7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pondasi
Bagian paling bawah dari seluruh bangunan konstruksi yang bertumpuan
dengan tanah harus di dukung dengan adanya pondasi. Fungsi pondasi sendiri
adalah meneruskan beban bangunan kontruksi dari atas ke lapisan tanah yang
berada di bawah pondasi. Suatu perencanaan pondasi dikatakan benar apabila
beban yang diteruskan oleh pondasi ke tanah tidak melampaui kekuatan tanah yang
bersangkutan. Apabila kekuatan tanah di lampaui, maka penurunan yang
berlebihan atau keruntuhan dari tanah akan terjadi. (Braja, 1993:115)
Perencanaan pondasi ini didasari pada beberapa aspek, diantaranya yakni
fungsi dari bangunan itu sendiri, jenis tanahnya, kedalaman tanah keras, maupun
dari aspek biaya (finansial). Berikut aspek-aspek yang harus dipertimbangankan
dalam pemilihan jenis pondasi untuk sebuah perencanaan: (Nakazawa, 1994:75)
a.
Keadaan tanah (Struktur tanah)
Keadaan tanah dibawah pondasi sangat erat kaitannya dengan pemilihan
tipe pondasi. Hal ini dikarenakan setiap tipe pondasi memiliki bentuk serta
mekanisme penyaluran beban yang berbeda tergantung pada kondisi tanahnya.
Faktor tanah yang dijadikan pertimbangan antara lain jenis tanah, parameter
tanah, daya dukung, kedalaman tanah keras dan lainnya.
b.
Batasan akibat struktur diatasnya
Kondisi beban struktur atas dapat meliputi total besar beban akibat struktur
atas, arah gaya beban baik beban vertikal maupun horizontal dan penyebaran
beban serta sifat dinamis yang dimiliki oleh struktur tersebut.
c.
Batasan keadaan lingkungan
Batasan lingkungan disini ialah keadaan lingkungan di sekitar perencanaan
bangunan. Mengingat dalam mengerjakan suatu pembangunan perlu
memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, sehingga dengan adanya Batasan ini
tidak menganggu keadaan sekitar dan tidak membahayakan aktivitas di sekitar
lingkungan pembangunan.
d.
Waktu dan Biaya Pekerjaan
Faktor Waktu dan biaya perkerjaan atau sering disebut sebagai manajemen proyek
ini juga menjadi bahan pertimbangan yang penting, selain akan berpengaruh dalam
finansial dari proyek, juga dapat menjaga dari segi efisien dan ekonomis dari
pekerjaan.
Hardiatmo, H.C. (2010:103) menjelaskan pondasi adalah komponen
struktur terendah dari bangunan yang meneruskan beban bangunan ke tanah atau
batuan yang berada di bawahnya. Secara umum pondasi dibagi menjadi dua
klasifikasi, yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal diartikan
sebagai pondasi yang hanya mampu menerima beban relatif kecil dan secara
langsung menerima beban bangunan. Pondasi dalam diartikan sebagai pondasi yang
mampu menerima beban bangunan yang besar dan meneruskan beban bangunan ke
tanah keras atau batuan yang sangat dalam. Macam-macam contoh jenis pondasi
ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Berikut adalah jenis-jenis pondasi :
1. Pondasi dangkal
a. Pondasi memanjang (continuous footing)
Pondasi memanjang atau lebih dikenal dengan pondasi batu kali
digunakan untuk menopang sederetan kolom-kolom yang jaraknya
berdekatan atau digunakan untuk menopang dinding memanjang.
Bahan untuk pondasi ini bisa menggunakan batu pecah atau batu kali
atau pasangan bata dan cor beton tanpa tulangan.
b. Pondasi telapak (spread footing)
Pondasi telapak digunakan sebagai tumpuan kolom yang berdiri
sendiri. Pondasi ini terbuat dari beton bertulang yang dibentuk
menyerupai papan atau telapak dan memiliki ketebalan tertentu. Untuk
bangunan bertingkat, pondasi telapak cocok untuk diterapkan.
c. Pondasi rakit (raft foundation)
Pondasi rakit digunakan apabila suatu bangunan terletak pada
tanah lunak atau pada tanah yang dirasa mempunyai daya dukung tanah
rendah. Pondasi ini juga biasa digunakan pada bangunan yang memiliki
basement.
2. Pondasi dalam
a. Pondasi sumuran (pier foundation)
Pondasi sumuran atau kaison diartikan sebagai pondasi yang
tersusun atas pipa beton yang ditanam dalam tanah membentuk sumur
kemudian dicor di tempat menggunakan bahan batu belah dan beton
sebagai isinya. Pondasi ini dapat diterapkan pada lahan-lahan konstruksi
yang kedalaman lapisan tanah kerasnya berkisar 3-5 meter.
Peck, dkk (1953) dalam Hardiyatmo, H.C. (2010:104) memberi
perbedaan antara pondasi sumuran dengan pondasi dangkal menurut
nilai kedalaman (Df) dibagi lebarnya (B). Untuk pondasi sumuran
Df/B > 4, dan untuk pondasi dangkal Df/B ≤ 1.
2.2
Pondasi tiang (pile foundation)
Pondasi tiang digunakan untuk menopang bangunan jika
permukaan tanah keras terletak sangat dalam. Pondasi tiang cocok
diterapkan
pada
bangunan-bangunan
tingkat tinggi
yang
dipengaruhi oleh gaya-gaya penggulingan akibat beban horisontal,
dapat juga mendukung bangunan dalam menahan gaya uplift.
(Hardiatmo, 2010:76). Gambar 2.2 menunjukkan panjang
maksimum dan beban maksimum untuk jenis-jenis pondasi tiang
yang umum diterapkan di lapangan. Ada beberapa maksud
digunakannya pondasi tiang, antara lain : (Hardiatmo, 2010:76)
- Untuk memindahkan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah
lunak, ke tanah pendukung yang kuat.
- Untuk memindahkan beban ke tanah yang labil sampai kedalaman
tertentu sehingga pondasi mampu mendukung dengan cukup beban
tersebut oleh gesekan kulit tiang dengan tanah di sekelilingnya.
- Untuk mengangkerkan suatu konstruksi yang disebabkan oleh gaya
- Untuk menahan gaya lateral dan gaya yang arahnya diagonal.
- Untuk memadatkan tanah yang dominan pasir, sehingga kapasitas
dukungnya bertambah.
- Untuk mendukung pondasi yang lapisan tanahnya mudah tergerus air.
Gambar 2.1. Macam-macam bentuk pondasi. (a) pondasi memanjang. (b)
pondasi telapak.
(c) pondasi rakit. (d) pondasi sumuran. (e) pondasi tiang.
(Hardiatmo, 2010 : 104)
Gambar 2.2. Panjang maksimum dan beban maksimum untuk macam-macam
tipe tiang yang umum di lapangan (Carson, 1965)
(Hardiyatmo, 2010 : 78)
Tiang pancang (spun pile) merupakan struktur bawah pondasi yang
berfungsi untuk meneruskan, memindahkan atau mentransferkan beban - beban dari
struktur atas ke lapisan tanah keras yang dalam. Secara umum kebanyakan tiang
pancang dalam pelaksanaan di lapangan langsung dipancangkan ke dalam tanah.
Tiang pancang dipancangkan tegak lurus ke dalam tanah, tetapi jika diperlukan
untuk menahan beban horisontal maka tiang pancang bisa dipancangkan miring
(batter pile). (Sardjono, 1996:7)
Menurut Sardjono (1996:7) pemakaian tiang pancang dipergunakan untuk
pondasi bangunan dimana tanah dasar di bawah bangunan tersebut tidak
mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup untuk menopang berat
bangunan dan bebannya, atau apabila tanah keras mempunyai daya dukung yang
cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya letaknya sangat dalam. Berikut
macam-macam tiang pancang berdasarkan cara pemindahan beban:
1. Point bearing pile (end bearing pile)
Point bearing pile adalah tiang pancang dengan tahanan ujung yang
meneruskan beban bangunan melalui ujung pondasi ke tanah keras.
2. Friction pile
Friction pile adalah tiang pancang yang meneruskan beban bangunan ke
tanah melalui gesekan kulit tiang (skin friction) dengan tanah disekelilingnya.
2.2 Pembebanan
2.2.1 Beban Mati atau Dead Load (D)
Secara umum beban mati yaitu beban yang terdapat pada bangunan atau
struktur itu sendiri. Tabel 2.1 menunjukkan beban-beban mati atau berat sendiri
dari bangunan. Beban mati terlebih dahulu di hitung tiap lantai nya dan nanti nya
akan di akumulasi secara keseluruhan sesuai dengan jumlah tingkatan dari
bangunan nya. (SNI 1727-2013:15)
1. Perhitungan beban mati
Pada perhitungan berat struktur ini meliputi berat kolom, plat, balok
serta aksesoris yang berdasarkan pada berat jenis atau berat satuan pada
struktur tersebut.
Berat balok
W balok = Luas Penampang Baja x Panjang Balok
x BJ Baja
[2.1]
Berat kolom
W kolom = Luas Penampang x Tinggi x BJ Baja
x Jumlah Kolom
[2.2]
Berat Plat atap
W plat atap = Luas Plat Atap x Tebal Plat Atap
x BJ Bahan
[2.3]
Berat plat lantai
W plat lantai = Luas Plat Lantai x Tebal Plat Lantai
X BJ Bahan
[2.4]
Berat aksesoris = 10% x W Beban Total
[2.5]
Tabel 2.1 Berat Sendiri Gedung
No
Nama Material
Berat
Isi
Satuan
1
Beton Bertulang
2400
kg/m³
2
Dinding Batako
14
kg/m²
3
Berat Jenis Air
1000
kg/m³
4
Adukan Semen (spesi)
21
kg/m²
5
Urugan Pasir
1600
kg/m³
6
Plafond dan Penggantung
18
kg/m²
7
Instalasi Plumbing dan ME
250
kg/m²
Sumber :SNI 1727-2013:15
2.2.2 Beban Hidup atau Live Load (L)
Beban hidup ialah beban penghuni dari Gedung tersebut atau beban
lingkungan lain nya seperti beban hujan, beban angin dan beban gempa. (SNI
1727-2013)
2.2.3 Beban Gempa
Untuk perencanaan bangunan, gaya gempa perlu diperhatikan agar diperoleh
reaksi maksimum yang bekerja. Gaya gempa yang dihitung mengacu pada SNI
1726:2012. Dalam studi perencanaan pondasi tiang Hotel ini menggunakan metode
analisa gempa yaitu metode analisa gempa statik ekivalen.
2.2.3.1 Faktor Keutamaan dan Kategori Risiko Struktur Bangunan
(keutamaan le) dan kategori risiko struktur bangunan gedung
(pengaruh gempa rencana). (SNI 1726-2012: 13)
Seperti yang ada di Tabel 2.2 yang menunjukan beberapa kategori resiko
bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa, sedangkan Tabel 2.3
menunjukan bebrapa faktor gempa.
Tabel 2.2 Kategori resiko banguan gedung dan non gedung untuk beban gempa
Jenis Pemanfaatan
Kategori
resiko
Gedung dan non gedung yang memiliki resiko rendah terhadapjiwa
manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi
untuk, antara lain:
* Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
* Fasilitas sementara
* Gudang penyimpanan
* Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
I
Semua gedung dan struktur lain, yang termasuk dalam kategori
resiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
* Perumahan
* Pasar
* Gedung perkantoran
* Gedung apartemen/ rumah susun
* Pusat perbelanjaan/ mall
* Bangunan industri
* Fasilitas manufaktur
* Pabrik
II
Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa
manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi
untuk:
* Bioskop
* Gedung pertemuan
* Stadion
* Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit
gawat darurat
* Fasilitas penitipan anak
* Penjara
* Bangunan untuk orang jompo
III
Gedung dan non gedung , tidak termasuk kedalam kategori resiko IV,
yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang
besar dan gngguan massl terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari
bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
* Pusat pembangkit listrik biasa
* Fasilitas penganganan limbah
* Pusat telekomunikasi
Tabel 2.2 (Lanjutan)
Jenis Pemanfaatan
Kategori
resiko
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori resiko
IV, (termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur,
proses,penanganan, penggunaan, atau tempat pembuangan bahan
bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau
bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahn beracun atau
peledak dimana di mana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai
batas yang diisyaratkan oleh instansi berwenang dan cukup
menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran
Gedung dan non gedung yang ditunjukan sebagai fasilitas yang
penting,
termasuk
tetapi
tidak
dibatasi
untuk:
*
Bangunan-bangunan
monumental
* Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
fasilitas
bedah
dan
unit
gawat
darurat
* Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi,
serta
garasi
kendaraan
darurat
* Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai,
dan
tempat
perlindungan
darurat
lainnya
* Fasilita kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi, dan
fasilitas
lainnya
untuk
tanggap
darurat
* Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki
penyiraman bahan bakar, menara pendingin, struktur stasion
listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau
struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam
kebakaran) yang diisyaraktkan untuk beroprasi pada saat
keadaan
darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan
fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori resiko
IV
IV
Tabel 2.3 Faktor keamanan gempa
SNI 1726 (2012:12)
2.2.3.2 Klasifikasi situs
Klasifikasi situs merupakan dasar dari kriteria desain seismik suatu
bangunan dari permukaan tanah . Tipe kelas situs harus ditetapkan sesuai pada
Tabel 2.4. (SNI 1726-2012)
Tabel 2.4 Klasifikasi situs
Kelas situs
Vs (m/dt)
N atau Nch
U (kPa)
SA (batuan keras)
>1500
N/A
N/A
SB ( batuan )
750 sampai 1500
N/A
N/A
SC ( tanah
keras,sangat
padat dan batuan
lunak )
350 sampai 750
>50
≥100
SD ( tanah sedang )
175 sampai 350
15 sampai 50
50 sampai
100
SE (tanah lunak)
<175
<15
<50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari
3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Indeks plastisitas, PI>20
2. Kadar air, w ≥ 40%
3. Kuat geser niralisir Su < 25 kPA
Kategori
Resiko
Faktor Keutamaan
gempa, le
I atau II
1
III
1,25
IV
1,5
Tabel 2.4 (lanjutan)
Kelas situs
Vs (m/dt)
N atau Nch
U (kPa)
SF (tanah khusus,
yang membutuhkan
geoteknik
spesifikasi
dan analisis respon
pesifik situs
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu
atau lebih dengan karakteristik sebagai berikut:
- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat
beban
gempa seperti mudah likuifasi, lempung sangat
sensitive, tanah tersementasi lemah
- Lempung sangat organik dan atau gambut
(ketebalan
H > 3m)
- Lempung berplastis sangat tinggi (ketebalan
H>7,5 m
dengan Indeks Plastisitas PI>75)
Lapisan lempung lunak setengah teguh dengan
ketebalan
H>35m dengan Su < 50 kPA
SNI 1726 (2012:17)
Menurut SNI 1726 (2012:20) untuk lapisan tanah kohesif, lapisan batu, dan lapisan
tanah non-kohesif, nilai N ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
Ñ
[2.6]
Keterangan:
di
: Tebal setiap lapisan antara kedalaman 0-30 meter
Ni
: Nilai tahanan penetrasi standar 60% energi (N60)
n i i i n i iN
d
d
1 12.2.3.3 Parameter Percepatan Gempa (S
M1dan S
MS) dan Percepatan Gempa
Desain (S
D1dan S
DS)
Data zona wilayah gempa ini berguna untuk menentukan besaran dari nilai
spektrum Ss dan S1 yang nanti nya di perlukan untuk menghitung gaya geser akibat
beban lateral (gempa) yang akan di terima oleh bangunan. Data gempa tersebut
dapat diperoleh dari SNI 1726 : 2012 atau bisa di dapatkan melalui situs Desain
Spektra Indonesia.
(puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011)
Berikut grafik hubungan percepatan respon spectral terhadap periode
wilayah kota Surabaya berdasarkan klasifikasi tanah disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Grafik Percepatan Respon Spektra Wilayah Kota Surabaya
Sumber :
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/
Grafik percepatan respon spektral pada wilayah Kota Surabaya diatas terbentuk dari
hubungan antara beberapa parameter perhitungan beban gempa yang kemudian
diklasifikasikan berdasarkan jenis tanah pada lokasi proyek. Data hasil analisa pada
situs tersebut disesuaikan dengan kondisi tanah pada lokasi perencanaan proyek.
2.2.3.4 Kategori Desain Seismik
Untuk dapat menentukan perioda fundamental pendekatan
(T
a), Tabel 2.5 menunjukan kategori-kategori desain seismik
berdasarkan parameter respon percepatan pada perioda pendek,
sedangkan Tabel 2.6 menunjukan Kategori desain seismik
berdasarkan parameter respon percepatan pada perioda 1 pendek,
dalam detik (SNI 1726-2012) dari persamaan berikut untuk stuktur
dengan ketinggian lebih dari 12 tingkat dengan rumus;
Tamin = Ct . hn
xTamax = Cu . Tamin
[2.7]
Tabel 2.5 Kategori desain seismik berdasarkan parameter
respon percepatan pada perioda pendek
SDS
Kategori risiko
I atau II atau III
IV
SD5 < 0,167
A
A
0,167 ≤ SD5 < 0,33
B
C
0,33 ≤ SD5 < 0,50
C
D
0,50 ≤ SD5
D
D
Tabel 2.6 Kategori desain seismik berdasarkan parameter respon percepatan pada
perioda 1 pendek
SDs
Kategori resiko
I atau II atau III
IV
SD1 < 0.167
A
A
0,167 ≤ SD1 < 0,133
B
C
0,133 ≤ SD1 < 0,20
C
D
0,20 ≤ SD5
D
D
SNI 1726 (2012:25)
2.2.3.5 Kombinasi Sistem Perangkat Dalam Arah yang Berbeda
Tabel 2.7 menunjukan Faktor R,Cd danΩ0 untuk
Sistem Penahan Gaya Gempa.
Tabel 2.7 Faktor R,Cd danΩ0 untuk Sistem Penahan Gaya Gempa
Simtem penahan gaya
seismik
Koef.
modifik
asi
respons
,
R
aFaktor
kuat
lebih
sistem,
g0
Faktor
pembe
saran
defleks
i,
b dC
Batasan sistem struktur
dan batasan tinggi
struktur, hc (m)
Katgori desain seismik
B
C
D
E
F
A. sistem dinding
penumpu
B. sistem rangka
bangunan
C. sistem rangka
pemikul momen
1. Rangka baja
pemikul momen
khusus
8
3
5½
TB
TB
TB
TB
TB
2. Rangka batan baja
pemikul momen
khusus
7
3
5½
TB
TB
48
30
TI
3. Rangka baja
pemikul momen
menengah
4½
3
4
TB
TB
10
TI
TI
4. Rangka baja
pemikul momen
biasa
3½
3
3
TB
TB
TI
TI
TI
5. Rangka beton
bertulang pemikul
momen khusus
8
3
5½
TB
TB
TB
TB
TB
6. Rangka beton
bertulang pemikul
momen menengah
5
3
4½
TB
TB
TI
TI
TI
7. Rangka beton
bertulang pemikul
momen biasa
3
3
2½
TB
TB
TI
TI
TI
Tabel 2.7 (lanjutan)
Simtem penahan gaya
seismik
Koef.
modif
ikasi
respo
ns,
Faktor
kuat
lebih
sistem
Faktor
pembe
saran
defleks
i
Batasan sistem struktur
dan batasan tinggi
struktur, hc (m)
Katgori desain seismik
B
C
D
E
F
8. Rangka baja dan
beton komposit
pemikul momen
khusus
8
3
5½
TB
TB
TB
TB
TB
9. Rngka baja dan
beton komposit
pemikul momen
khusus
5
3
4½
TB
TB
TI
TI
TI
10. Rangka baja dan
beton komposit
terkekang parsial
pemikul momen
6
3
5½
48
48
30
TI
TI
11. Rangka baja dan
beton komposit
pemikul momen
biasa
3
3
2½
TB
TI
TI
TI
TI
12. Rangka baja canai
dingin pemikul
momen khusus
dengan pembautan
3½
3
3½
10
10
10
10
10
SNI 1726 (2012:34)
2.2.3.6 Koefisien Respon Seismik (C
s)
Berdasarkan SNI 1726 2012:54,:
[2.8]
Keterangan:
SDS
: Parameter percepatan spektrum respon desain dalam
e DSl
R
S
Cs
R
: Faktor modifikasi respon
Le
: Faktor keutamaan gempa
Pada saat menghitung nilai Cs dengan persamaan seperti diatas tidak
diperbolehkan dari hasil persamaan dibawah ini:
[2.9]
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan diatas juga harus tidak
kurang dari hasil persamaan sebagai berikut:
Cs= 0,044 SDS le ≥ 0,01
[2.10]
2.2.3.7 Geser Dasar Seismik
Berdasarkan SNI 1726 2012:54, untuk menentukan V dalam arah yang
sudah ditetapkan harus ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini:
V = Cs.W
[2.11]
Keterangan:
Cs
: Koefisien respons seismik yang ditentukan
W
: Berat seismik efektif
2.2.3.8 Distribusi Vertikal Gaya Gempa
Berdasarkan SNI 1726 2012:57, gaya gempa lateral (Fx) [KN] yang akan
ditristibusikan di semua titik dan semua tingkat harus ditentukan dengan cara
berikut :
Fx = Cvx . V
[2.12]
Dan
e Dl
R
T
S
Cs
1[2.13]
Keterangan:
Cvx
: Faktor distribusi vertikal
V
: Gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur (Kn)
Wi dan Wx
: Bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang
ditempatkan atau dikenalkan pada tingkat i atau x
hi dan hx
: Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x (m)
k
: Eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai
Berikut:
Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5
detik atau kurang, k=1
Untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5
detik atau lebih, k=2
Untuk struktur yang mempunyai perioda antaa 0,5
dan 2,5 detik, k harus sebesar 2 atau harus ditentukan
dengan interpolasi linier 1 dan 2
2.2.4 Beban Kombinasi
Hasil Perhitungan pembebanan dikombinasikan dan dimasukkan ke
program pendukung STAAD-PRO serta kombinasi beban sesuai dengan SNI
03-1726-2012. Perencanaan ini digunakan dua kombinasi pembebanan.
Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)
3. 1,2 D + 1,6 (Lr atau R) + (L atau 0,5 W)
4. 1,2 D + 1,0 W + L +0,5 (Lr atau R)
5. 1,2 D + 1,0 E + L
6. 0,9 D + 1,0 W
7. 0,9 D + 1,0 E
n i k i k xh
Wi
h
Wx
Cvx
1.
.
Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit
1. D
2. D+L
3. D+(Lr atau R)
4. D+0.75L+0.75(Lr atau R)
5. D + (0,6W atau 0,7E)
6. D+0,75(0,6W atau 0,7 E)+0,75L+0,75(Lr atau R)
7. 0,6D+0,6W
8. 0,6D+0,7E
2.3 Daya Dukung Ijin Tiang
Ada beberapa daya dukung yang diperhitungkan dalam studi
ini yaitu sebagai berikut (Pamungkas, 2013:42).
2.3.1 Daya Dukung Ijin Vertikal Tiang
Menurut Pamungkas, (2013) analisis daya dukung ijin tekan pondasi tiang
terhadap kekuatan tanah berdasarkan data N SPT metode Mayerhof, dengan
menganalisis panjang ekuivalen dari penetrasi tiang.
Panjang ekuivalen dari penetrasi ujung tiang (I)
I = 1/2 . 4 . D
[2.14]
Harga N rata-rata pada panjang ekuivalen dari ujung tiang
𝑁
̅ =
𝑁1+ 𝑁̅̅̅̅22
[2.15]
Daya dukung ujung tiang =
qdN̅
[2.16]
Q = qd . A
[2.17]
Gaya gesek maksimum dinding tiang
= Keliling tiang (U) x ∑li.fi
[2.18]
Daya dukung ultimit pada tiang tunggal
Ru = q
dx A + U.Ʃ l
if
i[2.19]
Ra =
𝑞𝑑 x A 3+
U.Ʃ 𝑙𝑖𝑓𝑖
5
[2.20]
Dimana:
Ru
= daya dukung ultimit tekan tiang
Q
= daya dukung ujung tiang
qc
= 20 N, untuk Silt/clay
= 40 N, untuk sand
Ap
= luas penampang tiang
Li
= panjang segmen tiang yang ditinjau
Fi
= gaya geser pada selimut segmen tiang
= N maksimum 12 ton/m², untuk Silt/clay
= N/5 maksimum 10 ton/m², untuk sand
Ast
= keliling penampang tiang
FK1, FK2 = faktor keamanan, 3 dan 5
a. Jumlah Tiang yang Dibutuhkan
Perhitungan jumlah tiang yang diperlukan pada suatu titik kolom
menggunakan beban aksial dengan kombinasi beban DL + LL (beban tak
terfaktor). Jumlah tiang yang diperlukan dihitung dengan membagi gaya
aksial yang terjadi dengan daya dukung tiang (Pamungkas, 2013).
𝑛𝑝 =
𝑃𝑃𝑎𝑙𝑙
[2.21]
dimana:
np
= jumlah tiang
P
= gaya aksial yang terjadi
P all = daya dukung ijin tiang
b. Jarak antar Tiang Kelompok
Dianjurkan dalam tahap perencanaan jarak yang diharuskan adalah
dari 3d ke tengah diantara tiang dengan 2d jarak yang sesungguhnya, artinya
adalah jarak yang dilaksanakan dalam tahap pengerjaan di lapangan. Seperti
pada Gambar 2.4 dimana dalam pengerjaannya 2,5d ke arah tengah
biasanya lebih mendapatkan keuntungan, buruknya adalah efisiensinya
berkurang (Pamungkas, 2013).
Gambar 2.4 Jarak Antar Tiang (Pamungkas, 2013)
Dengan rumus jarak antar tiang :
S ≥ 2,5 D
[2.22]
Dimana:
S = Jarak masing-masing tiang dalam kelompok (Spacing)
D = Diameter Tiang
c. Efisiensi Kelompok Tiang
Menurut Hardiyatmo, (2010) kapasitas kelompok tiang tidak selalu
sama dengan jumlah kapasitas tiang tunggal yang berada dalam
kelompoknya. Hal ini terjadi jika tiang dipancang dalam lapisan pendukung
yang mudah mampat atau dipancang pada lapisan tanah yang tidak mudah
mampat, namun di bawahnya terdapat lapisan lunak. Dalam kondisi
tersebut, stabilitas kelompok tiang tergantung dari dua hal, yaitu:
1. Kapasitas dukung tanah di sekitar dan di bawah kelompok tiang dalam
mendukung beban total struktur.
2. Pengaruh penurunan konsolidasi tanah yang terletak di bawah kelompok
tiang.
Cara pemasangan tiang, seperti: dipancang, dibor, digetarkan atau
ditekan, akan berpengaruh kecil pada kedua hal tersebut di atas. Penurunan
kelompok tiang sama dengan penurunan tiang tunggal, jika dasar kelompok
tiang terletak pada lapisan keras.
Jika tiang-tiang dipancang pada lapisan yang agak kuat tapi dapat
mampat (misalnya lempung kaku), atau dipancang pada lapisan yang tidak
mudah mampat (misalnya pasir padat), tetapi lapisan tersebut berada di atas
lapisan tanah lunak, maka kapasitas kelompok tiang mungkin lebih rendah
dari jumlah kapasitas masing-masing tiang. Hal ini, karena kapasitas
dukung ijin fondasi tiang akan dibatasi oleh penurunan toleransi.
Sedangkan menurut Pamungkas, (2013) pengurangan daya
dukung kelompok tiang yang disebabkan oleh group action ini biasanya
dinyatakan dalm suatu angka efisiensi.
Perhitungan kelompok dari tiang ini berdasarkan rumus yang ada
dalam Converse- Labarre dari Uniform Building code AASHTO :
𝐸𝑔 = 1 − 𝜃
(𝑛−1)𝑚+(𝑚−1)𝑛90 𝑚𝑛
[2.23]
𝜃 = arc tg (D/s) (derajat)
[2.34]
Daya dukung izin vertikal kelompok tiang.
Qu = Eg kelompok tiang x n tiang x Ra
[2.25]
Dimana:
Qu
= daya dukung izin vertikal kelompok
Eg = efisiensi kelompok tiang
D = ukuran penampang tiang
S = jarak antar tiang (as ke as)
m = jumlah tiang dalam satu kolom
n = jumlah tiang dalam satu baris
Daya dukung ijin kelompok tiang = Eg x jumlah tiang x daya
dukung ijin tiang. Daya dukung kelompok tiang harus lebih besar dari gaya
aksial yang terjadi (Pamungkas, 2013).
2.3.2 Beban Maksimum Tiang pada Kelompok Tiang
Menurut Pamungkas, (2013) akibat beban-beban dari atas dan juga
dipengaruhi oleh formasi yang terdapat di dalam kelompok tiang. Tiang ini
mengalami beberapa gaya ,baik tekan hingga tarik dari tiang tersebut.
Beban aksial dan momen yang bekerja akan didistribusikan ke pile cap
dan kelompok tiang berdasarkan rumus elastisitas dengan menganggap bahwa pile
cap kaku sempurna, sehingga pengaruh gaya yang bekerja tidak menyebabkan pile
cap melengkung atau deformasi. Dalam mencari beban maks dan min yang akan
bekerja terhadap kelompok dari tiang bisa kita lihat di persamaan dibawah ini :
𝑃
𝑚𝑎𝑥 𝑚𝑖𝑛=
𝑃𝑢 𝑛𝑝±
𝑀𝑦 . 𝑋 𝑚𝑎𝑥 𝑛𝑦 .Ʃ𝑥²±
𝑀𝑦 . 𝑌 𝑚𝑎𝑥 𝑛𝑦 .Ʃ𝑦²[2.26]
Dimana :
P max = beban maksimum tiang
Pu
= gaya aksial yang terjadi (terfaktor)
My
= momen yang bekerja tegak lurus sumbu y
Mx
= momen yang bekerja tegak lurus sumbu x
X max = jarak tiang arah sumbu x terjauh
Y max = jarak tiang arah sumbu y terjauh
Ʃx²
= jumlah kuadrat X
Ʃy²
= jumlah kuadrat Y
nx
= banyak tiang dalam satu baris arah sumbu x
ny
= banyak tiang dalam satu baris arah sumbu y
np
= jumlah tiang
Bila dalam P maks yang awalnya mempunyai nilai positif, pile cap akan
memiliki gaya tekan. Pada Gambar 2.5 dimana dalam P maks yang memiliki nilai
negatif, maka pile cap mendapatkan gaya tarik. Dari hasil-hasil tersebut dapat
dilihat apakah masing-masing tiang masih memenuhi daya dukung tekan dan/atau
tarik bila ada (Pamungkas, 2013).
Gambar 2.5 Beban yang Bekerja pada Pile Cap (Pamungka. A, 2013)
2.3.3 Daya Dukung ijin Horizontal Tiang
1. Untuk tiang pendek (Pamungkas, 2013 : 60)
Daya dukung horizontal pada tiang pendek di rumuskan sebagai berikut:
)
2
3
(
.
.
9
Cu
D
Lp
D
Hu
[2.27]
2
3
2
max
Hu
Lp
D
M
[2.28]
2. Untuk tiang sedang (Pamungkas, 2013 : 60)
Untuk Daya dukung horizontal pada tiang sedang di rumuskan sebagai berikut
2
2
3
.
.
9
.
4
9
2D
f
Df
Cu
Dg
Cu
My
[2.29]
Hu di dapat dengan mengambil:
[2.30]
f
g
D
Lp
2
3
3. Untuk tiang panjang (Pamungkas, 2013 : 61)
Apabila Mmax > My maka tiang termasuk tiang panjang, dimna Hu bisa dinyatakan
dengan persamaan:
2
2
3
2
f
D
My
Hu
[2.31]
Dan nilai f diambil dari persamaan:
xCuxD
Hu
f
9
[2.32]
Untuk mencari kolerasi dengan undrained shear strength (C
u) menurut
pendekatan Stroud (1974) adalah sebagai berikut :
𝑪𝒖 = 𝒌 𝒙 𝑵
[2.33]
2.3.4 Daya Dukung ijin Tarik Tiang
Analisis daya dukung ijin tarik pondasi terhadap kekuatan tanah
menggunakan rumus sebagai berikut:
Berdasarkan Data N-SPT (Mayerhof) :
Wp
FK
A
lifi
Pta
st
2
70
,
0
.
.
[2.34]
Dimana:
Cu
: Undrained strength (KN/m²)
D
: Diameter tiang (m)
Lp
: Panjang tiang yang tertanam (m)
K
: 3,5 - 6,55 (KN/m²) nilai rata-rata konstanta
N
: Nilai SPT
(Pamungkas, 2013: 51)
2.4 Penurunan Pondasi
Dari kelompok tiang pancang yang ditimpa beban arah vertikal secara
berlebihan, maka dalam tanah akan mengalami penurunan yang condong akan lebih
besar dibandingkan dengan penurunan yang terjadi di tiang tunggal dengan beban
yang sama , dikhususkan dalam kasus dimana tanah yang tepat di bawah lapisan
bearing tiang yang kompresibel.
Jumlah penurunan elastis atau penurunan yang terjadi dalam waktu dekat
(immediate settlement atau elastic settlement) Si dan penurunan yang terjadi dalam
jangka waktu yang panjang (long term consolidation settlement) Sc disebut
penurunan tiang pada kelompok tiang (Pamungkas, 2013).
S = S i + S c
[2.35]
dimana:
S = penurunan total
S i = immediate settlement
S c = consolidation settlement
Dimana:
Pta
: Daya dukung ijin tarik tiang (Ton)
Ast
: Daya dukung ijin tarik tiang (Ton
li
: Panjang segmen tiang yang di tinjau (m)
fi
: Gaya geser pada selimut segmen tiang
FK2
: Faktor keamanan, 3 dan 5
2.4.1 Penurunan Segera (immediate settlement)
Penurunan yang dihasilkan oleh distorsi massa tanah yang tertekan dan
terjadi pada volume konstan disebut penurunan segera. Menurut Janbu, Bjerrum,
dan Kjaernsli (1956), hal itu dirumuskan sebagai berikut (Pamungkas, 2013).
E = 10 x (N
SPT+15) x (k/ft
2)
[2.36]
Df = 2/3 x L
[2.37]
𝑆𝑖 = 𝜇1𝜇0
𝑞𝐵𝐸𝑢
[2.38]
EU = 400 . Cu
[2.39]
Tekanan pada dasar pondasi
q =
𝑃𝑢+𝑊𝑝𝐴
[2.40]
Dimana:
S i = penurunan segera
q = tekanan yang terjadi (𝑃𝑢/𝐴)
B = lebar kelompok tiang
E u = modulus diformasi pada kondisi undrained
μ I = faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas
μ o = faktor koreksi untuk kedalaman pondasi Df
Masih menurut Pamungkas, (2013) harga dari modulus deformasi Eu yang
bisa menghasilkan kurva regangan ataupun tegangan (stress strain curve) melaui
sebuah percobaan akan menghasilkan pembebanan dengan hasil dari tekan terhadap
tanah yang kondisinya undrained. Ada beberapa cara dalam mendapatkan sebuah
nilai dari EU, salah satunya dengan mengandalkan hubungan antara kuat geser atau
bisa dengan Cu yang terdapat di tanah liat.
Sedangkan menurut Hardiyatmo, (2010) Pada kondisi tertentu, kapasitas
dukung ijin tiang lebih didasarkan pada persyaratan penurunan. Penurunan tiang
terutama bergantung pada nilai banding tahanan ujung dengan beban tiang. Jika
beban yang didukung per tiang lebih kecil atau sama dengan tahanan ujung tiang,
penurunan yang terjadi akan sangat kecil. Sebaliknya, bila beban per tiang sangat
melebihi tahanan ujung tiang, maka penurunan yang terjadi akan besar.
Pada tiang yang dipancang dalam lapisan pendukung yang relatif keras dan
tidak mudah mampat, penurunan yang terjadi adalah akibat pemendekan badan
tiangnya sendiri ditambah penurunan tanah yang berada di bawah dasar tiang. Pada
keadaan ini, penurunan kelompok tiang akan kurang lebih sama dengan penurunan
tiang tunggal, dan untuk mencari hubungan μi, μ0, kedalaman pondasi, dan lebar
pondasi menggunakan grafik pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Grafik Hubungan μi, μ0, Kedalaman Pondasi (Df) dan
Lebar Pondasi (B). Studi oleh Sardjono, (1991),
(dikutip dalam Janbu, Bjerrum dan Kjaernsli).
2.4.2 Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)
Menurut Braja (1995) apabila penurunan segera yang sudah dibahas
sebelumnya terjadi pada lapisan tanah berpasir, penurunan konsolidasi ini terjadi
pada tanah lempung. Terjadi karena keluarnya air dan udara dalam pori tanah.
Penurunan terjadi lebih lama namun nilainya cukup besar. Besar penurunan yang
terjadi tergantung dari lamanya waktu pembebanan. Berdasarkan periodenya,
penurunan konsolidasi dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Penurunan Konsolidasi Primer, terjadi karena akibat beban yang
menekan tanah sehingga membuat keluarnya air dan udara dari tanah.
Dapat dihitung dari persamaan berikut:
Cc = 0,156 . e
0+ 0,0107
[2.41]
Po’= ( γ
1. h
1) + ( γ
sat1– γ
w) . h
2 +( γ
sat2– γ
w) . h
3+
( γ
sat3– γ
w) . h
4[2.42]
A
0= B
0. L
0[2.43]
q =
𝑃𝑢 𝐴0[2.44]
L
1= L
0+ 2 (
1 2H . tan 30˚)
[2.45]
B
1= B
0+ 2 (
1 2H . tan 30 ˚) 1
[2.46]
A
1= L
1. B
1[2.47]
𝑆𝑐 =
𝐶𝑐.𝐻 1+𝑒𝑜𝑙𝑜𝑔
𝑃𝑜+∆𝑝 𝑃𝑜[2.48]
Keterangan
Cc = Indeks pemampatan
H = Tebal lapisan tanah (m)
Po = Tekanan awal akibat berat tanah (kN/m2)
∆P = Penambahan tekanan (kN/m2)
eo = Angka pori awal
b. Penurunan Konsolidasi Sekunder, terjadi karena akibat perpindahan
butiran partikel tanah menuju posisi yang lebih stabil
2.5 Perencanaan Pile Cap
2.5.1 Dimensi pile cap
SNI-03-2847-2002 pasal 17.7
Ketebalan pondasi telapak di atas lapisan bawah tidak boleh kurang
dari 300 mm untuk pondasi teapak di atas.
SNI-03-2847-2002 pasal 9.7
Tebal selimut beton minimum untuk beton yang di cor langsug di
atas tanah dan selalu berhubungan deengan tanah adalah 75 mm. Kontrol
geser.
SNI-03-2847-2002 pasal 13.12
Kuat geer pondasi telapak di sekitar kolom, beban terpusat, atau
daerah reaksi di tentukan oleh kondisi terberat dari dua hal berikut:
1) Aksi balok satu arah di mana masing-masing penampang kritis akan
ditinjau menjangkau sepanjang bidang yang memotong seluruh lebar
pondasi telapak.
2) Aksi balok satu arah di mana masing-masing penampang kritis akan
ditinjau harus ditempatkan sedemikian hingga perimeter penampang
adalah minimum.
Perthitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah untuk pile cap sama
dengan perhitungan gaya geser 1 arah dan 2 arah pada pondasi talapak.
(Pamungkas, 2013 : 88)
2.5.2 Penulangan pile cap
1) Lebar (b) dan tinggi efektif (d) perencanaan balok persegi..
(SNI 2847-2002)
[2.49]
Dimana:
Mu
: Momen yang terjadi pada balok (kgm)
b
: Lebar balok (m)
2.d
b
Mu
K
perluu
h
: Tinggi balok (m)
d
: Tinggi efektif (m) = h - 60 mm
2) Rasio Penulangan dapat di peroleh dengan persamaan:
c
F
k
0
,
85
0
,
72
1
,
7
[2.50]
Fy
c
F
.
[2.51]
Fy
Fy
c
F
b
600
600
1
.
.
85
,
0
[2.52]
b
max
0
,
75
[2.53]
Fy
4
,
0
min
[2.54]
Pemekrisaan terhadap rasio tulangan tarik :
min <
<
max
Dimana:
Fc’
: Mutu beton (MPa)
Fy
: Mutu baja (MPa)
: 0,85
3) Melanjutkan perhitungan luas tulangan jika harga rasio penulangan tarik sudah
memenuhi syarat.
renanad
b
As
.
.
[2.55]
Dimana:
1
As
: Luas tulangan (mm²)
4) Luas tulangan yang telah dihitung selanjutnya dapat direncanakan diameter dan
jarak tulangannya.
5) Dilakukan pemeriksaan tinggi efektif yang dipakai (d pakai > d rencana)
tulangan sengkang pakaih
d
2
1
beton
selimut
[2.56]
2.5.3 Tinjauan Terhadap Geser
2.5.3.1 Kontrol Terhadap Geser Pons yang Bekerja Satu Arah
Menurut Pamungkas, (2013) perhitungan gaya geser yang bekerja satu
arah pada penampang kritis seperti pada Gambar 2.7 menggunakan rumus sebagai
berikut:
𝑉𝑢 = ny x Pmax
[2.57]
Vc = 0,17 . λ. √fc′ . bw . d
[2.58]
Gambar 2.7 Analisa geser satu arah (Pamungkas, 2013)
Dimana:
Vu = Gaya geser satu arah yang terjadi
𝜎 = P/A
𝑝 = Panjang penampang
𝐴 = Luasan penampang
𝐿 = Panjang pondasi
𝐺
′= Daerah pembebanan yang diperhitungkan untuk geser penulangan
satu arah
= 𝐿 − (
𝐿2