• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN ASPEK EKOLOGI DENGAN LOKASI SITUS CANDI DI BALI TAHUN 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KETERKAITAN ASPEK EKOLOGI DENGAN LOKASI SITUS CANDI DI BALI TAHUN 2015."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN ASPEK EKOLOGI DENGAN

LOKASI SITUS CANDI DI BALI

Oleh:

I Wayan Srijaya

PRODI ARKEOLOGI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii RINGKASAN

Pulau Bali memiliki sejumlah bangunan candi , ada yang dibangun secara monumental, tetapi ada pula yang didirikan dengan bentuk pahatan candi tebing. Kedua bentuk candi itu pada dasarnya didirikan sebagai media pemujaan terhadap kepercayaan yang berkembang saat itu. Dari segi kepercayaan yang melatarbelakanginya ada candi Budha dan ada juga candi Hindu. Dalam kesempatan ini yang dibahas hanyalah yang berupa pahatancandi-candi yang ditemukan di beberapa daerah aliran sungai(DAS) tanpa melihat perbedaan latar belakang kepercayaannya. Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memahami keterkaitan antara aspek ekologis dengan lokasi situs-situs candi yang ada di Bali. Dengan memahami kondisi ekologis situs-situs candi tersebut maka dapat pula diketahui mengenai alasan-alasan pemilihan lokasi situs-situs tersebut. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu studi pustaka, observasi, dan wawancara; sedangkan analisis menggunakan analisis deskripstif kualitatif.

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka penelitian dengan judul “Keterkaitan Aspek Ekologi dengan Lokasi Situs Candi di Bali” ini dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan trimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Ibu Prof.Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha,M.A, atas segala kemudahanan yang telah diberikan selama kegiatan ini berlangsung;

2. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Bali, NTB, dan NTT Bapak Drs. I Wayan Muliarsa, yang telah memberikan ijin untuk menggunakan inventarisasi yang dimilikinya sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan;

3. Para pemangku pura yang dijadikan objek penelitian yang telah memberikan kemudahan dan informasi yang diperlukan penulis;

(4)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

RINGKASAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 5

3.1 Tujuan Penelitian... 5

3.2 Manfaat Penelitian... 5

BAB IV METODE PENELITIAN ... 6

4.1 Metode Pengumpulan Data... 6

4.2 Analisis Data ... 7

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

5.1 Teknologi sebagai Alat Adaptasi ... 8

5.2 Pendirian Bangunan Candi di Jawa... 9

5.3 Pendirian Candi di Bali... 13

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 19

6.1 Simpulan ... 19

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

(6)

2

tertentu. Dengan kebudayaan yang mereka ciptakan, mahluk manusia berkembang dan tetap survival karena ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya secara timbal-balik (Purwanto,2005:61).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang ingin di kaji pada kesemptan ini adalah sebagai berikut.

a. Apakah lokasi situs-situs candi yang ada di Bali dipengaruhi oleh factor-faktor ekologis?

b. Apakah pemolaan keruangan situs-situs candi tersebut berkaitan dengan

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk dapat memahami keterkaitan antara aspek ekologis dengan lokasi dari situs-situs candi yang ditemukan di Bali khususnya situs candi tebing, maka diperlukan sejumlah sumber refrensi yang ada kaitannya dengan masalah yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli.

Leslie A. White (1949) sebagaimana di kutip oleh Kresno Yulianto (1990) dalam tulisannya Arti Teknologi bagi Masyarakat Plawangan pada Masa Perundagian, menjelaskan bahwa adaptasi adalah suatu usaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tertentu.Tulisan dari White ini menjadi penting dalam upaya memahami tingkah laku masyarakat masa lalu dalam menentukan lokasi sesuai dengan peradaban yang mereka miliki.

(8)

4

(9)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui Keterkaitan antara Aspek Ekologis dengan Lokasi Situs Candi di Bali, serta dapat mengetahui pola keruangan sebagai akibat bentang lahan yang berbeda-beda.

3.2 Manfaat Penelitian

(10)

6 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan informasi yang memadai terkait dengan judul penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan studi pustka, observasi, dan wawancara.

a. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan langkah awal yang perlu dilakukan dengan tujuan untuk mendapat informasi mengenai objek yang akan diteliti.Berbagai bentuk publikasi yang berkaitan dengan objek penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan interpretasi.Melalui studi pustaka juga dapat dipereoleh data maupun konsep-konsep yang diinginkan.

b. Observasi

Untuk mendapatkan gambaran riil dilapangan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan observasi langsung.Dalam observasi tersebut,peneliti melakukan beberapa kegiatan yaitu mengamati situs-situs yang dijadikan objek, kemudian kondisi ekologis pada setiap situs,selanjutnya mencatat hal-hal yang diperlukan sebagai bahan analisis.

c. Wawancara

(11)

pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan.

4.2 Analisis Data

(12)

8 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknologi sebagai Alat Adaptasi

Strategi adaptasi sebagaimana diuraikan di atas, dapat dijelaskan dari masa berburu dan meramu pada masa prasejarah yang merupakan bentuk adaptasi tertua; dan semakin lama proses penyesuaian kehidupan manusia semakin kompleks, yang akhirnya mahluk manusia sampai pada suatu tingkat kebudayaan tertinggi sehingga berbagai bentuk adaptasi mereka semakin sempurna.Pada masa berburu dan meramu,pola perilaku mahluk manusia yang semata-mata hanya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup pada lingkungan tertentu, maka kebudayaan yang diciptakan disesuaikan dengan bentuk dan bahan bakunya yang masih sederhana. Teknologi yang dikembangkan disebut dengan tehnologi serpih bilah, demikian seterusnya sejalan dengan kemajauan cara-cara berpikir mahluk manusia maka teknologinyapun ikut mengalami kemajuan. Walupun manusia masih mengembangkan pola kehidupan berburu dan mengumpul makanan, namun dalam hal teknologi yang dikembangkan tidak saja terbuat dari batu, tetapi juga sudah dibuat dari tulang binatang yang mereka tangkap(Kaplan dan Manners, 2002:112).

(13)

masih menggunakan batu, tetapi pengerjaannya sudah sedemikian bagus dengan cara mengasah.Dan evolusi teknologi manusia masa lalu mengalami perkembangan yang sangat berarti adalah dengan dikenalnya teknologi peleburan bijih logam (Soejono ed.,1975). Pada kurun waktu ini berbagai bentuk teknologi peralatan berhasil di buat dengan fungsinya yang berbeda-beda. Teknologi peralatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kelangsungan hidup maka dibuatlah berbagai alat-alat yang berhubungan dengan pertanian, sementara untuk memenuhi kebutuhan ritualnya dibuatlah berbagai media seperti nekara perunggu, moko, candrasa (kapak perunggu) yang bentuknya sangat indah dan sebagainya. Itulah sebabnya White menegaskan bahwa dengan kebudayaan yang mereka ciptakan dapat dimanfaatkan untuk proses penyesuaian dengan lingkungan yang sangat ganas.

5.2 Pendirian Bangunan Candi di Jawa

(14)

10

baru itu, tetapi sebaliknya manusia yang membawa peradaban barupun harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masyarat local.

Oleh sebab itulah, kehadiran peradaban Hindu dan Budha ditengah-tengah kebudayaan Indonesia asli tidak menghilangkan akar budaya yang telah berkembang sebelumnya. Malah sebaliknya, kehadiran kebudayaan India dianggap sebagai penyubur kebudayaan yang sudah ada sebagaimana dikemukakan oleh F.D.K Bosch, 1974 dalam bukunya Proses Hinduisasi di Kepulauan Hindia Belanda.Kehadiran peradaban India ke Nusantara yang diperkirakan telah berlangsung sejak abad IV M tidak saja mengantarkan bangsa ini memasuki masa sejarahnya tetapi juga membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan sosial masyarakatnya.Di satu sisi masyarakat Indonesia diantarkan untuk mengenal huruf dan bahasa, tetapi juga diperkenalkannya agama dan organisasi sosialnya. Organisasi sosial yang dikembangkan dapat di lihat dengan munculnya berbagai kerajaan yang tumbuh dan berkembang di nusantara dari kurun waktu abad IV-XV M. Sedangkan sistem keagamaan yang dikembangkan lebih kepada dua agama besar yaitu Hindu dan Budha sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai bukti baik yang tersurat dan tersirat dalam prasasti maupun karya-karya arsitektur keagamaan sebagaimana dapat disaksikan di Sumatra, Jawa dan Bali serta sedikit di Kalimantan dan NusaTenggara Barat (Soemadio ed, 1975; Nurhadi Magetsari, 1980).

(15)

satu bentuk penyesuaian antara konsep India dengan tradisi lokal adalah dalam pembangunan candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Dari sudut arsitekturnya, candi Borobudur merupakan perpaduan antara bangunan teras berundak yang merupakan bentuk arsitektur pada masa pra Hindu dan dipadukan dengan konsep Stupa dalam agama Budha (Soekmono, 1986).Demikian pula dengan tata letaknya dalam satuan lingkungan geografis Kali Elo dan Kali Progo yang memiliki kemiripan dengan pola tata letak stupa Bharhut dalam konteks lingkungan Sungai Gangga dan Sungai Yamuna di India, sebagaimana dikemukakan oleh W.F.Stutterheim (1939) dalam tulisannya yang berjudul Notes

on cultural Relations between South India and Java.

(16)

12

menggunakan Kali Brantas sebagai akses untuk mengadakan kontak-kontak dengan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara.Selanjutnya akan dikemukakan mengenai pendirian bangunan-banguan keagamaan pada masa Hindu-Budha yang lazim disebut dengan nama Candi atau kuil tempat atau pusat upacara keagamaan yang diselenggarakan untuk kepentingan komunitas pendukungnya. Dalam hubungan ini, bahwa hasil penelitian terhadap bentuk, gaya, ukuran dan lain sebagainya serta fungsinya memberi petunjuk adanya keteraturan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa telah ada aturan umum yang dipakai sebagai pedoman dalam mendirikan bangunan candi. Untuk mendapat gambaran mengenai lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat mendirikan banguan candi atau kuil, akan dikemukakan sumber India kuna yang disebut

Manasara-Silpasastra. Dalam kitab ini dibahas mengenai aturan-aturan pendirian kuil di

(17)

tempat dan sebagai pusat serta sasaran pemujaan, harus berdekatan dengan air (Soekmono, 1977: 238). Bilamana air ini tidak ada dari sumber alamiah,hendaknya dibuatkan kolam ataupun dengan cara menempatkan sebuah kendi guna menyediakan air itu.Dengan uraian yang dicontohkan dalam kitab

Manasara-Silpasastra dan Silpaparakasa dapat kita simpulkan bahwa pertimbangan potensi lahan dan air, ikut memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para arsitek masa lalu berkenaan dengan pemilihan lokasi yang akan digunakan sebagai tempat berdirinya bangunan yang bersifat keagamaan (Mundardjito, 2002:12).Oleh karena demikian pentingnya potensi lahan yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan suci, kiranya perlu dipertegas dengan pernyataan Soekmono (1977:238) sebagai berikut”Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri.Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanyalah menduduki tempat nomor dua.”(Ritually,the site of the temple is a Tirtha

whereverit is situated) (Kramrisch,1946:5).

5.3 Pendirian Candi di Bali

(18)

14

Tulisan serupa juga ditemukan di pintu masuk Candi Kalasan yang memuat selain mantra Budha juga berisi angka tahun caka 778 atau 856 M. atas dasar perbandingan dengan tulisan yang ditemukan di Candi Kalasan inilah ditafsirkan bahwa mantra Budha yang ditemukan di Bali di duga juga berasal dari abad yang sama ( Goris, 1948; 1954).Kemudian sumber tertulis lainnya adalah berupa prasasti Trunyan A, yang oleh Goris disebut sebagai prasasti Yumu pakatahu. Namun prasasti-prasasti ini tidak menyebutkan nama raja yang mengeluarkan titah tersebut.

Selanjutnya di Bali juga ditemukan bangunan-bangunan suci baik yang berbentuk pura kuna, maupun candi. Dalam proses pendirian bangunan-bangunan itu, tentu didasari oleh aturan-aturan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hanya saja kita tidak menemukan bukti nyata mengenai aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam mendirikan bangunan yang akan dijadikan tempat keagamaan.Namun demikian, di Bali dalam rangka membangun bangunan suci atau bangunan tradisional Bali terdapat sumber tradisional yang disebut Asta

Bumi dan Asta Kosala-Asta Kosali. Akan tetapi dalam sumber tradisional ini tidak

menjelaskan secara rinci mengenai jenis lahan yang dapat digunakan maupun teknik penmgujian lahan tersebut. Yang dijelaskan dalam sumber tradisional ini lebih kepada masalah ukuran-ukuran, jenis bahan yang dapat digunakan.

Namun demikian, dalam kenyataannya ada suatu keteraturan dalam bentuk, gaya maupun ritual yang harus dijalankan dalam pendirian bangunan suci sebagaimana dijelaskan dalam kitab kuna India Manasara Silpasastra dan

(19)

dalam memilih lokasi dan proses pendirian bangunan suci telah memahami aturan-aturan tersebut walaupun secara tertulis belum ditemukan di Indonesia maupun di Bali,.Tetapi secara lisan mereka kemungkinan mendapat pengetahuan tentang tata cara pendirian bangunan suci dari para imigran India yang datang ke Bali.Hal ini tampak dalam memilih lokasi bangunan suci seperti di puncak bukit, gunung, kemudian dekat dengan sumber mata air atau sungai. Banyaknya bangunan candi yang di bangun dekat sungai atau mata air, mengindikasikan betapa pentingnya peranan air dalam kehidupanan manusia.Demikian pentingnya peranan air suci (tirtha) di kalangan penganut Hindu di India sehingga air selalu disertakan pada setiap upacara. Karena itu pula menjadi syarat dalam mendirikan kuil diusahakan berdekatan dengan air. Suatu tempat suci apabila tidak ada air atau kolam maka dewa-dewa tidak akan berkenan hadir (Kramrisch, 1946: 3-5).

(20)

16

1986:129).Air sebagai lambang kesucian juga terdapat dalam kitab Adiparwa yang menyebutkan air atau tirtha yang berfungsi sebagai pembersih segala mala (kotoran) disebut samantapancakatirtha. Air ini dikatakan dapat menghilangkan segala mala bagi raja yang meninggal dalam peperangan , dan bila mandi pada air itu maka lenyaplah segala mala dan sorgalah yang di dapat.

Selain sebagai simbol kesucian, air juga di kenal sebagai lambang kesuburan. Sebagai lambang kesuburan, kitab Adiparwa Bab XI:4 menguraikan sebagai berikut:

“bhagawan wrhaspati pinaka purohita dening watek dewata. Bhagawan

sukra pinake ppurohita dening daitya, mahyun pwa bhagawan sukra menange ning daitya. Magawe ta sire tapa, umaradhana bhatara paramecwara, sewu tahun lawas nira mengawe tapa, inanugrahan ta sira sang hyang amrta sanjiwani hagening manghuripaken mati hana ta sang jayanti ngaran ira, anak sang hyang indra.sira ta manggunggahi ri bhawan sukra, manak sira sang dewayani, hana nikang widyamrtasanjiwani ri bhawan sukra”

Terjemahannya:

“Bagawan Wrrhaspati menjadi guru para dewa, sedang Bagawan Sukra menjadi guru para Daitya. Sang Sukra menghendaki kemenangan Daitya. Ia bertapa memuja bhatara Prameswara selama 1000 tahun, kemudian dianugrahi amrthasanjiwani, mantra untuk menghidupkan orang yang mati. Ada seorang putra bhatara Indra bernama Sang Jayanti. Ia pergi ketempat bhagawan Sukra, kemudian mempunyai putra Sang Dewayani. Mantra amrthasanjiwani ada pada bagawan Sukra”

(21)

Di Bali bangunan suci, selain dalam wujud sebuah bangunan pura juga terdapat sejumlah bangunan candi. Candi yang di bangun ada dalam wujud monument tiga dimensi seperti halnya candi Mengening, Candi Pura Pengukur-ukuran,Stupa Pegulingan, Stupa Kalibukbuk, tetapi dalam jumlah yang cukup banyak kita temukan dalam wujud dua dimensi seperti kompleks Candi Gunung Kawi Tampaksiring, Candi Krobokan, Candi Kelebutan,Candi Tegalinggah, reruntuhan Stupa Goa Gajah, Candi Jukut Paku, Candi Tatiapi (Suantra dan Muliarsa, 2006).Pada awalnya, di Bali dikembangkan pendirian bangunan candi monumental sebagaimana bangunan stupa Pegulingan, namun kemudian dibangun candi dua dimensi.

(22)

18

fungsi keagamaan yang sama dengan bangunan candi yang monumental, karena pendirian bangunan suci tersebut telah mengikuti syarat keagamaan yaitu di bangun di dekat tirtha atau sungai.Itulah sebabnya, pada abad ke-12 banyak dibangun candi-candi tebing di sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan.

(23)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Oleh karena itu, dapat ditegaskan disini bahwa pembuatan candi padas pada tebing-tebing sungai selain sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya, tetapi juga merupakan suatu upaya efisiensi dalam proses pengerjaanya. Sebaliknya dilihat dari asfek fungsinya, candi-candi yang kebanyakan terdapat pada tebing-tebing sungai telah memenuhi syarat sebagaimana di jelaskan dalam kitab-kitab India kuna bahwa sebuah bangunan suci akan menjadi suci karena lokasinya dekat dengan tirtha atau air.

6.2 Saran

(24)

20

DAFTAR PUSTAKA

Acharya,Prasanna Kumar,1933 Architecture of Manasara. London: Oxford University Press.

Ardika, I Wayan, 1983, Konsep Tirtha dalam Hubungannya dengan Beberapa

situs Arkeologi di Bali. Bali Post, Rabu, 28 Desewmber 1983.

Boner, Alice dan Sadasiwa Rath Sarma, 1966, Silpaprakasa.Leiden;E.J Brill. Bosch, F.D.K. 1974 Masalah Penyebalusan Pengaruh India di Hindia Belanda.

Jakarta:Bratara

Goris, R., 1948 Sejarah Bali Kuna, Singaraja; 1954 Prasasti Bali I. Bandung.NV.Masa Baru

Kaplan,David dan Robert A.Manners, 2002, Teori Budaya..Joyakarta:Pustaka Pelajar.

Kramrisch, Stella, 1946 The Hindu Temple. Calcuta:University of Calcuta India. Yulianto, Kresno, 1990 Arti teknologi bagi Masyarakat Plawangan pada Masa

Perundagian h.42-49 dalam Monumen Karya Persembahan untuk

Prof.Dr.R.Soekmono.Jakarta;Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No

II Edisi Khusus Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Mundardjito, 2002,Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buda

di Daerah Yogyakarta.Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nurhadi Magetsari,1980 Agama Buda di Nusantara. Jakarta; MISI

Poerwanto, Hari, 2006 Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif

Antropologi.Yogyakarta;Pustaka Pelajar.

Soediman, 1986 Kalpataru Lambang Kemakmuran dan Keabadian. Dalam Buku

Bapak Guru Persembahan para Murid untuk memperingati 80 tahun Prof. Dr. A.J.Bernet Kempers. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Soejono, R.P. Ed. 1975 Jaman Prasejarah. Dalam Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespowardojo dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional

Indonesia I Jakarta;Departen Pendidikan dan Kebudayaan.

(25)

Soekmono, R. 1977 Candi Fungsi dan Pengertiannya. Semarang; IKIP Semarang Press

Soemadio, Bambang ed. 1975 Zaman Kuna. Dalam Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespowardojo dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional

Indoseia II. Jakarta;Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Suantara, Made dan I Wayan Muliarsa, 2006 Pura Pegulingan, Tirtha Empul dan

Goa Gajah Peninggalan Purbakala di Daerah Aliran Sungai Pakerisan dan Petanu. Gianyar: Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala

Bali

Stutterheim, W.F. 1939 Notes on Cultural Relations between South India and

Referensi

Dokumen terkait

Abdul Mannan tersebut telah pula menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang memiliki implikasi terhadap munculnya konsep dasar sistem

mengapa Ruben tidak ada di tempat justru pada saat yang krusial dan penting dalam relasinya dengan Yusuf, atau sama sekali tidak diungkapkan bahwa Ruben

dengan alamat email sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.. Bank harus menyampaikan

Para ahli Total Quality Management (TQM), seperti Nasution M.N (2004:18) menyatakan bahwa Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan

Strategi CRM menjadi acuan yang telah direncanakan untuk melakukan langkah-langkah dari aktifitas CRM yang akan dilakukan oleh perusahaan.Penelitian dilakukan

Informasi Mahasiswa ini merupakan Laporan yang dimiliki oleh panitia Penerimaan Mahasiswa Baru , dimana hasil laporan ini akan digunakan untuk Pendataan Mahasiswa

Jika kalimat tersebut dipasifkan dapat menjadi kalimat “gawiannya haja diulahiakan inyatu amun sudah jagaran baduduk.” Selanjutnya, ketransitifan verba manimpas dapat

Para responden sudah menjawab 14 pernyataan dari masing-masing variabel yaitu 7 pernyataan untuk pelatihan Sumber Daya Manusia dan 7 pernyataan untuk pelayanan