• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI MUTU GENETIK SAPI PERAH INDUK FRIES HOLLAND DI DAERAH SENTRA PRODUKSI SUSU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI MUTU GENETIK SAPI PERAH INDUK FRIES HOLLAND DI DAERAH SENTRA PRODUKSI SUSU"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANNEKE ANGGRAENI et al.: Evaluasi Potensi GeneakSapi Perah Betina Fries HollandSebagai Penghasil Bibit

EVALUASI MUTU GENETIK SAPI PERAH INDUK FRIES HOLLAND

DI DAERAH SENTRA PRODUKSI SUSU

ANNEKE ANGGRAENI1 , KusUMA DIWYANT02, LISA PRAHARANI1, AKHMAD SALEH1, dan CHALID TALIB 1 'Balai Penelitian Ternak

P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia 'Pusat Penelitian Peternakan

Jalan Raya Pajajaran, Kav. E 56, Bogor 16151, Indonesia

ABSTRAK

ABSTRACT

ANGGRAENI, A., KUSUMA DIWYANTO, LISA PRAHARANI, AKHMAD SALEH, DAN-CHALID TALIB. 1999/2000. evaluasi mutu genetik sapi perah induk Fries Holland di daerah sentra produksi susu. Laporan Bagian Proyek Rekayasa TeknologiPeternakan ARMP-11 : 296-314.

Usaha sapi perah nasional telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan subsektor peternakan, antara lain sebagai lahan usaha peternak, sumber protein hewani (susu dan daging) masyarakat, serta mendukung kegiatan pembangunan berwawasan lingkungan. Namun kemampuan produksi susu yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan kebutuhannya. Salah satu aspek yang perlu diupayakan untuk meningkatkan produktivitas sapi perah FH melalui program pemuliaan adalah menyediakan sapi perah betina dengan kemampuan genetik produksi susu tinggi. Dengan demikian penelitian bertujuan : 1) mengevaluasi sapi perah betina sebagai bibit (inti, multiplikasi, dan niaga), 2) memberi sertifikasi pada sapi bibit elit atau inti, dan 3) mengetahui potensi pengembangan bibit sapi perah di daerah sentra produksi susu. Evaluasi kemampuan genetik sebagai bibit inti, multiplikasi, dcn niaga dilakukan pada sapi perah betina FH di Balai Bibit BPT-HMTBaturraden. Kemampuan genetik setiap sapi laktasi diestimasi berdasarkan Daya Kemampuan Produksi Susu Tertaksir (Estimated Real Producing Ability/ERPA) dan Nilai Pemuliaan Tertaksir (Estimated Breeding Value/EBV) menurut Schmidt et al., (l988). Parameter genetik ripitabilitas (r) dihitung dengan metoda Intraclass Correlation dan heritabilitas (h2) dengan metoda Paternal Halbsib Correlation menurut Becker (1975). Kabupaten Banyumas, sebagai daerah budidaya peternakan sapi perah FH binaan BPT-HMT Baturraden, atas dasar pertimbangan tiga aspek meliputi ketinggian, kapasitas tampung dan kepadatan penduduk dikaji potensi setiap kecamatannya dalam mendukung pengadaan bibit sapi perah. Kemampuan mengulang sifat produksi susu sapi FH di BPT-HMT Baturraden cukup baik, dengan ripitabilitas = 0,29, sedangkan keragaman genetik (additif) untuk sifat ini rendah, dengan heritabiltas = 0,06. Prestasi produksi susu yang diperoleh sudah cukup tinggi dengan rataan produksi susu 4.064 liter per ekor per laktasi. Sapi dengan peringkat 5, 20, dan 50 % terbaik mempunyai batas minimal EBV berurutan 194 (572-94), +107 (627-94), dan -31 (110-98), yang dapat dikualifikasikan menjadi batas sapi bibit inti, multiplikasi, dan niaga. Dengan mendasarkan pertimbangan pada aspek ketinggian lokasi, kapasitas,-tampung, dan kepadatan penduduk, diketahui sejumlah kecamatan di Kabupaten Banyumas mempunyai prospek yang baik untuk terus dikembangkan budidaya dalam mendukung pengadaan bibit sapi FH, adalah Kecamatan Pekuncen, Cilongok, dan Bcturraden yang mempunyai ketinggian diatas 200 m dpl, dengan penambahan kapasitas tampung lebih dari 8.000 ST, dan kepadatan penduduk kurang dari 1000 orang/

km2-Kata kunci: Produksi susu, betina FH bibit, daerah prospektifpengembangan bibit

ANGGRAENI, A., KUSUMA DIWYANTO, LISA PRAHARANI, AKHMAD SALEH, DANCHALID TALIB. 1999/2000. Evaluation on genetic value of fries holland dairy cow in dairy central area. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II : 296-314.

National dairy cattle improvement has significantly contributed on the livestock sub sector development, such as fields of dairy farmer's income, sources of people's animal protein (milk and meat), and support on environmentally oriented developmental activity. But the ability of domestic milk production is still lower than milk consumption. Therefore one aspect that should be done to increase FH dairy cattle productivity through breeding program is to produce female dairy cattle (replacement stock) with high milk genetic potency. The aim of this research is (a) to evaluate dairy cow as nucleus, multiplication, and commercial breeding stock, (b) to certify identified nucleus breeding stock, and (c) to identify potential development to produce dairy breeding stock in dairy central area. Evaluation on genetic value as nucleus, multiplication, and commercial breeding stocks was carried out on Fries Holland female dairy cattle from governmental animal breeding institute of BPT-HMT Baturraden, Purwokerto. The genetic ability of each dairy cow was estimated based on Estimated Real Producing Ability (ERPA) and Estimated Breeding Value (EBV) as described by Schmidt et al., (1988). Genetic parameters of repeatability (r) was calculated with intraclass correlation, while heritability (h2) was calculated with paternal halfsibs correlation (Becker,

1975). Banyumas district as dairy livestock developmental area of BPT-HMT Baturraden, based on consideration on three aspects including high altitude, carrying capacity, and people density, is evaluated on each its sub district potency in supporting

(2)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi PeternakanARMP-H Th. 199912000

dairy breeding production. The repeatability of milk trait of FH in BPT-HMT Baturraden is good enough, with r =0,29,whereas genetic (additive) variation ofthis trait is low, with h2=0,06.Milk performance already obtained is high enough on the average of production 4.064 liter/head/lactation. Dairy cows at the best rank of 5, 20, and 50 % have minimal limit EBV value

consecutively+194 (572-94), +107(627-94), and-31(110-98)that can be qualified as nucleus, multiplication, and commercial breeding stocks. Based on consideration for tree aspects already described above, it can be identified that some ofsub districts in Banyumas have good prospect to be continually developed in supporting FH dairy breeding production at farmer level condition. These sub districts are i.e. Pekuncen, Cilongok, and Baturmden with high altitude ofabove200m asl, adding carrying capacity over than 8.000 AU, and people density less than 1 .000 head/km2.

Key words: milk production, FH dairy cow, prospective area for dairy breeding development PENDAHULUAN

Peternakan sapi perah merupakan salah satu komponen subsektpr peternakan nasional yang mampu memberikan lahan usaha dan meningkatkan kesejahteraan bagi sebagian masyarakat di pedesaan, memberikan perbaikan gizi melalui penyediaan protein hewani (susu dan daging) bagi masyarakat luas, dan ikut berperan dalam mendukung program pembangunan berwawasan lingkungan melalui integrasi usaha peternakan dengan pertanian pangan, perkebunan, dan kehutanan.

Meskipun demikian disadari produksi susu peternakan sapi perah domestik masih jauh lebih rendah dibandingkan laju kebutuhannya, sehingga terus dilakukan importasi susu dalam jumlah besar setiap tahunnya, kecuali selama krisis moneter pada dua tahun terakhir impor bahan baku susu oleh IPS mengalami penurunan cukup tajam. Sebagai ilustrasi pengamatan terhadap perkembangan suplai dan demand susu nasional selama lima tahun terakhir (1993 sampai 1998) menunjukkan rataan laju pertumbuhan produksi (1,04 %) jauh lebih rendah dibandingkan laju kebutuhannya (7,93 %), sehingga masih diperlukan impor bahan baku susu setara 692,9 ribu ton susu segar untuk memenuhi konsumsi susu nasional sebesar 1 .034,5 ribu ton pada tahun 1998 .

Sejumlah usaha telah ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi perah domestik. Program pemuliaan merupakan salah satu aspek dari budidaya yang juga mendapatkan perhatian untuk diupayakan dalam meningkatkan produktivitas sapi perah domestik. Sejumlah kegiatan teknis dilakukan untuk mendukung program perbaikan mutu genetik sapi perah lokal antara lain dilakukan IB menggunakan semen beku pejantan FH (unggul) impor, impor sapi betina FH elit untuk diperbanyak menggunakan TE/MOET, dan impor sapi betina komersial. Untuk konsolidasi perbaikan mutu genetik sapi perah lebih lanjut, telah diberikan prioritasi bagi pengembangan pembibitan sapi perah domestik dengan membina daerah-daerah sentra produksi susu menjadi pusat pembibitan pedesaan (village breeding centre) diikuti dengan program seleksi dan perkawinan secara terarah menerapkan prinsip program pemuliaan inti terbuka (open nucleus breeding scheme/ONBS). Rangkaian kegiatan seleksi dan perkawinan secara terarah diharapkan secara bertahap akan membentuk struktur bangun strata bibit yang dikualifikasikan kedalam kelompok elit, multiplikasi, dan niaga dalam rangka mencapai target sasaran produksi sapi perah bibit berpotensi produksi susu tinggi dalamjumlah yang mencukupi.

Upaya tersebut memberikan harapan besar bagi perbaikan mutu genetik sapi perah dikarenakan besarnya kebutuhan sapi betina replacement stock yang diperlukan setiap tahun dalam skala nasional. Bila dilakukan perhitungan bahwasanya jumlah total populasi sapi perah saat ini sekitar 320 ribu ekor, kemudian dengan mengasumsikan sapi betina berjumlah 57,98 % dan dipakai dalam pembiakan pada umur 3-8 tahun, sehingga diperkirakan akan diperlukan sapi betina pengganti induk sebesar 11,1 % atau 35,5 ribu ekor setiap tahun

(HARDJOSUBROTO, 1997).

Kondisi umum yang ditemukan pada peternakan rakyat adalah pemakaian sapi betina pengganti masih lebih didasarkan pada pertimbangan murahnya harga beli ternak. Hanya dalam jumlah kecil petemak yang mendasarkan pertimbangan pada kemampuan produksi susu sapi. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab lambannya hasil perbaikan genetik selama ini. Dengan demikian pengadaan sapi betina replacement stock yang dilengkapi dengan sertifikasi mutu genetiknya secara jelas untuk dipakai sebagai bibit, diharapkan dapat akan memberikan perbaikan secara signifikan pada produktivitas sapi perah lokal, sehingga akan meningkatkan kapasitas produksi susu nasional secara bertahap dari waktu ke waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengevaluasi umur genetik sapi perah betina bibit inti, multiplikasi, dan niaga, 2) pemberian sertifikasi pada sapi betina dengan kualifikasi bibit elit, dan 3) mengetahui potensi pengembangan sapi perah bibit di daerah sentra produksi susu.

(3)

ANNEKE ANGGRAENIet al. : Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries HollandSebagai PenghasilBibit TINJAUAN PUSTAKA

Masih rendahnya kapasitas sapi perah domestik dalam memenuhi kebutuhan susu nasional antaraagain disebabkan belum tersedianya sapi perah bibit dengan kualitas genetik yang baik dalam menghasilkan susu pada jumlah mencukupi serta belum dikembangkan secara baik daerah sentra produksi susu menjadi pusat pembibitan sapi perah domestik (SIMANDJUNTAK, 1999). Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik sapi perah (betina) domestik antara lain melalui aplikasi IB menggunakan semen pejantan FH unggul dari sejumlah negara serta memasukkan sapi perah FH betina (elit dan komersial) dari Australia dan New Zealand (GKSI, 1996). Meskipun demikian pengamatan terhadap perkembangan populasi dan produksi susu selama lima tahun terakhir (1993-1998) memperlihatkan laju kenaikan produksi susu sebanyak 1,04 % secara proporsional diikuti oleh kenaikan populasi sapi perah sebanyak 1,75 % (BUKU STATISTIK PETERNAKAN, 1998). Hal ini mengindikasikan bahwasanya sapi perah FH betina yang memiliki kemampuan produksi susu tinggi belum dimanfaatkan secara optimal untuk dipergunakan sebagai sapi bibit (replacement stock), sehingga belum memberikan kontribusi secara signifikan dalam perbaikan produktivitas sapi perah domestik.

Produksi susu merupakan salah satu sifat ekonomis yang dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga ekspresinya merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dcn interaksi antara keduanya. Secara umum sapi perah (rumpun FH) membutuhkan persyaratan iklim sejuk mendekati kondisi daerah asalnya. Akan tetapi pada skala individual ditemukan variasi genetik dcn daya adaptasi yang luas antara ternak yang memungkinkan sejumlah sapi tersebut dapat terus berproduksi tinggi pada daerah tropis di Indonesia. Pengamatan di daerah sentra produksi susu pada kabupaten Bandung oleh BIB Lembcng dan GKSI Jawa Barat tahun 1994/95 sebagai diinformasikan PALLAWARUKKAN (1999) menunjukkan sekitar 32,85 % dari 1 .464 ekor sapi laktasi di peternakan rakyat mampu mencapai produksi susu di atas 4.500 kg per laktasi . Pengamatan lain yang dilakukan oleh

Sam

et al. (1996) di sejumlah daerah sentra produksi susu Lembang, Pangalengan, Baturraden, Ciwidey, Parongpong, dcn 94 perusahaan di Jcwa Barat menunjukkan pula luasnya variasi produksi susu sapi FH berkisar 5-30 liter per laktasi dan sekitar 15 -41 % dengan rataan produksi susu melebihi 15 liter per hcri (4.500 liter per laktasi). Diperlukan tindakan seleksi agar sapi perah (betina) unggul dapat terus dipertahankan untuk menghasilkan susu maupun menghasilkan keturunan dengan kemampuan produksi susu yang tinggi. Evaluasi setiap sapi betina dapat dilakukan dengan mendasarkan pada pertimbangan nilai daya produksi susu (Estimated Real Producing AbilitylERPA) maupun nilai pemuliaan (Estimated Breeding Value/EBV) pada populasi yang dikenakan seleksi (SCHMIDT et al., 1988).

Dalam mendukung penyediaan sapi perah bibit dengan kemampuan produksi susu tinggi di dalam negeri, tentunya memerlukan pengembangan daerah sentra produksi susu untuk sekaligus pula menjadi daerah pembibitan sapi perah. Daerah sentra produksi yang akan dikembangkan bagi kegiatan pembibitan perlu mempertimbangkan sejumlah aspek pendukung seperti potensi wilayah (pakan, produktivitas dan jumlah ternak, SDM, kelembagaan, prasarana, dcn lain sebagainya), ketinggian lokasi, dan daya tampung wilayah. Program pemuliaan untuk perbaikan mutu genetik dilakukan menerapkan pola Program Pemuliaan Inti Terbuka (Open Nucleus Breeding SchemelONBS) yang memungkinkan adanya aliran perbaikan genetik dari strata yang tinggi kepada yang lebih rendah, serta dalam jumlah kecil terjadi alir pemasukan gen dari strata rendah pada yang diatasnya (NICHOLAs, 1987). Melalui aplikasi program ONBS diharapkan akan terbentuk strata bibit elit, multiplikasi, dan niaga sehingga dapat diproduksi sapi perah FH bibit dengan kemampuan produksi susu secara jelas, dalam jumlah mencukupi, dan berkelanjutan. Sebagaimana dinyatakan HARDJOSUBROTO et al., (1997) saat ini diperlukan sapi replacement stock (betina) dalam jumlah besar setiap tahunnya. Bertolak dari perhitungan bila diperkirakan total populasi sapi perah yang ada berjumlah sekitar 320 ribu ekor, dengan memberikan asumsi sapi betina berjumlah 57,98 % yang dipakai dalam pembiakan selama 3-8 tahun, maka pada skala nasional diperlukan sapi betina pengganti induk sejumlah 11,1

atau 35,5 ribu ekor setiap tahun.

MATERI DAN METODE

Penelitian evaluasi kemampuan genetik produksi susu sapi perah akan dilakukan pada sapi-sapi perah FH betina yang ada di BPT-HMT Baturraden di kabupaten Banyumas. Hal ini mendasarkan pada pertimbangan balai ini sebagai Unit Pelaksana Teknis Pembibitan sapi perah dari Dit. Jen. Peternakan yang mempunyai catatan identitas sapi, silsilah, dan produktivitas (produksi susu dan reproduksi) secara lengkap untuk dievaluasi mutu genetiknya. Kemampuan genetik produksi susu dihitung dengan menggunakan metode Nilai Pemuliaan Tertaksir (Estimated Breeding ValuelEBV) dan Dcya Produksi Susu Tertaksir (Estimated Real Producing AbilitylERPA) sesuai dengan petunjuk dari SCHMIDT et al. (1988). Nilai parameter genetik ripitabilitas (r) dihitung menggunakan

(4)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

metode Korelasi Dalam Klas (intraclass correlation) dan heritabilitas (h2) dengan menggunakan metoda Korelasi Saudara Tiri Sebapak (Paternal Halfsibs Correlation) sesuai dengan petunjuk BECKER (1975).

Catatan harian produksi susu, identitas, silsilah, dan reproduksi dikumpulkan dari sapi laktasi yang ada di BPT-HMT Baturraden selama kurun tahun 1992 sampai 1998. Produksi susu yang dilakukan pencatatannya setiap minggu pada hari yang sama, diestimasi kepada produksi susu laktasi 305 hari menggunakan metoda Test Interval Method (TIM), selanjutnya distandarisasi kepada setara dewasa (SD) hasil pengembangan Dairy Herd Improvement Association (DHIA), Amerika Serikat tahun 1970. Produksi susu lengkap 305 hari tidak memperhitungkan produksi susu kolostrum minggu pertama laktasi. Dilakukan pula pemeriksaan pengaruh lingkungan eksternal tahun- dan bulan beranak kemudian dieliminasi apabila memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada produksi susu. Nilai EBV akan dipergunakan untuk mengkualifikasikan sapi betina kedalam kelompok bibit elit, perbanyakan, dan komersial.

Banyumas merupakan salah satu daerah sentra produksi susu dengan sebagian besar peternak sapi perahnya telah'lama menjadi binaan dari BPT-HMT Baturraden. Untuk mendukung pengadaan bibit di tingkat peternakan rakyat, akan dievaluasi potensinya dalam mendukung kelangsungan program pembibitan yang sudah ditetapkan. Sejumlah informasi yang diperlukan dikumpulkan berupa data sekunder dari instansi terkait (BPT-HMT Baturraden, Dinas Peternakan Kab. Banyumas dan Badan Pusat Statistik Kab. Banyumas) serta data primer melalui pengisian kuisioner meliputi : potensi wilayah, karakteristik peternak, persepsi peternak terhadap sapi perah bibit, dan karakteristik populasi ternak (proporsi sapi dengan berbagai status fisiologis, sex rasio, dan angka pertumbuhan).

HASIL DAN PEMBAHASAN I. Potensi BPT-HMT Baturraden sebagai Balai Pembibitan Sapi Perah

BPT-HMT Baturraden merupakan salah satu unit pelaksana teknis pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi pokok sebagai pusat pengembangan sapi perah nasional. Pengembangan sapi perah difokuskan pada sapi perah rumpun Fries Holand (FH) untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memperbaiki produktivitas sapi perah lokal. Sejumlah kegiatan yang direncanakan dalam merealisasi tugas dan fungsi pokok khususnya bagi perbaikan mutu genetik sapi perah nasional (Laporan Tahunan BPT-HMT Baturraden tahun 1990) antara lain : 1) menghasilkan pejantan unggul yang akan dipergunakan untuk kawin IB dengan melakukan uji performans diiukti dengan uji keturunan (progeny testing station), 2) menghasilkan bibit sapi perah betina untuk disebarkan bagi daerah yang membutuhkan, 3) pengendali pengembangan sapi perah nasional, dan 4) melakukan sejumlah aktivitas pendukung lainnya seperti pencatatan dan monitoring untuk mendukung kegiatan seleksi dan perkawinan secara terprogram.

Dalam memantapkan peran dan fungsi pengembangan sapi perah nasional tersebut, Balai pernah mendapatkan proyek bantuan dari badan internasional melalui "Agricultural Assistance" (ATA-174) dari Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Pemerintah Republik Italia berupa hibah (grant), dikenal sebagai "Baturraden Dairy Development Project/BDDP atau Proyek Pengembangan Sapi Perah Bantuan MEE.

Pengadaan sarana dan prasarana dari BPT-HMT Baturraden dialokasikan pada sejumlah area meliputi Area A (Limpakuwus) seluas 68 Ha di kecamatan Sumbang berfungsi untuk perkandangan, perlengkapan, serta penyediaan hijauan pakan ternak.

Area B (Munggangsari) seluas 10 Ha di kecamatan Baturraden berfungsi sebagai Pusat Peningkatan Ketrampilan Petani Peternak atau Training Centre dan perumahan stafproyek.

Area C (Tegalsari) seluas 3 Ha berdampingan dengan area BPT-HMT Baturraden di kecamatan Baturraden sebagai pusat perkantoran dan infrastruktur .

Area D (Manggala) seluas 100 Ha di kecamatan Pekuncen sebagai lahan hijauan pakan ternak dan dalamjangka panjang direncanakan untuk uji performans.

Area E (Karangkemiri) seluas 1 Ha di kecamatan Karanglewas untuk pabrik pengolahan susu atau Milk Processing Plant (MPP).

Sampai saat ini BPT-HMT Baturraden telah menjalankan tugas dan fungsi yang diemban untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi perah baik di Balai maupun peternak binaan di beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Banyumas. Sejumlah kegiatan terus dilakukan secara teratur dan kontinyu pada lokasi Balai itu sendiri agar sapi perah bibit yang dihasilkan mempunyai informasi potensi genetik untuk menghasilkan susu yang jelas dan teruji, antara lain meliputi kegiatan : pencatatan produktivitas (produksi susu dan identitas) 299

(5)

ANNEKE ANGGRAENIel al.: Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries HollandSebagai Penghasil Bibit

setiap ekor sapi secara jelas, mengevaluasi dan menseleksi sapi perah laktasi (berdasarkan daya produksi susu) sapi laktasi, menerapkan program perkawinan secara terarah dari sapi terseleksi, dan memberikan sertifkasi sapi pex4h bibit. Pernah pula diterapkan teknik tranfer embrio (TE) dan kegiatan tambahan superovulasi (MOET) untuk memperbanyak sapi perah FH betina elit. Akan tetapi nampaknya uji performans calon pejantan serta uji progeny untuk mengeidentifikasi pejantan unggul dalam perkembangan selanjutnya lebih dilimpahkan wewenang pelaksanaannya pada BIB Lembang dan Singosasri(DJARSANTO, 1995).

Uraian berikut merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi dan kemampuan genetik dari sapi perah bibit yang ada di BPT-HMT Baturraden kurun produksi tujuh tahun, sejak 1992

sampai 1998 .

1. Produktivitas Sapi Perah FH

Tabel 1. Produktivitas Sapi FH di BPT-HMT Baturraden

Produktivitas sapi perah FH di BPT-HMT Baturraden meliputi masa kosong, masa laktasi, masa kering, dan selang beranak mempunyai variasi yang luas dengan rataan berurutan 145, 305, 114, dan 409 hari. Rataan masa laktasi sapi perah ini sudah dapat mencapai standar lama laktasi ideal seperti yang diterapkan pada daerah iklim sedang, akan tetapi masa laktasi tersebut ada dalam kisaran yang luas, yakni dari 93 sampai 628 hari. Namun sapi FH di BPT-HMT Baturraden mempunyai rataan masa kosong (145 hari) dan masa kering (114 hari) lebih lama dibandingkan dengan yang direkomendasikan pada sapi perah iklim sedang, yaitu dengan masa kosong 90 hari (l20 hari untuk sapi pertama beranak) dan masa kering 60 hari(SCHMIDTet al., 1988). Sedangkan kedua performan ini menyebar antara 31- 556 hari untuk masa kosong dan 7 - 548 hari untuk masa kering. Luasnya kisaran masa kosong tersebut merupakan suatu reflleksi belum berjalannya tatalaksana perkawinan secara efisien dari populasi sapi perah di BPT-HMT Baturraden. Hal ini diindikasikan dengan nilai angka kawinan per kebuntingan yang masih cukup tinggi dengan rataan 1,83 dan pada kisaran dari 1 - 6 kali kawin per kebuntingan, meskipun kejadian frekuensi kawin per kebuntingan terbanyak pada kejadian kawin <- 2. Perpanjangan masa kosong dari yang direkomendasikan (90 hari) akan menyebabkan selang beranak melebihi satu tahun, sehingga pada selang beranak yang dijalani oleh sapi laktasi selama 426 hari, akan berdampak merugikan pada penurunan produksi susu (dan pedet) selama hidup produktif sapi betina. Kondisi tersebut akan mengurangi pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan susu karena biaya yang dikeluarkan untuk menanggung hidup sapitidak berimbang dengan perolehan pendapatan dari hasil penjualan susu per periode laktasi(SUGIARTIdanSIREGAR, 1999).

Berdasarkan kinerja produktivitas sapi perah FH di BPT-HMT Baturraden tersebut, kiranya perlu lebih diperhatikan tatalaksana pemeliharaan dan perkawinan agar sejumlah, performan tersebut dapat diperkecil variasinya serta dapat mendekati produktivitas sapi perah di daerah iklim sedang.

Secara umum produksi susu sapi-sapi FH di di BPT-HMT Baturraden sudah mencapai prestasi yang cukup tinggi dengan rataan produksi susu per ekor per laktasi sejumlah 4.064 liter. Hal ini dapat dimengerti karena BPT-HMT Baturraden merupakan balai pelaksana teknis dari Dit. Jen. Peternakan yang mengemban fungsi sebagai penghasil sapi perah bibit nasional sudah menerapkan kegiatan seleksi secara rutin dan terencana pada sapi-sapi laktasinya berdasarkan nilai daya produksi susu atau nilai the Most Probable Producing Ability (MPPA). Namun performan produksi susu juga bervariasi luas, dengan produksi terendah diperoleh 1.370 liter sedangkan produksi tertinggi 7.120 liter.

2. Parameter Genetik Produksi Susu

Ripitabilitas (r) dan heritabilitas (h2) merupakan dua parameter genetik yang diperlukan untuk mengetahui daya kemampuan produksi susu dan nilai pemuliaan produksi susu sapi laktasi. Dengan diketahui nilai ripitabilitas dapat diperkirakan daya pengulangan kemampuan berproduksi susu sapi di masa berikutnya, sementara dengan

No. Sifat Jumlah

Catatan Rataan Minimum Maksimum SB

1 . Masa kosong (hari) 336 145 31 556 86,73

2 . Selang beranak (hari) 409 426 207 859 93,46

3 . Masa laktasi (hari) 421 305 93 628 81,69

4. Masa kering (hari) 409 114 7 548 60,99

(6)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

diketahui nilai heritabilitas dapat diperkirakan kemampuan mewariskan produksi susu sapi tetua kepada anaknya (LASLEY, 1978; dan HARDJOSUBROTO, 1994). Heritabilitas juga mencerminkan berapa proporsi keragaman produksi susu yang disebabkan oleh keragaman faktor genetik aditif, sehingga akan menjadi indikator tingkat efektivitas yang diperoleh dalam perbaikan genetik sifat yang diinginkan (produksi susu) melalui kegiatan seleksi (LASLEY, 1978).

Untuk memperoleh dugaan nilai ripitabilitas dan heritabilitas produksi susu sapi FH di BPT-HMT Baturraden, terlebih dahulu dilakukan standarisasi produksi susu kepada lama laktasi 305 hari dan umur setara dewasa. Selanjutnya produksi susu dibakukan pada taraf produksi susu untuk tahun beranak 1993 dikarenakan faktor eksternal tahun beranak memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) pada keragaman produksi susu dan dicapai produksi susu tertinggi pada tahun 1993, sebanyak 4.932 liter per laktasi (Tabel 2). Namun produksi susu tidak dieliminasi terhadap bulan beranak karena pengaruhnya tidak nyata (P>0,05). Pengamatan terhadap produksi susu pada tahun yang berbeda memberikan informasi ada kecenderungan terjadi penurunan produksi susu per laktasi dengan semakin berjalannya tahun pengamatan. Hal tersebut dapat kemungkinan disebabkan antara lain oleh karena faktor standarisasi setara dewasa yang dipergunakan (FK dari DHIA, AS pengembangan tahun 1970-an) memberikan hasil under estimate (FK bernilai rendah) untuk meustandarisasi produksi susu sapi-sapi muda FH lokal. Pemeriksaan terhadap catatan produksi susu berdasarkan tahun beranak menunjukkan akhir tahun pengamatan lebih banyak merupakan sapi-sapi muda sampai akhirnya hanya sapi dengan periode laktasi pertama yang ada di ujung tahun pengamatan. Meskipun demikian analisis ragam menginformasikan umur sudah tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi produksi susu SD. Hal sama juga ditemukan pada pengamatan produksi susu sapi-sapi FH di salah satu perusahaan sapi perah FH di Lembang (PT Cijanggel), yang menunjukkan kecenderungan penurunan produksi susu per laktasi dengan berjalannya tahun pengamatan (1992-1998). Penurunan produksi susu dengan berjalannya tahun pengamatan (time trend) dapat pula disebabkan oleh faktor lain yang setara garis besar dapat disebabkan oleh faktor genetik (genetic trend) dan faktor lingkungan (environmental trend).

Tabel 2. Produksi susu sapi FH pada tahun beranak yang berbeda

Keterangan: FK multiplikatif diperoleh dengan menisbahkan produksi susu tahun beranak 1993 terhadap produksi susu tahun lainnya

Nilai ripitabilitas dihitung dengan menggunakan catatan produksi susu sebanyak 413 laktasi bersumber dari 159 ekor sapi betina dengan produksi per individu sapi berkisar antara 1 - 7 laktasi. Sementara nilai heritabilitas dihitung dengan menggunakan 18 ekor sapi pejantan dengan jumlah catatan produksi susu anak betinanya berkisar dari 6 - 62 laktasi. Ditetapkan pejantan yang dapat disertakan dalam perhitungan heritabilitas apabila mempunyai minimal mempunyai enam catatan produksi susu anaknya untuk menghindarkan meningkatnya komponen ragam galat akibat jumlah sampel yang sedikit. Tabel 3 memperlihatkan hasil perhitungan ripitabilitas dengan metode intraclass correlation dan heritabilitas dengan metode paternal halfsibs correlation .

Dugaan nilai ripitabilitas diperoleh sebesar 0,29 memberikan makna bahwasanya 29 persen dari keragaman pada produksi susu sapi FH di BPT-HMT Baturraden disebabkan oleh komponen lingkungan permanen dan genetik antara individu. Memberikan pula makna bahwasanya sifat pengulangan produksi susu terhadap laktasi berikutnya adalah sebesar 0,29. Beberapa hasil penelitian mendapatkan nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH dan PFH berkisar antara 0,24 - 0,54 (MEKIR, 1982; PADmADEWI, 1993, dan RAHMANI, 2000). Penelitian lain pada lakasi yang sama di BPT-HMT Baturraden hanya pada-kurum waktu pengamatan berbeda (1983 - 1992) mendapatkan nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH sebesar 0,25 (GUSHMRIYANTO, 1994), sedikit lebih rendah dari hasil penelitian ini. Nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH di BPT-HMT Baturraden dapat dinyatakan cukup rendah, meskipun demikian dapat dijadikan indikator cukup baik dalam memprediksi kapasitas kemampuan berproduksi susu dari sapi produktif untuk periode laktasi selanjutnya.

30 1 Tahun beranak Jumlah catatan

(buah) Rataan prod. susu305 hari (liter) - - (liter)SB FK multiplikatif

1992 9 4876 699 1,011 1993 36 4932 899 1 1994 36 4931 974 1 1995 77 4381 1039 1,126 1996 97 4587 1294 1,075 1997 117 4592 1296 1,074 1998 47 3950 969 1,249

(7)

ANNEKE ANGGRAENIet al. : Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries Holland Sebagai Penghasil Bibit Tabel 3. Nilai ripitabilitas dan heritabilitas produksi susu sapi FH

Keterangan : Produksi susu sudah distandardisasi terhadap umur setara dewasa dan tahun beranak

Nilai dugaan heritabilitas produksi susu sapi F,Ii di BPT-HMT Baturraden bernilai positip dan rendah, sebesar 0,06. Nilai tersebut jauh lebih rendah dari batas minimal heritabilitas bernilai sedang (0,16 - 0,49) berdasarkan katagori dari SCHMIDTet al. (1988), yang memberikan arti hanya sebagian kecil keragaman produksi susu sapi FH di BPT-HMT Baturraden disebabkan oleh pengaruh faktor genetik aditif atau dengan kata lain kemampuan genetik produksi susu dari sapi-sapi tersebut sudah hampir seragam.

Hal ini dapat disebabkan oleh karena pengaruh seleksi pada sapi perah laktasi yang sudah dilakukan secara terus menerus. Penyebab lainnya kemungkinan kemampuan genetik sapi pejantan IB dalam mewariskan produksi susu tidak berbeda atau relatif seragam seperti ditunjukkan oleh hasil analisis ragam yang menginformasikan keragaman produksi susu keturunan antarpejantan tidak memberikan perbedaan secara signifikan (P>0,05)

Selama ini pejantan yang dipakai untuk menginseminasi sapi betina di BPT-HMT Baturraden merupakan pejantan sapi perah FH impor yang diproduksi semen bekunya oleh BIB Lembang dan Singosari. Dengan demikian perlu kiranya dievaluasi lebih jauh sapi-sapi pejantan yang ada di kedua balai inseminasi ini, untuk mendapatkan jawaban lebih pasti tentang kemampuan genetik mereka dalam mewariskan sifat produksi susu kepada turunannya. Tabel 4 memberikan informasi mengenai rataan performan produksi susu keturunan setiap pejantan yang dipergunakan dalam mendapatkan nilai dugaan heritabilitas berkisar antara 2860 - 4542 liter per laktasi.

3. ERPA dan EB VProduksl Susu Sap! FH

Salah satu aktivitas penting dalam melakukan perbaikan produktivitas sapi perah melalui program pemuliaan adalah melakukan kegiatan seleksi yakni memilih sapi dengan kemampuan berproduksi susu yang tinggi (diatas rataan) untuk terus berproduksi susu ataupun untuk dipakai sebagai penghasil keturunan berikutnya (replacement stock). Apabila sasaran seleksi dilakukan untuk mempertahankan sapi-sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi dalam peternakan, maka diperlukan perhitungan daya kemampuan produksi susu individu sapi. Akan tetapi

Tabel 4. Produksi susu anak-anak pejantan

sapFFH di BPT-HMT Baturradenyang dipergunakan untuk menghitung heritabilitas produksi susu No. Identitas

Pejantan E Anak Betina(ekor) Prod. Susu305 hari Minimum ---Maksimum Liter ---SB _-1 . 142 6 2860 2262 4517 841 2. 183 63 3926 164l 6531 1111 3. 236 13 4654 3220 5635 720 4. 237 14 3965 3131 - 5487 7l4 5. 248 8 3568 1687 5783 1305 6. 249 8 4092 2237 4940 906 7. 297 43 4285 2573 6349 991 8. 52l 6 3811 2704 4953 900 9. 530 46 4057 2472 6237 9l5 10. 628 33 4095 1865 6014 1234 11 . 834 7 4077 2386 5475 1036 12. 1071 12 4110 2328 540l 888 13 . 2998 12 4l66 2849 4897 719 14. 3711 21 4208 2649 5548 724 15 . 38413 31 4301 2342 5456 803 16. 38518 20 4172 2632 5171 656 17. 38619 18 4398 3331 6768 868 18. 46548 29 4542 3495 6023 620

Parameter genetik Jumlah individu Catatan prod. Komponen Ragam Nilai

(ekor) Susu (buah) antara individu dalam individu

Ripitabilitas 159 413 487732,9 1190680

(8)

apabila sasarannya untuk mendapatkan keturunan dengan kemampuan genetik produksi susu yang tinggi, maka diperlukan perhitungan nilai pemuliaan produksi susu. Daya produksi susu dapat dihitung dengan metoda MPPA atau ERPA. Perbedaannya adalah nilai ERPA memperhitungkan keragaman produksi susu yang disebabkan oleh faktor lingkungan eksternal (kelompok, tahun-, dan musim beranak), sehingga memberikan estimasi daya produksi susu lebih akurat terhadap MPPA. Sama halnya pula dengan menghitung nilai pemuliaan menggunakan metode EBV akan lebih akurat terhadap PBV.

Penelitian telah menghitung baik nilai ERPA maupun EBV setiap sapi laktasi selama kurun waktu produksi 1992 - 1998 di BPT-HMT Baturraden. Peringkat yang dilakukan untuk menentukan sapi terbaik didasarkan pada nilai EBV-nya atau berdasarkan nilai pemuliaannya. Namun peringkat yang dilakukan berdasarkan metode ERPA dan EBV dalam kelompok (peternakan) yang sama biasanya akan memberikan hasil yang tidak berbeda(SCHMIDT et al., 1988). Nilai ERPA dan EBV dari setiap individu sapi laktasi dicantumkan dalam Lampiran 1 . Perbedaan nilai ERV antara individu sapi perah di BPT-HMT Baturraden ini akan ditentukan oleh rataan simpangan produksi susu individu terhadap herdmate-nya dan jumlah catatan dari setiap sapi yang dievaluasi, sebagai ditunjukkan oleh perumusan dari EBV berikut

EBV

Laporan Bagian Proyek Rekawsa Teknologi Pelemakan ARMP-II Th. 199912000

0,5 n h Z

--

(Hi - H )

1 +(n

-Or

Dengan semakin banyak catatan produksi susu yang dilibatkan dalam perhitungan, akan sedikit meningkatkan nilai EBV (maupun ERPA) terhadap catatan yang lebih rendah dari sapi yang sama.

Hasil dari Lampiran 1 menginformasikan berdasarkan hasil perhitungan nilai EBV, sapi dengan identitas atau nomor telinga 591-94 ada pada peringkat tertinggi, dengan nilai EBV yang dicapai sebesar + 324. Artinya secara teoritis sapi ini mempunyai keunggulan genetik produksi susu sebanyak 324 liter dibandingkan nilai pemuliaan sapi lainnya yang ada di BPT-HMT Baturraden. Apabila dikehendaki kelengkapan informasi genetik produksi susu sapi-sapi laktasi tersebut, dapat dilakukan klasifikasi misalnya ke dalam 5, 10, 25 % dari peringkat teratas. Sapi dalam kelompok 5 % terbaik (8 ekor) mempunyai nilai EBV berurutan +324 (591-94), +310 (632-94), +276 (565-94), +263 (388-91), +254 (545-93), +203 (416-92), +201 (615-94), dan +194 (572-94). Sedangkan sapi dalam kelompok 5, 10, 15 dan 25 % dari peringkat teratas mempunyai batas minimal nilai EBV masing-masing +194 (572-94), +116 (470-92), +96 (372-91), +56 (335-91). Tetapi bila dilanjutkan sampai 50 % peringkat teratas akan dicapai batas minimal nilai EBV sebesar -31 ( 110-89), yang tidak terjadi pada nilai EBV sebesar nol dikarenakan ada beberapa sapi yang mempunyai nilai EBV sama sehingga mempunya peringkat setara.

Sapi-sapi dengan peringkat 10 % terbaik dapat dikualifikasikan sebagai bibit "elit" atau inti, 15 % berikutnya sebagai bibit "multiplikasi", selanjutnya sampai 50 % sebagai bibit "niaga". Sapi-sapi elit ini sebaiknya dipakai sebagai sumber materi perbaikan genetik berikutnya yang dapat diperbanyak dengan teknik -MOET. Perkawinan menggunakan semen beku pejantan FH dari kelas top bull atau dengan rataan produksi susu anak-anaknya melebihi sapi betina kelompok bibit elit. Hasil keturunan mereka akan dipelihara untuk mendapatkan calon pejantan "unggul" yang akan dilakukan seleksi performans (pertumbuhan, kejantanan, dan kenormalan genetik) selanjutnya dilakukan uj i zuriat.

(9)

ANNEKE ANGGRAENiet al.: Evaluasi Potensi Geneak Sapi Perah Beana Fries Holland Sebagai Penghasil Bibit

Lampiran 1. Performan, daya produksi (ERPA), dan nilai pemuliaan (EBV)produksi susu sapi FH di BPT-HMfi Baturraden

No. Identitas Sapi Jumlah

Catatan Prod. Susu305 hari

---SB Liter ERPA ---EBV Peringkafw EBV " 1 . 43-88 5 4015 552 -414 -85.6 101 2 . 44-88 6 4240 785 -140 -29 78 3 . 46-88 5 4137 251 -314 -65 91 4. 97-89 6 4023 830 -359 -74 95 5 . 288-89P 5 4480 598 99 23 51 6. 108-89 5 4047 764 -358 -74 95 7. 110-89 5 4266 1151 -152 -31 80 8. 364PNZ 3 4170 1026 - -219 -45 85 9. 371PNZ 5 3820 719 -523 -108 109 10. 133-89 5 5115 396 451 93 25 11 . 169-89A 5 4935 691 359 74 31 12. 173-89A 4 4798 521 140 29 50 13. 176-89 5 3929 565 -316 -65 91 14. 300-90P 5 4433 1169 50 10 53 15. 227-90 7 3816 1092 -345 -71 94 16 . 304-90P 5 4733 575 287 59 37 17. 259-90 5 4052 518 -215 -45 85 18. 267-90 4 4257 831 206 42 45 19. 279-90 5 4199 907 -48.5 -10 63 20. 280-90 5 4188 343 -104 -21 72 21 . 570-90 4 3759 773 -421 -87 102 22. 284-90A 6 3649 453 -46 -96 106 23 . 286-90 4 5084 1316 532 110 18 24. 292-90 5 4745 583 372 77 30 25 . 557-90 3 4439 754 13 3 56 26. 573-90 3 3562 175 -387 -80 98 27. 306-91A 4 4545 414 253 52 42 28. 311-91 3 4730 1310 381 79 29 29. 312-91A 4 3540 204 -409 -85 100 30. 310-91P 5 3259 1273 -788 -163 121 31 . 315-91 5 4309 564 -20 -4 60 32. 313-91P 4 4157 372 -52 -11 64 33. 324-91N 4 4597 241 241 50 43 34. 314-91P 3 4161 540 -1 0 57 35. 333-91P 4 3449 893 -554 -115 112 36. 335-91 4 4643 632 270 56 40 37. 339-91 3 4926 615 411 85 28 38. 345-91 4 4763 383 380 79 29 39 . 349-91A 4 4912 416 532 110 18 40. 359-91A 4 4449 587 265 59 37 41 . 367-91N 4 3968 674 -152 -31 80 42 . 370-91 4 3740 1733 -280 -58 88

(10)

Lampiran 1.

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologt Peternakan ARMP-Il Th. 199912000

305 No. Identitas Sapi Jumlah

Catatan Prod. Susu305 hari SB ERPA EBV PeringkatEBV

43 . 372-91 2 5045 608 466 96 24 44. 374-91 4 2934 1040 -742 -153 119 45 . 388-91 1 2757 0 1270 263 4 46. 391-92 2 4690 248 259 54 41 47. 397-92 2 4918 992 346 72 33 48. 401-92 4 3023 163 -717 -148 117 49:-, 410-92 2 3587 1321 -141 -29 78 50. 414-92 3 4085 497 -56 -12 65 51 . 416-92 2 5995 112 . 980 203 6 52. 421-92 3 3756 1379 -136 -28 77 53 . 422-92 2 4020 146 -72 -15 68 54. 424-92 4 4767 1408 553 115 17 55. 426-92 3 4700 414 279 58 38 56. 433-92 4 4062 1199 47 10 53 57. 436-92 4 3829 837 -147 -30 79 58. 437-92 4 4534 746 296 61 36 59. 439-92 2 5090 143 492 102 22 60. 444-92 3 3852 241 -106 -22 73 61 . 445-92 3 2718 444 -734 -152 118 62. 450-92 3 4493 608 373 77 30 63. 451-92 4 3605 330 -225 -47 86 64 . 453-92 3 3767 410 -60 -12 65 65. 455-92 4 4243 770 190 39 47 66. 456-92 3 4361 951 249 52 42 67. 458-92 2 4806 1627 498 103 21 68. 464-92 3 4519 953 276 57 39 69. 465-92 3 2544 1097 -854 -77 96 70. 467-92 3 3231 638 -456 -94 105 71 . 470-92 2 5119 421 561 116 16 72. 471-92 3 4590 400 414 86 27 73. 478-93 2 3252 1492 -465 -96 106 74. 480-93 2 4133 189 -32 -7 61 75. 483-93 3 3453 1035 -258 _ -53 87 76. 485-93 2 3403 1441 281 58 38 77. 486-93 2 3530 54 -309 -64 90 78. 499-93 2 3817 2734 -44 -9 62 79. 503-93 2 3651 2526 -107 -22 73 80. 513-93 2 4886 580 444 -92 104 81 . 514-93 2 5378 115 869 180 9 82. 515.93 2 3750 3107 -69 -14 67 83 . 522-93 3 3487 985 -258 -53 87 84. 539-93 1 4466 0 250 52 42 85 . 540-93 2 3082 1994 -406 -84 99

(11)

Lampiran 1 .

ANNEKE ANGGRAENIet al. : Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries Holland Sebagai Penghasil Bibit

No. Identitas Sapi Jumlah

Catatan Prod. Susu305 hari SB ERPA EBV Peringkat °`EBV

86. 541-93 2 4664 2225 383 79 29 87. 545-93 2 4291 681 1227 254 5 88. 548-93 2 4437 2230 112 23 51 89. 551-93 3 3803 1494 -5 -1 58 90. 553-93 3 4586 1303 489 101 23 91 . 554-93 2 2956 515 -497 -103 108 92. 562-94 2 3890 1641 13 3 56 93 . - " 565-94 1 4604 0 1332 276 3 94. 570-94 2 4241 1233 314 65 34 95. 571-94 1 3485 0 -42 -9 62 96. 572-94 2 5359 308 938 194 8 97. 575-94 2 3730 238 -67 -14 66 98. 577-94 2 4358 838 150 31 49 99. 578-94 1 5834 0 732 152 13 100. 580-94 1 3127 0 -31 -64 90 101 . 585-94 2 2807 843 -481 -99 107 102. 586-94 2 2669 50 -565 -117 113 103. 588-94 2 3216 539 -330 -68 92 104. 589-94 2 3526 985 -161 -33 81 105. 591-94 3 3916 1606 118 324 1 106. 597-94 2 3728 1739 52 11 52 107. 600-94 2 3520 219 -15 -3 59 108. 602-94 2 3437 460 -195 -40 83 109. 603-94 2 4186 678 238 49 44 110. 605-94 1 3761 0 -45 -9 62 111 . 608-94 2 4050 863 273 57 39 112. 609-94 1 6531 0 113. 610-94 1 3263 0 -138 -29 78 114. 614-94 3 3532 429 -78 .4 -16 69 115. 615-94 2 5238 989 969 201 7 116. 616-94 2 3071 814 -337 -70 93 117. 617-94 1 6423 0 866 179 10 118. 619-94 2 3392 49 -129 -27 76 119. 621-94 2 4348 359 300 - 62 35 120. 622-94 1 1641 0 -747 -154 120 121 . 624-94 2 3683 857 52 11 52 122. 625-94 2 3035 540 -273 -56 88 123 . 629-94 2 4857 995 654 135 14 124. 627-94 2 4691 1070 519 107 20 125. 628-94 1 5078 0 450 93 25 126. 629-94 1 5528 0 738 153 12 127. 630-94 1 5376 0 602 125 15 129. 632-94 1 7120 0 1499 310 2 129. 639-94 1 4363 0 237 49 44 130. 644-94 1 2745 0 -352 73 32

(12)

Lampiran 1.

11. Potensi pengembangan sapi perah FH di Kabupaten Banyumas 1. Letak geografis Kabupaten Banyumas

Kabupaten Daerah TK II Banyumas terletak diantara 1090 dan 1090 30' Garis Bujur Timur dan sekitar 7° 30' Garis Lintang Selatan. Kabupaten Banyumas mempunyai abatsan wilayah berikut : 1) sebelah utara berbatasan dengan Kab. Tegal dan Kab. Pemalang, 2) sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Cilacap, 3) sebelah barat berbatasan dengan Kab. Cilacap dan Kab. Brebes, serta 4) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten DATI 11 Purbalingga, Banjamegara, dan Kebumen.

2. Perkembangan budidaya Sapi Perah FH

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Petemakan ARMP-11 Th. 199912000

Masyarakat kabupaten Banyumas mulai lebih mengenal usaha budidaya sapi perah sejak disebarkannya sejumlah ternak sapi perah FH impor berupa breeding stock dan commercial stock dari New Zealand oleh BPT-HMT Baturraden. Penyebaran sapi perah FH bantuan dimulai sejak tahun 1986/87 hasil implementasi dari Financing Agreement proyek bantuan MEE pada Baturraden Dairy Development Project (ATA-174). ,Disamping itu dalam jumlah relatif kecil dipelihara pula sapi FH impor tersebut dalam lingkungan Balai. Penyebaran ternak 307 No. Identitas Sapi Jumlah

Catatan Prod. Susu305 hari SB ERPA EBV PeringkatEBV

131 . 645-94 1 2527 0 -445 -92 104 132. 646-94 1 3042 0 -149 -31 80 133. 651-94 2 2453 60 -593 -123 114 134. 662-95 2 2737 262 -427 -88 103 135. 666-95 1 3383 0 -81 -17 70 136. 667-95 1 3678 0 28 6 54 137, . 668-95 1 3447 0 -72 -15 68 138. 675-95 1 5178 0 530 108 19 139. 676-95 1 4518 0 358 74 31 140. 679-95 1 4281 0 251 52 42 141 . 681-95 1 4135 0 197 41 46 142. 685-95 1 2819 0 -290 -60 89 143. 688-95 1 1788 0 -683 -141 1l5 144. 689-95 1 3269 0 -109 -23 74 145. 696-95 1 3l18 0 -165 -34 82 146. 698-95 1 1690 0 -714 -148 117 147. 710-95 1 3928 0 149 31 49 148 . 712-95 1 5783 0 849 176 11 149 . 713-95 1 1684 0 -709 -147 1l6 150. 714-95 1 4953 0 500 103 21 151 . 715-95 1 3213 0 19 4 55 152. 716-96 1 4759 0 427 89 26 153 . 719-95 1 4020 0 155 32 48 154. 724-95 1 3309 0 -75 -15 68 155 . 732-95 1 2262 0 -525 -109 110 156. 736-95 1 1686 -529 -109 111 157. 738-95 1 2704 0 -126 -26 75 158. 740-96 1 2074 0 -379 -78 97 159. 742-96 1 22l9 0 -309 -64 90

(13)

ANNEKE ANGGRAENIet al. : Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries Holland Sebagai Penghasil Bibit

menerapkan sistem kontrak Sumba yang prinsipnya setiap penduduk yang berminat dan dinyatakan layak untuk memperoleh kredit untuk beternak sapi perah menerima satu paket kredit sebanyak dua ekor siap bunting kemud an dikenakan kewajiban mengembalikan empat ekor keturunanya yang betina setelah tercapai bobot 250 kg. Jangka waktu pengembalian kredit ditetapkan dalam batas maksimal lima tahun sejak sapi diterima peternak. ""

Melalui pemberian sejumlah bantuan teknis seperti sapronak, pelayanan kesehatan, pelayanan IB, clan bantuan kredit sapi perah, dan pembinaan secara terus-menerus oleh institusi terkait seperti BPT-HMT Baturraden, Dinas Petemakan TK II Banyumas, koperasi primer Banyumas (Supraba) clan GKSI Jawa Tengah, menyebabkan perkembangan sapi perah pada wilayah yang lebih meluas. Perkembangan area budidaya, jumlah peternak, dan populasi sapi perah FH di Kabupaten Banyumas sejak dimulai penyebarannya oleh BPT-HMT Baturraden sampai tahun 1999 dicantumkan pada Tabe15 .

Jumlah peternak dan populasi sapi perah FH berkembang cukup pesat di kecamatan Baturraden yang bermula .dari desa Kemutug Lor telah menyebar pada empat desa lainnya. Selain itu budidaya telah berkembang sampai kecamatan Cilongok (dengan lima desa) yang semula belum mendapat prioritas untuk peternakan sapi perah. Namun kondisi sebaliknya ditemukan di kecamatan Karang Lewas dimana terjadi penurunan jumlah peternak clan jumlah sapi perah. Perkembangan cukup baik berlangsung di kecamatan Pekuncen ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah peternak clan sapi perah khususnya di desa Tumiyang, sedangkan kedua performan di kecamatan Sumbang memperlihatkan perkembangan relatifkonstan.

3. Potensi Pengembangan SapiPerah FH

Budidaya sapi perah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan sejumlah komponen produksi menyangkut petemak sebagai pelakon produksi, lahan sebagai input produksi, sapi perah sebagai mesin biologis, dan lingkungan (ekosistem) tempat berinteraksi proses produksi.

Untuk mengembangkan budidaya sapi perah secara mantap clan berkesinambungan, perlu kiranya keempat komponen mendapatkan perhatian dalam upaya mengalokasikan berbagai input produksi secara sinergis dan efektif agar diperoleh manfaat sebesar-besamya dalam menghasilkan produksi susu clan sejumlah produk ikutannya. Pada kondisi kabupaten Banyumas yang sudah memprioritaskan pengembangan sapi perah rumpun FH, diperlukan evaluasi terutama berkaitan dengan potensi lahan bagi pengadaan pakan (hijauan dan konsentrat), karakteristik peternak dan kepadatannya, kondisi iklim (terutama suhu) lingkungannya.

a. Potensi Lahan sebagai penghasil hijauan (uraian lebih lanjut)

Pengembangan budidaya sapi perah perlu mempertimbangkan kemmapuan wilayah tersebut dalam menyediakan pakan hijauan. Kabupaten Banyumas yang terdiri dari 27 kecamatan mempunyaL pola pemanfaatan lahan yang bervariasi yang tidak terlepas dari kondisi iklim, topografi, vegetasi lahan. dan koridisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karenanya pola pemanfaatan lahan antara kecamatan yang ada memperlihatkan perbedaan yang cukup bervariasi.

(14)

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

Tabe15. Lokasi dan populasi sapi perah FH pada tingkat petemakan rakyat di Kabupaten Banyumas

Tahun 1986/87 Tahun 1999 2

Keterangan : 1) Dikutip dari Laporan Tahunan pada Tahun 1990 BPT-HMT Baturraden

2) Dikonversi dari data ternak sapi perah (sapi dewasa = 1 ST, muda = 0,6 ST, dan anak = 0,25 ST) Laporan Triwulanan ke II Tahun 1999 Dinas Peternakan TK II Banyumas

3) Semua sapi dalam kondisi bunting tua

Berdasarkan data pemanfaatan lahan ini, dilakukan estimasi kemampuan produksi hijauan dari setiap kecamatan dalam menampung temak, dengan cara mengkoversikan jenis penggunaan lahan kedalam kapasitas tampung berdasarkan satuan temak (ST). Pola lahan yang dipergunakan untuk mengetahui potensinya sebagai sumber hijauan dengan demikian tidak memperhitungkan kolam dan penggunaan lainnya. Dengan mengkonversikan pula setiap jenis temak yang ada di setiap kecamatan kedalam satuan temak (Tabel 8), diketahui jumlah temak (ST) yang ada di setiap lokasi. Selanjutnya potensi setiap lokasi untuk pengembangan ternak diketahui dengan mengurangkan kapasitas tampung terhadap jumlah temak (ST) di setiap kecamatan didapatkan seperti Tabel 9. 309 No. 1. Kecamatan/Desa Sumbang Jumlah Petemak

(orang) Jumlah Sapi(ekor) s) Jumlah Petemak(orang) Satuan TemakJumlah Sapi

1 . Banjarsari Wetan 18 36 5 13,1 2. Banjarsari Kulon 34 68 11 26,4 3. Banteran 17 34 1 1,9 4. Karanggintung 24 48 32 4,3 5. Limpa Kuwus 31 62 63 186,3 6. -Keyatasa - - 5 14,7 Subtotal 124 248 117 246,7 II. Pekuncen 1 . Pekuncen 10 20 . 5 17,6 2. Glempang 10 20 13 20,2 3 . Tumiyang 47 94 93 226 Subtotal 67 134 111 263,8 111. Karang Lewas 1 . Karang Kemiri 32 64 1 3 2 . Karanggude Kulon 41 82 10 38,8 3. Jipang 23 46 1 2 4. Singosari 34 68 4 49 5 . Babakan 30 60 8 22,8 6 . Sunyalarigu - - 6 12 Subtotal 160 320 30 127,6 IV. Baturraden 1 . Kemutug Lor 27 54 36 151 2. Karang Tengah - - 4 11,6 3 . Karang Salam - - 31 145,6 4. Karang Mangu - - 1 2,6 5 . Ketenger - - 21 73 Subtotal 27 54 . 93 375,8 V. Cilongok 1 . Panembangan - - 12 58 2. Karang Tengah - - 32 186,7 3 . Sambiroto - - 19 5,5 4. Gunung Lurah - - 7 22 5. Sokawera - - 5 15,8 Subtotal - - 75 288 Total 378 756 426 13 .019

(15)

Berdasarkan estimasi ketersediaan pakan hijauan (Tabel 9), masih banyak kecamatan yang berpotensi untuk menampung ternak dalam jumlah yang besar, seperti kecamatan Pekuncen, Cilongok, dan Karang Lewas yagg mempunyai kemampuan untuk menerima berurutan sejumlah 16.202, 15 .789, dan 14.197 ST. Sebaliknya terdapat beberapa kecamatan yang sudah berat untuk mendapatkan tambahan beban pemeliharaan ternak seperti kecamaan Lumbir, Purwokerto, Kalibago, Banyumas, dan Sokaraja.

b. Ketinggian wilayah

ANNEKE ANGGRAENIet al.: Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries Holland Sebagai Penghasil Bibit

Sebagian kecamatan di Kabupaten Banyumas merupakan dataran renclah, dengan sedikit lokasi (tiga kecamatan) terletak pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Letak ketinggian 200 m dpl sebenarnya masih merupakan clataran rendah, bila dihubungkan dengan kondisi iklim (suhu clan kelembaban) yang diperlukan untuk kenyaman -biologis sapi perah Bos turus melakukan aktivitas metabolisme tubuh dan berproduksi susu. Menurut Wright dalam ATMADILAGA (1959) diperlukan kisaran suhu 18,3 °C sampai 21,1 °C dengan kelembaban udara di atas 55 persen agar sapi perah Bos taurus dapat berproduksi secara optimal, yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah rumpun FH adalah claerah pegunungan yang mempunyai ketinggian > 750 meter dpl.

Tabel 6. Estimasi Kapasitas Lahan per Kecamatan untuk Menampung Ternak di Kabupaten Banyumas

Keterangan

-Sumber BPS Kabupaten Banyumas (1998)

- Estimasi kapasitas tampung tidak memperhitungkan kolam, padang rumput, dan lahan lain-lain.

-Standar kapasitas tampung(DIT. JEN. PETERNAKAN,1996) adalah sawah = 0,763 ST, tegalan /pekarangan/ladang =

0,584 ST, hutan = 3,264 ST.

- Estimasi jumlah temak tidak memperhitungkan babi dan ayam ras.

-Standar satuan ternak sapi perah = 1, sapi potong = 0,76, kerbau = 0,91, kucla = 0,69, kambing = 0,12, domba = 0, 13, ayam = 0,02, dan itik = 0,03 .

No. Kecamatan Kapasitas Tampung

(ST) -Jumlah Ternak(ST) - Penambahan Ternak(ST)

1 . Lumbir 3.892 4.139 -247 2. Wangon 14.445 3 .229 +11 .217 3 . Jatilawang 5.097 1 .734 +3 .364 4. Rawalo 3.973 2.225 +1 .748 5. Kebasen 5.858 3.659 +2.199 6. Kemranjen 6.960 2.021 +4.939 7. Sumpiuh 6 .496 2.343 +4.153 8. Tambak 8 .652 2.645 +6 .008 9. Somagede 5 .704 3 .824 + 1 .881 10. Kalibagor 3 .629 2 .780 +849 11. Banyumas 3 .370 2.551 +819 12. Patikraja 5 .213 2.102 +3 .112 13. Purwojati 6.948 2.156 +4.792 14. Ajibarang 6.358 2.961 +3 .841 15 . Gumelar 8.166 2.663 +5.205 16. Pekuncen 18.865 5.126 +16.202 17. Cilongok 20.915 1 .851 + 15.789 18. Karanglewas 16.049 883 + 14.197 19. Keclungbanteng 4.091 2.414 +3.209 20. Baturraclen 11 .220 4.412 +8.806 21 . Sumbang 10.595 3 .389 +6.183 22. Kembaran 7 .320 1 .102 +3 .931 23. Sokaraja 1 .966 720 +865 24. Purwokerto Selatan 712 581 - 8 25. Purwokerto Barat 659 284 +78 26. Purwokerto Timur 456 667 +172 27. Purwokerto Utara 550 667 -117

(16)

c. Kepaclatan penduduk

Laporan Bagian Proyek Rekayusa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

Bila dihubungkan dengan lokasi budidaya sapi perah FH di Banyumas, terlihat pendekatan pengembangan yang dilakukan sudah mengarah pada upaya untuk memberikan kenyamanan bagi sapi berproduksi. Sebagian besar dari kecamatan yang sudah berkembang sapi perahnya terletak pada lokasi relatif lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya, berkisar antara 140 - 300 meter dpl. Memang sapi perah rumpun FH termasuk salah satu rumpun sapi perah Bos taurus yang cukup sulit beradaptasi pada iklim dataran renclah di daerah tropis. Namun dengan perhatian manajemen, pemberian pakan, clan pemeliharaan sanitasi dan kesehatan dapat membantu sapi-sapi ini untuk berproduksi susu cukup baik. Terbukti dengan adanya pengadaan input produksi secara baik misalnya pengadaan pakan hijauan yang mencukupi di kecamatan Baturraden clan Cilongok, terus meningkatkan jumlah peternak dan populasi sapi perah FH yang dipelihara.

Kepadatan penduduk dari suatu lokasi (kecamatan) merupakan salah satu faktor penentu dalam mengetahui potensi wilayah untuk pengembangan ternak. Pada penelitian, suatu kecamatan dinyatakan daerah padat apabila mempunyai kepadatan penduduk lebih dari 900 orang per kilo meter persegi.

Kecamatanprospektif bagipengembangan sapiperah

Penentuan kecamatan dengan prospek yang baik untuk terus dilakukan pengembangan sapi perah dalam penelitian diperingkat berdasarkan pertimbangan ketinggian lokasi, kapasitas tampung ternak, dan tingkat kepadatan penduduk (Tabel 10).

Ketinggian tempat diberikan bobot pertimbangan lebih besar dibandingkan kapasitas tampung dan kepadatan penduduk. Pada lokasi dengan ketiga faktor bernilai positip berarti merupakan kecamatan prospektif untuk terus dikembangkan budidaya sapi perah. Apabila hanya ketinggian lokasi dan kapasitas tampung bernilai positip, juga masih layak dikembangkan usaha sapi perah. Akan tetapi apabila faktor kapasitas tampung dan kepadatan penduduk bernilai positip, disarankan untuk mengupayakan budidaya jenis ternak lainnya seperti sapi potong, domba, dan kambing.

Berdasarkan uraian di atas, kecamatan Baturraden, Cilongok, dan Pekuncen nampaknya mempunyai peluang yang baik untuk terus dikembangkan sapi perah. Sebaliknya kecamatan Sumbang dan Karang Lewas sudah cukup sarat dengan penduduk dan mempunyai iklim (suhu dan kelembaban) lebih panas dibandingkan kedua kecamatan sebelumnya. Atas dasar kajian ketiga faktor tersebut, bisa dimengerti mengapa budidaya sapi perah tidak begitu berkembang di kedua kecamatan Karang Lewas dan Sumbang.

(17)

*) Kecamatan yang sudah berkembang petemakan sapi perah FH (?) Informasi ketinggian tidak tersedia

Pertimbangan pengembangan sapi perah adalah faktor ketinggian (> 200 m dpl), kapasitas tampung, dan kepadatan penduduk LP singkatan selain sapi perah

Kesimpulan

ANNEKE ANGGRAENIet al.: Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries HollandSebagai Penghasil Bibit Tabel 7. Kecamatan yang Prosfektif untuk Dikembangkan Sapi Perah FH di Kabupaten Banyumas.

Keterangan

KESIMPULAN DAN SARAN

1 . Sejumlah performans produktivitas (meliputi masa laktasi, masa kosong, masa kering, dan selang beranak) sapi perah FH di BPT-HMT Baturraden ada dalam kisaran luas serta dengan nilai rataan masih lebih lama dibandingkan sapi perah di daerah iklim sedang.

2. Kemampuan mengulang untuk sifat produksi susu sapi perah FH di BPT-HMT Baturraden cukup baik dengan nilai ripitabilitas sebesar 0,29, sedangkan keragaman genetik (additif) antara individu sapi sangat rendah dengan nilai heritabilitas sebesar 0,06.

3 . Sapi-sapi betina FH di BPT-HMT Baturraden sudah memiliki prestasi produksi susu cukup tinggi sehingga dapat menjadi sumber sapi perah bibit petemak di sekitamya maupun dalam skala lebih luas.

4. Kemampuan mewariskan performan produksi susu sapi-sapi pejantan FH yang dipergunakan oleh BPT-HMT Baturraden memberikan hasil yang relatif seragam, sebagai diperlihatkan oleh nilai rataan produksi susu keturunan antara pejantan relatiftidak berbeda.

No. Kecamatan KetinggianLokasi (meter dpl) Penambahan Kapasitas Tarnpung (ST) Kecamatan Penduduk (orang/km) I Prospek II III Potens ~-1 . Lumbir 18 -247 427 - - + -2. Wangon 30 +11 .217 1.148 - + - LP 3 . Jatilawang 21 +3 .364 1 .152 - + - LP 4. Rawalo - +1 .748 854 ? + + ?/LP 5. Kebasen 20 +2.199 933 - + - LP 6. Kemranjen - +4.939 1 .043 ? + - LP 7. Sumpiuh 18 +4.153 878 - + + LP 8. Tatribak - +6.008 884 ? + + ?/LP 9. Somagede - + 1 .881 815 ? + + ?/LP 10. Kalibagor 37 +849 1 .156 - + - -11 . Banyumas 30 +819 ' 1 .216 - + - -12. Patikraja - +3 .112 1 .045 ? + - ?/LP 13. Purwojati - +4.792 863 ? + + ?/LP 14. Ajibarang 148 +3 .841 1 .233 - + - -15. Gumelar - +5 .205 499 ? + + ?/LP 16. Pekuncen *) 250 +16.202 675 + + + + 17. Cilongok *) 233 + 15.789 979 + + - + 18. Karanglewas *) 140 +14.197 1 .529 - + - LP 19. Kedungbanteng - +3.209 791 ? + + ?/LP 20. Baturraden *) 300 +8.806 895 + + + + 21 . Sumbang *) 160 +6.183 1 .223 - + - -22. Kembaran - +3.931 2.315 ? + - ?/LP 23. Sokaraja 37 +865 2.234 - + - -24. Purwokerto Selatan - - 8 4.293 ? - - -25. Purwokerto Barat - +78 6.490 ? + - -26. Purwokerto Timur - +172 7.333 ? + - -27. Purwokerto Utara - -117 4.813 ? - -

(18)

-5 . Penentuan lokasi (kecamatan) pengembangan budidaya sapi perah FH di kabupaten Banyumas selama ini sudah mempertimbangkan sejumlah faktor pendukung dari agroekosistem yang ada.

6. Sejumlah kecamatan di Kabupaten Banyumas cukup prospektif menjadi wilayah pengembangan sapi perah FH. Pengembangan suatu wilayah (kecamatan) dalam mendukung program pengembangan pembibitan sapi perah FH di Kabupaten Banyumas ini ditentukan oleh kondisi ketinggian, kapasitas tampung lahan, dan tingkat kepadatan penduduk.

Saran

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi PeternakanARMP-11 Th. 199912000

1 . Diperlukan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan dan perkawinan yang terus-menerus bagi sapi perah FH di_PPT-HMT Baturraden untuk memperkecil kisaran variasi sejumlah performans produktivitas sapi perah FH di BPT-HMT Baturraden .

2. Diperlukan kajian lebih jauh terhadap mutu genetik sapi-sapi pejantan FH yang dipergunakan sebagai sumber semen beku oleh kedua BIB Lembang dan Singosari untuk mengetahui mengapa performan produksi susu anak-anak betina antara pejantan tersebut tidak berbeda di BPT-HMT Baturraden .

3 . Potensi Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah sentra prouksi susu perlu terus diberdayakan dalam mendukung program pembibitan sapi perah FH di peternakan rakyat.

4. Program pengembangan pembibitan sapi perah FH di tingkat peternakan rakyat dalam kabupaten Banyumas perlu terus diupayakan dengan cara menentukan lokasi (kecamatan) prosfektif berdasarkan pertimbangan sejumlah faktor antara lain ketinggian lokasi, kapasitas tampung lahan, dan tingkat kepadatan penduduk. 5. Kecamatan Baturraden merupakan kecamatan yang cukup prosfektif untuk terus dikembangkan budidaya sapi

perah dalam mendukung program pembibitan sapi perah FH nasional. Sedangkan Kecamatan Cilongok perlu terus memberdayakan segenap potensi yang dimilikinya untuk lebih mendorong berkembangnya budidaya dan pembibitan sapi perah FH di lokasi ini.

DAFTAR PUSTAKA

ATMADILAGA, D., 1959. Cattle Breeding in Indonesia with Special Reference to Heat Tolerance. Disertasi Doktor. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia. Bogor.

BECKER, W.A. 1975. Manual Quantitative Genetics . 4thEd. Academic Enterprises Pullman, Washington.

DJARSANTO, 1995. Kebijaksanaan operasional pengembangan pembibitan dan rekording sapi perah. Prosiding Pertemuan Teknis Evaluasi Rekording Sapi Perah untuk Produksi Calon Pejantan Unggul Lokal. BIB Singosari, Malang. Dit. Jen. Peternakan, Departemen Pertanian . Malang.

GKSI, 1996. Strategi GKSI dalam meningkatkan fungsi koperasi persusuan menghadapi pasar yang kompetitif Paper disampaikan pada Lokakarya Kebijakan Persusuan di Indonesia. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Litbang Pertanian berkerjasama dengan Australian Centre for International Agricultural Research. 18 Desember 1996.

GUSHAIRIYANTO . 1994. Parameter genetik produksi susu dan reproduksi, evaluasi nilai pemuliaan pejantan serta induk sapi perah Fries Holland di beberapa peternakan . Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

HARDJOSUBROTO, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. HARDioSUBROTO, W., D.S. SUMADI, dan M. ASTUTI, 1997. Sistem perbibitan ternak nasional ditinjau dari aspek mutu genetis,

budidaya, standar dan pengawasan mutu : bibit ternak ruminansia besar. Makalah disampaikan pada Kajian Kebijaksanaan Pembangunan Petemakan Selama PJP I dan Poko-pokok Pemikiran untuk REPELITA VII, Dit. Jen. Petemakan. Bogor. 24 Maret 1997.

LAPORAN TAHuNAN DINAS PETERNAKAN, 1999. Pemerintah Kabupaten.Daerah Tingkat II Banyumas. Banyumas.

LASLEY, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3 rd edition. Prentice-Hall of India Private Limited. New Delhi. MEKIR, W.S., 1982. Parameter fenotip dan genetik sifat-sifat reproduksi dan produksi sapi perah Fries Holland di beberapa

peternakan. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. NICHOLAS, F.W., 1987. Veterinary Genetics . Clarendon Press. Oxford.

PADMADEWI, A. B. L. 1993 . Parameter fenotipik dan genetik produksi susu dan reproduksi sapi-sapi perah di PT Taurus Dairy Farm. Skripsi . Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(19)

ANNEKE ANGGRAENI et al. : Evaluasi Potensi Genetik Sapi Perah Betina Fries Holland Sebagai PenghasilBibit

PALLAWARUKKA, 1999. Perbaikan mutu genetik sapi perah di Indonesia. Paper disampaikan pada kegiatan workshop Peneli4an

Kebijakan Pengembangan Produktivitas Sapi Perah dan Sistem Produksi Susu Nasional. Puslitbang Peternakan. Bogor.,12 Agustus 1999.

PROYEK PENGEMBANGAN SAPI PERAH BATURRADEN, 1990. Dit. Jen. Peternakan, Departemen Pertanian. Purwokerto.

RAHmAm, N., 1999. Evaluasi Mutu Genetik Sapi Perah Frisien Holstein di PT Cijanggel. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

SCHMIDT, G.H ., L.D. VAN VLECT, and HUTJEUNS, 1988. Principle of Dairy Science. 2"° Ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs.

New Jersey.

SIMANDJUNTAK, D.S ., 1999. Strategi kebijakan pengembangan bibit sapi perah di Indonesia. Direktorat Jendral Peternakan.

Paper disampaikan pada kegiatan workshop Penelitian Kebijakan Pengembangan Produktivitas Sapi Perah dan Sistem Produksi Susu Nasional . Puslitbang Petemakan. Bogor. 12 Agustus 1999.

SITEPU, P., 1996. Pengembangan produksi ternak dan strategi penyediaan bibit : sapi perah. Temu Ilmiah Hasil-hasil Penelitian

Peternakan. Puslitbang Petemakan. Bogor.

TATIT, S.,dan S.B. SIREGAR, 1999. Dampak pelaksanaan inseminasi buatan (IS) terhadap peningkatan pendapatan petemak sapi

perah di daerah Jawa Barat. Jumal I1mu Petemakan dan Veteriner, Vol. 4, No. 1 . Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.

WARWICK, E.J. and J. E. LEGATES. 1979. Breeding and Improvement of Farm Animals. 7"' Ed. Mc Graw-Hill Book Co.

Gambar

Tabel 1. Produktivitas Sapi FH di BPT-HMT Baturraden
Tabel 2. Produksi susu sapi FH pada tahun beranak yang berbeda
Tabel 3. Nilai ripitabilitas dan heritabilitas produksi susu sapi FH
Tabel 6. Estimasi Kapasitas Lahan per Kecamatan untuk Menampung Ternak di Kabupaten Banyumas
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas

Semuanya sudah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam operasionalnya, jauh dekatnya tujuan pengiriman.Bahkan terkadang

[r]

Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau menyediak menyediakan an barang yang diberikan oleh syarikat

Dalam penelitian ini daya keluaran panel surya diperoleh menggunakan modul sensor tegangan dengan prinsip rangkaian pembagi tegangan dan modul sensor arus dengan resistor shunt

Selain benda yang terbuat dari kayu dan plastic, masih ada benda yang dibuat dari bahan yang lain, coba sebutkan.. Jawab: Kaca,

Dari hasil berinteraksi dengan petani yang kami, kami mengetahui ada beberapa masalah yang umumnya terjadi pada petani, misalnya tentang mahalnya harga benih dan

Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian terdahulu menggunakan kepemilikan institusional sebagai variabel independen, sedangkan