• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Refleksi dan aksioma cermin pada bidang Poincare."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

i

REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN

PADA BIDANG POINCARÉ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

Chintia Rudiyanto

NIM : 091414042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk

semua pihak yang telah membantu

selama proses belajar ku

(5)
(6)
(7)

vii

ABSTRAK

Chintia Rudiyanto, 2013. Refleksi dan Aksioma Cermin Pada Bidang Poincare. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini membahas mengenai refleksi dan aksioma cermin pada

bidang Poincare. Selama ini konsep geometri yang banyak dipelajari adalah

seputar geometri Euclid. Padahal, ada berbagai macam sistem geometri yang lain

misalnya geometri Hiperbolik. Bidang Poincare merupakan bidang yang

digunakan dalam geometri Hiperbolik. Setelah membaca penelitian ini,

diharapkan pembaca akan memperoeh wawasan mengenai refleksi dan aksioma

cermin pada bidang Poincare.

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Buku acuan yang

digunakan adalah “Geometry : A Metric Approach with Models” karangan

Millman dan Parker. Refleksi dan aksioma cermin ditulis lengkap dengan

definisi-definisi, dan teorema-teoremanya. Selain itu, ditambah juga dengan

pembuktian-pembuktian dari teorema serta penjelasan dan contoh-contohnya.

Hasil dari penelitian ini adalah : (i) Refleksi merupakan suatu fungsi yang

bersifat isometri. (ii) Aksioma cermin adalah konsep mengenai sebuah cermin

dalam garis � dalam geometri protraktor. (iii) Konsep cermin dalam � adalah

sebuah isometri yang bersifat kolineasi dan mempertahankan sudut.

(8)

viii

ABSTRACT

Chintia Rudiyanto, 2013. Reflections and Mirror Axiom in Poincaré Plane.

Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata DharmaUniversity, Yogyakarta.

This research will be talking about reflections and mirror axiom in

Poincare plane. During this time the most studious concept of geometry is about

Euclidean geometry. In fact, there are a variety of other geometry such as

hyperbolic geometry. Poincare plane is a plane that is used in the hyperbolic

geometry. After reading this research, the reader will get a new knowledge about

reflection and mirror axiom in Poincare plane.

This research use study methods with “Geometry: A Metric Approach

with Models” of Millman & Parker as a mother book. Reflections and mirror

axiom written by added the proof of lemmas and theorems with an explanation

and an example.

The results of this research are: (i) Reflection is an isometric function. (ii)

Mirror axiom is a concept about a mirror in a line in protractor geometry. (iii)

The concept of a mirror in a line is an isometry that preserves line and angle

measure.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah

senantiasa melimpahkan rahmat Nya sehingga skripsi dengan judul “Refleksi dan

Aksioma Cermin pada Bidang Poincare” ini dapat penulis selesaikan.

Segala macam hambatan dan rintangan telah banyak penulis alami selama

menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi semua itu telah penulis lalui dengan adanya

dukungan dari banyak pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis dengan

sepenuh hati ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak, diantaranya:

1. Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo, S.Si., M.Si., selaku Dosen

Pembimbing Akademik dan dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar

memberikan bimbingan akademik dan dorongan selama penulis

melaksanakan studi dan proses penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito selaku kaprodi pendidikan matematika,

Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Enny Murwaningtyas dan Bapak Sugiarto yang telah menjadi dosen

penguji skripsi, terimakasih atas saran dan bimbingannya selama ini.

5. Semua dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan ilmu selama

penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma.

6. Semua staf sekretariat JPMIPA yang telah membantu memberikan

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SIMBOL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penulisan ... 3

1.5 Manfaat Penulisan ... 3

(12)

xii

1.7 Sistematika Penulisan ... 5

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bidang Kartesius dan Bidang Poincare... 6

2.2 Geometri Abstrak dan Geometri Indiensi ... 11

2.3 Geometri Metrik ... 15

2.4 Keantaraan ... 20

2.5 Segmen, Sinar Garis, Sudut, Segitiga ... 28

2.6 Aksioma Pembagian Bidang ... 34

2.7 Geometri Pash ... 37

2.8 Geometri Protraktor ... 42

2.9 Geometri Netral ... 49

2.10 Kolineasi dan Isometri ... 53

2.11 Refleksi pada bidang Euclid ... 59

BAB III REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN 3.1 Refleksi ... 63

3.2 Aksioma Cermin ... 97

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan... 104

4.2 Saran ... 106

(13)

xiii

DAFTAR SIMBOL

P, Q, R : titik-titik

: garis

S : Himpunan titik-titik

ℒ : Himpunan garis-garis

ℳ : Geometri Metrik

� : Geometri Abstrak

� : Garis tipe I pada bidang kartesius

� , : Garis tipe II pada bidang kartesius

ℒ : Garis-garis pada bidang Euclid

ℇ : Bidang Kartesius /bidang Euclid

aL : Garis tipe I pada bidang Poincare

cLr : Garis tipe II pada bidang Poincare

ℒ� : Garis-garis pada bidang Poincare ℋ : Bidang Poincare

: Garis PQ

: Segmen garis PQ

: Sinar garis PQ

� : Jarak dalam bidang Euclides

(14)

xiv

A-B-C : Keantaraan (Titik B diantara titik A dan titik C)

∠ : Sudut ABC

∆ : Segitiga ABC

∠ : Ukuran sudut ABC

∥ : Sejajar

⊥ : Tegak lurus

∅ : Himpunan kosong

⊂ : Himpunan bagian

: Irisan

: Gabungan

∈ : Elemen / Anggota

≅ : Kongruen

� � : Interior

∎ : Akhir definisi

□ : Akhir pembuktian

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Garis vertikal pada bidang Kartesius 8

Gambar 2.2 Garis tidak vertikal pada bidang Kartesius 8

Gambar 2.3 Garis = 1 pada bidang Kartesius 9

Gambar 2.4 Garis =− + 3 pada bidang Kartesius 9

Gambar 2.5 Garis tipe I pada bidang Poincare 10

Gambar 2.6 Garis tipe II pada bidang Poincare 10

Gambar 2.7 Garis = 1 pada bidang Poincare 11

Gambar 2.8 Garis −1 2+ 2 = 4 pada bidang Poincare 11

Gambar 2.9 A-B-C 24

Gambar 2.10 C-B-A 24

Gambar 2.11 Segmen garis dalam bidang Euclid 29

Gambar 2.12 Segmen garis dalam bidang Poincare 29

Gambar 2.13 Sinar garis dalam bidang Euclid 31

Gambar 2.14 Sinar garis dalam bidang Poincare 31

Gambar 2.15 Sudut dalam bidang Euclid 32

Gambar 2.16 Sudut dalam bidang Poincare 32

Gambar 2.17 Segitiga dalam bidang Euclid 34

Gambar 2.18 Segitiga dalam bidang Poincare 34

Gambar 2.19 Aksioma Pembagian Bidang dalam bidang Euclid 35

(16)

xvi

Gambar 2.21 Sisi yang saling berlawanan dalam APB 36

Gambar 2.22 Sisi yang sama dalam APB 36

Gambar 2.23 Ilustrasi Postulat Pash 37

Gambar 2.24 Interior ∠ 40

Gambar 2.25 Ilustrasi Teorema Crossbar 41

Gambar 2.26 Ilustrasi Definisi 2.8.1 43

Gambar 2.27 Ilustrasi Definisi 2.8.1 43

Gambar 2.28 Ilustrasi sudut dalam bidang Poincare 46

Gambar 2.29 Ilustrasi Teorema 2.8.1 47

Gambar 2.30 Ilustrasi Teorema 2.8.2 dan Teorema 2.8.3 48

Gambar 2.31 ∆ ≃ ∆ 50

Gambar 2.32 ∆ ≃ ∆ 50

Gambar 2.33 ∆ ≃ ∆ 51

Gambar 2.34 ∆ ≃ ∆ 52

Gambar 2.35 Ilustrasi Lemma 2.10.3 57

Gambar 2.36 Ilustrasi Lemma 2.10.4 58

Gambar 2.37 Refleksi pada bidang Euclid 59

Gambar 3.1 Refleksi pada bidang Poincare 68

Gambar 3.2 Refleksi terhadap garis = 68

Gambar 3.3 Refleksi terhadap garis = −2 76

Gambar 3.4 Refleksi titik A(2,1) 77

Gambar 3.5 Refleksi titik B(1,1) 79

(17)

xvii

Gambar 3.7 Refleksi titik D(1,10) 81

Gambar 3.8 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 84

Gambar 3.9 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 85

Gambar 3.10 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 85

Gambar 3.11 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 86

Gambar 3.12 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 87

Gambar 3.13 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.3 87

Gambar 3.14 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.4 90

Gambar 3.15 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.4 91

Gambar 3.16 Ilustrasi pembuktian Teorema 3.1.5 93

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata “Geometri” berasal dari bahasa Yunani “geometrein” (geo =

bumi, dan metrein = mengukur), yang berarti ilmu pengukuran bumi. Pada

mulanya, Geometri adalah ilmu yang digunakan untuk mengukur lahan

pertanian. Sejarahwan Yunani, Herodotus (5 tahun sebelum Masehi),

mengatakan orang-orang Mesir lah yang pertama kali menggunakan subjek

Geometri, tetapi negara-negara kuno lain (Babylonia, India, Cina) juga

mempunyai beberapa informasi Geometri. (Marvin Jay Greenberg, 1980)

Selama lebih dari 2000 tahun, Geometri identik dengan Geometri

yang berasal dari buku Elements. Buku ini ditulis oleh Euclides sekitar

tahun 300 sebelum Masehi. Sampai abad ke 20, buku ini masih digunakan

sebagai pedoman dalam pembelajaran Geometri di sekolah-sekolah.

Geometri Euclides, seperti dikenal sekarang, dianggap sebagai dasar/fondasi

dari semua ilmu pasti. Namun saat ini, berbagai jenis Geometri yang lain

mulai berkembang. Geometri Non Euclides ditemukan pada awal abad ke-

19. Geometri Non Euclides berkembang sebagai bentuk penyimpangan dari

(19)

bertentangan antara Geometri Euclides dan Geometri Hiperbolik yaitu pada

aksioma kesejajaran. Selain hal itu, bidang yang digunakan dalam kedua

jenis geometri ini pun berbeda. Geometri Euclides menggunakan bidang

Kartesius atau disebut juga bidang Euclid, sedangkan Geometri Hiperbolik

menggunakan bidang Poincare. (John Stillwell, 2005)

Dalam pembicaraan mengenai geometri, baik geometri Euclides

ataupun geometri Hiperbolik, terdapat topik geometri transformasi. Menurut

Susanta (1990), istilah geometri transformasi dapat ditafsirkan sebagai

geometri yang membahas transformasi, tetapi dapat juga ditafsirkan sebagai

geometri yang dilandasi oleh transformasi. Transformasi sendiri merupakan

sebuah fungsi yang bersifat bijektif dalam himpunan titik-titik. Dalam

geometri Euclides, dikenal ada beberapa macam transformasi yaitu, refleksi

atau pencerminan, rotasi atau putaran, translasi atau geseran, dan dilatasi.

Sedangkan dalam geometri Hiperbolik, baru dikembangkan mengenai

transformasi berupa refleksi atau pencerminan. Topik transformasi yang

dapat dibandingkan untuk geometri Euclides dan geometri non Euclides

adalah transformasi berupa refleksi.

Selama ini geometri yang telah dipelajari oleh penulis merupakan

bagian dari Geometri Euclides. Penelitian mengenai Geometri Hiperbolik di

Universitas Sanata Dharma pun masih sangat sedikit. Oleh karena itu,

penulis tertarik untuk meneliti mengenai Geometri Hiperbolik ini melalui

skripsi yang berjudul “ REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :

1. Apakah yang dimaksud dengan refleksi dan aksioma cermin?

2. Bagaimanakah sifat-sifat refleksi dan aksioma cermin pada bidang

Poincare?

1.3. Batasan Masalah

Pembahasan mengenai Refleksi dan Aksioma Cermin ini dibatasi

pada:

1. Bidang yang digunakan adalah bidang Poincare.

2. Sistem geometri yang digunakan untuk membahas refleksi dan aksioma

cermin ini adalah Geometri Netral dan Geometri Protraktor.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui mengenai refleksi dan aksioma cermin pada bidang

Poincare.

2. Untuk mengetahui sifat-sifat refleksi dan aksioma cermin pada bidang

Poincare.

1.5. Manfaat penelitian

(21)

1. Bagi Pembaca

Pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai refleksi dan aksioma

cermin pada bidang Euclid dan Poincare.

2. Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengetahuan mengenai refleksi dan aksioma

cermin pada bidang Euclid dan Poincare.

3. Bagi Universitas

Universitas dapat menambah koleksi skripsi dalam bidang Geometri.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan peneliti dalam menyusun skripsi ini

adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca referensi-referensi

yang berkaitan dengan refleksi dan aksioma cermin pada bidang Euclid dan

Poincare. Pembahasan dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari buku

Geometry : A Metric Approach with Models, karangan Richard Millman dan

Parker (1991) dan ditambah berbagai referensi yang lain.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Membaca berbagai refrensi yang diperlukan, khusunya mengenai

bidang Poincare, konsep refleksi dan aksioma cermin, serta berbagai

teori-teori yang digunakan untuk membahas materi-materi itu.

2. Menyajikan kembali definisi-definisi pada bab refleksi dan aksioma

cermin.

3. Melengkapi bukti-bukti dari teorema-teorema pada bab refleksi dan

(22)

4. Memberikan penjelasan yang diperlukan dan contoh-contoh dari

definisi-definisi yang digunakan.

5. Memberikan penjelasan tambahan, dan contoh-contoh dari

teorema-teorema yang digunakan.

6. Menyusun seluruh materi-materi yang digunakan secara runtut agar

memudahkan pembaca dalam memahami.

1.7 Sistematika Penulisan

Bab pertama berupa pendahuluan. Pendahuluan ini berisi tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat

serta metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua berisi tentang gambaran umum mengenai berbagai macam

sistem-sistem geometri yang ada. Teori-teori yang digunakan dalam

mendefinisikan berbagai sistem geometri yang ada, segitiga, sudut, sinar

garis, konsep kolineasi dan isometri, konsep refleksi dalam bidang Euclid.

serta definisi-definisi yang digunakan untuk membuktikan teorema yang

dibahas di bab ketiga.

Bab tiga membahas tentang refleksi dan aksioma cermin. Diberikan

juga bukti-bukti teorema serta contoh-contoh yang terkait dengan refleksi

dan aksioma cermin.

Bab keempat atau bab terakhir berisi tentang kesimpulan dari

pembahasan pada bab tiga serta saran yang diberikan penulis kepada

(23)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

Unsur paling dasar dalam geometri adalah titik. Bermula dari konsep titik,

kemudian membentuk berbagai macam konsep-konsep yang lain seperti garis,

segitiga, sudut dan lain-lain. Dalam geometri, semua unsur-unsur tersebut

memiliki kekhasannya masing-masing dan tergantung dari bidang yang

digunakan.

Berikut akan dibahas mengenai dua jenis bidang yang banyak digunakan

dalam geometri, yaitu bidang Kartesius atau sering disebut sebagai bidang Euclid,

dan bidang Poincare.

2.1 Bidang Kartesius dan Bidang Poincare

Menurut Eisenhart (1960), Bidang Kartesius, umumnya

didefinisikan dengan dua garis yang saling tegak lurus satu sama lain dan

disebut sebagai sumbu x dan sumbu y. Sumbu horizontal diberi label x,

dan sumbu vertikal diberi label y. Perpotongan antara kedua sumbu

tersebut adalah titik O, dan disebut sebagai titik asal. Setiap sumbu juga

mempunyai besaran panjang unit, dan setiap panjang tersebut diberi tanda

positif (+) atau negatif (-) . Untuk mendeskripsikan suatu titik A tertentu

(24)

adalah jarak dari titik A ke sumbu , sedangkan adalah jarak

dari titik A ke sumbu . Selanjutnya, disebut sebagai absis dari titik A,

dan disebut sebagai ordinat dari titik A.

Anggap S = ℝ2 = x, y |x, y merupakan titik-titik dalam bidang

Kartesius. Kita mendefinisikan himpunan garis sebagai berikut :

Definisi 2.1.1 (Millman & Parker, 1991:18)

(i) Sebuah garis vertikal adalah himpunan bagian dari ℝ2 yang berbentuk

La = x, y ℝ2 | x = a dengan a adalah bilangan real tertentu.

(ii) Garis tidak vertikal adalah himpunan bagian dari ℝ2 yang berbentuk

Lm ,b = x, y ℝ2 | y = mx + b dengan m dan b bilangan real

tertentu.

Misalkan ℒ adalah kumpulan garis-garis tersebut, baik yang vertikal

maupun yang tidak vertikal.

Definisi 2.1.2 (Millman & Parker, 1991:18)

Model ℇ= ℝ2,ℒE dinamakan bidang Kartesius. (Notasi L

a dan Lm,b

akan digunakan untuk menyebut garis-garis dalam ℇ.) ∎

(25)

Gambar 2.1 mengilustrasikan model garis vertikal dalam bidang Kartesius.

Sedangkan Gambar 2.2 mengilustrasikan model garis yang tidak vertikal

dalam bidang Kartesius.

Untuk lebih memahami tentang garis-garis pada bidang Kartesius,

perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.1.1 :

Misal titik 1,2 , 1,−5 , dan (3,0) merupakan titik-titik pada bidang

Kartesius.

Garis yang melalui titik A dan titik B berupa garis vertikal , sehingga

persamaan garis nya adalah = 1. Garis ini ditunjukkan oleh Gambar 2.3.

Garis yang melalui titik A dan titik C berupa garis yang tidak vertikal.

Untuk mengetahui persamaan garisnya, kita harus mencari nilai dan .

= 2− 1 2− 1 =

2−0

1−3 =−1

= − = 2− −1 1 = 3

Gambar 2.1

Garis Vertikal pada bidang Kartesius

Gambar 2.2

Garis Tidak Vertikal pada bidang Kartesius

La

a

(26)

sehingga persamaan garis nya adalah = − + 3. Garis ini ditunjukkan

oleh Gambar 2.4.

Setelah membahas bidang Kartesius atau bidang Euclid, sekarang kita

akan membahas mengenai bidang Poincare. Bidang Poincare sangat mirip

dengan bidang Kartesius, hanya saja dalam bidang Poincare, tidak ada

sumbu x dan sumbu y negatif. Bidang Poincare hanya terdiri dari setengah

bagian bidang Kartesius, yaitu sisi yang berada di atas sumbu x.

Anggap S = = , ℝ2| > 0 merupakan garis-garis dalam

bidang Poincare. Seperti kasus dalam bidang Kartesius kita akan

mendeskripsikan dua tipe garis dalam bidang Poincare sebagai berikut :

Definisi 2.1.3 (Millman & Parker, 1991:19)

(i) Garis tipe I adalah himpunan bagian ℍ yang berbentuk

aL = x, y ℍ | x = a , dengan a adalah bilangan real tertentu

(ii) Garis tipe II adalah himpunan bagian ℍ yang berbentuk

cLr = x, y ℍ | x−c 2+ y2 = r2 dengan c, r ℝ dan r > 0.

= 1

1,−5 1,2

-5

2 = + 3

1,2

(3,0)

Gambar 2.3

Garis = 1 pada bidang Kartesius

Gambar 2.4

(27)

Misalkan gabungan dari himpunan garis tipe I dan II adalah ℒH.

Definisi 2.1.4 (Milman & Parker, 1991:20)

Model ℋ= ℍ,ℒH dinamakan bidang Poincare. (Notasi aL dan cLr akan

digunakan untuk menyebut garis-garis dalam ℋ.) ∎

Berikut ini adalah ilustrasi garis-garis dalam bidang Poincare :

Untuk lebih memahami tentang garis-garis pada bidang Poincare,

perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.1.2 :

Misal titik 1,2 , 1,5 , dan (3,1) merupakan titik-titik pada bidang

Poincare.

Garis yang melalui titik A dan titik B berupa garis tipe 1, sehingga

persamaan garis nya adalah = 1. Garis ini ditunjukkan oleh Gambar 2.7.

Garis yang melalui titik A dan titik C berupa garis tipe 2. Untuk mencari

persamaan garisnya kita perlu mencari koordinat dan nilai nya.

= 22− 12+ 22− 12

Garis tipe I pada bidang Poincare

Gambar 2.6

(28)

= ( 1− )2 + 12 = (1−

2.2 Geometri Abstrak dan Geometri Insidensi

Dalam geometri, dikenal adanya berbagai macam sistem geometri.

Sistem geometri yang paling sederhana adalah Geometri Abstrak.

Geometri abstrak merupakan suatu sistem geometri yang hanya terdiri dari

titik dan garis.

Definisi 2.2.1 (Millman & Parker, 1991:17)

Sebuah geometri abstrak � terdiri dari himpunan S yang unsur-unsurnya

disebut titik dan himpunan ℒ yang unsur-unsurnya himpunan bagian yang

(29)

(i) Untuk setiap dua titik A, B S terdapat sebuah garis l dengan A

l dan B l.

(ii)Setiap garis mempunyai paling sedikit dua titik.

Jika �= { S , } adalah sebuah geometri abstrak dengan P S , ,

dan P , kita katakan bahwa P terletak pada garis .

Aksioma pertama dari Geometri Abstrak mengatakan bahwa setiap satu

pasang titik pasti terletak pada sebuah garis yang sama. Perlu kita ingat

pula bahwa “garis” tidak berarti yang dimaksud adalah garis lurus.

Contoh 2.2.1 :

ℇ= ℝ2, adalah sebuah geometri abstrak.

Bidang Euclid termasuk dalam geometri abstrak karena dalam bidang

Euclid, terdapat titik-titik dan juga garis-garis seperti yang sudah dibahas

pada Definisi 2.1.1.

Contoh 2.2.2:

ℋ = ℍ,ℒ� adalah sebuah geometri abstrak.

Bidang Poincare juga termasuk dalam geometri abstrak karena dalam

bidang Poincare juga terdapat titik-titik dan garis-garis seperti yang sudah

dibahas pada Definisi 2.1.3

Definisi 2.2.2 (Millman & Parker, 1991:22)

Sebuah geometri abstrak { S , } dikatakan geometri insidensi jika:

1. Setiap dua titik yang berbeda dalam S terletak pada sebuah garis

(30)

2. Terdapat tiga titik A, B, C S yang tidak semuanya berada pada

garis yang sama.

Jika { S , } merupakan geometri insidensi dan P, Q S maka sebuah

garis yang melalui titik P dan Q, akan ditulis sebagai = .

Aksioma kedua (Definisi 2.2.2(2) ) dari geometri insidensi dapat

dikemukakan kembali dengan menggunakan konsep kolinear, yang akan

dibahas pada Definisi 2.2.3.

Definisi 2.2.3 (Millman & Parker, 1991:22)

Himpunan titik-titik P disebut kolinear jika ada sebuah garis l sehingga

P⊂ l.

Definisi 2.2.3 mengatakan bahwa himpunan titik-titik P disebut kolinear

jika semua anggota P terletak pada garis yang sama. Sebaliknya, P disebut

tidak kolinear jika P bukan himpunan titik yang kolinear. Atau dengan kata

lain, himpunan P disebut tidak kolinear jika tidak semua anggota P terletak

pada garis yang sama. Dengan menggunakan Definisi 2.2.3 di atas, maka

aksioma kedua dari geometri insidensi dapat ditulis kembali sebagai

berikut :

Definisi 2.2.2(2a) :

(31)

Contoh 2.2.3:

Bidang Kartesius dan Bidang Poincare merupakan geometri insidensi.

Dalam Contoh 2.2.1 dan Contoh 2.2.2 telah disebutkan bahwa bidang

Euclid dan bidang Poincare merupakan geometri abstrak. Dari Contoh

2.1.1 dan Contoh 2.1.2 juga ditunjukkan bahwa dari setiap dua titik dapat

ditentukan sebuah garis yang melaluinya. Seandainya , terdapat tiga buah

titik, maka belum tentu titik yang ketiga memenuhi persamaan garis yang

terbentuk oleh dua titik lainnya. Oleh karena itu, bidang Euclides dan

bidang Poincare merupakan geometri insidensi.

Selain konsep kolinear, dalam geometri abstrak dan geometri insidensi

juga dikenal adanya konsep kesejajaran.

Teorema 2.2.1 (Millman & Parker, 1991:24)

Misalkan 1 dan 2 adalah garis-garis dalam geometri insidensi. Jika

1 dan 2 memiliki dua titik yang sama atau lebih, maka 1 = 2.

Bukti :

Anggap ≠ , 1 2 dan 1 2. Karena kedua titik P dan

Q terletak pada 1, maka = 1. Padahal titik P dan Q juga terletak pada

2 sehingga = 2. Karena itu, 1 = 2. □

Teorema 2.2.1 mengatakan jika ada 2 garis dalam geometri insidensi (garis

(32)

melewati titik A dan B, maka garis 1 sebenarnya sama dengan garis 2.

Dua garis yang demikian biasa disebut dua garis yang berhimpit.

Definisi 2.2.4 (Millman & Parker, 1991:24)

Jika l1 dan l2 adalah garis-garis dalam geometri abstrak, maka l1 dikatakan

sejajar dengan l2 (ditulis l1 ∥ l2) jika l1 = l2 atau l1 l2 =∅. ∎

Definisi 2.2.4 mengatakan bahwa dua garis dikatakan sejajar jika

garis-garis tersebut berhimpit atau tidak mempunyai titik potong.

2.3 Geometri Metrik

Sekarang kita akan membahas mengenai geometri metrik.

Geometri ini adalah geometri yang memperhitungkan mengenai jarak 2

buah titik dalam suatu bidang. Oleh karena itu, sebelum kita membahas

mengenai geometri metrik lebih lanjut, mula-mula akan dibahas dahulu

mengenai definisi fungsi jarak.

Definisi 2.3.1 (Millman & Parker, 1991:28)

Fungsi jarak pada himpunan S adalah fungsi d : S x S → ℝ sehingga

untuk setiap P,Q S berlaku :

1. d(P,Q) ≥0

2. d(P,Q) = 0 jika dan hanya jika P = Q , dan

3. d(P,Q) = d(Q, P) ∎

Aksioma pertama dari Definisi 2.3.1 mengatakan bahwa nilai dari jarak

(33)

yang negatif. Aksioma kedua mengatakan jika ada dua titik yang sama,

maka jaraknya pasti nol. Sedangkan aksioma ketiga mengatakan bahwa

jarak titik P dan Q sama dengan jarak titik Q dan P.

Selanjutnya akan dibahas mengenai jarak dua titik dalam bidang Euclid

dan bidang Poincare.

Definisi 2.3.2 ( Smith & Ulrich, 1956:487)

Misalkan P = (x1, y1) dan Q = (x2, y2) adalah titik-titik dalam bidang

Euclid. Jarak dalam bidang Euclid diberikan oleh :

d P, Q = x2−x1 2+ (y

2−y1)2

Selanjutnya, jarak dalam bidang Euclid dapat disimbolkan sebagai ( ),

untuk membedakan dengan jarak Poincare.

Untuk lebih memahami mengenai jarak titik pada bidang Euclid,

perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.3.1 :

Misalkan titik 2,3 dan (4,0) adalah titik-titik dalam bidang Euclid

atau bidang Kartesius. Maka jarak Euclidesnya adalah :

, = 2−4 2+ (30)2

= 4 + 9 = 13

(34)

Setelah membahas mengenai jarak dua titik dalam bidang Euclides,

sekarang kita akan membahas mengenai jarak dua titik dalam bidang

Poincare.

Definisi 2.3.3 (Millman & Parker, 1991:28)

Jika P = (x1, y1) dan Q = (x2, y2) adalah titik dalam bidang Poincare ℋ,

Untuk lebih memahami mengenai jarak titik dalam bidang Poincare,

perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.3.2 :

Misal 2,3 , 2,5 , (4,1) adalah titik-titik dalam bidang Poincare.

Jarak Poincare titik A dan B adalah :

� , = 21 = 53

Jarak Poincare titik A dan C adalah :

(35)

=

Konsep fungsi jarak yang sudah kita bahas di atas merupakan konsep yang

cukup penting dalam pembahasan sistem geometri metrik.

Definisi 2.3.4 (Millman & Parker, 1991:30)

Misalkan adalah sebuah garis dalam geometri insidensi { S , }

Asumsikan bahwa terdapat fungsi jarak d pada S . Fungsi f: l→ ℝ

disebut sistem koordinat untuk l jika :

1. f bijektif

2. Untuk setiap pasangan titik P dan Q pada l berlaku f P − f(Q) =

d (P, Q). (2.3.1)

Persamaan (2.3.1) disebut persamaan sistem koordinat dan �( ) disebut

(36)

Definisi 2.3.5 (Millman & Parker, 1991:30)

Sebuah geometri insidensi { S , } bersama dengan fungsi jarak d

memenuhi postulat sistem koordinat jika setiap S memiliki sistem

koordinat. ∎

Dalam hal ini kita katakan, ℳ = { S ,, } adalah sebuah geometri

metrik.

Untuk lebih memahami Definisi 2.3.5, perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.3.2 :

Bidang Kartesius adalah sebuah geometri metrik.

Hal ini dikarenakan bidang kartesius merupakan sebuah geometri

insidensi. Selain itu, dalam bidang Kartesius terdapat fungsi jarak Euclides

seperti yang sudah dibahas pada Definisi 2.3.2.

Jadi, bidang kartesius atau bidang Euclid merupakan geometri metrik.

Contoh 2.3.3 :

Jika adalah fungsi jarak untuk bidang Poincare, maka ℍ,ℒ�,

adalah sebuah geometri metrik.

Contoh 2.2.3 mengatakan bahwa bidang Poincare merupakan geometri

insidensi. Selain itu, dalam Definisi 2.3.3 dijelaskan mengenai fungsi jarak

yang berlaku dalam bidang Poincare. Oleh karena itu, bidang Poincare

(37)

Selanjutnya, akan diberikan lemma mengenai sistem koordinat.

Lemma 2.3.1 (Millman & Parker, 1991:31)

Misalkan l ℒ dan f ∶l→ ℝ fungsi surjektif dan memenuhi persamaan

(2.3.1). Maka f adalah fungsi bijektif dan karena itu merupakan sistem

koordinat untuk l.

Bukti :

Karena kita mengasumsikan � adalah surjektif, maka untuk membuktikan

� adalah fungsi bijektif, kita hanya perlu menunjukkan bahwa � adalah

injektif. Sekarang anggap bahwa � = �( ) .

Dari persamaan (2.3.1) kita dapat , = � − �( ) = 0,

sehingga menurut definisi fungsi jarak, P = Q. □

2.4 Keantaraan

Keantaraan merupakan konsep yang juga cukup penting. Ada

banyak cara yang digunakan untuk mendefinisikan konsep keantaraan.

Berikut ini akan diberikan postulat mengenai keantaraan secara aksiomatik

terlebih dahulu, kemudian secara metrik.

Definisi 2.4.1 (Prenowitz & Jordan, 1965 : 186)

Dalam pembahasan secara aksiomatik, notasi untuk keantaraan adalah

(a-b-c) dan dibaca sebagai b di antara a dan c. Relasi keantaraan memenuhi

sistem postulat berikut :

(38)

B2. (Sifat antisiklik) Jika (a-b-c) maka bukan (b-c-a)

B3. (Koherensi linear) a, b, c adalah titik-titik yang berbeda dan kolinear

jika dan hanya jika (a-b-c) atau (b-c-a) atau (c-a-b)

B4. (Sifat memisahkan) Misalkan sebuah titik P yang kolinear dan berbeda

dengan titik a, b, c. Maka, (a-p-b) mengakibatkan (b-p-c) atau (a-p-c) tapi

tidak keduanya.

B5. (Eksistensi) Jika a ≠ b, maka ada x, y, z sedemikian sehingga (x-a-b),

(a-y-b), (a-b-z). ∎

Postulat-postulat tersebut cukup mudah dimengerti. Postulat B1

mengatakan bahwa jika titik b berada di antara a dan c, maka titik b juga

berada di antara c dan a. Dari potulat pertama ini kita dapat menarik

kesimpulan bahwa relasi keantaraan ini bersifat simetri . Yang terpenting

adalah posisi titik yang terletak ditengah. Postulat B2 ingin mengatakan

bahwa permutasi siklik tidak berlaku dalam keantaraan. Jika b berada di

antara a dan c, maka pernyataan bahwa c berada di antara a dan b adalah

salah. Postulat B3 berupa biimplikasi sehingga dapat diartikan menjadi 2

implikasi, yaitu :

B3.1 Jika (a-b-c) maka a, b, dan c adalah tiga titik berbeda dan kolinear.

B3.2 Jika a, b dan c adalah tiga titik yang berbeda dan kolinear maka

(a-b-c), atau (b-c-a) atau (c-a-b)

Postulat B4 mengatakan jika sebuah titik P memisahkan a dari b, maka

(39)

Postulat B5 berbicara mengenai eksistensi 3 buah titik sedemikian

sehingga jika titik a tidak sama dengan b , maka

i) ada sebuah titik yang memisahkan titik a dan b.

ii) ada sebuah titik yang dipisahkan dari b oleh titik a, artinya titik a

terletak di antara titik b dan titik lain.

iii) ada sebuah titik yang dipisahkan dari a oleh b, artinya, titik b

terletak di antara titik a dan titik lainnya.

Selanjutnya, akan diberikan definisi keantaraan dengan pendekatan metrik.

Definisi 2.4.2 (Millman & Parker, 1991:47):

B di antara A dan C, jika A, B, C adalah 3 titik berbeda yang kolinear

dalam geometri metrik { S ,, d } , dan jika d , + , =

( , )

Dalam geometri metrik, B di antara A dan C dinotasikan sebagai A-B-C.

Dan jarak , dinotasikan sebagai AB.

Yang perlu diperhatikan dari Definisi 2.4.2 adalah ketiga titik harus

kolinear atau segaris. Jika tidak segaris, maka tidak bisa memenuhi konsep

keantaraan. Selanjutnya, ketiga titik yang segaris tersebut harus memenuhi

+ = agar bisa memenuhi Definisi 2.4.2. Jika kedua syarat

tersebut terpenuhi, maka titik B dapat dikatakan terletak diantara titik A

dan C.

(40)

Contoh 2.4.1 :

Misalkan 2,0 , 2,5 , (2,6) adalah titik-titik dalam geometri

Euclides. Untuk membuktikan bahwa ketiga titik tersebut kolinear, kita

perlu mencari garis yang melewati titik A dan B, kemudian kita cek

apakah garis tersebut juga melewati titik C. Jika iya, maka ketiga titik

tersebut kolinear, tetapi jika tidak maka ketiga titik tersebut tidak kolinear.

Garis yang melewati titik A dan B adalah garis = 2. Ternyata garis

tersebut juga melewati titik C. Oleh karena itu ketiga titik tersebut

merupakan titik-titik yang kolinear.

Sekarang kita perlu mencari jarak tiap 2 titik.

= (2−2)2+ (50)2 = 5

= (2−2)2+ (60)2 = 6

= (2−2)2+ (65)2 = 1

+ = 5 + 1 = 6 = .

Dari perhitungan di atas terlihat bahwa + = . Maka, titik B

terletak di antara A dan C.

Teorema 2.4.1 (Millman & Parker, 1991:49):

Jika A-B-C maka C-B-A.

Bukti :

Jika A, B, dan C adalah 3 titik yang berbeda dan kolinear, maka begitu

(41)

= AC. Karena PQ = QP untuk semua P dan Q, kita mempunyai BA +CB =

CA atau CB +BA = CA yang menunjukkan bahwa C-B-A. □

Untuk lebih memahami Teorema 2.4.1, perhatikan gambar berikut :

Gambar 2.9 menunjukkan titik B di antara A dan C. Gambar 2.10

menunjukkan titik B di antara A dan C.

Melihat dari kedua gambar di atas dan isi Teorema 2.4.1 , kita dapat

menyimpulkan bahwa yang konsep yang paling penting dalam keantaraan

bukanlah posisinya, tetapi jaraknya.

Selanjutnya, akan dibahas mengenai konsep keantaraan dalam bilangan

real.

Definisi 2.4.3 (Bartle & Sherbert, 1927:44)

Untuk setiap x dan y adalah sembarang bilangan real dengan x < y,

terdapat sebuah bilangan real r, sedemikian sehingga x < r < y

x < r < y berarti x < r dan r < y.

Untuk lebih memahami Definsi 2.4.3, perhatikan contoh berikut :

A

B

C

Gambar 2.9 A-B-C

C

B

A

(42)

Contoh 2.4.2 :

Misalkan ada 2 bilangan real, yaitu 3 dan 8. Karena 3 < 8, maka kita bisa

mencari suatu bilangan real yang terletak di antara 3 dan 8, misalnya 5,

sedemikian sehingga 3 < 5 <8 terpenuhi.

Selanjutnya, akan dibahas Teorema 2.4.2, Teorema ini ada sebagai bentuk

gabungan dari Definisi 2.4.1 dan Definisi 2.4.2. Teorema ini

menggabungkan konsep keantaraan dalam titik dengan konsep keantaraan

bilangan.

Teorema 2.4.2 (Millman & Parker, 1991:49)

Anggap l adalah sebuah garis dan f sebuah sistem koordinat untuk . Jika

A, B, dan C adalah 3 titik pada garis l dengan koordinat x, y, z , maka

A-B-C jika dan hanya jika x < y < z.

Bukti :

Perhatikan, jika A,B, dan C adalah titik yang sama, maka A-B-C dan x < y

< z, keduanya jelas salah. Karena itu, kita mengasumsikan bahwa A,B, dan

C adalah tiga titik yang berbeda.

Pertama, kita akan membuktikan jika A-B-C maka x < y < z.

Diketahui bahwa x = f(A), y=f(B) , z=f(C), dan AB + BC = AC. Maka

menurut definisi fungsi jarak,

AB = � − �( ) = − BC = − AC = −

(43)

Kita harus menunjukkan bahwa persamaan tersebut mengakibatkan x < y

< z atau z < y < x.

Karena A,B,C adalah 3 titik yang berbeda, maka hanya satu kondisi untuk

x,y,z yang tepat dari antara berbagai kemungkinan berikut :

(i) x < y < z

(ii) z < y < x

(iii) y < x < z

(iv) z < x < y

(v)x < z < y

(vi)y < z < x

Kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus (iii) akan terjadi kontradiksi.

Kasus (iii) mengakibatkan

− = − − = − − = −

Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1),

maka

− + − = −

=

Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda.

Karena itu, kasus (iii) tidak memenuhi.

Kasus (iv) mengakibatkan

− = − − = − − = −

Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1),

maka

− + − = −

=

(44)

Karena itu, kasus (iv) tidak memenuhi.

Kasus (v) mengakibatkan

− = − − = − − = −

Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1),

maka

− + − = −

=

Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda.

Karena itu, kasus (v) tidak memenuhi.

Kasus (vi) mengakibatkan

− = − − = − − = −

Jika kita memasukkan persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.4.1),

maka

− + − = −

=

Hal ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa x,y,z adalah berbeda.

Karena itu, kasus (vi) tidak memenuhi.

Jadi yang memungkinkan hanyalah kasus (i) atau kasus (ii), sehingga

terbukti bahwa x < y < z.

Sekarang kita akan menunjukkan jika x < y < z maka A-B-C.

Anggap x<y<z (untuk kasus z<y<x sama saja). Dalam kasus ini

− = − − = − − = −

(45)

atau � − �( ) + �( )− �( ) = �( )− �( )

atau AB + BC = AC.

Jadi, A,B,C adalah tiga titik yang kolinear dan berbeda, serta A-B-C. □

2.5 Segmen, Sinar Garis, Sudut, Segitiga

Segmen garis, dan sinar garis, merupakan konsep yang penting

dalam geometri. Konsep segmen garis ini sangat berperan dalam konsep

segitiga. Sedangkan konsep sinar garis akan berperan dalam konsep sudut.

Berikut ini akan dibahas mengenai konsep segmen garis.

Definisi 2.5.1(Millman & Parker, 1991:52)

Jika A dan B adalah titik berbeda dalam geometri metrik { S ,, d } maka

segmen garis dari A ke B adalah himpunan

= S | − − = =

Definisi 2.5.1 berbicara mengenai segmen garis. Segmen garis ini mulai

dikenal dalam sistem geometri metrik. Segmen garis merupakan kumpulan

titik-titik yang terletak di antara dua titik tertentu. Dua titik tertentu

tersebut adalah ujung-ujung dari segmen garis. Segmen garis dinotasikan

dengan , dimana titik A dan B adalah kedua titik ujung dari segmen

garis.

Definisi 2.5.2 (Millman & Parker, 1991:54)

Titik akhir dari segmen AB adalah A dan B. Panjang segmen AB adalah

(46)

Definisi 2.5.2 mengatakan bahwa titik akhir atau titik ujung dari segmen

adalah dua buah titik A dan B. Selain itu, panjang segmen garis

tersebut adalah jarak dari kedua titik ujungnya.

Untuk lebih memahami Definisi 2.5.1, perhatikan gambar berikut :

Gambar 2.11 mengilustrasikan segmen garis dalam bidang Kartesius.

Sedangkan Gambar 2.12 mengilustrasikan segmen garis dalam bidang

Poincare.

Definisi 2.5.3 (Wallace &West, 1992:67)

Dua segmen garis AB dan CD dikatakan kongruen (AB CD) jika dan

hanya jika panjang kedua segmen garis tersebut sama ( = ) ∎

Untuk lebih memahami Definisi 2.5.3, perhatikan contoh berikut :

Contoh 2.5.1 :

Misalkan ada 3 segmen garis , dan , dimana 1, 1 , 1,3 ,

(1, 5). Dari 2 segmen tersebut, kita akan mencari dua segmen yang

saling kongruen. Pertama-tama kita harus mencari panjang tiap segmen

garis.

Gambar 2.12 Gambar 2.11

A

B

(47)

Jika ketiga titik tersebut berada pada bidang Euclid, maka jarak tiap

segmen adalah :

= (1−1)2+ (13)2 = 2

= (1−1)2+ (15)2 = 4

= (1−1)2+ (35)2 = 2

Karena = , maka .

Sekarang, jika ketiga titik tersebut berada pada bidang Poincare. Maka,

jarak tiap segmen adalah :

= 3

1 = ln 3

= 5

1 = ln 5

= 5

3 = ln 5 3

Karena ≠ ≠ , maka menurut Poincare, ketiga segmen garis

tersebut tidak ada yang saling kongruen.

Selanjutnya akan dibahas mengenai sinar garis.

Definisi 2.5.4 (Millman & Parker, 1991:54)

Jika A dan B adalah 2 titik yang berbeda dalam geometri metrik {S ,, d}

maka sinar garis dari A melewati B adalah himpunan

= S | − − ∎

Perlu diingat bahwa sinar garis merupakan himpunan bagian dari garis

(48)

hingga titik B terletak di antara titik A dan titik tersebut. Sinar garis

hanya memiliki 1 ujung yaitu titik A, sedangkan ujung yang lain

terletak di tak hingga. Oleh karena itu, titik A disebut juga sebagai titik

asal sinar seperti disebutkan dalam Definisi 2.5.5 berikut :

Definisi 2.5.5 (Millman & Parker, 1991:55)

Titik asal dari sinar garis AB adalah titik A.

Untuk lebih memahami mengenai sinar garis,perhatikan gambar berikut :

Gambar 2.13 mengilustrasikan sinar garis dalam bidang Euclid.

Sedangkan Gambar 2.14 mengilustrasikan sinar garis dalam bidang

Poincare.

Setelah memahami mengenai sinar garis, sekarang kita akan membahas

mengenai sudut.

A B

A

B

(49)

Definisi 2.5.6 (Millman & Parker, 1991:59)

Jika A, B, dan C adalah titik-titik yang tidak segaris dalam geometri

metrik, maka sudut ∠ABCadalah himpunan

∠ = .

Definisi 2.5.7 (Millman & Parker, 1991:61)

Titik sudut dari sudut ∠ABC dalam geometri metrik adalah titik B.

Definisi 2.5.6 mengatakan bahwa sudut merupakan gabungan dari dua

buah sinar garis yang mempunyai titik asal yang sama. Titik asal inilah

yang kemudian disebut sebagai titik sudut, seperti didefinisikan pada

Definisi 2.5.7.

Untuk lebih memahami mengenai sudut, perhatikan gambar berikut :

Gambar 2.15 mengilustrasikan ∠ dalam bidang Euclid. Sedangkan

Gambar 2.16 mengilustrasikan ∠ dalam bidang Poincare. Dari kedua

gambar sudut di atas, titik B merupakan titik sudutnya.

Gambar 2.16 Gambar 2.15

C

B

A

B

(50)

Definisi 2.5.8 (Wallace &West, 1992:67)

Dua sudut (∠ ∠ ) dikatakan kongruen (∠ ∠ )

jika dan hanya jika ukuran sudut keduanya sama besar ∠ =

∠ . ∎

Setelah membahas mengenai sudut, selanjutnya kita akan membahas

mengenai segitiga.

Definisi 2.5.8 (Millman & Parker, 1991:61)

Jika A, B, C merupakan himpunan titik-titik yang tidak segaris dalam

geometri metrik, maka segitiga ABC adalah himpunan

∆ = .

Definisi 2.5.9 (Millman & Parker, 1991:62)

Dalam geometri metrik, titik-titik sudut dari ∆ABC adalah titik A, B, dan

C. Sisi-sisi (atau rusuk) dari ∆ABC adalah AB , BC dan CA .

Definisi 2.5.8 mengatakan bahwa segitiga merupakan gabungan dari 3

segmen garis yang berbeda. Ketiga segmen garis tersebut kemudian

disebut sebagai sisi atau rusuk dari segitiga.

(51)

Gambar 2.17 mengilustrasikan segitiga dalam bidang Euclid. Sedangkan

Gambar 2.18 mengilustrasikan segitiga dalam bidang Poincare.

Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa terdapat tiga segmen garis yaitu

, dan , ketiga segmen garis tersebut merupakan sisi dari

segitiga . Sedangkan titik sudut dari segitiga , adalah titik A, B

dan C.

2.6 Aksioma Pembagian Bidang

Aksioma Pembagian Bidang (Plane Separation Axiom ) ,

merupakan ide yang sangat intuitif bahwa setiap garis mempunyai “dua

sisi” yang dibatasi oleh garis itu sendiri.

Sebelum kita membahas mengenai Aksioma Pembagian Bidang, kita perlu

memahami dulu mengenai konsep konveks dalam sebuah bidang, seperti

dibahas pada Definisi 2.6.1 berikut :

Definisi 2.6.1 (Millman & Parker, 1991:63)

Misalkan { S ,, d } adalah geometri metrik dan S 1 ⊂ S dikatakan

konveks jika untuk setiap dua titik P, Q S 1, terdapat segmen garis

PQ

S 1.

Gambar 2.18 Gambar 2.17

B

B

(52)

Definisi 2.6.1 mengatakan agar suatu bidang disebut konveks, maka untuk

setiap dua titik dalam bidang tersebut (misal titik P dan Q), terdapat

segmen garis yang semua anggotanya juga terletak pada bidang

tersebut. Jadi tidak hanya sebagian dari segmen garis yang terletak

dalam bidang, melainkan harus seluruh segmen garis .

Setelah memahami mengenai konsep konveks, sekarang mari kita

membahas mengenai konsep Aksioma Pembagian Bidang (APB).

Definisi 2.6.2 (Millman & Parker, 1991:64)

Sebuah geometri metrik { S ,, d } memenuhi Aksioma Pembagian

Bidang jika untuk setiap l ℒ terdapat dua himpunan bagian H1 dan H2

dari S (selanjutnya disebut bidang paruh yang dibentuk oleh l ) sehingga:

1. S = 1 �2

2. �1 dan �2 saling lepas dan konveks

3. Jika �1 dan �2 maka ≠ ∅

Untuk lebih memahami mengenai konsep Aksioma Pembagian Bidang,

perhatikan gambar berikut :

Gambar 2.19

�2 �1

�2 �1

(53)

Gambar 2.19 menggambarkan konsep Aksioma Pembagian bidang dalam

bidang Euclid. Sedangkan Gambar 2.20 menggambarkan konsep APB

dalam bidang Poincare. Terlihat dari kedua gambar di atas bahwa garis

memisahkan bidang menjadi dua buah bagian. Bagian pertama disebut �1

dan bagian kedua disebut sebagai �2.

Sekarang akan diberikan definisi mengenai cara menyebut 2 titik yang

terletak pada salah satu atau kedua buah sisi �1 dan �2.

Definisi 2.6.3 (Millman & Parker, 1991:66)

Misalkan { S ,, d } adalah geometri metrik yang memenuhi APB,

ℒ, H1 dan H2 adalah bidang paruh yang dibentuk oleh . Dua titik A

dan B dikatakan berada pada sisi yang sama terhadap jika keduanya

berada pada di H1 atau H2. Dan dikatakan berada pada sisi yang

berlawanan terhadap jika salah satu titik berada di H1 dan titik yang lain

berada di H2. Jika A H1 , kita katakan H1 adalah sisi dari yang

mengandung A.

Untuk lebih memahami mengenai Definisi 2.6.3, perhatikan gambar

berikut :

A B

B A

(54)

Gambar 2.21 mengilustrasikan titik A dan titik B yang terletak pada sisi

yang saling berlawanan terhadap garis , dalam bidang Euclid.

Gambar 2.22 mengilustrasikan titik A dan titik B yang terletak pada sisi

yang sama terhadap garis , dalam bidang Poincare.

2.7 Geometri Pash

Sekarang kita akan membahas mengenai sistem geometri baru

yaitu geometri Pash. Geometri Pash ini merupakan sistem geometri yang

memenuhi Postulat Pash. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai

geometri Pash, terlebih dahulu akan diberikan definisi mengenai Postulat

Pash.

Definisi 2.7.1 (Millman & Parker, 1991:75)

Geometri metrik dikatakan memenuhi Postulat Pash (PP) jika untuk

sembarang garis , sembarang segitiga ABC dan sembarang titik D

sedemikian sehingga A – D – B, maka ≠ ∅ atau ≠ ∅ .

Untuk lebih memahami Definisi 2.7.1, perhatikan gambar berikut :

A

D C

B

(55)

Gambar 2.23 menunjukkan sebuah segitiga ABC, dimana terdapat titik

, sedemikian sehingga untuk sembarang garis yang melewati D,

maka garis tersebut akan memotong segmen garis atau .

Berikut ini akan diberikan Teorema mengenai hubungan antara Postulat

Pash dengan Aksioma Pembagian Bidang, yang sudah dibahas pada bagian

2.6.

Teorema 2.7.1 (Millman & Parker, 1991:75)

(Teorema Pash) Jika geometri metrik memenuhi APB, maka juga

memenuhi PP.

Bukti :

Diketahui ∆ dan sembarang garis . Asumsikan ada sebuah titik

dengan − − . Kita akan menunjukkan bahwa ≠ ∅ atau

≠ ∅. Perhatikan Gambar 2.23.

Sekarang andaikan =∅. Kita akan menunjukkan bahwa

≠ ∅.

≠ karena . Jadi A dan B tidak berada pada garis dan

berada pada sisi yang saling berlawanan dari garis karena =

≠ ∅. A dan C terletak pada sisi yang sama dari garis karena

= ∅. Oleh karena itu, B dan C berada pada sisi yang saling berlawanan

dari garis sehingga ≠ ∅.

(56)

Teorema 2.7.1 mengatakan jika geometri metrik memenuhi Aksioma

Pembagian Bidang, maka geometri tersebut pasti memenuhi Postulat Pash.

Dari Definisi 2.7.1 dan Teorema 2.7.1, kita dapat merumuskan sebuah

sistem geometri baru yang merupakan himpunan bagian dari geometri

metrik dan memenuhi Aksioma Pembagian Bidang. Sistem geometri

tersebut selanjutnya dinamakan Geometri Pash, seperti didefinisikan pada

Definisi 2.7.2 berikut.

Definisi 2.7.2 (Millman & Parker, 1991:76)

Geometri Pash adalah geometri metrik yang memenuhi APB.

Definisi 2.7.2 mendefinisikan sistem geometri Pash, yaitu geometri Metrik

yang memenuhi APB.

Selanjutnya, akan dibahas mengenai interior dari segmen garis, sinar garis,

dan sudut. Konsep interior ini akan berperan penting dalam pembahasan

Teorema Crossbar.

Definisi 2.7.3 (Millman & Parker, 1991:82)

Interior dari sinar garis AB dalam geometri metrik adalah himpunan

int AB = AB − A .

Interior dari segmen garis AB dalam geometri metrik adalah himpunan

(57)

Definisi 2.7.3 mengatakan bahwa interior dari sebuah sinar garis adalah

himpunan titik-titik yang menyusun sinar garis tersebut, kecuali titik asal

nya. Sedangkan interior dari sebuah segmen garis adalah himpunan

titik-titik yang menyusun segmen garis tersebut, kecuali dua titik-titik ujungnya.

Definisi 2.7.4 (Millman & Parker, 1991:83)

Interior ∠ABC (ditulis int(∠ABC) adalah perpotongan sisi AB yang

memuat C dengan sisi BC yang memuat A.

Untuk lebih memahami mengenai interior sebuah sudut, perhatikan

gambar berikut :

Gambar 2.24 merupakan ilustrasi Definisi 2.7.4. Gambar tersebut

menunjukkan interior dari ∠ , yaitu bagian yang diarsir. Bagian yang

diarsir tersebut merupakan irisan antara sisi AB yang memuat C dengan

sisi BC yang memuat A.

Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Teorema Crossbar. Ide dari

Teorema Crossbar ini sebenarnya hampir mirip dengan Postulat Pash.

A

C B

(58)

Teorema 2.7.2 (Millman & Parker, 1991:84)

(Teorema Crossbar) Dalam geometri Pash, jika P int(∠ABC) maka BP

memotong AC di sebuah titik F dengan A – F – C .

Agar lebih memahami Teorema Crossbar, perhatikan gambar berikut :

Bukti :

Kita andaikan pernyataan tersebut salah maka memotong disebuah

tititk dengan − − atau − − .

Sebelumnya perlu diingat bahwa � (∠ ) . Artinya, dan

terletak pada sisi yang sama dari demikian juga dan terletak pada

sisi yang sama dari .

Kita andaikan memotong di dan − − , sehingga dan

terletak pada sisi yang sama dari . Akibatnya, dan terletak pada sisi

yang saling berlawanan terhadap garis atau dengan kata lain,

� (∠ ). Hal ini kontradiksi dengan kenyataan bahwa � (∠ )

Sekarang kita andaikan memotong di dan − − , sehingga

dan terletak pada sisi yang sama dari . Akibatnya, dan terletak

pada sisi yang saling berlawanan terhadap garis atau dengan kata lain,

C

Gambar 2.25 Ilustrasi Teorema Crossbar

A

F

B

(59)

� (∠ ). Hal ini kontradiksi dengan kenyataan bahwa

� (∠ ).

Jadi, pengandaian salah dan yang benar adalah memotong di

sebuah titik F dengan A – F – C

Gambar 2.25 mengilustrasikan Teorema Crossbar. Teorema ini

mengatakan, untuk sembarang titik P � (∠ ), maka sinar garis

kan memotong segmen garis pada sebuah titik F, dimana F terletak di

antara A dan C. Atau dengan kata lain, titik F .

2.8 Geometri Protraktor

Setelah kita membahas mengenai Geometri Pash, sekarang kita

akan membahas mengenai sistem geometri lain yang bernama Geometri

Protraktor. Geometri Protraktor ini merupakan himpunan bagian dari

Geometri Pash. Geometri Protraktor adalah Geometri Pash yang

mempunyai ukuran sudut. Sebelum kita membahas Geometri Protraktor,

terlebih dahulu akan diberikan definisi mengenai ukuran sudut.

Definisi 2.8.1 (Millman & Parker, 1991:90)

Misalkan r0 bilangan real positif. Dalam geometri Pash, ukuran sudut

(atau Protraktor) adalah fungsi m dari himpunan sudut-sudut � ke

himpunan bilangan real sedemikian sehingga berlaku

(60)

2. Jika BC pada rusuk dari bidang paruh H1 dan θ bilangan real positif

dengan 0 < θ< r0 maka terdapat sinar garis tunggal BA dengan A H1

dan m ∠ABC =θ

3. Jika D int(∠ABC) maka m ∠ABD + m ∠DBC = m ∠ABC .

Definisi 2.8.1 membahas mengenai ukuran sudut dalam Geometri Pash.

Aksioma pertama mengatakan bahwa ukuran suatu sudut berada dalam

suatu rentang tertentu. Nilai minimalnya adalah 0, sedangkan nilai

maksimalnya adalah suatu bilangan real positif tertentu.

Aksioma kedua berbicara mengenai konstruksi sudut. Jika terletak

pada rusuk bidang paruh �1 (artinya, sinar garis terletak pada garis

yang memisahkan bidang �1 dan �2), maka terdapat sinar garis tunggal

dengan �1, dan besar sudut yang terbentuk antara dua sinar garis

tersebut adalah bilangan real positif tertentu. Untuk lebih memahami

aksioma 2 pada Definisi 2.8.1, perhatikan Gambar 2.26.

Aksioma ketiga berbicara tentang penjumlahan sudut. Jika ada dua buah

sudut yang memiliki satu sinar garis yang sama, maka kedua sudut tersebut

dapat membentuk sebuah sudut baru yang ukurannya merupakan jumlahan

dari ukuran dua sudut tersebut. Untuk lebih memahaminya, perhatikan

(61)

Gambar 2.26 mengilustrasikan aksioma kedua dari Definisi 2.8.1.

Sedangkan Gambar 2.27 mengilustrasikan aksioma ketiga dari Definisi

2.8.1.

Setelah membahas mengenai ukuran sudut, sekarang kita akan membahas

mengenai Geometri Protraktor.

Definisi 2.8.2 (Millman & Parker, 1991:91)

Geometri protraktor { S ,, d, m } adalah geometri Pash { S ,, d }

dengan ukuran sudut m.

Definisi 2.8.2 berbicara mengenai definisi Geometri Protraktor, yaitu

Geometri Pash dengan ukuran sudut .

Definisi 2.8.3 (Millman & Parker, 1991:108)

Dalam geometri protraktor { S ,, d, m } dua sudut ∠ABC dan ∠DEF

dikatakan kongruen (∠ABC ∠DEF) jika m(∠ABC) = m(∠DEF).

Definisi 2.8.3 berbicara mengenai 2 sudut yang kongruen. Dua sudut

dikatakan kongruen jika ukuran ke dua sudut tersebut sama. Konsep

kekongruenan sudut ini penting untuk membahas Teorema konstruksi

(62)

Selanjutnya, akan dibahas mengenai konsep ukuran sudut dalam bidang

Euclides dan bidang Poincare.

Definisi 2.8.3 (Millman & Parker, 1991:93)

Pada bidang Euclid, ukuran sudut Euclid ∠ABC adalah

∠ = −1 − . − − , − ∎

Untuk ukuran sudut dalam bidang Poincare, kita menggunakan bantuan

tangen Euclid. Berikut akan diberikan definisi mengenai tangen Euclid,

pada garis dalam bidang Poincare.

Definisi 2.8.4 (Millman & Parker, 1991:94)

Jika BA adalah sinar garis pada bidang Poincare dengan A = xA, yA dan

B = xB, yB maka tangen Euclid untuk BA di B adalah :

TBA =

0, yA−yB , jika AB adalah garis tipe I, aL yB, c−xB , jika AB adalah garis tipe II, cLr, xB < xA − yB, c−xB , jika AB adalah garis tipe II, cLr, xB > xA

Tangen sinar garis Euclid untuk BA adalah sinar garis Euclid BA′ dengan

A′ = B + TBA. ∎

Definisi 2.8.5 (Millman & Parker, 1991:95)

Ukuran sudut Poincare ∠ABC dalam ℍ adalah

mH ∠ABC = mE ∠A′BC′ = cos−1 TTBA,TBC

BA . TBC

dengan A‟= B + TBA dan C‟ = B + TBC dan mE ∠A′BC′ adalah ukuran

(63)

Gambar 2.28 merupakan ilustrasi dari sudut dalam bidang Poincare.

Selanjutnya, akan diberikan Teorema mengenai konstruksi sudut.

Teorema 2.8.1 (Millman & Parker, 1991:108)

(Teorema Konstruksi Sudut ) Dalam geometri Protraktor, jika ada ∠ABC

dan sebuah sinar garis ED yang terletak di tepi bidang paruh H1, maka ada

sebuah sinar garis EF dengan F H1, dan ∠ABC ∠DEF.

Bukti :

Kita andaikan pernyataan tersebut salah maka untuk setiap sinar garis ,

∠ ∠ .

Misalkan ∠ =� maka menurut Definisi 2.8.1, terdapat sebuah

sinar garis sehingga ∠ = �. Akibatnya, ∠ =

∠ =� sehingga ∠ ∠ . Hal ini kontradiksi dengan

pernyataan bahwa ∠ ∠ . Oleh karena itu, pengandaian salah.

Jadi terbukti bahwa terdapat sebuah sinar garis dengan �1, dan

∠ ∠

Gambar 2. 28

B

A’

(64)

Atau, kita misalkan ∠ =�. Dengan menggunakan Definisi 2.8.1,

Teorema ini langsung terbukti . □

Teorema 2.8.1 membahas mengenai Teorema konstruksi sudut. Teorema

ini mirip dengan definisi ukuran sudut pada Definisi 2.8.1, hanya saja

ukuran sudut yang terbentuk bukan bilangan bilangan real tertentu, tetapi

harus kongruen dengan sudut tertentu.

Untuk lebih memahami Teorema 2.8.1, perhatikan gambar berikut :

Selanjutnya, akan diberikan Teorema-Teorema mengenai penjumlahan

sudut dan pengurangan sudut.

Teorema 2.8.2 (Millman & Parker, 1991:108)

(Teorema Penjumlahan Sudut ) Dalam geometri Protraktor, jika D

int (∠ABC), S int (∠PQR), ∠ABD ∠PQS, dan ∠DBC ∠SQR, maka

∠ABC ∠PQR.

Bukti :

Menurut aksioma ketiga dari definisi sudut, jika D int(∠ABC) maka

m ∠ABD + m ∠DBC = m ∠ABC .

Sehingga, jika S int(∠PQR) maka

A

C

B

F

D

E

(65)

m ∠PQS + m ∠SQR = m ∠PQR .

Dari kedua persamaan di atas terlihat jelas jika ∠ ∠ dan

∠ ∠ maka ∠ ∠ .

Teorema 2.8.2 berbicara mengenai penjumlahan dua sudut. Untuk lebih

jelasnya, perhatikan Gambar 2.30.

Teorema 2.8.3 (Millman & Parker, 1991:108)

(Teorema Pengurangan Sudut ) Dalam geometri Protraktor, jika D

int (∠ABC), S int (∠PQR), ∠ABD ∠PQS, dan ∠ABC ∠PQR maka

∠DBC ∠SQR.

Bukti dari Teorema ini mengikuti bukti dari Teorema 2.8.2.

Teorema ini merupakan kebalikan dari Teorema 2.8.2. Teorema 2.8.3 ini

berbicara mengenai pengurangan sudut. Untuk lebih memahaminya,

perhatikan Gambar 2.30.

Gambar 2.30 merupakan ilustrasi Teorema 2.8.2 dan Teorema 2.8.3.

Selanjutnya, akan diberikan Akibat mengenai garis pembagi dua tegak

lurus.

+

S

P R

Q

+

D

A C

B

(66)

Akibat 2.8.4 (Millman & Parker, 1991:107)

Dalam geometri Protraktor, setiap segmen garis AB mempunyai tepat satu

pembagi dua tegak lurus, yaitu sebuah garis ⊥AB dengan AB = M ,

dimana M adalah titik tengah dari segmen garis AB .

Akibat 2.8.4 mengatakan bahwa setiap segmen garis mempunyai tepat

sebuah garis yang tegak lurus dengan segmen terssebut dan membagi dua

segmen sama besar.

2.9 Geometri Netral

Geometri Netral merupakan geometri yang banyak berbicara

mengenai kongruensi segitiga. Konsep kongruensi segitiga ini cukup

penting dan sangat banyak digunakan saat membahas mengenai Geometri

Netral.

Definisi 2.9.1 (Millman & Parker, 1991:125)

Misalkan ∆ABC dan ∆DEF adalah dua segitiga dalam geometri protraktor

dan fungsi f: A, B, C → D, E, F adalah fungsi bijektif antara titik-titik

pada segitiga tersebut. Fungsi f dikatakan sebuah kongruensi jika

memenuhi :

� � ( ) � � ( ) � � ( )

Referensi

Dokumen terkait

Pemusnahan arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar. • Pemusnahan arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu data yang terkumpul disusun sedemikian rupa, dijelaskan dan dianalisa secara sistematis dari data yang sudah didapat

Adapun di Indonesia pengakuan transaksi jual beli online diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 18 ayat (1)

Rajah 25 ialah graf yang menunjukkan hubungan antara beza keupayaan dengan arus bagi empat konduktor yang berlainan jenis J,K,L dan M.. In the following circuits, all the

Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus

Bank dalam melaksanakan setiap kegiatannya, akan terlihat adanya dua sisi tanggungjawab, yaitu tanggungjawab yang terletak pada bank itu sendiri dan tanggungjawab

Ambil spekulum dengan tangan kanan, masukkan ujung telunjuk kiri pada introitus (agar terbuka), masukkan ujung spekulum dengan arah sejajar introitus (yakinkan

Kalimat yang tepat untuk melengkapi paragraf tersebut adalah .... Pelan-pelan air mata meluncur