• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum

Adzanu Getar Nusantara 02122501061

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv MOTTO:

“If there is a will, there is a way”

Diaman ada kemauan disana ada jalan

TESIS INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

“KEDUA ORANG TUA, ISTERI TERCINTA DAN CALON BUAH HATIKU, KEDUA ADIKKU, SERTA ALMAMATER YANG AKU BANGGAKAN”

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang pemberi nafas hidup yang telah melimpah rahmat dan karunianya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun guna memenuhi tuntunan sesuai kurikulum yang ada di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Tesis ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menambah wawasan serta untuk menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Di samping itu juga diharapkan dapat memberikan bekal tentang hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmunya, demi mengadakan pembaharuan bagi penegakan hukum dimasa yang akan datang. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Kedua Orang Tua Dr. H. Budiarto Marsul., SE., Msi & Hj. Haslinda., SE., MM yang senantiasa memanjatkan doa serta memberikan dorongan semangat dalam membimbing hidup penulis.

2. Kedua orang adik ku, Letda CKM (K). dr Agrifina Helga Pratiwi dan Anugrah Perkasa Putra yang selalu mengingatkan akan pentingya dalam menyelesaikan pendidikan diatas segalanya

3. Istriku Dwi Febriani SH., M.Kn yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang yang tulus kepada penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini.

(6)

vi

4. Sahabatku M. Yudistira, SH.,M.H yang selalu membantu meringankan kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaff., MSCE selaku Rektor Universitas Sriwijaya.

6. Bapak Dr. Febrian S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

7. Bapak Dr. Muhammad Syaifuddin., S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Hukum

8. Bapak Dr. Syarifuddin Pettanasse S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Pertama

9. Bapak Prof. Dr. Abdullah Gofar S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Kedua

Penyusun menyadari bahwa Tesis ini jauh dari sempurna. Karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penyusun harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan pada penelitian selanjutnya, sehingga Tesis ini dapat bermanfaat bagi yang khalayak.

(7)

vii

(8)

viii

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis ... 7

1. Grand Theory ... 7

2. Middle Range Theory ... 10

3. Applied Theory ... 11

E. Kerangka Konseptual ... 12

F. Metode Penelitian ... 22

1. Jenis Penelitian ... 22

2. Pendekatan Penelitian ... 23

3. Jenis dan Sumber Bahan-bahan Hukum ... 24

4. Teknik Pengumpulan Bahan-bahan Hukum ... 25

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum... 25

6. Tehnik Analisis Bahan-Bahan Hukum ... 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Saksi dan Saksi Mahkota ... 28

B. Penggunaan Saksi Mahkota dalam Praktek Peradilan Pidana ... 38

(10)

x

1. Keberadaan Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam

Perkara Pidana ... 43

2. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota ... 53

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Pengertian Sistem Hukum dan Sistem Peradilan Pidana ... 61

B. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti Menurut KUHAP ... 70

C. Saksi Mahkota Sebagai Alat Pembuktian Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 73

D. Pro Kontra dan Pengaturan saksi mahkota sebagai alat pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana di masa mendatang ... 81

E. Perbandingan Penggunaan Saksi Mahkota di Indonesia dengan Beberapa Negara Lain di Dunia dalam Pembuktian Tindak Pidana ... 81

1. Saksi Mahkota di Indonesia ... 82

2. Saksi Mahkota di Amerika Serikat ... 85

3. Saksi Mahkota di Italia... 94

4. Saksi Mahkota di Belanda ... 103

5. Uraian Perbandingan Saksi Mahkota di Indonesia, Amerika Serikat, Belanda, dan Italia ... 107

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(11)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik, saksi mahkota diartikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru.tersebut juga ditemui dalamYurisprudensi Mahkamah Agung No. tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan.

Namun, dalam Surat Edaran tersebut juga disebutkan bahwa dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat mengingat penggunaan saksi mahkota masih menjadi perdebatan dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa saksi yang sedang menjadi tersangka dalam suatu perkara pidana, yang lebih dikenal sebagai saksi mahkota, dimungkinkan di dalam praktik selama memenuhi syarat-syarat bahwa tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan, alat bukti yang ditemukan sangat minim sehingga Berbeda halnya di Indonesia, dimana saksi mahkota tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, ada beberapa negara seperti, Amerika Serikat, Italia dan Belanda mengenal penggunaan saksi mahkota di Amerika Serikat seperti dalam kasus Mafia Italia – Amerika yang bernama Josep

(12)

2

Valachi memberikan kesaksian selaku saksi mahkota di hadapan kongres Amerika Serikat.1

Penggunaan saksi mahkota di Italia pada tahun 1984 dalam kasus seorang mafia yang bernama Tommaso Buscetta menentang kelompok mafia dan bekerja sama dan berkolaborasi dengan penegak hukum. Tommaso Buscetta menjadi saksi mahkota dalam persidangan yang mengarah kepada 350 anggota mafia.

Belanda adalah undang-undang yang berlaku pada tanggal 1 April 2006 yang disebut dengan wet toezeggigen aan getuigen atau dikenal dengan wet deal met criminelen yang mengalami perdebatan yang panjang terutama berkaitan dengan substansi pemberian kompensasi terhadap saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota pertama kali dalam perkara Passage sebagai saksi mahkota yang terjadi di kota Amsterdam Belanda pada tahun 2006.

Berdasarkan pro kontra eksistensi (keberadaan) penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam sistem peradilan pidana tersebut diatas dalam rangka pembuktian tindak pidana, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul: EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimana eksistensi saksi mahkota sebagai alat pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana?

1 Febri Diansyah, Kematian Whistleblower, Surat Kabar Seputar Indonesia, 31 Maret 2011.

(13)

3

2. Bagaimana pengaturan saksi mahkota sebagai alat pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana di masa mendatang?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang timbul dalam permasalahan serta memberikan masukan pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis dan menjelaskaneksistensi saksi mahkota sebagai alat pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana.

2. Untuk menganalisi dan menjelaskanpengaturan saksi mahkota sebagai alat pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana di masa mendatang.

D. KERANGKA TEORITIS 1. Grand Theory

Penelitian ini menggunakan sejumlah teori sebagai pisau analisis untuk menjelaskan masalah, memecahkan masalah, dan mengendalikan masalah2 yang akan dikaji dalam penelitian tesis ini. Teori sebagai pisau analisis yang akan dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori

2 Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian tentang Pengetahuan yang Disusun Secara Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, Nusantara Consulting (NC), Jakarta, 2010, hlm 540.

(14)

4

tujuan hukum khususnya yang berhubungan dengan kepastian hukum3 sebagai Grand Teori4.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan.Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.

Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi oleh karena itu bila dikaitkan dengan penggunaan saksi mahkota dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.Hal ini diperkuat oleh pendapat Lilik Mulyadi bahwa saksi mahkota tidak terdapat definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota di artikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama- sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Menurut Lilik Mulyadi, Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan

3 Menurut Gustav Radbruch selain kepastian hukum sebagai tujuan hukum, tujuan yang

lain adalah keadilan, dan kemanfaatan. Dikutip dari

http://sharingaboutlawina.blogspot.co.id/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html pada tangggal 2 Desember 2015 pukul 13. 28 wib

4Digunakannya kepastian hukum sebagai Grand Theory (teori dasar/umum) karena kepastian hukum berlaku seluruh bidang hukum. Lihat Pedoman Penulisan Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2014, hlm 18. Lihat juga Munir Fuadi, Teori- teori Besar (Grand Theory) dalam Ilmu Hukum Jakarta, Kencana Prenada, hlmvii.

(15)

5

terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.5

Sejalan dengan itu, Syaiful Bahkri, menjelaskan bahwa pada hakikatnya saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa yang kepadanya diberikan suatu mahkota.6

M.Yahya Harahap memberikan pengertian bahwa saksi makota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama dipengadilan rekannya yang merupakan sesama terdakwa. Keterangannya digunakan sebagai alat bukti kesaksian yang sah secara timbal balik, dimana berkas perkara harus dipisah (di-split).7

Saksi mahkota biasanya diajukan oleh penuntut umum jika mengalami kesulitan atau kekurangan alat bukti untuk mencari siapa sesungguhnya pelaku atau untuk membuktikan kebenaran tuduhannya.Saksi mahkota ini biasanya diterapkan untuk suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku, di mana seorang dari mereka dijadikan saksi yaitu sebagai saksi mahkota. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan.

5Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Terknik Penyusan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 hlm 85-86.

6Syaiful Bahkri, loc cit

7 . M. Yahya Harahap, loc cit

(16)

6

Andi Hamzah mengemukakan pengertian saksi mahkota adalah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, dan diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi,atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya).8

Pengertian ini berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang- undangan yang terdapat dinegara Perancis dan Belanda. Penarikan seorang terdakwa menjadi saksi, terlebih dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya atau bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang dilakukan oleh teman-temannya. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas terdakwa (yang menjadi saksi mahkota) dilakukan setelah hakim memberikan putusan terhadap terdakwa-terdakwa lainnya.9

2. Middle Range Theory

Untuk menjembatani Grand Theory dalam penggunaan saksi mahkota, digunakan middle range theory (teori tengah/antara) Grand Theory dengan Applied Theory.Sistem peradilan pidana sebagai middle range theory merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan10.

8 Andi Hamzah, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Opurtunitas dalam Hukum Acara pidana, Jakarta, BPHN 2006, hlm 86

9Ibid

10 Syarifuddin Pettanasse, Hukum Acara Pidana, Palembang, Unsri, 2014, hlm 1. Lihat juga Syarifuddin Pettanasse, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Palembang, Unsri, 2014, hlm 1.

(17)

7

Menurut Barda Nawawi Arief sistem peradilan pidana identik dengan penegakan hukum11.Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya.Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep tersebut menjadi kenyataan12.Dalam hal ini ide atau konsep eksistensi penggunaan saksi mahkota untuk pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana.

3. Applied Theory

Applied Theory merupakan aplikasi teori kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana.Kepastian hukum mmerupakan pengertian abstrak yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana khususnya perwujudan dan penerapan konsep eksistensi penggunaan saksi mahkota untuk pembuktian tindak pidana dalam sistem peradilan pidana.

Ide dasar keterangan saksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 184 jo pasal 185 jo pasal 1 angka 26 KUHAP adalah sebagai alat bukti digunakan untuk menentukan kesalahan terdakwa di samping alat bukti lainnya. Keterangan saksi yang terdapat di dalam Berita Acara Pemeriksaan di uji di Pengadilan Negeri, apabila tidak terdapat minimal dua alat bukti yang menentukan kesalahan terdakwa maka hakim wajib membebaskan terdakwa, minimnya keterangan saksi yang di dapat oleh penuntut umum untuk menentukan atau membuktikan kesalahan terdakwa inilah maka

11 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP Undip, 2013, hlm 6. Lihat juga soerjono soekanto¸ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2008 hlm 3.

12 Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988, hlm 33.

(18)

8

penuntut umum menggunakan sesama terdakwa sebagai saksi mahkota terdakwa lainnya yang keberadaannya tidak diatur dalam undang-undang no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Secara teoritis, untuk membuktikan kesalahan terdakwa Hukum Acara Pidana menganut Teori pembuktian menurut undang-undang yang negative yang secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.Pasal 183 di atas merupakan aplikasi dari teori asas kepastian hukum.

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka kerangka yang digunakan adalah kerangka konseptual sebagai alat atau instrument untuk membedah, menganalisis permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa konsep sebagai berikut:

1. Konsep Eksistensi

Eksistensi biasanya dijadikan sebagai acuan pembuktian diri bahwa kegiatan atau pekerjaan yang diakukan seseorang dapat berguna dan mendapat nilai yang baik di mata orang lain. Sementara itu, seorang ahli filsafat atau filsuf bernama Karl Jaspers memaknai eksistensi sebagai pemikiran manusia yang memanfaatkan dan mengatasi seluruh pengetahuan objektif.

(19)

9

Jaspers juga menjelaskan tentang eksistensi yang dikemukakannya, yaitu:

1. Eksistensi selalu memiliki hubungan dengan transedensi.

2. Eksistensi merupakan filsafat yang menghayati dan menghidupi kebenaran.

3. Eksistensi seorang manusia dapat dibuktikan oleh cara berpikir dan tindakannya.

Karl Jaspers menerangkan hal-hal tersebut dengan tujuan supaya semua orang paham dan sadar bahwa setiap orang memiliki keunikan yang berbeda satu dengan yang lain. Sebab, eksistensi merupakan sesuatu yang sifatnya individual sehingga bisa ditentukan oleh masing-masing individu. Dan menurut Jaspers, semua orang memiliki cara keberadaan yang khas dan unik, itulah yang dinamakan sebagai eksistensi seorang individu. Sehingga setiap orang yang dapat menentukan jati diri atas keberadaannya dan mampu berdiri diantara eksistensi orang lain maka mereka akan mendapatkan eksistensi yang sejati.13

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka eksistensi saksi mahkota dalam penelitian ini dimaksudkan apakah saksi mahkota tersebut dapat menentukan jati diri atas keberadaannya dan mampu berdiri diantara eksistensi orang lain dalam hal ini keterangan saksi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP.14 2. Konsep Keterangan Saksi

Secara umum pengertian saksi menurut Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), di atur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Pengertian saksi itu sendiri tidak ubahnya definisi hukum, masih banyak yang mengartikan dari

13http://www.duniapelajar.com/2014/07/18/pengertian-eksistensi-menurut-para-ahli/

diakses pada tanggal 27 desember 2015 pukul 17.13 wib

14Ibid

(20)

10

berbagai sudut keilmuan, namun sebagai bahan acuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memberikan rumusan tentang saksi yaitu:Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui sendiri suatu peristiwa, atau orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu pidana yang didengarnya, dilihat, atau dialaminya sendiri.

Pengertian saksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Saksi yaitu orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang hal-hal yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri atau ia ketahui yang berkenan dengan suatu tindak pidana”.

Menurut Subekti, saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka sidang pengadilan, yang dapat membantu tugas pengadilan yang sedang berperkara.15Suryono Sutarto menjelaskan saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.16Jubair memberikan definisi bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan

15Subekti dan R. Tjiro Soedibia, Kamus Hukum, Pradiya Paramita, Jakarta, 1986, hlm 73

16 Suryono sutarto, Hukum Acara Pidana, Undip, Semarang, 1991 hlm 1

(21)

11

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.17

Dalam dunia hukum pengertian saksi semakin berkembang, karena orang- orang yang sekedar mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana saja sudah dimasukan kategori saksi sehingga untuk mereka dapat dimintai keterangan. Sebaliknya dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus dikemukakan istilah saksi dan pelapor. Sebagai pelapor tidak diajukan ke persidangan, bahkan menurut undang-undang tersebut mereka wajib dilindungi identitas dan alamatnya, apabila saksi membuka identitas tersebut maka saksi diancam dengan sanksi pidana.18

Pengertian saksi dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengalami perluasan yaitu pelapor. Saksi dalam undang-undang ini biasa juga dikenal dengan istilah informan yaitu orang yang memberikan informasi kepada pihak kepolisian tentang adanya tindak pidana narkotika dan turut membantu pihak kepolisian dalam mengungkap tindak pidana narkotika.

Harkristuti,19 menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian keterangan oleh seorang saksi, yaitu :

a. Unreliable witnees

Penelitian yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa ada saat-saat dimana saksi dipersuasi untuk menyampaikan keterangan untuk

17Jubair, Masalah Perilindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana, Karunia, Surabaya, 2000, hlm 3.

18 Diakses dari http://rahmanamin1984.blogspot.com/2015/04/saksi-mahkota-dalam- peradilan-pidana.html pada tanggal 27 Desember 2015 pukul 16.16 wib

19Surastini Fitriasih, Makalah Ketentuan Mengenai Korban dan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana dan Urgensi Pengaturan Perlindungan Bagi Mereka, Jakarta. 2001 hlm3

(22)

12

memperkuat posisi Jaksa, terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.

b. Witness as product of bullying and harassment

Kemungkinan adanya metode tertentu oleh polisi atau penegak hukum lainnya meminta keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan, yang diajukan dalam jangka waktu yang panjang tanpa jeda yang layak.

c. Lying witness

Tidak menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal yang sebenarnya, walaupun ia ada dibawah sumpah, baik karena ia telah disuap ataupun karena ia di intimidasi pihak tertentu.

d. Silent witness

Saksi yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam kasus penyertaan yang melibatkan dirinya.

e. Incompetent witness

Saksi dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat bukti yang sah dipengadilan karena saksi tersebut infant, mental diseas atau mental defect.

f. Turn-coat witness

Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan dengan penasehat hukum. Dibeberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat menarik

(23)

13

kembali saksi yang diajukannya sendiri, karena dengan mengajukan saksi berarti ia telah memastikan akan kredibilitas saksi.20

Pasal 185 KUHAP menegaskan:

a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

1) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

2) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

20Ibid

(24)

14

3) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

4) cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain

3. Konsep Saksi Mahkota

Saksi mahkota adalah adalah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, dan diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi,atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan.21

4. Konsep Sistem Peradilan Pidana

Menurut pasal 2 undang-undang no 8 tahun 1981, Peradilan pidana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradilan yang tunduk pada undang-undang no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sementara itu Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengansistem peradilanpidanaadalahsistempengendalian kejahatanyangterdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, dan masyarakat Dalam

21 Andi Hamzah, Loc cit

(25)

15

kesempatan lain dikemukakan bahwa system peradilan pidana (criminaljusticesystem) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.22

Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Mardjono Reksodiputro tersebut,tampak bahwa tidak ada pembedaan antara istilah“pengendalian”dan

“penegakan hukum”, yang menurut Romli Atma sasmita, adalah dua istilah yang yang mempunyai makna yang berbeda. Menurut beliau, pengertian ”sistem pengendalian”dalam batasan tersebut diatas merupakan bahasa manajemen yang berarti mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan (mengekang).Dalam istilah tersebut terkandungaspekmanajemendalam upaya penanggulangan kejahatan; sedangkan apabila sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum (lawenforcement) maka didalamnya aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi peraturan perundang- undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hokum (certainty). Dilain pihak apabila pengertian system peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan socialdefence yang terkait pada tujuan untuk mewujudkan kesejahhteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosialyang menitik beratkan pada kegunaan (expediency).23

22Mardjono Rekso diputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan Buku Kedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997, hlm.2.

23 RomliAtmasasmiita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 1.

(26)

16

Muladi memberikan pemikiran bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil, dan pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam kontekssosial. Sifat yang terlihat formal jika dilandasihanya untuk kepengtingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Muladi menegaskan bahwa makna Integratedcriminaljustice system adalah siinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan,yang dapat dibedakan dalam:

1. sinkronisasi struktural (structural synchronization);

2. sinkronisaSi substansial (substantial synchronization);dan

3. sinkronisasi kultural(culturalsynchronization) adalah keserampakan dan keselarasan dapat mennghayati pandangan-pandangan,sikap- sikap, dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya system peradilan pidana.24

Berkaitan dengan system hukum, Lawrence MFriedmann mengemukakan teorinya bahwa dalam satu sistem hokum terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi, yaitu: struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hokum (legal culture).25

Koentjaraningrat menyebutkan hukum sebagai suatu unsur tertentu dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, khususnya wujud perilaku dari kebudayaan, selain itu kebudayaan juga mempunyai tiga wujud yaitu wujud

24Muladi, KapitaSelekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP Undip, 1995,hlm.12

25 SatyaArinanto,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia, Jakarta, BP Univ.

Indonesia, 2008, hlm. 130

(27)

17

gagasan, wujud perilaku dan wujud fisik.Menurut Koentjaraningrat di dalam antropologi terdapat 2 (dua) kelompok yang memaknai hukum secara berbeda.

Kelompok pertama dicetuskan oleh B Malinowski yang menyatakan bahwa hukum merupakan unsur kebudayaan yang sifatnya universal, terdapat dalam semua kebudayaan di dunia, selanjutnya dikatakannya semua perilaku kebudayaan mempunyai fungsi untuk memenuhi suatu hasrat naluri manusia untuk saling memberi dan menerima dari sesamanya dalam masyarakat (principle of reciprocity). Kelompok kedua dicetuskan oleh A.R.Radcliffe Brown yang menyatakan bahwa hukum tidak bersifat universal, hukum hanya ada dalam masyarakat yang telah mengenal organisasi sosial.26

Sehubungan dengan hal ini maka Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa saat hukum modern menyebar ke seluruh dunia, terjadi penetresian hukum dan penetresian budaya, menurutnya pola bangsa Indonesia lebih memberikan tekanan pada pola kebersamaan dari pada pola kesendirian, pola komunalistik dari pada individualistik. Nilai-nilai yang menjadi acuan dari bangsa Indonesia, watak dan perilaku bangsa. Perbedaan dalam acuan nilai akan menyebabkan perbedaan pada perilaku bangsa.27

Bekerjanya hukum bukanlah merupakan kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat, dan hubungan ini bersifat saling mempengaruhi sehingga penegakan hukum dalam masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang disebabkan oleh

26 Koentjaraningrat, Wujud Hukum Sebagai Suatu Unsur Dalam Kebudayaan, Dalam Seminar Hukum Nasional Ke-enam Tahun 1994 Buku I BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, hlm 87-89.

27 Satjipto Rahardjo, Pembinaan Kesadaran dan Perilaku Hukum, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, hlm 67-71.

(28)

18

struktur masyarakatnya. Tekanan-tekanan dari institusi-institusi kekuasaan negara dan kekuatan-kekuatan lain dengan membawa misi ekonomi dan terkadang misi politik dihadapkan dengan misi keadilan membuat lembaga peradilan harus menentukan pilihan, apakah tetap eksis sebagai lembaga sentral pengembang keadilan ataukah harus menjadi lembaga pinggiran yang melindungi kepentingan kekuasaan.28

F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian hukum normatif29 yang menitikberatkan pada penjelasan atau eksplanasi asas hukum, yaitu asas hukum, konsep hukum tentang Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Pembuktian Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana, penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal, jenis penelitian ini beranjak dari telaah hukum positif, berobjekan pada norma yang terdapat dalam aturan hukum tertulis khususnya tentang Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Pembuktian Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana.

28 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 180.

29 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media, 2006, hlm 47. Menurut Jhonny Ibrahim Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmuah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif. Lihat juga Piter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005. Piter Mahmud Marzuki menegaskan bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum dalam hal ini aturan hukum dalam pasal 3 UU no 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang PTPK. Bandingkan juga dalam buku Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm 10-12.

(29)

19

Sifat normatif dalam penelitian hukum normatif dimana hukum dikonsepsikan sebagai kaedah atau aturan yang sifatnya dogmatik teoritik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah mapan.

2. Pendekatan Penelitian

Metode Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu Pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan pendekatan analitis yaitu bagaimana perundang-undangan hukum acara pidana yang mengatur tentang saksi mahkota melalui pendekatan perundang- undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislagi dan regulasi30.

Pendekatan perundang-undangan diperuntukan sebagai dasar melakukan sistematisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan saksi mahkota.Pendekatan kasus diperuntukan untuk menemukan ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakimmemakai saksi mahkota untuk sampai pada putusannya31 dan ratio necesitis yaitu urgensi atau pentingnya suatu putusan pengadilan.Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna menemukan ide- ide yang menciptakan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang dikaji.

Pendekatan Perbandingan digunakan untuk menemui unsur-unsur (tertium comparationis) persamaan dan perbedaan antara yang dibandingankan tersebut.

30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005 hlm. 97

31Ibid, hlm. 199

(30)

20

Dalam penelitian ini menggunakan komparasi mikro, yang membandingkan isi aturan hukum Negara lain yang yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti.32

Pendekatan analitis digunakan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah hukum yang digunakan dalam aturan hukum positif secara konseptual khususnya konsep saksi mahkota, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan, yaitu: pertama, peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum positif yang bersangkutan; dan kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan- putusan hukum.33

3. Jenis dan Sumber Bahan-bahan Hukum

Dalam buku penelitian hukum karangan Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum34. Jenis dan sumber bahan-bahan hukum, dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat otoratif dan mengikat, yang terdiri dari:

1) Kitab UU Hukum Pidana;

2) UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

b. Bahan Hukum Sekunder.

32 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Pasca Sarjana UI, Jakarta, 2003, hlm 40

33 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Op cit, hlm 256.

34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Op cit,hlm 141

(31)

21

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer sehingga dapat membantu memahami dan menganalisis bahan hukum primer, misalnya buku-buku, literatur, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Teknik Pengumpulan Bahan-bahan Hukum

Pengumpulan bahan penelitian ini berupa bahan-bahan hukum dilakukan dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi aturan hukum positif berupa peraturan perundang-undangan, meneliti bahan pustaka, membaca buku dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah ini, menyeleksi bermacam-macam bahan yang mengandung sudut pandang yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain.

Setelah memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil penelitian kepustakaan, maka dilakukan pengelolaan bahan-bahan hukum yang didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum untuk memudahkan

(32)

22

pekerjaan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum untuk memudahkan pekerjaan analitis dan konstruksi.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum diolah dengan tahapan sebagaimana dijelaskan oleh Van Hoecke yang dikutip dari Bernard Arief Sidharta, yaitu: Menstrukturkan, mendeskripsikan dan mensistematisasi bahan-bahan hukum yang dilakukan dalam tataran, yaitu:

1) Tataran Teknis, yaitu menghimpun, menata dan memaparkan peraturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum untuk membangun landasan legitimasi dalam menafsirkan peraturan hukum dengan menerapkan metode logika sehingga tertata dalam suatu sistem hukum yang koheren;

2) Tataran Teleologis, yaitu mensistematisasi peraturan hukum berdasarkan substansi hukum, dengan cara memikirkan, menata ulang dan menafsirkan material yuridisdalam perspektif teleologis sehingga sistemnya menjadi lebih jelas dan berkembang, dengan menerapkan metode teleologis sebagai patokan sistematisasi35.

6. Tehnik Analisis Bahan-Bahan Hukum

Analisis Bahan Hukum dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum (interpretasi) dan metode konstruksi hukum. Beberapa teknik penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, antara lain adalah:

35 Bernard Arief Sidartha, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 149-153

(33)

23

a) Penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran menurut tata bahasa sesuai dengan apa yang tertera atau apa yang tertulis secara eksplisit dalam aturan tersebut, dalam kegiatan penafsiran, peneliti berupaya untuk menetapkan segala sesuatu yang menyangkut mengenai kejelasan pengertian dengan mengemukakan arti yang dimaksud oleh aturan tersebut.

b) Penafsiran historis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mmaksud untuk mencari atau menggali makna yang ada di dalamnya, sehingga diketahui maksud atau keinginan dari pembentuk UU pada saat mereka merumuskan aturan-aturan hukum dalam perundang-undangan.

c) Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran dengan menggunakan hubungan yang lebih luas terhadap aturan hukum atau norma yang terkandung di dalamnya. Penafsiran ini dilakukan dengan cara mengamati dan mengkaji dengan seksama dan cermat hubungan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, tujuannya agar makna yang terkandung didalamnya dapat dipahami secara jelas dan tepat tanpa ada keraguan sama sekali.

d) Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan memperhatikan secara khusus keadaan-keadaan masyarakat dan lingkungannya, dengan kata lain maksud dan tujuan hukum disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.

e) Penafsiran resmi, yaitu penafsiran terhadap suatu aturan sesuai dengan apa yang diberikan atau ditetapkan oleh pembentuk UU.36

36 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008, hlm 80.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adi Andojo Soetjipto, “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir:

Sebuah Memoar”, 2007

Andi Hamzah, Analisis dan Evaluasi Hukum Ttg Pelaksanaan Asas Opurtunitas dlm Hukum Acara Pidana,BPHN, Jakarta, 2006.

---, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Arikha Media Cipta, 1993

---, BahanRound Table Discussion, Jakarta: Pusdiklat Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2007

---, Dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP,HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,

---, dlmNaskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ttg Hukum Acara Pidana,2008

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, 2013.

Bernard Arief Sidartha, Refleksi ttg Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian ttg Pengetahuan yg Disusun Scr Sistematis dan Sistemik Dlm Membangun Ilmu Pengetahuan, Nusantara Consulting (NC), Jakarta, 2010.

Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.

(35)

Dwinanto Agung Wibowo “Peranan Saksi Mahkota dlm Peradilan Indonesia”, Universitas Indonesia, 2011.

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dlm Hukum Indonesia, Cet ke-XI, Jakarta: Ichtiar Baru Sinar Harapan, 1989.

Febri Diansyah, Kematian Whistleblower, Surat Kabar Seputar Indonesia, 31 Maret 2011.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, ”Hukum Pembuktian Dlm Perkara Pidana Utk Mahasiswa Dan Praktisi”, Mandar Maju, Bandung, 2003

Indriyanto Seno Adji. Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dlm Sistem Hukum Pidana Indonesia. Makalah yg disampaikan dlm Diskusi Panel dng tema “Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia”, tanpa Tahun

J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Ttg Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2006.

Jubair, Masalah Perilindungan Saksi dlm Sistem Peradilan Pidana, Karunia, Surabaya, 2000.

Koentjaraningrat, Wujud Hukum Sbg Suatu Unsur Dlm Kebudayaan,Dlm Seminar Hukum Nasional Ke-enam Tahun 1994 Buku I BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994.

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

Lilik Mulyadi, Pts Hakim dlm Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Terknik Penyusan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

(36)

---, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Trhdp Tindak Pidana Korupsi dlm Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Bandung PT. Alumni, 2007

---, BungaRampaiHukumPidana, Perspektif, TeoretisdanPraktik, PT.

Alumni, Bandung,2008

Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Ikhtisar, Cetakan Pertama, Jakarta: CV.Datacom, 1996

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Made Widnyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010.

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1990

Mardjono Reksodiputro, Kriminologidan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan Buku Kedua pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,1997.

Muchtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengantar Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 1999.

Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Trhamrin, Perlindungan Saksi dan Korban Dlm SistemPeradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009,

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang 1995.

Munir Fuadi, Teori-teori Besar (Grand Theory) dlm Ilmu Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2013.

Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dlm Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

(37)

Pedoman Penulisan Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2014.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.

RomliAtmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982.

R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Tiara, 1959.

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas –Asas Hukum Nasional, Jakarta:

Karya Dunia Fikir, 1996.

---, Hukum Pidana sbg Konfrontasi Manusia dan Manusia

R. Soesilo, Teknik Berita Acara Proses Verbal Ilmu Bukti dan Laporan, Bogor: Politiea, 1980

Satjipto Rahardjo, Pembinaan Kesadaran dan Perilaku Hukum, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994.

Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia dlm Transisi Politik Indonesia, Jakarta, BP Univ.

Indonesia, 2008.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

Soerjono Soekanto¸ Faktor-faktor yg Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta 2008.

Subekti dan R. Tjiro Soedibia, Kamus Hukum, Pradiya Paramita, Jakarta, 1986.

Surastini Fitriasih, Makalah Ketentuan Mengenai Korban dan Saksi dlm Proses Peradilan Pidana dan Urgensi Pengaturan Perlindungan Bagi Mereka, Jakarta. 2001.

Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana, Undip, Semarang, 1991.

(38)

Syaiful Bahkri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta. 2009.

Syarifuddin Pettanasse, Hukum Acara Pidana, Unsri, Palembang, 2014.

---, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Palembang, Unsri, 2014.

Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Pasca Sarjana UI, Jakarta, 2003

Zainal Abidin, 2007. Analisis al. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 Zulfan, Kedudukan Saksi Mahkota Dlm Sistem Pembuktian Hukum Pidana, Universitas Sumatra Utara, Medan, 2005

B. Peraturan Perundang – undangan

Undang – undang Nomor. 8 Tahun 1981 ttg Hukum Acara Pidana C. Bahan Internet

http://www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53.

http://www.duniapelajar.com/2014/07/18/pengertian--menurut-para-ahli/

http://hamdimuhamad.blogspot.co.id/2015/09/existensial-psychologi-ludwig.html http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbae50accb01/definisi-saksi-mahkota http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbae50accb01/definisi-saksi-mahkota http://www.kantorhukum-lhs.com/artikelhukum/n?id=saksi-mahkota-dlm

pembuktian-pidana http://kbbi.web.id/, http://kbbi.web.id/pionir

(39)

http://www.m2sconsulting.com/index.php/publikasi-2/artikelhukum/6 -saksi mahkota-sbg-alatbukti-dlm-perkara-pidana.

https://nadzzsukakamu.wordpress.com/2010/07/29//

http://Repository.usu.ac.id/bitstream

http://rahmanamin1984.blogspot.com/2015/04/saksi-mahkota-dlm-peradilan pidana.html

D. Journal

Special Procedural Measures and The Protection ofHuman Rights‟, Utrecht Law Review, Volume 5, Issue 2,. Dikutip dari Werldomroep: Warta Berita Radio Nederland Edisi Bahasa Indonesia, 2009.

”Saksi Mahkota”, Forum Keadilan, 1995.

PtsM.A Nomor : 1986/K/Pid/1989 PtsM.A Nomor. 2437 K/Pid.Sus/2011 Surat Edaram M.A RI Nomor 4 Tahun 2011 Varia Peradilan, Nomor 62, Nopember, 1990

Yurisprudensi M.A No.1174 K/Pid/1994, 1995 jo No.1592 K/Pid/1994, 1995 Yurisprudensi M.A Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994,1995 Yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989, 1990

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Mengenai beban pembuktian secara umum kedua negara tersebut baik Indonesia maupun Amerika Serikat menganut beban pembuktian biasa, namun untuk perkara-perkara tertentu yang

(3) Kendala penggunaan saksi: (a) Kendala pada Terdakwa yang tidak bersedia menjadi saksi mahkota, karena takut perbuatannya akan terungkap di pemeriksaan pengadilan; (b)

KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP SAKSI MAHKOTA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA.. Diajukan oleh

Melihat kepentingan korban tindak pidana yang tidak seimbang dengan kepentingan pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana yang tertuang dalam Undang-undang No 8 Tahun

1) Pengaturan alat bukti dalam hukum positif diatur pada Pasal 184 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana yaitu keterangan saksi, keterangan

Menurut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif tidak diperlukan peran dari keyakinan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hal yang berperan dalam

Bila berdasarkan dengan pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP maka Hakim tidak dapat membuktikan bahwa Terdakwa Hery Suryadi,Sip.,M.Si, harus membayar Pidana Uang

Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijkTeori ini juga dianut oleh Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan Herzienne Inlands ReglementHIR,