• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP IKAN SIDAT DI WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP IKAN SIDAT DI WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA TAHUN"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP IKAN SIDAT DI WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

YOGYAKARTA TAHUN 1987-2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 dalam Ilmu Sejarah

Disusun oleh:

Ayu Rahmawati Mustafa NIM 13030112130083

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2018

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya, Ayu Rahmawati Mustafa, menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan baik Strata Satu (SI), Strata Dua (S2), maupun Strata Tiga (S3) pada Universitas Diponegoro maupun perguruan tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan maupun tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari karya ilmiah/skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pribadi sebagai penulis.

Semarang, 17 Mei 2018 Penulis,

Ayu Rahmawati Mustafa NIM 13030112130083

(3)

iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“‘Mulai’ adalah kata yang penuh kekuatan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah, ‘mulai’. Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat kita selesaikan kalau kita hanya memulainya.”

Clifford Warren

Dipersembahkan untuk:

Kedua Orang Tua, adik-adik, Sahabat dan Kekasih Tercinta.

(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, nasihat, saran, kritik dan fasilitas lainnya. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Redyanto Noor, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan Dr. Dhanang Respati, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang berkenan memberikan izin dan kemudahan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si., dan Noor Naelil Masruroh, M.Hum., yang telah memberikan ide tema skripsi ini, serta dosen pembimbing Prof. Dr. Sutejo Kuwat Widodo, M.Si., yang telah memberikan arahan-arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga penulis haturkan kepada segenap dosen penguji Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si., Prof. Dr. Sutejo Kuwat Widodo, M.Si., Drs. Sugiyarto, M.Hum., Dra. Titiek Suliyati, MT., yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi skripsi ini. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Endang Susilowati, M.A., selaku ketua penguji dalam ujian komprehensif penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di Departemen Sejarah Fakaultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, yang telah memberikan bimbingannya dengan tulus ikhlas, selama penulis menjalankan studinya di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis harturkan kepada staf tata usaha dan staf perpustakaan Departemen Ilmu sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada adik, kakak, dan teman-teman

(7)

vii

seperjuangan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan untuk Almh. Sri Wuryandari, ibunda tercinta yang dengan segala doa dan keringatnya mendidik dan membesarkan penulis, juga untuk ayah tercinta Mustofa, S.Pd., yang hingga sekarang mendidik dan membesarkan penulis seorang diri. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk adik-adik penulis khususnya Amalia Mustika Sari yang telah mendukung proses penulisan skripsi ini. Tentu saja penulis ucapkan terima kasih kepada kekasih tercinta Firman Adi Laksono, S.Hum., atas dukungan dan perhatiannya disela-sela perjuangan bersama meraih gelar sarjana di kampus Universitas Diponegoro tercinta ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Sih Purwanto, SP., selaku Kepala Bidang Kelautan dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Yogyakarta beserta seluruh staf yang telah memberikan informasi terkait skripsi ini, juga kepada Ngatijo, Suyitno serta seluruh nelayan yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Tugianto selaku Kepala Dusun Gelaran serta seluruh informan yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah mendukung terealisasikannya skripsi ini.

Akhir kata, semoga dari skripsi ini dapat bermanfaat untuk pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Semarang, 17 Mei 2018

Penulis

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN iii

HALAMAN PERSETUJUAN iv

HALAMAN PENGESAHAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR SINGKATAN x

DAFTAR ISTILAH xii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

RINGKASAN xviii

SUMMARY xix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang dan Permasalahan 1

B. Ruang Lingkup 6

C. Tujuan Penelitian 8

D. Tinjauan Pustaka 8

E. Kerangka Pemikiran 16

F. Metode Penelitian 23

G. Sistematika Penulisan 24

BAB II KONDISI UMUM WILAYAH KABUPATEN

GUNUNGKIDUL TAHUN 1987-2014 28

A. Keadaan Geografis dan Administratif Kabupaten

Gunungkidul 28

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Kabupaten

Gunungkidul 35

C. Lingkungan Hidup Ikan Sidat 41

BAB III AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN SIDAT

DI WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL 50

A. Budidaya Sidat 50

B. Teknologi Alat Tangkap yang Digunakan untuk

Menangkap Sidat 59

C. Upaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Yogyakarta dalam Kegiatan Konservasi Habitat Ikan Sidat 65

BAB IV PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT

TERHADAP IKAN SIDAT DI WILAYAH KABUPATEN

GUNUNGKIDUL 77

(9)

ix

A. Pengetahuan Tradisional Masyarakat tentang Ikan Sidat 77 B. Faktor Internal Penyebab Terjadinya Perubahan

Pandangan Masyarakat tentang Ikan Sidat 83

C. Faktor Eksternal 94

BAB V SIMPULAN 102

DAFTAR PUSTAKA 105

DAFTAR INFORMAN 110

LAMPIRAN 112

(10)

x

DAFTAR SINGKATAN

BPS : Badan Pusat Statistik

BT : Bujur Timur

CPUE : Catch Per Unit Effort DAS : Daerah Aliran Sungai DHA : Decosahexaenoic Acid DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta DKP : Dinas Kelautan dan Perikanan EPA : Eicosapentaenoic Acid

FGD : Focus Group Discussion IU : International Unit KK : Kepala Keluarga

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah LS : Lintang Selatan

LU : Lintang Utara

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

PEDSM : Pengairan, Energi, dan Sumber Daya Mineral Pokmaswas : Kelompok Masyarakat Pengawas

PT : Perseroan Terbatas

(11)

xi PWT : Pengenalan Waktu Tradisional

RT : Rukun Tetangga

RW : Rukun Warga

SK : Surat Keputusan

UGM : Universitas Gadjah Mada

VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie

(12)

xii

DAFTAR ISTILAH*

*Pengertian dalam daftar istilah ini disusun berdasar pada pendapat para ahli dalam kamus, referensi dan pendapat pribadi.

Belik : Genangan air yang berasal dari sumber mata air yang banyak dijumpai di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan biasanya dimanfaatkan untuk mandi, masak dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Elver : Larva sidat yang berbentuk pipih dan transparan.

Fingerling : Sidat kecil/anakan sidat yang tubuhnya berbentuk silinder.

Fishing Ground

: Daerah perairan yang cocok untuk penangkapan ikan dimana alat tangkap dapat kita operasikan secara maksimum, tetapi masih dalam batas kelestarian sumberdaya.

Fishtrack : Tangga ikan yang dibuat di bendungan-bendungan yang berfungsi sebagai jalur migrasi ikan.

Fishway : Jalur migrasi ikan.

Glass Ell : Sidat kaca, sidat kecil/anakan sidat yang tubuhnya belum mempunyai pigmen (bening).

Gonad : Kelenjar endokrin yang menghasilkan gamet (sel germinal) dari suatu organisme. Dalam betina dari spesies sel-sel reproduksi adalah sel telur, dan pada jantan sel-sel reproduksi adalah sperma.

Impun : Segerombolan anakan ikan yang bermigrasi dari air laut ke air tawar tetapi tidak diketahui pasti jenisnya.

Ingkung : Salah satu sajian dalam sesajen yang berupa ayam kampung yang dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam. Ingkung ini biasanya diletakkan di atas nasi uduk. Ingkung ini melambangkan bayi yang belum dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan apa-apa atau masih suci.

(13)

xiii

Katadromus : Siklus hidup suatu organisme yang tumbuh dan besar hingga dewasa di air tawar sedangkan pemijahannya berlangsung di laut.

Kenduri : Perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya.

Larva : Bentuk muda (juvenile) hewan yang perkembangannya melalui metamorfosis, seperti pada serangga dan amfibia.

Memijah : Proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan.

Leptocephalus : Larva sidat.

Metamorfosis : Perubahan bentuk dan struktur yang terjadi pada hewan, mulai dari embrio sampai dewasa. Dalam metamorfosis, membesarnya ukuran tubuh hewan merupakan proses pertumbuhan, sedangkan perubahan bentuk tubuh dari telur hingga dewasa merupakan perkembangan.

Morfologis : Sebuah cabang di dalam ilmu biologi yang secara khusus mempelajari tentang bentuk struktur/bentuk luar dari sebuah organisme, terutama pada hewan dan tumbuhan.

Restocking : Salah satu upaya penambahan stock ikan tangkapan untuk ditebarkan di perairan umum, pada perairan yang dianggap telah mengalami penurunan stock akibat tingkat pemanfaatan yang berlebihan.

Sendang : Sendang merupakan sumber air yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan sehari-hari. Sendang biasanya berbentuk kolam yang didalamnya berisi air yang berasal dari resapan air yang kemudian membentuk sumber mata air.

Spawning Ground

: Daerah pemijahan bagi organisme air untuk melakukan sebagian dari siklus reproduksinya.

Taksonomi : Pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu.

(14)

xiv

Topografi : Studi tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet, satelit alami (bulan dan sebagainya), dan asteroid.

Wingit : Suci dan keramat atau angker.

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar: Halaman

2.1. Sidat Dewasa 40

2.2. Benih Sidat dalam Kolam Penampungan 41 3.1. Kegiatan Penangkapan Sidat oleh Nelayan di Muara

Sungai Pantai Baron 61

3.2. Alat Tangkap Ikan Sidat Bernama Seser 68

4.1. Kolam Penampungan Elver 78

4.2. Papan Larangan Menangkap Ikan dengan Alat-alat

Berbahaya 80

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran: Halaman

A. Peta Kabupaten Gunungkidul. 25

B. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik 71 Indonesia Nomor Per.19/MEN/2012 tentang Larangan

Pengeluaran Benih Sidat

(17)

xvii RINGKASAN

Skripsi yang berjudul Perubahan Pandangan Masyarakat Terhadap Ikan Sidat di Wilayah Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta Tahun 1987 sampai dengan 2014 mengkaji permasalahan: Pertama, bagaimana perkembangan aktivitas penangkapan ikan sidat di wilayah Kabupaten Gunungkidul tahun 1987-2014.

Kedua, bagaimana perubahan pandangan masyarakat terhadap ikan sidat. Ketiga, apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut. Untuk mengkaji permasalahan tersebut digunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: a) Heuristik, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. b) Kritik Sumber, untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber.

c) Interpretasi, d) Historiografi. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan fenomenologi yang berfokus pada pengalaman hidup manusia untuk memahami sosial, budaya dan konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.

Sebagian besar masyarakat Gunungkidul bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Selain pertanian, Kabupaten Gunungkidul juga memiliki potensi perikanan laut yang cukup besar dan menjadi produsen terbesar ikan laut di Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan sidat di beberapa daerah di Kabupaten Gunungkidul banyak ditemukan di sumber-sumber mata air bawah tanah yang terkoneksi dengan laut seperti Kedung Anyar, Winong dan Gedang Tirto di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo.

Selain Dusun Gelaran, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, juga memiliki hutan adat Wonosadi yang didalamnya terdapat mata air Pok Blembem, Resah dan Kalas.

Semula beberapa sumber mata air tersebut dianggap keramat dan juga ikan sidat yang dijumpai di mata air tersebut tidak boleh ditangkap dan dimakan.

Kepercayaan masyarakat tentang mitos tersebut hingga kini masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat.

Penangkapan ikan sidat bermula dari hasil tangkapan nelayan Pantai Baron di sekitar muara sungai yang langsung menuju laut di pantai tersebut yang berupa impun. Segerombolan impun tersebut, oleh nelayan biasa dijadikan rempeyek dan dijajakan di warung-warung sekitar pantai. Tahun 1987 ada seorang pengusaha elver dari Pangandaran yang melakukan pelatihan penangkapan elver di Pangandaran dan Suyitno, nelayan Baron menjadi perwakilan Gunungkidul. Sejak saat itulah nelayan Baron mengetahui bahwa impun yang selama ini mereka tangkap terdapat anakan ikan sidat, dan ikan sidat menjadi salah satu komoditi tangkapan nelayan Baron.

Elver yang ditangkap oleh nelayan Baron awalnya diangkut ke Pangandaran oleh pengusaha tersebut dengan harga yang masih murah yakni sekitar 40.000 rupiah/kg. Dua tahun berjalan, kegiatan tersebut terhenti karena hasil tangkapan yang sedikit serta mempertimbangkan biaya transportasi yang jauh. Aktivitas nelayanpun kembali seperti semula dengan menjadikan impun-impun tersebut menjadi rempeyek. Tahun 2010 dengan adanya kemajuan teknologi, mereka memanfaatkan internet sebagai media promosi dan terjalinlah kerjasama dengan

(18)

xviii

PT Iroha Sidat Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Berawal dari harga 50.000 rupiah/kg dan terus mengalami kenaikan yang signifikan, hingga tahun 2014 mencapai harga tertinggi sebesar 1.000.000 rupiah/kg.

Kegiatan penangkapan sidat baik berupa sidat dewasa maupun elver telah banyak dilakukan di tempat-tempat lain seperti di sepanjang sungai-sungai baik itu sungai bawah tanah maupun di goa-goa sepanjang aliran sungai di Kabupaten Gunungkidul yang merupakan jalur migrasi bagi ikan sidat. Sepanjang Sungai Kalisuci yang berasal dari aliran sumber mata air Kalisuci yang terletak di Kecamatan Semanu ini terdapat salah satu goa yang disebut Goa Gelung, disinilah salah satu area yang digunakan untuk memancing sidat. Terdapat juga Sungai Oyo, salah satu sungai besar yang berada di Provinsi Yogyakarta. Sungai dengan karakteristik berada dibawah gunung-gunung karang ini menjadikannya lokasi yang aman dan terlindungi bagi sidat bersembunyi, sehingga banyak sidat dijumpai di sepanjang sungai ini. Salah satu Goa yang terkenal akan banyaknya sidat di sepanjang sungai ini adalah Goa Pindul. Ada pula Sungai Jirak yang langsung bermuara ke laut yang terletak di Pantai Baron ini menjadi basis utama kegiatan penangkapan elver oleh nelayan Baron sebagai salah satu komoditi ekonomi

Perubahan pandangan masyarakat terkait ikan sidat diakibatkan oleh faktor internal dan eskternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain, potensi alami sidat, kemunculan tokoh dan keterbukaan pemikiran.

Wilayah Kabupaten Gunungkidul telah teridentifikasi bahwa terdapat sumber daya ikan sidat yang cukup melimpah. Selain potensi alami sidat, kemunculan tokoh juga turut membuka pemikiran masyarakat bahwa potensi sidat yang banyak ditemukan di sekitar mereka dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.

Faktor eksternal yang turut mempengaruhi perubahan terebut adalah intervensi teknologi dan masuknya dunia usaha. Penggunaan internet sebagai media promosi turut memudahkan nelayan dalam menjual hasil tangkapan elver, pelatihan penangkapan elver juga merupakan suatu intervensi teknologi. Dalam perkembangan ikan sidat menjadi komoditi dengan nilai ekonomi tinggi, terlebih dengan semakin besarnya permintaan sidat dari luar negeri.

(19)

xix SUMMARY

The thesis entitled The Changes of Public Views on Eel Fish in Gunungkidul Regency of Yogyakarta Year 1987 to 2014 examines three problems. First, how the development of eel fishing activities in the area of Gunungkidul Regency in 1987-2014 is. Second, how to change the public view towards eel fish. Third, what factors affect the occurrence of such changes. To examine the problem, the writer uses critical historical method consisting of four stages, namely: a) Heuristics, seek and collect historical sources. b) Source Criticism, to gain source authenticity and credibility. c) Interpretation, d) Historiography. The approach used in the writing of this thesis is a phenomenological approach that focuses on human life experience to understand the social, cultural and historical context in which the experience occurs.

Most of the people of Gunungkidul work as farmers and fishermen. In addition to the agriculture, Gunungkidul Regency also has considerable sea fishery potential and become the largest producer of marine fish in the Special Region of Yogyakarta, one of which is eel fish. Eel fish in some areas in Gunungkidul Regency are found in the sea-linked underground springs such as Kedung Anyar, Winong and Gedang Tirto in Gelaran Hamlet, Bejiharjo Village, Karangmojo Sub-district. Besides Gelaran Hamlet, Beji Village and Ngawen Sub- district also have Wonosadi customary forest in which there are springs of Pok Blembem, Resah, and Kalas. Previously, some of the springs are considered sacred and also eel fish found in these springs should not be caught and eaten.

Community beliefs about the myth is still preserved by some people.

Eels catching was started from the catch of fishermen Baron Beach around the mouth of the river which goes directly into the sea on the beach in the form of guppy fish. A swarm of guppy fish, are made into rempeyek (fish crackers) and peddled in stalls around the beach by the ordinary fishermen. In 1987 there was an elver entrepreneur from Pangandaran who trained elver catching technique in Pangandaran, and Suyitno, Baron fishermen became representative of Gunungkidul. Since then the Baron fishermen knew that among guppy fish that they catch, there is tillers eel (elver), and the eel fish becomes one of catchment commodities of Baron fishermen

The Elver captured by the Baron fishermen was initially transported to Pangandaran by the entrepreneur at a low price of around 40,000 rupiahs/kg. Two years running, the activity stalled due to a few catches and considering the cost of far transportation. Fisherman activity turns back as before by making guppy fish become rempeyek. In 2010 with the advancement of technology, the fishermen utilize the internet as a media campaign, and they cooperate with PT Iroha Sidat Indonesia that comes from Banyuwangi. From 50.000 rupiahs/kg, the price is increasing significantly. Until 2014, it reached the highest price of 1,000,000 rupiahs/kg.

Eel catching activities in the form of adult eel and elver have been carried out in other places such as along the rivers either underground rivers and in caves

(20)

xx

along the river in the district of Gunung Kidul which is a migratory passage for eels. Kalisuci along the river that comes from the flow of water springs located in Kalisuci Semanu there is one cave called Goa Bun (Bun Cave), this is one area that is used for catching eels. There is also the Oyo River, one of the major rivers in the Province of Yogyakarta. Rivers with characteristics beneath these coral mountains make it a safe and protected location for eel hide, so many eels are found along this river. One of the caves which is famous for the number of eel along this river is Goa Pindul (Pindul Cave). There is also Jirak River located on Baron Beach which directly empties into the sea has become the main base of elver catching activities by the Baron fishermen as one of the economic commodities.

The changes in peoples' views regarding eels are caused by internal and external factors. Internal factors that affect the changes, among others; the natural potential of eels, the emergence of figures and openness of thought. The area of Gunungkidul Regency has been identified that there are abundant fish resources.

In addition to the natural potential of eel, the appearance of the figure also helps to open the minds of the people that the potential of eel found around them can be utilized more optimally. External factors that influence the change are technological intervention and the entry of the business world. The use of internet as a promotional media also facilitates fishermen in selling elver catch, and elver capture training is also a technological intervention. Those conditions affect the development of eel fish into commodities with high economic value, especially with the growing demand for eels from abroad.

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan

Nusantara atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri darri 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta (0,3 juta perairan territorial; dan 2,8 juta perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya.1 Tak heran jika Indonesia disebut sebagai negara kepulauan karena hampir sebagian wilayah Indonesia merupakan perairan (laut). Sehingga hampir sebagian besar mata pencaharian masyarakat Indonesia bergantung pada laut, seperti nelayan, petani tambak, petani garam dan sebagainya. Bahkan dari dulu Nusantara telah dikenal sebagai negara maritim, hal ini dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan yang berkiblat pada dunia kemaritiman seperti Sriwijaya.

Dalam masyarakat bahari sendiri sudah mengenal pelayaran beserta sistim navigasi sejak dulu yang dipelajari turun temurun dari nenek moyang kita yakni bangsa Austronesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya pahatan relief berbentuk kapal pada dinding candi Borobudur. Pada relief kapal tersebut digambarkan bahwa kapal yang digunakan nenek moyang kita untuk berlayar memiliki cadik.

Dan cadik inilah yang menjadi ciri khas kapal bangsa Austronesia yang tidak lain adalah nenek moyang kita.

Pada masyarakat bahari sendiri mata pencaharian yang paling menonjol adalah nelayan. Tidak sedikit masyarakat nelayan di suatu desa nelayan berkumpul dan bergabung sebagai komunitas nelayan, dengan keadaan geografis Indonesia yang seperti itu seharusnya masyarakat menyadari dan memanfaatkan potensi sumber daya laut yang sedemikian besar. Namun nyatanya hingga saat ini

1Rokhmin Dahuri, dkk, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), hlm. 1.

(22)

2

potensi kelautan tersebut belum mampu memberi sumbangan yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, padahal jika dikelola dan dieksplorasi secara baik akan menghasilkan sumber penghidupan yang tiada habisnya untuk kesejahteraan bersama. Di Negara yang kaya akan sumber daya laut ini justru menitikberatkan pada pembangunan dalam sektor darat saja dan mengenyampingkan pembangunan sektor kelautan, yang mana bila dikelola dengan baik dapat dijadikan tumpuan harapan bangsa Indonesia di masa depan.

Sayangnya potensi sumber daya alam wilayah pesisir dan lautan yang besar dan beraneka ragam tersebut tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang mampu mengelolanya dengan baik, optimal dan yang terpenting adalah berkelanjutan.

Wilayah pesisir dan laut di selatan Jawa merupakan perairan yang unik karena letak geografisnya yang berada di antara Benua Asia dan Australia.

Wilayah perairan ini memiliki suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson Australia-Asia sebagai akibat perbedaan tekanan udara antara massa benua Asia dan Australia. Pada bulan Oktober-April angin berhembus dari Benua Asia menuju ke Australia. Angin ini di wilayah selatan khatulistiwa dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut. Sebaliknya pada bulan April-Oktober berhembus Angin Muson Tenggara. Perubahan pola angin muson tersebut menyebabkan wilayah perairan di selatan Jawa memiliki dua pola musim, yaitu musim barat pada saat bertiup angin muson barat laut dan musim timur pada saat terjadi angin muson tenggara. Selain kedua musim tersebut, ada pula musim transisi yang dikenal juga dengan musim peralihan. Musim peralihan I terjadi pada bulan Maret-Mei dan musim peralihan II terjadi pada bulan September- November. Rata-rata kecepatan angin pada saat musim barat berkisar 2-6 m/detik dan pada musim timur 6-9,5 m/detik. Sementara itu kecepatan angin pada musim peralihan I dan II berturut-turut 4-6 m/detik dan 1,4-8 m/detik. Adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu menyebabkan pola sirkulasi massa air di lautan juga turut berubah arah.

Perubahan arah ini menjadi ciri sirkulasi massa air di perairan Indonesia dan

(23)

3

sekitarnya, termasuk di perairan selatan Jawa.2 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang memiliki wilyah pesisir menghadap ke Samudra Hindia. Dengan panjang garis pantai 113 km, pesisir DIY terbagi dalam tiga daerah administratif kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo. Secara umum kondisi wilayah pesisir DIY terdiri dari dua tipologi, bagian timur merupakan pantai berbatu karang (rocky) termasuk dalam wilayah Kab. Gunungkidul, sedangkan bagian barat merupakan pantai berpasir (sandy) termasuk dalam wilayah Kab. Bantul dan Kab. Kulon Progo dengan topografi landai.3

Ikan sidat merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang dapat dijumpai disekitar perairan di Kabupaten Gunungkidul, ikan ini menjadi salah satu orientasi tangkapan oleh masyarakat sekitar. Sidat adalah jenis ikan yang ketika dewasa hidup di air tawar, tetapi setelah matang gonad akan kembali ke laut dalam untuk memijah.4 Sidat merupakan hewan kosmopolit karena dapat dijumpai hampir di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis. Secara umum, penyebaran sidat meliputi daerah pantai Timur Amerika Utara, Eropa Barat, Afrika Timur, Afrika Utara, Asia Tenggara, Jepang, India, Australia Barat Laut dan Timur, serta Selandia Baru. Daerah yang memiliki populasi sidat terpadat adalah di daerah beriklim tropis, tepatnya sekitar garis khatulistiwa antara LU - LS dan BT - BT. Laut Sargasso (Lautan Atlantik) merupakan tempat pemijahan sidat. Selain Laut Sargasso, daerah lain yang telah diketahui digunakan untuk berkembangbiak adalah Lautan

2Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kawasan Konservasi Perairan Suaka Alam Perairan Wediombo, diakses dari http://dislautkan.jogjaprov.go.id/web/detail/115/kawasan_konservasi_perairan_su aka_alam_perairan_wediombo, pada tanggal 10 Januari 2016 pukul 16:38.

3Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Tahun 2012 (Yogyakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, 2012).

4Agus Sasongko, dkk, Sidat: Panduan Agribisnis Penangkapan, Pendederan, dan Pembesaran (Jakarta: Penebar Swadaya, 2007), hlm. 38.

(24)

4

Pasifik dan Samudra Indonesia. Sidat yang hidup di di perairan Indonesia berasal dari pemijahan yang terjadi di Lautan Pasifik dan Samudra Indonesia.5

Beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul, terdapat kearifan lokal dimana ikan sidat dianggap sebagai ikan keramat, khususnya ikan sidat yang banyak dijumpai di sumber mata air atau yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan ‘sendang’ atau ‘belik’. Masyarakat sekitar percaya bahwa, ikan sidat merupakan penunggu daerah tersebut. Sehingga keberadaannya sangat dijaga, dan tidak boleh ditangkap apalagi dimakan. Struktur sungai di Kabupaten Gunungkidul yang berupa sungai bawah tanah menjadikan wilayah ini menjadi jalur migrasi serta tempat persembunyian ikan tersebut.

Meskipun di beberapa daerah kearifan lokal masyarakat tersebut masih dilestarikan hingga kini, namun lambat laut di daerah lain kepercayaan tersebut mulai memudar. Awalnya, penangkapan benih sidat (elver) di wilayah Pantai Baron oleh nelayan dilakukan di daerah muara sungai. Hasil tangkapan mereka yang disebut impun, yakni segerombolan anak-anak ikan yang tidak diketahui persis dari jenis ikan apa yang bermigrasi dari air laut ke air tawar, mulanya selama ini oleh nelayan hanya dijual seharga 20 ribu rupiah per kilo lalu dijadikan rempeyek dan dijajakan di warung-warung di tepian pantai.6 Kurangnya pemahaman nelayan mengenai jenis ikan sidat menjadikan nilai jual elver sangat rendah, ditambah dengan masih kentalnya kepercayaan masyarakat sekitar mengenai ikan keramat tersebut.

Pada tahun 1987 untuk pertama kalinya masyarakat nelayan di Pantai Baron mulai dikenalkan dengan teknik penangkapan serta pemanfaatan sumber daya ikan sidat yang dilakukan oleh seorang pengusaha elver dari Pangandaran.7 Hal

5Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto, Pemeliharaan Sidat (Yogyakarta:

Kanisius, 1998), hlm. 32.

6Wawancara dengan Sih Purwanto, 16 November 2015. Ia adalah Kepala Bidang Kelautan dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Yogyakarta.

7Wawancara dengan Suyitno, 17 Juni 2017. Ia adalah nelayan Baron yang menjadi perwakilan Kabupaten Gunungkidul dalam pelatihan penangkapan elver di Pangandaran.

(25)

5

ini mengakibatkan pengetahuan baru kepada nelayan mengenai ikan sidat, mulanya mereka tidak tahu bahwa impun yang selama ini mereka tangkap terdapat elver sidat didalamnya, namun dengan adanya pelatihan penangkapan sidat tersebut membawa sidat menjadi komoditi ekonomi yang memiliki nilai jual tinggi.

Ikan merupakan salah satu hasil laut, dan merupakan sumber protein penting bagi rakyat Indonesia. Dibandingkan dengan daging dan susu, ikan merupakan sumber protein yang relatif murah dan lebih baik untuk kesehatan karena kadar kolesterol pada ikan rendah. Negara seperti Korea dan Jepang sangat maju industri perikanannya, salah satu pendorong utama terciptanya kemajuan tersebut ialah kedua negara ini secara konsekuen telah menetapkan dalam suatu keputusan politik negaranya, yaitu: ikan merupakan satu-satunya sumber protein bangsa.8 Akibat kebijaksanaan di berbagai negara dalam bidang pangan, khususnya menyangkut ikan sebagai sumber protein dunia, maka produksi ikan dunia makin lama makin meningkat, termasuk permintaan ikan sidat yang selama beberapa tahun belakangan ini terus meningkat sehingga membuat harganya melambung tinggi.

Skripsi ini bermaksud memaparkan perubahan pandangan masyarakat terhadap ikan sidat di wilayah Kabupaten Gunungkidul Provinsi Yogyakarta sejak tahun 1987 hingga 2014 secara historis dan analitis. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan aktivitas penangkapan ikan sidat di wilayah Kabupaten Gunungkidul tahun 1987-2014?

2. Bagaimana perubahan pandangan masyarakat terhadap ikan sidat?

3. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut?

8John Pieris, Strategi Kelautan: Pengembangan Kelautan dalam Perspektif Pembangunan Nasional (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 69.

(26)

6

B. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penulisan karya sejarah merupakan hal penting untuk menghindari pembahasan yang menyimpang.9 Pembatasan ruang lingkup yang jelas dan tegas diperlukan untuk menghasilkan penulisan sejarah yang bersifat kritis dan analitis serta menjadi acuan kerangka berpikir.

Pembatasan ruang lingkup penelitian ini meliputi cakupan spasial, temporal, dan keilmuan. Ruang lingkup spasial merupakan batasan wilayah atau daerah, tempat, dan kedudukan subjek penelitian. Lingkup spasial pada proposal yang berjudul “Perubahan Pandangan Masyarakat Terhadap Ikan Sidat di Wilayah Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta Tahun 1987-2014” ini dibatasi pada masyarakat di wilayah Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta yang melakukan aktivitas penangkapan ikan sidat di sepanjang perairan sungai bawah tanah dan muara sungai di Pantai Baron di Kabupaten Gunungkidul. Penulis mengambil spasial ini dikarenakan sumber daya ikan sidat cukup banyak ditemukan di perairan wilayah tersebut. Dibandingkan dengan dua kabupaten lain yakni Bantul dan Kulon Progo, Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah yang paling banyak ditemukan ikan sidat dengan kualitas yang bagus. Hal ini dikarenakan karakteristik di sepanjang sungai bawah tanah yang bermuara ke Pantai Baron memiliki tipologi berbatu karang (rocky) yang memiliki celah-celah seperti gua (gunung karang), sehingga aman dan terlindung untuk bertahan hidup maupun untuk sidat dewasa melakukan migrasi ke laut maupun sebaliknya, benih sidat hasil pemijahan akan kembali lagi ke perairan tawar hingga mencapai dewasa.10

Ruang lingkup temporal atau waktu yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah diawali tahun 1987, dikarenakan pada tahun 1987 tersebut untuk pertama kalinya masyarakat nelayan di Pantai Baron mulai dikenalkan dengan teknik penangkapan serta pemanfaatan sumber daya ikan sidat yang dilakukan

9Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:

Gramedia, 1985), hlm. 28.

10Wawancara dengan Non Prihatin Budiharti, 4 April 2016. Ia adalah Staf Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Yogyakarta.

(27)

7

oleh seorang pengusaha elver dari Pangandaran.11 Skripsi ini diakhiri tahun 2014, dimana selama kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan orientasi penangkapan dari ikan sidat itu sendiri yang awalnya merupakan ikan keramat.

Sejak semakin meningkatnya perminataan pasar internasional terhadap ikan sidat, kearifan lokal masyarakat mengenai ikan keramat kian memudar di sejumlah daerah. Pada tahun 2013 harga benih ikan sidat perkilonya masih mengalami fluktuasi harga hingga pada tahun 2014 harga benih ikan sidat perkilonya bertahan di angka Rp 1.000.000,- hingga awal Juni, namun pada akhir Juni harga benih ikan sidat mengalami kenaikan menjadi Rp 1.100.000,- dan menjadikannya harga tertinggi penjualan benih ikan sidat oleh nelayan Baron.12

Ruang lingkup keilmuan dari skripsi ini dapat digolongkan ke dalam disiplin ilmu sejarah, karena disiplin ilmu sejarah mempelajari dinamika dan perkembangan kehidupan manusia pada masa lampau.13 Demikian pula ilmu sejarah mempunyai beberapa lapangan khusus atau tematis dalam mendekati obyek sejarah, seperti sejarah sosial, sejarah militer, sejarah politik, sejarah maritim dan lain sebagainya.

Sesuai dengan tematis itu maka skripsi ini termasuk sebagai karya sejarah mentalitas. Sejarah mentalitas adalah sejarah yang mau menuliskan tidak hanya peristiwa dari kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukkan pula struktur nilai; bingkai makna yang memberi roh bagi strukturalisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi pelaku-pelakunya, baik individual maupun kolektif.14 Dalam skripsi ini, yang dimaksud dengan mentalitas adalah cara berfikir baik individu maupun kelompok. Dalam skripsi ini akan dipaparkan mengenai terjadinya

11Wawancara dengan Suyitno, 17 Juni 2017.

12Laporan Hasil Tangkapan Ikan Sidat Nelayan Pantai Baron Tahun 2010- 2015.

13Taufik Abdullah, Di Sekitar Sejarah Lokal di Indonesia dalam Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1978), hlm. 321.

14Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 235.

(28)

8

perubahan pandangan, dari mentalitas yang terikat oleh tradisi bergeser kearah mentalitas yang berorientasi ekonomi.

C. Tujuan Penelitian

Berdasar pada latar belakang permasahalahan dan batasan ruang lingkup di atas, di dalam penelitian ini dikembangkan beberapa tujuan penelitian untuk memperjelas fokus analisis sebagai berikut.

Pertama, memaparkan tentang perkembangan aktivitas penangkapan ikan sidat di wilayah Kabupaten Gunungkidul tahun 1987-2014, dimana mitos mengenai penangkapan ikan sidat masih diyakini masyarakat hingga mulai lunturnya kepercayaan tersebut sejak ikan tersebut memiliki nilai jual. Kedua, memaparkan tentang perubahan pandangan masyarakat terhadap ikan sidat, ketika masyarakat mulai melihat ikan sidat sebagai ikan komoditi yang memiliki nilai jual tinggi bukan lagi sebagai ikan keramat. Ketiga, memaparkan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk mengembangkan wawasan berpikir yang lebih luas dan sebagai bahan acuan untuk membangun kerangka pemikiran konseptual, maka berikut ini disajikan tinjauan terhadap beberapa pustaka acuan yang relevan dengan topik penulisan skripsi ini.

Pertama adalah buku yang berjudul Pemeliharaan Sidat karya Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto.15 Secara garis besar buku ini membahas mengenai biologi sidat, penangkapan hingga usaha pemeliharaan sidat. Bab biologi sidat menjelaskan mengenai taksonomi dan morfologis sidat. Sidat memiliki klasifikasi sebagai berikut:

15Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto, Pemeliharaan Sidat (Yogyakarta:

Kanisius, 1998).

(29)

9

Filum : Chordata Klas : Pisces Ordo : Apodes Family : Anguillidae Genus : Anguilla Spesies : Anguilla sp.

Sidat mempunyai bentuk morfologis yang relatif serupa dengan belut.

Namun jika diperhatikan lebih teliti ada beberapa perbedaan morfologis yang cukup nyata antara sidat dan belut. Perbedaan yang dapat dilihat secara langsung adalah sidat memiliki sirip ekor, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna.

Sedangkan belut tidak mempunyai sirip sama sekali. Ciri lain yang membedakan sidat dengan belut adalah sirip dada yang terletak tepat di bagian kepalanya.

Ukuran sirip dada ini relatif kecil dan sepintas lalu terlihat menyerupai telinga sehingga banyak yang menjuluki sidat dengan sebutan ikan bertelinga. Sidat mempunyai bagian tubuh yang senditif terhadap getaran, terutama di bagian samping. Bagian tubuh yang sensitif ini membantu pergerakan sidat sebab kemampuan penglihatannya kurang baik. Selain itu, organ penciuman yang sangat peka juga membantu mengatasi kelemahan daya penglihatannya.

Sidat mempunyai kulit yang lembut dan sangat berlendir. Sebagian orang beranggapan sidat tidak bersisik, tetapi sebenarnya sidat memiliki sisik berukuran kecil yang terdapat dibawah kulit. Ukuran sisik-sisik tersebut relatif kecil dan tersusun secara khas. Dengan tidak adanya sisik besar, kemampuan sidat dalam bernafas melalui permukaan kulit sama baiknya dengan melalui insang. Organ pernafasan utama sidat adalah insang. Sidat memiliki empat insang yang terletak di dalam rongga branchial. Selain mengambil oksigen yang larut dalam air, sidat juga mempunyai kemampuan mengambil oksigen langsung dari udara. Itulah sebabnya, sidat dapat bertahan selama beberapa saat di udara terbuka yang memiliki kelembapan cukup tinggi. Keistimewaan lainnya adalah sidat mempunyai kemampuan mengabsorbsi oksigen melalui seluruh permukaan tubuhnya

(30)

10

Sidat merupakan hewan yang bersifat katadrom. Dengan demikian sidat mampu hidup di air tawar dan air asin. Sidat kecil hidup di air tawar hingga mencapai dewasa dan selanjutnya akan bermigrasi ke laut untuk memijah. Oleh karena itu, sebagian besar hidup sidat akan dihabiskan di lingkungan air tawar, seperti sungai, danau, waduk, kolam, sawah dan berbagai jenis habitat air tawar lainnya. Hanya sebagian kecil dari kehidupannya yang dihabiskan di laut. Sidat yang bersifat katadrom mulai kehidupannya dari lautan dalam. Lautan yang digunakan sebagai daerah pemijahan (spawning ground) umumnya mempunyai kedalaman lebih dari 3.000 m. Sedangkan aktivitas pemijahan berlangsung di lapisan air dengan kedalaman 400 m - 500 m di bawah permukaan air. Kondisi lingkungan pada lapisan tersebut sangat menunjang aktivitas pemijahan dan penetasan telur karena memiliki temperatur C - C dan salinitasnya mencapai 35%.

Satu kali pemijahan, induk sidat betina dapat menghasilkan telur sebanyak 7 juta hingga 13 juta butir. Telur-telur tersebut akan menetas dalam waktu 1 hari hingga 10 hari dan berubah menjadi larva sidat yang disebut leptocephalus.

Leptocephalus yang berada pada kedalaman 400 m – 500 m secara berangsur- angsur akan menuju ke permukaan air hingga mencapai kedalaman sekitar 30 cm dan akan terbawa oleh arus permukaan laut menuju ke perairan tawar. Setibanya di pesisir pantai, leptocephalus biasanya telah berubah menjadi elver (sidat kecil).

Elver memiliki tubuh yang agak transparan sehingga sering disebut sidat kaca atau glass ell. Elver akan hidup di perairan tawar hingga menjadi dewasa dan matang kelamin. Pasangan induk sidat yang telah matang kelamin akan berusaha memijah di laut.

Bab penangkapan serta pemeliharaan sidat memaparkan mengenai penangkapan sidat di alam. Sidat yang hidup di perairan alam biasanya ditangkap dalam dua bentuk, tergantung pada kebutuhannya, yaitu bentuk elver dan sidat.

Elver ditangkap karena dibutuhkan dalam usaha pemeliharaan. Kebutuhan elver harus dipenuhi dari hasil penangkapan di alam sebab sidat belum berhasil dipijahkan secara terkendali di kolam. Kolam pemeliharaan sidat hanya berfungsi

(31)

11

untuk membesarkan sidat dari ukuran benih (elver) hingga mencapai ukuran konsumsi.

Penulis menggunakan buku ini sebagai acuan penulisan dalam skripsi karena pembahasan di dalam buku ini relevan dengan materi penelitian.

Penggunaan buku ini, penulis mendapatkan informasi mendalam tentang sidat mulai dari karakteristik dan siklus hidup sidat hingga mengenai penangkapan dan pemeliharaan sidat. Semua pembahasan mengenai sidat dalam buku ini dikupas dengan sangat rinci dan mendetail. Bahkan informasi mengenai bagaimana proses serta tahapan-tahapan agar pemeliharaan sidat dapat berhasil juga bisa diperoleh di dalam buku ini.

Acuan kedua, adalah karya Haryono pada jurnal Warta Iktiologi Vol 1 (1) Mei 2017: 7-13 Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI yang berjudul Beberapa Jenis Ikan Keramat di Indonesia.16 Sesuai dengan judulnya, jurnal ini membahas mengenai jenis ikan keramat yang ada di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya yang sangat beragam. Hal ini tidak lepas dari wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang tinggi sehingga memunculkan banyak adat istiadat pada masyarakat. Salah satu budaya yang sangat terkait dengan kekayaan hayati adalah ikan keramat yang dapat dijumpai di beberapa daerah. Dalam pengkeramatan tersebut umumnya disertai beragam legenda yang diyakini oleh masyarakat sekitarnya. Mulai dari kepercayaan bahwa ikan-ikan yang dikeramatkan merupakan jelmaan prajurit, ikan piaraan tokoh yang diagungkan, dan lain sebagainya.

Legenda yang turun temurun tersebut berisi petuah yang melarang penduduknya untuk tidak mengganggu dan bahkan mengambil ikan yang dikeramatkan. Apabila ada yang berani melanggar larangan tersebut maka akan mengalami malapetaka yang dapat berujung pada kematian. Selain itu, diperkuat dengan cerita tentang kejadian-kejadian buruk yang dialami oleh para pelaku pelanggaran terhadap larangan tersebut. Pada umumnya jarang sekali ada anggota masyarakat yang berani melanggarnya.

16Haryono, “Beberapa Jenis ikan Keramat di Indonesia”, Jurnal Warta Iktiologi Vol 1(1) (Jakarta: Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2017).

(32)

12

Jenis ikan yang dikeramatkan sangat beragam tergantung daerahnya. Mulai dari ikan dewa yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia walaupun asal muasalnya dari Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Begitu pula dengan nama ikan larangan yang banyak dijumpai di Sumatera, terutama Provinsi Sumatera Barat. Terdapat pula ikan sidat dengan sebutan ikan moa, masapi, dan morea yang dikeramtkan di wilayah Tana Toraja dan Maluku. Terdapat pula jenis ikan lain yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat. Jenis-jenis ikan yang dikeramatkan kebanyakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Adanya kepercayaan oleh anggota masyarakat bahwa ikan-ikan tersebut tidak boleh diganggu maka kearifan lokal seperti ini merupakan satu hal yang yang sangat menguntungkan terkait dengan upaya konservasi. Dengan demikian, kearifan lokal yang sudah melekat di masyarakat perlu dijaga dengan dibekali kajian ilmiah agar dapat mendukung upaya pelestarian jenis ikan yang dikeramatkan.

Salah satu jenis ikan keramat yang disebutkan di dalam karya ini adalah ikan sidat. Lokasi yang menjadikan sidat sebagai ikan yang dikeramatkan lebih banyak di jumpai di wilayah Indonesia timur, diantaranya adalah Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Maluku. Di kawasan ini, ikan sidat dikenal dengan nama sogili, moa, masapi, dan morea. Kebaradaannya tidak lepas dari daerah sebaran geografinya yang memang luas di Indonesia timur dengan jumlah sepesies yang lebih beragam. Ikan sidat dikeramatkan di Desa Tilanga, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Masyarakat setempat menamakannya dengan istilah ikan masapi. Selain itu, sidat juga dikeramatkan di sekitar Ambon tepatnya Desa Waai, Kecamatan Salahutu dengan sebutan ikan morea.

Di kedua lokasi tersebut di atas, sidat menjadi ikan yang menarik untuk dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Untuk memanggil agar sidat mau keluar dari lubang persembunyian dilakukan dengan cara memberi makan telur rebus yang banyak dijajakan oleh pedagang di sekitar lokasi tersebut.

Selain itu, dapat pula dengan memberi makan berupa ikan-ikan kecil. Kedua jenis makanan di atas sangat disukai karena secara biologi, sidat merupakan ikan pemakan daging atau karnivora dan lebih aktif pada malam hari.

(33)

13

Seperti halnya ikan keramat lainnya, sidat juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan saat ini sedang menjadi komoditas primadona karena harganya yang mahal serta kandungan gizinya yang tinggi. Kandungan gizi ikan sidat terutama adalah vitamin A dan omega (DHA) yang lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lainnya. Sidat yang di Jepang dikenal dengan nama

’unagi’ sangat mahal harganya karena memiliki kandungan protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi sebesar 4700 IU. Hati ikan sidat memiliki 15.000 IU/100 gram kandungan vitamin A, dan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram.

Ikan sidat sering dinamakan pula dengan istilah ‘belut bertelinga’ karena tubuhnya mirip dengan ikan belut, hanya saja di samping kepalanya terdapat sirip dada yang posisinya menyerupai telinga. Sirip punggung panjang yang menyatu dengan sirip ekor dan sirip dubur. Permukaan tubuhnya ditutupi sisik yang sangat kecil/lembut seolah tidak bersisik. Pada rahang mulutnya terdapat gigi yang halus dan susunannya berbeda pada tiap spesies.

Penggunaan karya ini sebagai acuan dikarenakan, pembahasan mengenai ikan keramat sangat relevan dengan penulisan skripsi ini. Ikan sidat yang banyak dijumpai di Kabupaten Gunungkidul, untuk sebagian wilayah masyarakatnya juga menganggap ikan sidat sebagai ikan keramat. Salah satunya di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo Gunungkidul, secara administratif, Dusun Gelaran terbagi menjadi 2 wilayah yakni Dusun Gelaran I dan Gelaran II.

Kedua wilayah ini memiliki sumber mata air yang dipercaya terdapat ‘wingit’

yang dalam bahasa Jawa berarti ‘penunggu’, sumber mata air ini terdapat beberapa ikan yang dikeramatkan antara lain ikan hampala, ikan palung serta ikan sidat. Ikan-ikan tersebut oleh masyarakat dipercaya sebagai hewan peliharaan

‘penunggu’ wilayah tersebut, terutama ikan sidat yang dipercaya sebagai hewan peliharaan kesayangan sehingga keberadaanya sangat dijaga. Sumber mata air ini oleh warga setempat disebut sebagai ‘sendang’ atau ‘belik’.

Pustaka yang ketiga, adalah karya Ridwan Affandi jurnal Iktiologi Indonesia Volume 5, Nomor 2, Desember 2005 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-lPB yang berjudul Strategi Pemanfaatan Sumberdaya

(34)

14

Ikan Sidat, Anguilla sp. di Indonesia.17 Seperti judulnya, jurnal ini membahas mengenai pemanfaatan sumberdaya ikan sidat di Indonesia. Ikan sidat, Anguilla spp. merupakan jenis ikan yang laku di pasar internasional (Jepang, Hongkong, Jerman, Italia dan beberapa negara lain). Dengan demikian ikan ini memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Tidak seperti halnya di negeri lain (Jepang, dan negara-negara Eropa), di Indonesia sumberdaya ikan sidat belum banyak dimanfaatkan. Hal ini terlihat dari tingkat pemanfaatan ikan sidat secara lokal (dalam negeri) masih sangat rendah, padahal jumlah ikan ini baik dalam ukuran benih maupun ukuran konsumsi cukup melimpah. Salah satu penyebabnya adalah ikan ini belum banyak dikenal, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum familiar untuk mengkonsumsi ikan sidat. Demikian pula pemanfaatan ikan untuk tujuan ekspor masih sangat terbatas.

Karya ini juga memaparkan bagaimana upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan sidat:

1. Inventarisasi potensi sumberdaya ikan sidat di Indonesia

Kegiatan inventarisasi ini harus dilakukan agar dapat menghasilkan suatu

"peta distribusi dan potensi ikan sidat di Indonesia". Melalui peta tersebut, pengguna dapat mengetahui dengan mudah mengenali penyebaran jenis, kelimpahan dan stadia ikan sidat yang ada di perairan Indonesia.

2. Sosialisasi pemanfaatan sumberdaya ikan sidat kepada masyarakat

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengenal bentuk/rupa ikan sidat dan mencicipi rasanya. Agar ikan sidat dapat dikenal dan dapat diterima sebagai ikan konsumsi oleh masyarakat secara luas, maka harus ada usaha penebaran ikan sidat di daerah yang secara alami tidak mungkin akan didapatkan ikan sidat (di luar jalur ruayanya). Benih ikan sidat yang ditebar di suatu perairan (sungai, rawa dan danau) akan tumbuh dan ketika suatu saat tertangkap oleh pemancing atau penangkap ikan, maka masyarakat akan berusaha untuk

17Ridwan Affandi, “Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sidat, Anguilla sp. di Indonesia”, Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 5 No 2 (Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, 2005).

(35)

15

mengenalnya (mengenal/mengetahui nama jenisnya) dan akan mencoba untuk mengkonsumsinya. Melalui upaya ini, lambat laun masyarakat akan mengenal dan bahkan menerima ikan sidat sebagai ikan konsumsi.

3. Pengembangan teknik penangkapan ikan sidat di perairan umum

Apabila ikan sidat telah dikenal dan dibutuhkan oleh masyarakat maka kegiatan penangkapan ikan sidat di perairan umum diharapkan akan meningkat. Untuk mengarahkan agar kegiatan penangkapan ini tidak bersifat destruktif bahkan mengancam kelestariannya, maka dari sejak awal perlu diperkenalkan teknik penangkapan yang sederhana dan ramah lingkungan.

4. Pengembangan teknik budidaya ikan sidat

Sejalan dengan upaya sosialisasi ikan sidat kepada masyarakat, upaya pengenalan teknik budidaya perlu dilakukan. Teknik budidaya ikan sidat yang perlu diperkenalkan kepada masyarakat (petani ikan) adalah teknik budidaya yang sederhana dan tidak membutuhkan banyak modal.

5. Pengembangan teknik pengolahan produk ikan sidat

Untuk meningkatkan daya terima masyarakat terhadap ikan sidat dan nilai tambah ikan sidat itu sendiri, maka produk yang dijual ke konsumen seyogyanya bukan hanya dalam bentuk segar, tetapi juga dalam bentuk olahan.

Potensi sumberdaya ikan sidat di Indonesia cukup besar namun singkat pemanfaatannya belum optimal. Sebenarnya sumberdaya ikan sidat ini mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat melalui penciptaan lapangan usaha dan penyerapan

tenaga kerja dalam kegiatan-kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan dan tataniaganya apabila ditangani secara sungguh-sungguh dan bijaksana. Untuk itu maka perlu dilakukan upaya-upaya yang sistematis dan rasional ke arah pemanfaatannya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya.

Penulis menggunakan karya ini sebagai acuan penulisan mengenai bagaimana seharusnya masyarakat memanfaatkan sumberdaya ikan sidat yang sangat melimpah tanpa meninggalkan unsur kearifan lokal yang telah lama

(36)

16

diyakini tersebut. Sesuai dengan tulisan-tulisan dalam skripsi ini bahwa di beberapa wilayah Kabupaten Gunungkidul mitos mengenai ikan sidat sebagai ikan keramat masih berlaku bagi sebagian masyarakat. Namun dengan dijadikannya ikan sidat sebagai komoditi ekspor yang memiliki nilai jual tinggi, tentunya akan memiliki dampak tersendiri terhadap tujuan dari diberlakukannya kearifan lokal tersebut, yakni mengenai kelestarian dari ikan itu sendiri. Maka dari itu, dengan penggunaan jurnal ini sebagai salah satu bahan acuan, diharapkan mampu memberikan penilaian dari salah satu sudut pandang mengenai permasalahan tersebut.

E. Kerangka Pemikiran

Skripsi ini memaparkan tentang perubahan pandangan masyarakat terhadap ikan sidat di wilayah Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta sejak tahun 1987 hingga 2014. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perubahan dapat di artikan sebagai keadaan yang berubah. Jadi bisa kita definisikan bahwa perubahan adalah peralihan keadaan yang sebelumnya, perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan saja melainkan bisa berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat. Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, struktur-struktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi- relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.18

Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa tentang kekuatannya maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna. Terjadinya perubahan tersebut disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu :

18Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 384.

(37)

17

1. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor penyebab perubahan yang terjadi dari dalam diri manusia yang timbul karena adanya dorongan dari diri manusia tersebut untuk melakukan perubahan pada dirinya dan lingkungannya. Faktor internal dapat terjadi jika adanya dorongan atau motivasi untuk melakukan suatu perubahan, perubahan yang terjadi dapat berupa bentuk, sikap maupun situasi.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor penyebab perubahan yang terjadi dari luar diri manusia. Faktor tersebut dapat disebabkan karena faktor keluarga, masyarakat dan lingkungan. Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan merupakan satu wujud nyata dari kehidupan yang mampu mendorong atau memotivasi sesorang untuk mengubah Sesuatu menjadi bebeda dari sebelumnya melalui sebuah proses yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Perubahan dapat membuat sesorang mampu menciptakan atau merubah sesuatu sesuai dengan tututan situasi dan kondisi keluarga, lingkungan dan masyarakat setempat.

Sedangkan pengertian pandangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam masyarakat.

Dalam hal ini pandangan yang dimaksud adalah suatu konsep hasil pemikiran baik individu maupun kelompok tentang suatu hal, dalam skripsi ini adalah pandangan masyarakat tentang ikan sidat. Jadi, perubahan pandangan adalah berubah, beralihnya atau bergantinya sudut pandang individu maupun kelompok terhadap sesuatu hal. Dalam skripsi ini, beralihnya pandangan suatu masyarakat (nelayan) sebagai pelaku penangkapan sidat yang awalnya menganggap sidat sebagai ikan keramat menjadi ikan ekonomis.

(38)

18

Pengertian penangkapan adalah adalah proses, cara, perbuatan menangkap.19 Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang dilakukan manusia neanderthal (neanderthal man) sejak 100.000 tahun yang lalu menggunakan tangan yang kemudian profesi ini secara perlahan-lahan terus berkembang dengan menggunakan berbagai alat yang masih sangat tradisional yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti batu, kayu, tulang dan tanduk.20

Perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan dalam 3 kelompok, yakni perikanan lepas pantai, perikanan pantai, dan perikanan darat.21 Perikanan pantai ialah kegiatan menangkap populasi hewan air (ikan, udang, kerang-kerangan) dan memanen tumbuhan air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Masalah yang dihadapi perikanan tangkap pada umunya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya perikanan dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan. Kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan sebagai sasaran dari kegiatan perikanan tangkap sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah perairan pesisir menjadi faktor cukup penting demi keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, pencegahan penggunaan bahan racun dan peledak (dinamit) untuk menangkap ikan demi keberlanjutan ekosistem perairan tangkap. Teknik menangkap glass ell dibedakan menjadi dua, yakni:22

19Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1607.

20Sudirman dan Mallawa, Teknik Penangkapan Ikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 1.

21Rokhmin Dahuri, dkk, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), hlm. 210.

22Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta, “Mengenal Sidat” (http://dislautkan.jogjaprov.go.id/web/detail/191/mengenal sidat, diakses pada tanggal 22 Maret pukul 14:40).

(39)

19

1. Menggunakan jaring sorong.

Biasanya dilakukan di sungai pada malam hari. Penangkapan menggunakan bantuan lampu untuk menarik perhatian glass eel. Ukuran mata jaring sorong yang digunakan 0,7 mm-1 cm.

2. Memasang jaring secara melintang di sungai.

Teknik ini berguna untuk menangkap glass ell yang dating bersama arus pasang. Ukuran mata jaring yang digunakan 0,7 mm-1 cm.

Nelayan dapat didefinisikan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan.23

Masyarakat nelayan berdasarkan pemilikan modal dapat dibagi menjadi dua.24

1. Nelayan juragan, yaitu pemilik perahu dan alat tangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya untuk menangkap ikan di laut. Mereka itu mempunyai tanah yang digarap pada musim paceklik. Nelayan juragan dibagi menjadi tiga, yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat, dan orang yang mempunyai modal tetapi bukan nelayan asli.

2. Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi atau modal tetapi memiliki tenaga yang dijual pada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usahanya.

Sementara itu, ikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah binatang yang hidup di air, umumnya bernafas dengan insang, tubuhnya bersisik, bergerak dan menjaga keseimbangan badannya dengan menggunakan sirip.25 Ikan Sidat memiliki bentuk bulat panjang menyerupai ular atau seperti belut namun

23Johanes Widodo dan Suadi, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 29.

24Wahyuningsih, BA, Budaya Kerja Nelayan Indonesia Daerah Jawa Tengah Kasus Masyarakat Desa Wonokerto Kulon Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan (Jakarta: CV. Bupara Nugraha, 1997), hlm. 2.

25Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, hlm. 418.

(40)

20

memliki sirip, mempunyai rasa daging yang enak sehingga disukai dan banyak dicari oleh konsumen dari luar negeri, terutama Jepang. Ikan Sidat yang dikenal dengan nama Unagi di Jepang banyak dijadikan sebagai bahan makanan khas Jepang, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat tidak kurang dari 7 jenis ikan sidat dari 18 jenis sidat yang ada di dunia. Ikan yang mempunyai nama latin Angguilla Sp ini merupakan ikan yang dulu mudah didapat di sungai-sungai atau rawa-rawa yang tersambung dengan sungai, namun sekarang mulai sulit didapat.

Ikan sidat bersifat katadromus, yaitu melakukan migrasi ke arah laut pada saat akan melakukan perkawinan dan memijah di laut dalam, sedangkan benih sidat akan menuju ke muara sungai mencari air tawar untuk melakukan migrasi ke hulu sampai mereka tumbuh dewasa.26

Sidat merupakan hewan yang termasuk ke dalam family Anguillidae.

Hewan ini memiliki banyak nama daerah, seperti ikan uling, ikan moa, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, dan ikan pelus. Tubuh sidat memanjang dan terlihat seperti tidak bersisik, namun sebenarnya bersisik kecil berbentuk memanjang dan dilapisi lendir yang tebal. Susunan sisiknya tegak lurus terhadap panjang tubuhnya. Punggung sidat berwarna coklat kehitaman, perutnya berwarna kuning hingga perak. Hewan ini memiliki kemampuan mengambil oksigen langsung dari udara dan mampu bernafas menggunakan seluruh bagian kulitnya.

Sidat mengalami empat fase pertumbuhan, larva sidat disebut glass ell. Tubuhnya lebar seperti daun dan transparan. Setelah berukuran sekitar 12 cm disebut elver.

Selanjutnya, menjadi fingerling dengan panjang tubuh sekitar 40 cm. Fingerling kemudian menjadi sidat ukuran konsumsi dengan panjang tubuh 80 cm hingga 1 m lebih. Sidat termasuk genus Anguilla. Wilayah penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik, Atlantik dan Hindia. Sidat bersifat nocturnal yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas sidat pada malam hari sehingga jumlah sidat yang

26Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta, “Restocking Ikan Sidat di DIY” (http://dislautkan.jogjaprov.go.id/web/detail/136, diakses pada tanggal 10 Januari 2016 pukul 16:52).

Referensi

Dokumen terkait

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar Vineland Social Maturity Scale (VSMS). Kesimpulannya adalah 1) Sebagian besar anak (48,7%) mempunyai

Pendidikan karakter mempunyai makna yang lebih tinggi dari pada pendidikan moral, karna pendidikan karakter bukan hanya berkaitan dengan masalah benar dan salah, tetapi

 Mengutamakan pendidikan dan latihan semula dengan menganjurkan kuliah, bengkel, ceramah, seminar, forum, apresiasi filem dan sebagainya di seluruh negeri.  Networking

Hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa faktor yang ada pada peneltian yang mempengaruhi kepatuhan membayar pajak antara lain: pengetahuan dan pemahaman akan

Skripsi yang berjudul : PELAKSANAAN PELATIHAN KERJA DI BALAI LATIHAN KERJA SURAKARTA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 31 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PELATIHAN KERJA

Perkembangan penduduk yang cepat dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir termasuk terumbu karang mengalami

(hasil wawancara penulis dengan AW, 23 agustus 2016) Dari hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa pelayanan yang di Desa Benteng Gantarang berikan oleh pemerintah

Tanggal 14 Juli 2005, Dompet Dhuafa meluncurkan unit baru yaitu Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggalang