• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS."

Copied!
732
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS

DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS

SKRIPSI

Oleh :

TUTIK SRI WAHYUNI

NPM : 0533010003

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL“ VETERAN ” JAWA TIMUR

SURABAYA

(2)

PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS

DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Teknologi Pangan pada Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

TUTIK SRI WAHYUNI

NPM : 0533010003

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN’’ JATIM

SURABAYA

(3)

PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS

DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS

Disusun Oleh :

TUTIK SRI WAHYUNI

NPM : 0533010003

Telah dipertahankan di hadapan

dan diterima oleh Tim Penguji Tugas Akhir

Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada Tanggal, 26 November 2010

Pembimbing :

Drh. Ratna Yulistiani, MP

NIP.196207191988032001

3.

Ir. Rudi Nurismanto, M.Si

NIP.196109051992031001

Mengetahui

Dekan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Surabaya

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat,

karunia serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan skripsi ini

dengan baik. Karena keMahaanMu lah segala kemudahan dalam kesulitan dan

harapan ditengah keputusan Engkau hadiahkan kepada hamba.

Penulisan laporan ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari dosen

pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga laporan ini

dapat terselesaikan. Selain itu penulis juga menyampaikan terimah kasih kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP. Selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2.

Bapak Ir. Sutiyono, MT. selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN

”Veteran” Jawa Timur.

3.

Ibu Ir. Latifah, MS. selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan dan Dosen

Pembimbing Pertama, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan

Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

4.

Ibu Dra. Jariyah, MP. selaku dosen pembimbing pendamping.

5.

Ibu Dr. Dedin F.R. STP., M.Kes. selaku staf P.I.A. Jurusan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”

Jawa Timur.

6.

PT. Sorini Argo Asia Corporation di Gempol- Pasuruan, atas bantuan

enzimnya.

(6)

ii

7.

Bapak Nur Ali sebagai Staff R&D PT. Sorini Argo Asia Corporation di

Gempol- Pasuruan, atas ketelatenanya memberikan pengarahan.

8.

Bapak dan Ibuku tercinta yang memberi bantuan semangat baik materi maupun

moril.

9.

Suamiku tersayang “Mustofa, S.kom” dan anakku “Oryza Al Musthofa” yang

memberikan semangat dan Do’a.

10.

Sahabat – sahabat TP’05 ( Dina, Wahyu S., Yanuarsa ) dan sahabat-sahabatku

yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah bersedia untuk ku

berkeluh kesah dan selalu memberikan semangat dan motivasi serta

kebersamaannya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi teman – teman mahasiswa UPN di

Jurusan Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak – pihak yang

memerlukan pada umunya. Skripsi ini masilah jauh dari sempurna serta banyak

kekurangannya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat objektif dan membangun guna sempurnanya laporan ini.

Surabaya,

Desember

2010

Penulis

(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...

1

D. Hidrolisis Pati Secara Enzimatis ...

13

E.

α

- Amilase ...

16

BAB III METODOLOGI

PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian ...

33

B. Bahan- Bahan ...

33

E. Prosedur Penelitian ...

37

BAB

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisa Bahan Baku ...

41

(8)

D. Analisa Finansial ...

55

BAB

V

KESIMPULAN DAN SARAN

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 7. Hubungan Antara Perlakuan Lama Liquifikasi Dan

Konsentrasi Enzim Terhadap Kadar Air Dekstrin Pati Talas

Secara Enzimatis ...

44

(10)

Daftar Tabel

Tabel

1.

Kandungan Kimia Tepung Talas ... 4

Tabel

2.

Kandungan 100 Gr Pada Talas ... 5

Tabel

3.

Karateristik Amilosa Dan Amilopektin ... 6

Tabel

4.

Syarat Mutu Dekstrin ... 13

Tabel

5.

Penggunaan Hasil Hidrolisis Pati Berdasarkan Nilai Dekstrin.. 16

Tabel

6.

Hasil Analisa Tepung Pati Umbi Talas ... 41

Tabel 7. Nilai Rata-Rata Kadar Air Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi Dan Konsentrasi

Enzim ...

43

Tabel 8

Nilai Rata-Rata Kadar Abu Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi ...

45

Tabel

9

Nilai Rata-Rata Kadar Abu Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Konsentrasi Enzim...

Tabel 10

Tabel 10 Nilai Rata-Rata Kadar Abu Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi Dan Konsentrasi

Enzim ...

Tabel 11 Nilai Rata-Rata Kadar Gula Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi Dan Konsentrasi

Enzim ...

48

Tabel 12 Nilai Rata-Rata Dekstrose Equivalen Dekstrin Pati Talas

Secara Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi Dan

Konsentrasi Enzim ...

50

Tabel 13 Nilai Rata-Rata Rendemen Dekstrin Pati Talas Secara

Enzimatis Dari Perlakuan Lama Liquifikasi Dan Konsentrasi

Enzim ...

53

(11)

PEMBUATAN DEKSTRIN DARI PATI UMBI TALAS

DENGAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIS

TUTIK SRI WAHYUNI

NPM : 0533010003

INTISARI

Talas (

Colocasia esculenta

) merupakan jenis umbi-umbian yang

mempunyai kadar pati cukup potensial yaitu (74,34 %) dengan kadar amilosa

(21.44%) dan amilopektin (78.56%). Pada pati umbi talas mengandung

amilopektin yang cukup besar (78.56%) sehingga sangat efektif untuk dijadikan

dekstrin. Proses pembuatan dekstrin adalah pemotongan rantai panjang pati

dengan enzim

α

-amilase menjadi molekul lebih sederhana yaitu glukosa dan sisa

cabang amilopektin yang disebut dekstrin. Tujuan dari penelitian ini untuk

mengetahui pengaruh waktu liquifikasi dan konsentrasi enzim

α

-amilase terhadap

kualitas dekstrin dari pati umbi talas.

Penelitian ini meggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial

yang terdiri dari 2 faktor dengan 2 kali ulangan, faktor 1 adalah waktu liquifikasi

(70,80,90 menit) dan faktor II adalah konsentrasi enzim (0,25 %; 0,45 %;0,65 %

b/v).

Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada

perlakuan waktu liquifikasi 70 menit dan konsentrasi enzim 0,25 % b/v yang

menghasilkan dekstrin pati talas dengan kadar air 3.0998 % , kadar abu 0.3183 %,

kadar gula reduksi 10.9125 %, nilai dekstrose equivalen 21.0410 %, dan

rendemen 85,17%.

Hasil analisa finansial diketahui bahwa

Break Evet Point (BEP)

dicapai

pada Rp. 47.874.400,23 sebesar 24,05 % dan kapasitas titik impas

3.751.251,681unit/tahun, sedangkan

Internal Rate of Return (IRR)

mencapai

23,152 %,

Paiback Period (PP)

dicapai selama 4,1 tahun,

Net Present Value

(NPV)

sebesar Rp

.

106.481.386,-, dan

benefit Cost Ratio

sebesar 1,2.

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Talas (

Colocasia esculenta

) merupakan bahan pangan berpati non beras

yang mempunyai peluang cukup besar dibidang pangan. Pembuatan pati talas

diharapkan dapat menghindari kerugian akibat tidak terserapnya umbi segar talas

ketika produksi panen berlebih. Konversi umbi segar talas menjadi bentuk pati

yang siap digunakan akan mendorong munculnya produk-produk yang lebih

beragam juga dapat mendorong berkembangnya industri berbahan dasar pati talas.

Keunggulan umbi talas antara lain mempunyai kadar pati dalam tepung talas yang

lebih tinggi yaitu (74,34 %) (Setyowati dkk, 2007) dengan kadar amilosa

(21.44%) dan amilopektin (78.56%) (Hartati dan Prana, 2003) sedangkan kadar

pati tepung ubi kayu (65.46%) ( Senoaji dan Purnomo, 2009) dan kadar pati

tepung ubi jalar ungu (71,1065%) ( Herdiana, 2007) dari kandungan pati dalam

talas tersebut dapat dimanfaatkan untuk dijadikan dekstrin.

Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis pati berwarna putih

hingga kuning ( SNI, 1992). Dekstrin merupakan golongan karbohidrat dengan

berat molekul tinggi yang dibuat dengan modifikasi pati dengan asam atau enzim.

Dekstrin mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih

stabil daripada pati ( Pulungan dkk, 2004 ). Pada prinsipnya membuat dekstrin

adalah memotong rantai panjang pati dengan katalis asam atau enzim menjadi

molekul-molekul yang berantai lebih pendek dengan jumlah glukosa dibawah

sepuluh (Anonymous, 2008 ). Proses hidrolisa pati dengan menggunakan enzim

(13)

2

terjadi melalui dua tahap yang pertama yaitu tahap gelatinisasi dengan tujuan pati

lebih rentan terhadap serangan enzim, yang kedua yaitu tahap liquifikasi adalah

proses pencairan gel pati dengan meggunakan enzim

α

-amilase ( Judoamidjojo,

1992 ).

Pada pembuatan dekstrin terjadi transglukosilasi dari ikatan

α

-D (1,4)

glikosidik menjadi

β

-D (1,6) glikosidik. Perubahan ini mengakibatkan sifat pati

yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, lebih

cepat terdispersi dan tidak kental serta lebih stabil dari pada pati ( Lastriningsih,

1997). Dekstrin dipecah menjadi glukosa, tetapi banyak sisa cabang pada

amilopektin yang tertinggal dan disebut dekstrin ( Anonymous, 2008). Pada pati

umbi talas mengandung amilopektin yang cukup besar (78.56%) sehingga sangat

efektif untuk dijadikan dekstrin.

Enzim yang digunakan dalam pembuatan dekstrin yaitu enzim

α

-amilase.

Enzim

α

-amilase (

α

- 1,4 glukan-4- glukanhidrolase, ( EC.3.2.1.1. )) terdapat

pada tanaman, jaringan mamalia dan mikroba ( Winarno, 1995). Enzim

α

-amilase

adalah endo-enzim yang bekerja memutus ikatan

α

- 1,4 secara acak di bagian

dalam molekul baik pada amilosa maupum amilopektin. Hidrolisa dekstrin dengan

menggunakan enzim lebih efektif karena kerja enzim sangat spesifik.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada hidrolisis pati menggunakan enzim adalah pH,

suhu, konsentrasi larutan pati dan waktu reaksi ( Tjokroadikusoema, 1986).

Pembuatan dekstrin yang pernah dilakukan adalah menghidrolisa pati ubi

jalar ungu dengan perlakuan konsentrasi pati sebesar 20% b/v, 25% b/v dan 30 %

(14)

3

menit. Hasil analisis terbaik adalah perlakuan konsentrasi enzim 0,3 % dan

konsentrasi pati 20 % dengan kadar abu 1,29 %, kadar air 7,65 %, kadar dekstrosa

6,42 %, kekentalan 1,18 cp dan rendemen yang dihasilkan sekitar 77,23 % (

Triyono, 2006)

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh lama liquifikasi dan konsentrasi enzim

terhadap sifat fisiko kimia dekstrin dari pati umbi talas.

2. Untuk mengetahui perlakuan terbaik antara lama liquifikasi dan

konsentrasi enzim dalam pembuatan dekstrin dari pati umbi talas.

C. Manfaat

1. Menjadikan pati umbi talas sebagai bahan alternatif dalam pembuatan

dekstrin.

(15)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Umbi Talas

Umbi talas (

Colocasia esculenta

) merupakan tanaman

rimpang yang

berbentuk mungil meruncing dan menggembung. Talas termasuk tumbuhan tegak

yang memiliki perakaran liar, berserabut dan dangkal. Batang yang tersimpan

dalam tanah pejal, bentuknya menyilinder (membulat), umumnya berwarna coklat

tua, dilengkapi dengan kuncup yang terdapat diatas lampang daun tempat

munculnya umbi baru/ tunas (stolon), daun memerisai dengan tangkai panjang

dan besar. Rasa gatal dan iritasi pada kulit (tenggorokan) yang ditimbulkan

disebabkan oleh kalsium oksalat yang terdapat pada talas. Kalsium oksalat dari

persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Ion ini sangat bermanfaat

untuk proses metabolisme dan untuk pertahanan internal bagi talas ( Anonymous,

2007). Hasil penelitian Setyowati, dkk (2007) menunjukan kadar pati dalam

tepung pati talas adalah 74,34 %. Kandungan kimia tepung talas dapat dilihat pada

Tabel 1 dan kandungan gizi talas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan Kimia Tepung Talas

Kandungan kimia Jumlah (%)

Kadar pati 70,92

Kadar amilosa 21.44

Kadar amilopektin 78.56

Serat kasar 5.30

Sumber : Hartati dan Prana (2003)

(16)

5

Tabel 2. Kandungan Gizi 100 Gram Pada Talas

Kandungan gizi Jumlah

Energi (kal) 120

Bagian yang dapat dimakan (%) 85

Sumber : Sofiana (2009)

B. Pati

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang

berbeda-beda dengan mikroskop. Jenis pati dapat diberbeda-bedakan karena mempunyai bentuk,

letak hilum yang unik, dan juga letak “

birefringence

”. Pati mempunyai dua ujung

berbeda, yakni ujung non reduksi dengan gugus OH bebas yang terikat pada atom

nomor 4 dan ujung pereduksi dengan gugus OH anomerik. Gugus hidroksil dari

polimer berantai lurus / bagian lurus dari struktur berbentuk cabang yang terletak

sejajar akan berasosiasi melalui ikatan hidrogen yang mendorong pembentukan

kristal pati. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan

α

-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya

serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat

dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak

larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dan amilopektin

mempunyai rantai cabang (Winarno, 1989). Karakteristik amilosa dan amilopektin

(17)

6

Tabel 3. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin

Proporsi Amilosa Amilopektin

Bentuk Pada dasarnya linier Bercabang

Ikatan α – 1,4 dan sejumlah sedikit α -1,6 α -1,6

Berat molekul Kurang dari 5 juta 50 – 300 juta

Sifat pelapisan Kuat Lemah

Pembentukan gel Kaku Tidak membentuk gel sampai

lunak Warna dengan

iodine

Biru Coklat kemerahan

Sumber : Estiasih (2006)

1. Amilosa

Amilosa pada dasarnya merupakan polimer linier yang terdiri dari

ikatan

α

– 1,4-D glukopiranosa. Bukti terbaru saat ini menunjukkan

bahwa terdapat sejumlah kecil cabang pada polimer amilosa. Rantai

amilosa berbentuk heliks. Bagian dalam struktur heliks mengandung atom

H sehingga bersifat hidrofob yang memungkinkan amilosa membentuk

komplek dengan asam lemak bebas, komponen asam lemak dari gliserida.

Sejumlah alkohol dan iodin pembentuk komplek amilosa dengan lemak

atau pengemulsi dapat mengubah suhu gelatinisasi, tekstur dan profil

viskositas dari pasta pati (Estiasih, 2006 ). Menurut ( Tranggono, 1991)

pada fraksi linier glukosa dihubungkan satu dan lainnya dengan ikatan

α

-1,4 glikosidik. Fraksi linier merupakan komponen minor yaitu kurang

lebih 17-30% dari total, namun pada beberapa varietas kapri dan jagung,

patinya mengandung amilosa sampai 75%. Warna biru yang diproduksi

oleh pati dalam reaksinya dengan iodin berkaitan erat dengan fraksi linier

tersebut. Rantai polimer ini mengambil bentuk heliks yang kumparannya

(18)

7

kedalam molekul itu karena adanya efek dua kutub reduksi dan akibat

resonansi sepanjang heliks. Setiap satu lengkungan heliks tersusun dari

enam satuan glukosa dan membungkus satu molekul iodin. Panjang rantai

menentukan macam warna diproduksi dalam reaksinya dengan iodin.

Menurut Muchtadi, dkk (1992) enzim alfa-amilase menghidrolisis amilosa

menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan

α

-1,4.

Struktur kimia amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Amilosa (Anonymous, 2009

a

)

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan molekul paling dominan dalam pati.

Polimer amilopektin bercabang yang terdiri dari ikatan

α

-1,4 dan

α

-1,6

pada percabangannya. Dalam granula pati rantai amilopektin mempunyai

keteraturan susunan. Rantai cabang amilopektin mempunyai sifat seperti

amilosa yaitu dapat membentuk struktur heliks diperkirakan 4-6 % ikatan

dalam setiap molekul amilopektin adalah ikatan

α

-1,6. Nilai tersebut

walaupun kecil tetapi mempunyai dampak sekitar lebih dari 20.000

percabangan untuk setiap molekul amilopektin. Sifat amilopektin berbeda

(19)

8

dan pasta yang terbentuk tidak dapat membentuk gel tetapi bersifat lengket

(

kohesif

) dan elastis (

gummy texture

) ( Estiasih, 2006 ).

Selain perbedaan struktur, panjang rantai polimer, dan jenis

ikatannya, amilosa dan amilopektin mempunyai perbedaan dalam hal

penerimaan terhadap iodin. Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat

fisik yang berbeda. Amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan

amilopektin (Subekti, 2007).

Berdasarkan reaksi warnanya dengan iodium, pati juga dapat

dibedakan dengan amilosa dan amilopektin. Pati bila berikatan dengan

iodium akan menghasilkan warna biru karena struktur molekul pati yang

berbentuk spiral, sehingga akan mengikat molekul yodium dan

membentuk warna biru. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa pati akan

merefleksikan warna biru bila polimer glukosa nya lebih besar dari 20

(seperti amilosa). Bila polimer glukosanya kurang dari 20, seperti

amilopektin, akan dihasilkan warna merah atau ungu-coklat. Sedangkan

polimer yang lebih kecil dari lima, tidak memberi warna dengan iodium

(Koswara, 2009).

Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang

terjadinya proses mekar (

puffing

) dimana produk makanan yang berasal

dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,

garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi,

cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses

mekarnya terjadi secara terbatas (Koswara, 2009). Struktur kimia

(20)

9

b

Gambar 2. Amilopektin (Anonymous, 2009 )

3. Dekstrin

Dekstrin adalah golongan karbohidrat dengan berat molekul tinggi

yang dibuat dengan modifikasi pati dan asam. Dekstrin mudah larut dalam air,

lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil daripada pati, sebagai

pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavor, perwarna dan rempah

yang memerlukan sifat mudah larut ketika ditambahkan air serta sebagai filler

(Pulungan dkk, 2004 ).

Dekstrin lebih larut dalam air dingin maupun panas daripada pati.

Dekstrin digunakan sebagai pembentuk lapisan film dan sebagai bahan

pengikat. Dekstrin juga baik untuk bahan pengisi pembawa aroma, koloid

pelindung, dan zat pengemulsi pada minuman. Dekstrin mempunyai viskositas

yang relatif rendah, oleh karena itu pemakaian dalam jumlah banyak masih

diijinkan (Fennema, 1985).

Pada pembuatan dekstrin terjadi transglukosilasi dari ikatan

α

-D

(1,4) glikosidik menjadi

β

-D (1,6) glikosidik. Perubahan ini

(21)

10

mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi dan tidak kental serta lebih

stabil dari pada pati ( Lastriningsih, 1997).

Pada prinsipnya membuat dekstrin adalah memotong rantai

panjang pati dengan katalis asam atau enzim menjadi molekul-molekul

yang berantai lebih pendek dengan jumlah untuk glukosa dibawah

sepuluh. Dalam proses ini molekul-molekul pati mula-mula pecah menjadi

unit-unit rantai glukosa yang lebih pendek yang disebut dekstrin. Dekstrin

ini dipecah menjadi glukosa, tetapi banyak sisa cabang pada amilopektin

tertinggal dan disebut dekstrin (Anonymous, 2008)

Dekstrin mempunyai rumus kimia (C

6

H

10

O

5

)

n

dan memiliki

struktur serta karakteristik

intermediate

antara pati dan dekstrosa.

Berdasarkan reaksi warnanya dengan yodium, dekstrin dapat

diklasifikasikan atas amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada

tahap awal hidrolisa, akan dihasilkan amilodekstrin yang masih

memberikan warna biru bila direaksikan dengan yodium. Bila hidrolisa

dilanjutkan akan dihasilkan eritrodekstrin yang akan memberikan warna

merah kecoklatan bila direaksikan dengan yodium. Sedangkan pada tahap

akhir hidrolisa, akan dihasilkan akrodekstrin yang tidak memberikan

warna bila direaksikan dengan yodium (Anonymous, 2008).

Menurut Wales (2009) dekstrin dapat digunakan sebagai bahan

tambahan pada makanan, menambah kekakuan pada tekstil, dan sebagai

bahan pengikat pada obat-obatan. Dibawah ini adalah Gambar struktur

(22)

11

Gambar 3. Dekstrin ( Wales, 2009 )

Pada proses pembuatan dekstrin dengan menggunakan enzim

terjadi melalui dua tahap yaitu tahap gelatinisasi dan tahap liquifikasi.

Tahap gelatinisasi dilakukan agar pati lebih rentan terhadap

serangan enzim (Muchtadi, 1992). Proses gelatiniasi terjadi apabila

suspensi pati ditambah dengan air kemudian dipanaskan, air akan

menembus lapisan luar granula dan granula ini mulai meggelembung. Ini

terjadi saat suhu meningkat dari 60

˚

C - 85

˚

C. Granula dapat

menggelembung hingga volume 5 kali dari volume semula. Ketika ukuran

granula pati membesar campuran menjadi kental. Pada suhu kurang lebih

85

˚

C granula pati pecah dan isinya terdispersi merata keseluruh air

disekelilingnya. Molekul rantai panjang mulai membuka atau terurai

sahingga kental. Molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air

terkurung didalamnya (Gaman, 1994 ).

Tahap liquifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan

meggunakan enzim

α

-amilase. Tahap liquifikasi dilakukan sampai

mencapai derajat konversi sekitar 10-20 % DE atau sampai cairan

(23)

12

Tujuan proses ini adalah untuk melarutkan pati secara sempurna,

mencegah isomerisasi gugus pereduksi dari glukosa dan mempermudah

kerja enzim

α

- Amilase untuk menghidrolisa pati ( Judoamidjojo, 1992 ).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses liquifikasi

adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu

tinggi, pengaturan suhu dan lamanya, serta penggunaan pH disesuaikan

dengan enzim yang digunakan, tetapi apabila terlalu rendah akan

mengakibatkan gelatinisasi tidak sempurna (Norman, 1991 dalam

Muchtadi, 1992). pH diatur 5.8-6.2, kemudian ditambah dengan kofaktor

enzim CaCl2

( Jariyah, 2002 ). Fungsi penambahan NaOH atau CaCl2

selain untuk menaikan pH suspensi pati sekaligus juga menyediakan

kalsium untuk menjaga aktifitas dan stabilitas enzim. Dalam proses

liquifikasi konsentrasi pati yang digunakan adalah 30-40 % berat pati

kering dengan pH 6-6.5, konsentrasi enzim

α

- Amilase ( Termanyl 60 )

1.0-1.5 kg/ton pati, suhu berkisar 90

o

C selama 2 jam kemudian

dimasukkan kedalam autoclave 105

o

C selama 5 menit dan didinginkan

sampai 95-100

o

C selama 60-120 menit ( Judoamidjojo, 1992 ). Dibawah

(24)

13

Tabel 4. Syarat Mutu Dekstrin

Uraian Satuan Persyaratan

Warna - Putih sampai

kekuning-kunigan

Warna dengan larutan lugol - Ungu kecoklatan Kehalusan mesh 80, % b/b - Minimal 90 ( lolos )

Dekstrosa % Maksimal 5

Derajat asam Ml NaOH

0.1 N 100g

Maksimal 5

Cemaran logam : - Timbal (Pb)

Cemaran mikroba : - kapang dan ragi - ragi

- total aerobic plate count - bakteri coliform

- salmonella

C. Hidrolisis Pati Secara Enzimatis

Hidrolisis enzim

α

-amilase pada molekul pati terjadi 2 tahap. Tahap

pertama yaitu degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi

secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunya

viksositas dengan cepat pula. Degradasi sangat lambat terjadi pada saat

pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Tahap kedua yaitu

degradasi amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis

α

-limit dekstrin. Jenis

α

-limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau

lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan

α

-1,6. Hidrolisis amilosa

(25)

14

atau glikogen. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun,

dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai lurus (Winarno, 1995).

Hidrolisis pati dengan menggunakan katalis enzim memiliki beberapa

kelebihan dibandingkan dengan katalis asam. Menurut Judoamijoyo

et al

( 1989)

kelebihan enzim sebagai biokatalis diantaranya adalah reaksi hidrolisis yang

terjadi beragam ( “ Singgle chain attack “, “ Multi chain attack “,” dan Multiple

attack”) kondisi proses yang digunakan tidak ekstrim ( suhu sedang dan pH

mendekati netral), mengurangi jumlah energi yang digunakan, tingkat konversi

yang lebih tinggi, polutan lebih rendah dan diperoleh reaksi yang spesifik.

Dibawah ini adalah Gambar hidrolisa pati oleh enzim

α

-amilase.

α

- Amilae

Amilum

Amilodekstrin Erytrodekstrin Akrodekstrin

(Pati) ( + Iodium ) ( Biru tua ) ( merah ) ( tidak berwarna )

Maltosa

( tidak berwarna )

Gambar 4. Hidrolisa pati oleh enzim

α

-amilase ( Anonymous, 2006)

Menurut ( Tranggono, 1990) proses Hidrolisa pati pada dasarnya adalah

pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit glukosa (C6H12O6) atau dekstrosa

( C6H10O5)n. Produk- produk hasil hidrolisis pati umumnya dikaterisasi berdasar

tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (

Dextrose

Equivalent

) yang didefinisikan sebagai banyaknya total gula pereduksi dinyatakan

sebagai dekstrosa dan dihitung sebagai prosentase terhadap total bahan kering.

(26)

15

derajat konversi tersebut dinyatakan dengan

Dextrose equivalent

(DE), dari

larutan tersebut diberi indeks 100 (Tjokroadikusoema, 1986).

Dextrose Equivalent

(DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total

pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE berhubungan

dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam

satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa sehingga maltosa

memiliki DP 2 dan DE 50 (Wurzburg, 1989 dalam Subekti, 2008).

Secara komersial penggunaan pati dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin

besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula

pereduksi. Berikut ini adalah jenis pati dan penggunaannya berdasarkan

perbedaan nilai DE (Subekti, 2008 )

Tabel 5. Penggunaan Hasil Hidrolisis Pati berdasarkan Nilai DE

Nama Hasil Hidrolisis Pati Nilai DE Aplikasi Penggunaan Maltodekstrin 2-5

5

9-12

15-20

Pengganti lemak susu didalam makanan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan eskrim

Bahan tambahan margarin

Cheescake filling

Produk pangan berkalori tinggi

Thin boiling starch >20 Kembang gula, pastelis dan jeli

Oligosakarida Sekitar 50 Pemanis

Sumber : Subekti (2008) (diambil dari beberapa sumber)

D. Enzym

α

-Amilase

Enzym

α

-amilase (

α

- 1,4 glukan-4- glukanhidrolase, ( EC.3.2.1.1. ))

(27)

16

dari

Aspergillius oryzae

dan

Bacillus subtilis.

Isolasi dari porcine ( pemurnian

enzim) dilakukan berdasar fraksinasi dengan garam, juga dengan panas selektif

(pada suhu 70

˚

C-90

˚

C dan pH 6 selama 15 menit) kemudian dilakukan

pencampuran glikogen sehingga terjadi komplek enzim-glikogen ( Winarno,

1995). Enzym

α

-amilase adalah endo-enzim yang bekerjanya memutus ikatan

α

-1,4 secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun amilopektin.

Pengaruh aktivitasnya, pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai

sepanjang 6-10 unit glukosa (Tjokroadikusoema,1986).

Menurut Winarno (1995) enzim amilase merupakan enzim pemecah pati

atau glikogen, enzim amilase dapat dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu :

1.

α

-amilase adalah suatu enzim pemecah pati secara acak dari tengah atau

dari bagian dalam molekul, disebut endo amilase

2.

β

-amilase, menghidrolisis unit gula dari ujung molekul pati dan disebut

ekso amilase

3.

Gluko amilase adalah enzim yang dapat memisahkan glukosa dari

terminal gula non pereduksi substrat pati.

Suatu endo enzim yang dapat memecah ikatan

α

-1,4 glikosidik dari pati

secara random disebut

α

-amilase. Hidrolisis pati oleh

α

-amilase akan

menghasilkan molekul-molekul yang kecil seperti maltosa, maltotriosa, glukosa,

dan oligometrik dekstrin. Terbentuknya molekul dekstrin disebabkan karena

masih adanya ikatan

α

-1,6 glikosidik yang tidak dapat dipecah oleh enzim ini (

Wirakartakusumah et al, 1984).

Enzim merupakan molekul protein tak hidup yang dihasilkan oleh setiap

(28)

17

tinggi. Enzim tidak mengubah konstanta keseimbangan reaksi kimia. Kecepatan

reaksi enzim dipengaruhi oleh suhu, pH, pelarut dan faktor-faktor lingkungan

lainya (Suhartono, 1989)

Berat molekul

α

-amilase kurang lebih adalah 50.000. Setiap molekul

mengandung satu ion Ca

2+. Dengan filtrasi gel ( Sephadex) dapat dipisahkan dua

jenis

α

-amilase, yaitu yang cepat bergerak dengan BM 50.000 dan yang lambat

dengan BM 100.000. Enzim dengan BM 50.000 merupakan monomer enzim

α

-amilase. Enzim dimer terjadi bila ada ion zinc, dan kedua enzim dihubungkan

melalui ion zinc tersebut. Aktifitas

α

-amilase ditentukan dengan mengukur hasil

degradasi pati. Biasanya dari penurunan kadar pati yang larut atau dari kadar

dekstrinya dengan menggunakan substrat jenuh. Hilangnya substrat dapat diukur

dengan pengurangan derajat pewarnaan iodium terhadap substrat. Kinetika reaksi

α

-amilase memang agak sulit, sebab sifat hidrolisisnya beraneka ragam terhadap

berbagai substrat, apalagi bila hasil hidrolisis pertama ternyata menjadi substrat

baru bagi enzim yang sama sampai mengahasilkan maltosa dan triosa ( Winarno,

1985 ).

Enzim

α

-amilase yang diproduksi oleh Novozyme dengan merk

Lyquozime

®

Supra yang diproduksi dengan modifikasi gen dari strain

Bacillus

licheniformis

. Lyquozime

®

Supra adalah cairan berwarna coklat dengan densitas ±

1.25 g/ml, yang memiliki aktifitas sebesar 90 KNU (T)/g dan 45 KNU (S)/g, pada

suhu 105-110

˚

C (221-230

˚

F ) dan pH 5.1-5.6 dengan kisaran waktu 60-180 menit.

Dianjurkan oleh FAO/WHO JFCFA dan FCC, pemakaian dosis

α

-amilase adalah

0.25-0.65 kg per ton pati pada pH 5.3 dan tingkat kalsium 5-20 ppm (

(29)

18

Menurut Agustina ( 2006 ) Berdasarkan hasil analisa rerata aktifitas

α

-amilase yang diproduksi oleh Novozyme dengan merek Lyquozime

®

Supra

adalah 54.9094 unit/ml enzim. Pada substrat larutan pati murni 1% dengan

konsentrasi enzim sebesar 0.065 % (b/b) dengan lama hidrolisa selama 10 menit

pada pH 5.3 dan suhu 95

˚

C.

Enzim komersial yang digunakan oleh industri biasanya berasal dari

Bacillus amylotiguitaciens

dan

Bacillus licheniformis.

Keduanya merupakan

enzim yang bersifat termostabil.

Bacillus amylotiguitaciens

optimum pada pH 5-8

dan suhu 50-70

˚

C sedangkan

Bacillus licheniformis

optimum pada pH 6-7 dan

suhu 85

˚

C (Suhartono, 1989).

Menurut (Rodwell, 1987) faktor utama yang mempengaruhi aktifitas

enzim adalah :

1.

pH

Enzim mempunyai aktifitas maksimal pada kisaran pH yang

disebut pH optimum. Suasana terlalu asam atau alkali akan mengakibatkan

denaturasi protein dan hilangnya secara total aktifitas enzim. pH optimal

untuk beberapa enzim pada umumnya terletak diantara netral atau asam

lemah yaitu 4,5-8. pH optimum sangat penting untuk menetukan

karakteristik enzim. Pada substrat yang berbeda, enzim memiliki pH

optimum yang berbeda ( Tranggono dan Sutardi, 1990). Menurut Winarno

( 1995) enzim yang sama mempunyai pH optimum yang berbeda

(30)

19

2.

Suhu

Enzim mempercepat reaksi kimia pada sel hidup. Dalam

batas-batas suhu tertentu kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan naik bila

suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum (

Rodwell, 1987). Oleh karena itu penentuan suhu optimum aktivitas enzim

sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim

akan naik tetapi aktifitas turun, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas

enzim tinggi tetapi kestabilan rendah ( Muchtadi dkk, 1988) namun,

kecepatan akan menurun drastis pada suhu yang lebih tinggi. Hilangnya

aktifitas pada suhu tinggi karena terjadinya perubahan konfirmasi thermal

( denaturasi) enzim. Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu sekitar

55-60

˚

C ( Rabyt and White, 1987)

3.

Konsentrasi substrat

Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada

konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi

substrat meningkat, peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil

hingga tercapai pada suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan

konsentrasi substrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan (

Lehninger, 1997) hal ini disebabkan semua molekul enzim dalam

membentuk ikatan komplek dengan substrat tidak berpengaruh pada

(31)

20

4.

Pengaruh konsentrasi enzim

Kecepatan reaksi dalam reaksi enzim sebanding dengan

konsentrasi enzim, semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan

reaksi akan semakin tinggi sehingga pada batas konsentrasi tertentu

dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan tingginya konsentrasi enzim

yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif ( Martin, 1983)

5.

Aktivator dan inhibitor

Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya.

Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat menaikan kecepatan reaksi

enzimatis. Komponen kimia yang membentuk aktifitas enzim disebut juga

kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn

2+

, Fe

2+

,

Ca

2+

, Mn

2+

, Cu

2+

dan Mg

2+

atau dapat pula sebagai molekul organik

komplek yang disebut koenzim. Pada umumnya ikatan senyawa organik

dengan protein enzim itu lemah apabila ikatanya kuat disebut gugus

prostetis ( Martoharsono, 1984).

E. Foam Mat Drying

Salah satu metode yang sering digunakan pada pembuatan produk pangan

siap saji adalah metode

foam mat drying

.

Foam mat drying

(pengeringan busa)

tergolong dalam

atmospheric drying

. Metode pengeringan busa digunakan untuk

mengeringkan bahan berbentuk cair (Anonimous, 2001).

Foam

menyangkut campuran cair dan gas. Pembentukan busa memerlukan

(32)

21

dkk., 1990). Menurut Baniel, dkk (1997),

foam

(busa) dapat didefinisikan sebagai

suatu sistem yang terbentuk oleh dua fase, yaitu udara sebagai fase terdispersi dan

air sebagai fase kontinyu. Salah satu metode yang telah digunakan untuk

membentuk

foam

adalah dengan pengocokan dengan menggunakan

mixer

.

Foam mat drying

adalah cara pengeringan bahan berbentuk cair yang

sebelumnya dijadikan foam terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembuih

(Desrosier, 1988).

Karim dan Wai (1988) dan Anonimous (2001), menyatakan bahwa metode

pengeringan busa diaplikasikan pada bahan pangan yang sensitif terhadap panas.

Dalam proses pengeringan busa, bahan makanan yang berbentuk cair atau semi

cair dikocok hingga berbentuk busa yang stabil dan selanjutnya dikeringkan

dengan pemanasan. Setelah dilakukan pemanasan, bahan dihancurkan menjadi

bentuk bubuk.

Menurut Woodrof dan Luh (1975), makanan yang dikeringan dengan

metode

foam mat drying

mempunyai struktur yang mudah menyerap air, sehingga

makanan tersebut mudah untuk dilarutkan dalam air dingin. Keuntungan

pengeringan menggunakan metode

foam mat drying

menurut Karim dan Wai

(1988) dan Kumalaningsih (2005), antara lain :

1.

Bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses pengocokan

dan pencampuran sebelum dikeringkan.

2.

Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka

akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu

(33)

22

kadar air hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada

suhu 71ºC dapat menghasilkan kadar air 2%.

3.

Bubuk yang dihasilkan dengan metode

foam mat drying

mempunyai

kualitas warna dan rasa yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh

suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi sehingga warna produk tidak

rusak dan rasa tidak banyak yang terbuang.

4.

Biaya pembuatan bubuk dengan menggunakan metode

foam mat drying

lebih murah dibandingkan dengan metode vakum atau

freeze drying

sebab

tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga energi

yang dibutuhkan untuk pengeringan lebih kecil dan waktunya lebih

singkat.

5.

Bubuk yang dihasilkan mempunyai densitas yang rendah (ringan), dengan

banyak gelembung gas yang terkandung pada produk kering sehingga

mudah dilarutkan dalam air.

6.

Foam mat drying

baik digunakan karena strukturnya mudah menyerap air,

dan relatif stabil selama penyimpanan.

Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh kecepatan

pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu dan konsentrasi

bahan pengisi yang tepat. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan hilangnya

senyawa-senyawa volatil atau yang mudah menguap seperti aroma dan

mempercepat reaksi pencoklatan dalam bahan pangan, sedangkan suhu yang

terlalu rendah akan menyebabkan proses pengeringan kurang efisien dan juga

(34)

23

Pengeringan bahan pangan sampai kadar airnya dibawah 5% akan dapat

mengawetkan rasa dan nutrisi serta dapat disimpan untuk jangka waktu yang

lama. Sedangkan karakteristik bahan pangan bubuk memiliki kadar air 2-4%

(Kumalaningsih, dkk., 2005).

F. Tween 80

Tween 80 termasuk golongan non ionik surfaktan dimana bahan asalnya

adalah alkohol hensanhidrat, alkalin oksida dan asam lemak sifat hidrofilik

diberikan oleh gugus hidroksil bebas oksietilena (Belitz dan Grosch, 1987).

Daya kerja pengemulsi disebabkan oleh bentuk molekul yang dapat terikat

pada minyak dan air. Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis

emulsifier

adalah berdasarkan HLB (

Hidrophilic Lipophilic Balance

),

emulsifier

yang memiliki nilai HLB rendah (2-4) cenderung larut minyak, sedangkan yang

memiliki HLB tinggi (14-18) cenderung larut air (Winarno, 1992).

Nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak

dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang yang kecil

mampu menurunkan tegangan muka antara air dan minyak pada emulsi air dalam

minyak. Tween 80 memiliki nilai HLB 15 yang sifatnya cenderung larut dalam air

dan cocok dengan sistem emulsi “oil in water” (Belitz and Grosch, 1987).

Tween 80 adalah kelompok ikatan sorbitan ester yang dibentuk oleh reaksi

antara sorbitol dan asam lemak juaga etilen oksida, sehingga membentuk senyawa

dengan lapisan yang aktif (

Emulsifying agent

), yaitu zat untuk membuat bentuk

(35)

24

Pemakaian tween 80 pada konsentrasi 0,04 – 0,1% dapat bekerja sebagai

bahan pendorong pembentukan

foam

, tetapi pada konsentrasi 0,005% tween 80

bekerja sebagai pemecah buih (Tranggono, dkk., 1990). Tween 80 dalam

konsentrasi tertentu dapat berfungsi sebagai pendorong pembentukan busa (

foam

),

dalam bentuk busa permukaan partikel membesar dan dapat mempercepat

pengeringan (Kumalaningsih, dkk., 2005).

Penambahan Tween 80 adalah sebagai media pembentuk busa pada

pengeringan dengan metode foam mat drying. Tween 80 dapat meningkatkan

viskositas fase pendispersi dan membentuk lapisan tipis yang kuat yang dapat

mencegah penggabungan fase terdispersi sehingga tidak terjadi pengendapan

(Mustaufik, dkk., 2000).

G. Analisa Keputusan

Keputusan adalah kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan

yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah

proses yang mencakup semua pemikiran kegiatan yang diperlukan guna

membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik ( Siagian,1987).

Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan

kuantitatif yang tidak hanya menjelaskan mengenai proses pengambilan

keputusan tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (

(36)

25

H. Analisa Finansial

Analisa finansial / kelayakan adalah analisa yang dilanjutkan untuk

meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji,

diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat

berkembang atau tidak. Analisa kelayakan tersebut dibagi menjadi 5 tahap yaitu

dengan persiapan, tahap penelitian, tahap penyusunan, tahap evaluasi proyek.

Data harga-harga van buku dan van penunjang lainya dapat digunakan sebagai

dasar perhitungan kelayakan finansial pada produk dektrin. Analisa finansial yang

dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan metode Net Present Value (NPV),

Rate Of Return

(ROR) dengan metode

Internal Rate Of Return

(IRR), Break Even

Point (BEP) dan Payback Period (PP), (Susanto dan Saneto, 1994).

1.

Break Even Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Studi kelayakan merupakan pekerjaan membuat ramalan atau

tafsiran yang didasarkan atas anggapan-anggapan yang tidak selalu bisa

dipenuhi. Konsekuensinya adalah bisa terjadi penyimpangan-

penyimpangan. Salah satu penyimpangan itu ialah apabila pabrik

berproduksi di bawah kapasitasnya. Hal ini menyebabkan pengeluaran

yang selanjutnya mempengaruhi besarnya keuntungan

Suatu analisa yang menunjukan hubungan antara keuntungan,

volume produksi dan hasil penjualan adalah penentuan

Break Even Point

(BEP). BEP adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang

menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besar

nilai atau hasil penjualan atau laba. Jadi pada keadaan tertentu tersebut

(37)

26

Untuk memperoleh keuntungan maka usaha tersebut harus

ditingkatkan dari penerimaanya harus berada di atas titik tersebut.

Penerimaan dari penjualan dan ditingkatkan melalui 3 cara. Yaitu

menaikkan harga jual per unit, menaikkan volume penjualan dan

menaikkan harga jualnya.

Rumus berikut untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :

a.

Biaya Titik Impas

BEP (Rp) = Biaya Tetap

1- (biaya tidak tetap/pendapatan)

b.

Unit Titik Impas

BEP (Unit) =

Biaya Tetap

Harga jual - (biaya tidak tetap/kapasitas produksi)

2.

Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto, 1994)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan

sekarang dengan nilai sekarang. Bila dala analisa diperoleh nilai NPV

lebih besar dari 0 (nol), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika

dalam perhitungan diperoleh dari NPV lebih kecil dari 0, maka proyek

tersebut tidak layak untuk dilaksanakan

Rumus NPV adalah:

n

(38)

27

3.

Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk

pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat

berupa prosentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback

Periode tersebut (<) nilai ekonomis proyek. Untuk industri pertanian

diharapkan nilai tersebut lebih kecil 10 tahun atau sedapat mungkin

kurang dari 5 tahun. Rumus penentuan adalah sebagai berikut:

I

Payback Periode =

A

b

Keterangan

:

I = biaya investasi yang diperukan

A

b

= Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya

4.

Internal Rate Of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate Of Return merupakan tingkat bunga yang

menunjukan persamaan antar interval penerimaan bersih sekarang

dengan jumlah investasi awal dari suatu proyek yang dikerjakan.

Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila

(39)

28

IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku maka proyek tersebut

dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.

NPV

IRR = 1 +

( i’ - i )

NPV + NPV’

Keterangan =

NPV = NPV positif hasil percobaan nilai

NPV’ = NPV negatif hasil percobaan nilai

i = Tingkat bunga

5.

Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto,

1994)

Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya

kotor yang di present valuenkan (dirupiahkan sekarang ).

n

B

t

Gross B/C =

t=1

(1+i )

Keterangan

:

B

t

= Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t

C

= Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek

i = Suku bunga bank

I. Landasan Teori

Dekstrin adalah golongan karbohidrat dengan berat molekul tinggi yang

dibuat dengan modifikasi pati dengan asam atau enzim. Dekstrin mudah larut

(40)

29

sebagai pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavor, perwarna dan

rempah yang memerlukan sifat mudah larut ketika ditambahkan air serta sebagai

filler ( Pulungan dkk, 2004 ). Dalam pembuatan dekstrin terjadi transglukosilasi

dari ikatan

α

-D(1,4) glikosidik menjadi

β

-D (1,6) glikosidik. Perubahan ini

mengakibatkan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah

larut dalam air ( Lastriningsih, 1997). Pati yang sudah pernah dibuat dekstrin

antara lain dari pati ubi jalar ungu ( Triyono, 2006), tepung tapioka ( Trubus,

2009).

Keunggulan umbi talas antara lain mempunyai kadar pati dalam tepung talas

yang lebih tinggi yaitu (74,34 %) ( Setyowati, dkk 2007) dengan kadar amilosa

(21.44%) dan amilopektin (78.56%) (Hartati dan Prana, 2003) sedangkan kadar

pati tepung ubi kayu (65.46%) (Senoaji dan Purnomo, 2009) dan kadar pati

tepung ubi jalar ungu ( 71,1065 %) (Herdiana, 2007) dari kandungan pati talas

tersebut dapat dimanfaatkan untuk dijadikan dekstrin.

Pada proses pembuatan dekstrin dengan menggunakan enzim terjadi

melalui dua tahap yaitu tahap gelatinisasi dan tahap liquifikasi.

Tahap gelatinisasi dilakukan agar pati lebih rentan terhadap serangan

enzim ( Muchtadi, 1992 ). Proses gelatinisasi terjadi apabila pati mentah

dimasukan kedalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan

membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakkanya terbatas (

Winarno, 2002).

Tahap liquifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan meggunakan

enzim

α

-amilase. Tahap liquifikasi dilakukan sampai mencapai derajat konversi

(41)

30

direaksikan dengan larutan iodium. Tujuan proses ini adalah untuk melarutkan

pati secara sempurna, mencegah isomerisasi gugus pereduksi dari glukosa dan

mempermudah kerja enzim

α

- Amilase untuk menghidrolisa pati ( Judoamidjojo,

1992 ).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses liquifikasi adalah

konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan

suhu dan lamanya proses liquifikasi, serta penggunaan pH disesuaikan dengan

enzim yang digunakan, tetapi apabila terlalu rendah akan mengakibatkan

gelatinisasi tidak sempurna (Norman, 1991 dalam Muchtadi, 1992).

Suatu endo enzim yang dapat memecah ikatan

α

-1,4 glikosidik dari pati

secara random disebut

α

-amilase ( Wirakartakusumah

et al

, 1984). Suhu optimum

α

-amilase adalah antara 70-90

˚

C dan stabil pada pH 6-10. Stabilitas enzim dalam

larutan meningkat dengan penambahan garam-garam kalsium. Pengaruh ini

sangat penting pada suhu diatas 65

˚

C, meskipun dengan penambahan yang sangat

rendah. Penambahan garam kalsium pada umumnya disarankan untuk mencegah

denaturasi protein enzim karena panas ( Reed, 1980 dalam Muchtadi, 1992 ).

Kalsium yang berikatan dengan molekul enzim, membuat enzim

α

-amilase relatif

tahan terhadap suhu ( > 70

˚

C ) dengan pH ( < 6.5 ) ( Stein dan Fische, 1958 dalam

Muchtadi, 1992 ).

Pada proses liquifikasi konsentrasi pati yang digunakan adalah 30-40 %

berat pati kering dengan pH 6-6.5, konsentrasi enzim

α

- amilase ( Termanyl 60)

1.0-1.5 kg/ton pati, pada suhu 90

˚

C selama 2 jam kemudian dimasukan kedalam

autoclave 105

˚

C selama 5 menit dan didinginkan sampai 95-100

˚

C selama

(42)

31

Dalam penelitian ini jenis dekstrin yang akan dibuat adalah erytrodekstrin

dengan DE kurang lebih 20%. Erytrodekstrin memberikan warna coklat

kemerahan apabila direaksikan dengan iodium ( Anonymous, 2006 ), sedangkan

DE 20 % dapat digunakan pada produk pangan berkalori tinggi ( Subekti, 2008 ).

Bahan yang digunakan dalam pembuatan dekstrin tersebut adalah pati talas

dengan penambahan enzim

α

-amilase ( Liquozyme supra ). Adapun mekanisme

pembuatan dekstrin tersebut adalah suspensi pati talas yang dipanaskan

mengalami proses gelatiniasi kemudian proses liquifikasi. Pada proses liquifikasi

ini granula pati terhidrolisa oleh enzim

α

-amilase yang akan menghasilkan

molekul-molekul kecil seperti maltosa, maltotriosa, glukosa dan oligometrik

dekstrin. Terbentuknya molekul dekstrin disebabkan karena masih adanya ikatan

α

-1,6 glikosidik yang tidak dapat dipecah oleh enzim ini ( Wirakartakusumah

et

al

, 1984). Enzim

α

-amilase dalam mendegradasi ikatan

α

-1,4 glikosidik terjadi

sangat cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas yang sangat cepat ( Forgaty,

1983 dalam Muchtadi, 1992 ).

J. Hipotesa

-

Diduga dengan adanya perlakuan waktu liquifikasi dan konsentrasi enzim

(43)

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Analisa Pangan dan Kimia Pangan

Program Studi Teknologi Pangan Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran”

Jawa Timur dan dilakukan pada bulan Februari - Mei tahun 2010.

B. Bahan – Bahan

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan dekstrin adalah umbi talas

dengan jenis talas bentul yang diperoleh dari daerah Karangjati-Ngawi, sedangkan

enzim

α

-amilase yang digunakan adalah

α

-amilase yang diproduksi oleh

Novozyme dengan merek Lyquozime

®

Supra yang memiliki aktifitas sebesar 90

KNU (T)/g ( Anonymous, 2001) diperoleh dari PT. Sorini Agro Asia Corp. Tbk,

Pandaan-Pasuruan.

Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai pendukung adalah : aquadest,

kertas pH, kertas saring, CaCl2

20 ppm, HCl 0.1 N, NaCl, Malam. Bahan kimia

untuk analisa meliputi : Larutan HCL 0.1 %, KI 20 %, NaOH 0.1 %, larutan Luff

Schoorl, larutan Fehling A dan B, Methylene blue, Etanol 95%, Asam asetat 1N,

Larutan Iod 1%, Alkohol, dan Indikator pati.

(44)

33

C. Alat- alat

Alat yang digunakan untuk pembuatan dekstrin adalah : Timbangan

analitik, Pemanas listrik, Beaker glass, Autoclave, Labu layer tiga, Erlenmeyer,

Thermometer, PH meter, Pengaduk otomatis, selang, Pendingin dan Oven.

Sedangkan Alat-alat untuk analisis meliputi : Oven, Buret, Gelas ukur, Labu

didih, Deksikator, Timbangan dan peralatan gelas lainya.

D. Metode Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Penelitin ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2

faktor dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali, data yang

diperoleh dianalisa dengan analisis varian (ANOVA) apabila terdapat beda

nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT 5%).

Menurut Gasperz (1994), model matematika untuk percobaan faktorial

yang terdiri dari dua faktor yang menggunakan dasar Rancangan Acak

Lengkap adalah sebagai berikut :

Yijk = µ +

α

i +

β

j + (

αβ

)ij +

Є

ij

; i = 1 ,………….., a

j = 1 ,………….., b

k = 1 ,………….., c

dimana :

Yijk

: Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij ( taraf ke-I dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

)

(45)

34

α

i

: pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A

β

j

: pengaruh aditif ke-j dari faktor B

(

αβ

)ij

: pengaruh interaktif taraf ke-I dari faktor A dan taraf ke-j dari

faktor B

Eij

: pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij.

2. Peubah Yang Digunakan

a. Peubah Berubah

a) Faktor I : Waktu Liquifikasi

A1 = 70 menit

A2 = 80 menit

A3 = 90 menit

b)

Faktor II : Konsentrasi Enzim

B1 = 0,25 %

B2 = 0,45 %

B3 = 0,65 %

Dari dua faktor diatas didapat 20 kombinasi

B

A1B1 = Waktu liquifikasi 70 menit dan konsentrasi enzim 0.25 % (b/v)

(46)

35

A1B3 = Waktu liquifikasi 70 menit dan konsentrasi enzim 0.65 % (b/v)

A2B1 = Waktu liquifikasi 80 menit dan konsentrasi enzim 0.25 % (b/v)

A2B2 = Waktu liquifikasi 80 menit dan konsentrasi enzim 0.45 % (b/v)

A

2

B3 = Waktu liquifikasi 80 menit dan konsentrasi enzim 0.65 % (b/v)

A3B1 = Waktu liquifikasi 90 menit dan konsentrasi enzim 0.25 % (b/v)

A3B2 = Waktu liquifikasi 90 menit dan konsentrasi enzim 0.45 % (b/v)

A3B3 = Waktu liquifikasi 90 menit dan konsentrasi enzim 0.65 % (b/v)

b. Peubah Tetap

1.

Pati umbi tales bentul 30 % b/v

2.

Penambahan aquadest sampai 250 ml

3.

Penambahan CaCl2 20 ppm

4.

Pengaturan pH 5.3 dengan penambahan NaOH 1 N 0.1%

5.

Tahap liquifikasi pada suhu 100

˚

C.

6.

Pengadukan 360 rpm

7.

Inaktivasi enzim dengan HCl 0.1 N sampai pH 3.5

8.

Pendinginan 60ºC

9.

Penyaringan dengan kertas saring

10.

Tween 80 (0,1% )

11.

Pengeringan dengan cara

foam mat drying

dan dikeringkan pada

kabinet driyer dengan suhu 60 ºC selama 12 jam

(47)

36

3. Parameter Yang Diamati

-

Analisa bahan awal

1.

Kadar pati (AOAC,1970)

2.

Kadar amilosa (Apriyanto, dkk.,1989)

3.

Kadar amilopektin (Apriyanto, dkk.,1989

4.

Kadar air (AOAC,1970,Sudarmadji, dkk, 1997)

5.

Rendemen

-

Analisa Produk

1.

Kadar air (AOAC,1970,Sudarmadji, dkk, 1997)

2.

Kadar abu (Sudarmadji, dkk 1997)

3.

Nilai DE (%) ( Metode Anthrone Spectrophotometri )

4.

Kadar gula reduksi ( Metode Luff Schrool )

5.

Rendemen

E. Prosedur Penelitian

Umbi disiapkan, dikupas kulitnya dan dicuci. Setelah itu dilakukan

perendaman dengan penambahan NaCL yang berfungsi menghilangkan rasa gatal.

Proses selanjutnya dilakukan pemarutan dan diikuti penyaringan. Penyaringan

bisa dilakukan beberapa kali. Larutan yang dihasilkan diinkubasi selama 24 jam

hingga patinya mengendap. Setelah itu dilakukan pemisahan antara pati basah dan

air. Pati basah tersebut dikeringkan dibawah sinar matahari kemudian dihaluskan,

dilakukan pengayakan dan hasilnya adalah pati. Pati yang dihasilkan dilakukan

(48)

37

Pada tahap liquifikasi dibuat konsentrasi pati sebesar 30 % ( b/v ) dalam

250 ml aquadest, pH diatur 5.3 dengan penambahan NaOH 1N 0.1%, kemudian

ditambah kofaktor CaCl2 20 ppm,

α

- amilase sebanyak 0.25% (b/b), 0.45% (b/b),

0.65% (b/b) ), dilakukan liquifikasi pada suhu 100

˚

C selama 70, 80 dan 90 menit,

dilakukan pengadukan 360 rpm dan dilakukan uji dengan iodine kemudian

dilakukan inaktivasi enzim dengan penambahan HCl 0.1 N 3,5 ml/ liter sampai

pH 3.5 dan dilakukan pendinginan mencapai suhu 60

˚

C kemudian disaring

dengan kertas saring. Hasil liquifikasi dikeringkan dengan cara

foam mat drying

yaitu dikeringkan pada kabinet driyer pada suhu 60

˚

C selama 12 jam, kemudian

dilakukan pengayakan dengan ayakan 80 mesh dan hasilnya adalah dekstrin.

Dekstrin yang dihasilkan dilakukan analisa kadar air, kadar abu, kadar gula

(49)

38

Inkubasi 24 jam

Ekstrasi

Penyaringan II

pemisahan

Pengeringan dibawah sinar

matahari 1 hari

penghalusan

(50)

39

penambahan NaOH 1N; Pengadukan 360 rpm)

Pengeringan (

foam mat drying

)

Pada suhu 60

˚

C selama 12 jam

Gambar 6. Diagram alir pembuatan dekstrin

(51)
(52)

à ã [Content_Types].xml

¢ (

(53)

²x3³3óV‹Û ïª'ÈhchÄM= › I £\

(54)
(55)

±\üb Ù ¨-T¦ŸÊ3 |ŽÙÈ6F

‘ k† Õ÷Ã\¡n„JÉY-ˆ…˧`NHg±m- õÎ3U]àRŽ ùhÞÕ=ô§

-—‹-Ъ £êî…µ ìHasBj}9DùŸ'.ÉÖ;¤èÿz'- È1áÍdñ=hÁƒL p@u ‡'²G¼z §

ÜéBí3 †yG¦=²W6 zSGØù5dnÃä|ÎÊÕC Š@Ú»kÔû€;J Á\i¿ŽÈC 8¯nC$

â \áz9" ¿Û â+ d÷;ý¢è`F)[¾FWjí`²çgÅï¡GE<Ãú÷ÕÜÿ |TÈ ” <Ýû3/

(56)

ÀCü}ÿuÌï ãxm—é

-—Ý'zù ÿÿ PK ! -‘ ·ó N

_rels/.rels

¢ (

(57)
(58)

̤ھ½£

ºPÛ^æôçËOÖ›ƒ›Ô;§< ¯aYÕ Ø›`Gßkxm·‹ PYÈ[š‚g GΰinoÖ/<‘”¡<Œ1«¢â³†A$>"f S ‘Ì

3°£\…ȾTº I

Gambar

Gambar 1. Struktur Kimia Amilosa  ........................................................
Tabel 1 dan kandungan gizi talas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Gizi 100 Gram Pada Talas
Tabel 3. Karakteristik Amilosa dan Amilopektin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi operasi terbaik proses hidrolisa 20 gram pati umbi talas dengan penambahan 15 ml HCl sebagai katalisator di capai pada suhu 110 o C, konsentrasi HCl 1 N dan waktu reaksi

Hubungan antara perlakuan konsentrasi pati dan konsentrasi enzim terhadap kadar gula reduksi dekstrin pati suweg secara enzimatis. Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk masyarakat, termasuk akademisi tentang pengaruh suhu hidrolisis terhadap karakteristik dekstrin dari pati

suhu hidrolisis terhadap karakteristik dekstrin dari pati kentang ( Solanum tuberosum L.) dengan metode enzimatis.. Metode: Umbi kentang dari Pasar Pagi Setia

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang pembuatan dekstrin diantaranya adalah Jati (2006) yang melakukan penelitian tentang pengaruh waktu hidrolisis dan

Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup, dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reak si biokimiaα - amilase merupakan

Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase,

Kondisi operasi terbaik proses hidrolisa 20 gram pati umbi talas dengan penambahan 15 ml HCl sebagai katalisator di capai pada suhu 110 o C, konsentrasi HCl 1 N dan waktu reaksi