• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN.. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN.. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“…. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan berita di televisi tentang penangkapan pengedar atau pengguna narkoba. Sadisnya lagi peredarannya yang semakin marak tanpa mengenal batas kota atau desa dan menyentuh semua lapisan masyarakat baik dari kelas atas hingga kelas menengah ke bawah…..”

Dari semboyan tersebut di atas menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan peredaran narkotika (dulu narkoba) merupakan suatu problematika tersendiri bagi pemerintah Indonesia khususnya aparat penegak hukum (Polri, BNN, Kejaksaan dan Pengadilan), sehingga problematika tersebut menjadi sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi aparat penegak hukum.

Penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia sudah pada taraf yang mengkhawatirkan. Bukan hanya di kalangan remaja di perkotaan, bahkan sudah menjalar ke kalangan anak-anak di daerah pedesaan. Dari hasil penelusuran penulis,1 pada tahun 2015 penyalahguna narkotika di Indonesia sudah mencapai 1,5% penduduk Indonesia atau sekitar 3,3 juta orang. Dari 80% pemuda, sudah 3% yang mengalami ketergantungan pada berbagai jenis narkotika. Bahkan menurut Kalakhar BNN, setiap harinya ada 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis narkotika. Angka ini bukanlah jumlah yang sebenarnya dari penyalahguna narkotika. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar yaitu sepuluh kali lipat dari jumlah penyalahguna yang

1 Taat Subekti, “Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Pandangan dari Sisi Pengembangan Modal Insani”, diunduh dari https://www.linkedin.com/pulse/penyalahgunaan-narkoba-di-indonesia-pandangan-dari-sisi-taat- subekti, search terakhir tanggal 30 April 2015.

(2)

ditemukan. Oleh karenanya, penyalahgunaan dan peredaran narkotika ini bagaikan fenomena gunung es.

Dari data di atas menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia sudah marak, meskipun sudah banyak tersangka pengedar narkotika yang divonis hukuman mati dan bahkan telah menjalani eksekusi mati di lapangan tembak Limusbuntu, pulau Nusakambangan. Namun pelaksanaan eksekusi mati tidak mempengaruhi semangat para tersangka pengedar narkotika untuk menjalankan pekerjaan haramnya dengan memasukkan (meng-import) narkotika ke Indonesia dan mengedarkan narkotika ke seluruh wilayah pelosok Indonesia terutama kota-kota besar.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya peredaran narkotika di Indonesia, meliputi:2

1. Berlakunya hukum pasar “supply and demand”.

Selama demand (permintaan) masih ada, maka selama itu supply (penyediaan) akan berusaha ada. Dalam kata lain, selama pemakai dan pembeli masih ada, maka selama itu penjual akan selalu ada. Sehingga ada atau tidaknya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia termasuk di Indonesia, adalah tergantung dari masyarakat di dunia dan rakyat Indonesia itu sendiri.

2. Hukum dan kekuatan-kekuatan sosial,

Kekuatan uang sangatlah berpengaruh, untuk menutupi keperluan hidup yang tidak mencukupi dari gaji yang didapat, dan sebagian untuk menyamakan gaya hidupnya dengan gaya hidup orang lain yang lebih mapan. Bahkan kekuasaan yang berlandaskan hukum dipakai untuk mendapatkan uang. Jika diperhatikan dari fakta sosial, aparatur hukum di Indonesia belum sepenuhnya professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tidak jarang terjadi aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, banyak diantara aparat penegak hukum membuka jalan untuk melanggar hukum dan menimbulkan korupsi dan pungli. Sebagai contoh kasus Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita yang diduga menggelapkan barang bukti sebanyak 343 butir ekstasi. Dalam kasus ini aparat hukum bertindak merugikan Negara demi mencari keuntungan pribadi untuk memenuhi gaya hidupnya dan sangat ironis seorang penegak hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi penegak hukum justru melakukan tindakan yang mencoreng citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum.

2 Budi Setioko, “Faktor Penyebab Pengedaran Narkoba di Indonesia dilihat dari Aspek Sosiologi Hukum”, diunduh dari http://zainuddion.blogspot.co.id/2009/09/faktor-penyebab-pengedaran-narkoba-di.html, search terakhir tanggal 18 September 2009.

(3)

3. Efektivitas hukum dalam masyarakat.

Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sudah sejauhmana hukum itu diterapkan, apakah sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum sudah mempunyai efek jera kepada para pelaku kejahatan narkoba?. Berapa tahun sanksi yang diberikan kepada orang yang terlibat dalam kasus narkoba baik itu pemakai maupun pengedar, tapi masih saja marak peredaran narkoba tersebut. Ini membuktikan bahwa hukum belum berjalan efektif karena banyaknya sanksi yang dijatuhkan tidak semuanya tegas, malah kadang selesai sebelum sampai diperiksa di pengadilan.

Berbicara mengenai efektivitas hukum yang ditentukan oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum termasuk para penegaknya, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa “….taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.

Selain adanya beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya peredaran narkotika, faktor lain yang lebih membahayakan yaitu dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika, yaitu kecanduan narkotika. Hal ini sebagaimana disampaikan Togar M. Sianipar, sebagai berikut: 3

Dampak yang terlihat jelas yaitu timbulnya gangguan kesehatan seperti gangguan sistem saraf yang menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi, insomnia, dan sebagainya. Dampak lainnya adalah tertular penyakit berbahaya seperti penyakit kelamin, penyakit kulit, HIV/AIDS, dan hepatitis B serta berpotensi mengalami overdosis yang mengakibatkan kematian. Pengaruh secara psikis dapat dilihat dengan adanya perubahan pada kehidupan mental emosional berupa gangguan perilaku yang tidak wajar, penurunan kemampuan berpikir, depresi, perubahan persepsi sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah, penurunan kepercayaan diri, kurang konsentrasi, penurunan kemampuan tubuh, kecenderungan untuk berbuat kasar, dan menyakiti diri sendiri (bunuh diri).

Dalam kehidupan sosial, pemakai narkoba yang mengalami gangguan tidak bisa menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat sehingga berpotensi untuk dikucilkan/dikeluarkan dari tempat ia bekerja, rusaknya hubungan dalam keluarga, dan akan terjadi anti sosial, asusila, atau tindak kejahatan lainnya.

3 Togar M. Sianipar, 2004, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia), hlm.89.

(4)

Mengingat begitu bahayanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka penanganan atau proses penyidikannya wajib diprioritaskan dari proses penanganan perkara pidana lainnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut bunyinya:4

Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Selanjutnya bahwa proses pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Selain Pasal 74 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka dalam pelaksanaan penegakan hukum (mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan), penyidik Polri khususnya penyidik Satuan Narkoba berpedoman pada pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)5; kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)6; dan ketiga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terutama Pasal 81, Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 87 ayat (1) dan (2), dan Pasal 88 ayat (1) dan (2).

Dari beberapa payung hukum tersebut di atas, penyidik Polri cq. Satuan Narkoba memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang bukti narkotika dan alat angkut berupa kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa/mengangkut narkotika. Penyitaan dimaksud menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP, merupakan

4 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

5 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

6 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(5)

“serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Penyitaan atau perampasan benda sebagaimana dimaksud di atas, merupakan salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada terhukum dimana semua alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dirampas oleh negara.7

Untuk itu, penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh persetujuan.

Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan yaitu:8 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga

diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;

2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Arti penting masalah penyitaan tercermin dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, walaupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik harus segera bertindak dan dapat melakukan penyitaan hanya atas

7 Salim HS, 2006, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, cetakan ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm.165

8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(6)

benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan guna mendapatkan persetujuan.

Penyitaan sangat erat hubungannya dengan hak-hak asasi manusia. Dalam melakukan suatu penyitaan harus diusahakan adanya imbangan yang layak. Imbangan antara kepentingan instansi dalam melakukan penyitaan terhadap orang yang disangka telah melakukan tindak kejahatan di satu pihak, dengan kepentingan orang itu sendiri di lain pihak serta untuk kepentingan masyarakat dimana orang tersebut memegang peranan penting dalam proses penyidikan tindak pidana.9

Penyitaan dengan surat perintah merupakan syarat objektif, yang dapat diuji kebenarannya oleh orang lain, misalnya hakim waktu mengeluarkan perintah melakukan penyitaan atas permintaan jaksa dan waktu menerima pengaduan dari terdakwa. Banyaknya aturan tentang penyitaan memberi petunjuk adanya usaha dari pembentuk Undang-undang untuk membatasi tindakan penyitaan pada keadaan- keadaan yang secara objektif dirasa sangat perlu sehingga hak asasi manusia tetap dijunjung tinggi. Meskipun demikian dapat ditemukan beberapa kekurangan dalam hal penyitaan ini, misalnya polisi tidak menunjukkan surat perintah penyitaan dalam melakukan penyitaan sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang; atau hakim dalam hal ini dapat memberi atau menolak ijin perpanjangan waktu penyitaan, tidak diwajibkan untuk menyelidiki perkaranya dengan mempertimbangkan alasan- alasannya, maka untuk itu penyitaan terhadap barang bukti dilakukan semata-mata untuk dapat mempermudah pelaksanaan pengusutan.10

Seiring dengan Pasal 39 KUHAP tersebut, maka salah satu benda atau barang bukti yang dapat disita oleh penyidik Satuan Narkoba yaitu alat angkut berupa

9 Leden Marpaung, 2002, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm.79.

10 Ibid., hlm.84

(7)

kendaraan bermotor roda dua (R2) atau roda empat (R4), dalam tulisan ilmiah ini difokuskan pada kendaraan bermotor roda empat (R4).

Dalam pelaksanaannya, seringkali barang bukti berupa alat angkut kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa/mengangkut narkotika yang disita penyidik Satuan Narkoba, merupakan bukan milik pribadi pelaku tindak pidana, melainkan milik pihak ketiga yang didasarkan atas suatu hubungan hukum yang sah, seperti pihak ketiga mempunyai hubungan hukum yang sah atas barang yang menjadi barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Misalnya hubungan berdasarkan sewa-menyewa yang dimiliki oleh perusahaan sewa kendaraan, hubungan leasing maupun hubungan hutang piutang dimana barang yang menjadi barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika tersebut adalah barang jaminan fidusia.11

Dalam konteks barang bukti, Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang, barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Berkenaan dengan pihak yang paling berhak atau pemilik sah dari benda yang disita oleh penyidik, maka mekanisme pengembalian benda sitaannya diatur dalam Pasal 46 KUHAP, yaitu :12

11 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(8)

(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila:

a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) KUHAP juga mengatur :

Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Seiring dengan barang yang dimiliki bersama dengan orang lain, maka ada 2 (dua) pendapat yang berbeda, yaitu ada yang mengatakan tidak dapat dirampas, ada pula yang berpendapat dapat dirampas. Dalam hal ini, Noyon-Langemeijer mengatakan

“tidak dapat dirampas, hal tersebut menurut Andi Hamzah karena merupakan suatu hak yang tidak dapat dirampas, sedangkan milik bersama ini adalah suatu hak”.13

Pada prinsipnya menurut M. Yahya Harahap kecuali mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada mereka "yang paling berhak" baik dalam wewenang pengadilan maupun dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, sama dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi penyidik dan

13 Andi Hamzah, 2006, Sistem Peradilan Pidana dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm.51

(9)

penuntut umum.14 Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada setiap instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, pada hakikatnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP.

Dari uraian yang dimuat dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dan dianalisis yaitu pertama, barang bukti berupa kendaraan bermotor yang disita oleh penyidik Satuan Narkoba, ada juga statusnya masih sewa pakai (leasing) sehingga hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam hal mekanisme permohonan pengambilan/pengembalian barang bukti yang disita/dirampas untuk proses penyidikan tindak pidana narkotika. Kedua, belum adanya ketentuan biaya dalam proses pengambilan barang bukti kendaraan bermotor yang statusnya masih leasing. Ketiga, pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus perampasan dan pengembalian barang bukti kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa dan/atau mengangkut narkotika. Dari ketiga permasalahan tersebut dipandang perlu untuk mengkaji secara normatif empiris terutama dalam hal kepastian hukum.

Karenanya dalam tulisan ilmiah (Tesis) ini, penulis sengaja merumuskan judul

“Kajian Hukum Atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 (Empat) Dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika”.

B. Perumusan Masalah

Berlandaskan pada latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mendorong penulis untuk merumuskan permasalahan, berikut ini “Apakah langkah-langkah konstruktif yang dapat dilakukan oleh pihak leasing setelah mengetahui bahwa objek jaminan fidusia yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam perkara penyalahgunaan dan peredaran narkotika ?”.

14 M. Yahya Harahap, 2004, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi ke-2, cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm.313

(10)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan arah dari suatu penelitian. Tujuan penelitian harus disesuaikan dengan rumusan masalah. Bila permasalahan mempertanyakan hal-hal yang belum diketahui, maka tujuan merinci apa saja yang ingin diketahui, sehingga jika permasalahan sudah terjawab maka tujuan penelitian sudah tercapai. Karenanya, tujuan dari penelitian ini adalah ”Untuk mengkaji dan menganalisis langkah-langkah konstruktif pihak leasing setelah mengetahui bahwa objek jaminan fidusia yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam perkara penyalahgunaan dan peredaran narkotika.”

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian dimaksud, sehingga dapat diketahui bahwa manfaat dari penelitian ini terdiri atas 2 (dua) manfaat, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis, diharapkan dapat dijadikan :

a. Sumber ilmu pengetahuan tambahan bagi para peneliti baik peneliti yang berasal dari program PascaSarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun dari perguruan tinggi lainnya.

b. Sumber referensi tambahan baik untuk perpustakaan kampus PascaSarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun perpustakaan umum, yang diharapkan melalui penelitian ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan akademisi di bidang hukum berkenaan dengan perlindungan hukum bagi pemegang jaminan fidusia atas disitanya objek fidusia (alat angkut berupa kendaraan) sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

(11)

2. Manfaat Praktis, diharapkan dapat dijadikan :

a. Sebagai studi banding bagi perusahaan pembiayaan, praktisi hukum dan penegak hukum dalam perkara perlindungan hukum bagi pemegang jaminan fidusia atas disitanya objek fidusia sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

b. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tambahan bagi peneliti sendiri maupun masyarakat umum yang berkeinginan untuk mengetahui bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh pemegang jaminan fidusia dalam perolehan kembali barang miliknya (alat angkut berupa kendaraan) yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan, baik perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun penelusuran melalui media google, menunjukkan bahwa penelitian mengenai “Kepastian Hukum atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 (Empat) dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika”, tidak ada satupun peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian sejenis.

Menurut penulis, hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tingkat kesulitan penelitian penulis yang membahas mengenai “Kepastian Hukum atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika”, yang begitu sangat sulit. Untuk itu, diharapkan penelitian penulis dapat memberikan kontribusi yang begitu berarti bagi semua pihak yang terkait.

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan prototipe modul sempoa operasi hitung penjumlahan dan pengurangan untuk melatih karakter teliti dapat digunakan siswa kelas I sekolah dasar sebagai

60. Sesungguhnya, dunia kini sedang diselubungi oleh pelbagai ketidaktentuan. Mengambil pengajaran itu, saya ingin menyentuh tiga cabaran utama yang bakal kita tempuhi iaitu:

Membaca kontra memori banding yang diajukan oleh kuasa hukum Terbanding semula Penggugat dalam Konvensi/Tergugat dalam Rekonvensi terhadap memori banding yang

Hasil numerik menunjukkan bahwa untuk setiap jenis fungsi yang digunakan, secara umum metode two-point stepsize gradient Barzilai dan Borwein lebih unggul

Sedangkan menurut Rufaida (2013:210) meskipun lembar kerja siswa (LKS) yang didistribusikan dari penerbit yang sudah populer serta telah tedaftar di ISBN sebagai pencetak buku

• MILLS (1967), KELOMPOK KECIL ADALAH UNIT YANG TRDIRI DARI DUA ORANG ATAU LEBIH, YANG SALING BERHUBUNGAN UNTUK SUATU KEGUNAAN DAN MENILAI MANFAAT HUBUNGAN  KELOMPOK BELAJAR2.

menginginkan kinerja lebih baik untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di daerah. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, yang mana tugas makin