• Tidak ada hasil yang ditemukan

tertentu dimana tindakan yang dilakukan menyakitkan dan didasari oleh ketidakseimbangan kekuasaan. Kasus-kasus bullying sering terjadi di sekolah dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "tertentu dimana tindakan yang dilakukan menyakitkan dan didasari oleh ketidakseimbangan kekuasaan. Kasus-kasus bullying sering terjadi di sekolah dan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 PERBEDAAN KEBUTUHAN BERAFILIASI PADA SISWA SMA KORBAN BULLYING

DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

1

Mega Ayu Septrina

2

Seto Mulyadi

Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

1

mega.septrina@gmail.com, 2 kakseto_288@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik perbedaan kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying ditinjau dari jenis kelamin. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Responden dalam penelitian ini adalah siswa SMA perempuan dan laki-laki yang berusia antara 15-17 tahun, berada di kelas sebelas (XI), dan menjadi korban dari kasus bullying. Berdasarkan 188 orang responden, peneliti mendapatkan sebanyak 90 orang subjek yang terdiri dari 45 siswa dan 45 siswi yang memenuhi karakteristik sebagai sampel dalam penelitian ini. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan uji validitas dan reliabilitas serta dianalisis dengan menggunakan uji Independent Sample T-test. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 48 item skala kebutuhan afiliasi yang diujicobakan terdapat 12 item yang valid dengan nilai korelasi antara 0.304-0.526 dengan korelasi reliabilitas sebesar 0.809. Berdasarkan hasil analisis uji beda Independent Sample T-test didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.049 (p<0.05) dan nilai t sebesar -1.994. Hal ini berarti bahwa hipotesis pada penelitian ini diterima yang artinya ada perbedaan kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying ditinjau dari jenis kelamin.

PENDAHULUAN

Fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah dinilai sudah mengarah kepada bullying, yaitu bentuk dari tindakan agresi. Pada kasus yang sering dijumpai misalnya kasus senioritas dan perpeloncoan pada masa orientasi siswa (MOS) merupakan

bagian dari kasus bullying di sekolah. Menurut Sullivan dan Cleary (2004), bullying adalah hal negatif yang ditandai dengan agresi atau tindakan manipulatif yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain atau sekelompok orang lain dalam jangka waktu

(2)

2 tertentu dimana tindakan yang dilakukan

menyakitkan dan didasari oleh ketidakseimbangan kekuasaan.

Kasus-kasus bullying sering terjadi di sekolah dan masih menjadi masalah yang tersembunyi karena tidak disadari oleh pendidik (guru) dan orang tua serta korban yang menyembunyikan masalah tersebut dengan menutup diri. Masih banyak yang menganggap bahwa bullying tidak berbahaya. Padahal sebenarnya bullying dapat memberikan dampak negatif bagi korbannya. Hal ini diperkuat dari penelitian Riauskina (2005), yaitu ketika mengalami bullying korban akan merasakan banyak emosi negatif antara lain marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, dan terancam, dimana korban tidak berdaya dalam menghadapi emosi. Menesini, Modena, dan Tani (2009), mengatakan bahwa korban terparah dan pelaku terparah dilaporkan memiliki masalah psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan mereka yang masih baru (baru menjadi korban atau pelaku).

Bagi remaja, dikucilkan berarti stres, frustasi, dan kesedihan. Ditolak atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya dapat mengakibatkan para remaja merasa kesepian dan timbul rasa permusuhan (dalam

Santrock, 2003). Ditolak dan dikucilkan oleh teman sebaya ini termasuk tindakan bullying. Bullying dapat mengakibatkan remaja cenderung menjadi kesepian, pendiam, merasa terasing, takut pada situasi baru, bersikap introvert, dan memiliki sedikit teman baik (Sullivan & Cleary, 2004). Dampak dari bullying ini dapat memengaruhi remaja dalam hal perilaku sosialnya, yaitu dalam membangun hubungan dengan orang lain, teman maupun pasangannya, dimana dapat membuat anak menjadi cenderung menghindar dari teman-temannya dan cenderung menjadi penyendiri. Padahal, perilaku membangun hubungan dengan teman, pasangan (kekasih), dan bergabung dalam suatu kelompok tertentu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan remaja, yang mana hal ini juga merupakan kebutuhan afiliasi yang ada pada setiap individu baik laki-laki maupun perempuan. Menurut McClelland (dalam Morgan, King & Weisz, 1986), kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan untuk tergabung dalam suatu kelompok, keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang menyenangkan, dan menikmati aktivitas bersama keluarga dan teman-teman.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan

(3)

3 yang ada pada individu baik laki-laki

maupun perempuan. Dalam hal ini terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda mengenai kebutuhan afiliasi pada laki-laki dan perempuan. Latane dan Bidwell (dalam Deaux, Dane, Wrightsman & Sigelman, 1993), menyatakan bahwa wanita lebih banyak bersama dengan orang lain daripada pria di tempat-tempat umum sehingga wanita lebih berafiliasi dibanding pria. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Rutter, Smith, dan Hall (2005), menyatakan bahwa pelajar laki-laki memiliki kebutuhan akan prestasi dan afiliasi yang lebih tinggi daripada pelajar perempuan.

Di sisi lain, Wheeler dan Nezlek dalam (Deaux, Dane, Wrightsman & Sigelman, 1993) yang melakukan penelitian terhadap mahasiswa, menemukan bahwa pria dan wanita sama-sama memiliki tingkat afiliasi yang tinggi dengan sesama jenisnya, tetapi hal ini hanya terlihat selama semester pertama. Wheeler dan Nezlek menjelaskan hal tersebut terjadi mungkin karena wanita lebih suka melakukan interaksi sosial sebagai cara untuk menyesuaikan diri di perguruan tinggi. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa jenis kelamin dapat dijadikan faktor dalam membedakan tingkat kebutuhan afiliasi.

Jika dikaitkan dengan kebutuhan berafiliasi, maka bullying dapat memberikan dampak yang berbeda pada korban laki-laki dan perempuan. Korban laki-laki cenderung akan bersikap kurang dominan secara fisik dan kekurangan kemampuan sosial. Hal ini sesuai dengan teori dalam Rivers, Duncan, dan Besag (2007), yang menyatakan bahwa korban laki-laki akan menjadi kurang dominan secara fisik, kurang percaya diri, kekurangan akan kemampuan sosial, dan memiliki kecakapan serta kelancaran bahasa yang kurang. Di sisi lain, menurut Besag (dalam Rivers, Duncan & Besag, 2007), adapun korban laki-laki yang secara sukarela masuk dalam kelompok yang secara jelas menindas atau hanya memperalatnya untuk kepentingan dan kepuasan kelompok tersebut.

Dampak bullying pada korban perempuan adalah dihindari secara sosial atau mendapat perlakuan yang negatif dari teman-teman sebayanya (Sullivan & Cleary, 2004). Pada korban perempuan biasanya akan memiliki rasa kekecewaan jika dirinya kehilangan teman maupun teman dekatnya (Rivers, Duncan & Besag, 2007). Korban perempuan yang memiliki ciri khas perasaan yang lembut cenderung mudah merasa tersakiti ketika teman-teman korban memperlakukan korban dengan buruk

(4)

4 sehingga korban lebih sensitif perasaannya.

Ketika diperlakukan dengan buruk oleh teman-temannya maka anak perempuan cenderung merasa malu dan sedih sehingga korban cenderung memilih untuk menyendiri daripada berkumpul dengan teman-temannya, yang mana hal ini juga timbul dari perasaan kecewa korban karena kehilangan teman saat dirinya menjadi korban bullying.

Dalam kaitannya dengan bullying, peneliti lebih memfokuskan penelitian pada korban. Korban biasanya adalah individu yang lemah, mudah diserang (sensitif), dan individu yang tidak melakukan perlawanan atau pasrah (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Di sisi lain, Sullivan dan Cleary (2004), mengungkapkan bahwa korban bullying memiliki prestasi akademik yang rendah, interaksi sosial yang kurang, dan keadaan emosional yang rendah.

Berdasarkan pada paparan diatas dan beberapa penelitian mengenai kebutuhan afiliasi yang dihubungkan dengan jenis kelamin, maka dalam penelitian ini peneliti ingin mencoba meneliti tentang perbedaan kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying ditinjau dari jenis kelamin.

Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu hipotesis, yaitu terdapat perbedaan kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying ditinjau dari jenis kelamin.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan dikaji adalah jenis kelamin dan kebutuhan afiliasi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, sedangkan variabel terikatnya adalah kebutuhan afiliasi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner kebutuhan afiliasi. Skala kebutuhan afiliasi yang digunakan adalah skala berdasarkan karakteristik orang yang memiliki kebutuhan afiliasi menurut McClelland (1987), yaitu akan tampil lebih baik jika ada insentif afiliatif, mempertahankan hubungan antar individu, kerjasama, konformitas, dan menghindari konflik, tingkah laku kepemimpinan kurang serta rasa takut akan penolakan. Skala kebutuhan afiliasi ini mengacu pada skala Likert.

Berdasarkan populasi remaja laki-laki dan perempuan yang masih duduk di bangku SMA yang ada di wilayah Jakarta Selatan,

(5)

5 peneliti mendapatkan 188 orang subjek

penelitian, tetapi hanya sebanyak 90 orang subjek yang terdiri dari 45 siswa dan 45 siswi yang memenuhi karakteristik sebagai sampel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, yang mana penentuan sampel dilakukan dengan pertimbangan bahwa sampel harus memenuhi kriteria-kriteria yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian guna mencapai tujuan dari penelitian yang ingin mengukur kebutuhan berafiliasi korban bullying berdasarkan dari jenis kelamin subjek.

Untuk menguji validitas item bagi alat pengumpul data dilakukan berdasarkan validitas konstrak yang menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson, sedangkan untuk menguji reliabilitas alat pengumpul data dalam penelitian ini digunakan pendekatan konsistensi internal dengan teknik statistik Alpha (Cronbach’s). Teknik analisis data yang akan digunakan untuk menguji hipotesis pada penelitian ini adalah dengan menggunakan uji beda T-test pada dua kelompok data yang bebas, yaitu

uji Independent Sample T-test yang

digunakan untuk melihat perbedaan kebutuhan berafiliasi pada korban bullying yang ditinjau dari jenis kelamin responden.

Uji validitas, reliabilitas, dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS for Windows versi 16.0.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan uji validitas pada skala kebutuhan afiliasi, dari 48 item skala kebutuhan afiliasi yang diujicobakan terdapat 12 item yang valid dengan nilai korelasi antara 0.304 sampai 0.526 dengan korelasi reliabilitas sebesar 0.809 sehingga skala dapat dinyatakan reliabel.

Berdasarkan hasil analisis uji beda Independent Sample T-test didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.049 (p<0.05) dan nilai t sebesar -1.994. Hal ini berarti bahwa hipotesis pada penelitian ini diterima yang artinya ada perbedaan kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying ditinjau dari jenis kelamin.

Berdasarkan perbandingan rerata empirik dan rerata hipotetik pada skala kebutuhan afiliasi, diperoleh hasil rerata empirik kebutuhan afiliasi laki-laki sebesar 30.13, sedangkan rerata empirik kebutuhan afiliasi perempuan sebesar 32.27, artinya perempuan memiliki kebutuhan afiliasi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata ketika menjadi korban bullying, korban perempuan

(6)

6 memiliki kebutuhan afiliasi yang lebih

tinggi daripada korban laki-laki.

Korban perempuan mungkin cenderung untuk tidak melawan teman yang membully dirinya karena merasa takut pada pelaku dan cenderung ingin mempertahankan hubungan baik dengan orang lain. Rosenkrantz, Vogel, Bee, dan Broverman (dalam Patana, 2002), menyatakan bahwa anak perempuan memiliki ciri, yaitu tergantung pada orang lain. Pada korban perempuan mungkin memiliki rasa ketergantungan pada pelaku yang membully dirinya sehingga korban takut jika tidak bisa berteman dengan pelaku. Menurut Gilligan (dalam Lamb, 2002), anak perempuan diharapkan untuk dapat memelihara (nurturing) dan menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain, karenanya anak perempuan kerap diajarkan untuk menjadi anak perempuan yang baik (nice girl). Oleh karena itu, mungkin anak perempuan yang menjadi korban bullying cenderung tetap mempertahankan hubungan pertemanan dengan teman-temannya sebab terbiasa untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain. Menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain ini mungkin ditunjukkan oleh korban dengan cara mengalah saat dibully oleh pelaku. Eagly (dalam Patana, 2002),

menyatakan bahwa perempuan lebih mengalah dan konformis sehingga anak perempuan bersikap lebih patuh.

Kebutuhan afiliasi pada korban perempuan ini mungkin juga dapat ditunjukkan dengan kebutuhan akan dukungan dari teman-temannya terutama teman dekat atau sahabat korban. Dukungan ini dapat korban peroleh dengan cara bercerita pada teman dekatnya. Kegiatan yang dilakukan oleh anak perempuan ketika berkumpul bersama dengan temannya adalah berbicara (Stevenson, 1994). Pada anak perempuan bertukar cerita yang bersifat pribadi kepada teman dekat yang dipercaya merupakan hal yang cukup melegakan ketika sedang menghadapi suatu permasalahan. Ketika korban bercerita kepada temannya, korban mungkin akan merasa bahwa setidaknya masih memiliki teman yang tidak melakukan bullying pada dirinya dan korban mungkin cenderung akan merasa bahwa masih ada teman yang memperhatikan dan menyemangati ketika korban mendapat perlakuan yang buruk dari orang lain. Bercerita dan berbagi bersama dengan teman cenderung juga dapat membantu korban untuk tetap mempertahankan hubungan baik dengan teman-temannya.

(7)

7 Berbeda halnya dengan korban

laki-laki, mungkin korban cenderung tidak mempedulikan tindakan bullying yang dilakukan oleh teman-temannya kepada dirinya. Hal ini mungkin berasal dari ciri khas laki-laki, yaitu independen (bebas), percaya diri, dan agresif (Broverman dalam Patana, 2002). Anak laki-laki yang memiliki ciri independen ketika diperlakukan buruk oleh teman-temannya mungkin tidak peduli jika dijauhi oleh teman-temannya. Korban laki-laki mungkin merasa tidak membutuhkan teman-teman seperti itu sehingga ketika korban dijauhi, korban akan tetap berdiri sendiri karena memiliki kepercayaan diri bahwa akan ada teman lain yang ingin berteman dengan dirinya dan dapat melakukan segala sesuatu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eagly (dalam Patana, 2002) bahwa anak laki-laki lebih tidak konformis daripada anak perempuan sehingga anak laki-laki lebih mandiri.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan berafiliasi pada siswa SMA korban bullying antara korban laki-laki dan korban perempuan adalah berbeda. Perbedaan kebutuhan afiliasi ini terlihat pada hasil perhitungan perbandingan rerata empirik

dan rerata hipotetik kebutuhan afiliasi laki-laki dan perempuan yang menunjukkan bahwa korban perempuan lebih berafiliasi daripada korban laki-laki.

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

Untuk korban bullying baik laki-laki maupun perempuan diharapkan dapat memotivasi diri sendiri dan tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Diharapkan juga korban dapat berusaha tidak takut pada orang-orang yang menindas mereka dan dapat menerima dirinya sendiri sehingga tidak berpikiran buruk tentang diri sendiri yang menjadi korban bullying.

Bagi masyarakat luas diharapkan dapat lebih menyadari akan dampak dari bullying yang terjadi pada diri seseorang, khususnya remaja. Sehingga diharapkan masyarakat tidak menganggap bahwa kasus bullying merupakan hal yang sepele dan sudah menjadi budaya.

Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti dengan subjek tidak hanya korban, tetapi juga pada pelaku dan saksi (bystanders) dalam kasus bullying serta dapat meneliti dengan variabel-variabel lain, seperti self concept, self esteem, asertivitas,

(8)

8 kepercayaan diri, dan lain-lain yang

dihubungkan dengan bullying.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Deaux, K., Dane, F. C., Wrightsman L. S., & Sigelman, C. K. (1993). Social psychology in the 90’s (sixth edition). California: Brooks/Cole Publishing Company.

[2] Lamb, S. (2002). The secret lives of girls: what good girls really do-sex play, aggression, and their guilt. New York: Free Press.

[3] Mc.Clelland, D. C. (1987). Human motivation. New York: Cambridge University Press.

[4] Menesini, E., Modena, M., & Tani, F. (2009). Bullying and victimization in adolescence: Concurrent and stable roles and psychological health symptoms. The Journal of Genetic Psychology, 170(2), 115–133.

[5] Morgan, C. T., King, R. A., & Weisz, J. R. (1986). Introduction to psychology seventh edition. Singapore: Mc. Graw Hill Book.

[6] Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human development tenth edition. New York: Mc Graw Hill. [7] Patana, R. (2002). Perbandingan peran

gender dan fear of success pada

perempuan desa dan kota yang bekerja sebagai pegawai negeri. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

[8] Riauskina, I. I., Djuwita, R., & Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13.

[9] Rivers, I., Duncan, N., & Besag, V. E. (2007). Bullying: A handbook for educators and parents. London: Praeger Publishers.

[10] Rutter, K. L., Smith, B. P., & Hall, H. C. (2005). The effects of gender and grade level on the motivational needs of family and consumer sciences students. Journal of Family and Consumer Sciences Education, Vol.23, No.2, Fall/Winter.

[11] Santrock, J. W. (2003). Adolescence: perkembangan remaja, edisi keenam. Edisi terjemahan. Jakarta: Erlangga. [12] Stevenson, M. R. (1994). Gender role

through the lifespan. USA: BallState University.

(9)

9 [13] Sullivan, K., & Cleary, M. (2004).

Bullying in secondary schools.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

untuk sumberdaya instansi sudah tersedia dengan baik, dimana Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati sebagai pelaksana teknis peraturan Bupati nomor 50 tahun

Jumlah koloni bakteri Listeria monocytogenes yang diberikan paparan medan listrik berpulsa dan suhu lingkungan 30 ˚C, mengalami penurunan yang signifikan, ditunjukkan pada Gambar

Dari kegiatan di atas, dapat dirumuskan bahwandalam setiap segitiga ABC dengan panjang sisi- sisi BC, AC dan AB berturut-turut adalah a, b dan c satuan panjang dan besar sudut

IMPLEMENTASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENENTUKAN PENILAIAN KINERJA GURU TERBAIK DENGAN METODE ANP DAN TOPSIS DI MTSN 1 GARUT.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dalam menghaapi muri !ang ber9ariasi baik umur- kemampuan- kematangan maupun minat- perlu i,iptakan lingkungan !ang ber9ariasi 7etapa pun matangn!a guru alam

Pengukuran besaran elektronika dan pengenalan komponen elektronika merupakan hal yang sangat penting dalam pekerjaan elektronika.Pengukuran arus , tegangan listri, bentuk

Pada dasarnya, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank