• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa isu yang merebak akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di dunia yang saat ini mencapai sekitar 6.8 milyar berdampak pada aktivitas-aktivitas peningkatan konsentrasi gas efek rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global dan emisi-emisi lain yang merugikan lingkungan. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang biasanya dihasilkan dari pembuangan industri-industri pabrikan ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Jika pemanasan global tidak diantisipasi secepatnya, maka akan timbul banyak dampak negatif yang akan merugikan kehidupan manusia.

Berbagai teknologi yang ramah

lingkungan pun telah dikembangkan untuk mengurangi efek rumah kaca di berbagai industri, salah satunya adalah teknologi kogenerasi. Kogenerasi (combined heat and power) adalah suatu sistem energi berefisiensi tinggi yang memproduksi baik energi listrik (dan energi mekanik), maupun energi panas yang berguna dari sebuah sumber bahan bakar. Sistem kogenerasi menawarkan keuntungan utama di bidang ekonomi dan lingkungan karena di pihak lain dapat mengubah panas buang menjadi sumber energi yang berguna (Tsay & Lin 2000). Dengan konsep kogenerasi, efisiensi energi secara keseluruhan dalam suatu sistem energi bertambah secara signifikan; dalam beberapa kasus bisa bertambah lebih dari 30% dibandingkan dengan sistem energi konvensional (Hasan 2006). Selain itu sistem

kogenerasi juga memiliki emisi yang lebih rendah terhadap lingkungan, khususnya CO2.

Sektor industri diketahui sebagai konsumen listrik terbesar yang dipasok oleh PLN, yaitu sekitar 43% dari total penjualannya atau sekitar 34000 GWh. Berdasarkan data statistik tahun 2000 untuk industri menengah hingga besar, sektor industri yang berpotensi untuk menerapkan kogenerasi (seperti industri pulp dan kertas, petrokimia, tekstil, dan lain-lain) mengonsumsi hampir sekitar 29000 GWh atau sekitar 30% dari pasokan PLN pada tahun 2000. Pada saat ini, di Indonesia terdapat tidak kurang dari 25 pembangkit kogenerasi yang tersebar di berbagai industri dengan total kapasitas sekitar 1200 MW (Hasan 2006).

Berbagai model optimisasi strategi pengoperasian sistem kogenerasi telah banyak dikembangkan, namun kebanyakan dari model tersebut hanya mempertimbangkan minimisasi biaya. Pada kesempatan ini akan digunakan bantuan berupa hasil dari analisis life cycle assessment (LCA) berupa faktor emisi untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan sistem kogenerasi terhadap lingkungan. Model optimisasi nanti adalah penggabungan hasil analisis LCA dan teknik riset operasi yang akan digunakan untuk mengoptimumkan pemilihan dan pengoperasian sistem kogenerasi dengan memperhatikan dampak potensial yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan. Selain itu, model optimisasi sistem konvensional juga dibuat sebagai pembanding.

1.2 Tujuan

Tulisan ini bertujuan menjelaskan peranan integer linear programming dalam

menyelesaikan masalah optimisasi

pengoperasian sistem kogenerasi dengan bantuan life cycle assessment guna meminimumkan total emisi life cycle (LC).

II LANDASAN TEORI

Untuk membuat model optimisasi

pengoperasian sistem kogenerasi yang berbasis life cycle assessment, diperlukan pemahaman teori linear programming (LP), integer linear programming (ILP), metode branch and bound untuk menyelesaikan masalah integer linear programming, sistem kogenerasi, simulasi energi, dan LCA. Berikut

ini akan dibahas konsep-konsep tersebut satu per satu.

2.1 Linear Programming

Fungsi linear dan pertidaksamaan linear merupakan salah satu konsep dasar yang harus dipahami terkait dengan konsep pemrograman linear.

(2)

Definisi 1 (Fungsi Linear)

Suatu fungsi f(x1,x2,...,xn) dalam variabel-variabel x x1, 2, ...,x adalah suatu n

fungsi linear jika dan hanya jika untuk suatu himpunan konstanta c c1, 2,...,c , n . ... ) ,..., , (x1 x2 xn c1x1 c2x2 cnxn f = + + + (Winston 2004) Sebagai gambaran, f x x( ,1 2)=5x1+x2 merupakan fungsi linear, sementara

2 3

1 2 1 2

( , )

f x x =x x bukan fungsi linear.

Definisi 2 (Pertidaksamaan dan Persamaan Linear)

Untuk sembarang fungsi linear

) ,..., , (x1 x2 xn

f dan sembarang bilangan b ,

pertidaksamaan f(x1,x2,...,xn)≤b dan b x x x f( 1, 2,..., n)≥ adalah pertidaksamaan linear.

Misalkan b sembarang bilangan, suatu persamaan f(x1,x2,...,xn)=b merupakan persamaan linear (Winston 2004).

Pemrograman linear (PL) atau linear programming (LP) adalah suatu masalah optimisasi yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a) Tujuan masalah tersebut adalah memaksimumkan atau meminimumkan suatu fungsi linear dari sejumlah variabel

keputusan. Fungsi yang akan

dimaksimumkan atau diminimumkan ini disebut fungsi objektif.

b) Nilai variabel-variabel keputusannya harus memenuhi suatu himpunan kendala. Setiap kendala harus berupa persamaan linear atau pertidaksamaan linear.

c) Ada pembatasan tanda untuk setiap variabel dalam masalah ini. Untuk sembarang variabel

x

i, pembatasan tanda

menentukan

x

i harus taknegatif

(

x

i

0

)

atau tidak dibatasi tandanya (unrestricted in sign).

(Winston 2004) Definisi 3 (Bentuk Standar LP)

Pada tulisan ini, suatu LP mempunyai bentuk standar sebagai berikut:

Minimumkan fungsi objektif z = cTx terhadap Ax = b

x ≥ 0

b ≥ 0 (1) dengan x dan c berupa vektor berukuran n,

vektor b berukuran m, sedangkan A berupa

matriks berukuran m×n yang disebut juga sebagai matriks kendala.

(Nash & Sofer 1996) 2.1.1 Solusi suatu Linear Programming

Untuk menyelesaikan suatu masalah linear programming (LP), metode simpleks merupakan salah satu metode yang dapat menghasilkan solusi optimum. Metode ini mulai dikembangkan oleh Dantzig pada tahun 1947. Dalam perkembangannya, metode ini adalah metode yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan LP, yaitu berupa metode iteratif untuk menyelesaikan masalah LP dalam bentuk standar.

Pada LP (1), vektor x yang memenuhi kendala Ax = b disebut sebagai solusi dari LP (1). Misalkan matriks A dapat dinyatakan sebagai A = (B N), dengan N adalah matriks yang elemennya berupa koefisien variabel nonbasis pada matriks kendala. Matriks B disebut matriks basis untuk LP (1).

Jika vektor c dituliskan sebagai c = (cB cN) dan vektor x dapat dinyatakan sebagai vektor x = (xB xN)T , dengan xB adalah vektor variabel basis dan xN adalah vektor variabel non basis, maka Ax = b dapat dinyatakan sebagai:

Ax = (B N)(xB xN)T = BxB + NxN = b (2) Karena B adalah matriks taksingular, maka B memiliki invers sehingga dari (2) xB dapat dinyatakan sebagai:

xB = B-1b – B-1 NxN (3) Kemudian, fungsi objektifnya berubah menjadi:

min z

=

T T

.

B B N N c x

+

c x

Definisi 4 (Solusi Basis)

Solusi dari suatu LP disebut solusi basis jika :

i. Solusi tersebut memenuhi kendala pada LP.

ii. Kolom-kolom dari matriks koefisien yang berpadanan dengan komponen taknol adalah bebas linear.

(Nash & Sofer 1996) Definisi 5 (Solusi Fisibel Basis)

Vektor x disebut solusi fisibel basis jika x merupakan solusi basis dan x ≥ 0.

(Nash & Sofer 1996) Ilustrasi solusi basis dan solusi fisibel basis dapat dilihat dalam contoh berikut:

(3)

Contoh 1

Misalkan diberikan linear programming berikut: 1 2 min z= − −x 2x 1 2 3 1 2 4 1 5 1 2 3 4 5 terhadap 2 2, 2 8, 4, , , , , 0. x x x x x x x x x x x x x − + + = − + + = + = ≥

(4)

Dari LP tersebut didapatkan:

. 2 1 1 0 0 2 1 2 0 1 0 , 8 1 0 0 0 1 4 −         = − =          A b Misalkan dipilih

(

1 2 3

)

dan

(

4 5

)

, T T x x x x x = = B N x x

maka matriks basisnya adalah

, , 2 1 1 0 0 1 1 2 0 0 1/2 1/2 1 0 0 1 1/2 3/2 −         = − =         -1 B B 0 0 1 0 0 1     =     N

(

1 2 0

)

,

(

0 0

)

. = − − = T T B N c c

Dengan menggunakan matriks basis tersebut, diperoleh

(

)

(

)

, 0 0 = 4 6 4 z = 16. T T = − = = − T -1 B N B N -1 -1 x x B b B Nx c B b (5) Solusi (5) merupakan solusi basis, karena solusi tersebut memenuhi kendala pada LP (4) dan kolom-kolom pada matriks kendala yang berpadanan dengan komponen taknol dari (5), yaitu B adalah bebas linear (kolom yang satu bukan merupakan kelipatan dari kolom yang lain). Solusi (5) juga merupakan solusi basis fisibel, karena nilai-nilai variabelnya lebih dari atau sama dengan nol.

Definisi 6 (Daerah Fisibel)

Daerah fisibel suatu LP adalah himpunan semua titik yang memenuhi semua kendala dan pembatasan tanda pada LP tersebut (Winston 2004).

Definisi 7 (Solusi Optimum)

Untuk masalah maksimisasi, solusi optimum suatu LP adalah suatu titik dalam daerah fisibel dengan nilai fungsi objektif terbesar. Untuk masalah minimisasi, solusi optimum suatu LP adalah suatu titik dalam

daerah fisibel dengan nilai fungsi objektif terkecil (Winston 2004).

2.2 Integer Programming

Model integer linear programming (ILP) atau disebut juga integer programming (IP) adalah suatu model linear programming dengan variabel yang digunakan berupa bilangan bulat (integer). Jika semua variabel harus berupa integer, maka masalah tersebut disebut pure integer programming. Jika hanya sebagian yang harus integer maka disebut mixed integer programming. IP dengan semua variabelnya harus bernilai 0 atau 1 disebut 0-1 IP (Garfinkel & Nemhauser 1972).

Definisi 3 (Linear Programming Relaksasi) LP-relaksasi dari suatu IP merupakan linear programming yang diperoleh dari IP tersebut dengan menghilangkan kendala integer atau kendala 0-1 pada variabelnya (Winston 2004).

2.3 Metode Branch and Bound untuk Menyelesaikan Masalah Integer Linear Programming

Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memperoleh solusi optimal dari masalah IP digunakan software LINGO 8.0 yaitu sebuah program yang dirancang untuk membangun dan menentukan solusi model linear, taklinear, dan optimisasi integer menjadi lebih cepat, mudah dan lebih efisien dengan prinsip pemecahannya berdasarkan metode branch and bound.

Prinsip dasar metode branch and bound adalah memecah daerah fisibel dari masalah LP-relaksasi dengan membuat subproblem-subproblem. Daerah fisibel linear programming adalah daerah yang memenuhi semua kendala linear programming.

Branching (pencabangan)

Langkah pencabangan (branching) membuat partisi daerah solusi sehingga masalahnya dibuat menjadi subproblem-subproblem. Tujuannya adalah untuk menghapus daerah solusi yang tidak fisibel. Hal ini dicapai dengan menentukan kendala yang penting untuk menghasilkan solusi IP, secara tidak langsung titik integer yang tidak fisibel terhapus. Dengan kata lain, hasil pengumpulan dari subproblem-subproblem yang lengkap menunjukkan setiap titik integer yang fisibel dari masalah asli. Karena sifat alami partisi itu, maka proses tersebut dinamakan branching.

(4)

Bounding (pembatasan)

Misalkan masalahnya diasumsikan merupakan tipe maksimisasi, nilai objektif yang optimal untuk setiap subproblem dibuat dengan membatasi pencabangan dengan batas bawah dari nilai objektif yang dihubungkan dengan sembarang nilai integer yang fisibel. Hal ini sangat penting untuk mengatur dan menempatkan solusi optimum. Operasi ini yang menjadi alasan dinamakan bounding (Taha 1975).

Metode branch-and-bound diawali dari menyelesaikan LP-relaksasi dari suatu integer programming. Jika semua nilai variabel keputusan solusi optimum sudah berupa integer, maka solusi tersebut merupakan solusi optimum IP. Jika tidak, dilakukan pencabangan dan penambahan batasan pada LP-relaksasinya kemudian diselesaikan.

Winston (2004) menyebutkan bahwa nilai fungsi objektif optimum untuk IP

nilai fungsi objektif optimum untuk LP-relaksasi (masalah maksimisasi), sehingga nilai fungsi objektif optimum LP-relaksasi merupakan batas atas bagi nilai fungsi objektif optimum untuk masalah IP. Diungkapkan pula dalam (Winston 2004) bahwa nilai fungsi objektif optimum untuk suatu kandidat solusi merupakan batas bawah nilai fungsi objektif optimum untuk masalah IP asalnya. Suatu kandidat solusi diperoleh jika solusi dari suatu subproblem sudah memenuhi kendala integer pada masalah IP, artinya fungsi objektif dan semua variabelnya sudah bernilai integer.

Sebelumnya akan dibahas terlebih dulu pengertian subproblem yang terukur. Menurut Winston (2004), suatu subproblem dikatakan terukur (fathomed) jika terdapat situasi sebagai berikut:

1. subproblem tersebut takfisibel, sehingga tidak dapat menghasilkan solusi optimum untuk IP,

2. subproblem tersebut menghasilkan suatu solusi optimum dengan semua variabelnya bernilai integer. Jika solusi optimum ini mempunyai nilai fungsi objektif yang lebih baik daripada solusi fisibel yang diperoleh sebelumnya, maka solusi ini menjadi kandidat solusi optimum dan nilai fungsi objektifnya menjadi batas bawah nilai fungsi objektif optimum bagi masalah IP pada saat itu. Bisa jadi subproblem ini menghasilkan solusi optimum untuk masalah IP,

3. nilai fungsi objektif optimum untuk subproblem tersebut tidak melebihi (untuk masalah maksimisasi) batas bawah saat

itu, maka subproblem ini dapat dieliminasi.

Berikut ini adalah langkah-langkah penyelesaian suatu masalah maksimisasi dengan metode branch-and-bound.

.

• Langkah 0

Didefinisikan z sebagai batas bawah dari nilai fungsi objektif (solusi) IP yang optimum. Pada awalnya ditetapkan z=−∞ dan i=0.

• Langkah 1

Subproblem LP( )i dipilih sebagai bagian masalah berikutnya untuk diperiksa. Subproblem LP( )i diselesaikan dan diukur dengan kondisi yang sesuai.

a) Jika LP( )i terukur, batas bawah z diperbarui jika solusi IP yang lebih baik ditemukan. Jika tidak, bagian masalah (subproblem) baru i dipilih dan langkah 1 diulangi. Jika semua subproblem telah diperiksa, maka proses dihentikan. b) Jika LP( )i tidak terukur, proses dilanjutkan

ke Langkah 2 untuk melakukan

pencabangan LP( )i . • Langkah 2

Dipilih salah satu variabel xj yang nilai optimumnya adalah x*j yang tidak memenuhi batasan integer dalam solusi

LP

( )i . Bidang

1 ] [ ]

[x*j <xj < x*j + disingkirkan dengan membuat dua subproblem LP yang berkaitan menjadi dua subproblem yang tidak dapat dipenuhi secara bersamaan, yaitu

*

[

]

j j

x

x

dan

x

j

[

x

*j

] 1

+

,

dengan [x*j] didefinisikan sebagai integer terbesar yang kurang dari atau sama dengan

.

*

j

x Kembali ke Langkah 1 (Taha 1996). Untuk memudahkan pemahaman mengenai metode branch-and-bound diberikan contoh sebagai berikut.

Contoh 2

Misalkan diberikan integer programming berikut:

1 2,

(5)

1 2 1 2 1 2 1 2 terhadap 2 4 25, 8, 2 10 , 0 , . x x x x x x x x integer + ≤ ≤ ≤ ≥ (6) Solusi optimum LP-relaksasi dari masalah IP (6) adalah

x

1

=

8

,

x

2

=

2.25

, dan

35.25

z= (lihat pada Lampiran 1). Batas atas nilai optimum fungsi objektif masalah ini adalah z=35.25. Daerah fisibel masalah (6) ditunjukkan pada Gambar 1. Solusi optimum berada pada titik perpotongan dua garis yang berasal dari kendala pertidaksamaan masalah (6).

Gambar 1 Daerah fisibel (daerah yang diarsir) untuk LP-relaksasi dari IP (6). Langkah berikutnya adalah memartisi daerah fisibel LP-relaksasi menjadi dua bagian berdasarkan variabel yang berbentuk pecahan (non-integer). Dipilih

x

2 sebagai dasar pencabangan. Jika masalah LP-relaksasi

diberi nama Subproblem 1, maka

pencabangan tersebut menghasilkan 2 subproblem, yaitu:

Subproblem 2: Subproblem 1 ditambah kendala

x

2

2.

Subproblem 3: Subproblem 1 ditambah kendala

x

2

3

;

Hal ini diilustrasikan secara grafis pada Gambar 2.

Setiap titik (solusi) fisibel dari IP (6) termuat dalam daerah fisibel Subproblem 2 atau Subproblem 3. Setiap subproblem ini saling lepas. Subproblem 2 dan Subproblem 3 dikatakan dicabangkan oleh

x

2

.

Sekarang dipilih subproblem yang belum diselesaikan. Misalkan dipilih Subproblem 2, kemudian diselesaikan. Solusi optimum untuk Subproblem 2 ini adalah x1 = 8, x2 = 2, dan z =

34 (lihat Lampiran 1). Semua variabel bernilai integer (solusinya memenuhi kendala bilangan bulat), maka tidak perlu dilakukan pencabangan di Subproblem 2. Solusi dari Subproblem 2 menjadi batas bawah dari solusi IP yaitu sama dengan 34.

Gambar 2 Daerah fisibel untuk Subproblem 2 dan Subproblem 3.

Saat ini subproblem yang belum diselesaikan adalah Subproblem 3. Solusi optimum untuk Subproblem 3 adalah x1 = 6.5, x2 = 3, dan z = 34.5 (lihat Lampiran 1). Karena solusi optimum yang dihasilkan Subproblem 3 bukan solusi integer, maka dipilih pencabangan pada Subproblem 3 atas

x

1

,

sehingga diperoleh dua subproblem lagi, yakni:

Subproblem 4: Subproblem 3 ditambah kendalax1≤6.

Subproblem 5: Subproblem 3 ditambah kendala x1≥7.

Masalah Subproblem 4 dan Subproblem 5 diselesaikan satu per satu. Subproblem 5 takfisibel (lihat Lampiran 1 pada Subproblem 5), maka subproblem ini tidak dapat menghasilkan solusi optimum. Solusi optimum untuk Subproblem 4 adalah x1 = 6, x2 = 3.25, dan z = 34.25 (lihat Lampiran 1 bagian Subproblem 4). Karena solusi optimum Subproblem 4 bukan solusi integer, maka dipilih pencabangan Subproblem 4 pada x2, sehingga diperoleh dua subproblem lagi, yaitu:

Subproblem 6: Subproblem 4 ditambah kendala x2 ≤ 3.

Subproblem 7: Subproblem 4 ditambah kendala x2 ≥ 4.

Penyelesaian Subproblem 6 menghasilkan solusi optimum x1 = 6, x2 = 3, dan z = 33 (Lampiran 1 bagian Subproblem 6). Semua

x1= 8

x2= 2.25

Daerah fisibel

Subproblem 2 Subproblem 3

(6)

variabel bernilai integer (solusinya memenuhi kendala integer), akan tetapi solusi yang dihasilkan pada subproblem ini tidak lebih baik dari batas bawah sehingga solusi pada Subproblem 6 tidak menjadi batas bawah yang baru.

Solusi optimum dari Subproblem 7 adalah x1 = 4.5, x2 = 4, dan z = 33.5 (Lampiran 1 bagian Subproblem 7). Karena solusi optimum dari Subproblem 7 tidak lebih baik dari batas bawah, maka tidak perlu dilakukan pencabangan pada Subproblem 7.

Subproblem 2 menghasilkan solusi optimum yang berupa integer, dengan x1 = 8, x2 = 2, dan z = 34. Solusi optimum dari Subproblem 2 telah berupa integer dan tidak perlu lagi dilakukan pencabangan. Dengan demikian, solusi optimum pada IP (6) adalah solusi optimum dari Subproblem 2. Pohon pencabangan yang menunjukkan penyelesaian masalah IP (6) secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Metode branch and bound untuk menentukan solusi optimum dari IP.

2.4 Sistem Energi Kogenerasi

Kogenerasi adalah suatu sistem energi berefisiensi tinggi yang menghasilkan listrik (energi mekanik) dan panas yang berdaya guna dari satu bahan bakar. Sistem kogenerasi sering disebut juga combined heat and power (CHP). Kogenerasi menawarkan keuntungan utama di bidang ekonomi dan lingkungan karena juga dapat mengubah panas buangan menjadi sumber energi yang berguna. Banyak industri yang menggunakan CHP untuk menghasilkan listrik dan memenuhi proses panas (Tsay & Lin 2000). Kelebihan sistem kogenerasi antara lain:

- dapat meningkatkan efisiensi konversi energi dan penggunaannya,

- dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah terhadap lingkungan, khususnya CO2, gas rumah kaca,

- dapat meningkatkan efektivitas biaya dan mengurangi tempat pembuangan limbah; dalam beberapa kasus dapat digunakan bahan bakar kogenerasi berupa biomas dan beberapa limbah seperti limbah pengolahan minyak bumi, limbah proses dan limbah pertanian (dengan digester anaerobik atau gasifikasi),

- dapat menjadikan industri atau sektor komersial lebih kompetitif dan juga dapat memberikan tambahan energi panas untuk pengguna domestik,

- dapat memberikan kesempatan lebih lanjut untuk membangkitkan listrik lokal yang didesain sesuai dengan kebutuhan konsumen lokal dengan efisiensi tinggi, menghindari kehilangan transmisi dan meningkatkan fleksibilitas pada sistem penggunaan; hal ini khususnya untuk penggunaan bahan bakar gas alam, Subproblem 1 x1 = 8, x2 = 2.25 dan z = 35.25 Subproblem 3 x1 = 6.5, x2 = 3 dan z = 34.5 2 4 x ≥ 2 3 x ≤ 1 6 x ≤ 1 7 x ≥ 2 3 x ≥ 2 2 xSubproblem 3 Subproblem 2 x1 = 8, x2 = 2 dan z = 34 Subproblem 4 x1 = 6, x2 = 3.25 dan z = 34.25 Subproblem 5 Solusi takfisibel Subproblem 7 x1 = 4.5, x2 = 4 dan z = 33.5 Subproblem 6 x1 = 6, x2 = 3 dan z = 33

(7)

- dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan diversifikasi plant pembangkit, dan menjadikan persaingan pembangkitan; kogenerasi menyediakan suatu kendaraan penting untuk promosi pasar energi yang liberal (UNEP 2006). Teknologi kogenerasi telah dikenal dan dimanfaatkan dengan baik di berbagai negara maju dan sebagian negara berkembang. Beberapa sektor industri yang berpotensi untuk menerapkan teknologi ini antara lain adalah pabrik pulp dan kertas, pupuk, baja, semen, keramik, gelas, tekstil, pengolahan makanan, penyulingan kelapa sawit maupun minyak bumi. Pada sektor komersial maupun fasilitas publik, kogenerasi dapat diterapkan antara lain sebagai fasilitas pembangkit energi pada kompleks industri, pusat perkantoran, hotel, universitas, dan rumah sakit. Baik sektor industri maupun sektor komersial mempunyai kebutuhan listrik dan uap atau panas secara bersamaan serta mempunyai panas buang yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan, sehingga sangat berpotensi untuk menerapkan teknologi kogenerasi.

Jenis-jenis sistem kogenerasi yang banyak tersedia secara komersial antara lain: sistem kogenerasi turbin uap, turbin gas, dan mesin torak (Hasan 2006). Penjelasan mengenai cara kerja dari sistem kogenerasi secara umum pada suatu bangunan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 diperoleh bahwa suatu bangunan membutuhkan 3 kebutuhan energi, yaitu energi listrik, panas dan pendingin. Sistem kogenerasi dapat menyalurkan energi listrik dan panas yang dihasilkan generator dan heat recovery system. Heat recovery system adalah salah satu bagian dari sistem kogenerasi yang berfungsi untuk mengubah panas terbuang menjadi sumber energi panas yang bisa digunakan baik secara langsung maupun taklangsung. Selain itu sistem kogenerasi juga dapat digabungkan dengan penggunaan gas boiler dan electric grid yang bisa menghasilkan energi panas dan listrik, sedangkan kebutuhan energi pendingin bangunan dapat dipenuhi oleh absorption chiller atau electric chiller.

2.5 Sistem Energi Konvensional

Berbeda dengan sistem energi kogenerasi, pemenuhan kebutuhan energi suatu bangunan pada sistem energi konvensional didapatkan secara terpisah. Misalnya energi termal didapatkan dari gas boiler dan energi listrik didapatkan dari suatu jaringan listrik publik

(electric grid). Sama halnya dengan sistem kogenerasi, pada sistem energi konvensional dapat ditambahkan suatu chiller, baik absorption chiller maupun electric chiller untuk memenuhi kebutuhan pendingin suatu instalasi. Absorption chiller dijalankan oleh energi panas, sedangkan electric chiller dijalankan oleh energi listrik. Penjelasan mengenai cara kerja sistem konvensional pada suatu bangunan dapat dilihat pada Gambar 5. 2.6 Simulasi Energi

Simulasi energi digunakan untuk memperoleh kebutuhan panas, dingin dan listrik setiap jam dari suatu bangunan. Menurut Osman & Ries (2006), input dari simulasi energi adalah data mengenai karakteristik bangunan seperti:

- geometri dan bahan konstruksi bangunan, - lokasi dengan karakteristik cuaca yang

spesifik,

- ukuran bangunan, - kegunaan bangunan,

- karakteristik penempatan yang spesifik, - jadwal penggunaan peralatan,

- jadwal penggunaan penerangan.

Selanjutnya software simulasi energi dapat digunakan untuk menghasilkan penggunaan energi bangunan tiap jamnya yang sesuai dengan karakteristik bangunan yang dideskripsikan oleh pengguna. Hasil simulasi energi berupa kebutuhan listrik, panas, dan dingin setiap jamnya dapat digunakan sebagai parameter dalam model optimisasi.

2.7 Life Cycle Assessment (LCA)

LCA mempelajari aspek-aspek lingkungan dan dampak potensial keseluruhan suatu umur produk dimulai dari perolehan bahan mentah lalu melewati proses produksi, pemakaian dan pembuangan. Berdasarkan International Organization for Standardization (ANSI/ISO, 1997), tahapan model LCA terdiri atas definisi dari tujuan dan ruang lingkup, analisis inventory, impact assessment, dan interpretasi (Osman & Ries 2006).

Tahapan analisis inventory meliputi kumpulan data dan prosedur kalkulasi untuk mengukur input-input dan output-output yang relevan dari proses pembuatan suatu produk. Input dapat berupa bahan mentah, bahan bakar, material pembantu dan energi, sedangkan output dapat berupa produk, emisi, limbah, energi listrik, dan panas. Pada tahapan

(8)

impact assessment akan dievaluasi dampak potensial lingkungan yang signifikan dengan

menggunakan hasil analisis life cycle inventory.

Gambar 4 Skema sistem energi kogenerasi dalam suatu bangunan

(Listrik , Panas , Pendingin ) (Osman & Ries 2006).

Gambar 5 Skema sistem energi konvensional dalam suatu bangunan (Listrik , Panas , Pendingin ) (Osman & Ries 2006).

Indikator dampak potensial lingkungan yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah: Primary Energi Consumption (PEC)

Primary energi consumption adalah suatu pengukuran kuantitatif dari keseluruhan jumlah sumber energi utama yang dibutuhkan untuk mengantarkan energi. Sumber energi adalah produk yang dapat

dikonversi menjadi pembawa energi, contohnya minyak dan batu bara yang dapat dijadikan bahan bakar, angin, tenaga air dan lain-lain. PEC diukur dalam satuan kWh.

Global Warming Potential (GWP)

GWP setara dengan massa dari daya radiasi gas rumah kaca, yang didasarkan

(9)

atas daya spesifik CO2. GWP diukur dalam kg CO2 equivalent. Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer diduga dapat menyebabkan peningkatan temperature permukaan bumi atau pemanasan global. • Tropospheric Ozone Precursor Potential

(TOPP)

TOPP setara dengan massa dari laju pembentukan ozon dari prekursor dan diukur dalam kg TOPP equivalent. TOPP merepresentasikan pembentukan potensial ozon pada lapisan troposfer yang mana dapat menyebabkan kabut photochemical. Nilai faktor emisi untuk indikator dampak lingkungan GWP dan TOPP dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

[ ]

equivalent i i

Indikator =

e×Indikator

dengan:

• ei = massa dari emisi (i) dalam satuan kg,

• Indikatori = ekuivalensi emisi (i) untuk

suatu indikator lingkungan dalam kg/kg. Nilai-nilai ekuivalensi emisi dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil LCA berupa faktor emisi untuk setiap indikator dampak lingkungan dan dapat digunakan sebagai parameter pada model optimisasi. Faktor emisi life cycle (LC) merupakan suatu nilai yang menghubungkan kuantitas dari suatu polutan yang dilepas ke atmosfer dengan suatu aktivitas yang terkait dengan pembuangan pelepasan polutan tersebut. Faktor emisi dinyatakan sebagai berat dari polutan untuk suatu indikator dampak lingkungan dibagi dengan suatu unit (kWh) yang dikonsumsi.

Tabel 1 Ekuivalensi emisi

Ekuivalensi emisi CO2 CH4 N2O NOx NMVOC CO

CO2 equivalent 1 21 316 - - -

TOPP equivalent - 0.014 - 1.22 1 0.11

III PEMODELAN

Formulasi model optimisasi energi berbasis life cycle assessment akan dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu: simulasi energi, life cycle assessment, dan optimisasi. Peranan setiap tahap dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar tersebut menunjukkan bahwa hasil akhir dari simulasi energi dan LCA sangat berpengaruh pada model optimisasi yang akan dibuat nanti.

Output dari simulasi energi berupa kebutuhan energi suatu bangunan setiap jam yang akan digunakan sebagai input pada model optimisasi. Output dari LCA, yang berupa faktor emisi, merupakan input dari model optimisasi yang digunakan sebagai koefisien dari variabel keputusan pada fungsi objektif. Faktor emisi terdiri atas 3 jenis berdasarkan indikator dampak lingkungannya, yaitu berdasarkan PEC, TOPP, dan GWP.

Model optimisasi dibuat untuk sistem yang mampu menyediakan kebutuhan energi listrik, panas dan pendingin sekaligus. Model optimisasi terdiri atas:

1. Model optimisasi sistem energi kogenerasi.

Alat-alat yang digunakan pada sistem ini antara lain: microturbine (salah satu jenis

turbin gas), jaringan listrik (electric grid), gas boiler, absorption chiller dan electric chiller.

2. Model optimisasi sistem energi konvensional.

Alat-alat yang digunakan pada sistem ini antara lain: electric grid, gas boiler, absorption chiller dan electric chiller. Model akan mengoptimumkan strategi pengoperasian sistem sehingga dapat meminimumkan total emisi LC (life cycle). Total emisi LC adalah jumlah keseluruhan dari dampak yang ditimbulkan suatu produk selama umur hidupnya terhadap lingkungan. Model optimisasi ini berupa permasalahan mixed integer linear programming (MILP). Variabel-variabel yang digunakan merupakan variabel kontinu dan biner. Variabel keputusan kontinu digunakan dalam memformulasikan karakteristik kinerja peralatan, keseimbangan energi dan hubungan permintaan dan penawaran. Variabel biner digunakan untuk menyatakan apakah suatu unit kogenerasi akan digunakan atau tidak. Variabel biner juga memastikan bahwa unit kogenerasi yang terpilih hanya akan beroperasi pada fakta-fakta level tingkatan

Gambar

Gambar 1  Daerah fisibel (daerah yang diarsir)      untuk LP-relaksasi dari IP (6).
Gambar  4  Skema sistem energi kogenerasi dalam suatu bangunan
Tabel 1 Ekuivalensi emisi

Referensi

Dokumen terkait

Plaxis output dapat dipanggil dengan mengklik toolbar Plaxis output, atau dari start menu yang bersesuaian dengan program plaxis. Toolbar Calculation pada

Menerapkan hasil dan mengeksplorasi pertanyaan- pertanyaan atau permasalahan lanjutan untuk dicari jawabannya dengan memberikan kegiatan tindak lanjut dimana peserta

Gambar diatas menunjukkan manusia sebagai suatu sistem terbuka, yang terdiri dari input berupa stimulus dan tingkatan adaptasi, output berupa respon perilaku yang dapat menyediakan

Kajian eksperimental penelitian ini terbagi atas lima tahapan utama, yaitu pembuatan ekstrak daun bayam merah dan kulit jahe merah sebagai sumber dye,

Nikkatsu Electric Works merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) bergerak dibidangindustri manufaktur alat-alat listrik, core dan lampu hemat

Efesiensi kolektor meningkat dengan adanya modifikasi jarak antar pipa riser yang lebih rapat, jenis material absorber yang memiliki konduktivitas termal yang tinggi, susunan

Supartianah (2010: 24) menjelaskan ada beberapa fungsi bahasa Jawa diantaranya yaitu: (a) Bahasa Jawa adalah bahasa budaya disamping berfungsi komunikatif juga berperan

Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan Publik Tentang Bpjs Kesehatan Di Kelurahan Purwosari Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan.. Literature Review of Ethical