• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Komunitas

Swasta

Sumber-sumber agraria

Pemerintah Keterangan:

hubungan teknis agraria (kerja) hubungan sosial agraria

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang

Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu

komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai

representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan

sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria

menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan

penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam

hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.1

Untuk keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria.

1

MT. Felix Sitorus. Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. 2002. Bandung: Yayasan Akatiga.

(2)

Struktur agraria yang dapat dilihat ialah hubungan antara subyek dengan

sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan

pemanfaatan lahan. Menurut Sitorus (2002: 34-35) sumber-sumber agraria

mencakup tanah, perairan, hutan, bahan tambang dan udara dalam bentangan

wilayah. Sistem tenurial yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi

penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil (maro), sistem gadai, dan sistem sewa. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang dan faktor yang

berbeda-beda, tergantung kepada “kondisi” yang dialami oleh petani pemilik dan petani

penggarap (tunakisma).

Mengenai pemilikkan tanah luas dan penyakapan menurut banyak

pengamat disekitar abad ke-20, daerah Priangan menunjukkan suatu tuan tanah

(penguasan tanah luas) yang luar biasa. Menurut Mindere Welvaart Onderzoek (MWO) dalam White dan Wiradi (1979: 17), kurang dari 6 persen dari pemilik tanah di Priangan telah menguasai hampir sepertiga dari seluruh tanah pertanian

pada tahun 1905 (Haselman 1914: 37 dalam White dan Wiradi 1979: 17). Penimbunan penguasaan atas tanah-tanah luas oleh golongan tuan tanah ini

tentunya bukannya melalui pemilikan, tetapi juga dengan cara penyewaan atau

penggadaian yang memberikan suatu penguasaan de facto atas tanah. Mengenai angka-angka dalam MWO dalam White dan Wiradi (1979: 17) tentang proporsi pemilikan tanah yang telah menggadaikan tanah mereka, responden-responden

MWO sendiri bersepakat bahwa jumlah sebenarnya adalah jauh di atas angka-angka tersebut. Pada tahun 1919, Meyer Ranneft dalam White dan Wiradi (1979: 17) menafsirkan bahwa sekitar sepertiga dari semua sawah kesikepan di Cirebon sudah tidak dikuasai lagi oleh pemiliknya, karena sudah digadaikan atau

(3)

disewakan untuk jangka waktu yang lama (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 17).

Di daerah Sumedang, Garut, Cirebon dan Majalengka, golongan tuan

tanah kebanyakan terdiri dari haji-haji, kepala-kepala desa dan tokoh-tokoh

pribumi lainnya, sedangkan di Indramayu terdapat pula cukup banyak tuan-tuan

tanah Tionghoa. Semua daerah tersebut di atas, penguasaan tanah-tanah luas

dinyatakan meningkat selama periode 1880-1905 (MWO, Economie van de Desa, Preanger Regentschappen 1907: 13-18; Residentie Cirebon 1907: 13-14 dalam White dan Wiradi 1979: 17). Penyebab proses konsentrasi penguasaan tanah

adalah semua sumber menghubungkannya dengan proses komersialisasi ekonomi

pedesaan dan terutama dengan meningkatnya pinjaman uang, yang oleh Meyer

Ranneft dilukiskan sebagai “suatu gejala khas dari masuknya lalu lintas uang ke

dalam rumah tangga ekonomi petani, dan dari kekuasaan uang yang bagaikan setan” (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

Perlu dicatat bahwa timbulnya golongan pemilik tanah luas sebagai akibat

komersialisasi tidak disertai oleh timbulnya suatu golongan petani luas. Menurut

Ploegsma,

“Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha-usaha tani luas. Tanah-tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagi hasilkan kepada penggarap-penggarap lain; dengan demikian, dari segi ekonomi pertanian, pola usahatani kecil-kecilan tetap bertahan”

(Ploegsma 1936: 61 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

Nampaknya konsentrasi pemilikan bukanlah disertai oleh konsentrasi luas

usahatani melainkan oleh suatu tingkat penyakapan yang tinggi dimana sejumlah

besar petani bukan pemilik, yang masing-masing diberikan usahatani kecil atas

(4)

daerah Priangan termasuk diantara yang tertinggi di Jawa, sedangkan di Cirebon

sedikit dibawah rata-rata (Scheltema 1931: 271 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

White dan Wiradi (1979: 19-20) menyatakan bahwa “bukanlah pola-pola

penguasaan tanah merupakan hal yang statis yang tidak pernah berubah selama satu abad terakhir. Justru sebaliknya, perbandingan masa kini dan masa lalu menunjukan adanya suatu proses perubahan yang sangat dinamis, dan lagi bahwa masing-masing daerah mempunyai dinamika sendiri”. Namun demikian, agaknya penting untuk mengartikan bahwa pola-pola yang kelihatan sekarang,

seperti variasi lokal dalam luas tanah bengkok, ketunakismaan, ketidakmerataan diantara pemilik tanah, timbulnya suatu golongan pemilik tanah luas, bertahannya

pola usahtani kecil-kecilan berkat lembaga penyakapan, dan sebagainya. Semuanya merupakan akibat dari suatu proses dinamika yang telah dimulai pada

zaman nenek moyang kita, sehingga benar-benar disebut sebagai warisan sejarah.

Kegiatan sewa dan sakap ini berkembang dengan baik melalui instrumen kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap, umumnya penyewaan dan atau

penyakapan didasarkan pada alasan ekonomi untuk meningkatkan usahanya. Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha

milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan mereka kepada lahan. Bagi

petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang

diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih

tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya

(5)

solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani

berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau

berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani.

Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak

dengan mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal

yang mendominasi mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati,

Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri

petani di Indonesia pada saat ini. Menurut dia, ciri yang pertama adalah bahwa

petani bermata pencaharian ganda, selain bertani mereka juga memiliki pekerjaan

sampingan, seperti pedagang, buruh, supir. Melihat kenyataan dilapangan,

pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya Ciri kedua,

tanaman yang diproduksi petani ialah tanaman yang tidak berisiko tinggi, artinya

teknologinya dapat dengan mudah dikuasai, misalnya tanaman talas, pisang, dan

umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham ke mana pasar bagi

tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. Ciri ketiga, motif

berusaha petani ialah mencari keuntungan yang dilakukan dengan

mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan

uang tunai. Ciri keempat petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar

yang ditunjukkan oleh adanya partai-partai politik yang berpengaruh pada mereka

juga terhadap kepemimpinan di desa. Adapun ciri yang terakhir adalah bahwa

petani subsisten secara mutlak tidak ada, karena petani mempunyai hubungan

yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli

(6)

Menurut Elizabeth (2007: 30) penerapan paradigma modernisasi yang

mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian

menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan.

Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka

menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan

lahan pertanian, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta struktur

pendapatan petani di pedesaan. Terkait dengan struktur pemilikan lahan,

perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya: (1) petani lapisan atas; merupakan

petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi

dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi

keuntungan; dan (2) petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di

pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital),

hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan

berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan

kerja yang kurang seimbang.

Sayogyo (2002: 133), bahwa …“Studi hubungan antara pola distribusi tanah

dan distribusi pendapatan (diantara petani dan buruh tani pada khususnya) dalam

Studi Dinamika Pedesaan SAE itu boleh dikata merupakan uji-ulang di banyak

desa atas suatu temuan pokok dari studi desa kasus Yogyakarta, yang pernah

dilakukan B.White sebelum tahun 1970. Hasil studi itu menemukan perbedaan

strategi pola nafkah. Rumah tangga di lapisan bawah (petani gurem, buruh tani) berpola “aman dan selamatkan diri”, dilapisan di atasnya berpola “konsilidasi”,

dan baru di lapisan paling atas (tanah cukup, juga peluang usaha di luar pertanian)

(7)

2.2Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan

Sistem gadai hanya akan dilakukan pemilik sawah dalam keadaan yang

sangat terpaksa. Tentang kontrak maro jika pemilik lahan adalah seorang ayah, maka kontrak maro dilakukan oleh seorang anak atas alasan-alasan hubungan kekerabatan, pertama untuk membantu rumah tangga ekonomi rumah tangga anak

tersebut. Kedua adalah untuk mendidik anak dalam mengelola pekerjaan di

sawah. Pada suatu hari dipertimbangkan sawah yang dipatronkan itu akan jatuh

kepada anak tersebut sebagai warisan orang tua.

Penggunaan buruh tani dari sudut pandang pemilik sawah adalah akibat

pasokan buruh yang melimpah, maka tingkat upah buruh sangat bersaing. Situasi

seperti ini beserta tekanan moral pedesaan untuk membantu tetangga dan hidup

rukun dengan tetangga mendorong pemilik lahan untuk tidak mencari tenaga

buruh dari luar kampung sendiri. Kalau kita lama hidup dalam sebuah kampung

akan terasa aneh jika terjadi seorang pemilik sawah menyewa buruh tani dari

kampung lain. Hal yang serupa juga terjadi dengan persewaan kerbau untuk

pekerjaan membajak dan menggaru, bahkan untuk sawah-sawah yang terletak di

luar kampung sendiri, para pemilik lahan tetap akan mempekerjakan para buruh

yang dibawa dari kampung sendiri.

Pada situasi melimpahnya buruh tani tunakisma yang mencari kerja di

sawah dan meluasnya kemiskinan, pekerjaan berupah adalah semacam sesuatu

yang diidam-idamkan dan memberi pekerjaan semacam itu kepada seseorang

dapat dipandang sebagai sebuah kemurahan hati. Memberikan pekerjaan kepada

(8)

pemilik lahan. Dengan berbuat demikian, mereka berharap buruh tani yang

mereka tolong itu akan menolong mereka pula nanti jika bila diperlukan.

Masyarakat desa berpendapat bahwa hanya tetanggalah yang akan segera

datang menolong mereka ketika mendapat kesusahan. Kerabat yang tinggal di

kampung lain secara teknis susah untuk menolong, karena jarak tempat tinggal

yang jauh. Di kampung-kampung sisi dimana lembaga formal tidak ada dalam

sebagian besar orang bergantung kepada tetangga. Inilah alasan utama mengapa

muncul situasi umum di pedesaan Cikalong, dan di Jawa umumnya, bahwa “The

villagers place importance upon lending immediate assistance to people living nearby” (Jay 1969: 237 dalam Marzali 2003: 108).

Memberikan pekerjaan dengan upah kepada seorang buruh lepas sebagai

satu kemurahan hati diberikan secara terbatas. Apabila tenaga kerja keluarga di

rumah tidak cukup, maka bantuan tenaga dari luar dicari pertama dari kalangan

kerabat dekat, yaitu anak menantu dan saudara yang tinggal di kampung yang

sama. Selain itu dari kalangan tetangga dekat. Biasanya untuk

pekerjaan-pekerjaan yang kecil seperti memacul waktu mempersiapkan lahan, caplak, dan

menyiang, tenaga kerja dari kedua golongan ini sudah mencukupi. Hal ini juga

nampaknya berlaku di tempat-tempat lain di Jawa (Marzali 2003: 108). Di luar

kedua golongan di atas barulah tenaga buruh bebas diambil dari kalangan “orang

lain”, yaitu orang sedesa yang bukan tetangga atau orang dari desa lain.

2.3 Kaitan Faktor Penguasaan Tanah Terhadap Perubahan Struktur Masyarakat Pedesaan

(9)

di Kendal Jawa Tengah untuk memahami kondisi pada zaman Orde Lama bahwa

“perubahan sistem penguasaa tanah juga telah menyebabkan perubahan sistem produksi pertanian”. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita, serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Saat itu, tanah yasan mencakup 76,7 persen dari total tanah di desa tersebut. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan

konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak

milik.

Hak narawita, secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap mengecil, dan mobilitas penguasaan cenderung sentrifugal atau terpolarisasi. Bersamaan dengan

itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisional digantikan oleh

sistem produksi komersial. Organisasi produksi dari sebelumnya berupa pola-pola

penyakapan seperti maro, merapat, merlimo, lebotan, bawon, dan mutu digantikan dengan pola dengan penyewaan, buruh lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi mekanis. Temuan ini didukung oleh Hayami dan Kikuchi

(1987) dalam Syahyuti (2001), yang menemukan bahwa “Kesamaan dampak

revolusi hijau di Indonesia dan Filipina”. Tranformasi sistem sosial pedesaan ini juga didukung oleh Temple (1976) dalam Syahyuti (2001) melihat bahwa

“Adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan desa tradisional (1870-1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era revolusi hijau”.

Selanjutnya Amaluddin (1987) dalam Syahyuti (2001) melihat bahwa “Komersialisasi pertanian telah juga menyebabkan perubahan pola hubungan

(10)

antar lapisan petani”. Kondisi sebelum tahun 1960 dimana masyarakat terbagi atas tiga lapisan sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok), sikep ngajeng (pemegang hak narawita) dan sikep wingking (tunakisma) dilandasi hubungan

“patron–klien”; berubah menjadi hubungan berdasarkan nilai-nilai komersial pola tuan tanah–buruh. “Melemahnya hubungan patron klien ini bersamaan dengan

menurunnya tanggung jawab lembaga desa dalam menjamin subsistensi, melalui jaminan memperoleh pekerjaan dan distribusi” (Temple, 1976 dalam Syahyuti, 2001).

Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia,

karena tanah adalah asal dan sumber makan manusia. Soal tanah adalah soal

hidup, soal darah jang menghidupi segenap manusia (Tauchid, 1952: 3). Tanah

merupakan faktor produksi utama dalam usaha perkebunan. Tanah diperlukan

sebagai tempat tumbuh komoditi-komoditi yang akan diusahakan. Indonesia

sebagai Negara Agraris, memiliki tanah subur yang sangat mendukung bagi

berkembangnya usaha perkebunan maupun pertanian pada umumnya. Faktor

tanah yang kaya inilah, disamping faktor tersedianya penduduk sebagai tenaga

kerja, yang dahulu menarik kaum penjajah untuk menguasai tanah di Indonesia

(Mubyarto, 1992: 107).

Penguasaan lahan atau tanah dan kepemilikan lahan atau tanah merupakan

dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara

kepemilikan, dan pengusahaan tanah perlu dibedakan. Kata “pemilikan”

menunjuk pada penguasaan formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan

hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak-hak yang sah untuk

(11)

tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah

tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah

yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara

menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Kemudian bagaimanakah keadaan

diferensiasi luas pemilikan tanah? Ini harus diteliti dengan wawancara langsung

dengan penduduk desa. Yang harus diperjelas ialah bukan “pemilikan tanah”

dalam arti hak milik yang hanya tercatat dibuku resmi (Buku Letter C), melainkan luas tanah yang benar-benar dikuasai oleh masing-masing keluarga petani

(Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 239).

Menurut Mubyarto (1992: 107) bahwa …”Tersedianya tanah ternyata

tidak selalu diimbangi oleh tersedianya tenaga kerja. Tuntutan akan tenaga kerja

telah menempatkan kebijaksanaan dalam distribusi pemanfaatan lahan kepada

segenap warga desa. Prinsip ini merupakan kosekuensi atas tuntutan pada upaya

memperoleh tenaga kerja dan untuk memperoleh ikatan penduduk dengan

desanya”. Bagaimanakah cara pengusahaan tanah yang dimiliki masing-masing

rumah tangga? Dengan tenaga buruh tani atau hanya tenaga keluarga sendiri?

Kalau digarap orang lain, jenis kontrak penggarapnya bagaimana, sewa-menyewa

atau bagi hasil? Dan bagaimanakah hubungan pemilik tanah dengan

penggarapnya? (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 239)

2.4Usahatani

Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu,

alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh perseorangan

(12)

kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Strategi berasal dari kata

Yunani Strategos dan Strategia, istilah strategi yang dipakai berarti pengetahuan dan seni menangani sumber-sumber yang tersedia dari suatu perusahaan (petani

lapisan atas) untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan. Strategi

adalah alat untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi adalah tindakan

potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumberdaya

perusahaan (petani lapisan atas) dalam jumlah yang besar. Petani lapisan atas

merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon

teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang

berorientasi keuntungan (Elizabeth, 2007: 30).

Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam

menentukan, mengorganisir dan mengkordinasikan faktor-faktor produksi yang

dikuasai dengan sebaik mungkin sehingga mampu memberikan produksi

pertanian yang diharapkan. Faktor-faktor produksi yang dikelola oleh petani

adalah: lahan atau tanah garapan, alokasi penggunaan tenaga kerja, modal, dan

kegiatan usahatani padi sawah.

Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap

penyelesaian berbagai macam kegiatan produksi usahatani. Jenis tenaga kerja

dibagi menjadi tiga yaitu: tenaga kerja manusia, hewan, dan mesin. Tenaga kerja

yang menjadi faktor produksi dalam penelitian ini adalah tenaga kerja manusia.

Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor produksi

lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk pertanian.

Sumber modal diperoleh dari; milik sendiri, pinjaman, kredit, hadiah, warisan,

(13)

2.5Kerangka Pemikiran

Kajian utama diarahkan pada proses akumulasi modal petani lapisan atas.

Proses akumulasi modal melalui mekanisme dan investasi surplus dari pemilik

lahan tradisional, pemilik lahan modern dan pemilik lahan entrepreneur. Adapun fokus kajian peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan pada

sumberdaya dan lapangan kerja, transfer teknologi dan kelembagaan. Kerangka

pemikiran pada tujuan yang ingin dicapai secara sederhana diwujudkan pada

(14)

Keterangan:

Mempengaruhi Berhubungan Gambar 2. Kerangka Pemikiran. 2.6Hipotesis Pengarah

Peran Petani Lapisan Atas di Pedesaan:

1. Sumberdaya dan Lapangan Kerja

2. Tranfer Teknologi 3. Kelembagaan

Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas dalam Mengakumulasi Modal: Tipe Petani Lapisan Atas di Desa Ciasmara

Proses Akumulasi Modal: 1. Pemilik Lahan Tradisional 2. Pemilik Lahan Modern 3. Pemilik Lahan Entrepreneur

(15)

Berdasarkan rangkaian konsep yang diutarakan serta wawasan peneliti

terhadap subjek tineliti, beberapa pernyataan hipotesis yang mengarahkan peneliti

menjawab pertanyaan penelitian disusun di bawah ini. Beberapa hipotesis

pengarah itu adalah:

1. Proses akumulasi modal melalui mekanisme surplus dan investasi surplus

berupa persediaan alat-alat produksi, reproduksi dan produksi, dan bidang

sirkulasi atau pertukaran uang dari rumah tangga petani lapisan atas

dimana surplus di sektor pertanian diinvestasikan ke sektor non pertanian.

Proses akumulasi dan investasi yang saling menunjang dari sektor

pertanian ke sektor non pertanian diantara petani lapisan atas di pedesaan

maka terjadi akumulasi modal.

2. Petani lapisan atas memiliki peran di dalam pembangunan pedesaan.

3. Proses akumulasi modal dan peran petani lapisan atas dapat menjelaskan

strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal.

2.7Definisi Konseptual

1. Strategi adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan

manajemen tingkat atas dan sumberdaya perusahaan (petani lapisan atas)

dalam jumlah yang besar. Selain itu, strategi mempengaruhi kemakmuran

perusahaan (petani lapisan atas) dalam jangka panjang.

2. Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu,

alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh

perseorangan ataupun sekumpulan orang (petani lapisan atas) untuk

(16)

3. Petani lapisan atas adalah petani yang akses pada sumberdaya lahan,

kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki

peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan.

4. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami

sebagian atau seluruh bangunan fisik, dan biasanya tinggal bersama serta

makan dari satu dapur.

5. Tanah adalah asal dan sumber makan manusia serta tempat tumbuh

komoditi-komoditi yang akan diusahakan.

6. Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor

produksi lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk

pertanian.

7. Pemilik lahan tradisional adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang

luas menggunakan sistem pertanian yang masih sederhana.

8. Pemilik lahan modern adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang

luas menggunakan sistem pertanian yang maju.

9. Pemilik lahan entrepreneur adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang luas dan juga memiliki profesi sebagai pedagang.

10.lapangan kerja adalah kegiatan seorang petani untuk dapat bekerja agar

terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga melalui pekerjaan di sektor

pertanian maupun sektor non pertanian.

11.Tranfer teknologi adalah memberi penerapan ilmu pengetahuan sebagai

(17)

12.Kelembagaan adalah kompleks peraturan-peraturan dan peran sosial yang

mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan penting.

13.Akumulasi modal adalah penjumlahan dari seluruh aset atau kekayaan

yang dimiliki rumah tangga petani dari sektor pertanian maupun sektor

non pertanian.

14.Wirausahawan (Entrepreneur) didefinisikan sebagai seseorang yang membawa sumber daya berupa tenaga kerja, material, dan aset lainnya

pada suatu kombinasi yang menambahkan nilai yang lebih besar daripada

sebelumnya, dan juga dilekatkan pada orang yang membawa perubahan,

Gambar

Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria.

Referensi

Dokumen terkait

Di sebelah utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah selatan

Biaya perjalanan dari pegawai golongan CC/III ke bawah termaksud, yang berhubung dengan sifat pekerjaannya harus sering menjalankan tugas pekerjaan di luar tempat

Setelah membaca teks UI Bangun Akademi Energi Surya Pertama di ASEAN pada blog, siswa dapat menyebutkan 3 informasi penting dari teks penjelasan (eksplanasi) ilmiah

Begitu juga yang dijelaskan dalam Komplasi Hukum Islam pasal 225 bahwa harta benda wakaf yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, akan tetapi dari

Dalam penyediaan informasi dimaksud, Bank Indonesia, di samping memanfaatkan (dengan cara mengolah) data dan hasil Survei berbagai pihak, juga akan melakukan Survei secara

Kemudian Google mengambil source code Chromium proyek tersebut untuk membuat browser baru dengan menambah beberapa fitur tambahan, termasuk juga tambahan nama,

Hasil penelitian ini juga telah diperoleh bahwa insuliner tersebut dapat direkomendasikan untuk digunakan pada motor roket case bonded yang menggunakan propelan

(1) Evaluasi Pengembangan Koleksi sebagai Dasar Memahami Problematika dalam Perpustakaan (Studi Kasus Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Gorontalo) (Ade Yul Pascasari Katili);