekerasan ini, terdapat beberapa jenis, yaitu yang Pertama adalah kekerasan fisik (Physical Abuse) seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak, meludah, menusuk, mendorong, dan memukul dengan
23
senjata terhadap pihak perempuan. Kedua, kekerasan seksual (Sexual Abuse) seperti melakukan hubungan seks dengan paksa, rabaan yang tidak berkenan, pelecehan atau penghinaan seksual, memaksa melakukan tindakan-tindakan seksual yang menjijikan terhadap pihak perempuan. Ketiga, kekerasan emosional (emotional abuse) seperti rasa cemburu atau rasa memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang pribadi, mengancam untuk bunuh diri, melakukan pengawasan dan manipulasi, mengisolasi dari kawan-kawan dan keluarganya, dicaci maki, mengancam kehidupan pasangan atau melukai orang yang dianggap dekat terhadap pihak perempuan.
c. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Ruang Publik
Kekerasan di ruang publik lebih terbuka dan terekspos. Kekerasan terhadap perempuan di sektor publik lebih dominan pada jenis kekerasan non-seksual dibanding kekerasan seksual. Jenis kekerasan ini para pelaku dan korban (pihak perempuan) tidak memiliki hubungan pertalian darah atau tali kekerabatan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban di ruang publik terbagi atas dua jenis, yaitu kekerasan seksual dan kekerasan non-seksual.
Kekerasan seksual berupa diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian tubuh peaku, dipertontonkan foto/benda porno, dan diperkosa. Kekerasan non- seksual berupa diremehkan, dicemooh, disindir, difitnah/dicemarkan nama baik, diperdagangkan untuk pekerjaan seks, ditodong, dan dirampok.
24
5. Bentuk Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, menyatakan bahwa bentuk-bentuk KDRT adalah sebagai berikut :
a. Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang menimbulkan jatuh sakit, rasa sakit, atau luka berat.
b. Kekerasan psikis, adalah tindakan yang mengakibatkan rasa tidak berdaya, ketakutan, hilangnya kemampuan bertindak, hilangnya rasa percaya diri, dan penderitaan psikis berat.
c. Kekerasan seksual, adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan kepada orang-orang dalam lingkup rumah tangga.
d. Penelantaran rumah tangga, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan membatasi atau melarang pekerjaan yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kuasa orang tersebut.
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
B. Tinjauan Umum Asas Kemanfaatan Hukum
Menurut Jeremy Bentham, hukum mempunyai tujuan untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada masyarakat berdasarkan oleh falsafah sosial. Bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan, dan
25
hukum merupakan salah satu alatnya30. Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto, tujuan hukum adalah kedamaian hidup manusia yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi31. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan32. Perlu digaris bawahi, hukum di sini bukan tujuan untuk manusia namun hukum adalah bagian dari salah satu alat untuk menggapai tujuan di dalam kehidupan sosial masyarakat dan negara. Kemanfaatan Hukum merupakan salah satu tujuan dari hukum. Dimana dengan adanya hukum,di tujukan untuk memberi manfaat pada masyarakat agar masyarakat bahagia dan sejahtera. Bekerjanya hukum di masyarakat efektif atau tidak dapat dinilai dari nilai kemanfaatan. Hukum berfungsi sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat atau realita sosial, Hukum dapat berperan dalam memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat.
Penganut aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak- banyaknya/warga masyarakat33. Jika kita lihat definisi manfaat dalam kamus besar bahasa Indonesia manfaat secara terminologi bisa diartikan guna atau faedah.
Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan34. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyarakat. Penegak
30 Hyronimus Rhiti. 2011. Filsafat Hukum: Dari Klasik sampai Postmoderenisme. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hal. 159
31 Dalam Ishaq. 2018. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 8
32 Ibid
33 Ali, Ahmadi. 2015. Menguak Takbir Hukum ed.2. Kencana. Hal 98-99
34 Zaenuddin Ali. 2017. Hukum Islam. Bandung. Sinar Grafika. Hal 46
26
Hukum banyak yang cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat. Keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain- lain, seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional. Hukum tidak hanya dijadikan alat rekayasa perubahan sosial, tapi lebih dari itu, hukum harus mampu memberikan kemanfaatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat.
Kemanfaatan merupakan hal yang paling utama didalam sebuah tujuan hukum, mengenai pembahasan tujuan hukum terlebih dahulu diketahui apakah yang diartikan dengan tujuannya sendiri dan yang mempunyai tujuan hanyalah manusia akan tetapi hukum bukanlah tujuan manusia, hukum hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tujuan hukum bisa terlihat dalam fungsinya sebagai fungsi perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai35. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.
C. Tinjauan Umum Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan menjelaskan dasar pembenaran ilmiah penjatuhan sanksi pidana termasuk adanya pandangan yang menentang pemidanaan baik bersandar pada keberatan religius, keberatan biologis, dan sosial. Teori-teori Pemidanaan dapat diidentifikasi dalam tiga teori utama. 36
35 Said Sampara dkk. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta. Total Media. Hal 40
36 I Dewa Gede Atmadja dkk. 2018. Teori-Teori Hukum. Malang. Setara Press. Hal 175
27
1. Teori Absolut/Teori Pembalasan (Vergelding Theorie)
Pada teori ini, memaparkan akan sanksi pidana dijatuhkan. Hal tersebut semata- mata dikarenakan pelaku telah melakukan tindak pidana. Pada hakikatnya dari pemidanaan hanyalah pembalasan. Hal tersebut didukung oleh istilah hutang nyawa dibayar nyawa. Menurut Vos, dikutip dari Andi Hamzah, teori pembalasan absolut dibagi atas pembalasan obyektif dan pembalasan subyektif. Pembalasan obyektif ditekankan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku kejahatan di dunia luar.
Sedangkan Pembalasan subyektif ditekankan pada penjatuhan sanksi tindak pidana pada "kesalahan" si pelaku. Seorang kriminologis bernama Nigel Walker menyebut Teori Absolut dengan Teori Retributif. Teori retributif dibagi atas retributif murni dan retributif tidak murni. Teori retributif murni melihat bahwa sanksi pidana setara dengan kesalahan. Teori Retributif tidak murni dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Teori retributif distribusi (retributive distribution), hukuman masih dirancang sebagai pembalasan, harus ada batasan yang sesuai dalam retribusi dan beratnya sanksi.
b. Teori retributif terbatas (limited retributive), yang berpendapat bahwa sanksi pidana tidak harus karena kesalahan. Akan tetapi menciptakan situasi yang tidak menyenangkan. Situasi tersebut diciptakan oleh sanksi tindak pidana yang mana tidak melebihi batas yang menentukan kesalahan pelanggaran.
2. Teori Relatif (Doel Theorien)
Pada hakikatnya menjelaskan dasar pidana itu adalah alat untuk menegakkan tata tertib hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi instrumen untuk mencapai perdaimaian dan perbaikan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yaitu untuk mencegah orang
28
agar tidak melakukan kejahatan, bukan ditujukan pada fokus yang mutlak pada keadilan. Tujuan Teori Relatif meliputi pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku dan pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Teori Relatif bertumpu pada tiga tujuan utama, yaitu pencegahan, menakut-nakuti, reformasi. Tujuan pencegahan bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku di luar masyarakat. Tujuan menakuti-nakuti penekanannya pada psikologis yaitu untuk menciptakan ketakutan bagi individu pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya, serta bagi masyarakat dalam jangka panjang. Tujuan reformasi atau pembaruan untuk mengubah sifat jahat pelaku dengan melakukan pembinaan dan pengawasan oleh lembaga yang berwenang, agar nantinya pelaku kembali hidup di tengah-tengah masyarakat dapat berperilaku lebih baik. Ditegaskan kemabli oleh Zevenbergen bagaimana dikutip oleh Wirjono Projodikoro, bahwa penjatuhan sanksi pidana dalam arti tujuan mengoreksi pelaku, meliput tiga sasaran yaitu:
1. Perbaikan yuridis agar pelaku mentaati undang-undang.
2. Memperbaiki cara berpikir agar pelaku sadar akan buruknya kejahatan.
3. Perbaikan moral agar si pelaku dari sisi nilai kesusilaan memiliki menjadi orang yang bermoral yang baik.
Terdapat 3 (tiga) kelemahan yang menonjol pada teori relatif, yaitu:
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan karena tidak membedakan antara kejahatan ringan atau berat, keduanya sama.
2. Masyarakat diabaikan karena hanya menekankan tujuan hanya memperbaiki pelaku atau terpidana
3. Sulit diterapkan dalam praktik, karena tujuan mencegah dan menakut-nakuti tampaknya tidak berlaku bagi residivis (orang yang berulang kali melakukan kejahatan serupa) .
29
3. Teori Gabungan/Modern (Vereniging Theorien)
Pada pokoknya menjelaskan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan ganda, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teori relatif dan teori absolut sebagai satu kesatuan yang relevan. Mereka bersifat ganda yaitu mengandung sifat pembalasan dari kritik moral dalam mengantisipasi kejahatan sebagai tindakan yang salah. Sisi gagasan bertujuan kritik moral adalah untuk perubahan ke arah perbaikan perilaku si pelaku nantinya di masyarakat. Menurut Van Hamel dan Van List sebagai pionir teori gabungan/modern memiliki tiga prinsip utama, yaitu:
1. Tujuan terpenting dari pemidanaan adalah untuk memberantas kejahatan sebagai gejala masyarakat
2. Hukum Pidana dan perundang-undangan pidana diharuskan memperhatikan hasil kajian antropologis dan sosiologis
3. Pemidanaan merupakan cara yang paling efektif bagi negara atau pemerintah untuk memberantas kejahatan, karena itu penjatuhan sanksi pidana harus dipadukan dengan upaya sosial lainnya. Singkatnya, dapat dilihat dari tujuan pemidanaan. Teori gabungan menjelaskan bahwa pemidanaan mengandung unsur pembalasan di satu pihak, dan di pihak lain juga mengakui bahwa unsur utama pencegahan adalah membenahi pelaku atau terpidana yang melekat pada dirinya di setiap sanksi pidana.
30
D. Aspek Pemidanaan Dalam Perspektif Teori Kemanfaatan
Pemidanaan atau hukuman menurut Andi Hamzah adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Menurut Prof. Sudarto perkataan pemidanaan adalah sinonim dari istilah penghukuman. Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai, “menetapkan hukuman” atau “memutuskan tentang hukumannya.
Dengan demikian, pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan juga diartikan sebagai akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan37.
Dalam aspek pemidanaan dalam teori kemanfaatan perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Pasal 44 UU PKDRT tentang Ketentuan Pidana yang mengatur masing-masing pemidanaan dari tiap jenis kekerasan dalam rumah tangga dirasa sudah cukup membuat pelaku jera. Pemidanaan tersebut akan memberikan kemanfaatan hukum pada masyarakat, karena sanksi dalam ketentuan pidana UU PKDRT itu tidaklah ringan.
Baik pidana penjara maupun pidana denda, dan dalam proses penjatuhan pidana pada pelaku harus memperhatikan aspek keadilan dan kepastian hukum. Dengan adanya pemidanaan yang tidaklah ringan, masyarakat akan mengambil pesan moral atas adanya pemidanaan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
37 Erns Utrecht dan Moh Saleh Djindang. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta. Balai Buku Ichtiar. Hal 7
31
E. Tinjauan Pertimbangan Hukum Hakim Di Dalam Putusan
1. Pertimbangan Hukum Hakim Di Dalam Putusan Terhadap Tindak Pidana Yang Didakwakan Penuntut Umum
Pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim38. Pada Hakikatnya, pertimbangan yuridis ialah pembuktian dari unsur-unsur (bestandellen) suatu tindak pidana. Apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini akan berpengaruh besar terhadap amar atau diktum pada putusan.
Dalam praktik peradilan putusan hakim sebelum "pertimbangan-pertimbangan yuridis" ini dipertimbangkan dan dibuktikan, hakim akan terlebih dahulu menarik
"fakta-fakta dalam persidangan" yang merupakan konklusi kumulatif dari keterangan terdakwa, barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan, dan keterangan para saksi. Pada dasarnya "fakta-fakta dalam persidangan" berorientasi pada locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa melakukan tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.
Selanjutnya, setelah "fakta-fakta dalam persidangan" tersebut diungkapkan putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestandellen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur (bestandellen) tersebut, maka menurut praktik
38 Lilik Mulyadi. 2014. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal 219
32
lazimnya dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan, dan unsur kesalahan terdakwa yang biasa dengan redaksional kalimat.
2. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tuntutan Pidana dan Nota Pembelaan (Pleidooi)
Selain telah diuraikan mengenai unsur-unsur (bestandellen) dari tindak pidana yang didakwakan tersebut, maka terhadap "tuntutan pidana" dari jaksa penuntut umum dan "pleidooi" dari terdakwa dan atau penasihat hukumnya dalam praktik peradilan sedikitnya ada tiga bentuk tanggapan dan pertimbangan dari majelis hakim terhadap hal ini39, yaitu sebagai berikut:
2.1 Tanggapan dan Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tuntutan Pidana Oleh Penuntut Umum
Majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan cara detail, terperinci. dan substansial terhadap "tuntutan pidana dari jaksa/penuntut umum dan "pleidooi" dari terdakwa atau nasihat hukum. Apabila ditinjau dari segi letaknya tanggapan pertimbangan tersebut dalam putusan, ada yang langsung menanggapi ketika mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana pula yang dalam pertimbangan khusus setelah selesainya pertimbangan unsur-unsur dari suatu tindak pidana sesuai dengan surat dakwaan.
2.2 Tanggapan dan Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Nota Pembelaan (Pleidooi) oleh Penasehat Hukum
Majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara selintas saja terhadap "tindak pidana" yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum dan
39 Ibid, Hal 222
33
"pleidooi" dari terdakwa dan atau penasihat hukumnya. Lazimnya dalam praktik sering kali dijumpai pertimbangan selintas tersebut dapat berupa, misalnya:
"Menimbang, bahwa terhadap pembelaan/pleidooi dari terdakwa penasihat hukum karena tidak berdasarkan hukum dan fakta irrelevant untuk dipertimbangkan."
Majelis Hakim sering tidak mencantumkan uraian mengenai diksi “tidak berdasarkan hukum dan fakta”. Hal tersebut menjadi tanda tanya mengapa hakim memberikan pertimbangan tanpa adanya penjelasan.
2.3 Hakim Tidak Menanggapi dan Mempertimbangkan Tuntutan Pidana dan Nota Pembelaan (Pleidooi)
Ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi dan mempertimbangkan terhadap "tuntutan pidana yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum dan "pleidooi" dari terdakwa/penasihat hukum. Tahu tahu dalam pertimbangannya langsung menyatakan perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan surat dakwaan dari jaksa/ penuntut umum.
3. Teori Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Dalam menjatuhkan putusan, Hakim harus mendasarkan pada yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari straf minimum dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari straf maksimum hukuman yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam membuat putusan, ada beberapa teori yang dapat digunakan oleh hakim.
34
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam, yaitu :
a) Teori Keseimbangan
Teori keseimbangan yaitu keseimbangan antara kondisi yang ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan para pihak yang terlibat atau terkait dengan kasus atau perkara tersebut.
b) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan kebijaksanaan dan wewenang hakim. Sebagai diskresi, dalam menjatuhkan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana maupun dalam perkara perdata. Hakim akan melihat kondisi pihak yang berperkara yakni penggugat dan tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Dalam menjatuhkan putusan hakim menggunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instuisi atau insting daripada pengetahuan dari Hakim.
c) Teori Pendekatan Keilmuan
Teori pendekatan keilmuan adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematis dan sepenuh hati. Terutama dalam putusan- putusan awal guna menjamin konsistensi dari putusan hakim.
35 d) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan sesuatu yang dapat membantunya dalam menghadapi kasus-kasus yang di hadapinya sehari-hari.
e) Teori Ratio Decidendi
Teori ini berpijak pada landasan filosofis dasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan.
Kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok persoalan perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan putusan. Serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
f) Teori Kebijaksanaan
Pada hakikatnya, teori ini menekankan bahwa masyarakat, keluarga, orang tua, dan pemerintah ikut bertanggung jawab untuk membina, melindungi, mendidik, dan membimbing terdakwa terdakwa. sehingga suatu saat nanti mereka menjadi manusia yang berguna bagi bangsa, negara, keluarga, dan masyarakat.
F. Tinjauan Umum Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim
Putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara. Putusan hakim akan memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang berperkara. Apabila ada
36
pihak yang tidak mencapai kepuasan terhadap putusan tersebut, maka bisa mempersiapkan langkah berikutnya dengan cara upaya hukum biasa (verzet, banding, banding) dan upaya hukum luar biasa (kasasi demi kepentingan hukum atau peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah inkracht)40.
Dalam Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”41. Menurut Leden Marpaung, putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan42. Menurut Lilik Mulyadi, Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkara43.
2. Isi Putusan Hakim
Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa isi putusan sebagai berikut :
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
40 Ibid, Hal 129
41 Permata Press. 2019. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Penjelasannya. Surabaya. Tim Penerbit Permata Press. Hal 6
42 Ibid, Hal 130
43 Ibid, Hal 131
37
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
38
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera44;
Kemudian disusul dalam ayat (2) dalam Pasal 197 KUHAP yang berbunyi, “(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Begitu putusan dikeluarkan, maka putusan harus segera dilaksanakan sesuai dengan ayat (3) dalam Pasal 197 KUHAP.
3. Jenis Putusan Hakim 3.1 Putusan Akhir
Pada hakikatnya putusan ini dikeluarkan oleh majelis hakim seusainya agenda persidangan. Setelah pemeriksaan terdakwa yang hadir di persidangan dengan
“pokok perkara selesai diperiksa” (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP). Adapun mengapa sampai Pasal disebut dengan "pokok perkara selesai diperiksa” dikarenakan majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui acara sidang dinyatakan "dibuka" dan "terbuka" untuk umum45.
3.2 Putusan Yang Bukan Putusan Akhir
Pada praktik peradilan, bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa "penetapan" atau "putusan sela". Atau sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda "tussen-vonnis”. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Yakni, dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dana tau penasihat hukumnya
44 Ibid, Hal 85
45 Lilik Mulyadi, Op.Cit, Hal 136
39
mengajukan “keberatan/eksepsi” tehadap surat dakwaan46. Pada hakikatnya, putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa, antara lain :
a. Penetapan
Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara” (verklaring van onbevoegheid) karena merupakan kewenangan relative pengadilan sebagaimana ketentuan limitative Pasal 148 (1), Pasal 156 ayat (1) KUHAP47.
b. Putusan Yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Batal Demi Hukum
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum atau nietig van rechswege/null and void diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP di mana surat dakwaan telah melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan dinyatakan batal demi hukum menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP48.
c. Putusan Yang Berisikan Bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima
Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima atau niet onvankelijk verklaard sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan materi perkara tersebut telah kadaluwarsa, materi perkara seharusnya merupakan materi hukum
46 Ibid
47 Ibid, Hal 137
48 Ibid
40
perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem (diadilinya seseorang untuk kedua kalinya untuk perkara yang sama), dan sebagainya49.
4. Sifat Putusan Hakim 4.1 Putusan Pemidanaan
Putusan Pemidanaan (veroordeling), apabila yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum dan hakim menjatuhkan putusan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut50 :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pada hakikatnya, putusan pemidanaan (veroordeling) merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.
Apabila hakim telah menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP51.
49 Ibid
50 Ibid, Hal 139
51 Ibid, Hal 141
41 4.2 Putusan Bukan Pemidanaan a. Putusan Bebas
Pada hakikatnya, putusan bebas (vrijspraak) mengacu pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut52 :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
b. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) diformulasikan pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi53 :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum.”
52 Ibid, Hal 139
53 Ibid