• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN VISUM et REPERTUMPADATAHAPPENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAPTINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERANAN VISUM et REPERTUMPADATAHAPPENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAPTINDAK PIDANA PENGANIAYAAN"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN VISUM et REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

(Studi Kasus Kepolisian Resort Kota Besar Makassar)

The Role Of Visium Et Repertum at The Investigation Stage In Uncovering Criminal Acts Of Persecution

(Case Studies at The Makassar Police Resort)

TESIS

REZA NUSHWANDY 4618101004

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

2020

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat hidayah dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul “PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN” (Studi Kasus Kepolisan Resor Kota Besar Makassar) sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta Bapak Ismail Manaf, SH., MH. dan Ibu Herawati Rauf, SH. dan Nenek Hj. Saniah yang telah merawat dan membesarkan dan membimbing penulis dengan penuh ketulusan kesabaran serta keikhlasannya sehingga tidak lepas dari doa yang senantiasa diberikan oleh kedua orang tua dan nenek Penulis. Serta terima kasih pula kepada Istri tercinta Eka Dwiyanti, SKM. bersama anak Adiva Fairuz Nushwandy, yang selama ini sabar mendampingi dan membantu penulis baik dalam suka maupun duka serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini, masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati senantiasa mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya kontruktif dalam rangka kesempurnaan. Dalam penyusunan tesis ini utamanya dalam penelitian berbagai kendala yang dihadapi penulis, namun tak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ruslan Renggong, SH., MH sebagai Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis semoga diberikan kesehatan oleh Allah SWT dan Bapak Dr. H. Abd. Salam Siku, SH., MH. Sebagai Pembimbing II semoga diberikan kesembuhan dan kesehatan yang berlimpah oleh Allah SWT dan dapat beraktivitas kembali seperti sediakala. Serta penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. M. Saleh Pallu, M.Eng sebagai Rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Batara Surya, M.Si, sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

3. Bapak Dr. Syamsul Bahri, S.Sos, M.Si sebagai Asisten Direktur Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

iv

(6)

4. Bapak Dr. Baso Madiong, SH. MH, selaku Ketua Program Studi (KPS) Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

5. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Marwan Mas, SH., MH sebagai Tim Penguji I dan Dr. Baso Madiong, SH., MH sebagai Tim Penguji II, yang telah memberikan masukan dan koreksi yang berkaitan dengan substansi maupun tehnis penulisan dalam rangka kesempurnaan tesis ini.

6. Terima kasih kepada para staf dan pegawai Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

7. Terima kasih kepada Saudara dan Saudariku pada Angkatan 2018 Fakultas Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bosowa yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

8. Terima kasih kepada Bapak Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar dan Kepala Rumah Sakit Bhyangkara Makassar yang telah bersedia memberikan data kepada penulis.

9. Terima kasih kepada para rekan Advokat Zainuddin, SH. Syafruddin B, SH. Muh. Saleh, SH. dan Edwin Dwi Ariyanto, SH., MH. telah banyak membantu dan memberikan dorongan pada penulis dalam menyusun tesis ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita kembalikan segalanya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara khusus kepada diri penulis sendiri.

Makassar, 15 Desember 2020.

REZA NUSHWANDY 4618101004

v

(7)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kedudukan Visum Et Repertum dalam penyidikan tindak pidana penganiayaan di Polrestabes Makassar.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris normatif.

Hasil penelitian sebagai berikut: 1. Kedudukan Visum et Repertum dalam perkara tindak pidana penganiayaan pada tahap penyidikan merupakan alat bukti surat, sebagai bukti tentang tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh, nyawa dan kesehatan manusia, yang menjadi alat bukti pendukung untuk menetapkan status terlapor sebagai tersangka dan menjadi sebagai arahan penuntut umum untuk tahap selanjutnya. 2. Faktor-Faktor apakah yang berpengaruh terhadap hasil Visum et Repertum yang tidak mencantumkan sepenuhnya tentang keterangan tanda kekerasan pada diri korban penganiayaan adalah, dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang kedudukan Visum et Repertum, jedah waktu yang , korban baru melaporkan untuk membuat visum et Repertum seminggu setelah terjadinya tindak pidana penganiayaan hal ini menyulitkan dari pihak Rumah Sakit untuk memeriksa luka yang ada pada tubuh korban penganiayaan, dan harus ada laporan/pengantar dari pihak Kepolisian untuk menunjuk rumah sakit membuat Visum et Repertum

Kata Kunci: Penganiayaan, Visum et Repertum.

vi

(8)

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the existence of Visum Et Repertum in the criminal act of maltreatment at the Makassar Police. The research method used is normative empirical research. The results of the research are as follows:

1.The position of Visum et Repertum in a criminal case of maltreatment at the investigation stage is documentary evidence, as evidence of a criminal act related to the body, life and health of humans, which becomes evidence that supports the status of the reported person as a suspect and serve as directions for the public prosecutor for the next stage. 2. What factors influence the results of the Visum et Repertum that do not depend on the reasons for violence against victims of abuse are the lack of public understanding of the existence of Visum et Repertum, the time lag, new victims to report visum et Repertum weeks after the crime this torture makes it difficult for the hospital to check the wounds on the victim's body, and there must be a report / introduction from the police to appoint a hospital to make Visum et Repertum

Keywords: Persecution, Visum Et Repertum.

vii

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ... i

Pernyataan Orisinil Tesis ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Penerimaan ... iv

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... vi

Daftar Isi ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP ... 8

A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 8

B. Hukum Pidana Formil ... 19

C. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus... 22

D. Pengertian Fungsi, Tugas dan Kewenangan Penyidikan Menurut KUHAP ... 24

E. Tindak Pidana Penganiayaan ... 31

1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ... 31

2. Jenis-Jenis Penganiayaan ... 33

F. Visum et Repertum ... 40

1. Pengertian Visum et Repertum... 40

2. Dasar Hukum Visum Et Repertum... 42

3. Jenis-jenis Visum et Repertum (VeR) ... 44

4. Yang berhak meminta Visum et Repertum ... 45

viii

(10)

5. Peran Visum et Repertum (VeR) ... 46

G. Pengertian Pembuktian dan Teori atau Sistem Pembuktian ... 49

H. Kerangka Konseptual ... 59

1. Diagram Kerangka Konseptual ... 63

2. Definisi Operasional ... 64

BAB III METODE PENELITIAN ... 65

A. Jenis Penelitian ... 65

B. Lokasi Penelitian ... 65

C. Jenis dan Sumber Data ... 65

D. Teknik pengumpulan Data ... 66

E. Analisis Data ... 67

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 68

A. Kedudukan Visum et Repertum Pada Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan ... 68

B. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Hasil Visum et Repertum Yang Tidak Mencantumkan Sepenuhnya Tentang Tanda Kekerasan Pada Diri Korban Penganiayaan ... 87

BAB V PENUTUP ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

DAFTAR LAMPIRAN ... 101

CURICULUM VITAE ... 118

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, istilah negara hukum secara konstitusional telah dijelaskan dengan tegas dalam penjelasan UUD 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat)”, tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat) dan terkandung amanat bahwa setiap manusia mendapatkan posisi yang sama di mata hukum tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan status sosial seseorang, atau yang lebih dikenal dengan istilah equality before the law1.

Dalam Negara hukum, hukum merupakan pilar utama dalam mengatur segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di Indonesia menganut Negara hukum pancasila yang artinya suatu sistem hukum yang didirikan berdasarkan asas-asas, kaidah dan norma-norma yang terkandung atau tercermin dari nilai yang ada dalam pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat. Dalam artian bahwa suatu Negara yang memiliki konsep Negara hukum Pancasila selalu mengatur segala tindakan dan tingkah laku masyarakatnya berdasarkan atas Undang-Undang yang berlaku untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian Warga Negara Indonesia agar sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Pancasila

1 Brigjen. Pol. Drs. Suharto dan Jonaedi Efendi, 2010 Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Jakarta Cet I, Penerbit: PT. Prestasi Pustakarya, Hal: 3.

(12)

dan UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan2.

Penegasan dalam konsideran huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 13 yang menentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain3:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dan memiliki wewenang dibidang penuntutan dan melaksanakan tugas dibidang penyidikan dan penuntutan perkara pidana serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari suatu kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap sidang selanjutnya. Upaya yang dilakukan aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil

2Yopi Gunawan dan Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Bandung, Refika Aditama, Hal: 92.

3Ruslan Renggong, 2016, Hukum Acara Pidana, Prenadamedia Group, Jakarta, Hal: 206.

(13)

suatu perkara pidana tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Pasal 6 Ayat (2) tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi4:

“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat bukti yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan sempurna. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan telah diatur menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 184 Ayat (1) tentang alat-alat bukti, yang berbunyi5:

“Alat bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa”.

Adapun dalam tahap penyidikan, apabila penyidik menganggap perlu demi kepentingan penyidikan ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Di dalam tahap penyidikan maka keterangan yang diberikan sebagai pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus disebut “keterangan ahli”6.

4Waluyadi, 1999, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, Hal: 15.

5 Lylis Suryani. 2015, Kedudukan Keterangan Ahli Hukum dalam Proses Penyidikan di Kepolisian Daerah Riau, Pekanbaru. JOM Hukum, Hal: 2.

6Ibid, Lylis Suryani, 2015 Hal: 2.

(14)

Permintaan bantuan penegak hukum kepada seorang ahli untuk mengungkap suatu perkara pidana ditegaskan pada Pasal 120 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menganggauiu

Apabila perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau memiliki keahlian khusus”. Keterangan ahli diterangkan pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP yang menyatakan: “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan suatu perkara pidana”7.

Dalam penegakan hukum khususnya pada proses penyidikan dalam mengungkap kasus tindak pidana penganiayaan hampir semuanya memerlukan keterangan dokter ahli forensik untuk mengawali penyidikan itu, dengan keterangan dokter ahli diakui cukup efektif di dalam penyidikan tindak pidana penganiayaan. Pengertian secara harfiah Visum Et Repertum adalah berasal dari kata Visual, yaitu melihat dan Repertum yaitu melaporkan, berarti; apa yang dilihat dan diketemukan, sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya8.

Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana, hal tersebut dapat diketemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam Visum Et Repertum. Penyidik

7Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

8Tjiptomartono Agung Legowo, 2002, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Unipres, Hal: 15.

(15)

tentunya akan menentukan langkah lebih lanjut terhadap proses penyidikan perkara pidana tersebut agar diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana yang terjadi.

Visum et repertum merupakan penggantian barang bukti, oleh karena barang bukti tersebut berhubungan dengan tubuh manusia (luka, mayat, atau bagian tubuh). KUHAP tidak mencantum kata visum et repertum. Namun visum et repertum adalah alat bukti yang sah. Bantuan dokter pada penyidik:

Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), pemeriksaan korban hidup, pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat, menentukan umur seorang korban/terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang terdakwa, pemeriksaan barang bukti lain (trace evidence). Yang berhak meminta visum et repertum adalah9:

1. Penyidik;

2. Hakim pidana;

3. Hakim perdata.

Peranan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada dokter sebagai pelaksana dilapangan untuk membantu penyidik dalam menyelidiki suatu kasus penganiayaan untuk kemudian diserahkan kepada jaksa dalam menentukan arah dakwaan yang akan didakwakan terhadap terdakwa, serta membantu hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan perkara pidana. Namun pada kenyataan yang terjadi saat ini masih banyak orang yang belum paham dengan pentingnya melakukan

9Adami Chazawi, 2010, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta Barat, Rajawali Pers, Hal: 2.

(16)

visum setelah mengalami penganiayaan yang menimbulkan luka atau menyebabkan kematian.

Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatar belakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan dengan

judul “PERANAN VISUM Et REPERTUM PADA TAHAP

PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN. (Studi Di Kepolisian Resort Kota Besar Makassar).“

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan di bahas dalam penulis yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan?

2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap hasil Visum et Repertum yang tidak mencantumkan sepenuhnya tentang keterangan tanda kekerasan pada diri korban penganiayaan?

(17)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan dan menganalisis.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap hasil visum et repertum yang tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban penganiayaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu kasus penganiayaan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Akademik adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya yang menyangkut mengenai Peranan Visum et Repertum pada tahap penyidikan.

2. Manfaat praktis sebagai masukan dan untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya tentang Visum et Repertum pada penganiayaan.

(18)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari dua kata, “tindak” dan “pidana”.

Tindak berarti perbuatan sedangkan pidana menyangkut kepentingan penguasa/negara dan masyarakat, merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentuk Undang- Undang telah menerjemahkan istilah strafbaar yang berasal dari KUHP Belanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan Perundang-undangan pidana lainya dengan istilah tindak pidana.

Strafbaar felt, terdiri dari tiga kata, yaitu straf, baar, dan feit.

Straf diterjemahkan dengan Pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan10. Selain diterjemahkan sebagai tindak Pidana, strafbaar feit, juga diartikan atau disamakan dengan istilah :

a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum;

b. Peristiwa pidana; dan c. Perbuatan pidana.

10Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I; Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hal: 69.

(19)

Simons, guru besar ilmu hukum Pidana di Universitas Utrecht Belanda, memberikan terjemahan strafbaar feir sebagai perbuatan pidana.

Menurutnya, srafbaar feit adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab11.

Selain itu, Simons juga merumuskan strafbaar felt itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan ataupun tidak dengan sengaja. Oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum12.

Pompe terhadap istilah strafbaar feit memberikan dua macam definisi, yaitu:

“Definisi Strafbaar feit yang bersifat teoritis adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh suatu pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai normavertrading (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de

11 P.A.F.Lamintang, 2009, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika Jakarta, Hal: 66.

12 P.A.F. Lamintang. 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal: 185.

(20)

handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzijn”13.

Definisi strafbaar feit yang bersifat perundang-undangan atau hukum positif menurut pompe tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Pompe mengatakan strafbaar feit itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian atau tidak berbuat atau berbuat pasif)14.

Disimpulkan bahwa dalam perspektif perundang-undangan, istilah tindak pidana itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi oleh undang-undang. Undang–Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generalis sekaligus tidak mampu memberikan definisi lengkap dan secara rinci mengenai istilah tindak pidana. Agar tidak menjadi dilema dalam menafsirkan istilah tindak pidana ini dan agar tidak menimbulkan ambigu (makna ganda atau lebih) maka ada baiknya dirujuk pada ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Tindak Pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana itu menyangkut segala

13Ibid. Adami Chazawi, hlm. 101.

14Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Hal:. 59.

(21)

ketentuan-ketentuan yang telah diralang atau sudah diatur dalam undang- undang. Istilah tindak pidana diterjemahkan dari istilah bahasa Belanda, strafbaar feir yang diartikan sebagai sesuatu tindakan yang dilakukan pada suatu tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, mengandung kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab15.

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana

Dalam mengkaji unsur – unsur tindak pidana di kenal dua aliran yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Aliran Monistis, memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana.

Aliran ini tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (criminal act) dengan unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana (criminal responsibility) atau criminal liability yang berarti pertanggung jawab dalam hukum pidana16.

Simon mengemukakan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif);

b. Diancam dengan pidana;

c. Melawan hukum;

d. Dilakukan dengan kesalahan;

15Andi Hamzah, 1994, Asas – Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, Hal: 11.

16Rubah, Masruchin, 2001, Asas –asas Hukum Pidana, UM Press, Malang, Hal:. 23.

(22)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab17.

Unsur – unsur Pidana sesuai dengan definisi yang dikemukan sebagai berikut: “Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”. Unsur – unsur pidana meliputi unsur perbuatan dan pelaku18.

Aliran dualistis memisahkan antara criminal act dengan criminal responsibility, yang menjadi unsur tindak pidana menurut aliran ini hanyalah unsur-unsur yang melekat pada criminal act (perbuatan yang dapat dipidana).

Unsur – unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Perbuatan (manusia);

b. Memenuhi rumusan undang – undang;

c. Bersifat melawan hukum19.

Memenuhi rumusan undang – undang merupakan syarat formil.

Keharusan demikian merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Bersifat melawan hukum merupakan syarat materil. Keharusan demikian, karena perbuatan yang dilakukan yang tidak patut dilakukan. Bersifat melawan hukum itu merupakan syarat mutlak untuk tindak pidana sebagai berikut:

a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

17Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Asas – asas Pidana, Refika Aditma, Bandung, Hal: 4.

18Ibid.,Wirdjono Prodjodikoro, Hal: 25.

19Ibid., Moeljatno,Hal:. 7.

(23)

b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dihendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakna adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan agar dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana, syarat –syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut20:

a. Harus adanya suatu perbuatan;

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang yang dilukiskan dalam ketentuan hukum:

i. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;

ii. Harus berlawanan dengan hukum;

iii. Harus tersedia ancaman hukumnya.

Jadi secara keseluruhan, Tindak pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu, sebagai berikut :

a. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja;

b. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum;

c. Perbuatan mana dapat dihukum oleh Negara.

20 Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, Hal:

175.

(24)

3. Unsur – Unsur Pertanggungjawaban Pidana Unsur – unsur Pertanggungjawaban pidana yaitu:

a. Mampu bertanggung jawab

Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan- tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan beratnggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya21:

1) Keadaan jiwanya;

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus – menerus atau sementara (temporair);

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot, imbecile dan sebagainya) dan;

c) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/

slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagaianya.

21Sudrajat Bassar. SH, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Remaja Karya, Bandung, Hal:. 90.

(25)

2) Kemampuan jiwanya;

a) Dapat menginsyafi hakikat dari tindakanya;

b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksananakan atau tidak;

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepala keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelije vermogens.

b. kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telahmelakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggungjawab. Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut22.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk- bentuk kesalahan terdiri dari:

Kesengajaan (opzet):

Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang menajdi pokok alasan diadakan larangan itu, dan perbuatan itu melanggar hukum.

22Ibid. Abdoel Djamali, Hal: 240.

(26)

Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu23: 1) Sengaja sebagai niat (Oogmerk)

Kesengajaan sebagai niat atau maksud adalah terwujudnya delik yang merupakan tujuan dari pelaku. Pelaku benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.

2) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn)

Kesengajaan semacam ini, terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari pelaku, melainkan merupakan syarat mutlak sebelum/pada saat/ sesudah tujuan pelaku tercapai.

3) Sengaja sadar akan kemungkinan (Dolus Eventualis, mogelijkeheids bewutzzin)

Kesengajaan sebagai sadar akan merupakan terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari pelaku, melainkan merupakan syarat yang mungkin timbul sebelum/pada saat/sesudah tujuan pelaku tercapai.

Pembagian atau jenis kesengajaan (dolus) dihubungkan dengan sasaran yang dikehendaki oleh pelaku, yaitu:

a) Dolus determinatus adalah suatu kejendak untuk melakukan tindak pidana yang menimbulkan suatu akibat oleh sasaran yang telah ditentukan;

23Ruslan Renggong, 2016, Hukum Pidana Khusus Memehami Delik – Delik di Luar KUHP.

Prenadamedia Group, Jakarta, Hal: 26.

(27)

b) Dolus alternativus terjadi jika kehendak pelaku adalah matinya A atau B;

c) Dolus inderectud terjadi jika X melemparkan bom ke dalam suatu ruangan. Matinya beberapa orang itulah yang dikehendaki X;

d) Dolus inderectud atau suatu akibat yang timbul sebenarnya bukan sebagai kehendak dan tujuan pelaku;

e) Dolus premiditatus adalah kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu24.

c. Kealpaan (culpa)

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakuknya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam yaitu :

1) Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;

24 P.A.F Lamintang, 1990, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma- Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, Hal: 110.

(28)

2) Kealpaan akibat merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 359, 360, 361 KUHP.

Skema kelalaian atau culpa yaitu25: 1) Culpa Lata yang disadari (alpa)

Conscious: kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh;

2) Culpa lata yang tidak disadari (lalai)

Unconscius: kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berfikir, lengah, dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.

d. Tidak ada alasan pemaaf

Alasan pemaaf timbul ketika perbuatan seseorang memiliki nilai melawan hukum tetapi karena alasan tertentu maka pelakunya dimaafkan. Alasan penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP yaitu:

1) Daya paksa relatif;

2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces);

3) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah.

25 Moeliono. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. IV. Jakarta. Penerbit: Balai Pustaka.,Hal : 78.

(29)

Mengenai ketentuan Pasal 51 Ayat (2) KUHP, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan harus memenuhi dua syarat:

1) Syarat subjektif yaitu pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang;

2) Syarat objektif yaitu pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuata sebagai bawahan.

B. Hukum Pidana Formil

Hukum Pidana Formil adalah mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukumkan, dengan demikan ia memuat acara pidana26.

Hukum pidana materil dengan dengan hukum pidana formil dengan menyatakan bahwa : hukum Pidana Materil (ius Poenale) sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terdapat pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya. Adapun hukum Pidana Formil (law of criminal procedure) atau hukum acara pidana adalah hukum yang menetapkan cara negara menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan pidana, juga disebut hukum pidana in concreto karena mengandung peraturan bagaimana hukum materiil atau hukum mengandung peraturan bagaimana

26P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal : 10.

(30)

hukum pidana materiil atau hukum pidana in abstracto dituangkan ke dalam kenyataan (in concreto)27.

Secara sederhana, hukum pidana materill dapat pula diartikan sebagai aturan hukum yang menetapkan perbuatan-perbuatan apakah yang perbuatannya dapat dihukum, siapa – siapakah yang dapat dihukum dan ancaman sanksi pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap pembuat tindak pidana, contohnya KUHP. Adapaun hukum formil diartikan sebagai aturan hukum pidana yang mengatur tentang proses peradilan pidana atau dapat pula diartikan sebagai aturan hukum pidana materiil, contohnya KUHAP.

Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana.

Mengenai istilah hukum acara pidana, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :

“Istilah” hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah

“hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering yang jika diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang pandangannya acara pidana.

Istilah inggris criminal procedure law lebih tepat daripada istilah belanda.

Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai”28.

Sedangkan Simsons memberikan definisi sebagai berikut: “Hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara yang mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang menentukan

27Andi Zainal Abidin Farid.2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta. Penerbit : Pradnya Paramita, Hal: 135.

28Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi. Jakarta. PT. Sinar Grafika.

Hal: 2.

(31)

syarat-syarat bagi akibat hukum itu, serta semua aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut29. Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut30.

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa: “hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian aturan-aturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana”31. Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana di mana ditegakan bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha menentukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua proses ini yaitu:

a. Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan pada sidang pengadilan.

b. Pemeriksaan didepan sidang pengadilan.

29Moeljatno 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung. Rineka Cipta. Hal: 8.

30Mahrus Ali. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta Timur. PT. Sinar Grafika. Hal: 97.

31Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung. PT. Refika Aditama, Hal : 33.

(32)

Penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan adalah serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukannya tindakan pidana yang mempunyai arti penting dan berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaskan yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurang telitian dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi nama baiknya.

Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti suatu perkara pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas kebenaran materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara pidana tersebut.

C. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan terhadap setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja misalnya anggota angkatan perang ataupun merupakan hukum yang mengatur tentang delik-delik tertentu saja, misalnya hukum fiskal (pajak), hukum pidana ekonomi dan lain-lain32.

32Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung. Penerbit : Sinar Baru. Hal : 18.

(33)

Perbedaan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus juga digambarkan oleh Azis Syamsuddin yang dapat di deskripsikan, sebagai berikut :

1. Definisi

Hukum pidana umum adalah perundang-undangan pidana dan berlaku umum, sedangkan hukum pidana khusus adalah perundang-undangan di bidang tertentu yang bersanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam undang-undang khusus.

2. Dasar

Hukum pidana umum tercantum dalam KUHP dan semua perundang- undangan yang mengubah dan menambah KUHP, sedangkan hukum pidana khusus, tercantum di dalam perundang-undangan di luar KUHP, baik perundnag-undangan pidana maupun bukan pidana, tetapi bersanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP).

3. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan

Yang menjadi penyelidikan dan penyidik dalam hukum pidana umum adalah polisi, sedang dalam hukum pidana khusus adalah polisi, jaksa, PPNS, dan KPK

4. Pengadilan.

Pemeriksaan perkara dalam hukum pidana umum dilakukan di pengadilan umum, sedangkan pemeriksaan perkara dalam hukum pidana khusus adalah pengadilan tipikor, pengadilan pajak, pengadilan

(34)

hubungan industrial, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan niaga, dan pengadilan perikanan33.

D. Pengertian Penyidikan, Fungsi dan Tugas Kewenangan Penyidikan Menurut KUHAP.

1. Pengertian Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindakan pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindakan pidana terjadi, maka saat itulah penyelidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan “suatu peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana.

Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yakni dalam BAB 1 mengenai penjelasan umum, yaitu

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

33Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta. PT. Sinar Grafika, Hal : 9

(35)

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Angka 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan –tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan.

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Mengenai yang dimaksud dengan tindakan penyidikan berdasarkan definisi yuridis, beberapa ketentuan perundanga-undangan yang menyebutkan pengertian penyidikan diantaranya KUHAP daan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian yang sama dengan tindakan penyidikan,

(36)

dinyatakan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan pengertian dan rumusan yuridis diatas, dapat disimpulkan bahwa tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat diketahui dan ditemukan pelaku tindakan pidana tersebut.

2. Fungsi Penyidik

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 Ayat (2), kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam peraturaan pemerintah, diselaraskan dan di seimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintahan yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut : a. Pejabat Penyidik Penuh

(37)

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “ penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu34:

1) Berpangkat paling rendah inspektur dua polisi (Ipda) dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau setara.

2) Bertugas di bidang fungsi penyidkan paling singkat dua tahun.

3) Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.

4) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

5) Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

b. Penyidik Pembantu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur dengan peraturan pemerintah35. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai

“penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu dari dari unsur kepolisian, selain memiliki kepangkatan serendah-rendahnya brigadir dua polisi, juga memenuhi persyaratan36.

34 Ruslan Renggong. 2016. Hukum Acara Pidana . Jakarta. Penerbit: Prenadamedia Group, Hal : 210

35 Ibid, Ruslan Renggong. Hal: 210.

36 Ibid, Ruslan Renggong. Hal: 210.

(38)

1) Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.

2) Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua tahun.

3) Sehat jasmani dan rohani yang diuktikan dengan surat keterangan dokter.

4) Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Adapun wewenang Kepolisian Republik Indonesia di atur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia sebagai berikut:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau merasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.

3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.

4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka sebagai tersangka atau saksi.

7) Mendatangkan saksi/orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

8) Mengadakan penghentian penyidikan.

9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

10) Mengajukan pemerintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukaan tindak pidana.

11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungdan

jawab.

(39)

3. Tugas dan Kewenangan Penyidikan Menurut KUHAP

Pasal 6 KUHAP menentukan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (selanjutnya disingkat PNS) yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Menurut Pasal 2 huruf A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 yang mengubah dan menambah beberapa Pasal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, menentukan bahwa untuk dapat diangkat sebagai penyidik kepolisian.

Adapun kewenangan penyidik menurut Pasal 7 KUHAP, antara lain:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledaan, dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

(40)

i. Mengadakan penghentian penyidik;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Selain penyidik yang diatur di dalam KUHAP, juga dikenal pula penyidik yang berwenang melakukan penyidikan untuk tindak pidana tertentu. Jaksa misalnya, sampai saat ini berwenang melakukan penyidikan terhadap pembuat tindak pidana korupsi. Kewenangan jaksa menyidik tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 284 KUHAP jo Pasal 30 ayat (1) butir di Undang – undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Demikian pula ketentuan dalam Pasal 21 UUPHAM yang menentukan bahwa penyidik perkara pelanggar HAM yang berat dilakukan oleh jaksa agung dan dalam hal-hal tertentu jaksa agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat37.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut penyidik wajib menjujung hukum yang berlaku. Untuk itu penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang38:

a. Pemeriksaan tersangka;

b. Penangkapaan;

c. Penahanan;

d. Penggeledahan;

e. Pemasukan rumah;

f. Penyitaan benda;

g. Pemeriksaan surat;

h. Pemeriksaan saksi;

i. Peemeriksaan tempat kejadian;

37Ruslan Renggong, Op.cit,. Hal 212.

38Darwan Prinst, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit : Djambatan, Hal : 92-93.

(41)

j. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

k. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.

E. Tindak Pidana Penganiayaan

1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHAP disebut penganiayaan. Dari segi kata bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar “aniaya” yang mendapat awalan

“pe” dan akhiran “an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu M. H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan”

sebagai berikut. 39“menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain.

Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan40.

Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya).

Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki kesengajaan dalam melakukan suatu kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada

39M.H Tjiptomartomo. 2002. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Hal: 67.

40Leden Marpaung, 2002, Tindak Pidana Nyawa dan Tubuh (pemberantas dan prevensinya), Jakarta, Penerbit : Sinar Grafika, Hal: 5.

(42)

orang lain atau luka pada tubuh orang lain atau pun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain41.

Di dalam KUHAP yang dissebut dengan tindak pidana terhadap tubuh disebut dengan penganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya.

Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”. Menurut para ahli ada beberapa pengertian tentang penganiayaan diantaranya sebagai berikut:

1. Menurut H.R (Hooge Raad), penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan42.

2. Menurut Mr. M. H. Tirtaamidjaja menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka padaa orang lain. Akan tetapi, suatu perbuataan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan43.

3. Menurut Doctrine mengartikan penganiayaan sebagai, setiap perbuatan yang dilakukan dengan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.

41Ibid. M.H Tjiptomartomo, Hal: 35.

42Ibid. M.H Tjiptomartomo, Hal; 35

43Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta Fasco, Hal : 174

(43)

Ada pula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan, menurut doktri/ ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut:

1. Adanya kesengajaan 2. Adanya perbuatan

3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu:

a. Rasa sakit pada tubuh.

b. Luka pada tubuh44.

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.

Tindak pidana penganiayaan adalah kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian.

2. Jenis – Jenis Penganiayaan

Dalam KUHP, tindak pidana dimasukkan ke dalam tindak kejahatan dan diatur dalam buku Bab XX Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. Dari rumusan Pasal yang ada dapat diklasifikasi kedalam lima jenis diantaranya:

a. Penganiayaan biasa

Penganiayaan diatur dalam Pasal 351 KUHP dan merupakan bentuk pokok dari tindak pidana penganiayaan bunyi Pasal 351 yaitu:

44Rusli Efendy. 1983. Ruang Lingkup Kriminologi. Bandung, Penerbit : Alumni. Hal : 34.

(44)

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun;

3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan seseorang rasa sakit, luka sehingga menimbulkan kematian akan tetapi tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya, seperti contoh : seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan meyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya.

Adapun timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagaianya.

(45)

Di dalam Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam tindak pidana penganiayaan biasa dapat di belakang menjadi:

1) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian;

2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat;

3) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian;

4) Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

Selanjutnya dalam hal percobaan menganiaya tidaklah dapat dipidana, kecuali percobaan penganiayaan yang dipikirkan lebih dahulu, dapat dipidana.

b. Penganiayaan Ringan

Disebut Penganiayaan Ringan, apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah. Hukuman ini dapat ditambah sepertiga bagi pelaku yang menganiaya orang yang bekerja padanya atau sebagai bawahannya (Pasal 352 KUHAPidana)45.

Pasal 352 KUHP berbunyi :

1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya;

2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat Pasal 352 KUHP ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di Pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah

45Hadikusuma Hilman. 2005. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung, Hal :131.

(46)

menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiayaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

c. Penganiyaan Yang Direncanakan Lebih Dahulu

Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

1) Penganiyaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun;

2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun;

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Menurut M.H. Tirtamidjaja arti di rencanakan lebih dahulu adalah “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangan, untuk berfikir dengan tenang”46.

Apabila di pahami tentang arti dari direncanakan di atas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade). Sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat

46Ibid. Hadikusuma Hilman.

(47)

subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHAP).

Perkataan berfikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/ akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak dikuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

Penganiayaan berencana diatur dalam Pasal 353 KUHAP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian dalah berupa faktor atau alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang dikehendaki sesuai dengan (ayat (2) ) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHAP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian ayat (3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHAP).

d. Penganiayaan Berat

(48)

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut:

1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Penganiayaan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadi berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu, perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

Ketiga unsur di atas harus disebut dalam undang-undang sebagai unsur dari tindak pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan ia harus menyebutkan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari tindak pidana.

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat.

(49)

Mengenai luka berat di sini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah dijelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:

1) Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;

2) Senantiasa tidak cakup mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian;

3) Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra;

4) Mendapat cacat besar;

5) Lumpuh (kelumpuhan);

6) Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu;

7) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan47.

Pada Pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagai luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

e. Penganiayaan Berat Berencana

Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut:

1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2) Jika perbuatan ini menimbulkan kematian yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

47R.Soenarto Soerodibroto. 2012. KUHP Dan KUHAP. PT. Raja Grafindo Persada, Hal :72

(50)

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 Ayat (1) KUHP) dengan penganiayaan berencana (Pasal 353 Ayat (1) KUHP). Dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

F. Visum et Repertum

1. Pengertian Visum et Repertum

Ketika berbicara mengenai visum et repertum maka hal ini berkaitan erat dengan ilmu kedokteran forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, di mana sebelumnya dikenal dengan ilmu kedokteran kehakiman, R.

Atang Ranoemiharja menjelaskan bahwa ilmu kedokteran kehakiman atau ilmu kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban ilmu kedokteran adalah membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran48.

48R. Atang Ranoemihardja, 1983, Ilmu Kedokteran Kehakiman Forensic Science, Bandung, Tarsito, Hal : 10.

(51)

Tugas dari ilmu kedokteran kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman) dalam mengungkap suatu perkara yang berkaitan dengan pengerusakan tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang49.

Dengan bantuan ilmu kedokteran kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan peradilan menjadi objektif berdasarkan apa yang sesungguhnya terjadi.

Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak pidana (ditempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau meninggal dunia) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan diberikan hasil secara tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah visum et repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visua”. Visua berasal dari bahasa latin, bentuk tunggalnya dalah “Visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “Visum” atau “Visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan diserahkan, sedangkan “Revertum” berarti melaporkan yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan50.

49 Waluyadi, 2000, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan Dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Jakarta, Djambatan, Hal : 26.

50 Abdul Mun’im Idris dan Legowo Tjiptomartomo, 2002, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Jakarta, Karya Unipres, Hal : 10

(52)

Menurut pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh manusia merupakan corpus delicit51.

2. Dasar Hukum Visum Et Repertum

Dasar hukum dari Visum Et Repertum ialah Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 350, dimana dalam Visa Pasal 1: Visa Reperta seorang dokter yang dibuat baik atas jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan penyelenggaraannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah istimewa seperti tercantum dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditentukan oleh dokter itu pada benda yang diperiksa, sedangkan dalam Pasal 2 Ayat (1) : Para dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di negeri Belanda maupun Indonesia sebagai tersebut dalam Pasal 1 di atas, dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut:

“Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya sebagai seorang dokter akan membuat pernyataan-pernyataan atau keterangan- keterangan tertulis yang dibutuhkan untuk kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan kekuatan lahir dan batin”.

51R. Atang Ranoemihardjo, 1983, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science) Edisi Kedua, Bandung, Taristo, Hal : 44

Referensi

Dokumen terkait

Demikian halnya dengan masyarakat Kota Denpasar sebagai konsumen dari media massa, majalah Playboy menjadi kantor tempat beroperasinya majalah tersebut karena Kota

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media blokjes berpengaruh terhadap pemahaman operasi hitung matematika pada anak tunanetra

darah dengan bagian dari tinggi badan yang lebih spesifik.. seperti panjang kaki atau

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemilihan alat kontrasepsi pada wanita usia subur yang bersuami yang mempunyai dukungan rendah namun pemilihan alat kontrasepsinya yang

Dengan demikian bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik atau limbah dalam jumlah yang sedikit atau dalam batas toleransi maka limbah tersebut akan dinetralisir oleh

Objek yang merupakan variabel terikat atau variabel Y adalah keputusan menggunakan meeting package yang terdiri dari memilih produk, memilih merek, memilih

a. Media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Alat pembelajaran adalah alat bantu pembelajaran yang

Permasalahan ini diduga erat kaitannya dengan aspek teknis pada saat penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang kurang akurat,tidak tepat waktu dan