• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

Tanah merupakan salah satu sumber agraria selain perairan, hutan, bahan tambang, dan udara (UUPA 1960). Sebagai negara agraris yang memiliki jumlah tenaga kerja sekitar 42.47 juta jiwa di sektor pertanian4, sudah tentu tanah dijadikan sebagai salah satu sumber daya terpenting untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Wiradi (2009) mengungkapkan di satu sisi rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupannya sementara di sisi lain negara membutuhkan pengorbanan rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan dengan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Hubungan saling terkait itu dikenal dengan istilah pertanahan. Pertanahan merujuk pada sistem yang saling terkait antara suatu subjek hak atas tanah (individu, kelompok masyarakat atau badan hukum pemerintah dan swasta) dengan suatu objek hak atas tanah pada lokasi, luas dan batas-batas tertentu melalui hubungan penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan. Kekuatan hubungan itu, diindikasi dari tingkat hubungan secara yuridis dalam bentuk jenis hak atas tanah yang dipunyai maupun hubungan secara fisik dalam bentuk penggunaan dan pengambilan manfaat. Kekuatan hubungan itulah yang menjadikan tanah mempunyai nilai hak kepemilikan atau dapat disebut property

right (Risnarto 2007).

Tanah bukan sekedar aset, melainkan juga merupakan basis bagi teralihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial, dan politik. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan corak sebuah masyarakat dan dinamika hubungan antar lapisan di dalam masyarakat tersebut (Wiradi 2009:56). Masalah mengenai ketimpangan struktur penguasaan tanah bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Jika dilihat secara makro, ketimpangan tersebut terdapat di tiga sektor, yakni kehutanan, perkebunan, dan pertanian pangan (Wiradi 2009). Struktur penguasaan tanah menurut Wiradi (2009) adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal) maupun penguasaan efektif (garapan/operasional), atas sumber-sumber agraria; juga sebaran alokasi atau peruntukannya. Ketimpangan agraria (khususnya tanah yang dikaji) merupakan ketidaksesuaian dalam hal penguasaan formal (pemilikan) maupun penguasaan efektif, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragtisme dan kebijakan sektoral terhadap sumber-sumber agraria, khususnya tanah (Wiradi 2009).

Ketimpangan struktur penguasaan tanah terjadi ketika tanah dijadikan sebagai komoditas. Proses perencanaan kota, pengembangan wilayah perumahan, kawasan industri, dan lain-lain, pasti membutuhkan tanah untuk pelaksanaannya, ketika itulah tanah menjadi komoditas. Padahal, wakil presiden Bung Hatta

4

(2)

pernah berpesan dalam pidatonya di Yogyakarta pada tahun 1946, mengenai masalah pertanahan. Isi pesan beliau adalah sebagai berikut (Wiradi 2009).

1. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan seseorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.

2. Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang dimana terdapat sejumlah penggarap yang besar adalah bertentangan dasar perekonomian yang adil. 3. Tanah tidak boleh menjadi “objek perniagaan” yang diperjualbelikan

semata-mata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas).

4. Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dengan Negara karena negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum.

Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang telah dikemukakan tersebut memicu adanya perbaikan mengenai kepemilikian maupun penguasaan terhadap tanah agar sesuai dengan yang diamanatkan di dalam UUPA 1960.

Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani

Konsep Reforma Agraria

Kata agraria secara etimologis berasal dari bahasa Latin ager yang berarti sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural. Kata reform menunjuk kepada “perombakan”, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan. Dengan demikian, hakikat makna reforma agraria adalah: “Penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah dengan prinsipnya “Tanah untuk Penggarap!” (Wiradi 2009).

Penataan ulang struktur penguasaan tanah (land reform) bukan saja akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar penduduk yang masih menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, land reform bukan hanya akan menjadi suatu dasar yang kokoh dan stabil bagi pembangunan ekonomi dan sosial, melainkan juga menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan modal (capital formation) di perdesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi yang kokoh. Selain itu, ia juga akan memberikan sejumput kekuasaan pada kelompok-kelompok petani miskin di pedesaan di dalam ikatan-ikatan sosial pada masyarakatnya. Memberikan tanah kepada para petani miskin yang selama ini terpinggirkan (Bachriadi 2007).

Masa sebelum Perang Dunia II sampai dekade 1960-an, reforma agraria dikenal dengan istilah land reform. Secara sederhana, land reform adalah program untuk mengatasi masalah-masalah struktur agraria yang timpang. Praktik land

(3)

berhasil mencapai tujuannya, yaitu peningkatan kesejahteraan kaum tani karena mereka banyak yang tidak mampu mengusahakan tanah yang diperolehnya. Sampai akhir abad XIX, kebijakan land reform pada dasarnya lebih merupakan kebijakan sosio-politik dibandingakan dengan kebijakan ekonomi karena yang dipentingkan adalah keadilan dan pemerataan (Wiradi 2009).

Beberapa literatur penelitian mengenai reforma agraria telah ditelusuri. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan reforma agraria yang dijalankan di Indonesia belumlah berupa land reform plus program penunjang yang mencakup (1) tersedianya kredit yang terjangkau, (2) akses terhadap jasa-jasa advokasi, 3) akses terhadap informasi baru dan teknologi, (4) pendidikan dan latihan, serta (5) akses terhadap berbagai macam sarana produksi dan sarana pemasaran, seperti yang diungkapkan Wiradi (2009). Sementara access reform yang dimaksud BPN yakni (a) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, dan (d) dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya (BPN-RI 2007).

Reforma agraria yang dijalankan di Indonesia baru berupa pendistribusian tanah tanpa didukung program penunjang tersebut. Menurut Wiradi (2009), diperlukan program-program penunjang agar land reform bisa mencapai peningkatan kesejahteraan kaum tani. Jadi, pada intinya reforma agraria merupakan program land reform plus program penunjang yang telah disebutkan itu. Reforma agraria ini perlu dilakukan karena menurut kalangan yang mendukung reforma agraria menyatakan bahwa reforma agraria adalah “merombak struktur” bukan semata-mata “membagi-bagi tanah”. Perombakan diperlukan karena adanya ketimpangan distrbusi kepemilikan tanah.

Suhendar (2002) menyatakan reforma agraria yang dijalankan saat ini masih merupakan kelanjutan dari zaman orde baru, yaitu peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan agraria sehingga masih jauh dari harapan bahwa kebijakan-kebijakan agraria akan lebih menguntungkan petani. Kebijakan-kebijakan, baik dalam bentuk redistribusi melalui program transmigrasi dan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) ini yang kemudian diklaim sebagai land reform maupun kebijakan peningkatan produktivitas pertanian lainnya, lebih mencerminkan kepentingan pemerintah daripada sebagai upaya menyejahterakan petani sehingga program tersebut tidak bisa mempertahankan keeksistensiannya dalam menyejahterakan petani. Karena itu, petani bukannya sejahtera malah semakin menderita. Berdasarkan kondisi tersebut, Suhendar (2002) menekankan

land reform by leverage merupakan satu-satunya jalan mewujudkan keadilan

agraria di Indonesia. Menurutnya, petani harus menjadi aktor utama yang mendorong perubahan kebijakan agraria dengan dibantu aktor lain yang mampu mendesakkan perubahan kepada pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pengembangan Kapasitas Petani

Kata kapasitas secara harfiah berasal dari bahasa Inggris (capacity) yang artinya kemampuan, daya tampung yang ada. Subagio (2008) menyebutkan bahwa kapasitas adalah segala daya yang dimiliki oleh individu, organisasi, atau

(4)

masyarakat untuk dapat menetapkan tujuan yang dikehendaki secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut secara tepat pula. Tingkat kapasitas yang dimiliki tersebut menyangkut perilaku tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi masalah, dan menjaga agar tetap berkelanjutan.

Kapasitas petani diartikan oleh Subagio (2008) sebagai daya-daya yang melekat pada pribadi seseorang sebagai pelaku utama pengelola sumber daya pertanian untuk dapat menetapkan tujuan usaha tani secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara tepat pula. Setiap individu memiliki kapasitas yang melekat pada dirinya. Perbedaan tingkat kapasitas itu ditunjukkan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan berusaha di bidang pertanian dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi dan inovasi serta kondisi lingkungan yang melingkupi seseorang tersebut.

Pengembangan kapasitas dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka sehingga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya (Alfurqon 2009). Pengembangan kapasitas merupakan gambaran kemampuan dari individu ataupun masyarakat untuk menghadapi permasalahan mereka untuk mencapai tujuan pembangunan secara berkesinambungan (OECD 1996).

Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas subjek reforma agraria (masyarakat miskin). Pengembangan kapasitas dapat dilakukan dalam bentuk pemberian akses terhadap sumber-sumber agraria, pembinaan kelembagaan ekonomi (produksi dan distribusi), dan pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan penyuluhan). Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara mandiri dapat menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Subagio (2008) menjelaskan tingkat kapasitas ditunjukkan dengan mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi permasalahan, serta menjaga keberlanjutan sumber daya usaha tani.

Konsep Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Suharto (2006) menyintesiskan konsep kesejahteraan yang sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Hasil sintesisnya menyimpulkan bahwa sedikitnya ada empat makna yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut.

(5)

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. Sebagai pelayanan sosial, yakni mencakup jamian sosial, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pelayanan sosial personal.

3. Sebagai tunjangan sosial.

4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).

Indikator Kesejahteraan Rakyat

Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Menurut BPS (2006), indikator kesejahteraan yaitu:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai

(6)

suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

5. Taraf dan pola konsumsi

Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6. Perumahan dan lingkungan

Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7. Sosial dan budaya

Semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

Kesejahteraan petani dipaparkan oleh Novrian et al. (2010) sebagai hasil dari Reforma Agraria diukur melalui empat indikator. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat, yaitu: (1) tingkat pendapatan; (2) kepemilikan aset berupa sawah, rumah, dan kendaraan; (3) peningkatan produktivitas lahan; dan (4) tingkat pendidikan. Hasil penelitian Novrian et al. (2010) menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap keempat indikator tersebut pasca terjadinya reklaiming lahan pada Organisasi Tani Lokal Kajarkajar di Tasikmalaya. Kondisi kesejahteraan petani yang tadinya tidak memiliki tanah ternyata meningkat signifikan setelah memiliki tanah. Pasca reklaiming, didapatkan bahwa standar kelompok yang disebut kaya terjadi peningkatan luas penguasaan sawah yang cukup tinggi, dari 30-50 bata sebelum reklaiming menjadi 120 bata sesudah reklaiming. Di bidang pendidikan bahkan bagi kelompok kaya ada yang sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke

(7)

perguruan tinggi. Peningkatan pendapatan pascareklaiming diilustrasikan oleh Novrian et al. (2010) dengan hasil penghitungan usaha tani untuk sebuah rumah tangga petani yang beranggotakan empat orang. Hasilnya adalah pengelolaan usaha tani yang dilakukan pasca reklaiming itu lebih memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan dan kelangsungan ekologis daripada usaha tani yang dilakukan oleh perusahaan dengan skala besar.

Yusuf et al. (2010) melihat indikator atau ukuran kesejahteraan petani secara partisipatif di dua desa yang menjadi lokasi penelitiannya, yaitu Desa Dangiang dan Desa Sukatani. Berdasarkan hasil kajian kesejahteraan warga secara partisipatif (participatory poverty assesment/PPA) di Desa Dangiang terdapat tiga lapisan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, yaitu golongan mampu, sedang, dan tidak mampu. Indikator atau ukuran kesejahteraan petani sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal, serta kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Sedangkan di Desa Sukatani, indikator kesejahteraan petani juga sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, selain itu juga sumber tenaga kerja, jenis bangunan rumah, kemampuan akses terhadap fasilitas kesehatan, dan kemampuan untuk menyumbang dalam kegiatan sosial-keagamaan.

Kerangka Pemikiran

Ketimpangan penguasaan tanah memang kerap kali menjadi hal yang krusial dalam menyebabkan permasalahan agraria di Indonesia, padahal dalam pasal 7 UUPA 1960 tercantum bahwa tidak memperkenankan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas maksimum agar tidak merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dalam pasal 17 UUPA 1960 ditegaskan bahwa luas tanah yang boleh dimiliki oleh satu orang, keluarga, maupun suatu badan, diatur batas minimum dan/atau maksimumnya.

Kehadiran perkebunan di Jasinga membuat warga kehilangan tanah sebagai tempat bertumpunya hidup mereka hingga pada tahun 1998, HGU perkebunan tersebut habis dan mulai saat itu warga mengusahakan lahan bekas HGU tersebut dengan bertanam hortikultura. Hal tersebut dilakukan pada saat kondisi perekonomian mereka sedang sulit sehingga tidak ada pilihan lain selain menanami lahan tersebut meskipun secara tumpangsari. Melihat hal tersebut, pemerintah bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor membuat kebijakan berupa pendistribusian lahan bekas HGU tersebut untuk warga di sepuluh desa di Kecamatan Jasinga, salah satunya di Desa Sipak. Reforma agraria yang dilaksanakan diharapkan berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas petani. Hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa tersebut. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

(8)

X. Pelaksanaan Reforma Agraria X.1 Asset reform: X.1.1 redistribusi lahan X.1.2 sertifikasi lahan X.2 Akses Reform: X.2.1 penyediaan infrastruktur dan sarana produksi X.2.2 pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat X.2.3 dukungan permodalan X.2.4 dukungan distribusi pemasaran

Y.1 Tingkat Kapasitas Petani: Y.1.1 Identifikasi potensi Y.1.2 Memanfaatkan peluang Y.1.3 Mengatasi masalah Y.2 Tingkat Kesejahteraan Petani: Y.2.1 Kepemilikan aset Y.2.2 Kemampuan menyekolahka n anak Keterangan: : berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Program reforma agraria ini diperuntukkan bagi para petani miskin yang tidak memiliki lahan atau yang memiliki lahan sedikit. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas petani yang menerimanya. Selain itu, baik secara langsung maupun tidak, reforma agraria diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Meningkatnya kapasitas petani juga diharapkan agar petani dapat memanfaatkan sumber daya alam secara optimal yang kemudian hal ini akan mendorong peningkatan hasil produksi sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani.

Hipotesis Penelitian

1. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam mengidentifikasi potensi.

2. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam memanfaatkan peluang.

3. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam mengatasi masalah.

(9)

4. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kapasitas petani.

5. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kepemilikan aset.

6. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan menyekolahkan anak.

7. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani.

8. Diduga tingkat kapasitas petani berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Definisi Konseptual

1. Reforma Agraria adalah program pemerintah yang melingkupi pemberian

asset refom dengan melakukan redistribusi tanah dan menyediakan access reform untuk meningkatkan kesejahteraan serta membentuk struktur

penguasaan yang baru.

2. Peningkatan kapasitas petani adalah upaya meningkatkan kemampuan petani untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama terhadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.

3. Kesejahteraan petani adalah kondisi kehidupan di mana kebutuhan moril dan materil dapat terpenuhi dengan baik.

Definisi Operasional

1. Reforma agraria adalah program pemerintah yang melingkupi pemberian asset

reform dengan melakukan redistribusi tanah dan menyediakan access reform

untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Terdapat enam indikator yang termasuk dalam variabel reforma agraria, yaitu:

1) Redistribusi lahan, yaitu ada lahan bekas HGU yang dibagikan kepada petani. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

2) Sertifikasi lahan, yaitu ada sertifikat yang diberikan secara gratis untuk lahan yang dibagikan. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

3) Penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, yaitu ada alat-alat produksi atau media penunjang lainnya yang menjadi nilai tambah untuk keberlanjutan pengolahan lahan. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

4) Pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, yaitu ada usaha, tindakan, atau kegiatan dari instansi tertentu untuk mengarahkan responden dalam pengolahan tanah yang berkelanjutan dan mengolah hasil produksi pertanian yang lebih baik. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

(10)

5) Dukungan permodalan, yaitu ada dukungan berupa uang yang dipinjamkan atau diberikan oleh instansi tertentu untuk keberlanjutan pengolahan tanah yang didapat oleh responden. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

6) Dukungan distribusi pemasaran, yaitu ada dukungan penyaluran nilai jual hasil produksi pertanian dari tanah hasil redistribusi. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

Jumlah pernyataan untuk variabel pelaksanaan reforma agraria sebanyak enam pernyataan dengan akumulasi skor terendah 6 dan tertinggi 12. Pelaksanaan reforma agraria dikategorikan menjadi tinggi dan rendah.

1. Rendah jika akumulasi skor 6-9 2. Tinggi jika akumulasi skor 10-12

2. Tingkat kapasitas petani adalah tingkat kemampuan petani dalam mempertahankan kegiatan usaha taninya. Tingkat kapasitas petani diukur berdasarkan tinggi rendahnya kemampuan mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, dan mengatasi masalah.

1) Kemampuan mengidentifikasi potensi, yaitu tingkat pengetahuan terhadap keberadaan program reforma agraria. Terdapat sembilan pertanyaan untuk variabel kemampuan mengidentifikasi potensi. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan mengidentifikasi potensi dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 9-13 2. Tinggi jika akumulasi skor 14-18

2) Kemampuan memanfaatkan peluang, yaitu tingkat kemampuan petani dalam mengakses program reforma agraria yang tersedia serta sumber-sumber perkreditan, pasar, informasi, dan teknologi yang ada. Terdapat sembilan pertanyaan untuk variabel kemampuan memanfaatkan peluang. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan memanfaatkan peluang dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 9-13 2. Tinggi jika akumulasi skor 14-18

3) Kemampuan mengatasi masalah, yaitu tingkat kemampuan penggunaan informasi dan inovasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Terdapat tujuh pertanyaan untuk variabel kemampuan mengatasi masalah. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan mengatasi masalah dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 7-10 2. Tinggi jika akumulasi skor 11-14

Jumlah pernyataan untuk variabel tingkat kapasitas petani sebanyak 25 pernyataan dengan akumulasi skor terendah 25 dan tertinggi 50. Tingkat kapasitas petani dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 25-37 2. Tinggi jika akumulasi skor 38-50

3. Tingkat kesejahteraan adalah tingkat kualitas hidup masyarakat berdasarkan pandangan masyarakat itu sendiri. Tingkat kesejahteraan yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tingkat kepemilikan aset dan kemampuan menyekolahkan anak.

(11)

1) Tingkat kepemilikan aset yaitu jumlah barang berharga yang dimiliki responden sebelum dan sesudah diadakannya reforma agraria. Terdiri dari luas kepemilikan lahan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan kendaraan bermotor, kepemilikan barang elektronik, kepemilikan hewan ternak, kepemilikan tabungan, dan investasi berupa emas. Akumulasi skor terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 18. Tingkat kepemilikan aset dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 7-12 2. Tinggi jika akumulasi skor 13-18

2) Kemampuan menyekolahkan anak yaitu lama jenjang pendidikan yang mampu ditempuh oleh anak-anak petani dengan biaya dari sebelum program reforma agraria dan sesudah program reforma agraria.

1. SD/sederajat sampai SMP diberi skor 1, kategori rendah.

2. SMA/sederajat sampai perguruan tinggi diberi skor 2, kategori tinggi Akumulasi skor untuk tingkat kesejahteraan petani terendah yaitu 8 dan tertinggi yaitu 20. Tingkat kesejahteraan petani dikategorikan:

1. Rendah jika akumulasi skor 8-14 2. Tinggi jika akumulasi skor 15-20

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Agar hubungan rantai informasi terjadi dengan baik, dalam pembangunan prototype website ini diterapkan konsep Supply Chain Management yang dilakukan dengan metode

Selanjutnya dari wawancara tersebut terungkap pula beberapa fenomena yang terjadi berkaitan dengan masih kurangnya peran kepala sekolah sebagai inovator di SMP Negeri Kota

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh dapat penulis simpulkan bahwa, interaksi sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh perorangan maupun

Berat volume pasir γ dry = 16,8 kN/m3, rata-rata sudut geser dalam sepanjang tiang 35o.. Beban izin yang bekerja

Tugas akhir ini akan membahas mengenai simulasi sistem dinamik terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri UKM pada sektor pertanian di Jawa Timur dan

ü Atas dasar kegiatan pe meriksaan pendahuluan disiapkan ikhtisar temuan hasil peme riksaan pendahuluan yang akan disertakan pada program pemeriksaan lanjutan. Ikhtisar te muan has

(5) Penerapan jarwo transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin tersebut

Rendahnya tekanan air pada beberapa wilayah ter- utama di ujung daerah pelayanan PDAM di Kota Waingapu disebabkan oleh tidak optimalnya pen- distribusian air baku dari salah