3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan
di Provinsi Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Teoritis
4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu
sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.
1. Tanggung jawab (accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.
2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
5. Pengendalian
Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai
5. Dasar hukum keuangan daerah
Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada :
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah;
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom;
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas
Perbantuan;
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Informasi Keuangan Daerah.
6. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam
bentuk uang selama periode tertentu (satu tahun) (Jones & Pendlebury, 1996). Anggaran ini
digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan
datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat
untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasipada kepentingan dan akuntabilitas publik. Dengan demikian APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
4. Sistem Pengelolaan Pendapatan daerah dan Belanja Daerah
Menurut artikel yang dilansir oleh egovetime.com sistem pengelolaan pendapatan daerah adalah sistem yang membantu Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemungutan pendapatan daerah dan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian pemungutan pendapatan daerah. Berbeda dari Sistem Keuangan, sistem ini membantu Eksekutif Daerah untuk secara cepat mengetahui potensi pendapatan Pemda dari semua sumber pendapatan yang ada guna penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah yang lebih baik lagi. Dan sesuai dengan Surat Edaran No 903/2429/SJ tentang Penyusunan APBD, maka pendapatan daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah
1) Penetapan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah agar berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
2) Hasil penggunausahaan atau penjualan kekayaan milik daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa, serta sumbangan pihak ketiga dianggarkan dalam kelompok Lain-lain PAD yang sah;
3) Setiap rincian objek pendapatan asli daerah yang dianggarkan harus mencantumkan dasar hukum pemungutan/penerimaan dan target dari potensi pungutan yang direncanakan.
b. Dana Perimbangan
1) Penerimaan dana perimbangan dianggarkan pada pos belanja sekretariat daerah atau satuan kerja pengelola keuangan daerah.
2) Sambil menunggu penetapan dana perimbangan tahun anggaran yang berkenaan, pemerintah daerah dapat menggunakan pagu dana perimbangan yang ditetapkan dalam tahun anggaran sebelumnya. Penyesuaian angka Dana Alokasi Umum Tahun yang berkenaan yang sesungguhnya dapat dilakukan dalam Perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
c. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan daerah yang tidak dapat dikelompokan dalam jenis pendapatan asli daerah dan dana perimbangan dianggarkan pada lain-lain pendapatan daerah yang sah seperti dana otonomi khusus, dana penyesuaian, hibah dan dana darurat.
Sistem pengelolaan belanja daerah adalah sistem yang membantu Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pengeluaran belanja daerah dan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian pengeluaran belanja daerah. Menurut Pasal 20 PP No. 58 tahun 2005, belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum, Daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:
a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan.
Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
b. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.
Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
1) pelayanan umum;
2) ketertiban dan keamanan;
3) ekonomi;
4) lingkungan hidup;
5) perumahan dan fasilitas umum;
6) kesehatan;
7) pariwisata dan budaya;
9) pendidikan; serta
10) perlindungan sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari:
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa;
c. belanja modal;
d. bunga;
e. subsidi;
f. hibah;
g. bantuan sosial;
h. belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan
i. belanja tidak terduga.
5. Pengertian efisiensi, efektivitas
Efisiensi adalah hubungan antara input dan output. Efisiensi merupakan ukuran
apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi untuk mencapai output tertentu.
Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain :
a. efisiensi pada sektor usaha swasta ( private sector efficiency), dijelaskan dengan
konsep input output yaitu rasio output dan input;
b. efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat ( public sector efficiency) adalah suatu
kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin;
c. suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang
terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang
diinginkan.
Beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan meningkatkan output
dengan input yang sama, atau dengan menaikan output dengan proporsi yang besar dengan
kenaikan ouput yang proporsional, atau juga dengan menurunkan input dengan proporsi yang
besar dan menurunkan ouput secara proporsional.
Pengertian efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga
dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari
organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor
publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh
besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang
telah ditentukan.Efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan
daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam
waktu secepat-sepatnya (Devas, dkk, 1989).
a. Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber
daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan.
b. Faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan baik itu
struktural maupun fungsional.
c. Faktor tehnologi pelaksanaan pekerjaan.
d. Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaanya baik pimpinan maupun masyarakat.
e. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor
tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai
sasaran yang dimaksud.
B. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas ditinjau dari aspek sistem
pengelolaan keuangan daerah memang telah banyak dilakukan. berdasarkan hasil penelitian
(Hakim,1995) menyatakan bahwa meningkatnya kemandirian daerah dalam kaitannya dengan
pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kinerja komponen-komponen terkait secara mantap
dengan efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan semua aspek yang ada
dapat memberikan hasil yang optimal dengan demikian nantinya pemerintah daerah akan dapat
membiayai dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Khan, 1994) mengemukakan bahwa
penelitian terhadap Value For Money (VFM) juga dapat melihat lebih jauh keefektivan dari
sistem dan prosedur pengawasan internal. Di Indonesia ketergantungan pemerintah daerah
terhadap subsidi atau bantuan pemerintah pusat telah menjadi topik penelitian yang cukup
menarik untuk daerah tingkat I tercatat satu penelitian yang cukup baik yaitu penelitian
(Kuncoro, 1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD sehingga
ketergantungan keuangan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Untuk
mengurangi beban subsidi pemerintah pusat dianjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah
yang cukup luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan
memanfaatkannya secara optimal.
(Insukindro, dkk, 1994) melakukan penelitian di beberapa daerah kabupaten/kota yaitu:
Padang, Lampung Tengah, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Kediri, Sumenep, Bandung,
Barito Kuala dan Sidrap, untuk mengkaji peranan dan pengelolaan keuangan daerah dan usaha
peningkatan PAD. (Miller, dan. Russek, 1997) menganalisis struktur fiskal dan pertumbuhan
ekonomi pada tingkat negara bagian dan pemerintah lokal dengan mengembangkan dan
membandingkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Penelitian lain yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan oleh (Medi, 1996) bahwa untuk mencapai efektifitas
perlu menggali sumber-sumber pendapatan baru sedangkan untuk mencapai efisiensi
pengelolaan keuangan agar pengeluaran-pengeluaran yang tidak bermanfaat sedapat mungkin
dikurangi.
(Mardiasmo, 1999) membahas pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada
kepentingan publik menyimpulkan bahwa line-item dan incrementalis sebaiknya diganti dengan
model yang lebih baik, agar anggaran daerah lebih dekat dengan gerak dinamis kebutuhan dan
prioritas masyarakat. Aspek manajemen keuangan daerah, memberdayakan internal auditor
(inspektorat) dan pengembangan mekanisme horizontal accountability merupakan prasyarat
untuk meningkatkan akuntabilitas anggaran daerah.
Dari berbagai penelitian tersebut di atas diharapkan dapat memberikan masukan dalam penelitian pengelolaan keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah terutama kaitannya dengan penentuan alat analisis dan pemecahan masalah yang telah mereka lakukan,dan penelitian ini
mengembangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Supratman (2001) tentang “Efisiensi dan Efektivitas Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi DKI Jakarta” dalam hal ini perbedaan penelitian ini dengan peneliti sebelumnya adalah lokasi penelitian dan periode penelitian.
C. KERANGKA KONSEPTUAL
(Mardiasmo, 2000) Perubahan yang fundamental dalam sistem tata pemerintahan dan system keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 adalah pada sistem pemerintahan, perubahan yang terjadi adalah berupa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas dan nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Di mana pemerintah daerah dituntut untuk kesiapannya menyiapkan diri secara kelembagaan , sumber
PENGELOLAAN APBD PEMPROVSU PENDAPATAN
DAERAH
BELANJA DAERAH
TINGKAT EFFISIENSI DAN EFEKTIVITAS
daya manusia dan tehnologi dalam mewujudkan otonomi dan desentralisasi secara nyata, bertanggungjawab dan dinamis.
Pada sistem keuangan perubahan yang terjadi adalah dengan dilakukannya reformasi anggaran, sistem pembiayaan, sistem akuntansi, sistem pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah serta sistem manajemen keuangan daerah. Dalam sistem keuangan tuntutan pembaharuan yang dilakukan adalah dikelolanya uang rakyat secara transparan dengan didasarkan pada value for money (VFM) agar terciptanya akuntabilitas publik. Value for money merupakan tiga elemen dasar yaitu: ekonomis, efisien dan Efektifitas, untuk itu maka pengelolaan keuangan daerah merupakan issue utama dalam pencapaian tujuan pemerintahan yang bersih, dan manajemen pengelolaan keuangan yang baik adalah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Menurut Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan dimana secara kuantitatif tingkat efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output/keluaran dan input/masukan sekunder, dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu membandingkan antara realisasi
anggaran belanja daerah dengan penerimaan daerah dikalikan dengan seratus dalam persentase. Penilaian dikatakan sangat efisien apabila hasil perhitungan di bawah 60 (enam puluh) persen. Demikian
juga untuk pengukuran tingkat efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan suatu organisasi yaitu dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan target dikalikan dengan seratus
dalam persentase. Penilaian dikatakan sangat efektif apabila hasil perhitungan diatas 100 (seratus) persen.