• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS PREGABALIN DALAM MANAGEMEN NYERI KRONIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN KASUS PREGABALIN DALAM MANAGEMEN NYERI KRONIS"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN KASUS

PREGABALIN DALAM MANAGEMEN NYERI KRONIS

Oleh :

dr. Tjahya Aryasa EM, Sp.An

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2019

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “Pregabalin dalam Managemen Nyeri Kronis” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2019

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR. ... ii

DAFTAR ISI. ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

BAB II TINJUAN PUSTAKA. ... 2

2.1 Konsep Nyeri……….. ... 2.2 Penatalaksanaan Nyeri Kronis ... 2.3 Pregabalin dalam Managemen Nyeri Kronis... BAB III LAPORAN KASUS ... 17

3.1 Identitas Pasien ... 3.2 Anamnesis ... 3.3 Tanda-tanda Vital ... 3.4 Pemeriksaan Fisik ... 3.5 Pemeriksaan Penunjang ... 3.6 Diagnosis ... 3.7 Tatalaksana ... BAB IV PEMBAHASAN ... 21

BAB V SIMPULAN ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Nyeri adalah suatu fenomena yang kompleks, dialami secara primer sebagai suatu pengalaman psikologis. Penelitian yang berlangsung selama bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh kondisi nyata dari fisik itu sendiri dan kondisi jiwa, nyeri juga dipengaruhi secara kuat oleh kondisi emosi, fungsi kognitif, dan faktor-faktor sosial yang menimbulkan serta mempertahankan rasa nyeri.1,2 Penelitian juga menunjukkan bahwa respon setiap orang sangat bervariasi dan sangat personal dalam menyikapi rasa nyeri.

Dari segi waktu berjalannya penyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.2 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat terapi untuk kedua macam nyeri tersebut dibedakan. Nyeri kronis dapat berlangsung tiga bulan atau lebih lama tanpa diketahui penyebabnya dan mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-hari. Nyeri kronis dapat terjadi tanpa trauma yang mendahului, dan seringkali tidak dapat ditentukan adanya gangguan sistem yang mendasari bahkan setelah dilakukannya observasi dalam jangka waktu yang lama.3,4

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas dan menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini mungkin dan sangat diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien. Penilaian intensitas nyeri dapat menggunakan Visual Analogue Scale (VAS). Skala ini mudah digunakan bagi pemeriksa, efisien dan lebih mudah dipahami oleh pasien. Etiologi nyeri berupa nyeri nosiseptik/ inflamasi dan nyeri neuropatik seperti pada diabetes mellitus juga akan mempengaruhi intensitas nyeri kronik.4

Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar- besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat analgesik secara konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik opioid, dan analgesik adjuvan. Opioid lebih sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi pada penderita kanker yang mengalami nyeri neuropatik.

(5)

2

Nonopioid, seperti acetaminophen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang. Farmakoterapi adjuvan untuk nyeri neuropatik umumnya melibatkan penggunaan antidepresan atau antikonvulsan.

Pregabalin merupakan suatu obat antikonvulsan yang digunakan sebagan analgesik tambahan dalam penanganan nyeri kronis, terutamanya nyeri neuropatik.

Pregabalin merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA) yang dapat berperan sebagai penghambat hipereksitabilitas neuron dengan menghambatnya glutamate.

Umumnya pregabalin digunakan sebagai obat antikejang, namun berbagai penelitian menemukan potensi pregabalin sebagai salah satu terapi lini pertama untuk nyeri neuropatik. Berbagai penelitian juga menunjukan hasil positif efektifitas Pregabalin dalam managemen nyeri kronis dalam berbagai kondisi seperti spinal cord injury, fibromialgia, post-herpatic neuralgia, diabetic peripheral neuropathy dan nyeri neuropatik kanker.

(6)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.1 Berdasarkan definisi ini dapat diinterpretasikan dua kondisi nyeri, yaitu2 :

a. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).

b. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).

2.1.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi3,4 : a. Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi

b. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat

c. Nyeri visceral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi4 : a. Nyeri nosiseptif

(7)

4

Nyeri nosisepsi disebabkan oleh berlangsungnya aktivasi dari serabut saraf Aδ dan C sebagai respons dari stimulus berbahaya. Nyeri nosisepsi dapat berupa nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik merupakan nyeri yang berasal dari tulang, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan sebagai rasa sakit yang tajam, menusuk, berdenyut, dan terlokalisasi. Sedangkan, nyeri viseral merupakan nyeri yang berasal dari organ-organ dalam seperti pankreas, hati, saluran pencernaan, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan seperti kram, tumpul, kolik, meremas, tidak terlokalisir, dan dapat menyebar ke daerah lain.4,5 Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenik

Nyeri neuropatik disebabkan oleh kelainan pengolahan sinyal dalam sistem saraf. Dengan kata lain, nyeri neuropatik mencerminkan adanya cedera atau disfungsi dari sistem saraf perifer atau sentral. Penyebab umum nyeri neurogenik yaitu trauma, inflamasi, penyakit metabolik, infeksi, tumor, racun, iskemi, kemoterapi, radioterapi, dan penyakit saraf. Nyeri ini dapat muncul tiba-tiba, berlangsung secara terus menerus atau episodik, dan sering digambarkan terasa seperti terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tersengat listrik, teremas, sakit yang dalam, dingin, mati rasa atau kesemutan. Nyeri neuropatik dapat berupa disestesia, alodinia, dan hiperalgesia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri neuropatik biasanya sulit ditangani. Penggunaan antidepresan dan antikonvulsan terbukti berguna dalam penanganan nyeri ini.4,5,6.

c. Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi7 : a. Nyeri akut

(8)

5

Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan berlangsung dalam waktu singkat kurang dari 6 bulan.8 Nyeri akut bersifat melindungi, penyebabnya dapat diidentifikasi, berdurasi pendek dan memiliki sedikit kerusakan jaringan serta respon emosional.9 Nyeri akut biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi.10 Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebab dan umumnya dapat diperkirakan.11 Nyeri akut dapat diredakan dan perlahan-lahan akan menghilang ketika kelainan yang mendasarinya disembuhkan.12

Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:

1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa

2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat 3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ visceral

b. Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri akut.13 Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan.14 Nyeri dapat berupa hal yang bersifat kanker atau bukan. Contoh dari nyeri yang bersifat bukan kanker termasuk artritis, nyeri punggung (low back pain), nyeri miofasial, sakit kepala dan neuropatik perifer. Nyeri kronis yang bersifat bukan kanker biasanya tidak mengancam hidup. Terkadang area yang terkena cedera telah sembuh bertahun tahun lalu, namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan menunjukkan tidak adanya respon terhadap pengobatan.9 Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari yang diharapkan, tidak selalu memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat bagi seseorang.9 Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronis memiliki neurofisiologis dan tujuan yang lebih kompleks dan sulit.15 Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi.

Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 3 kategori8,15 :

(9)

6 a. Nyeri kronis intermitten

Nyeri kronis intermitten (hilang- timbul) yaitu nyeri yang muncul pada periode tertentu, di waktu yang lain, klien tidak merasakan nyeri. Contohnya sakit kepala migrain dan nyeri abdomen intermitten yang dihubungkan dengan gangguan sindrom iritasi bowel.8

b. Nyeri maligna kronis

Nyeri maligna kronis disebabkan oleh berkembangnya penyakit yang mengancam jiwa atau berhubungan dengan terapi. Nyeri kanker merupakan jenis nyeri maligna kronis.15

c. Nyeri nonmaligna kronis

Nyeri nonmaligna kronis merupakan nyeri yang tidak mengancam jiwa dan tidak terjadi melebihi waktu penyembuhan yang diharapkan. Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf dan non kanker akibat trauma, proses degenerasi.

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi : a. Nyeri onkologik

b. Nyeri non onkologik

Berdasarkan derajat nyeri dikelompokan menjadi :

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

2.1.3 Mekanisme Nyeri

(10)

7

Rasa nyeri berguna sebagai mekanisme alami tubuh untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan (proteksi), imobilisasi jaringan yang rusak untuk mempercepat penyembuhan (defensif), dan sebagai penuntun diagnostik. Namun seringkali rasa nyeri akan menimbulkan penderitaan pada pasien sehingga penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.1 Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung-ujung saraf bebas. Nosiseptor berasal dari neuron sensoris somatik yang memiliki badan sel di dorsal root ganglia atau ganglion trigeminal. Neuron ini memiliki satu akson ke perifer dan satu akson ke sumsum tulang belakang atau batang otak.8 Serabut saraf penghantar nyeri ada dua jenis, yakni serabut saraf Aδ dan serabut saraf C. Serabut saraf Aδ merupakan akson bermielin dengan kecepatan konduksi 5-15 meter/detik. Serabut saraf ini biasanya menghantarkan stimuli mekanis atau suhu dan berperan pada nyeri cepat. Serabut saraf C merupakan akson tidak bermielin dengan kecepatan konduksi < 2 meter/detik. Serabut saraf ini menghantarkan stimuli mekanis, kimia, dan suhu sehingga disebut juga polimodal.

terdapat pula perbedaan pada sifat dari nyeri yang ditimbulkan. Serabut A akan dipersepsikan sebagai nyeri yang bersifat menusuk atau tajam, sedangkan stimulus pada serabut C akan dipersepsikan sebagai nyeri tumpul dan seperti terbakar.4 Rangsangan mekanik, suhu, dan kimia yang berbahaya akan memicu jaringan mengeluarkan berbagai zat yang dapat memicu rasa nyeri (zat algesik). Beberapa zat tersebut diantaranya adalah kalium, serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin, lekotrien, dan substansi P. Zat-zat tersebut, setelah batas tertentu, akan memicu depolarisasi yang kemudian menjadi impuls saraf pada nosiseptor. Proses penghantaran dan pengolahan impuls dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat dapat dikelompokkan menjadi empat tahap yakni1,4,6,7,17:

1. Transduksi, yaitu proses konversi stimulus berbahaya (noksius) seperti suhu panas, mekanik, atau kimia menjadi impuls saraf pada nosiseptor. Pada awalnya, jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak dimulai saat neuron aferen primer yang disebut nosiseptor mendapatkan stimulus noksius dan menyampaikannya pada neuron urutan kedua di pusat relay nosisepsi bernama kornu dorsalis yang terletak di medula spinalis.6 Proses penerimaan

(11)

8

stimulus tersebut dinamakan transduksi. Saat impuls telah diterima oleh nosiseptor, selanjutnya impuls tersebut akan diubah menjadi aktivitas listrik.

Aktivitas listrik yang timbul diakibatkan karena adanya potensial aksi yang merupakan perubahan cepat pada potensial membran yang menyebar secara cepat di sepanjang membran serat saraf.

2. Transmisi, yaitu proses penyaluran impuls saraf dari tempat transduksi di perifer ke sistem saraf pusat. Dari perifer ke medulla spinalis, impuls dihantarkan oleh serabut saraf Aδ dan serabut saraf C neuron aferen primer.

Di dorsal horn medulla spinalis serabut saraf Aδ dan serabut saraf C bersinapsis dengan neuron aferen sekunder. Neurotransmitter yang dikeluarkan oleh neuron aferen primer diantaranya adalah glutamat dan substansi P.

3. Modulasi, yaitu proses interaksi antara analgesik endogen dengan impuls nyeri. Beberapa analgesik endogen tersebut yakni enkefalin, endorfin, serotonin dan noradrenalin. Sistem analgesik endogen berperan sebagai inhibitor impuls nyeri. Penghambatan impuls nyeri terjadi melalui dua mekanisme, yakni:

a. Teori pintu gerbang nyeri, dimana stimuli taktil terhadap serabut saraf Aβ akan mengaktifkan interneuron penghambat di akar dorsal sehingga menyebabkan penghambatan pada impuls nyeri serabut C.

b. Penghambatan menurun, yakni menggunakan jalur turun dari periaqueductal grey (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial medulla (RVM). Kedua area otak tersebut memiliki reseptor opioid dan konsentrasi opioid endogen yang sangat banyak. Jalur ini menggunakan neurotransmitter serotonin dan noradrenalin untuk menghambat transmisi nyeri.

4. Persepsi: rasa nyeri dihasilkan dari teraktivasinya berbagai area dalam otak seperti area sensoris (korteks somatosensoris), emosi (korteks insular dan anterior cingulate gyrus), basal ganglia, dan serebelum. Proses ini dipengaruhi oleh faktor subyektif dan mekanismenya belum jelas.

(12)

9 2.2 Penatalaksanaan Nyeri Kronis

Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar- besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.18 Obat analgesik secara konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik opioid, dan analgesik adjuvan.18

a. Opioid

Menurut hasil penelitian Journal of Pain and Symptom Management, opioid lebih sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi pada penderita kanker yang mengalami nyeri neuropatik.19 Opioid analgesik yang sering digunakan adalah Tramadol, Oxycodone, Methadone, Morphine, Fentanyl.

Morfin oral telah diberikan dengan aman selama puluhan tahun dalam dosis yang proporsional.20 Opioid dianggap sangat sesuai untuk mencapai keberhasilan pengendalian rasa nyeri pada pasien dengan penyakit stadium lanjut, dan penyakit terminal.21 Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat.20 Pada penggunaan opioid, konstipasi adalah efek samping yang paling umum dijumpai (34%), diikuti oleh kantuk (29%), mual (27%), pusing (22%), muntah (12%).22

b. Adjuvan

Farmakoterapi untuk nyeri neuropatik umumnya melibatkan penggunaan antidepresan atau antikonvulsan.22 Analgesik adjuvan yang paling efektif digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik yaitu termasuk antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin, nortriptilin, dll), kanal kalsium α2-d ligan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin), dan penghambat reuptake serotonin-norepinefrin (misalnya venlafaxine, duloxetine, dll). Analgesik adjuvan sering dikombinasikan dengan opioid ketika nyeri neuropatik refrakter atau berat.22 Obat antikonvulsan, gabapentin dan pregabalin juga telah digunakan sebagai tambahan analgesik untuk menatalaksana nyeri neuropatik. Obat ini diduga

(13)

10

memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik, termasuk bioavailabilitas yang lebih baik dan pencapaian tingkat obat terapeutik yang lebih cepat.21

Kunci antara sistem saraf pusat dan perifer adalah kemampuan dari pembukaan kanal kalsium dan reaksi terhadap potensial aksi di saraf perifer serta pelepasan neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P pada reseptor di saraf spinalis sehingga rasa nyeri dapat di transfer ke otak.

Gabapentin dan pregabalin efektif pada pasien yang mengalami nyeri, terutama pada nyeri neuropatik. Gabapentin maupun pregabalin menstimulasi aktivitas dari kanal kalsium, yaitu dengan cara menempel dengan subunit alpha 2 delta pada kanal tersebut. Karenanya, gabapentin ataupun pregabalin mencegah kanal berpindah ke sisi aktif pada membran tempat dilepaskannya neurotransmitter. Pada nyeri tulang yang diinduksi oleh kanker, peneliti melaporkan bahwa penggunaan gabapentin dapat menurunkan intensitas nyeri serta mengurangi respon hipereksitabilitas pada kornu dorsal.23

Menurut penelitian British Journal of Pain, penggunaan gabapentin yang dikombinasikan dengan opioid mampu mengurang kejadian opioid induced hiperalgesia pada pasien yang diterapi opioid dalam jangka waktu lama.23 Pusing, sedasi, edema perifer, mual, dan efek samping antikolinergik lain, dapat terjadi dengan pengobatan antidepresan dan antikonvulsan yang digunakan terutama untuk manajemen nyeri neuropatik.21

c. Non Opioid Analgesik

Karena sifat kompleks dan etiologi nyeri kanker, agen farmakoterapi digunakan sebagai bagian dari rejimen pengobatan. Nonopioid, seperti acetaminophen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang.21 Acetaminophen (paracetamol) adalah analgesik nonopioid yang umum digunakan dengan profil keamanan dan tolerabilitas yang mapan. Meskipun analgesia yang optimal untuk nyeri post- operatif dan kronis sedang sampai berat tidak dapat dicapai dengan menggunakan obat ini saja, ketika diberikan sebagai bagian dari pendekatan yang 'seimbang', dalam kombinasi dengan anestesi lokal dan NSAID, acetaminophen dapat

(14)

11

menghasilkan penurunan yang signifikan persyaratan opioid. Tinjauan sistematis dari literatur peer-review menegaskan bahwa penggunaan kombinasi yang mengandung acetaminophen dan NSAIDs dapat meningkatkan efek analgesik dari salah satu obat saja. Meskipun acetaminophen IV telah banyak digunakan di Eropa selama bertahun-tahun, itu hanya disetujui oleh Food And Drug Administration AS pada tahun 2010 dan penerimaannya telah diperlambat karena biaya tinggi dibandingkan dengan acetaminophen oral dan rektal. IV acetaminophen mencapai konsentrasi plasma puncak dalam ~15 menit dibandingkan dengan 45–50 menit dan 3-4 jam setelah pemberian oral dan rektal, masing-masing, menghasilkan onset efek analgesik dalam ~5 menit (dengan durasi kerja hingga 4 jam). Namun, studi perbandingan baru-baru ini menunjukkan bahwa NSAID adalah analgesik yang lebih efektif daripada asetaminofen IV untuk mengobati nyeri akut.23

2.3 Pregabalin dalam Manajemen Nyeri Kronis

Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter, seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat hipereksitabilitas neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas voltage-gated Ca2+

channel (Cav). Walaupun strukturnya berkaitan erat dengan GABA, pregabalin tidak bekerja langsung pada reseptor GABA melainkan dengan cara memodifikasi pelepasan GABA sinaptik atau nonsinaptik.24,25,26

Pregabalin berikatan sangat erat dengan subunit α2-δ dari voltage-gated Ca2+

channel tempat pregabalin bertindak sebagai ligan α2-δ dan memiliki aktivitas sebagai analgetik, antikejang, dan anticemas. Pregabalin juga dapat bekerja pada pre- sinaps untuk menurunkan pelepasan glutamat, efek ini mungkin bergantung terhadap penurunan masuknya Ca2+ pre-sinaptik melalui Cav.25,26

2.3.1 Mekanisme Kerja Pregabalin

Mekanisme kerja pasti pregabalin masih belum secara diketahui dengan baik, namun pregabalin diketahui memiliki interaksi yang mirip dengan binding site

(15)

12

gabapentin dan profil farmakologisnya juga serupa. Pregabalin berperan pada subunit α2-δ presinaps dari voltage-gated calcium channel dengan afinitas pengikatan dan potensi 6 kali lebih kuat daripada gabapentin. Kanal ini tersebar secara luas pada sistem saraf sentral ataupun perifer pre-sinaptik.24,25 Cav dibagi menjadi 6 kelas, yaitu P-, Q-, N-, L-, T- dan R-. Pembagian ini berdasarkan ketergantungan voltasenya, kinetik, dan sensitivitasnya terhadap obat. Kelas N diketahui berperan dalam proses sensitisasi nyeri. Kanal ini juga dibagi menjadi 5 subunit; peranan pregabalin terhadap subunit α2-δ memodulasi masuknya kalsium pada saraf. terminal, dan menurunkan pelepasan beberapa neurotransmiter seperti glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan substansi P.

Pregabalin memiliki efek target terhadap kanal kelas L-, T- dan N-.

Pregabalin tidak memiliki efek terhadap tekanan darah atau fungsi jantung karena tidak selektif untuk kanal kalsium kelas L-.1,25 Berdasarkan uji coba hewan yang dimutasi berupa substitusi arginin terhadap alanin pada subunit α2-δnya, ditemukan adanya penurunan pengikatan pregabalin dan efek analgesiknya, sehingga dihipotesiskan bahwa pregabalin memiliki efek analgesik melalui pengikatannya pada subunit ini. Pada uji coba ini juga ditemukan respons analgesik yang menurun dengan pemberian amitriptilin dan morfin.25 Peningkatan regulasi subunit α2-δ pada Cav berperan penting dalam hipersensitisasi. Melalui proses pengikatan pada Cav, pregabalin berperan menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral. Proses inhibisi ini terjadi, khususnya pada area – area di sistem saraf pusat yang padat sinaps, seperti neokorteks, amygdala, dan hippocampus. Aktivitas ektopik ini akan diturunkan, sementara fungsi normalnya tidak dipengaruhi. Pregabalin juga tidak aktif pada reseptor GABAA dan GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA atau antagonis GABA dan tidak mengganggu uptake dan degradasi GABA.1,25,27

Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-sinaps dan post-sinaps pada sistem saraf pusat.1,26 Glutamat merupakan asam amino eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri.28 Glutamat akan berinteraksi dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA (α- amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-D-

(16)

13

aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya stimulus berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan terbukanya kanal natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan potensial aksi.26,27

Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan menyebabkan akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg2+ (penstabil reseptor NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi terbukanya NMDA receptor- coupled ion channel.25 Aktivasi NMDA receptor-coupled ion channel menyebabkan depolarisasi sel dan menginduksi masuknya kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini akan memproduksi sensitisasi sentral, sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat mengaktivasi neuron orde kedua di medula spinalis.29 Sensitisasi sentral ini akan bermanifestasi sebagai amplifi kasi respons terhadap stimulus (hiperalgesia), penyebaran sensitivitas nyeri pada lokasi cedera (hiperalgesia sekunder) dan penurunan ambang nyeri, sehingga dapat timbul nyeri spontan.29 Mekanisme inilah yang dihambat melalui penghambatan glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat.

2.3.2 Efektivitas Pregabalin dalam Terapi Nyeri Kronis a. Spinal Cord Injury

Pregabalin merupakan obat lini pertama untuk mengobati neuropati pada kasus cedera medula spinalis. Sebuah penelitian multicenter randomized terhadap 137 pasien selama 12 minggu membandingkan pasien yang diberi pregabalin 150-600 mg/hari dengan plasebo. Evaluasi dengan endpoint mean pain score mendapatkan rata-rata skor nyeri di kelompok pregabalin lebih rendah dibandingkan di kelompok plasebo, dengan efikasi selama satu minggu. Rata-rata dosis pregabalin dalam 3 minggu setelah fase stabil adalah 460 mg/hari.10 Pada gangguan fungsi ginjal perlu dipertimbangkan penurunan dosis. Efek samping yang biasa terjadi berupa dizziness, drowsiness, pandangan kabur, ataksia, disartria, letargi, gangguan ingatan, euforia, tremor, peningkatan berat badan, konstipasi, bibir kering, edema perifer, dan edema wajah.26,27,29

b. Fibromialgia

(17)

14

Fibromialgia merupakan suatu penyakit kronis dengan berbagai kondisi rasa nyeri (widespread pain), dengan gejala klinis seperti alodinia, hiperalgesia, dan beberapa gejala tambahan seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, kekakuan, cemas dan depresi, kesemutan, gangguan kognitif, dan nyeri kepala. Penelitian pregabalin pada sindrom fibromialgia menunjukkan hasil memuaskan. Penelitian ini membandingkan plasebo dan 3 dosis pregabalin, yaitu 300, 450, 600 mg selama 14 minggu dan didapatkan hasil signifi kan pada 3 kelompok dibandingkan plasebo, yakni penurunan mean VAS sebanyak 30%, 42%, 50%.3,6,7 Berdasarkan studi pada 529 pasien yang mendapat pregabalin 150 mg/hari, 300 mg/ hari, atau 400 mg/hari dibandingkan placebo dalam 8 minggu, ditemukan perbaikan skala nyeri terjadi signifi kan pada minggu pertama dan bertahan sampai minggu ke-7.

Pasien yang mendapat pregabalin 300 mg/hari dan 450 mg/hari mengalami penurunan tingkat kelelahan, keringanan rasa nyeri, dan peningkatan kualitas tidur.11

c. Neuralgia Trigeminal

Pregabalin juga digunakan dalam terapi neuralgia trigeminal. Dosis anjuran dimulai dengan 150 mg/hari, dititrasi menjadi 300 mg/hari sesudah satu minggu dan 600 mg/hari pada minggu-minggu berikutnya. Titrasi sangat tergantung pada kemampuan pasien menoleransi obat dan tercapainya efek terapi yang diharapkan. Pada gangguan fungsi ginjal, dosis diturunkan 50%

untuk setiap penurunan 50% fungsi ginjal, karena gangguan fungsi ginjal akan meningkatkan waktu paruh pregabalin. Pasien hemodialisis memerlukan dosis tambahan, karena setiap 4 jam dialisis akan membersihkan 50 % pregabalin dalam tubuh.26,27

d. Post-herpetic Neuralgia

Post-herpetic neuralgia (PHN) merupakan komplikasi herpes zoster yang paling ditakuti, sering dilaporkan terjadi pada orang tua. Gejala yang muncul seperti nyeri spontan, evoked pain. Nyeri spontan berupa rasa terbakar, rasa nyeri konstan, keram, dan distesia. Sedangkan evoked pain,

(18)

15

yaitu hiperalgesa dan allodinia. Juga dapat terjadi hiperhidrosis, pruritus, tic, hipoestesia, paresis, dan paralisis. Patofisiologi post-herpetic neuralgia adalah terjadinya neuronal injury yang menyebabkan neuron sentral dan perifer menghasilkan spontaneous discharges dan juga menurunkan ambang aktivasi rasa nyeri pada stimulus bukan nyeri. Pregabalin merupakan obat analgesik lini pertama untuk post-herpetic neuralgia. Mekanisme kerja pregabalin pada kondisi ini adalah menurunkan influks kalsium pada ujung saraf, menghilangkan neurotransmitter eksitatorik yang lepas pada ujung saraf.

Dosis biasanya dititrasi sampai 600 mg/hari.7,9 Sebuah penelitian menilai efikasi dan keamanan pregabalin pada 238 pasien PHN. Ditemukan penurunan skala nyeri pada pasien yang menerima pregabalin dibandingkan dengan plasebo. Efikasi didapatkan sejak minggu pertama dan dipertahankan selama 8 minggu, sebesar 26% (NNT 6,3) pada dosis pregabalin 150 mg/hari dan 28% (NNT 5,6) pada dosis pregabalin 300 mg/hari yang dibagi 3 dosis.12 Van Seventer, et al, menilai efikasi dan keamanan pregabalin dosis 75 mg, 150 mg, atau 300 mg yang dibagi 2 dosis dibandingkan plasebo selama 13 minggu. Ditemukan semua dosis secara signifi kan lebih efektif mengurangi nyeri. Perbaikan ditemukan dari minggu pertama dan meningkat sampai minggu 13. Efikasi sebesar 26.5% (NNT 5,26) pada dosis pregabalin 150 mg/hari dan 37,5% (NNT 3,31) pada dosis pregabalin 300 mg/hari.29

e. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN)

Sebuah penelitian terhadap 146 pasien dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas pregabalin dalam mengurangi nyeri yang berkaitan dengan DPN;

pregabalin 3 x 100 mg sehari dibandingkan dengan placebo tanpa fase titrasi.

Pregabalin menghasilkan perbaikan signifikan dibandingkan placebo untuk skala nyeri yang dinilai menggunakan daily patient diary, kualitas tidur, dan kualitas hidup. Perbaikan nyeri dan kualitas hidup ditemukan sejak minggu pertama dan tetap berlangsung hingga minggu ke 8. Pada studi ini ditemukan nilai efikasi sebesar 40% (NNT 3,92).32 Studi lain menemukan bahwa pregabalin 300 mg dan 600 mg/hari menghasilkan perbaikan skala nyeri

(19)

16

dibandingkan plasebo; dosis pregabalin dititrasi selama 6 hari. Perbaikan ditemukan sejak minggu pertama dan bertahan selama 5 minggu periode studi. Tidak ditemukan bukti dosis 600 mg lebih baik dibandingkan 300 mg sebaliknya efek samping ditemukan tergantung dosis. Pada studi ini ditemukan efi kasi sebesar 46% (NNT 3,55) pada dosis pregabalin 300 mg dan 48% (NNT 3,27) pada dosis pregabalin 600 mg.33

f. Nyeri Neuropatik Refrakter

Sebuah penelitian terhadap 81 pasien nyeri refrakter yang berhubungan dengan DPN atau PHN dilakukan untuk menilai efikasi dan keamanan jangka panjang pregabalin. Sampel memiliki riwayat manajemen nyeri yang inadekuat atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap antidepresan trisiklik (TCA) (lebih dari 75 mg/hari lebih dari 2 minggu);

gabapentin (lebih dari 1800 mg/ hari lebih dari 2 minggu) dan pengobatan lini ketiga (lebih dari 2 minggu). Pasien diberi pregabalin 150-600 mg/hari yang kemudian dititrasi mencapai dosis efektif dan yang dapat ditoleransi.

Kemudian pregabalin dihentikan dalam interval 3 bulan untuk mengevaluasi munculnya nyeri neuropatik. Sebelum diterapi dengan pregabalin, ditemukan rerata skala nyeri berdasarkan VAS (Visual Analog Scale) masing-masing adalah 73 mm pada DPN dan 75 mm pada PHN. Pada akhir minggu pertama, ditemukan rerata skor masing-masing adalah 47 dan 48 mm. Pada minggu ketiga 45% dan 36% pasien melaporkan penurunan skala nyeri lebih dari 50%. Pada minggu ke-15 ditemukan penurunan skala nyeri pada 36% dan 38% pasien.34

g. Nyeri pasca operasi

Nyeri pasca operasi berespon terhadap gabapentin dan menjadi target baru untuk pregabalin.35 Pregabalin telah diuji pada pasien yang menjalani operasi untuk pengangkatan molar ketiga, operasi tulang belakang, dan laparoskopi histerektomi.36 Dalam studi pertama, pregabalin (pemberian tunggal 300 mg) menurun sakit gigi pasca operasi, mencapai efek analgesik dibandingkan ibuprofen 400 mg. Dalam studi lain, pregabalin 150 mg

(20)

17

diberikan 1 jam sebelum dan 12 jam setelah operasi tulang belakang atau histerektomi laparoskopi mengurangi rasa sakit pasca operasi dan mengurangi kebutuhan opioid.36

h. Nyeri Neuropatik Kanker

Nyeri neuropatik terkait kanker dapat terjadi sebagai akibat kerusakan saraf dari penetrasi tumor ke saraf dan pleksus, fibrosis radiasi, cedera bedah atau melalui efek neurotoksik dari beberapa kemoterapi.37 Ada peningkatan dalam penggunaan analgesik ajuvan, seperti pregabalin, dalam pengobatan nyeri neuropatik kanker dan dua uji klinis saat ini terdaftar untuk orang dewasa berusia ‡ 18 tahun (NCT00740571 dan NCT00637975). Studi baru baru ini mengevaluasi pregabalin (150–300 mg / hari selama 8 minggu) dalam terapi nyeri neuropatik yang diinduksi kemoterapi pada populasi anak (n = 30;

usia rata-rata 13,5 tahun) melaporkan perbaikan yang signifikan dari gejala nyeri pada 86% pasien dan menyimpulkan itu pregabalin aman dan efektif untuk terapi.38

(21)

18 BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Owny Armanousa No RM : 13012143

Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 35 tahun Agama : Islam Status : Menikah

Alamat : Jl Pengiyasan IV/15 Sanur Densel Diagnosis :

Tanggal MRS : 27 September 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri di seluruh tubuh Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang sadar dengan keluhan nyeri di seluruh tubuh terutama di daerah persendian seperti lulut, persendian tangan dan pergelangan kaki.

Nyeri dikatakan memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tidak berkurang dengan obat anti nyeri dan dirasakan semakin bertambah hingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada wajah dan perut. Keluhan demam, batuk, sesak napas disangkal. Pasien sulit membuang air besar (BAB) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, kadang-kadang mengeluhkan mual dan nyeri ulu hati.

Keluhan muntah tidak ada. Buang air kecil (BAK) dikatakan tidak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Badung dengan efusi perikard, efusi pleura dan anemia berulang dengan riwayat mendapat transfuse lebih

(22)

19

dari 3 kali. Pasien memiliki riwayat rambut rontok dan nyeri pada persendian sebelumnya. Pasien juga pernah dirawat untuk nyeri akibat penyakit Herpes 4 tahun yang lalu.

Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada

Riwayat pengobatan :

Pasien rutin mendapat Jurnista 3x 16mg PO sejak 4 tahun yang lalu, karena awalynya nyeri akibat penyakit Herpes.

Riwayat alergi : Tidak ada Riwayat keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.

Riwayat sosial :

Pasien tidak merokok ataupun minum alkohol.

3.3 Tanda-tanda Vital

Kesadaran : Compos mentis Tekanan darah : 130/70 mmHg Nadi : 104x/menit Napas : 18x/menit Suhu aksila : 37oC SpO2 : 98%

VAS : 6/10

3.4 Pemeriksaan Fisik

Kepala : Normosefali

Mata : Anemis -/-, ikterik -/-, pupil isokor +/+, reflex cahaya +/+

THT : Kesan tenang Thoraks : Simetris

(23)

20

Cor : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-) Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/- Abdomen : Distensi (-), BU(+) normal, nyeri tekan (-) Ekstremitas : Hangat pada keempat ekstremitas

3.5 Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap

3/9/19 23/9/19 27/9/19 1/10/19 REF RANGE

WBC 6,57 14,17 13,68 13,17 4.1-11.0

NE 3,61 11,87 11,65 11,6 2.5-7.5

LYM 1,67 1,53 1,40 1.0-4.00

MO 0,45 0,54 0,47 0,58 0.1-1.2

EO 0,08 0,01 0,00 0,00 0.0-0.5

BA 0,03 0,08 0,03 0,03 0.0-0.1

HGB 7,77 8,03 8,95 10,26 13.5-17.5

HCT 27,58 26,74 30,46 33,07 41.0-53.0

MCV 84,57 85,81 86,64 83,51 80.0-100.0

MCH 23,83 25,76 25,47 25,98 26.0-34.0

PLT 94,88 143,9 133 81,34 150-440

(24)

21 Kimia Darah

3/9/19 23/9/19 27/9/19 1/10/19 REF RANGE

AST/SGOT 15,8 19,9 11-33 U/L

ALT/SGPT 14,4 35,1 11-50 U/L

ALBUMIN 3,8 3.4-4.8 G/DL

BUN 15,5 23,7 8.0-23.0 MG/DL

SC 0,76 0,75 0.70-1.20 MG/DL

LED 136,9 129 <20 mm/jam

CRP 6,09 26,18 0,00-5,00 mg/L

RF (-) Negatif

Analisis Gas Darah (3/10/2019)

Hasil Nilai rujukan

pH 7.41 7.35 - 7.45

pCO2 56.0 35.00 - 45.00

pO2 269.60 80.00 - 100.00

BEecf 10.4 -2 - 2

HCO3- 35.00 22.00 - 26.00

SO2c 99.6 95 % - 100 %

Na 129 136 - 145

K 4.46 3.50 - 5.10

(25)

22 ANA (IF)

Hasil Nilai rujukan ANA (IF) Negative <1 : 100

3.6 Diagnosis

Systemic Lupus Eritematosus Kriteria EULAR/ACR skor Efusi pleura, perikard : 5 Trombositopenia : 4

Pericarditis : 6

Alopecia : 2

Total : 14

Anemia (membaik) Chronic pain

Opioid induced hiperalgecia

Gangguan astenik organik dan emosi tidak stabil

3.7 Tatalaksana 02 10 lpm NRM Inf. Nacl 0,9% 20tpm Diet 1.900 kcal/hari

Transfusi PRC stop (sudah masuk 2 kolf) Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam PO Lanzoprazole 30 mg tiap 12 jam PO

Metotrexat 7,5mg tiap 1 minggu i.o (2/10/2019) Asam Folat 5mg tiap 1 minggu i.o (2/10/2019)

Morfin 250 mg + Ketamin 250mg dlm 20 ml ns 0,9% kec 3,0 ml/jam Durogesic patch 75 mcg per jam

Pregabalin 75mg tiap 12 jam i.o

(26)

23 Amitriptilin 25 mg tiap 12 jam i.o Jurnista 32 mg tiap 4 jam i.o Alprazolam 1mg tiap 24 jam i.o Psikoterapi suportif

Cognitive behavioral terapy

(27)

24 BAB IV PEMBAHASAN

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.1 Berdasarkan onset timbulnya nyeri, maka nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan kronis.

Pada kasus yang dipresentasikan, dilaporkan pasien perempuan berusia 35 tahun dengan keluhan utama nyeri seluruh tubuh sejak 4 tahun yang lalu, yang diawali karena penyakit herpes dan telah rutin minum Jurnista 3x 16mg PO sejak 4 tahun yang lalu. Nyeri dikatakan memberat 3 hari belakangan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan takikardia (104x/menit), dan VAS 6/10. Pasien didiagnosis dengan nyeri kronis, yang mana diagnosis utamanya adalah systemic lupus erythematosus.

Hal ini sesuai dengan teori, bahwa nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri akut.13 Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan.14 Nyeri kronis terkadang dapat terjadi pada suatu kondisi yang sebenarnya telah sembuh secara anatomis namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan menunjukkan tidak adanya respon terhadap pengobatan.9 Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari yang diharapkan, tidak selalu memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat bagi seseorang.9 Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronis memiliki neurofisiologis dan tujuan yang lebih kompleks dan sulit.15 Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Hal ini tercermin pada pasien yang mendapatkan diagnosis tambahan berupa gangguan astenik organik dan emosi tidak stabil.

Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar- besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat adalah bentuk

(28)

25

pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.18 Obat analgesik secara konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik opioid, dan analgesik adjuvan.18 Pada pasien diberikan pengobatan untuk nyeri berupa Morfin 250 mg + Ketamin 250mg dlm 20 ml ns 0,9% kec 3,0 ml/jam, Durogesic patch 75 mcg per jam, Pregabalin 75mg tiap 12 jam i.o, Amitriptilin 25 mg tiap 12 jam i.o, Alprazolam 1mg tiap 24 jam i.o.

Opiod dianggap sangat sesuai untuk mencapai keberhasilan pengendalian rasa nyeri pada pasien dengan penyakit stadium lanjut, dan penyakit terminal.21 Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat.20 Untuk adjuvan, yang paling efektif digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik yaitu termasuk antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin, nortriptilin, dll), kanal kalsium α2-d ligan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin), dan penghambat reuptake serotonin-norepinefrin (misalnya venlafaxine, duloxetine, dll). Analgesik adjuvan sering dikombinasikan dengan opioid ketika nyeri neuropatik refrakter atau berat.22 Obat antikonvulsan, gabapentin dan pregabalin juga telah digunakan sebagai tambahan analgesik untuk menatalaksana nyeri neuropatik. Obat ini diduga memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik, termasuk bioavailabilitas yang lebih baik dan pencapaian tingkat obat terapeutik yang lebih cepat.21

Kunci antara sistem saraf pusat dan perifer adalah kemampuan dari pembukaan kanal kalsium dan reaksi terhadap potensial aksi di saraf perifer serta pelepasan neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P pada reseptor di saraf spinalis sehingga rasa nyeri dapat di transfer ke otak. Gabapentin dan pregabalin efektif pada pasien yang mengalami nyeri, terutama pada nyeri neuropatik.

Gabapentin maupun pregabalin menstimulasi aktivitas dari kanal kalsium, yaitu dengan cara menempel dengan subunit alpha 2 delta pada kanal tersebut. karenanya, gabapentin ataupun pregabalin mencegah kanal berpindah ke sisi aktif pada membran tempat dilepaskannya neurotransmitter. Menurut penelitian British Journal of Pain, penggunaan gabapentin yang dikombinasikan dengan opioid mampu mengurang kejadian opioid induced hiperalgesia pada pasien yang diterapi opioid dalam jangka waktu lama.23

(29)

26

Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter, seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat hipereksitabilitas neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas voltage-gated Ca2+

channel (Cav). Umumnya pregabalin digunakan sebagai obat antikejang, namun berbagai penelitian menemukan potensi pregabalin sebagai salah satu terapi lini pertama untuk nyeri neuropatik. Walaupun strukturnya berkaitan erat dengan GABA, pregabalin tidak bekerja langsung pada reseptor GABA melainkan dengan cara memodifi kasi pelepasan GABA sinaptik atau nonsinaptik.24,25,26

Mekanisme kerja pasti pregabalin masih belum secara diketahui dengan baik, namun pregabalin diketahui memiliki interaksi yang mirip dengan binding site gabapentin dan profi l farmakologisnya juga serupa. Pregabalin berperan pada subunit α2-δ presinaps dari voltage-gated calcium channel dengan afinitas pengikatan dan potensi 6 kali lebih kuat daripada gabapentin. Kanal ini tersebar secara luas pada sistem saraf sentral ataupun perifer pre-sinaptik.24,25 Cav dibagi menjadi 6 kelas, yaitu P-, Q-, N-, L-, T- dan R-. Pembagian ini berdasarkan ketergantungan voltasenya, kinetik, dan sensitivitasnya terhadap obat. Kelas N diketahui berperan dalam proses sensitisasi nyeri. Kanal ini juga dibagi menjadi 5 subunit; peranan pregabalin terhadap subunit α2-δ memodulasi masuknya kalsium pada saraf terminal, dan menurunkan pelepasan beberapa neurotransmiter seperti glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan substansi P.

Pregabalin memiliki efek target terhadap kanal kelas L-, T- dan N-. Pregabalin tidak memiliki efek terhadap tekanan darah atau fungsi jantung karena tidak selektif untuk kanal kalsium kelas L-.1,25 Berdasarkan uji coba hewan yang dimutasi berupa substitusi arginin terhadap alanin pada subunit α2-δnya, ditemukan adanya penurunan pengikatan pregabalin dan efek analgesiknya, sehingga dihipotesiskan bahwa pregabalin memiliki efek analgesik melalui pengikatannya pada subunit ini. Pada uji coba ini juga ditemukan respons analgesik yang menurun dengan pemberian amitriptilin dan morfin.25 Peningkatan regulasi subunit α2-δ pada Cav berperan penting dalam hipersensitisasi. Melalui proses pengikatan pada Cav, pregabalin

(30)

27

berperan menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral. Proses inhibisi ini terjadi, khususnya pada area – area di sistem saraf pusat yang padat sinaps, seperti neokorteks, amygdala, dan hippocampus. Aktivitas ektopik ini akan diturunkan, sementara fungsi normalnya tidak dipengaruhi. Pregabalin juga tidak aktif pada reseptor GABAA dan GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA atau antagonis GABA dan tidak mengganggu uptake dan degradasi GABA.1,25,27

Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-sinaps dan post-sinaps pada sistem saraf pusat.1,26 Glutamat merupakan asam amino eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri.28 Glutamat akan berinteraksi dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA (α- amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-D- aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya stimulus berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan terbukanya kanal natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan potensial aksi.26,27

Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan menyebabkan akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg2+ (penstabil reseptor NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi terbukanya NMDA receptor- coupled ion channel.25 Aktivasi NMDA receptor-coupled ion channel menyebabkan depolarisasi sel dan menginduksi masuknya kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini akan memproduksi sensitisasi sentral, sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat mengaktivasi neuron orde kedua di medula spinalis.29 Sensitisasi sentral ini akan bermanifestasi sebagai amplifikasi respons terhadap stimulus (hiperalgesia), penyebaran sensitivitas nyeri pada lokasi cedera (hiperalgesia sekunder) dan penurunan ambang nyeri, sehingga dapat timbul nyeri spontan.29 Mekanisme inilah yang dihambat melalui penghambatan glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat.

(31)

28 BAB V SIMPULAN

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri memiliki banyak klasifikasi, salah satunya berdasarkan onset, menjadi nyeri akut dan kronis. Nyeri kronis umumnya terjadi lebih lama dari nyeri akut, yakni lebih dari 6 bulan. Manajemen nyeri secara konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik opioid, dan analgesik adjuvan.

Pada pasien yang dilaporkan didiagnosis dengan nyeri kronis, dan telah diterapi dengan analgesik opioid morfin + ketamin IV, durogesic patch, adjuvant pregabalin, amitriptilin dan alprazolam. Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat dan nyeri kronis. Adjuvan pregabalin bekerja pada nyeri kronis dengan menghambat proses sensitisasi sentral.

(32)

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. 1st ed.

Jakarta: Indeks; 2010.

2. Hamill, RJ. The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

3. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

4. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of Assessment, Management, and Treatments. 2001: 4-15.

5. Ministry of Health Republic of Rwanda. Pain Management Guidelines. 2012:1-2.

6. Reddi D, Curran N, dan Stephens R. An Introduction to Pain Pathways and Mechanisms. British Journal of Hospital Medicine. 2013(74) : 188-191.

7. Latief, SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta, 2001.

8. Black, JM. dan Hawks, JH. Fundamental of nursing : Fundamental keperawatan buku 3 edisi 7. Singapore : ELSEVIER. 2009.

9. Potter, PA dan Perry, AG. Fundamental of nursing : fundamental keperawatan Buku 3 Edisi 7. Singapore: ELSEVIER. 2009.

10. Prasetyo, SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu.

2010.

11. Price, SA. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 Volume 2.

Jakarta : EGC. 2005

12. Robinson, JM. dan Saputra, L. Pocket visual nursing : keperawatan medikal bedah buku satu. Tangerang : BINARUPA AKSARA. 2009.

13. Hariyanto, A dan Sulistyowati, R. Buku ajar keperawatan medikal bedah 1 : dengan diagnosis NANDA international. Yogyakarta : AR- RUZZ MEDIA. 2015.

14. Hidayat, AA. Pengantar kebutuhan dasar manusia : Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 2009.

15. Potter, PA dan Perry, AG. Fundamental of nursing : fundamental keperawatan Buku 3 Edisi 7. Singapore: ELSEVIER. 2009.

16. Lemone, P. Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 5 volume 1. Jakarta : EGC. 2015.

17. Basbaum, AJ. Bautista, DM. Scherrer, G dan Julius D. Cellular and Molecular Mechanisms of Pain. Cell. 2009;139(2):267-284

18. Sylvia, A. Prince, LMW. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2015.

19. Hertanti, NS. Setiyarini, S. Kristanti, MS. Haryani. Pengaruh Self-Selected Individual Music Therapy (SeLIMuT) terhadap Tingkat Nyeri Pasien Kanker Paliatif di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Indonesia Journal of Cancer.

(33)

30

2015;9(2):159–65. Diakses pada: http//www.indonesianjournalofcancer.or. ide- journalindex.phpijocarticleview381.

20. Ramadhani, A. Jatmiko, H. Perubahan Hemodinamik pada pasien post operative yang diberi paracetamol untuk menghilangkan nyeri. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2014.

21. Blackburn, LM. Abel, S. Green, L. Johnson, K. Panda, S. The Use of Comfort Kits to Optimize Adult Cancer Pain Management. Pain Manag Nurs [Internet].

2018;1–9. Diakses pada : https://doi.org/10.1016/j.pmn.2018.01.004

22. Ganong, WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Jakarta: EGC; 2013.

p.147.

23. Falk, S. Bannister, K. Dickenson, AH. Cancer pain physiology. Br J Pain.

2014;8(4):154–62.

24. Rahman, W. Dickenson, AH. Recent development in neuropathic mechanism : Implication for treatment. Reviews in Pain 2011; 5(2)

25. Gajraj NM. Pregabalin : Its pharmacology and use in pain management. Anesth Analg. 2007;105:1805-15

26. Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010

27. Hall, CG. An observational descriptive study of the epidemiology and treatment of neuropathic pain in a UK general population. BMC Family Practice 2013;14 : 28.

28. Sabatowski, R. Gálvez, R. Cherry, DA. et al. Pregabalin redices pain and improves sleep and mood disturbance in patients with post-herpetic neuralgia:

Results of a randomized placebo-controlled clinical trial. Pain 2004;109:26-35.

29. Bohlego, S. Alsaadi, T. Amir, A. et al. Guidelines for the pharmacological treatment of peripheral neuropathic pain: Expert panel recommendation for the middle east region. J Internat Med Res. 2010;38 : 295-317.

30. Siddal, PJ. Cousins, MJ. Otte, A. et al. Pregabalin in central neuropathic pain associated with spinal cord injury : A placebo-controlled trial. Neurology 2006;67:1792-800

31. Crofford, LJ. Rowbotham, MC. Mease PJ. et al. Pregabalin for the treatment of fi bromyalgia syndrome: Results of a randomized, double-blind, placebo controlled trial. Arthritis Rheum. 2005;52:1264-73.

32. Rosenstock, J. Tuchman, M. LaMoreaux, L. Pregabalin for the treatment of painful diabetic peripheral neuropathy: A double blind, placebo controlled trial.

Pain 2004;110:628-38

33. Lesser, H. Sharma, U. LaMoreaux, L. Pregabalin relieves symptoms of painful diabetic neuropathy: A randomized controlled trial. Neurology 2004;63:2104-10.

34. D’Urso, DR. Stacey, B. Siffert, J. Long-term treatment of painful DPH and PHN with pregabalin in treatment-refractory patients. San Diego, California: American Diabetes Association 64th Scientifi c Sessions. 2005 June.

35. Dahl, JB. Mathiesen, O. Moiniche, S. ‘Protective premedication’: an option with gabapentin and related drugs? A review of gabapentin and pregabalin in the treatment of post-operative pain. Acta Anaesthesiol Scand 2004 Oct; 48 (9):

1130-6

(34)

31

36. Jokela, R. Ahonen, J. Tallgren M, et al. A randomized controlled trial of perioperative administration of pregabalin for pain after laparoscopic hysterectomy. Pain 2008.

37. McGeeney, BE. Adjuvant agents in cancer pain. Clin J Pain 2008 May; 24 Suppl.

10: S14-20

38. Vondracek, P. Oslejskova, H. Kepak, T. et al. Efficacy of pregabalin in neuropathic pain in paediatric oncological patients. Eur J Paediatr Neurol. Epub 2008 Sep 5

Referensi

Dokumen terkait

demo prototype alat Bioetanol secara sederhana oleh tim PKM, sehingga dengan adanya prototype alat pembuatan Bioetanol tersebut diharapkan peserta dapat

framework codeigniter di buat dengan tujuan sama seperti framework lainnya yaitu untuk memudahkan developer atau programmer dalam membangun sebuah aplikasi berbasis

Simbol Aljabar p pada contoh-1, U pada contoh-2, dan a pada contoh-3 di atas adalah contoh variabel karena p mewakili banyak pohon yang mungkin dimiliki Pak Amir, U

KESIKFDLAH J)AS

Kegiatan penelitian di Balai Penelitian Ternak terbagi dalam empat program yang terdiri dari Uanggas dan Aneka Ternak, Ruminansia Kecil, Ruminansia Besar, dan Agrostologi dengan

Terpadu Permata Hati itu materi-materi pelaksanaan dari model pengembangan pendidikan berpacu pada RKM (Rencana Kegiatan Mingguan), kemudian di bentuk RKH (Rencana

Pesalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang Pesalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup

• Air Kelas Empat : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama