• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN ORIENTALISME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN ORIENTALISME"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN ORIENTALISME Priliansyah Ma’ruf Nur

SMA Negeri 1 Banjarnegara

Abstract: Islam which was spread by the Prophet Muhammad SAW in the 7th century in Arab lands has spread now throughout the world. This religion is known by Western scholars (Orientalists) as Eastern religions (Orient). In its progress, Islam became a new force in the world political arena which was feared by people in the West. Starting from the expansion carried out by the Umayyad Dynasty, the Abbasid Dynasty, and culminating in the tragedy of the Crusades. These sentiments became the negative views of Westerners who did not like the presence of Islam. They tend to judge Islam as a religion of war, irrational, anti-world, anti-progress, sexual religion, wasteful religion, and so on. However, in its history the Orientalists studied Islam through several periods, namely the Pre-Crusade period, the Crusades, the Enlightenment until the 19th century, and in the 20th century who had begun objectively in studying Islam as a religion of salvation, a religion that was peace, and pro progress.

Keywords: Islam, Orientalism

Abstrak: Agama Islam yang telah disebarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW pada abad ke-7 di tanah Arab kini telah menyebar ke seluruh dunia.

Agama ini dikenal oleh sarjana Barat (Orientalis) sebagai agama Timur (Orient).

Dalam perkembangannya Islam menjadi kekuatan baru di kancah politik dunia yang ditakuti oleh orang-orang di Barat. Mulai dari ekspansi yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan puncaknya pada tragedi Perang Salib. Sentimen-sentimen inilah yang menjadi pandangan-pandangan negatif orang-orang Barat yang tidak suka dengan kehadiran Islam. Mereka cenderung menilai Islam sebagai agama perang, irasional, anti dunia, anti kemajuan, agama seksual, agama pemborosan, dan lain sebagainya. Namun, dalam sejarahnya para orientalis mengkaji Islam melalui beberapa periode, yakni masa Pra Perang Salib, masa Perang Salib, masa Pencerahan sampai abad ke-19, dan pada masa abad ke-20 yang sudah mulai obyektif dalam mempelajari Islam sebagai agama keselamatan, agama yang damai, dan pro kemajuan.

Kata kunci: Islam, Orientalis

(2)

A. Latar Belakang Masalah

Ketertarikan sarjana sarjana non muslim terhadap dunia Timur pada umumnya dan Islam pada khususnya sudah muncul sejak abad ke 3 H/ke 9M Setiawan, Syamsuddin, dkk (2007). Ketertarikan ini bukan tanpa sebab, Motivasi utama munculnya upaya ini adalah ‘kekaguman’ Barat akan Islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke- 7 Masehi telah mendominasi dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari berbagai aspek yang dicapainya. Pada perkembangannya motivasi ini mulai berubah dari rasa keingintahuan menjadi keinginan untuk menguasai, yang menjadi kepentingan imperialisme negara-negara besar Eropa seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Italia dan Prancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang menjadi jajahannya.

Selanjutnya pada makalah ini akan dipaparkan beberapa hal mengenai orientalisme dan contoh pandangan orientalis mengenai Islam yang berfokus pada pendapat Max Weber. Ia adalah seorang tokoh orientalis kelahiran Jerman. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur (Wikipedia, 2017).

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalahnya yaitu: 1) Apa pengertian orientalisme? 2) Bagaimana sejarah perkembangan orientalisme? 3) Bagaimana pandangan para orientalis dalam mengkaji Islam? 4) Bagaimana kritik terhadap pandangan para orientalis?

B. Pembahasan

1. Pengertian Orientalisme

Hasan Abdul dan Ghiroh Abdurahman (2008) menjelaskan bahwa kata orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi atau penelitian yang dilakukan oleh selain orang Timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah, dan permasalahan permasalahan sosio kultural bangsa Timur.

Ada juga yang mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran. Orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur beserta lingkungannya.

Orientalisme merupakan suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (The Orient) dan Barat (The Occident) (Edward W. Said, 1985).

Quraish Shihab mengemukakan pendapatnya dalam artikel yang ditulis beliau

di Jurnal Ulumul Qur’an, orientalisme diambil dari kata “orient” yang berarti Timur.

(3)

Yaitu ilmu yang membahas tentang bahasa, budaya, termasuk agama dan kesusastraan masyarakat Timur. Menurut beliau orientalis ialah mereka yang mengkaji bahasa, seni, peradaban, dan seterusnya di bagian timur. Seorang orientalis tidak mutlak harus orang Barat, bahkan ada sekian banyak orang Timur yang melakukan studi tentang obyek tersebut.

Sementara itu A. Hanafi mendefenisikan, orientalis adalah segolongan sarjana- sarjana Barat yang mendalami bahasa bahasa dunia Timur dan kesusasterannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya (A. Hanafi, 1981).

Ada pula sebagian ahli yang berpendapat bahwa orientalis merupakan suatu studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat untuk mempelajari situasi Timur, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, agama, bahasa, etika, seni, tradisi, serta adat kebiasaanya. Sebagaimana bahwa orientalisme adalah suatu warna perang dingin yang dilancarkan oleh bangsa Eropa guna memperdaya Islam dan umatnya, yang dilakukan setelah mereka kalah dan gagal dalam perang salib yang dahsyat (Hasanain Batth, 2004).

2. Sejarah Perkembangan Orientalisme

Secara umum sejarah perkembangan orientalisme dibagi menjadi beberapa fase:

Masa Pra Perang Salib, Masa Perang Salib, dan Masa Pencerahan sampai abad ke 19, dan masa abad ke 20. Dengan mengetahui sejarah perkembangan ini akan lebih membantu dan memudahkan untuk menemukan akar persentuhan Barat dengan Timur.

a. Masa Pra Perang Salib

Hanafi (1981) menjelaskan bahwa Kontak Barat dengan Islam dimulai sejak masa Abbasiyah, yaitu melalui Andalusia dan Sycilia. Hubungan ini dimulai sejak masa kejayaan dunia timur, yaitu ketika dunia timur ini penuh dengan pusat-pusat ilmu pengetahuan, perpustakaan, dan buku buku berharga. Orang-orang barat pada waktu itu belajar pada ulama-ulama timur, pada filosofnya dan pada ahli matematikanya.

Banyak orang-orang Eropa yang mulai belajar tentang Arab dan Islam, sehingga bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum Perguruan Tinggi Eropa.

Sejak abad ke- X Masehi mereka berdatangan ke negeri tersebut untuk mengambil

ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin, berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik,

ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya untuk diterjemahkan ke

dalam bahasa latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Sehingga

pada waktu itu, negeri tersebut menjadi pusat kegiatan ilmiah di Eropa, baik berupa

kegiatan yang mempelajari atau kegiatan menerjemahkan. Orang yang pertama

(4)

mempunyai kegiatan tersebut adalah pemuka-pemuka agama Nasrani, dengan dibantu oleh orang orang Yahudi. Hal itulah yang menjadikan orang-orang Eropa tertarik untuk mempelajari kebudayaan Islam di Andalusia yang sangat akademik dan berperadaban. Ada beberapa peristiwa besar yang patut dicatat pada fase ini.

A. Muin Umar (1978) menjelaskan bahwa penguasa-penguasa negara pada waktu itu banyak memberikan perhatian terhadap penerjemahan ilmu-ilmu kaum muslimin dan kesusasteraannya ke dalam bahasa Latin. Di antaranya ialah Frederick II, raja Sicilia (1250 M), kemudian Alvonso (Raja Castille). Alvonso tersebut pernah mengumpulkan para penerjemah bahasa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Al Makmun dan ia memerintahkan menerjemahkan sebagian besar kitab-kitab Arab. Berita tersebut banyak tersebar di kalangan raja-raja Eropa, yang kemudian melakukan penerjemahan pula. Sejak saat itulah Eropa mulai melampaui masa belajar dan menunjukkan kemampuannya sendiri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Berdasarkan ilmu-ilmu lama itu, mereka mengolahnya dan membangun ilmu baru yang sampai sekarang masih mengalami perkembangan, dan ilmu baru itulah yang sekarang menjadi dasar kebudayaan barat sekarang. Selain itu, orang-orang Barat juga mempelajari bahasa dan sastra Arab, untuk tujuan agama, perniagaan, dan politik kolonialisme. Selain bahasa Arab mereka juga mempelajari bahasa Ibrani, Turki, dan Yunani.

b. Masa Perang Salib

Ahmad Salaby menjelaskan bahwa Kontak Barat dengan Timur kaitannya dengan Perang Salib telah dimulai semenjak era kepemimpinan Umar bin Khattab pada peristiwa perang Yarmuk dan Ajnadi yang puncaknya terjadi pada perang Salib tahun 1906 1291 M. Peperangan panjang yang berakhir dengan kekalahan di pihak Kristen. Pada kemenangan ini, Kekhalifahan Usmaniyah mampu menaklukkan Negara-negara di Eropa seperti Adrianopel (1366), Constantinopel (1453), dan Yerussalem hingga Balkan. Kekalahan perang Salib memunculkan semangat orang Eropa untuk mempelajari Islam dengan motif-motif tertentu.

Bibit kebencian yang berbuntut dendam itu dapat menemukan pintu gerbang pembalasan sejak Jengis Khan dan Hulagu Khan yang mampu menguasai beberapa daerah kekuasaan Islam. Kekalahan Islam dari bangsa Mongol ini membuka pintu gerbang yang seluas-luasnya bagi Barat untuk melakukan penetrasi ke berbagai Negara Islam.

Sebelum barat mendominasi pengetahuan, termasuk politik dan ekonomi. Dalam

catatatan sejarah, Islam telah menunjukkan supremasinya dalam bidang-bidang

tersebut. Bahkan, supremasi Islam tersebut dua kali lebih panjang waktunya daripada

supremasi barat pada waktu itu. namun menginjak abad ke- 18 kita menyadari

(5)

ilmu pengetahuan Barat yang sangat empiristis itu menampakkan keberhasilannya hingga dapat memadamkan dominasi dan supremasi pengetahuan Islam. Bahkan belakangan dominasi dan supremasi itu mengalir pada aspek-aspek kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, dan kebudayaan yang semuanya itu berujung pada Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Islam (MF Zenrif, 2008).

c. Masa Pencerahan sampai abad ke 19

Pada masa ini, yakni abad ke- 17 muncullah kitab tentang Grammatika Arab yang disusun oleh Erpenius di Leiden (1613 M), Edward Pococke (w. 1691) dari Inggris menerjemahkan Kitab Tarikh Mukhtasar ad Duwal, d’Herbelot menyusun sejarah Timur dan sastranya dalam bentuk kamus: Bibliotheque Orientales. Seorang orientalis yang hidup pada masa ini yang bernama Reiske menerbitkan buku Tarikh Abil Fida’ dan al Hariri dalam bahasa Arab dan Latin. Kemudian Orientalis asal Italia menyusun kitab yang berbentuk kamus dalam bahasa Arab dan Spanyol.

Selanjutnya pada abad ke- 18 terbentuk Pusat Pengkajian Ilmu Ketimuran di Prancis: Ecole des Langues Orientales Vivantes (1795 M), berdiri organisasi ilmiah tentang Asia, seperti: Societe Asiatique di Paris (1822), Royal Asiatic Society di Inggris (1823). Pada abad ini para orientalis mulai menerbitkan dan menyebarkan kitab-kitab berbahasa Arab, menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa mereka, dan menyusun buku sastra Arab dengan bahasa mereka.

Kegiatan ilmiah ini semakin intens memasuki abad ke- 19. hal ini terbukti degan munculnya tokoh-tokoh yang melakukan kajian lebih serius, seperti Sylvester de Sacy:

ahli bahasa Arab dan Persia. Dia menyusun ensiklopedi Bibliotheque Orientales (3 jilid), menerjemahkan Al Burdah, Al Nuqud, menerbitkan Kalilah wa Dimnah, Maqamat Al Hariry, dan Alfiyah Ibn Malik. Tahun 1822 menerbitkan Journal Asiatique, Etienne Quatremere (1782-1857): menerjemahkan Tarikh al Mamalik karya Al Maqrizi (1845), dan menerbitkan Muqaddimah Ibn Khaldun. Orientalis Prancis: Perron (ahli sastra jahiliyah), De Slame (w. 1879; ahli sejarah barbar Afrika Utara), Cherbonneau (w.

1882; ahli sejarah Islam dan sastra Arab), Derenbourg (w. 1895; ahli bahasa Arab), dsb (Muin Umar, 1978).

d. Masa abad ke 20

Nur Kholis Setiawan, Sahiron Syamsuddin, dkk, (2007) kajian al Qur’an di Barat

sudah dimulai sejak abad ke-12, bahkan dikatakan sudah muncul sejak abad ke-

3 Hijiriyah/ke- 9 M. Hanya saja pada masa awal-awal itu geliat untuk mengkaji al

Qur’an belum begitu nampak. Hal ini dikarenakan orang-orang Barat lebih tertarik

pada kajian bahasa dan sastra. Kajian ini mulai menemukan gairahnya pada abad

ke- 20. Hal ini didukung dengan bergantinya era menjadi era kolonialisme yang

(6)

membuat hubungan Timur dengan barat menjadi semakin intens dan meluas. Barat tidak lagi hanya berkutat pada masalah bahasa, sastra maupun ilmu eksak. Ia mulai berusaha mengetahui masalah sejarah peradaban Islam dan merambah keluar dari aspek bahasa dan sastra, yakni mulai masuk pada aspek kajian sejarah sumber sumber dan ajaran Islam (al Qur’an, Hadis, Sejarah nabi, Hukum Islam, Filsafat, Sufisme dsb.

Beberapa ilmuan orientalis yang muncul pada masa ini seperti:

1) Margoliouth dari Oxford University; menyusun Sejarah nabi dalam bahasa Inggris.

2) Browne dari Univ Cambridge; ahli bahasa Arab, Persia dan Turki.

3) Teodore Noeldeke asal Jerman (1836-1930); ahli bahasa Arab, Suryani, Persia, menulis Geschiete des Korans.

4) Ignaz Goldziher (Jerman); ahli kebudayaan Islam, menulis Muhammedanische Studien.

5) Snouck Hurgronje (Univ. Leiden); ahli bahasa Arab, menulis De Atjehers, Het Gajoland.

6) A.J. Arberry (Inggris); anggota redaksi Encyclopedia of Islam.

7) Hamilton A.R. Gibb (Harvard Univ) menulis Modern Treds in Islam, Mohammedanism, bersama H Kraemers menyusun Shorter Encyclopedia of Islam.

8) Samuel M Zweimer; pendiri Majalah Moslem World.

9) Gustave von Gruneburn (Jerman); ahli bahasa Semit, menulis Medieval Islam, Studies in Islamic History.

10) Philip K. Hitti (Princeton Univ.): ahli sejarah islam, menulis; The History of the Arabs, The History of Syria.

11) Kenneth Graag (American Univ. Cairo); editor Majalah Moslem World.

12) Louis Masignon (Prancis): anggota redaksi Encyclopedia of Islam.

13) D.B. Mac Donald (USA); missionaries, menulis Development of Muslim Theologis, Jurisprudence and Constitusional Theory.

14) R.A Nicholson (Inggris); anggota redaksi Encyclopedia of Islam, menulis The Idea of Personality in Sufism, Literary History of the Arabs.

15) J. Schacht (Jerman): ahli hokum Islam, menulis An Introduction to Islamic law, Outline of Mohammedan Jurisprudence (Muin Umar, 1978).

3. Pandangan Orientalis dalam Studi Islam

Dalam kajiannya mengenai berbagai agama besar dunia, Weber memberikan komentar terhadap Islam. Secara ekplisit, ia menyatakan bahwa Islam merupakan religion of warrior (agama prajurit perang) di satu sisi, dan “agama anti dunia” (baca:

agama akhirat) di sisi lain. Pandangan Weber tersebut setidaknya disebabkan oleh

dua hal yang saling berseberangan dalam Islam, yakni kentalnya dimensi sensualitas

berikut duniawi yang bernegasi dengan dimensi “sufistik” di dalamnya. Apabila

(7)

penelaahan seksama terhadap berbagai karya Weber mengenai Islam dilakukan, maka tampaklah jelas bahwa ia mengasosiasikan Islam dengan berbagai hal yang bersifat barbar dan primitif (Kamus Ilmiah Populer, 1994).

Anggapan pertama Weber, yakni kentalnya dimensi sensualitas dan duniawi dalam Islam, menurutnya hal tersebut disebabkan oleh penetrasi agama Islam dalam kehidupan politik (Ralph Schroeder, 2002). Ia mengatakan bahwa muatan sosial ekonomi yang terdapat dalam Al Quran mengalami penafsiran kembali melalui gagasan jihad (perang suci) berupa pencarian lahan-lahan baru (baca: ekspansi). Hal tersebutlah yang kemudian mentransformasi Islam sebagai “agama prajurit nasional Arab”. Bagi Weber, berbagai ekspansi yang dilakukan prajurit Islam tidaklah dilatarbelakangi oleh motif agamis terutama dakwah melainkan lebih pada hasrat untuk memperoleh “harta rampasan perang”.

Pada ranah yang berlainan, sisi kontradiktif Islam sebagai agama anti duniawi dinyatakan Weber sebagai konsekuensi logis dari dimensi sufistik yang termuat di dalamnya. Berbeda halnya dengan sifat dan corak pemikiran “kasta” prajurit, para sufi dicirikan dengan sikapnya yang pasif dan apatis terhadap berbagai persoalan duniawi, mereka sekedar berorientasi pada hal-hal yang bersifat eskatalogis dan ke ukhrawi an (akhirat). Tentunya, hal tersebut berimplikasi pula pada pelanggengan kekuasaan yang dimiliki sultan (raja) mengingat ketidaktertarikan para sufi terhadap beragam isu politik yang tengah hangat dibicarakan. Di sisi lain, Weber turut mengutarakan bahwa para sufi gemar melakukan “pemborosan”, semisal membiayai pembangunan makam orang-orang yang dianggap suci serta menggelar beragam bentuk perayaan sufi yang menelan biaya besar.

Tak pelak, serangkaian argumen yang dikemukakan Weber di atas membuatnya melakukan penyangkalan akan Islam sebagai agama keselamatan. Namun, perihal yang lebih penting lagi adalah berbagai hasil kajiannya dalam kacamata sosiologis.

Bagi Weber, kedua karakteristik Islam yang disebutnya duniawi dan antiduniawi menegaskan bahwa agama tersebut tak memiliki potensi bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai (embrio) kapitalisme. Dengan kata lain, Weber menilai Islam sebagai agama yang kontra Progresivitas atau anti Kemajuan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kentalnya dimensi “irasionalitas” dalam Islam berupa kemewahan personal yang ditunjukkan kelas prajurit, atau apatisme duniawi berikut pemborosan yang tak rasional sebagaimana dilakukan kaum sufi, dinilai Weber tak sesuai dengan spirit “asketisme” yang nantinya bakal melahirkan cikal bakal kapitalisme (Armando Salvatore, 1996). “Asketisme”, sebagaimana yang dimaksudkan Weber, merupakan pola hidup sederhana dan tak berlebihan yang dilandasi oleh nilai-nilai transendensi.

Dalam The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, Weber mengilustrasikannya sebagai

berikut:

(8)

“Mereka menghindari pamer dan pengeluaran yang tidak perlu, maupun kenikmatan yang disadarinya dari kekuasaannya, dan malu dengan tanda- tanda luar dari pengakuan sosial yang dia terima.”

Lebih jauh, Weber menyatakan bahwa semangat asketisme di atas merupakan salah satu esensi doktrin Calvinisme etika Protestan yang melahirkan tatanan masyarakat kapitalis Eropa di kemudian hari. Adapun butir butir ajaran John Calvin (Calvinisime) antara lain; bekerja keras, melakukan penghematan total, serta mengutamakan rasionalitas sebagai pertimbangan untung rugi tindakan yang diambil. Kesemua ajaran Calvin tersebut dipayungi oleh konstruksi “kerja sebagai calling” atau “bekerja sebagai panggilan Tuhan” sebagaimana diutarakan Martin Luther. Apabila kita menyimak berbagai uraian di atas secara seksama, maka tampaklah jelas pertentangannya yang demikian kentara dengan pola hidup umat muslim yang penuh dengan kemewahan personal berikut pemborosan irasional layaknya seperti yang diungkap Weber.

Beragam argumen Weber mengenai Islam di atas menuai penolakan keras seorang sosiolog kenamaan Inggris (Birmingham), Bryan S. Turner. Tanpa segan, Turner menuduh Weber sebagai seorang orientalis, yakni mereka para intelektual Barat yang berbagai karyanya tak lepas dari sentimen “Perang Salib”. Hal tersebut mengingat kentalnya muatan “kebencian” Weber dalam ulasannya mengenai Islam.

Pertama, Turner menyatakan bahwa kajian para intelektual Barat mengenai Islam didasarkan pada referensi yang terbatas berikut telah mengalami “kejenuhan”.

Kedua, senada dengan Schroeder, Turner mengatakan bahwa Weber tak menekuni Islam secara mendalam, dengan demikian, wajar bilamana banyak sisi mengenainya yang terlewatkan. Perihal yang terpenting lagi adalah, Turner menegaskan bahwa Weber merupakan satu-satunya ilmuwan sosial yang mengingkari metodenya sendiri verstehende dalam kajiannya mengenai Islam (Armando Salvatore, 1996).

4. Kritik terhadap Pandangan Orientalis

Terkait anggapan Weber mengenai Islam sebagai “agama prajurit perang”,

Turner mengemukakan bahwa hal tersebut justru menunjukkan kentalnya dimensi

rasionalitas dalam Islam. Pengklasifikasian prajurit Islam ke dalam prajurit profesional,

semi profesional, kavaleri, dan lain sebagainya menunjukkan eksistensi birokrasi

rasional yang telah mapan ditemuinya spesialisasi. Pada ranah yang berlainan, Karen

Armstrong dalam eksemplarnya, Perang Suci, mengatakan bahwa bentuk bentuk

penaklukkan melalui pedang atau kekerasan merupakan suatu hal yang lumrah di

Abad Pertengahan, baik Islam, Kristen maupun kekuatan kekuatan lainnya di masa

itu menggunakan cara yang sama dalam menyebarkan pengaruhnya.

(9)

Di sisi lain, Turner turut memaparkan bahwa pesatnya perkembangan dunia perdagangan dan industri Islam di Abad Pertengahan merupakan bukti telah eksisnya nilai-nilai kapitalisme dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad tersebut. Tercatat, perdagangan Islam berupa komoditas rempah rempah, wewangian, perhiasan, logam mulia berikut berbagai hewan cagar budaya kala itu dianggap sebagai barang mewah mengalami kemajuaan pesat pada periode periode di atas. Begitu pula dengan aktivitas perindustrian Islam berupa sabun, kerajinan besi maupun tembikar, dan terutama tekstil. Adapun puncak dari kegiatan industri Islam terjadi di Spanyol dengan ditemuinya aktivitas penambangan tembaga terbuka serta beragam mineral lainnya. Malahan, dalam dunia perdagangan, umat Islam kala itu telah melakukan

“pembukuan ganda” berikut memperluas jaringan lembaga-lembaga bursa dan keuangan. Tak pelak, fenomena tersebut menyebabkan Turner mengamini pendapat Maxim Rodinson bahwa kapitalisme rasional sebagaimana termaktub dalam pengertian “weberian” sesungguhnya telah ditemui dalam konstelasi masyarakat Islam Abad Pertengahan (Bryan S. Turner, 2005).

Secara tak langsung, fakta di atas turut membuktikan bahwa dimensi asketisme dalam Islam sedikit banyak menemui kemiripannya dengan calvinisme bekerja keras, berhemat dan mengutamakan rasionalitas. Terlebih dengan menilik serangkaian ajaran Islam Quran dan Hadist semisal:

“Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah nasibnya sendiri, berteberanlah di muka bumi untuk mencari rezeki Tuhan setelah menunaikan shalat, sesungguhnya pemboros adalah teman setan, tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah, beribadahlah seolah esok meninggal dan bekerjalah seolah hidup selama lamanya”.

Serta terdapat berbagai ajaran Islam lainnya yang menyiratkan kemiripannya dengan ketiga butir etika Calvin di atas. Dengan demikian, tak ada alasan bagi Weber guna menyebut Islam sebagai agama irasional. Selanjutnya, klasifikasi besar Weber mengenai muslim ke dalam dua ragam: prajurit dan sufi, yang mana kesemuanya tak memungkinkan bagi lahirnya tradisi literati “penulis/ilmuwan” dalam Islam, terkesan terlampau mensimplifikasi Islam. Pasalnya, Weber seolah menutup mata dengan keberadaan ilmuwan-ilmuwan besar Islam semisal Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan lain sebagainya.

C. Simpulan

Kajian orientalisme merupakan studi para sarjana Barat dalam mengkaji dunia

Timur khususnya Islam dan dinamika masyarakatnya. Pada awal sejarahnya para

orientalis belajar kepada dunia Islam untuk kemajuan peradabannya, namun

kemudian mereka cenderung dibumbui oleh kebencian dan kemudian sentimen

(10)

politik perang Salib. Namun, sejak abad 17 hingga masa kini para orientalis semakin obyektif dalam mengkaji Islam. Para sarjana Barat sudah semakin kritis terhadap kajian orientalis sebelumnya sebagaimana pada tulisan ini mengkaji pendapat Max Weber yang dikritisi oleh Bryan S. Turner dan Armando Salvatore. Dengan obyektivitas pengkajian Islam oleh para sarjana Barat merupakan suatu kabar gembira untuk ummat Islam bahwa dunia Barat pada masa kini sudah semakin membuka mata dunia untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW serta mengikis stigma negatif yang dialamatkan kepada ummat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, M. Nur Kholis, Sahiron Syamsuddin, dkk. 2007. Orientalisme al Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Nawesa Press.

Abdul, Hasan & Ghiroh Abdurahman. 2008. Orientalisme dan Misionarisme; Remaja, Rosdakarya, Bandung.

Said, Edward W. 1985. Orientalisme, Bandung: Pustaka.

Hanafi, A. 1981. Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama Qur’an Dan Hadits, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna.

Batth, Hasanain. 2004. Anatoni Orientalisme, Jogjakarta: Menara Kudus, Penerj. M.

Faisal Muchtar.

Umar, A. Muin. 1978. Orientalisme dan Studi Tentang Islam Jakarta: Bulan Bintang.

Salaby, Ahmad, t.th, Mawsu’at al Tarikh al Islamy wa al Hadlarat al Islamiyah, juz V, Mesir: Al Maktabah al Nahdlah.

Zenrif, MF. 2008. Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an, Malang: UIN Malang Press.

Partanto, Pius A. & M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka.

Schroeder, Ralph. 2002. Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, Yogyakarta, Kanisius.

Salvatore, Armando, Beyond Orientalism? Max Weber and the Displacements of

“Essentialism” in the Study of Islam, Jurnal Arabica, Vol. 43, No. 3. (Sep., 1996).

Turner, Bryan S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler: Studi Analisis atas Sosiologi Weber, Yogyakarta: Suluh Press.

Wikipedia.org, Maximilian Weber, diakses pada 25 Oktober 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Media pembelajaran interaktif sangat berperan penting di dalam pendidikan karena dengan media pembelajaran interaktif yang tepat materi dan sesuai dengan tujuan

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Adanya pengaruh langsung yang tidak signifikan dari kemampuan kerja terhadap kinerja pada penelitian Farida Puspita Harti (2009) disebabkan, pertama adanya

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Kesehatan sangat diperlukan untuk mempertajam penentuan prioritas penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Oleh karena

Evaluasi Kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.. Di Desa Buluh Awar Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Skripsi dengan judul Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Masalah Sosial (Studi Kebijakan Publik Terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak

Partially, value of t-statistic which had a real probability was owned by the age average of Gapoktan board variable with a confidence level of 95%, total sales volume