• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET PENDIDIKAN DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTRET PENDIDIKAN DI BALI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

63

POTRET PENDIDIKAN DI BALI

Ni Ketut Kariasih Guru SMA Negeri 2 Semarapura Bali

ABSTRAK

Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati pendidikan di Indonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat Sekolah Dasar, Indeks partisipasi kasar di Indonesia telah mencapai 100%. Tetapi deskripsi yang diperoleh akan berbeda, lantaran equality of access belum diikuti oleh equality of survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi. Demikian pula equality of output masih pada tataran keinginan daripada kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih menyikapi tugas- tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring peserta didik yang semakin heterogen akibat masalisasi kesempatan, daripada memberikan layanan ahli yang profesional.

Kata kunci: Potret Pendidikan, Bali

PENDAHULUAN

Apa yang telah kita capai selama 76 tahun kemerdekaan? Apa masalah yang masih harus kita selesaikan di masa depan? Itulah dua pertanyaan penting yang agaknya perlu kita renungkan..keduanya tentu meliputi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain politik, ekonomi, hukum, dan HAM, serta pendidikan.

Usaha perbaikan pendidikan sudah banyak dilakukan, terutama selama era reformasi. Dana cukup banyak dihabiskan, termasuk pinjaman luar negeri dan hibah dari Negara donator untuk pembangunan gedung, pengadaan peralatan,pengubahan kurikulum, pengubahan sistem pendidikan guru, penataran guru/dosen, dan banyak lagi yang lain.

Tetapi masalah pokok pendidikan nasional yakni, mutu yang rendah, belum juga teratasi.

Laporan UNDP tahun 2017 tentang mutu SDM menunjukan Indonesia pada urutan 58, jauh di bawah Vietnam (7).

Dalam laporan UNESCO belakangan, mutu pendidikan Indonesia pada urutan 119 di dunia, jauh di bawah kebanyakan Negara berkembang. Pergguruan Tinggi kebangsaan nasional belum menduduki peringkat 50 dari 104 PT sejenis di Asia pasifik menurut survey Asiaweek.

Mengapa demikian? Karena usaha selama ini cenderung bersifat tambal sulam (insidental), tidak menyentuh akar masalah dengan tepat. Tekanan “budaya proyek” juga sering menyebabkan usaha melenceng dari akar masalah.

Ada lima akar masalah pendidikan kita. Kelimanya berkaitan erat satu sama lain.

Pertama, komitmen nasional terhadap pendidikan sangat lemah, terrutama dari pihak legislatif dan eksekutif. Perlu dicatat, komitmen mengandung makna kesadaran yang tinggi akan suatu kebutuhan dan tekad bulat memenuhi kebutuhan itu dengan sungguh dan jujur.

Makna inilah yang teabaikan selama ini.

Langkah-langkah yang perlu di ambil antara lain ialah(1) membuat pendidikan salah satu prioritas utama; (2)melakukan penghematan di semua bidang pengelolaan Negara dan BUMN; temasuk penyederhanaan mobil dan fasilitas dinas lainnya dari pusat hingga daerah;

(2)

64

(3) semua pendidikan formal di pusatkan di Depdiknas; tak perlu setiap departemen mempunyai PT, kecuali Depag dan Dephan, sehingga dana terpusat dan pengelolaan terpadu serta eksklusivesme birokratis tidak berkembang; (4) mengefektifkan dan mengoptimalkan sistem perpajakan, dan bila perlu, adakan pajak khusus untuk pendidikan;

(5) mencegah dan menindak tegas KKN.dengan langkah-langkah ini dana untuk pendidikan, temasuk perbaikan gaji guru/dosen, bahkan semua PNS/POLRI/TNI, akan cukup.

Kedua, pandangan filosofis tentang pendidikan ketinggalan. Tiga pertanyaan filosofis mendasar perlu dijawab dengan pandangan baru untuk menghadapi tantangan abad ke-21; apa pendidikan? Apa produk pendidikan? Apa mutu dan pemerataan pendidikan? Selama ini, secara umum pendidikan dipandang sebagai proses pengubahan perilaku, yang berimplikasi pada yang (berhak) mengubah dan ada yang diubah (proyek).

Pandangan ini cenderung paternalistik, sentralistis, birokratis dan menekankan keseragaman. Produk pendidikan adalah lulusan. Inilah pandangan dominan hingga kini.

Akan tetapi, benarkah hanya guru/dosen dan lembaga yang membuat peserta didik lulus? Kalau mau jujur, tentu tidak, karena peserta didik memiliki kemampuan sendiri dan dapat memperoleh embaran dari sumber-sumber lain, apalagi dalam era embaran dan globalisasi ini. Pandangan ini cenderung menimbulkan sikap “target-targetan”. Misalnya, dalam Ujian Nasional ditargetkan lulus sekian persen. Mutu pendidikan dipahami sebagai kemampuan peserta didik menguasai materi ajar. Pemerataan dipisahkan dari mutu.

Pandangan ini cenderung mengembangkan kemampuan akademis (skolastik) tapi lemah dalam praksis. Juga cenderung mengejar pemerataan tanpa mutu untuk kepentingan politik sasaat.

Ketiga pandangan di atas sesuai dan efektif untuk masa lalu, tetapi agaknya lemah menghadapi era embaran dan globalisasi. Pandangan baru berdasarkan filsofi mutu dan Manajemen mutu Terpadu (Total Quality Management) agaknya perlu diterapkan.

Pendidikan dipandang sebagai jasa (pelayanan). Produk pendidikan yang sepenuhnya adalah jasa (pelayanan), yang terutama merupakan proses. Lulusan adalah produk parsial. Mutu pendidikan adalah kesesuaian sifat-sifat (atribut) produknya dengan kebutuhan para pelanggannya, peserta didik, masyarakat, dunia kerja, dan lain-lain). merujuk pengertian ini, relevansi tak perlu dipisahkan dari mutu, karena merupakan salah satu atribut dari mutu.

Mutu dan pemerataan merupakan dua hal yang terpadu (integralistik), dan tak terpisahkan.

Ini berimplikasi bahwa pemerataan pendidikan bermutu dalam arti mutu di atas. Dalam pandangan baru ini, community-based education dan school-based management yang belakangan ini dipopulerkan sudah tercakup. Pandangan ini juga sesuai dengan prinsip otonomi daerah.

Ketiga, sistem pemberdayaan Guru (SPG) sangat lemah. SPG mempunyai tiga sub- sistem yang berkaitan erat; (1) sub-sistem pendidikan/pelatihan prajabatan; (2) sub-sistem pendidikan/pelatihan dalam jabatan; (3) sub-sistem kesejahteraan (gaji, dan lain-lain). Sub- sistem (1) sungguh sangat lemah. Sejak permulaan kemerdekaan tidak kurang dari 20 jenis lembaga pendidikan guru (LPG) gonta-ganti.

Terakhir IKIP menjadi Universitas, tapi dua model berbeda; model UPI Bandung dan model lainnya. FKIP dan STKIP belum tahu akan menjadi apa. Disamping itu masih ada PGSD. Sub-sistem (2) dapat dikatakan sudah baik selama ini. tetapi karena tidak di dukung oleh sub-sistem (3), nilai tambahnya tak kelihatan. Banyak guru/dosen sudah dilatih/ ditatar

(3)

65

tiga hingga empat kali, tetapi terpaksa juga menjadi ‘guru/dosen biasa di Luar. Sub- sistem(3) sungguh sangat lemah. Gaji guru/dosen Indonesia di Asia-Pasifik, mungkin juga di dunia adalah yang terendah.

LPG perlu direformasi menjadi sistem berorientasi mutu. LPG diadakan pada salah satu Universitas setiap Propinsi. LPG menyediakan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Calon yang diterima untuk program itu minimum D3 untuk guru TK,SD,SMP, dan S1 untuk SMA/SMK dari berbagai bidang studi relevan.

Untuk Dosen minimum S2. lama studi satu tahun. Dulu, kita kenal dengan akta mengajar).

Penerimaan didasarkan pada kebutuhan obyektif daerah. Setelah lulus harus segera di tempatkan. Penempatan dapat lintas daerah sesuai dengan kebutuhan, dan kesepakatan pemerintah daerah bersangkutan. Sistem ini akan lebih efektif dan efisien. Guru/ dosen akan bermutu dan akan di hormati dan akan banyak generasi muda ingin menjadi guru/dosen sehingga seleksi dapat di perketat.

Keempat, sistem manajemen sentralistis-birokratis dan tak terpadu. Inilah yang terjadi selama ini. Dengan UU Otonomi Daerah, desentralisasi pendidikan sudah mulai.

Tetapi, tampaknya timbul kegamangan di berbagai daerah. Dengan pandangan filosofis di atas, daerah akan lebih yakin. Perlu di catat, kelemahan dasar sistem manajemen ini ialah:

(1) tidak mendorong kreativitas dan kemandirian; (2) tidak mengakomodasi keberagaman yang merupakan ciri khas daerah; dan (3) tidak mendorong berkembang demokratisasi dan trasparansi. Karena itu, sistem ini perlu direformasi menjadi sistem yang desentralis- demokratis-transparan.

Kelima, pengajaran paternalistik-feodalistik-birokratis. Pola pengajaran klasikal, sangat bergantung pada guru/dosen, dan guru/dosen bergantung pada atasan, serta sikap guru/dosen yang feodalistis (pengaruh budaya lama di sebagian daerah) masih dominan di sekolah-sekolah/PT Indonesia. Akibatnya (1)kreativitas dan kemandirian peserta didik lambat berkembang; (2) keberagaman sering tak terakomodasi; dan (3) mutu dalam arti di atas sulit tercapai. Pola ini tak sesuai lagi dengan era embaran dan globalisasi. Karena itu perlu direformasi menjadi pola pengajaran yang dialogis-demokratis-kebersamaan.

PEMERATAAN PENDIDIKAN

Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati pendidikan di Indonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat Sekolah Dasar, Indeks partisipasi kasar di Indonesia telah mencapai 100%. Tetapi deskripsi yang diperoleh akan berbeda, lantaran equality of access belum diikuti oleh equality of survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi. Demikian pula equality of output masih pada tataran keinginan daripada kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih menyikapi tugas-tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring peserta didik yang semakin heterogen akibat masalisasi kesempatan, daripada memberikan layanan ahli yang profesional..

Salah satu masalah yang tak kunjung selesai dalam pendidikan adalah pemerataan (equality) dan keadilan (equity). Secara khusus dapat dipertanyakan: pemerataan yang bagaimana yang adil bagi semua pihak? Pemerataan pendidikan merupakan topik yang senantiasa menjadi pumpunan (focus) dalam setiap tahapan pembangunan di negara kita.

Dengan alasan, demi pertanggungjawaban kepada rakyat (sesuai pasal 31 UUD’45), mungkin juga demi prestise penguasa. Secara sangat mencolok kita melihat dan mendengar

(4)

66

statemen pemerataan pendidikan. Seperti yang telah kita alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan pemenuhan fisik pendidikan, seperti pemenuhan daya tampung, ratio siswa dengan ruang, ratio siswa guru, ratio siswa perjenjang, ratio siswa dengan anak usia sekolah dan sebagainya. Akibatnya laju pembangunan gedung sekolah cukup tinggi, sementara tuntutan kualitas agak terabaikan. Kondisi obyektif ini menurut Barnadib (1988) hanya merupakan solusi jangka pendek dari equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih jauh dari harapan (pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu).

Konsep dan takrif pemerataan dan keadilan yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pendapat Bronfenbrenner (1973), yakni, “ equity to mean social justice, or fairness, it refers to as subjective and ethical judgement. Equality refers to the pattern of distribution of something, such as income or education, for example. Equality is a more objective, descriptive term”. Selanjutnya dikemukakan tiga konsep pemerataan sebagai berikut: Pertama. Perlakuan yang sama kepada mereka yang menurut kriteria tertentu termasuk kategori yang sama, Kedua. Upaya mengurangi ketidakmerataan penghasilan (outcome), yang diukur berdasarkan pendapatan (income), kesejahteraan, dan harga diri, Ketiga. Pemerataan kesempatan. Ide ini merupakan indikator masyarakat yang adil, karena memberikan kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk bersaing memperoleh keuntungan sosial.

Jikalau Konsep pemerataan pendidikan diterjemahkan ke dalam kegiatan operasional, akan menghasilkan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk jelasnya diuraikan sebagai berikut: Pertama. Pemerataan memperoleh pendidikan dasar yang universal.

Diasumsikan setiap anak berhak memperoleh pelayanan pendidikan universal. Andaian (asumsi) ini didasarkan pada pandangan: humanistik yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya persiapan yang ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu diberi pendidikan dasar yang universal agar kelak dapat meningkatkan kemampuhasilan (produktivitas). Kedua. Pemerataan penyajian mutu pendidikan. Adalah wajar jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya menyamakan mutu lewat Ujian Nasional, sementara kualitas pelayanan sangat berbeda. Ketiga. Pemerataan pendidikan melalui pendidikan bebas. Yang dimaksudkan adalah siswa tidak memiliki keharusan untuk membayar uang sekolah. Kesempatan memperoleh pendidikan jangan dihalang oleh kemiskinan atau ketiadaan uang. Keempat. Perlakuan sama bagi siswa. Yang dimaksud adalah terciptanya suasana demokratis dan tidak diskriminatif dalam proses pendidikan.

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI BALI

Kalau saja kita mau jujur, Persoalan pendidikan di Bali pada saat ini antara lain adalah ; (1) rendahnya kualitas output ; (2) rendahnya kualitas kepenadan (relevansi) pendidikan; (3) kekurangan guru baik dalam jumlah maupun kualifikasi (4) rendahnya kualitas guru; (5) lemahnya manajemen pendidikan; (5) kurangnya sarana prasarana pembelajaran, (6) rendahnya daya bayar masyarakat dan ke (7) manajemen yang masih lemah.

Untuk mengatasi persoalan seperti dipaparkan di atas, Pemerintah Daerah di Bali dan masyarakat Bali umumnya mesti memiliki kiat khusus. Jika kita tidak memiliki komitmen

(5)

67

untuk mengatasinya, maka otonomi daerah yang saat ini sedang dilaksanakan hanya menjadi beban bagi masyarakat Bali dan pada akhirnya identitas Bali sebagai daerah otonom akan kembali dipertanyakan.

Potensi untuk pengembangan pendidikan di Bali sebenarnya sangat besar. Perhatian pemerintah daerah untuk menyediakan sarana prasarana pendidikan dan beasiswa bagi siswa-siswa berprestasi sudah sejak lama berlangsung, walau hingga saat ini belum kunjung terpenuhi. Demikian pula bantuan dana beasiswa dari Lembaga sosial dalam dan luar negeri yang disalurkan lewat Yayasan pendidikan kristen sudah berlangsung lama. Hanya saja dalam pelaksanaannya terjadi mis manajemen. Bantuan beasiswa tersebut, karena sesuatu yang tidak jelas jatuh pada orang yang tidak tepat.

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Untuk menentukan program pendidikan di Bali, kita perlu memiliki arah kebijakan yang jelas, antara lain; (1) mengupayakan perluasan pemerataan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu; (2) meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (3) melakukan modifikasi terhadap kurikulum, agar adaptif terhadap keberagaman peserta didik dan kebutuhan masyarakat setempat; (4) memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat kebudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat; (5) membenahi manajemen pendidikan yang berbasis sekolah; (6) mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan sinambung ; (7) meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan tehnologi termasuk tehnologi local (Umbu Tagela,2000).

Atas pijakan demikian, diusulkan program pembangunan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan Prasekolah, Dasar dan Menengah

Tujuan dari program ini antara lain adalah; (1) memperluas daya tampung TK, SD, MI, MTs, SMP, (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung (masyarakat di desa terpencil, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan); (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar, menengah dan prasekolah; (4) terselenggaranya manajemen pendidikan dasar, dan prasekolah yang berbasis pada sekolah dan masyarakat.

Sasaran yang akan dicapai adalah (1) meningkatkan angka partisipasi kasar SD,MI, SMP, (2) terwujudnya organisasi sekolah disetiap Kecamatan yang lebih demokratis, transparan, efisien dan efektif; (3) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat; (4) terwujudnya Komite Sekolah disetiap Sekolah.

Adapun kegiatannya antara lain ; (1) Meningkatkan sarana prasarana pembelajaran;(2) Memberikan subsidi pada sekolah swasta; (3) melaksanakan revitalisasi serta regrouping SD agar lebih efisien dan efektif; (4) memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi; (5) membangun TK dan Paud (6) meningkatkan kualitas, profesionalisme dan kesejahteraan tenaga kependidikan; (7) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai kebutuhan daerah; (8) meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (9) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja institusi pendidikan; (10) melaksanakan desentralisasi pendidikan secara bertahap; (11) melaksanakan manajemen berbasis sekolah

(6)

68

dan masyarakat; (12) menggalang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (13) meninjau kembali berbagai produk hukum di daerah tentang pendidikan yang tidak sesuai dengan arah kebijakan dan tuntutan pembangunan pendidikan.

Pendidikan Luar Sekolah

Tujuan program pembinaan pendidikan luar sekolah adalah menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sasaran program ini adalah warga belajar yang tidak atau belum memperoleh pendidikan formal termasuk warga belajar yang belum menyelesaikan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Adapun kegiatannya adalah sebagai berikut; (1) mempercepat penuntasan buta aksara; (2) meningkatkan sosialisasi dan jangkauan pelayanan pendidikan; (3) mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan ketrampilan dan kemampuan kewirausahaan.

Selain program pendidikan yang telah dipaparkan di atas, maka program pembangunan pendidikan yang sangat mendesak adalah meningkatkan kualitas tenaga kependidikan termasuk guru-guru SD, SMP.

KEBIJAKAN UMUM

Target pembangunan pendidikan yang hendak dicapai oleh Pemerintah kita dalam bidang pendidikan, pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lewat bangku sekolah, kedua, peningkatan mutu pendidikan pada semua jenjang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Target pertama, untuk tingkat SD relatif telah dicapai. Hal ini dapat dibuktikan dengan indeks partisipasi kasar telah mencapai kurang lebih 100%. Untuk tingkat SMP,indeks partisipasi kasar baru mencapai kurang lebih 38%

(Kompas, 4 April 2016). Jika dicermati secara keseluruhan baik dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi, equality of accses yang ditampilkan dengan indeks partisipasi kasar belum diikuti oleh equality of survive, lantaran masih terdapat angka droup out yang cukup tinggi, terutama pada saat krisis saat ini (Kompas,3 Mei 2015). Bagi peserta didik yang bernasib baik menamatkan pelajarannya equality of outputnya lebih menyerupai keinginan daripada kenyataan. Pendidikan formal kita kelihatannya baru sampai pada tahap memenuhi keinginan subyektif masyarakat Hal ini disebabkan oleh peran guru dan dosen dalam menyikapI tugas-tugas kependidikannya lebih ke arah berfungsi sebagai menyaring peserta didik yang heterogen akibat masalisasi kesempatan daripada memberikan layanan profesional sesuai kebutuhan peserta didik. Persoalan substansial yang sedang kita hadapi adalah bagaimana memberikan pemerataan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didik di seluruh pelosok tanah air. Target kedua, kelihatannya belum dicapai.

Persoalan peningkatan mutu pendidikan sebenarnya telah menjadi kepedulian semua pihak termasuk pemerintah. Gaungnya semakin kelihatan menggema sejak PELITA V, lantaran kerisauan Pemerintah kita mengantisipasi ketersediaan SDM yang berkualitas untuk menopang pembangunan dalam rangka lepas landas. Salah satu contoh, dicanangkannya wajib belajar 9 tahun (mudah-mudahan nanti 12 tahun). Kelihatannya semua komponen dalam pendidikan telah committed pada peningkatan mutu, tetapi cara meraih target belum terartikulasi secara relevan dan akurat untuk dijadikan rujukan dalam menagih pertanggungjawaban keberhasilan peserta didik.

(7)

69

Kalau kita mau jujur, selama ini, Hasil Ujian Nasional untuk pendidikan dasar dan IPK untuk perguruan tinggi, dijadikan indikator tunggal dari mutu pendidikan. Bagaimana dengan daya kritis, penalaran, kemahirwacanaan, argumentasi dan kreativitas peserta didik?

(Umbu Tagela,2001) Alat ukurnya apa? Dimana letak kelemahan dari sistem pendidikan kita selama ini? Sebaik apapun undang-undang pendidikan, kalau tidak didukung oleh political will pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah yang tercermin pada APBN/APBD dan pengisian jabatan strategis pada jajaran Depdiknas dan Kepala Sekolah serta Pengawas semua itu bagai mengurai benang kusut.

OTONOMI PENDIDIKAN

Perbincangan tentang otonomi pendidikan yang menghiasi media masa akhir-akhir ini, lebih dipumpunkan pada aspek makro. Kelihatannya kita sibuk mengatur strategi menerjemahkan manajemen pendidikan yang selama ini sentralistik menjadi manajemen pendidikan desentralistik sesuai tuntutan otonomi daerah. Mendiknas sebagai penanggungjawab pendidikan mengakui bahwa aturan tentang otonomi pendidikan belum ada. Para tehnokrat pendidikan di daerah sedang dipusingkan oleh masalah struktur organisasi pendidikan, jabatan dan eselon.

Pembicaraan tentang otonomi pendidikanpun lebih berkisar pada aras makro. Yakni posisi pendidikan dalam master plan pembangunan daerah. Sebenarnya kita sudah tahu bahwa keberhasilan pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan seperti dikatakan oleh Theodora Schultz (1960), Bawman (1966), Cain (1976) dan Singh(1986). Konsep ini sesungguhnya telah mengilhami implementasi pendidikan di Indonesia selama ini. Persoalannya, mengapa pendidikan kita belum mampu meningkatkan kualitas SDM kita? Menurut saya, hal ini lebih disebabkan oleh political will penguasa pada waktu itu. Selama 32 tahun di bawah penguasa ORBA kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, bahkan pernah mencapai tingkat pertumbuhan 6% sebelum pada akhirnya kita terjebak pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anggaran pendidikan pada setiap APBN tidak pernah mencapai 10% dari total APBN. Bahkan yang paling parah adalah APBN 2001, dimana anggaran pendidikan hanya sebesar 3,83% dari total APBN. KTT pembangunan sosial di Copenhagen 1996 menganjurkan besaran biaya pendidikan disetiap negara 20% dari total anggaran belanja negara. Dalam tautan yang sama Unesco menetapkan biaya pendidikan pada setiap negara sebesar 4% dari GDB. Kalau komitmen pemimpin bangsa kita terhadap pendidikan yang tercermin dalam APBN 2001 hanya sebesar 3,83%, muncul pertanyaan, kualitas pendidikan macam apa yang diinginkan?

Pembicaraan tentang otonomi pendidikan disetiap daerah kelihatannya lebih memumpun pada soal dana atau anggaran pendidikan. Setiap daerah otonom memiliki kebebasan menentukan besaran anggaran pendidikan dalam APBD. Fenomena empirik ini sebenarnya agak menggelisahkan masyarakat pemerhati pendidikan. Seolah-olah uang adalah segala-galanya bagi peningkatan kualitas pendidikan. Kita kadang-kadang lupa tentang proses pendidikan itu sendiri. Kita sepertinya berasumsi kalau ada uang otomatis kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Guru-guru menuntut peningkatan kesejahteraan.

Guru-guru juga menuntut penyediaan sarana pembelajaran yang memadai yang semuanya bisa dipenuhi dengan uang.

Mestinya kita perlu juga belajar dari sejarah pendidikan sejak jaman Hindu Purba, jaman Islam, jaman kolonial Belanda dan jaman Jepang. Dengan segala keterbatasan,

(8)

70

proses pendidikan waktu itu menghasilkan kualitas SDM yang sangat tinggi (Dimyati,1988).

Kita bisa lihat hasil karya Candi Borobudur, Candi Prambanan yang didirikan pada masa itu.

Kita juga bisa bertanya pada kakek atau nenek kita yang pernah sekolah pada sekolah rakyat jaman Belanda (3 tahun). Mereka dapat menguasai bahasa Belanda lisan dan tertulis.

Kita juga bisa belajar pada Filipina atau India. Kedua negara ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding Indonesia. Tapi kualitas pendidikan di kedua negara ini lebih baik dari Indonesia. Hal substansial menurut saya terletak pada proses belajar mengajar di kelas. Apakah proses belajar mengajar kondusif untuk peningkatan kualitas SDM?

Saat ini yang kita butuhkan bukan lagi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, tetapi pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas (Napitupulu, 2015). Dan inti dari pelayanan pendidikan yang berkualitas terletak pada tanggungjawab profesional guru. Gaji yang tinggi bukan merupakan tujuan orang menjadi guru. Tetapi gaji hanya merupakan akibat dari rasa keterpanggilannya sebagai guru. Profesi guru merupakan panggilan sekaligus penghakiman atas keterpanggilannya itu.

Kalau orientasi menjadi guru sudah mengalami perubahan paradigma, maka proses pendidikan bagai mengurai benang kusut.

Agak aneh, di jaman tehnologi ini masih ada guru terutama di SMP, SMA/K bahkan perguruan tinggi yang sangat mengakrabi metode dikte. Lebih celaka lagi materi yang didiktekan adalah materi pelajaran belasan tahun lalu. Penggunaan metode dikte di jaman ini bisa dikategorikan sebagai proses pembodohan terhadap peserta didik. Guru dalam kondisi seperti ini, masih mendaku diri sebagai sumber tunggal otoritas ilmu, sementara peserta didik diposisikan sebagai botol kosong. Kalau kondisi obyektif ini tidak berubah, maka sebesar apapun anggaran pendidikan yang disediakan, tetap akan sia-sia.

PENUTUP

Untuk mewujudkan ideal-ideal tersebut di atas, kita butuh manpower planning yang baik. Kita butuh tenaga-tenaga pendidikan yang professional. Untuk menduduki jabatan Hakim Agung saja dilakukan fit and proper test, mengapa untuk menduduki jabatan professional dalam bidang pendidikan tidak dilakukan fit and proper test?

Pendidikan merupakan entry point bagi keberhasilan pembangunan, seperti ditunjukkan oleh Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan Cina. Mestinya posisi strategis pendidikan ini menjadikan masukan bagi pemerintah untuk memanage pendidikan secara professional. Jika tidak, maka cita-cita Kihajar Dewantara hanya akan menjadi kenangan manis yang sulit untuk diwujudkan.

KEPUSTAKAAN

Cummings, William. K,1980, Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja Pada Beberapa Industri Besar di Indonesia, Jakarta, Puslit BP3K Depdikbud.

Onny,S.Priyono, 1979, Suatu Perspektif Mengenai Sistem pendidikan Nasional Indonesia, Majalah Analisa, CSIS NO.11

Napitupulu, 2015, Potret Pendidikan Masa Kini Dan Prospek Masa Mendatang, (Makalah pada Hardiknas,tidak diterbitkan)

(9)

71

Umbu Tagela, 2000a. Mengantisipasi Otonomi Daerah, (Dalam Majalah Kritis)Volume XII NO.3. Maret.

---, 2000, Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Model Rate of Return, (Dalam Majalah Dian Ekonomi) Volume VI.NO.1. Maret.

---, 2001, Otonomi Pendidikan Dalam Pembangunan Regional, Suara Merdeka, 6 September

---, 2002, Kebijakan dan Keputusan Dalam Pendidikan, NTT Ekspres, 24 Maret Dimyati M, 1988, Landasan Kependidikan, Jakarta, Depdikbud

Houston.W.R.Freiber, and Warner, 1988, Touch the future:Teach.St Paul, West Publishing Co.

Kompas, 3 Mei 2015, 22 April 20210, 19 Juli 2016

Raja Singh,Roy, 1986, Education in Asia and the Pacific, Bangkok.Unesco Supandi, 1988, Kebijakan dan Keputusan Pendidikan, Jakarta, Depdikbud Toisuta,Willi, 2009, Pendidikan Guru Abad ke XXI, (makalah tidak diterbitkan)

(10)

72

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web untuk Promosi Kerajinan Gerabah Kasongan ini berfungsi sebagai media promosi bagi sejumlah pemilik perusahaan gerabah Kasongan yang

Aplikasi Nota Pelayanan Ekspor cara menjalankannya adalah dengan menggunakan browser yang telah diinstal di sistem operasi yang kita gunakan.. Berikut adalah contoh

Setelah penyuluhan dan penetapan batas lokasi tanah dilaksanakan, panitia mengundang Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan,

Banyak dari kami para penyandang disabilitas yang beralih untuk menggunakan transportasi publik online karena memang pelayanan yang lebih bagus, dengan tarif

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 107/PMK.04/2009 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR PERSENJATAAN, AMUNISI, PERLENGKAPAN MILITER DAN KEPOLISIAN,

Merupakan semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada.. Konsep/Definisi SP

Penelitian ini dilakukan guna menjelaskan tentang tanggung jawab perusahaan jasa perjalanan (travel agency) terhadap konsumennya setelah terjadi kesepakatan antara

¾ Disisi penggunaan secara riil, pengeluaran konsumsi rumah tangga pada triwulan III tahun 2009 dibandingkan dengan triwulan II 2009 tumbuh sebesar 11,00 persen, pengeluaran