• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pondasi

Bagian paling bawah dari seluruh bangunan konstruksi yang bertumpuan

dengan tanah harus di dukung dengan adanya pondasi. Fungsi pondasi sendiri

adalah meneruskan beban bangunan kontruksi dari atas ke lapisan tanah yang

berada di bawah pondasi. Suatu perencanaan pondasi dikatakan benar apabila

beban yang diteruskan oleh pondasi ke tanah tidak melampaui kekuatan tanah yang

bersangkutan. Apabila kekuatan tanah di lampaui, maka penurunan yang

berlebihan atau keruntuhan dari tanah akan terjadi. (Braja, 1993:115)

Perencanaan pondasi ini didasari pada beberapa aspek, diantaranya yakni

fungsi dari bangunan itu sendiri, jenis tanahnya, kedalaman tanah keras, maupun

dari aspek biaya (finansial). Berikut aspek-aspek yang harus dipertimbangankan

dalam pemilihan jenis pondasi untuk sebuah perencanaan: (Nakazawa, 1994:75)

a.

Keadaan tanah (Struktur tanah)

Keadaan tanah dibawah pondasi sangat erat kaitannya dengan pemilihan

tipe pondasi. Hal ini dikarenakan setiap tipe pondasi memiliki bentuk serta

mekanisme penyaluran beban yang berbeda tergantung pada kondisi tanahnya.

Faktor tanah yang dijadikan pertimbangan antara lain jenis tanah, parameter

tanah, daya dukung, kedalaman tanah keras dan lainnya.

b.

Batasan akibat struktur diatasnya

Kondisi beban struktur atas dapat meliputi total besar beban akibat struktur

atas, arah gaya beban baik beban vertikal maupun horizontal dan penyebaran

beban serta sifat dinamis yang dimiliki oleh struktur tersebut.

c.

Batasan keadaan lingkungan

Batasan lingkungan disini ialah keadaan lingkungan di sekitar perencanaan

bangunan. Mengingat dalam mengerjakan suatu pembangunan perlu

memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, sehingga dengan adanya Batasan ini

tidak menganggu keadaan sekitar dan tidak membahayakan aktivitas di sekitar

lingkungan pembangunan.

d.

Waktu dan Biaya Pekerjaan

Faktor Waktu dan biaya perkerjaan atau sering disebut sebagai manajemen proyek

ini juga menjadi bahan pertimbangan yang penting, selain akan berpengaruh dalam

finansial dari proyek, juga dapat menjaga dari segi efisien dan ekonomis dari

pekerjaan.

(2)

Hardiatmo, H.C. (2010:103) menjelaskan pondasi adalah komponen

struktur terendah dari bangunan yang meneruskan beban bangunan ke tanah atau

batuan yang berada di bawahnya. Secara umum pondasi dibagi menjadi dua

klasifikasi, yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal diartikan

sebagai pondasi yang hanya mampu menerima beban relatif kecil dan secara

langsung menerima beban bangunan. Pondasi dalam diartikan sebagai pondasi yang

mampu menerima beban bangunan yang besar dan meneruskan beban bangunan ke

tanah keras atau batuan yang sangat dalam. Macam-macam contoh jenis pondasi

ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Berikut adalah jenis-jenis pondasi :

1. Pondasi dangkal

a. Pondasi memanjang (continuous footing)

Pondasi memanjang atau lebih dikenal dengan pondasi batu kali

digunakan untuk menopang sederetan kolom-kolom yang jaraknya

berdekatan atau digunakan untuk menopang dinding memanjang.

Bahan untuk pondasi ini bisa menggunakan batu pecah atau batu kali

atau pasangan bata dan cor beton tanpa tulangan.

b. Pondasi telapak (spread footing)

Pondasi telapak digunakan sebagai tumpuan kolom yang berdiri

sendiri. Pondasi ini terbuat dari beton bertulang yang dibentuk

menyerupai papan atau telapak dan memiliki ketebalan tertentu. Untuk

bangunan bertingkat, pondasi telapak cocok untuk diterapkan.

c. Pondasi rakit (raft foundation)

Pondasi rakit digunakan apabila suatu bangunan terletak pada

tanah lunak atau pada tanah yang dirasa mempunyai daya dukung tanah

rendah. Pondasi ini juga biasa digunakan pada bangunan yang memiliki

basement.

(3)

2. Pondasi dalam

a. Pondasi sumuran (pier foundation)

Pondasi sumuran atau kaison diartikan sebagai pondasi yang

tersusun atas pipa beton yang ditanam dalam tanah membentuk sumur

kemudian dicor di tempat menggunakan bahan batu belah dan beton

sebagai isinya. Pondasi ini dapat diterapkan pada lahan-lahan konstruksi

yang kedalaman lapisan tanah kerasnya berkisar 3-5 meter.

Peck, dkk (1953) dalam Hardiyatmo, H.C. (2010:104) memberi

perbedaan antara pondasi sumuran dengan pondasi dangkal menurut

nilai kedalaman (Df) dibagi lebarnya (B). Untuk pondasi sumuran

Df/B > 4, dan untuk pondasi dangkal Df/B ≤ 1.

2.2

Pondasi tiang (pile foundation)

Pondasi tiang digunakan untuk menopang bangunan jika

permukaan tanah keras terletak sangat dalam. Pondasi tiang cocok

diterapkan

pada

bangunan-bangunan

tingkat tinggi

yang

dipengaruhi oleh gaya-gaya penggulingan akibat beban horisontal,

dapat juga mendukung bangunan dalam menahan gaya uplift.

(Hardiatmo, 2010:76). Gambar 2.2 menunjukkan panjang

maksimum dan beban maksimum untuk jenis-jenis pondasi tiang

yang umum diterapkan di lapangan. Ada beberapa maksud

digunakannya pondasi tiang, antara lain : (Hardiatmo, 2010:76)

- Untuk memindahkan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah

lunak, ke tanah pendukung yang kuat.

- Untuk memindahkan beban ke tanah yang labil sampai kedalaman

tertentu sehingga pondasi mampu mendukung dengan cukup beban

tersebut oleh gesekan kulit tiang dengan tanah di sekelilingnya.

- Untuk mengangkerkan suatu konstruksi yang disebabkan oleh gaya

(4)

- Untuk menahan gaya lateral dan gaya yang arahnya diagonal.

- Untuk memadatkan tanah yang dominan pasir, sehingga kapasitas

dukungnya bertambah.

- Untuk mendukung pondasi yang lapisan tanahnya mudah tergerus air.

Gambar 2.1. Macam-macam bentuk pondasi. (a) pondasi memanjang. (b)

pondasi telapak.

(c) pondasi rakit. (d) pondasi sumuran. (e) pondasi tiang.

(Hardiatmo, 2010 : 104)

(5)

Gambar 2.2. Panjang maksimum dan beban maksimum untuk macam-macam

tipe tiang yang umum di lapangan (Carson, 1965)

(Hardiyatmo, 2010 : 78)

Tiang pancang (spun pile) merupakan struktur bawah pondasi yang

berfungsi untuk meneruskan, memindahkan atau mentransferkan beban - beban dari

struktur atas ke lapisan tanah keras yang dalam. Secara umum kebanyakan tiang

pancang dalam pelaksanaan di lapangan langsung dipancangkan ke dalam tanah.

Tiang pancang dipancangkan tegak lurus ke dalam tanah, tetapi jika diperlukan

untuk menahan beban horisontal maka tiang pancang bisa dipancangkan miring

(batter pile). (Sardjono, 1996:7)

Menurut Sardjono (1996:7) pemakaian tiang pancang dipergunakan untuk

pondasi bangunan dimana tanah dasar di bawah bangunan tersebut tidak

mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup untuk menopang berat

bangunan dan bebannya, atau apabila tanah keras mempunyai daya dukung yang

cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya letaknya sangat dalam. Berikut

macam-macam tiang pancang berdasarkan cara pemindahan beban:

1. Point bearing pile (end bearing pile)

Point bearing pile adalah tiang pancang dengan tahanan ujung yang

meneruskan beban bangunan melalui ujung pondasi ke tanah keras.

(6)

2. Friction pile

Friction pile adalah tiang pancang yang meneruskan beban bangunan ke

tanah melalui gesekan kulit tiang (skin friction) dengan tanah disekelilingnya.

2.2 Pembebanan

2.2.1 Beban Mati atau Dead Load (D)

Secara umum beban mati yaitu beban yang terdapat pada bangunan atau

struktur itu sendiri. Tabel 2.1 menunjukkan beban-beban mati atau berat sendiri

dari bangunan. Beban mati terlebih dahulu di hitung tiap lantai nya dan nanti nya

akan di akumulasi secara keseluruhan sesuai dengan jumlah tingkatan dari

bangunan nya. (SNI 1727-2013:15)

1. Perhitungan beban mati

Pada perhitungan berat struktur ini meliputi berat kolom, plat, balok

serta aksesoris yang berdasarkan pada berat jenis atau berat satuan pada

struktur tersebut.

Berat balok

W balok = Luas Penampang Baja x Panjang Balok

x BJ Baja

[2.1]

Berat kolom

W kolom = Luas Penampang x Tinggi x BJ Baja

x Jumlah Kolom

[2.2]

Berat Plat atap

W plat atap = Luas Plat Atap x Tebal Plat Atap

x BJ Bahan

[2.3]

Berat plat lantai

W plat lantai = Luas Plat Lantai x Tebal Plat Lantai

X BJ Bahan

[2.4]

Berat aksesoris = 10% x W Beban Total

[2.5]

(7)

Tabel 2.1 Berat Sendiri Gedung

No

Nama Material

Berat

Isi

Satuan

1

Beton Bertulang

2400

kg/m³

2

Dinding Batako

14

kg/m²

3

Berat Jenis Air

1000

kg/m³

4

Adukan Semen (spesi)

21

kg/m²

5

Urugan Pasir

1600

kg/m³

6

Plafond dan Penggantung

18

kg/m²

7

Instalasi Plumbing dan ME

250

kg/m²

Sumber :SNI 1727-2013:15

2.2.2 Beban Hidup atau Live Load (L)

Beban hidup ialah beban penghuni dari Gedung tersebut atau beban

lingkungan lain nya seperti beban hujan, beban angin dan beban gempa. (SNI

1727-2013)

2.2.3 Beban Gempa

Untuk perencanaan bangunan, gaya gempa perlu diperhatikan agar diperoleh

reaksi maksimum yang bekerja. Gaya gempa yang dihitung mengacu pada SNI

1726:2012. Dalam studi perencanaan pondasi tiang Hotel ini menggunakan metode

analisa gempa yaitu metode analisa gempa statik ekivalen.

(8)

2.2.3.1 Faktor Keutamaan dan Kategori Risiko Struktur Bangunan

(keutamaan le) dan kategori risiko struktur bangunan gedung

(pengaruh gempa rencana). (SNI 1726-2012: 13)

Seperti yang ada di Tabel 2.2 yang menunjukan beberapa kategori resiko

bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa, sedangkan Tabel 2.3

menunjukan bebrapa faktor gempa.

(9)

Tabel 2.2 Kategori resiko banguan gedung dan non gedung untuk beban gempa

Jenis Pemanfaatan

Kategori

resiko

Gedung dan non gedung yang memiliki resiko rendah terhadapjiwa

manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi

untuk, antara lain:

* Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan

* Fasilitas sementara

* Gudang penyimpanan

* Rumah jaga dan struktur kecil lainnya

I

Semua gedung dan struktur lain, yang termasuk dalam kategori

resiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:

* Perumahan

* Pasar

* Gedung perkantoran

* Gedung apartemen/ rumah susun

* Pusat perbelanjaan/ mall

* Bangunan industri

* Fasilitas manufaktur

* Pabrik

II

Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa

manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi

untuk:

* Bioskop

* Gedung pertemuan

* Stadion

* Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit

gawat darurat

* Fasilitas penitipan anak

* Penjara

* Bangunan untuk orang jompo

III

Gedung dan non gedung , tidak termasuk kedalam kategori resiko IV,

yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang

besar dan gngguan massl terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari

bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:

* Pusat pembangkit listrik biasa

* Fasilitas penganganan limbah

* Pusat telekomunikasi

(10)

Tabel 2.2 (Lanjutan)

Jenis Pemanfaatan

Kategori

resiko

Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori resiko

IV, (termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur,

proses,penanganan, penggunaan, atau tempat pembuangan bahan

bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau

bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahn beracun atau

peledak dimana di mana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai

batas yang diisyaratkan oleh instansi berwenang dan cukup

menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran

Gedung dan non gedung yang ditunjukan sebagai fasilitas yang

penting,

termasuk

tetapi

tidak

dibatasi

untuk:

*

Bangunan-bangunan

monumental

* Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki

fasilitas

bedah

dan

unit

gawat

darurat

* Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi,

serta

garasi

kendaraan

darurat

* Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai,

dan

tempat

perlindungan

darurat

lainnya

* Fasilita kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi, dan

fasilitas

lainnya

untuk

tanggap

darurat

* Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki

penyiraman bahan bakar, menara pendingin, struktur stasion

listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau

struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam

kebakaran) yang diisyaraktkan untuk beroprasi pada saat

keadaan

darurat

Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan

fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori resiko

IV

IV

(11)

Tabel 2.3 Faktor keamanan gempa

SNI 1726 (2012:12)

2.2.3.2 Klasifikasi situs

Klasifikasi situs merupakan dasar dari kriteria desain seismik suatu

bangunan dari permukaan tanah . Tipe kelas situs harus ditetapkan sesuai pada

Tabel 2.4. (SNI 1726-2012)

Tabel 2.4 Klasifikasi situs

Kelas situs

Vs (m/dt)

N atau Nch

U (kPa)

SA (batuan keras)

>1500

N/A

N/A

SB ( batuan )

750 sampai 1500

N/A

N/A

SC ( tanah

keras,sangat

padat dan batuan

lunak )

350 sampai 750

>50

≥100

SD ( tanah sedang )

175 sampai 350

15 sampai 50

50 sampai

100

SE (tanah lunak)

<175

<15

<50

Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari

3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Indeks plastisitas, PI>20

2. Kadar air, w ≥ 40%

3. Kuat geser niralisir Su < 25 kPA

Kategori

Resiko

Faktor Keutamaan

gempa, le

I atau II

1

III

1,25

IV

1,5

(12)

Tabel 2.4 (lanjutan)

Kelas situs

Vs (m/dt)

N atau Nch

U (kPa)

SF (tanah khusus,

yang membutuhkan

geoteknik

spesifikasi

dan analisis respon

pesifik situs

Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu

atau lebih dengan karakteristik sebagai berikut:

- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat

beban

gempa seperti mudah likuifasi, lempung sangat

sensitive, tanah tersementasi lemah

- Lempung sangat organik dan atau gambut

(ketebalan

H > 3m)

- Lempung berplastis sangat tinggi (ketebalan

H>7,5 m

dengan Indeks Plastisitas PI>75)

Lapisan lempung lunak setengah teguh dengan

ketebalan

H>35m dengan Su < 50 kPA

SNI 1726 (2012:17)

Menurut SNI 1726 (2012:20) untuk lapisan tanah kohesif, lapisan batu, dan lapisan

tanah non-kohesif, nilai N ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

Ñ

[2.6]

Keterangan:

di

: Tebal setiap lapisan antara kedalaman 0-30 meter

Ni

: Nilai tahanan penetrasi standar 60% energi (N60)

 

n i i i n i i

N

d

d

1 1

(13)

2.2.3.3 Parameter Percepatan Gempa (S

M1

dan S

MS

) dan Percepatan Gempa

Desain (S

D1

dan S

DS

)

Data zona wilayah gempa ini berguna untuk menentukan besaran dari nilai

spektrum Ss dan S1 yang nanti nya di perlukan untuk menghitung gaya geser akibat

beban lateral (gempa) yang akan di terima oleh bangunan. Data gempa tersebut

dapat diperoleh dari SNI 1726 : 2012 atau bisa di dapatkan melalui situs Desain

Spektra Indonesia.

(puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011)

Berikut grafik hubungan percepatan respon spectral terhadap periode

wilayah kota Surabaya berdasarkan klasifikasi tanah disajikan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Grafik Percepatan Respon Spektra Wilayah Kota Surabaya

Sumber :

http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/

Grafik percepatan respon spektral pada wilayah Kota Surabaya diatas terbentuk dari

hubungan antara beberapa parameter perhitungan beban gempa yang kemudian

(14)

diklasifikasikan berdasarkan jenis tanah pada lokasi proyek. Data hasil analisa pada

situs tersebut disesuaikan dengan kondisi tanah pada lokasi perencanaan proyek.

2.2.3.4 Kategori Desain Seismik

Untuk dapat menentukan perioda fundamental pendekatan

(T

a

), Tabel 2.5 menunjukan kategori-kategori desain seismik

berdasarkan parameter respon percepatan pada perioda pendek,

sedangkan Tabel 2.6 menunjukan Kategori desain seismik

berdasarkan parameter respon percepatan pada perioda 1 pendek,

dalam detik (SNI 1726-2012) dari persamaan berikut untuk stuktur

dengan ketinggian lebih dari 12 tingkat dengan rumus;

Tamin = Ct . hn

x

Tamax = Cu . Tamin

[2.7]

Tabel 2.5 Kategori desain seismik berdasarkan parameter

respon percepatan pada perioda pendek

SDS

Kategori risiko

I atau II atau III

IV

SD5 < 0,167

A

A

0,167 ≤ SD5 < 0,33

B

C

0,33 ≤ SD5 < 0,50

C

D

0,50 ≤ SD5

D

D

(15)

Tabel 2.6 Kategori desain seismik berdasarkan parameter respon percepatan pada

perioda 1 pendek

SDs

Kategori resiko

I atau II atau III

IV

SD1 < 0.167

A

A

0,167 ≤ SD1 < 0,133

B

C

0,133 ≤ SD1 < 0,20

C

D

0,20 ≤ SD5

D

D

SNI 1726 (2012:25)

2.2.3.5 Kombinasi Sistem Perangkat Dalam Arah yang Berbeda

Tabel 2.7 menunjukan Faktor R,Cd danΩ0 untuk

Sistem Penahan Gaya Gempa.

(16)

Tabel 2.7 Faktor R,Cd danΩ0 untuk Sistem Penahan Gaya Gempa

Simtem penahan gaya

seismik

Koef.

modifik

asi

respons

,

R

a

Faktor

kuat

lebih

sistem,

g

0

Faktor

pembe

saran

defleks

i,

b d

C

Batasan sistem struktur

dan batasan tinggi

struktur, hc (m)

Katgori desain seismik

B

C

D

E

F

A. sistem dinding

penumpu

B. sistem rangka

bangunan

C. sistem rangka

pemikul momen

1. Rangka baja

pemikul momen

khusus

8

3

TB

TB

TB

TB

TB

2. Rangka batan baja

pemikul momen

khusus

7

3

TB

TB

48

30

TI

3. Rangka baja

pemikul momen

menengah

3

4

TB

TB

10

TI

TI

4. Rangka baja

pemikul momen

biasa

3

3

TB

TB

TI

TI

TI

5. Rangka beton

bertulang pemikul

momen khusus

8

3

TB

TB

TB

TB

TB

6. Rangka beton

bertulang pemikul

momen menengah

5

3

TB

TB

TI

TI

TI

7. Rangka beton

bertulang pemikul

momen biasa

3

3

TB

TB

TI

TI

TI

(17)

Tabel 2.7 (lanjutan)

Simtem penahan gaya

seismik

Koef.

modif

ikasi

respo

ns,

Faktor

kuat

lebih

sistem

Faktor

pembe

saran

defleks

i

Batasan sistem struktur

dan batasan tinggi

struktur, hc (m)

Katgori desain seismik

B

C

D

E

F

8. Rangka baja dan

beton komposit

pemikul momen

khusus

8

3

TB

TB

TB

TB

TB

9. Rngka baja dan

beton komposit

pemikul momen

khusus

5

3

TB

TB

TI

TI

TI

10. Rangka baja dan

beton komposit

terkekang parsial

pemikul momen

6

3

48

48

30

TI

TI

11. Rangka baja dan

beton komposit

pemikul momen

biasa

3

3

TB

TI

TI

TI

TI

12. Rangka baja canai

dingin pemikul

momen khusus

dengan pembautan

3

10

10

10

10

10

SNI 1726 (2012:34)

2.2.3.6 Koefisien Respon Seismik (C

s

)

Berdasarkan SNI 1726 2012:54,:

[2.8]

Keterangan:

SDS

: Parameter percepatan spektrum respon desain dalam





e DS

l

R

S

Cs

(18)

R

: Faktor modifikasi respon

Le

: Faktor keutamaan gempa

Pada saat menghitung nilai Cs dengan persamaan seperti diatas tidak

diperbolehkan dari hasil persamaan dibawah ini:

[2.9]

Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan diatas juga harus tidak

kurang dari hasil persamaan sebagai berikut:

Cs= 0,044 SDS le ≥ 0,01

[2.10]

2.2.3.7 Geser Dasar Seismik

Berdasarkan SNI 1726 2012:54, untuk menentukan V dalam arah yang

sudah ditetapkan harus ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini:

V = Cs.W

[2.11]

Keterangan:

Cs

: Koefisien respons seismik yang ditentukan

W

: Berat seismik efektif

2.2.3.8 Distribusi Vertikal Gaya Gempa

Berdasarkan SNI 1726 2012:57, gaya gempa lateral (Fx) [KN] yang akan

ditristibusikan di semua titik dan semua tingkat harus ditentukan dengan cara

berikut :

Fx = Cvx . V

[2.12]

Dan





e D

l

R

T

S

Cs

1

(19)

[2.13]

Keterangan:

Cvx

: Faktor distribusi vertikal

V

: Gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur (Kn)

Wi dan Wx

: Bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang

ditempatkan atau dikenalkan pada tingkat i atau x

hi dan hx

: Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x (m)

k

: Eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai

Berikut:

 Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5

detik atau kurang, k=1

 Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5

detik atau lebih, k=2

 Untuk struktur yang mempunyai perioda antaa 0,5

dan 2,5 detik, k harus sebesar 2 atau harus ditentukan

dengan interpolasi linier 1 dan 2

2.2.4 Beban Kombinasi

Hasil Perhitungan pembebanan dikombinasikan dan dimasukkan ke

program pendukung STAAD-PRO serta kombinasi beban sesuai dengan SNI

03-1726-2012. Perencanaan ini digunakan dua kombinasi pembebanan.

Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit

1. 1,4D

2. 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)

3. 1,2 D + 1,6 (Lr atau R) + (L atau 0,5 W)

4. 1,2 D + 1,0 W + L +0,5 (Lr atau R)

5. 1,2 D + 1,0 E + L

6. 0,9 D + 1,0 W

7. 0,9 D + 1,0 E

n i k i k x

h

Wi

h

Wx

Cvx

1

.

.

(20)

Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit

1. D

2. D+L

3. D+(Lr atau R)

4. D+0.75L+0.75(Lr atau R)

5. D + (0,6W atau 0,7E)

6. D+0,75(0,6W atau 0,7 E)+0,75L+0,75(Lr atau R)

7. 0,6D+0,6W

8. 0,6D+0,7E

2.3 Daya Dukung Ijin Tiang

Ada beberapa daya dukung yang diperhitungkan dalam studi

ini yaitu sebagai berikut (Pamungkas, 2013:42).

2.3.1 Daya Dukung Ijin Vertikal Tiang

Menurut Pamungkas, (2013) analisis daya dukung ijin tekan pondasi tiang

terhadap kekuatan tanah berdasarkan data N SPT metode Mayerhof, dengan

menganalisis panjang ekuivalen dari penetrasi tiang.

Panjang ekuivalen dari penetrasi ujung tiang (I)

I = 1/2 . 4 . D

[2.14]

Harga N rata-rata pada panjang ekuivalen dari ujung tiang

𝑁

̅ =

𝑁1+ 𝑁̅̅̅̅2

2

[2.15]

Daya dukung ujung tiang =

qd

[2.16]

Q = qd . A

[2.17]

Gaya gesek maksimum dinding tiang

= Keliling tiang (U) x ∑li.fi

[2.18]

Daya dukung ultimit pada tiang tunggal

Ru = q

d

x A + U.Ʃ l

i

f

i

[2.19]

(21)

Ra =

𝑞𝑑 x A 3

+

U.Ʃ 𝑙𝑖𝑓𝑖

5

[2.20]

Dimana:

Ru

= daya dukung ultimit tekan tiang

Q

= daya dukung ujung tiang

qc

= 20 N, untuk Silt/clay

= 40 N, untuk sand

Ap

= luas penampang tiang

Li

= panjang segmen tiang yang ditinjau

Fi

= gaya geser pada selimut segmen tiang

= N maksimum 12 ton/m², untuk Silt/clay

= N/5 maksimum 10 ton/m², untuk sand

Ast

= keliling penampang tiang

FK1, FK2 = faktor keamanan, 3 dan 5

a. Jumlah Tiang yang Dibutuhkan

Perhitungan jumlah tiang yang diperlukan pada suatu titik kolom

menggunakan beban aksial dengan kombinasi beban DL + LL (beban tak

terfaktor). Jumlah tiang yang diperlukan dihitung dengan membagi gaya

aksial yang terjadi dengan daya dukung tiang (Pamungkas, 2013).

𝑛𝑝 =

𝑃

𝑃𝑎𝑙𝑙

[2.21]

dimana:

np

= jumlah tiang

P

= gaya aksial yang terjadi

P all = daya dukung ijin tiang

(22)

b. Jarak antar Tiang Kelompok

Dianjurkan dalam tahap perencanaan jarak yang diharuskan adalah

dari 3d ke tengah diantara tiang dengan 2d jarak yang sesungguhnya, artinya

adalah jarak yang dilaksanakan dalam tahap pengerjaan di lapangan. Seperti

pada Gambar 2.4 dimana dalam pengerjaannya 2,5d ke arah tengah

biasanya lebih mendapatkan keuntungan, buruknya adalah efisiensinya

berkurang (Pamungkas, 2013).

Gambar 2.4 Jarak Antar Tiang (Pamungkas, 2013)

Dengan rumus jarak antar tiang :

S ≥ 2,5 D

[2.22]

Dimana:

S = Jarak masing-masing tiang dalam kelompok (Spacing)

D = Diameter Tiang

c. Efisiensi Kelompok Tiang

Menurut Hardiyatmo, (2010) kapasitas kelompok tiang tidak selalu

sama dengan jumlah kapasitas tiang tunggal yang berada dalam

kelompoknya. Hal ini terjadi jika tiang dipancang dalam lapisan pendukung

yang mudah mampat atau dipancang pada lapisan tanah yang tidak mudah

mampat, namun di bawahnya terdapat lapisan lunak. Dalam kondisi

tersebut, stabilitas kelompok tiang tergantung dari dua hal, yaitu:

(23)

1. Kapasitas dukung tanah di sekitar dan di bawah kelompok tiang dalam

mendukung beban total struktur.

2. Pengaruh penurunan konsolidasi tanah yang terletak di bawah kelompok

tiang.

Cara pemasangan tiang, seperti: dipancang, dibor, digetarkan atau

ditekan, akan berpengaruh kecil pada kedua hal tersebut di atas. Penurunan

kelompok tiang sama dengan penurunan tiang tunggal, jika dasar kelompok

tiang terletak pada lapisan keras.

Jika tiang-tiang dipancang pada lapisan yang agak kuat tapi dapat

mampat (misalnya lempung kaku), atau dipancang pada lapisan yang tidak

mudah mampat (misalnya pasir padat), tetapi lapisan tersebut berada di atas

lapisan tanah lunak, maka kapasitas kelompok tiang mungkin lebih rendah

dari jumlah kapasitas masing-masing tiang. Hal ini, karena kapasitas

dukung ijin fondasi tiang akan dibatasi oleh penurunan toleransi.

Sedangkan menurut Pamungkas, (2013) pengurangan daya

dukung kelompok tiang yang disebabkan oleh group action ini biasanya

dinyatakan dalm suatu angka efisiensi.

Perhitungan kelompok dari tiang ini berdasarkan rumus yang ada

dalam Converse- Labarre dari Uniform Building code AASHTO :

𝐸𝑔 = 1 − 𝜃

(𝑛−1)𝑚+(𝑚−1)𝑛

90 𝑚𝑛

[2.23]

𝜃 = arc tg (D/s) (derajat)

[2.34]

Daya dukung izin vertikal kelompok tiang.

Qu = Eg kelompok tiang x n tiang x Ra

[2.25]

Dimana:

Qu

= daya dukung izin vertikal kelompok

Eg = efisiensi kelompok tiang

D = ukuran penampang tiang

S = jarak antar tiang (as ke as)

m = jumlah tiang dalam satu kolom

n = jumlah tiang dalam satu baris

(24)

Daya dukung ijin kelompok tiang = Eg x jumlah tiang x daya

dukung ijin tiang. Daya dukung kelompok tiang harus lebih besar dari gaya

aksial yang terjadi (Pamungkas, 2013).

2.3.2 Beban Maksimum Tiang pada Kelompok Tiang

Menurut Pamungkas, (2013) akibat beban-beban dari atas dan juga

dipengaruhi oleh formasi yang terdapat di dalam kelompok tiang. Tiang ini

mengalami beberapa gaya ,baik tekan hingga tarik dari tiang tersebut.

Beban aksial dan momen yang bekerja akan didistribusikan ke pile cap

dan kelompok tiang berdasarkan rumus elastisitas dengan menganggap bahwa pile

cap kaku sempurna, sehingga pengaruh gaya yang bekerja tidak menyebabkan pile

cap melengkung atau deformasi. Dalam mencari beban maks dan min yang akan

bekerja terhadap kelompok dari tiang bisa kita lihat di persamaan dibawah ini :

𝑃

𝑚𝑎𝑥 𝑚𝑖𝑛

=

𝑃𝑢 𝑛𝑝

±

𝑀𝑦 . 𝑋 𝑚𝑎𝑥 𝑛𝑦 .Ʃ𝑥²

±

𝑀𝑦 . 𝑌 𝑚𝑎𝑥 𝑛𝑦 .Ʃ𝑦²

[2.26]

Dimana :

P max = beban maksimum tiang

Pu

= gaya aksial yang terjadi (terfaktor)

My

= momen yang bekerja tegak lurus sumbu y

Mx

= momen yang bekerja tegak lurus sumbu x

X max = jarak tiang arah sumbu x terjauh

Y max = jarak tiang arah sumbu y terjauh

Ʃx²

= jumlah kuadrat X

Ʃy²

= jumlah kuadrat Y

nx

= banyak tiang dalam satu baris arah sumbu x

ny

= banyak tiang dalam satu baris arah sumbu y

np

= jumlah tiang

Bila dalam P maks yang awalnya mempunyai nilai positif, pile cap akan

memiliki gaya tekan. Pada Gambar 2.5 dimana dalam P maks yang memiliki nilai

negatif, maka pile cap mendapatkan gaya tarik. Dari hasil-hasil tersebut dapat

(25)

dilihat apakah masing-masing tiang masih memenuhi daya dukung tekan dan/atau

tarik bila ada (Pamungkas, 2013).

Gambar 2.5 Beban yang Bekerja pada Pile Cap (Pamungka. A, 2013)

2.3.3 Daya Dukung ijin Horizontal Tiang

1. Untuk tiang pendek (Pamungkas, 2013 : 60)

Daya dukung horizontal pada tiang pendek di rumuskan sebagai berikut:

)

2

3

(

.

.

9

Cu

D

Lp

D

Hu

[2.27]

2

3

2

max

Hu

Lp

D

M

[2.28]

2. Untuk tiang sedang (Pamungkas, 2013 : 60)

Untuk Daya dukung horizontal pada tiang sedang di rumuskan sebagai berikut

2

2

3

.

.

9

.

4

9

2

D

f

Df

Cu

Dg

Cu

My

[2.29]

Hu di dapat dengan mengambil:

[2.30]

f

g

D

Lp

2

3

(26)

3. Untuk tiang panjang (Pamungkas, 2013 : 61)

Apabila Mmax > My maka tiang termasuk tiang panjang, dimna Hu bisa dinyatakan

dengan persamaan:

2

2

3

2

f

D

My

Hu

[2.31]

Dan nilai f diambil dari persamaan:

xCuxD

Hu

f

9

[2.32]

Untuk mencari kolerasi dengan undrained shear strength (C

u

) menurut

pendekatan Stroud (1974) adalah sebagai berikut :

𝑪𝒖 = 𝒌 𝒙 𝑵

[2.33]

2.3.4 Daya Dukung ijin Tarik Tiang

Analisis daya dukung ijin tarik pondasi terhadap kekuatan tanah

menggunakan rumus sebagai berikut:

Berdasarkan Data N-SPT (Mayerhof) :

Wp

FK

A

lifi

Pta

st

2

70

,

0

.

.

[2.34]

Dimana:

Cu

: Undrained strength (KN/m²)

D

: Diameter tiang (m)

Lp

: Panjang tiang yang tertanam (m)

K

: 3,5 - 6,55 (KN/m²) nilai rata-rata konstanta

N

: Nilai SPT

(27)

(Pamungkas, 2013: 51)

2.4 Penurunan Pondasi

Dari kelompok tiang pancang yang ditimpa beban arah vertikal secara

berlebihan, maka dalam tanah akan mengalami penurunan yang condong akan lebih

besar dibandingkan dengan penurunan yang terjadi di tiang tunggal dengan beban

yang sama , dikhususkan dalam kasus dimana tanah yang tepat di bawah lapisan

bearing tiang yang kompresibel.

Jumlah penurunan elastis atau penurunan yang terjadi dalam waktu dekat

(immediate settlement atau elastic settlement) Si dan penurunan yang terjadi dalam

jangka waktu yang panjang (long term consolidation settlement) Sc disebut

penurunan tiang pada kelompok tiang (Pamungkas, 2013).

S = S i + S c

[2.35]

dimana:

S = penurunan total

S i = immediate settlement

S c = consolidation settlement

Dimana:

Pta

: Daya dukung ijin tarik tiang (Ton)

Ast

: Daya dukung ijin tarik tiang (Ton

li

: Panjang segmen tiang yang di tinjau (m)

fi

: Gaya geser pada selimut segmen tiang

FK2

: Faktor keamanan, 3 dan 5

(28)

2.4.1 Penurunan Segera (immediate settlement)

Penurunan yang dihasilkan oleh distorsi massa tanah yang tertekan dan

terjadi pada volume konstan disebut penurunan segera. Menurut Janbu, Bjerrum,

dan Kjaernsli (1956), hal itu dirumuskan sebagai berikut (Pamungkas, 2013).

E = 10 x (N

SPT

+15) x (k/ft

2

)

[2.36]

Df = 2/3 x L

[2.37]

𝑆𝑖 = 𝜇1𝜇0

𝑞𝐵

𝐸𝑢

[2.38]

EU = 400 . Cu

[2.39]

Tekanan pada dasar pondasi

q =

𝑃𝑢+𝑊𝑝

𝐴

[2.40]

Dimana:

S i = penurunan segera

q = tekanan yang terjadi (𝑃𝑢/𝐴)

B = lebar kelompok tiang

E u = modulus diformasi pada kondisi undrained

μ I = faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas

μ o = faktor koreksi untuk kedalaman pondasi Df

Masih menurut Pamungkas, (2013) harga dari modulus deformasi Eu yang

bisa menghasilkan kurva regangan ataupun tegangan (stress strain curve) melaui

sebuah percobaan akan menghasilkan pembebanan dengan hasil dari tekan terhadap

tanah yang kondisinya undrained. Ada beberapa cara dalam mendapatkan sebuah

nilai dari EU, salah satunya dengan mengandalkan hubungan antara kuat geser atau

bisa dengan Cu yang terdapat di tanah liat.

Sedangkan menurut Hardiyatmo, (2010) Pada kondisi tertentu, kapasitas

dukung ijin tiang lebih didasarkan pada persyaratan penurunan. Penurunan tiang

terutama bergantung pada nilai banding tahanan ujung dengan beban tiang. Jika

beban yang didukung per tiang lebih kecil atau sama dengan tahanan ujung tiang,

penurunan yang terjadi akan sangat kecil. Sebaliknya, bila beban per tiang sangat

melebihi tahanan ujung tiang, maka penurunan yang terjadi akan besar.

(29)

Pada tiang yang dipancang dalam lapisan pendukung yang relatif keras dan

tidak mudah mampat, penurunan yang terjadi adalah akibat pemendekan badan

tiangnya sendiri ditambah penurunan tanah yang berada di bawah dasar tiang. Pada

keadaan ini, penurunan kelompok tiang akan kurang lebih sama dengan penurunan

tiang tunggal, dan untuk mencari hubungan μi, μ0, kedalaman pondasi, dan lebar

pondasi menggunakan grafik pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Grafik Hubungan μi, μ0, Kedalaman Pondasi (Df) dan

Lebar Pondasi (B). Studi oleh Sardjono, (1991),

(dikutip dalam Janbu, Bjerrum dan Kjaernsli).

2.4.2 Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)

Menurut Braja (1995) apabila penurunan segera yang sudah dibahas

sebelumnya terjadi pada lapisan tanah berpasir, penurunan konsolidasi ini terjadi

(30)

pada tanah lempung. Terjadi karena keluarnya air dan udara dalam pori tanah.

Penurunan terjadi lebih lama namun nilainya cukup besar. Besar penurunan yang

terjadi tergantung dari lamanya waktu pembebanan. Berdasarkan periodenya,

penurunan konsolidasi dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Penurunan Konsolidasi Primer, terjadi karena akibat beban yang

menekan tanah sehingga membuat keluarnya air dan udara dari tanah.

Dapat dihitung dari persamaan berikut:

Cc = 0,156 . e

0

+ 0,0107

[2.41]

Po’= ( γ

1

. h

1

) + ( γ

sat1

– γ

w

) . h

2 +

( γ

sat2

– γ

w

) . h

3

+

( γ

sat3

– γ

w

) . h

4

[2.42]

A

0

= B

0

. L

0

[2.43]

q =

𝑃𝑢 𝐴0

[2.44]

L

1

= L

0

+ 2 (

1 2

H . tan 30˚)

[2.45]

B

1

= B

0

+ 2 (

1 2

H . tan 30 ˚) 1

[2.46]

A

1

= L

1

. B

1

[2.47]

𝑆𝑐 =

𝐶𝑐.𝐻 1+𝑒𝑜

𝑙𝑜𝑔

𝑃𝑜+∆𝑝 𝑃𝑜

[2.48]

Keterangan

Cc = Indeks pemampatan

H = Tebal lapisan tanah (m)

Po = Tekanan awal akibat berat tanah (kN/m2)

∆P = Penambahan tekanan (kN/m2)

eo = Angka pori awal

b. Penurunan Konsolidasi Sekunder, terjadi karena akibat perpindahan

butiran partikel tanah menuju posisi yang lebih stabil

(31)

2.5 Perencanaan Pile Cap

2.5.1 Dimensi pile cap

SNI-03-2847-2002 pasal 17.7

Ketebalan pondasi telapak di atas lapisan bawah tidak boleh kurang

dari 300 mm untuk pondasi teapak di atas.

SNI-03-2847-2002 pasal 9.7

Tebal selimut beton minimum untuk beton yang di cor langsug di

atas tanah dan selalu berhubungan deengan tanah adalah 75 mm. Kontrol

geser.

SNI-03-2847-2002 pasal 13.12

Kuat geer pondasi telapak di sekitar kolom, beban terpusat, atau

daerah reaksi di tentukan oleh kondisi terberat dari dua hal berikut:

1) Aksi balok satu arah di mana masing-masing penampang kritis akan

ditinjau menjangkau sepanjang bidang yang memotong seluruh lebar

pondasi telapak.

2) Aksi balok satu arah di mana masing-masing penampang kritis akan

ditinjau harus ditempatkan sedemikian hingga perimeter penampang

adalah minimum.

Perthitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah untuk pile cap sama

dengan perhitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah pada pondasi talapak.

(Pamungkas, 2013 : 88)

2.5.2 Penulangan pile cap

1) Lebar (b) dan tinggi efektif (d) perencanaan balok persegi..

(SNI 2847-2002)

[2.49]

Dimana:

Mu

: Momen yang terjadi pada balok (kgm)

b

: Lebar balok (m)

2

.d

b

Mu

K

perluu

(32)

h

: Tinggi balok (m)

d

: Tinggi efektif (m) = h - 60 mm

2) Rasio Penulangan dapat di peroleh dengan persamaan:

c

F

k

0

,

85

0

,

72

1

,

7

[2.50]

Fy

c

F

.

[2.51]





Fy

Fy

c

F

b

600

600

1

.

.

85

,

0

[2.52]

b

max

0

,

75

[2.53]

Fy

4

,

0

min

[2.54]

Pemekrisaan terhadap rasio tulangan tarik :

min <

<

max

Dimana:

Fc’

: Mutu beton (MPa)

Fy

: Mutu baja (MPa)

: 0,85

3) Melanjutkan perhitungan luas tulangan jika harga rasio penulangan tarik sudah

memenuhi syarat.

renana

d

b

As

.

.

[2.55]

Dimana:

1

(33)

As

: Luas tulangan (mm²)

4) Luas tulangan yang telah dihitung selanjutnya dapat direncanakan diameter dan

jarak tulangannya.

5) Dilakukan pemeriksaan tinggi efektif yang dipakai (d pakai > d rencana)

tulangan sengkang pakai

h

d

2

1

beton

selimut

[2.56]

2.5.3 Tinjauan Terhadap Geser

2.5.3.1 Kontrol Terhadap Geser Pons yang Bekerja Satu Arah

Menurut Pamungkas, (2013) perhitungan gaya geser yang bekerja satu

arah pada penampang kritis seperti pada Gambar 2.7 menggunakan rumus sebagai

berikut:

𝑉𝑢 = ny x Pmax

[2.57]

Vc = 0,17 . λ. √fc′ . bw . d

[2.58]

Gambar 2.7 Analisa geser satu arah (Pamungkas, 2013)

Dimana:

Vu = Gaya geser satu arah yang terjadi

𝜎 = P/A

(34)

𝑝 = Panjang penampang

𝐴 = Luasan penampang

𝐿 = Panjang pondasi

𝐺

= Daerah pembebanan yang diperhitungkan untuk geser penulangan

satu arah

= 𝐿 − (

𝐿

2

+ 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚/2 + 𝑑)

b = Panjang pondasi

d = Tebal efektif pile cap

= h – selimut beton

h = Tebal pondasi

Vc = Gaya geser nominal yang disumbangkan oleh beton

Fc’ = Kuat tekan beton yang disyaratkan

Vu = Gaya geser satu arah yang terjadi

2.5.3.2 Kontrol Terhadap Geser Pons yang Bekerja Dua Arah

Masih menurut Pamungkas, (2013) perhitungan gaya geser yang bekerja

dua arah pada penampang kritis seperti pada Gambar 2.8 menggunakan rumus

sebagai berikut:

𝑉𝑢 = Pmax x jumlah tiang bor

[2.59]

Gambar 2.8 Analisa geser dua arah (Pamungkas, 2013)

Sedangkan menurut SNI 2847-2019 kontrol kuat geser beton dua arah ada

dua rumus adalah sebagai berikut:

(35)

𝛽 =

𝛼𝑘 𝑏𝑘

[2.60]

b

0

= 2 x (b

k

+ h

k

)

[2.61]

1.

𝑉𝑐 = (1 +

2 β

) . 2 . √fc′ . bo . d

[2.62]

2.

𝑉𝑐 = 4 . √fc′ . bo . d

[2.63]

Dimana:

𝛼𝑠 = 40 untuk kolom di tengah

= 30 untuk kolom di tepi

= 20 untuk kolom di sudut

Vu = Gaya geser dua arah yang terjadi

𝑏𝑘 = Panjang kolom

𝛼𝑘 = Lebar kolom

𝑑 = Tinggi efektif pondasi

ℎ = Tebal pondasi

𝑏𝑜 = Keliling penampang keritis pondasi

𝑎𝑠 = Konsanta untuk perhitungan pondasi telapak

Untuk kontrol kuat geser dipakai angka paling kecil dari Vc dengan rumus:

𝜑𝑉𝑐 = 𝜑. 𝑉𝑐

[2.64]

Dengan syarat

𝜑𝑉𝑐 > 𝑉𝑢

2.6 Tulangan Susut

Berdasarkan SNI 2847:2013, tulangan susut diperlukan untuk menjaga

mutu beton agar tetap baik setelah proses pengikatan (setting time) berlangsung,

dimana ada kemungkinan beton akan mengalami penyusutan dan mengurangi

kualitasnya, tulangan susut dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Ass

= 0,0020 . bw . d

ef

[2.65]

Gambar

Gambar 2.1. Macam-macam bentuk pondasi. (a) pondasi memanjang. (b)  pondasi telapak.
Gambar 2.2. Panjang maksimum dan beban maksimum untuk macam-macam  tipe tiang yang umum di lapangan (Carson, 1965)
Tabel 2.1 Berat Sendiri Gedung
Tabel 2.2 Kategori resiko banguan gedung dan non gedung untuk beban gempa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan terdakwa AKAS alias AKAS telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana tidak memiliki keahlian dan kewenangan dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi atau

dikenal sebelumnya, dan ditemukan pada sebagian besar genus Shorea, sehingga penetapan strukturnya dilakukan dengan pembandingan data spektrum UV dan IR serta perbandingan

Selengkapnya judul penelitian yang akan penulis angkat adalah “Pengaruh Pendapatan, Pendidikan dan Beban Tanggungan Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kecamatan

Berdasarkan hasil observasi, evaluasi, dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil penelitaian tentang kemampuan menulis puisi melalui media gambar

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Sungai Raya mengalami kesulitan koneksi

Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menjelaskan perilaku pemilih, (1) Pendekatan Sosiologis (tradisional), melihat bahwa perilaku pemilih dipengaruhi oleh

b. Untuk mencapai struktur atom yang stabil, maka ada atom yang cenderung melepaskan elektron dan ada yang cenderung menangkap elektron.. 3) Unsur gas mulia tdk dpt