• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Peran Aparat Desa Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Peran Aparat Desa Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Aulia Nugraha (04400155) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2010 yang berjudul

“Peran Aparat Desa Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus pada Keluarga di Desa Cangkringan Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk)”. Penelitian tersebut meneliti tentang Upaya aparat Desa dalam menanggulangi kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut: (1) Laporan ditindaklanjuti dengan memanggil pihak bersangkutan, dalam hal ini suami korban untuk diberikan pengarahan; (2) Bila kasus yang dihadapi berlarut-larut, Kepala Desa dan para Tetua Desa mengadakan musyawarah desa untuk membahas kasus; (3) Untuk tindak pengamanan, korban didampingi petugas keamanan desa atau polisi yang bertindak di desa; (4) Bila kasus yang dihadapi tidak dapat diselesaikan, Kepala Desa melimpahkan kasus kepada Polsek Nganjuk. Dalam hal ini upaya yang dilaksanakan oleh pihak aparat desa tersebut sesuai dengan konsep pasal 101 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dimana Kepala Desa memiliki hak untuk berperan dalam penyelesaian sengketa warganya. Tindakan ini juga lebih efektif karena menggunakan instrumen hukum adat yang lebih diterima di desa Cangkringan Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk tersebut. Metode yang di gunakan oleh peneliti adalah deskriptif kualitatif.

(2)

9 Skripsi yang dilakukan oleh Maya Puspita (01230165) Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2005 yang berjudul “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menangani Permasalahan Kesetaraan Gender Pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Oleh LSM Paramitra Malang. Penelitian ini berisi tentang mengenai peran LSM dalam menangani permasalahan kesetaraan gender pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh LSM Paramitra Malang, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Peran LSM Paramitra Malang dalam penanganan kasus KDRT, adalah sebagai lembaga advokasi dan pendampingan para korban kasus KDRT.

Sebagai lembaga advokasi, peran LSM Paramitra Malang adalah lebih sebagai pendamping dan fasilitator yang berintegrasi dengan masyarakat, khususnya bagi mereka yang telah termarginalisasi dan diskriminasi haknya. (1) Dalam penanganan kasus KDRT yang ada, peran LSM Paramitra Malang adalah lebih sebagai penanganan secara advokasi dan pembangunan kesadaran pada masyarakat, akan pentingnya hak kaum perempuan yang berdaya dan berkesetaraan gender dalam kehidupan sosial masyarakatnya. (2) Dalam proses integrasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan bentuk-bentuk konseling, pendampingan, maupun dalam bentuk penanganan korban KDRT secara advokasi hukum. (3) Dalam penanganan kasus KDRT, adalah kasus sosial yang seringkali membawa para korbannya, yakni kaum perempuan, memiliki dampak traumatik dan penstigmaan dari masyarakat, sehingga mereka sendiri tidak mampu mengungkapkan pengalaman penindasan dan diskriminasi yang mereka alami sebagai kaum perempuan. Sehingga seringkali, kasus KDRT tidak terungkap sebagai kasus sosial masyarakat. Disinilah peran LSM,

(3)

10 sebagai lembaga sipil yang membela hak-hak kaum yang termarginalkan dan terdiskriminasikan untuk menjadi berdaya dan mandiri dalam menghadapi hak- haknya sebagai kaum perempuan, serta membangun perubahan sosial yang lebih berbasis kesetaraan dan keadilan gender.

Penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan memiliki persamaan yaitu bagaimana peran aparat desa, masyarakat dan lembaga dalam menanggulangi permasalahan sosial yang ada di masyarakat mengenai kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Perbedaannya yaitu peneliti memfokuskan dalam pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ada di Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang yang di lakukan oleh masyarakat dengan di bentuknya sebuah komunitas yang sesuai dan di butuhkan dalam masyarakat. Upaya aparat desa, masyarakat dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam menanggulangi kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan proses atau prosedur menurut hukum, sedangkan penelitian yang di lakukakan peneliti berdasarkan kedua penelitian yang telah dilakukan oleh Aulia Nugraha dan Maya Puspita terdapat persamaan penelitian yakni menganalisis pencegahan KDRT, sedangkan perbedaan dari kedua penelitian sebelumnya yakni penelitian kali ini melihat bahwa pencegahan KDRT di tingkat masyarakat desa dapat dilakukan melalui komunitas. Dimana disini Komunitas memiiki andil dalam pencegahan KDRT. Karena sesuai dengan judul yang peneliti lakukan “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berbasis Komunitas” di desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang.

(4)

11 B. Kekerasan Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. Kekerasan

Kekerasan merupakan perlakuan menyimpang yg mengakibatkan luka dan menyakiti orangglain. Menurut Chawazi (2001) tindak kekerasan sama juga pengertiannya dengan penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.

Kekerasan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “violence”. Secara etimologis, kata violence merupakan gabungan dari kata “vis” yang berarti daya atau kekuatan dan “latus” yang berasal dari kata “ferre” yang berarti membawa. Jadi yang dimaksud dengan violence adalah membawa kekuatan (Windu, 1992 ).

Saraswati (dalam Malinda, 2008) mengungkapkan, kekerasan adalah “bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang, yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain.

Kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikis yang tidak berakibat pada fisik korban, namun berakibat pada timbulnya trauma berkepanjangan pada diri korban”.

Menurut Nurhadi dan Syahrir (2000:XV) memandang bahwa kekerasan adalah suatu perilaku pemaksaan yang mempunyai unsure persuasive maupun fisik adanya suatu pelecehan. Namun Johan Galburg (dalam Syahrir 2000:XV) memandang bahwa kekerasan adalah suatu penyalahgunaan sumber daya, wawasan, dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli untuk sekelompok orang (Syahrir 2000:X).

(5)

12 Sedangkan Quinneyi dan Chambliss (Santoso, 2002:12) berpendapat bahwa penggunaan kekuatan dan ancaman secara resmi dianggap sebagai tindak kekerasan, sebagaimana halnya dengan kekerasan ilegal seperti perampokan bersenjata

b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KDRT atau kekersan dalam rumah tangga terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.

Tindakan kekerasan dapat di bagi 2 (Andayani, 2001) yaitu : 1. Kekerasan yang dialami lingkungan sosial

Kekerasan yang dialami anak pada lingkungan sosial ini kebanyakan merupakan penganiayaan atau child abuse, yaitu perilaku-perilaku yang dilakukan orangtua atau orang dewasa terhadap anaknya dan dianggap tidak wajar. Definisi mengenai child abuse ini biasanya ditentukan oleh empat faktor, yaitu pertama intensitas perilaku atau tindakan, kedua efek yang ditimbulkan pada diri anak, ketiga penilaian terhadap perilaku atau tindakan tersebut, dan keempat, standar dimana penilaian itu dilakukan. Ada juga yang menyatakan bahwa penganiayaan adalah hasil dari ketidakpuasan orangtua, kurangnya pengendalian diri, tidak

(6)

13 adanya konsep diri yang kuat, dan merupakan proyeksi penganiayaan sewaktu kanak-kanak. Penganiayaan terhadap anak adalah hasil dari masyarakat itu sendiri dan bukan sifat-sifat dari individu. Walaupun demikian, tidak ada budaya yang memperbolehkan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan yang mengakibatkan luka atau trauma secara fisik. Child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan anak dan pembunuhan anak.

2. Kekerasan yang dialami dalam keluarga (Domestic Violence) Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya kekerasan dalam keluarga yang diterima anak terjadi apabila ada penyalahgunaan kekerasan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 disebutkan bahwa Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup rumah tangga.

Undang-undang di atas menyebutkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah segala jenis kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain (yang dapat dilakukan oleh suami kepada istri dan anaknya, atau oleh ibu kepada anaknya, atau bahkan sebaliknya). Meskipun demikian, korban yang dominan adalah kekerasan terhadap istri dan anak oleh sang suami. KDRT bisa menimpa siapa saja termasuk ibu,

(7)

14 bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban KDRT adalah istri. Sudah tentu pelakunya adalah suami. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan “suami” dapat pula sebagai korban KDRT oleh istrinya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata.

Sedangkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Adapun perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. (Miranto, 2006)

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah perbuatan atau kegiatan yang dilakukan dengan sengaja atau sewenang-wenang, yang disertai ancaman atau tidak, yang menimbulkan penderitaan pada orang lain baik secara fisik ataupun mental dan merugikan orang lain.

(8)

15 C. Perempuan Jawa Dalam Budaya Patriarkhi

Pengertian perempuan secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti

“tuan”, yaitu orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Namun menurut Zaitunah Subhan (2004:19) kata perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari perempuan ke wanita. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sansekerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks.

Tetapi dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa Belanda, wun dan schendalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like, wish,desire, aim. Kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya adalah wanted(dibutuhkan atau dicari). Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini. Para ilmuwan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual dan mental lebih lemah dari laki-laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya.

Belenggu patriarkhi tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di negara lain dengan corak dan variasi yang berbeda. Di Indonesia yang paling kentara dengan budaya patriarkhi kental adalah pada masyarakat Jawa. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem masyarakat Jawa yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah atau laki-laki. Perempuan yang terlahir dari keluarga Jawa dengan prinsip adat patriarkhi yang kental pasti merasakan dididik menjadi perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarkhi. Jika dilihat dari pengertiannya menurut

(9)

16 bahasa Jawa, perempuan atau wanita memiliki arti wani(berani) dan tata (diatur) atau juga bisa berarti nata (mengatur). Wanita (berani diatur) berarti wanita tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur. Dalam pengertian wanita (berani mengatur), mengindikasi bahwa wanita harus mendapatkan pendidikan yang tinggi agar bisa menjalankan perannya tersebut. (Hermawati, 2017)

Menurut Raharjo, (dalam Hermawati 2017) di Indonesia, di lingkungan pemerintahan maupun swasta, perempuan yang telah mempunyai kesempatan menduduki jabatan, belum sebanding dengan laki-laki. Padahal kalau ditengok dari segi jumlah, pendu-duk perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Meskipun kita sudah mem-punyai menteri wanita, duta besar wanita, jendral wanita bahkan pernah, presiden wanita, namun itu semua masih kelihatan perbedaan yang sangat ja-uh jumlahnya bila dibandingkan dengan laki-laki yang menduduki jabatan tersebut.

Dalam jumlah, perempuan merupakan mayoritas, ironinya, sebagi-an besar dari makhluk perempuan ini “tidak terlihat”. Kesempatan yang diberikan di bidang pendidikan dan peluang untuk menduduki jabatan ek-sekutif pada umumnya baru dinikmati oleh segelintir perempuan.

Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah ter-tanam dalam dalam hati masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambilkan saja contohnya, dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman da-lam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri,

(10)

17 bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka.

Menurut Alfian Rokhmansyah dalam Sakina dan Siti (2017) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan.

Akan tetapi, pada kenyataannya justru wanita dalam artian berani diatur lah yang saat ini terjadi. Seorang perempuan jawa yang dididik dengan nilai-nilai budaya patriarki tentu tidak asing dengan nasehat, jadi perempuan itu harus tahu unggah- ungguh (sopan santun),kalau tertawa jangan keras-keras apalagi tertawa lebar mulutnya,jadi perempuan itu harus menurut apa kata orang tua, jangan seenaknya sendiri,perempuan itu harus bisa masak, merawat diri, bisa melahirkan anak dan lain sebagainya. Dalam budaya patriarki tidak hanya keluarga saja yang berhak untuk mendidik perempuan, tetapi juga lingkungan, keluarga besar, tetangga pun seakan-

(11)

18 akan punya hak. Berbagai pandangan dan aturan mereka berikan, yang seakan justru mengerdilkan perempuan, karena kontruksi sosial dan budaya patriarki. Dampaknya perempuan tersubordinasi dianggap second class baik dalam politik dan hak mengenyam pendidikan tinggi sebagai akses untuk menaikan kualitas hidupnya.

Terutama bagi perempuan yang terlahir dari keluarga menengah kebawah. Contoh, jika dalam keluarga ada anak perempuan dan laki-laki maka prioritas yang mendapat pendidikan lebih tinggi tetaplah laki-laki. Anak laki-laki dalam masyarakat Jawa adalah segalanya, ada kebanggan tersendiri ketika memiliki anak laki-laki.

Mereka juga jarang diikutkan dalam membuat keputusan besar dalam keluarganya, karena dianggap tidak memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan dalam hal tersebut. Jika pun perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik dicela kamu itu tidak tahu apa-apa, perempuan tidak usah ikut campur. Hal itu kemungkinan masih terjadi pada keluarga Jawa yang masih konservatif. Tidak hanya berhenti disitu jika seorang anak susah diatur maka suami tidak jarang akan menyalahkan istri karena dianggap tidak bisa mendidik. Padahal suami juga punya peran sebagai ayah yang tugasnya juga mendidik anak, tidak hanya mencari nafkah.

Tentu pernah mendengar ungkapan Jawa swarga manut, neraka tumut (surga dan neraka ikut suami),seperti itulah hubungan antara suami dan istri yang tergambar

dalam nilai-nilai patriarkhi budaya Jawa. Suami bisa dianggap wakil dari dewa, jadi apa yang dikatakan harus dituruti. Hal-hal semacam itu membuat perempuan tidak diberi ruang berpendapat, hak kebebasan untuk mengatakan pilihanya, hanya bisa terkukung oleh budaya yang terkadang berlawanan dengan hati nuraninya.

(12)

19 Banyak dasar-dasar nilai patriarki dalam masyarakat Jawa yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Segala keputusan yang berkait dengan diri perempuan seakan-akan diputuskan oleh laki-laki entah ayahnya, pamanya, suaminya, ataupun saudara laki-lakinya. Dibandingkan laki-laki perempuan diberi aturan ketat, ia dibatasi dengan kata kodrat perempuan. Kodrat perempuan harus beginilah-begitulah. Sehingga menurut kacamata lelaki wanita yang ideal itu adalah yanng bisa masak, macak, manak. Wanita tidak diberi sektor publik bahkan wanita harus terima ketika laki-laki menyuruhnya berhenti bekerja atau tidak diizinkan bekerja, baik dengan alasan yang masuk akal atapun tidak. Tidak boleh menutut ilmu lebih tinggi, hingga urusan reproduksi diputuskan juga oleh laki-laki, meskipun dalam hati wanita hal tersebut berlawanan. Tapi apa boleh buat, kembali lagi pada istilah kodrat wanita. Akhirnya, ketika ketidakadilan dan kesetaraan tadi berubah menjadi pemicu kekerasan, maka dianggap sebagai kewajaran yang biasa terjadi. Dan sekali lagi, dimata masyarakat wanita tetap pada posisi yang salah karena dianggap pemicu masalah, karena tidak bisa menjadi istri atau ibu yang baik hingga suaminya melakukan kekerasan.

Menurut Mirriam M. Johnson (dalam Ismanto 2012), menekankan bahwa perbedaan peran perempuan dan laki-laki merupakan tatanan struktur sosial untuk memperoleh keseimbangan. Dengan merujuk teori struktural-fungsionalisme dari Talcott Parsons, Mirriam mengemukakan bahwa dalam struktur sosial tersebut terdapat peran-peran yang menunjang adanya keseimbangan yang tercipta dari keteraturan sosial.

(13)

20 Aturan bermasyarakat terkhusus di Pulau Jawa, sering memberikan batasan- batasan pada perilaku seorang perempuan. Pembatasan yang dilakukan adalah dengan melekatkan kata saru dalam setiap aktivitas perempuan yang kuranng lazim. Seperti, perilaku perempuan akan dicap saru ketika tidak memakai rok, perempuan akan dicap saru ketika memanjat pohon. Anggapan-anggapan seperti itulah yang membuat aktivitas seorang perempuan menjadi terbatas. Entah dari mana datangnya kata saru tersebut, namun pada kenyataannya kata saru telah menjelma menjadi mantra ampuh untuk membatasi gerak perempuan.

Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari masih ajegnya budaya patriarki yang masih melekat sebagai pola pikir hingga menjadi faktor penyebab. Termasuk juga memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada pasangannya. Budaya patriarki yang memberikan pengaruh bahwa laki-laki itu lebih kuat dan berkuasa daripada perempuan, sehingga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan atau keinginan dan memiliki kecenderungan untuk menuruti semua keinginan suami, bahkan keinginan yang buruk sekalipun.

Terdapat sebuah realitas sosial yang kerap terjadi di masyarakat apabila kekerasan

“boleh saja” dilakukan apabila istri tidak menuruti keinginan suami.

Dominasi dari pihak laki-laki sangat terlihat pada bagian ini karena budaya patriarki tadi yang menciptakan sebuah konstruksi sosial bahwa perempuan adalah pihak yang lemah dan bisa disakiti, baik hati atau fisiknya. Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di

(14)

21 tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya. Laporan kasus KDRT pun tidak semuanya terungkap karena sebagian besar korban tidak berani untuk membuka suara kepada pihak berwajib, serta penyebab lain yang terjadi adalah sebagian besar pihak perempuan merupakan ibu rumah tangga dan tidak memiliki penghasilan, sehingga apabila ia melaporkan suaminya ke pihak berwajib maka ada kekhawatiran jika ia dan anak- anaknya akan kehilangan seseorang untuk memberikan nafkah.

Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarki sangat tidak menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya. Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. (Kania:2015)

D. Pengertian Keluarga dan Rumah Tangga a. Pengertian Keluarga

Ilmu Sosial mendeskripsikannya sebagai: satuan sosial terkecil (yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial), yang ditandai oleh adanya kerja sama di bidang ekonomi. Keluarga juga disebut kelompok pertama (primary group), karena setiap keluarga akan melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadian dan sikap, serta perilaku. Confusius (dalam J. Goode 1991:2) umpamanya, berpendapat bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap ada dalam masyarakat jika saja semua

(15)

22 orang bertindak benar sebagai anggota keluarga dan menyadari bahwa orang harus mentaati kewajibannya sebagai anggota masyarakat.

Vembriarto, mengatakan bahwa keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah perkawinan atau adopsi.

Pengertian lain menjelaskan bahwa keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak sendirian atau dengan anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.

Menurut beberapa definisi keluarga diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keluraga adalah sebagian kecil dalam kelompok masyarakat kecil yang perannya sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat luas. Kebahagiaan masyarakat bisa dilihat atau tergantung kepada kebahagiaan masyarakat kecil (keluarga) tersebut.

Menurut William J.Goode (1983), keluarga dibentuk dengan fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Pemuas kebutuhan individual 2. Reproduksi

3. Pemeliharaan 4. Sosialisasi

5. Penempatan anak dalam mayarakat 6. Pengaturan seksual

7. Kontrol sosial

Bahwa keluarga mempunyai fungsi sebagai pemuas kebutuhan pribadi, dapat ditunjuk contoh konkret misalnya di bidang cinta, kebutuhan seks, maupun kebutuhan

(16)

23 untuk menjaga rahasia pribadi. Fungsi reproduksi mengandung arti beranak pinak, atau melahirkan keturunan. Bukankah nyaris tidak ada suami-istri yang tidak ingin mempunyai keturunan? Adapun fungsi sosialisasi, yang dimaksud adalah tugas setiap ayah dan ibu untuk membimbing, atau memperkenalkan dan mengertikan norma- norma kehidupan kepada anak-anaknya. Ini berkaitan pula dengan fungsi menemptkan anak dalam masyarakat, agar sang anak memahami tatakrama pergaulan dengan orang- orang di sekelilingnya. Sedangkan fungsi pengaturan seksual, adalah fungsi untuk melestarikan atau membudayakan aturan-aturan berhubungan seksual pada manusia.

Pengaturan seksual sebagai fungsi keluarga, dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Menananmkan norma-norma keabsahan (norm of legitimacy) dalam berhubungan seks. Misalnya tidak boleh berhunbungan seks dengan orang yang bukan istri atau suami yang sah.

b. Menegakkan tabu-tabu dalam hubungan seks dengan keluarga dekat.

Misalnya: tabu berhubungan seks dengan keluarga dekat atau di masa pertunangan.

c. Mencegah penyimpangan dalam hubungan seksual. Misalnya: perzinahan, semen leven (kumpul kebo), pergundikan (konkubinasi), dan melahirkan sebelum menikah.

d. Dan fungsi sosial yang dimaksud adalah tugas setiap ayah dan ibu untuk selalu mengawasi atau mengontrol anak-anaknya, agar tidak menyimpang atau bahkan melanggar aturan-aturan hidup bermasyarakat.

Sebab-sebab pecahnya keluarga menurut William J.Goode adalah:

(17)

24 1. Ketidaksahan pernikahan, yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi

suami-istri.

2. Perceraian, atau pembatalan pernikahan.

3. Perpisahan karena salah seorang (suami atau istri) meninggal duni

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang- undnag Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 1 dan Ayat 2, menyebutkan deskripsi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b. Rumah Tangga

Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur berarti pembiayaan keperluan apabila pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama (Badan Pusat Statistik, 2013).

Rumah tangga menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 1 (1990) adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal manusia. Rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta penghuninya dan segala yang ada di dalamnya.

Rumah tangga adalah unit perumahan dasar dimana produksi ekonomi, konsumsi, warisan, membesarkan anak, dan tempat tinggal yang terorganisasi dan dilaksanakan.

(18)

25 Menurut beberapa definisi diatas, rumah tangga adalah suatu kegiatan dalam suatu bangunan atau tempat tinggal yang dihuni oleh manusia untuk melakukan produksi ekonomi, konsumsi, membesarkan anak, warisan, dan tempat tinggal yang terorganisasi.

E. Pengertian Komunitas

Menurut McMillan dan Chavis (1986) mengatakan bahwa komunitas merupakan kumpulan dari para anggotanya yang memiliki rasa saling memiliki, terikat diantara satu dan lainnya dan percaya bahwa kebutuhan para anggota akan terpenuhi selama para anggota berkomitmen untuk terus bersama-sama. Ketika orang menanyakan apa arti dari ‘komunitas’ untuk mereka, itu adalah salah sau kutipan yang sering dikutip.’Untuk kebanyakan dari kita, arti yang cukup dalam dari kepunyaan adalah keakraban kita dalam interaksi sosial kita, terutama keluarga dan teman. Selain dari tempat kerja, gereja, tetangga, kehidupan di kota dan berbagai macam ikatan lainnya (Putnam 2000: 274).

Selain membantu kita untuk membangun sebuah persaan akan diri kita sendiri, seperti hubungan yang tidak resmi ‘juga memungkinkan kita untuk mencari jalan kita dalam berbagai macam kebutuhan dan berbagai macam kemungkinan peristiwa lainnya dalam kehidupan sehari- hari’(Allan 1996: 2). Dalam studinya, Bott (1957: 99) berpendapat bahwa kedekatan dengan lingkungan social dalam kehidupan di kota merupakan suatu pertimbangan yang terbaik,’tidak dengan area setempat dimana mereka tinggal, akan tetapi jaringan akan hubungan social yang sesungguhnyalah yang

(19)

26 mereka pertahankan, tanpa mempedulikan apakah semua itu dibatasi area setempat atau berjalan diluar daerahnya’. Bagi kebanyakan ilmuwan sosial, gagasan akan

‘jaringan’ cukup menarik dikarenakan itu dapat digolongkan dan diukur.

Penulis seperti Stacey (1969) mengartikan komunitas sebagai sebuah ‘tanpa konsep’ dan pengganti sistem sosial setempat. ‘Hubungan’ akan jaringan sosial membantu menjelaskan atau setidaknya menggambarkan kunci akan pengalaman orang-orang.

Sejak akhir dari abad ke 19, penggunaan arti komunitas telah meninggalkan beberapa asosiasi tambahan sekali lagi dengan pengharapan yang segar akan kedekatan, kehangatan dan harmoni yang baik antara orang-orang yang mempermasalahkan atau orang-orang yang dulu tidak jelas akan arti komunitas (Elias 1974, dikutip oleh Hogget 1997: 5). Sebelum tahun 1910, terdapat literatur kecil dari ilmu sosial yang memberikan sedikit perhatiannya akan “komunitas” dan benar pada tahun 1915 pertama kalinya didapatkan definisi sosial yang jelas muncul ke dunia. Hal ini dikemukakan oleh C.J. Galpin dalam hubungannya melukiskan komunitas pedalaman dalam pertukaran barang dan servis area yang mengelilingi pusat desa (Harper dan Dunham 1959: 10). Setelah itu beberapa definisi mengenai komunitas pun mulai muncul ke permukaan dengan cepat. Beberapa memfokuskan komunitas pada wilayah geografi, beberapa berpusat pada sekumpulan orang yang tinggal di wilayah tertentu dan yang lainnya melihat komunitas sebagai suatu area dari kehidupan biasa.

Referensi

Dokumen terkait

Peramalan adalah perkiraan mengenai sesuatu yang belum terjadi atau yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Peramalan merupakan salah satu unsur yang sangat penting

.HEHUDGDDQ VXEVWUDW EHUXSD SDWL WDSLRND GDODP PHGLD DNDQ PHQJLQGXNVL VLQWHVLV HQ]LP DPLODVH +DO LQL NDUHQD VXEVWUDW \DQJ EHUEHUDW PROHNXO WLQJJL VHSHUWL SDWL DNDQ VXOLW PDVXN NH

recount text of the first year students of SMA Negeri I Cepogo, Boyolali 2011/2012 Academic year, to know the problems faced by the students in writing recount text,

Dari hasil percobaan dengan skenario pengiriman pesan telegram saat ada absesensi pada masing-masing alat secara terpisah, pada kedua alat secara bersamaan, dan

Sistem yang ditujukan untuk menangani proses bisnis yang bertumpu pada pelayanan kepada pelanggan dengan tujuan dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan,

Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat. Tante Ririn

The presence of Nitrosospira cluster 2 and differences in nitrification rates between nine Scots pine forest soils located throughout the Netherlands and Finland

Askrindo (Persero) Cabang Surakarta dilakukan berdasarkan kebutuhan perusahaan terhadap struktur manajemen yang dipandang perlu untuk meningkatkan kinerja