• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Puji syukur Alhamdulillah dihaturkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Puji syukur Alhamdulillah dihaturkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah dihaturkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga tugas penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian ini dilaksanakan terkait dengan isu hukum mengenai perlindungan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri). Mengingat dalam hukum perdata Barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind), yang menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkan. Akibatnya, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, secara hukum berbeda dengan anak sah, yakni anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah (dicatatkan menurut undang-undang). Padahal, dalam perspektif hak asasi manusia, perlindungan hukum terhadap anak tidak boleh ada perbedaan antara anak sah dan anak luar kawin.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam melaksanakan tugas penelitian ini, khususnya kepada Rektor Universitas Islam Malang, Dekan Fakultas Hukum, dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Malang.

Kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca senantiasa diharapkan demi penyempurnaan hasil penelitian ini di masa mendatang.

Malang, 20 Desember 2011 Peneliti,

(4)

ABSTRAK

Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Abdul Rokhim

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai: (1) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam; (2) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan (3) Perlindungan hukum terhadap Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka ini hanya menggunakan data sekunder yang dalam penelitian hukum normatif disebut bahan-bahan hukum (legal materials), yang mencakup: (1) bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan; (2) bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku dan kitab-kitab hukum (fiqh), dokumen-dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan; serta (3) bahan hukum tersier, berupa kamus dan ensiklopedi hukum.

Berdasarkan studi pustaka, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak

dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Karena itu, masalah pencatatan perkawinan secara hukum dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan, termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Hal ini maka hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah/negara. Padahal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara. 2. Rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

(5)

ahli hukum. Kontroversi dan perbedaan pendapat tentang rumusan pasal tersebut pada dasarnya terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menganggap pencatatan perkawinan termasuk salah satu syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan perdapat ini, “nikah sirri” (perkawinan yang tidak dicatatkan) adalah tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah pelengkap untuk kepentingan administrasi yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Dengan mengacu pada pendapat kedua ini, “nikah sirri” adalah sah hukumnya, hanya saja persyaratan administrasinya dalam bentuk pencatatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang belum dilakukan. Pencatatan nikah ini sama sekali tak ada hubungannya dan tak mempengaruhi keabsahan perkawinan, meskipun dari segi pembuktian lemah dan dari segi kepastian hukumnya “nikah sirri” tidak dijamin oleh ketentuan undang-undang. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, “nikah sirri” termasuk perkawinan yang sah, apabila hal itu dilakukan menurut hukum agamanya.

3. Menurut 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai hubungan keturunan (kekeluargaan) dan hubungan waris dengan bapak biologisnya. Sebab, menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, membawa implikasi yang tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM tidak boleh ada perbedaan di antara keduanya.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….……..……….………….…………. i

LEMBAR PENGESAHAN ... ...……….. ii

KATA PENGANTAR ... ...…………... iii

ABSTRAK ... ...……….…... iv

DAFTAR ISI ……… ………. vi

BAB I PENDAHULUAN ……….………..…….…… 8

A. Latar Belakang Masalah ………….……….. 8

B. Rumusan Masalah ………... 14

C. Tujuan Penelitian ……….. 15

D. Manfaat Penelitian ……… 15

E. Metode Penelitian ……….…….16

F. Sistematika Pembahasan………. 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...…….. 21

A. Pengertian Perkawinan ……….…. 21

B. Asas-asas Perkawinan……….……...26

C. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan ………... 35

D. Sejarah Perkawinan di Indonesia ………. 44

E. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak ……….. 51

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………….……….. 56

A. Keabsahan Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam …..……….. 56

B. Keabsahan Nikah Sirri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 …………..….………….……….………... 65

(7)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .……… 79

A. Kesimpulan ……… 79

B. Saran ……….. 83

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum. Di dalam negara hukum, setiap warga negara berhak memperoleh perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia menurut alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap bangsa (warga negara) Indonesia, antara lain adalah perlindungan hukum (rechtsbescherming) di bidang keluarga melalui instrumen hukum perkawinan.

Perlindungan hukum terhadap keluarga melalui instumen hukum perkawinan memiliki makna yang sangat fundamental, karena pada hakikatnya keluarga (yang terbentuk melalui perkawinan itu) merupakan unit terkecil dalam suatu komunitas sosial-politik yang terorganisasi dalam suatu negara. Melalui hukum perkawinan diharapkan semua warga negara Indonesia yang terhimpun dalam satuan-satuan keluarga bisa hidup dan berkehidupan dengan tertib, tenteram, dan sejahtera. Untuk itulah perlu dibuat suatu undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan menjamin perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut di atas, pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974. Undang-undang ini merupakan produk hukum hasil kompromi dari berbagai lapisan dan golongan penduduk Indonesia yang

(9)

masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam memperjuangkan ideologi dan cita-citanya berdasarkan paham kebangsaan, agama, dan adat-istiadat bangsa Indonesia yang memang beraneka ragam. Itulah sebabnya, dari dulu sejak zaman Hindia Belanda hingga pada saat dibuatnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah saat itu menyadari betapa sulitnya membuat undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional yang dapat mengakomodasi semua kepentingan dan harapan semua warga bangsa Indonesia berdasarkan prinsip unifikasi hukum atau “asas ketunggalan” (eenheidsbeginsel), karena bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki budaya, adat istiadat, dan terutama agama dan kepercayaan yang berbeda-beda (pluralistik).

Undang-undang ini tidak muncul secara serta merta, tetapi melalui perjalanan perjuangan yang panjang dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda agama dan ideologinya, latar belakang sosial dan budayanya, serta motivasi dan tujuannya. Usaha mewujudkan undang-undang perkawinan yang bersifat nasional itu, terutama untuk memenuhi tuntutan dari gerakan organisasi-organisasi kaum perempuan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan. Tuntutan dari gerakan dan organisasi-organisasi kaum perempuan itu dilatarbelakangi oleh maraknya gerakan emansipasi (women movement) pada saat itu yang menuntut kesamaan derajat dan kedudukan hukum antara kaum laki-laki dan perempuan, termasuk dalam urusan keluarga. Di samping itu, mereka juga menuntut jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan sebagai isteri dalam suatu keluarga yang menurut hukum perkawinan yang berlaku saat itu sangat dirasakan kurang berpihak dan bahkan bisa dikatakan merendahkan derajat kaum hawa (perempuan) di satu pihak, sekaligus memihak dan menguntungkan kepentingan kaum adam (laki-laki) di pihak lain, misalnya tentang poligami.

(10)

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dalam hubungan-hubungan keluarga, misalnya tentang hak dan kewajiban suami-isteri, hubungan hukum mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak (hak alimentasi), termasuk hak waris dan lain-lain, Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan itu baru dapat dilakukan apabila sebelumnya telah didahului dengan pelaksanaan perkawinan yang sah menurut ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini menimbulkan multiinterpretasi dan pendapat yang berbeda-beda di kalangan masyarakat dan para ahli hukum.

Pendapat pertama mengatakan bahwa secara yuridis perkawinan dipandang sah, apabila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Menurut pendapat ini, keabsahan perkawinan hanya didasarkan pada pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya sebagai satu-satunya syarat yuridis saja, pencatatan perkawinan hanya dipandang sebagai tindakan atau syarat administratif yang sama sekali tidak ada hubungannya atau tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan. Dengan perkataan lain, meskipun adanya suatu perkawinan itu tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lazim disebut dengan istilah “nikah di bawah tangan” atau “nikah sirri” (“nikah diam-diam”), apabila hal itu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya (dalam arti misalnya, menurut hukum (agama) Islam sudah dipenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan) maka perkawinan itu adalah sah.

(11)

Sedang, pendapat kedua mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila memenuhi dua syarat sebagai satu kesatuan syarat, yakni: pertama, dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan kedua, dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Dengan perkataan lain, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, apabila hal itu tidak dilanjutkan dengan pencatatan nikah (perkawinan), maka perkawinan tersebut adalah tidak sah dan negara secara hukum tidak mengakui keberadaan dan keabsahan perkawinan yang dilakukan seperti itu dengan segala akibat hukumnya, termasuk terhadap anak-anak yang dilahirkannya.

Rumusan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan ini tidak dimaksudkan sebagai salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan dan hak-hak pribadi seseorang dalam hubungan keluarga menurut hukum agamanya masing-masing warga negara, tetapi bentuk campur tangan itu merupakan wujud tanggungjawab pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga negara demi ketertiban, ketenteraman dan kesejahteraan yang berkepastian hukum. Jaminan perlindungan yang berkepastian hukum dalam hubungan keluarga (yang nota bene terbentuk melalui perkawinan itu) diwujudkan oleh pemerintah hanya dapat dilakukan apabila perkawinan itu dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan. Jaminan perlindungan hukum dalam perkawinan itu tidak semata-mata diberikan kepada para pihak yang melakukan perkawinan (suami, dan terutama istri), melainkan juga pihak-pihak lain yang berkaitan dan berkepentingan langsung dengan perkawinan itu, khususnya anak-anak yang dilahirkannya.

Melalui pencatatan perkawinan, pasangan suami isteri secara formal legalistik memiliki bukti yang berkekuatan hukum formal dalam bentuk Akta Nikah yang dibuat oleh

(12)

pejabat yang berwenang menurut ketentuan undang-undang. Perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum agama dan dilanjutkan dengan pencatatan perkawinan diharapkan dapat menjamin ketenangan keluarga dan ketertiban umum. Itulah motivasi dan tujuan utama pembuat undang-undang yang, meskipun tidak secara tegas (eksplisit) “mewajibkan” setiap perkawinan untuk dicatatkan, namun secara implisit dapat ditafsirkan sebagai “keharusan” karena apabila perkawinan itu tidak dicatatkan negara (pemerintah atau pejabat publik, termasuk pengadilan) tidak mengakui keberadaan dan keabsahan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan ini dilakukan demi kepentingan dan kemaslahatan (kebaikan) masyarakat secara keseluruhan.

Persoalannya adalah mengapa sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1 Oktober 1975 hingga sekarang (lebih dari dua dasawarsa atau 20 tahun), pelaksanaan ketentuan tentang pencatatan perkawinan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut tampaknya di beberapa kalangan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di Jawa Timur, masih belum efektif?

Masih belum efektifnya ketentuan mengenai pencatatan nikah dalam undang-undang tersebut terbukti dari data yang termuat dalam Buku Laporan Penyelesaian Perkawinan yang Tidak Tercatat dalam Buku Akta Nikah pada Kantor Urusan Agama se-Jawa Timur tahun 1999. Berdasarkan laporan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota se-Jawa Timur yang termuat dalam buku laporan tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 1 Oktober 1975 sampai dengan tanggal 21 Mei 1998 jumlah kasus perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berperkara di Pengadilan Agama sebesar 11.813 kasus perkawinan (Abu Amar, 2004:14). Hal ini berarti, jumlah perkawinan yang tidak dicatat akan jauh lebih banyak lagi apabila ditambah dengan jumlah perkawinan yang tidak dicatat dan tidak masuk dalam laporan tersebut, karena

(13)

tidak pernah berperkara di Pengadilan Agama. Hal ini juga merupakan bukti bahwa “nikah sirri” masih banyak dilakukan di kalangan warga masyarakat kita, meskipun hal itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Apabila dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut melahirkan seorang atau beberapa orang anak, maka sejalan dengan pendapat kedua tersebut di atas berarti anak yang dilahirkan (dari perkawinan yang tidak sah) itu disebut anak luar kawin (menurut undang-undang) atau yang lazim disebut dengan istilah onwettig kind. Di samping itu, anak luar kawin juga bisa terjadi (lahir) sebagai akibat dari hubungan “perzinahan” (yang dalam konsep hukum perdata Barat disebut overspel) antara seorang atau beberapa laki-laki dan seorang perempuan yang sama sekali dilakukan di luar perkawinan resmi menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum agama. Selanjutnya, anak luar kawin juga bisa terjadi (lahir) sebagai akibat dari tindak pidana pemerkosaan (rape) yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang laki-laki kepada seorang perempuan (bukan suami-isteri) yang dilakukan dengan paksaan fisik atau psikis, jadi bukan atas dasar suka sama suka di antara mereka. Dalam penelitian ini, hanya dibatasi dan difokuskan anak luar kawin yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri).

Berdasarkan uraian di atas, anak luar kawin ialah anak yang tidak mempunyai kedudukan yang sempurna sebagaimana anak sah. Dikatakan anak luar kawin, oleh karena asal usulnya tidak didasarkan pada hubungan perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya sebagai suami isteri (Soetojo Prawirohamidjojo, 1994:105). Sebaliknya, anak yang sah menurut Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Selanjutnya, menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

(14)

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Sedang, dalam ayat (2)-nya dikatakan bahwa: “Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas, selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Hingga sekarang peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang kedudukan anak luar kawin belum terlaksana. Dengan keadaan seperti ini, maka timbul persoalan hukum terkait dengan kedudukan (status) hukum anak luar kawin, termasuk di dalamnya menyangkut perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap anak luar kawin, yang pada hakikatnya merupakan anak yang lahir tanpa dosa (fitrah) yang sebenarnya merupakan hasil (resultaat) dan “korban” dari hubungan kelamin “ayah” (biologis) dan ibunya di luar ikatan perkawinan yang resmi menurut undang-undang, baik yang dilakukan atas dasar “nikah sirri”, karena tindak “perzinahan”, maupun sebagai akibat dari tindak pidana perkosaan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, adalah penting untuk melakukan penelitian tentang keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) baik menurut pandangan hukum Islam maupun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatakan ditinjau dari perspektif (sudut pandang) Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terkait dengan persoalan hukum (legal issues) tersebut di atas, penelitian ini diberi judul: “Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dipaparkan di atas, pokok-pokok masalah yang akan diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif

(15)

2. Bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (anak luar kawin) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum terkait dengan:

1. Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam;

2. Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3. Perlindungan hukum terhadap Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi masyarakat secara keseluruhan. Khusus bagi penulis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu tugas Tridharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban dosen, di samping tugas di bidang pengajaran dan pengabdian pada masyarakat.

(16)

Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi semua pihak, khususnya tokoh-tokoh agama (kyai; ulama’) dalam masyarakat dan pejabat publik yang mengurusi masalah perkawinan, antara lain Kepala Desa/Lurah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pejabat Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, termasuk aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa, dan pengacara, agar terbentuk persepsi dan pemahaman yang sama atau setidak-tidaknya mempersempit perbedaan sudut pandang terhadap berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai hukum pencatatan perkawinan. Dengan adanya persepsi dan pemahaman yang sama mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan pejabat publik dan tokoh-tokoh agama yang ada dalam masyakarat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dalam rangka memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan oleh negara (baca: pemerintah) melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk mencari jawaban dan menganalisis pokok-pokok masalah sebagaimana telah dipaparkan dalam rumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:

a. Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1990:12) dapat dibedakan ke dalam lima tipe penelitian, yaitu:

(1) Penelitian inventarisasi hukum positif; (2) Penelitian terhadap asas-asas hukum;

(17)

(4) Penelitian terhadap sistematik hukum;

(5) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

Berdasarkan tipe-tipe penelitian hukum normatif tersebut di atas, penelitian ini termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan dan dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam dan kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logis-sistematis.

Oleh karena dalam penelitian ini, setelah dilakukan kegiatan inventarisasi hukum positif dilanjutkan dengan kegiatan membandingkan atau mencari kaitannya dengan norma hukum tidak tertulis yang berlaku masyarakat, maka penelitian ini menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1990:14) dapat dikategorikan sebagai penelitian perbandingan hukum (legal comparative study) antara norma hukum tertulis dan norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

b. Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif, termasuk jenis penelitian ini, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1994:12-13), mencakup:

(1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang penelitian ini terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen);

(18)

d) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

e) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Penacatatan Nikah, Talak dan Rujuk;

f) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;

g) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

h) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;

i) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;

j) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

k) Sumber-sumber hukum yang hanya mengikat orang-orang yang beragama Islam, yaitu: Al Qur’an dan Al Hadits;

l) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait masalah perkawinan; (2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, yang dalam penelitian ini meliputi: buku-buku dan kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para ahli hukum dan ahli fiqh, dokumen-dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan;

(3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dalam penelitian ini meliputi kamus dan ensiklopedi hukum.

(19)

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian inventarisasi hukum positif ini dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma-norma sosial bukan hukum positif; kedua, melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan sebagai norma hukum positif; dan ketiga, dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah didentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:13).

Kriteria identifikasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua konsepsi, pertama konsepsi legisme-positivistik yang berpandangan bahwa hukum identik dengan norma-norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa (pejabat yang berwenang). Sedang yang kedua adalah konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini norma hukum agama (meskipun tertulis dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang ditulis para ahli hukum agama) dan hukum adat masyarakat setempat.

d. Teknik Analisis Bahan Hukum

Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logis-sistematis. Setelah melalui proses identifikasi dan klafisikasi terhadap bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier, selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap isi dari bahan-bahan hukum tersebut melalui metode analisis isi (content analysis) dengan

(20)

(sosiologis). Hasil dari analisis isi ini kemudian dipaparkan (dideskripsikan) secara sistematis dalam laporan hasil penelitian yang berbentuk tesis.

F. Sistematika Pembahasan

Laporan hasil penelitian ini disusun berdasarkan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II Tinjauan Pustaka, yang menguraikan tentang Pengertian Perkawinan, Asas-asas Perkawinan, Syarat-syarat Sahnya Perkawinan, serta Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia, serta Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi pembahasan tentang: Keabsahan Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam; Keabsahan Nikah Sirri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir dari Nikah Sirri dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).

Bab IV Kesimpulan dan Saran merupakan bab penutup yang berisi tentang: Kesimpulan dan Saran atas hasil penelitian yang telah dianalisis dan diuraikan dalam bab sebelumnya.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Menurut Hukum Islam, istilah perkawinan secara semantik atau ilmu bahasa berasal dari kata “kawin”. Kata kawin itu sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Perkataan nikah ini berarti “bergabung” dan “berkumpul”. Arti tersebut dipergunakan juga untuk kata akad nikah (Kamal Muchtar, 1974:11). Kedua arti “nikah” tersebut di atas ternyata memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam dalam menentukan manakah di antara keduanya yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) dan majazi (kiasan) dari kata nikah.

Madzab Hanafi mengartikan kata nikah yang sebenarnya adalah watha’ (bersetubuh), sedangkan makna kiasannya adalah “akad”. Berdasarkan makna hakiki, seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan seorang wanita secara tidak sah (zina) dapat dikatakan telah menikah. Namun nilai-nilai normatif akan mengatakan hal ini sebagai suatu yang na’if dan aib, maka madzab Syafi’i tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurut Madzab Syafi’i, nikah yang sebenarnya (hakiki) adalah “akad” dan makna kiasannya (majas) adalah watha’. Nikah sebagaimana tersebut di dalam Al Qur’an berarti akad, karena lebih sesuai dengan hukum syara’. Nikah menurut syara’ adalah akad yang memperbolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafal nikah (tazwij) atau terjemahannya. Apabila nikah dimaksudkan sebagai “berkumpul”, digunakan lafal mulamasah atau mumasah yang berarti menyentuh (Peunoh Daly, 1988:102).

(22)

Kata “perkawinan” sama dengan kata “nikah” dan kata “zawaj”. Dalam pengertian syara’, nikah adalah akad (ijab kabul) antara wali nikah dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya (Zahri Hamid, 1978:1). Akad ialah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami atau wakilnya (Mahmud Junus, 1975:1).

Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum Islam tersebut, sebenarnya bukan suatu yang prinsip di dalam lingkup hukum perkawinan. Sebab, persamaan unsur dalam memberikan makna nikah masih terlihat jelas di dalam polemik itu. Unsur agar terjadi nikah adalah adanya akad dan berkumpul, walaupun keduanya ditempatkan pada posisi yang berbeda dan berlawanan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya, dengan dasar sukarela dan keridhloan kedua belah pihak berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhloi oleh Allah SWT” (Ahmad Azhar Basyir, 1977:10).

2. Pengertian Perkawinan Menurut KUH Perdata

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) tidak tertuang secara jelas definisi dari perkawinan (huwelijk). Namun, istilah perkawinan ini sering digunakan dalam dua arti, yakni: Pertama, sebagai suatu perbuatan, maksudnya perbuatan melangsungkan perkawinan, seperti yang digunakan dalam pasal 104 KUH Perdata. Juga dalam arti yang sama, istilah perkawinan dalam pasal 209 sub 3. Jadi, perkawinan adalah suatu “perbuatan hukum” yang dilakukan pada suatu saat tertentu. Kedua, sebagai suatu “keadaan hukum”. Maksudnya keadaan bahwa seorang pria dan wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan. Keadaan hukum ini adalah sebagai

(23)

akibat perbuatan yang dimaksud di atas. Dalam keadaan itu pihak pria mempunyai status sebagai suami dan pihak wanita sebagai istri. Maka perkawinan dalam arti keadaan hukum adalah suatu instelling atau lembaga hukum (Soetojo Prawirohamidjojo, 1988:35).

Di samping itu, dalam KUH Perdata dengan tegas ditentukan bahwa perkawinan hanyalah persoalan “hubungan keperdataan”. Hal ini termaktub dalam pasal 26 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan”. Berdasarkan penggunaan istilah perkawinan seperti terdapat dalam beberapa pasal KUH Perdata tersebut, beberapa ahli hukum Belanda, seperti Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis mencoba memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan adalah persekutuan antara pria dan wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal” (Soetojo Prawirohamidjojo, 1988:36).

Berdasarkan ketentuan pasal 26 KUH Perdata tersebut di atas, maka perkawinan hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum (rechtshandeling), seperti halnya perjanjian (kontrak) perdata lainnya. Perkawinan hanya diintepretasikan sebagai suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan wanita dalam lingkup hukum keluarga, yaitu masing-masing pihak berhak untuk menyatakan kehendak mereka secara bebas sebagai isi hubungan mereka. Namun demikian, persetujuan perkawinan ini tidaklah sama dengan persetujuan dalam Buku III KUH Perdata. Definisi di atas juga tidak berisi suatu penunjukan mengenai senggama, walaupun dasar perkawinan adalah adanya perbedaan kelamin, tetapi kemungkinan senggama tidaklah mutlak dalam suatu perkawinan. Hal ini menimbulkan konsekuensi diperkenankannya perkawinan antara orang-orang yang sudah lanjut usia.

Berdasarkan definisi perkawinan tersebut tersurat juga bahwa perkawinan merupakan suatu lembaga yang terikat pada pengakuan oleh negara. Perkawinan

(24)

dikatakan sah apabila dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang (penguasa). Suatu concubinaat bukanlah perkawinan. Menurut hukum, concubinaat ini berarti hidup bersama antara seorang pria dan wanita dalam waktu yang singkat (semacam nikah mut’ah). Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilakukan menurut agama (kawin sirri) belum dikatakan sah jika belum dilakukan di hadapan atau dicatat oleh pejabat yang berwenang.

3. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Definisi perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tertuang dalam pasal 1, yang menegaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan definisi tersebut, ada lima unsur pokok (esensial) yang harus selalu ada dalam setiap prosesi perkawinan hingga terbentuk sebuah keluarga. Kelima unsur pokok tersebut adalah:

a. Ikatan lahir batin.

b. Antara seorang pria dan seorang wanita. c. Sebagai suami/isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berikut ini diuraikan kelima unsur pokok tersebut di atas: a. Ikatan lahir batin

Yang dimaksud ikatan lahir batin adalah ikatan dalam sebuah perkawinan tersebut tidak hanya berfokus pada tanggung jawab yang sifatnya lahiriah atau batiniah, tetapi harus terjalin perpaduan antara keduanya. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang

(25)

dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini sifatnya formal, karena hubungan ini nyata, baik bagi pihak yang mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga. Sebaliknya, suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal. Ikatan batin ini tidak tampak, tidak nyata dan hanya dapat dirasakan oleh pihak yang bersangkutan.

b. Antara seorang pria dan seorang wanita

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Selain itu tidak boleh atau dilarang, misalnya antara pria dan pria (kaum homoseks) atau wanita dengan wanita (lesbian). Dalam poin kedua ini tersirat dengan jelas bahwa pada prinsipnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami, walaupun tidak mutlak. Karena, dalam hal-hal tertentu poligami (perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu orang wanita) juga diperbolehkan, apabila dilakukan menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

c. Sebagai suami/istri

Suatu ikatan antara seorang pria dan wanita baru dapat dipandang sebagai suami istri apabila ikatan mereka telah didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Perkawinan itu sendiri dapat dikatakan sah bilamana telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat intern maupun syarat ekstern. Maksud syarat intern adalah hal-hal yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu kesepakatan, kecakapan, dan ada ijin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah hal-hal yang menyangkut formalitas-formalitas dalam melangsungkan perkawinan.

(26)

d. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Yang dimaksud keluarga adalah kesatuan yang tersendiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tidak bisa terlepas dari faktor kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Sebab tingginya kualitas dan kuantitas kebahagiaan keluarga bisa menjadi cermin sejahteranya suatu masyarakat. Keluarga yang bahagia berhubungan dengan lahirnya generasi baru. Memperoleh keturunan adalah salah satu tujuan pokok dari perkawinan. Untuk mendapakan generasi penerus yang berkualitas, dibutuhkan kekalan perkawinan. Sehingga pada prinsipnya sekali orang melakukan perkawinan berupaya untuk tidak cerai, sehingga bahtera keluarganya berlangsung selama-lamanya, kecuali karena ada kematian atau pasangan suami/istri tersebut justru tidak bahagia dalam ikatan perkawinan tersebut.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau kerohanian. Perkawinan tidak boleh berunsurkan lahir/jasmani saja, tetapi harus memiliki unsur batin/rohani berdasarkan nilai-nilai keyakinan dan ketuhanan (keagamaan). Sebab religiusitas adalah salah satu pilar pokok bagi terciptanya kebahagiaan dan kekekalan sebuah keluarga dalam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

B. Asas-asas Perkawinan

Perkataan asas berasal dari kata Arab, asasur artinya dasar, basis, pondasi. Apabila dikorelasikan dengan sistem berpikir, asas memiliki makna landasan berpikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia asas mempunyai arti dasar, alas,

(27)

dan pedoman (Poerwadarminta, 1982:60). Jika kata asas diaplikasikan dalam ilmu hukum, maka asas mengandung maksud kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum (Muhammad Daud Ali, 1993:113).

Berikut ini dipaparkan secara singkat asas-asas perkawinan menurut hukum Islam, hukum adat, KUH Perdata, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

1. Asas-asas Perkawinan Menurut Hukum Islam

Asas-asas perkawinan menurut hukum Islam antara lain adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pokok perkawinan menurut hukum Islam seperti yang ditegaskan dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (21), adalah terciptanya rumah tangga (keluarga) yang penuh ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). b. Kegunaan (faedah) perkawinan menurut Al Ghazali (Abu Amar, 2004:23), paling

sedikit terdiri dari lima hal: (1) memperoleh keturunan; (2) menjaga diri dari godaan setan; (3) menenangkan dan menentramkan jiwa; (4) membagi tugas rumah tangga; dan (5) tempat berlatih untuk tanggang jawab.

c. Hikmah Perkawinan menurut Ali al Jurjawi (Abu Amar, 2004:23), adalah: (1) sarana reproduksi untuk meneruskan atau melanjutkan kehidupan umat manusia di muka bumi; (2) memenuhi watak dasar manusia; dan (3) menjamin hak-hak kewarisan.

d. Sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah apabila suatu perkawinan telah dilakukan sesuai dengan syariat Islam, yaitu memenuhi seluruh rukun dan syarat perkawinan.

e. Menurut hukum Islam, perjanjian perkawinan (aqad nikah) dilakukan antara calon mempelai laki-laki dengan wali nikah yang mewakili pihak mempelai perempuan.

(28)

f. Menurut hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur'an surat An Nisa’ ayat (3), poligami (beristri lebih dari seorang) diperbolehkan dengan ketentuan sebanyak-banyaknya empat orang perempuan, dengan syarat suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, tetapi jika seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil hendaklah beristri seorang saja. Dengan perkataan lain, hukum Islam pada prinsipnya menganut paham monogami tetapi tidak mutlak, artinya boleh poligami asalkan dapat berlaku adil.

g. Perceraian dipandang sebagai perbuatan yang halal (boleh), tetapi amat dibenci oleh Allah SWT. Dengan kata lain, hukum Islam memandang bahwa perkawinan adalah hidup bersama dalam ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk selama-lamanya (kekal); perceraian hanya dimungkinkan apabila keadaannya terpaksa, misalnya tujuan perkawinan sebagaimana ditentukan menurut syariat Islam tidak tercapai dalam perkawinan tersebut.

2. Asas-asas Perkawinan Menurut KUH Perdata

a. Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja (pasal 26 KUH Perdata).

Perkawinan hanya dapat dikatakan sah apabila dilakukan dimuka petugas Kantor Catatan Sipil. Perkawinan yang hanya dilakukan menurut tata cara agama saja belum dapat dikatakan sah hukumnya. Lebih tegasnya, pasal 81 KUH Perdata menyebutkan bahwa perkawinan menurut upacara keagamaan baru dapat dilaksanakan setelah perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai catatan sipil. Perkawinan menurut KUH Perdata juga tidak mengindahkan larangan-larangan perkawinan menurut hukum suatu agama, larangan perceraian misalnya. Walaupun hal itu sangat dilarang oleh suatu agama tertentu, tetapi jika ternyata memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang ini maka hal tersebut adalah sah.

(29)

b. Perkawinan agar dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

c. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam lapangan hukum keluarga.

Pasal 28 KUH Perdata menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri dalam perjanjian ini. Walaupun jelas bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian, namun perjanjian ini tidaklah sama dengan perjanjian dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaan antara keduanya terletak pada:

1) Perjanjian dalam Perkawinan

a) Suatu perkawinan harus diindahkan oleh setiap orang.

b) Perkawinan harus dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini petugas kantor catatan sipil.

c) Segala akibat di dalam perkawinan diatur oleh undang-undang, hak-hak yang timbul tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.

d) Perkawinan tidak dapat diakhiri dengan permufakatan antara kedua belah pihak.

e) Dalam perkawinan, bentuk atau syarat-syarat formal yang paling utama, sedang isinya (sesuai agama atau tidak) bukanlah suatu hal yang esensial. 2) Perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata

a) Perjanjian hanya meningkatkan kedua belah pihak. b) Perjanjian dapat dilakukan oleh/antara kedua belah pihak.

c) Perjanjian tersebut dapat mengatur segala hal yang disepakati kedua belah pihak, hak-hak yang timbul dari perjanjian dapat dilimpahkan kepada orang lain.

(30)

e) Isi penjanjian adalah paling utama, sedang bentuk tidak.

d. Perkawinan didasarkan pada asas monogami mutlak (Pasal 27 KUH Perdata).

Asas monogami dalam pasal 27 KUH Perdata adalah bahwa waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya seorang laki-laki sebagai suaminya.

e. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu. Pada dasarnya, pertalian keluarga itu sendiri dapat terjadi karena dua hal yaitu:

1. Karena keturunan sedarah

Mengenai keturunan sedarah inipun dapat dibedakan menjadi keturunan darah yang sah dan keturunan darah di luar kawin. Maksud keturunan darah yang sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, sehingga ia memperoleh si suami sebagai bapaknya (pasal 250). Sedangkan maksud keturunan luar kawin adalah keturunan yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Dalam keturunan sedarah ini, kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti dalam pasal 298 KUH Perdata.

2. Karena perkawinan/pertalian semenda

Kekeluargaan semenda menurut pasal 295 adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan seseorang dengan keluarga suami atau istri. Perlu diperhatikan bahwa antara keluarga suami dan keluarga istri tidak terdapat hubungan semenda. Selanjutnya hubungan semenda ini tidak akan lepas karena adanya perceraian (pasal 297).

(31)

Mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan dimuat dalam pasal 103-118 yang antara lain adalah:

1. Kekuasaan marital dari suami, yaitu bahwa suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya.

2. Wajib nafkah (kewajiban alimentasi) yaitu suami wajib memelihara dan memberi nafkah pada istrinya.

3. Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya. 4. Istri mengikuti tempat tinggal (domisili) suaminya.

5. Istri menjadi tidak cakap bertindak. Di dalam segala perbuatan hukum ia memerlukan bantuan dari suaminya, kecuali dalam beberapa hal antara lain:

a. Perbuatan sehari-hari guna keperluan rumah tangga.

b. Mengadakan perjanjian kerja sebagai majikan guna kepentingan rumah tangga. c. Melakukan pekerjaan bebas (profesi).

d. Membuat wasiat.

e. Membuat perjanjian kerja sebagai buruh. f. Memperoleh hak milik atas suatu benda. g. Menyimpan dan mengambil uang di bank h. Menggugat.

Ketentuan tentang ketidakcakapan seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan suami sebagaimana tersebut di atas, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 dinyatakan tidak berlaku, karena tidak relevan dengan perkembangan zaman dan keadaan masyarakat Indonesia.

6. Suami berhak mengurus dn menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian harta perkawinan pisah (Kansil, 1980:219-220).

(32)

g. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta kekayaan suami istri.

Pasal 119 menyebutkan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sepanjang sebelumnya tidak dibuat janji kawin yang mengatur sebaliknya. Persatuan harta kekayaan ini tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. Persatuan harta kekayaan dalam perkawinan ini menjadi bubar antara lain karena: 1. Kematian.

2. Berlangsungnya suatu perkawinan atas ijin hakim, setelah adanya keadaanya tak hadir si suami.

3. Perceraian

4. Perpisahan meja dan tempat tidur 5. Perpisahan harta benda (pasal 126)

h. Perceraian dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Perceraian itu sendiri sebenarnya hanyalah salah satu penyebab bubarnya perkawinan. Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan mengenai penyebab bubarnya perkawinan antara lain:

1. Karena kematian

2. Karena keadaan tak hadir si suami atau istri, selama 10 tahun, diikuti dengan perkawinan baru dari suami atau istri setelah mendapat ijin dari hakim.

3. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pembukuan bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil.

4. Karena Perceraian

Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian menurut pasal 209 KUH Perdata, antara lain:

(33)

a. Zina;

b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja selama 5 tahun berturut-turut; c. Dihukum dengan hukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang dijatuhkan setelah

perkawinan;

d. Menganiaya atau melukai berat pasangannya sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya (Sudarsono, 1991:9-26).

3. Asas-asas Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercentum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Sahnya Perkawinan

Pada pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Asas Monogami

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum, dan agama dari yang bersangkutan

(34)

mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang istri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, baru dapat dilakukan apabila telah dipenuhi sebagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Prinsip-prinsip Perkawinan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta menghasilkan keturunan yang sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah lagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur untuk kawin 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Mempersukar Terjadinya Perceraian

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

f. Hak dan Kedudukan Suami Istri

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dibandingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri (Kansil, 1980:225-226)

(35)

C. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan

Di dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia, syarat-syarat sahnya perkawinan ditentukan menurut hukum agama atau kepercayaan dari para pihak yang melangsungkan perkawinan (pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Oleh karena negara Indonesia mengakui berbagai macam agama, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Meskipun demikian, sebagai suatu perbandingan hukum juga perlu dikemukakan syarat sahnya perkawinan menurut KUH Perdata. Untuk mengetahui lebih jelas syarat-syarat perkawinan dari ketiga perspektif hukum tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam, perkawinan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat atau rukun dari perkawinan. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia menyebutkan bahwa untuk melakukan suatu perkawinan harus ada:

a. Calon Suami b. Calon Istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab Kabul

Berikut ini dijelaskan secara singkat syarat-syarat perkawinan tersebut di atas: a. Calon Suami dan Calon Istri

Calon Suami dan calon Istri dapat disebut juga sebagai calon mempelai, adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan pihak-pihak yang akan melakukan akad/perjanjian perkawinan.

(36)

Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqh adalah penguasaan penuh yang yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Pada dasarnya perwalian itu dibagi menjadi:

1. Perwalian atas orang; 2. Perwalian atas barang;

3. Perwalian atas orang dalam perkawinan.

Dalam penelitian ini tidak akan membahas semua jenis perwalian tersebut, tetapi hanya memfokuskan pada perwalian dalam perkawinan seseorang saja. Masalah perwalian dalam perkawinan ini terdapat dua pendapat dikalangan para pakar hukum Islam. Pendapat pertama berasal dari Imam Maliki, Syafi’i, dan Hambali, yang mengatakan bahwa wali adalah merupakan salah satu rukun yang harus ada dalam perkawinan. Tanpa adanya wali, perkawinan tidak sah. Dasar hukum yang dipergunakan adalah:

a) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh empat orang ahli hadist terkecuali Nasa’i, yang artinya: “Barangsiapa di antara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh walinya, maka perkawinannya batal.”

b) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, yang artinya: “Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan pula akan dirinya sendiri.”

c) Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR Ahmad, yang artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.”

Pendapat kedua berasal dari Imam Abu Hanifah yang ada intinya membolehkan seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas R.A., yang artinya:

(37)

“Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas (perkawinan) dirinya dari pada walinya dan gadis itu dimintakan perintah (agar ia dikawinkan) kepadanya dan ijinnya adalah diamnya.” Berdasarkan hadist tersebut, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali dalam perkawinan hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita dewasa dan janda boleh mengawinkan dirinya sendiri.

Di negara kita yang dianut adalah pendapat dari Madzab Syafi’i, sehingga tidak mungkin terjadi perkawinan tanpa adanya wali. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

c. Saksi

Adanya saksi dalam akad nikah, menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam perkawinan. Karena, saksi dalam perkawinan sangat diperlukan antara lain untuk:

1. Alat bukti terhadap pihak ketiga jika terjadi keraguan akan sahnya perkawinan itu. 2. Agar Suami maupun istri tidak dapat dengan mudah melakukan pengingkaran. 3. Keyakinan dalam masyarakat terhadap telah berlangsungnya perkawinan, dapat

ditimbulkan karena adanya saksi.

Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum Islam mengenai masalah persaksian dalam perkawinan adalah hadist nabi sebagai berikut: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”

Lebih lanjut, Imam Abu Hanifah kemudian mengkiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah, maka otomatis saksi dalam akad nikah tentu lebih utama dan diperlukan dari pada saksi-saksi dalam akad muamalah. Ketentuan mengenai saksi ini dimuat dalam pasal 24 KHI yaitu:

1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan akad nikah. 2. Setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi.

(38)

Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka kedalam tali perkawinan dengan menggunakan “Sighat akad nikah”. Sedangkan yang dimaksud dengan “Sighat akad nikah” ialah perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan calon istri yang terdiri dari “ijab” dan “Qabul”. “Ijab” ialah pernyataan dari pihak calon istri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan, “Qabul” ialah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya menjadi istrinya.

2. Syarat-syarat Perkawinan Menurut KUH Perdata

Syarat-syarat perkawinan menurut KUH Perdata pada dasarnya dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:

a. Syarat material (syarat inti), yang berdiri dari: - Syarat material absolut (mutlak);

- Syarat material relatif. b. Syarat Formal

Syarat material absolut (mutlak) adalah syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk pelaksanaan perkawinan. Syarat ini berlaku untuk:

1. Monogami;

2. Persetujuan antara kedua suami isteri; 3. Memenuhi syarat umur minimal;

4. Perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan.

5. Izin dari orang tertentu didalam melaksanakan perkawinan.

(39)

a. Untuk orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin, ketentuannya adalah:

1) Anak-anak sah yang belum dewasa, untuk melaksanakan perkawinan harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya. Jika ternyata hanya satu diantara mereka yang dapat memberikan izinnya, karena yang lain dipecat kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri si anak, maka pengadilan negeri dalam wilayah hukum tempat tinggal anak atas permintaannya berkuasa memberikan izin kawin setelah memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan.

2) Jika satu diantara kedua orang tua telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain (pasal.35).

3) Jika anak-anak yang kawin belum dewasa tersebut ada dibawah perwalian orang lain dari bapak dan ibunya, maka selain izin yang harus diperoleh menurut pasal 35 KUH Perdata harus pula diperoleh izin dari wali mereka, atau jika izin tersebut diperlukan untuk kawin dengan wali itu sendiri, maka diperlukan izin dari wali pengawas.

4) Jika semuanya ternyata menolak memberikan izin, atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, maka berlakulah pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri anak telah memberikan izin (pasal 36).

5) Jika bapak dan ibu dari keduanya telah meninggal dua atau keduanya berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka masing-masing mereka harus diganti oleh orang tuanya sekedar orang-orang ini masih hidup dan tidak berada dalam keadaan yang sama.

(40)

Ayat kedua pasal 35 berlaku, jika mereka yang izinnya menurut ayat ke satu atau kedua dalam pasal ini diperlukan, ada perbedaan pendapat, atau jika seorang atau lebih diantara mereka tak menyatakan pendiriannya. (pasal 37).

6) Jika bapak ibu beserta kakek-kakek dan nenek-nenek tidak ada, atau mereka berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka anak-anak selama mereka belum dewasa, tak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali dan wali pengawas mereka.

7) Jika baik si wali maupun wali pengawas, atau salah satu diantara mereka menolak memberi izin itu, atau jika mereka tak menyataka diri mereka, maka Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum tempat tinggal si anak atas permintaannya, berkuasa memberikan izin kawin, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah dan semenda (pasal 38)

b. Untuk orang dewasa namun belum genap usia 30 (tiga puluh) tahun, untuk kawin masih diperlukan izin dari orang tua mereka. Jika izin tak diperoleh, maka mereka boleh meminta perantaraan Pengadilan Negeri yang di wilayah tempat tinggal mereka (pasal 24).

Syarat material relatif adalah ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan seseorang untuk melakukan perkawinan dengan orang ketentuan yaitu:

1. Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang berhubungan sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (pasal 30 dan 31).

2. Larangan melakukan perkawinan dengan orang, dengan siapa orang tersebut pernah berbuat zina (pasal 32).

3. Memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila belum lewat 1 tahun ternyata terlarang (pasal 33).

(41)

Di samping syarat-syarat material, perkawinan juga memerlukan syarat-syarat formal terdiri dari:

a. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin (diatur dalam pasal 50 dan 51):

1. Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dati kedua belah pihak.

2. Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik diri sendiri, maupun dengan surat-surat yang dapat tentang pemberitahuan itu oleh pegawai catatan sipil harus dibuatkan sebuah akta.

b. Pengumuman tentang maksud untuk kawin.

Pengumuman ini untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk melakukan pencegahan bagi adanya maksud perkawinan tersebut berdasarkan alasan tertentu. Adapun pencegahan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan dalam keadaan tertentu pula secara resmi diatur oleh undang-undang (pasal 86-92).

3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab II Pasal 6 hingga 12, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Persetujuan kedua belah pihak

Pengertian persetujun kedua belah pihak adalah bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasar kehendak bebas dari kedua calon mempelai. Persetujuan dan kesukarelaan ini adalah merupakan syarat yang penting sekali untuk mereaalisasikan tujuan dari perkawinan yaitu untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal (pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).

(42)

Ayat (2) pasal 6 menentukan bahawa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum berumur 21 tahun harus meminta izin kepada orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal dunia, izin itu cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (ayat (3) pasal 6). Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari:

(1) Wali

(2) Orang yang memelihara

(3) Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas (kakek atau nenek) selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat (4) pasal 6).

c. Batas umur untuk kawin

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dengan jalan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal salah seorang atau kedua orang tua telah meninggal dunia, maka perkecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali atau orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas dari pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, dengan ketentuan sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain.

d. Tidak terdapat larangan kawin

Ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk kawin diantara orang-orang yang mempunyai hubungan persaudaraan terdapat dalam pasal 8 (a) hingga (f)

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Akhir ini merupakan penyempurnaan dari Laporan Antara yang merupaka satu rangkaian kegiatan dalam Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan

Untuk memenuhi kebutuhan kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) produktif, lembaga pengelola wakaf uang dapat melakukan pemberdayaan dengan mem- berikan bantuan modal

Kegiatan Estimasi Stok Karbon akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD (Reduced Emission from Deforestation and Forest

Jika bayi tidak menangis warna ulit bayi biru, denyut jantung kurang 100 kali/menit maka lakukan ventilasi tekanan positif.. Bila pertautan baik dan dinding dada bayi

Selanjutnya dijabarkan pula bahwa esensi konsep agropolitan adalah: (1) memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota (urbanism) pada lingkungan perdesaan, (2) memperluas hubungan

Yang berada di lingkaran I sampai dengan V adalah kerjasama yang sudah dirintis dan program sudah tersusun, sedang yang berada diluar lingkaran I – V, tapi berada dalam lingkaran

Jagoan Hosting Indonesia tidak dapat memberikan jaminan tersebut apabila tagihan untuk bulan berikutnya sudah tercetak, atau JagFamily sudah menggunakan bandwidth lebih dari 10GB

Dalam Undang-undang perkawinan secara eksplisit tidak diatur tentang perwalian nikah, hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan : “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka