• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata masih belum merata, masih terjadi kesenjangan di berbagai daerah. Oleh karena itu pembangunan daerah diupayakan dengan melaksanakan program-program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh yang dapat menembus wilayah administrasif dan dapat mengakomodasi keragaman potensi permasalahan dan keterkaitan antar wilayah. Berbagai hal yang telah dilaksanakan di Indonesia antara lain pengembangan kawasan pertanian, industri, pariwisata, kehutanan rakyat, peternakan, perikanan dan lain-lain di beberapa daerah; pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai salah satu upaya pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI); pelaksanaan kerjasama ekonomi sub-regional dengan negara-negara tetangga, melalui Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT); pengembangan ekonomi lokal; pengembangan kawasan transmigrasi; pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang di Propinsi Nangore Aceh Darussalam, serta peningkatan status kawasan berikat Otorita Pulau Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) Batam.

2.1. Dasar Hukum

Kawasan Pengembangan Strategis merupakan suatu gambaran atau peta pembagian wilayah yang melukiskan wilayah-wilayah mana yang dapat dikembangkan secara strategis, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing

(2)

wilayah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan keterkaitan ekonomi antar wilayah di Indonesia (Tim P4W, 2003). Dasar hukum dari Kawasan Pengembangan Strategis (Strategic Development Region) terdiri dari beberapa peraturan pemerintah, baik yang dikeluarkan oleh Bappenas maupun oleh instansi pemerintah lainnya.

Salah satunya adalah mengenai aspek pemberian insentif-disinsentif dalam hubungan pemerintah pusat dengan daerah, antar pemda, serta pemda dengan masyarakat merupakan sesuatu yang baru pada draf Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia mengenai Penataan Ruang bila dibandingkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Bentuk mekanisme ini adalah pemberian insentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemda berupa pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi pada daerah yang memiliki indeks hijau yang tinggi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagai dasar pengaturan penataan ruang telah memberikan landasan bagi penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional, namun perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara menuntut perubahan pengaturan di dalam undang-undang tersebut.

Oleh karena itu pemerintah telah merancangan undang-undang pengganti UU No. 24 Tahun 1992 untuk dijadikan landasan menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi penyelenggaraan penataan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan, perkotaan, transmigrasi, perindustrian,

(3)

perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya.

Keputusan dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: Kep 162/M.PPN/05/2004 mengenai Kelompok Kerja Kajian Prakarsa Strategis Kawasan Pengembangan Strategis menyebutkan bahwa Kawasan Pengembangan Strategis merupakan salah satu upaya pengembangan wilayah yang berdasarkan pada peningkatan daya saing wilayah melalui pengelompokkan industri-industri atau usaha-usaha yang saling berhubungan secara dinamis yang menguntungkan dan mempunyai daya saing tinggi.

Oleh karena pentingnya keterkaitan ekonomi antar wilayah itulah maka Bappenas membentuk Kelompok Kerja Kajian Prakarsa Strategis Kawasan Pengembangan Strategis, yang bertugas untuk: (1) melakukan berbagai penelitian dan pengkajian yang berkaitan dengan upaya-upaya pengidentifikasian potensi dan keterkaitan antar daerah melalui pengidentifikasian dan penetapan sektor dan komoditi unggulan dalam wilayah pengembangan strategis, dan penetapan wilayah-wilayah pengembangan strategis, dan (2) memberikan laporan hasil kerja kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

2.2. Konsep Kawasan Pengembangan Strategis

Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan terlalu menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan

(4)

keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumberdaya yang dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas. Hal ini menyebabkan pemerintah perlu untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia dan melakukan penajaman prioritas pembangunan. Selain itu pendekatan pengembangan wilayah yang dikembangkan saat ini, baik oleh pemerintah nasional maupun daerah lebih bersifat inward looking dan memperhatikan supply side.

Perencanaan pengembangan kawasan berdasarkan dengan konsep konsep unit administrasi memudahkan perencana dan analis bekerja sebab data tersedia sesuai dengan wilayah administratif, namun kesulitannya adalah fungsi tertentu dari suatu kawasan cukup sering melintasi batas-batas wilayah-wilayah administratif. Hal ini menyebabkan tidak memungkinkannya dan sulit dalam menelaah hubungan keterkaitan antar daerah. Sebagai alternatifnya adalah melakukan perencanaan yang memandang kawasan dengan kriteria homogenitas (Djajadiningrat, 2002).

Pada pendekatan homogenitas ini, kawasan dipandang berdasarkan berbagai kesamaannya dalam elemen-elemen ekonomi wilayah, seperti pendapatan perkapita, sektor atau aktivitas yang berfungsi sebagai motor penggerak pertumbuhan (engine of growth), kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, keberlimpahan sumberdaya alam, ketersediaan sarana/prasarana ekonomi, dan/atau dalam elemen-elemen sosial-politik, seperti kesamaan adat/budaya, latar belakang sejarah, dan lain-lain. Sifat homogenitas ini

(5)

memudahkan pemerintah daerah dalam penentuan program pembangunan dan pihak swasta dalam penentuan komoditas yang akan diusahakan. Namun pendekatan ini agak menyulitkan jika program/komoditas yang akan dikembangkan tersebut mensyaratkan adanya keterpaduan (integrasi) secara vertikal sebab sektor hilirnya bisa jadi terdapat di luar kawasan tersebut (Tim P4W, 2003).

Dalam kaitan tersebut, diperlukan kebijakan pemerintah yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di semua wilayah sebagai sebuah kesatuan pembangunan yang strategis bagi kepentingan nasional. Daerah–daerah yang berpotensi untuk dikembangkan harus diidentifikasi dan keterkaitan antar daerah harus diperkuat agar dapat diwujudkan mata rantai pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara berkelanjutan dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan suatu gambaran pembagian wilayah yang dapat melukiskan wilayah-wilayah mana yang diperkirakan dapat dikembangkan secara strategis.

Oleh karena itu pemerintah menetapkan pemetaan Strategic Development Region (Wilayah Pengembangan Strategis). Dalam pendekatan ini, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai beberapa unsur strategis, antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia serta infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara sinergis dan optimal. Selain itu penentuan batas-batas wilayah pengembangan tersebut tidak harus selalu didasarkan atas batasan-batasan administrasi seperti yang berlaku sekarang ini, namun didasarkan pada suatu wilayah ekonomi (economic region) (Tim P4W, 2003).

(6)

Analisis perencanaan untuk Wilayah-Wilayah Pengembangan Strategis akan memandang setiap kawasan menurut konsep nodalitas, yang menekankan pada perbedaan stuktur tataruang di dalam suatu kawasan, dimana antar sub-kawasan atau antar sektor-sektor dalam sub-kawasan tersebut terdapat ketergantungan secara fungsional. Implikasinya, program pembangunan dan pengusahaan program/komoditas akan terpicu untuk "memanfaatkan" saling ketergantungan tersebut sehingga terbentuklah integrasi baik secara vertikal maupun horisontal. Hasil-hasil produksi bahan mentah di sub-kawasan terbelakang (hinterland) akan berkumpul pada "pusat" yang memiliki kegiatan/industri pengolahan produk-produk tersebut dan kegiatan distribusinya. Dalam konteks ini, tiap kawasan akan memiliki satu atau beberapa kota besar sebagai pusat pertumbuhan (growth centre) yang perkembangannya secara fungsional akan menarik perkembangan kawasan-kawasan di sekitarnya (Tim P4W, 2003).

2.3. Konsep Dayasaing

Daya saing dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan. Daya saing nasional mengacu kepada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World Economic Forum (WEF), yaitu kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tingi dan berkelanjutan. Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan

(7)

hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Meskipun terdapat perbedaan definisi antara WEF dan IMC, tetapi kedua lembaga ini elah memilih faktor daya saing yang hampir sama. IMD pertama-tama telah memilih dua faktor, yaitu ekonomi domestik dan internasionalisasi, serta selanjutnya menambah enam faktor lain, yaitu pemerintah, manajemen, keuangan, infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teklnologi, dan sumberdaya manusia. WEF merubah kedua faktor pertama, yaitu dari perekonomian domestik menjadi lembaga sipil dan internasionalisasi menjadi keterbukaan, sedangkan keenam faktor lainnya sama (Cho dan Moon, 2003)

Berdasarkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004, keunggulan daya saing daerah penting karena dua alasan. Pertama, untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada masing-masing usaha internal. Ada tempat-tempat di mana orang lebih mudah menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat-tempat lain. Ini tidak hanya berlaku untuk negara; tetapi juga berlaku untuk wilayah-wilayah dalam suatu negara.

Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis. Keunggulan kompetitif merujuk pada faktor-faktor seperti lokasi geografis, sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada kedisiplinan pekerja industri di daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor persaingan yang penting, tetapi hal tersebut berlaku untuk banyak daerah lain. Kedisiplinan pekerja (konsisten untuk bekerja, mengerti akan pentingnya kualitas, dan penggunaan waktu yang disiplin)

(8)

menjadi keunggulan kompetitif yang penting ketika di daerah lain hal itu merupakan suatu masalah. Suatu daerah yang mempunyai karakteristik demikian berpotensi untuk mengembangkan klaster industri.

2.4 Sistem Agribisnis dan Klaster Industri

Agribisnis merupakan paradigma baru yang telah digunakan dalam upaya-upaya pembangunan pertanian di Indonesia. Agribisnis diartikan lebih luas daripada bisnis yang dilaksanakan dalam lingkup on farm, menghasilkan produk pertanian semata. Agribisnis mencakup pula bisnis di sektor hulu (penyediaan bahan baku dan barang modal untuk menunjang aktivitas pertanian), bisnis di sektor hilir (pengolahan produk-produk pertanian menjadi barang jadi dan setengah jadi), pemasaran input, output dan hasil olahan pertanian, serta bisnis jasa dan penunjang (seperti perkreditan, penelitian, penyuluhan, transportasi, dan lainnya). Dengan demikian, agribisnis merubah dari pendekatan sektoral menjadi intersektoral, dan dari produksi ke bisnis. Departemen Pertanian (2001) menggambarkan intersectoral linkages dalam sistem agribisnis sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 tampak bahwa agribisnis mengaitkan subsistem-subsistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan, pemasaran serta jasa dan penunjang menjadi suatu sistem yang saling terintegrasi (an integrated system).

Subsistem agribisnis hulu merupakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian, seperti industri agro-kimia (industri pupuk dan pestisida), industri benih dan bibit komoditas pertanian, serta industri agro-otomotif (industri alat mesin pertanian serta peralatan pengolahan hasil

(9)

pertanian). Subsistem usahatani (on-farm) merupakan kegiatan pemanfaatan sarana produksi yang dihasilkan dari sistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk-produk pertanian primer, baik di bidang tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, maupun kehutanan.

Subsistem agribisnis hilir merupakan kegiatan industri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan, baik berupa barang setengah jadi (intermediate products) maupun barang jadi (final products). Subsistem pemasaran merupakan aktivitas pemasaran, untuk komoditas pertanian primer maupun produk hasil olahan, baik untuk tujuan pasar domestik maupun internasional. Sementara subsistem terakhir, subsistem jasa dan penunjang, merupakan kegiatan yang menyediakan jasa bagi sistem agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan pertanian, serta transportasi dan pergudangan. Dengan demikian, sistem agribisnis memandang aktivitas pertanian dalam arti luas, baik aktivitas on-farm maupun off-on-farm.

Subsistem Pemasaran Subsistem Usahatani Subsistem Pengolahan Subsistem Agribisnis Hulu

Subsistem Jasa dan Penunjang

(10)

Syaukat (2006) mengungkapkan bahwa Departemen Pertanian, pada tahun 2000, telah menetapkan bahwa strategi dasar pembangunan pertanian adalah membangun usaha dan sistem agribisnis yang tangguh. Sistem tersebut paling tidak memiliki empat karakterisktik, yaitu: (1) berdayasaing, (2) berkerakyatan, (3) berkelanjutan, dan (4) terdesentralisasi.

1. Sistem agribisnis yang berdayasaing dicirikan oleh tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi, serta kemampuan untuk menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar, serta memberikan pelayanan yang profesional. Pengembangan sistem agribisnis yang berdayasaing harus memperhatikan aspek permintaan maupun penawaran. Dalam hal ini, produk yang dikembangkan harus yang benar-benar berdayasaing (mampu bersaing) dan dikehendaki pasar (market driven). Dengan demikian, pendekatan lama yang berorientasi pada supply driven - apa yang dapat diproduksi - perlu ditinggalkan.

2. Sistem agribisnis berkerakyatan dicirikan oleh berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam peluang berusaha, kesempatan kerja, maupun dalam menikmati nilai tambah (pendapatan). Pengembangan sistem ini tidaklah berarti hanya pengembangan usaha kecil dan menengah saja, tetapi juga dapat melibatkan usaha skala besar dalam konsep kemitraan.

3. Pengembangan sistem agribisnis yang berkelanjutan merupakan usaha pengembangan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya agribisnis yang semakin besar dan mantap dari waktu ke waktu, dan semakin mensejahterakan masyarakat, baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan

(11)

hidup. Dalam hal ini, pelaku agribisnis tidak hanya melihat jangka pendek (myopic) saja, tetapi juga kepentingan jangka panjang yang mengakomodasikan pelestarian lingkungan hidup dan plasma nutfah (biodiversity).

4. Pengembangan agribisnis yang terdesentralisasi merupakan upaya-upaya pengembangan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan wilayah setempat, serta memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Dengan demikian, pengembangan agribisnis pada dasarnya merupakan aktivitas pembangunan ekonomi lokal. Hal ini sesuai dengan esensi otonomi daerah, yakni melakukan desentralisasi dan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Klaster industri (industry cluster) merupakan suatu kumpulan (aglomerasi) beberapa produsen, pembeli, dan supplier berdasarkan letak geografis yang beroperasi di dalam suatu jenis industri tertentu (Richard, 2005). Di dalam klaster industri, bagian dari komunitas sosial dan agen-agen ekonomi bekerjasama dalam aktivitas ekonomi yang saling terkait dalam bentuk persediaan produk, teknologi, dan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan pelayanan yang unggul.

Klaster industri dibentuk untuk meningkatkan inovasi melalui pertukaran pengetahuan yang intensif, menstimulasi inovasi dan proyek-proyek kerjasama, serta mensinerjikan antara permintaan perusahaan dengan kemampuan lembaga-lembaga yang ada di dalam klaster. Dengan demikian, pembentukan klaster akan membawa kemakmuran ke dalam suatu wilayah dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi wilayah.

(12)

Corebest1 (2006) mengungkapkan bagaimana hubungan antara produk unggul (berdayasaing) dengan daerah unggul (berdayasaing) sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Daerah unggul, yaitu daerah yang mampu memberikan iklim paling produktif bagi dunia usaha, akan dipengaruhi oleh kondisi klasternya, yakni sekumpulan perusahaan yang saling terkait dalam hal khusus yang menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada himpunan perusahaan yang lain. Selanjutnya, klaster unggul ini dipengaruhi oleh sekumpulan perusahaan unggul, yakni perusahaan-perusahaan yang mampu mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar atau mempertahankan keuntungan, pangsa pasar dan skala usahanya. Terakhir, perusahaan unggul dipenaruhi ditentukan oleh produk unggul, yaitu produk berupa barang atau jasa yang mampu selalu menjadi pilihan konsumen untuk membeli.

2.5 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster

Beberapa negara menjadikan kawasan industri sebagai fokus dari pembangunan ekonomi wilayah. Strategi kawasan berbasis klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Klaster industri juga meningkatkan hubungan antar berbagai industri dan lembaga yang terkait dalam klaster tersebut.

1

Corebest (Collaboration for Regional Environmental Business Strengthening). 2006. Daerah Unggul atau Unggulan Daerah. www.Corebest.net

(13)

Gambar 3. Keterkaitan antara Produk, Perusahaan, Klaster, dan Daerah Unggul

Tingkat cakupan strategi klaster industri sangat beragam. Pemerintah daerah seyogyanya menyelenggarakan suatu inisiatif pembangunan ekonomi dengan menggunakan kerangka kerja klaster industri. Pemerintah daerah mengkoordinasikan berbagai lembaga untuk memantau klaster industri. Sementara pemerintah daerah melakukan upaya-upaya koordinatif, perusahaan-perusahaan industri menggerakkan klaster (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Lembaga-lembaga di tingkat nasional ataupun daerah, seperti penyelenggara pendidikan dan kursus, lembaga penelitian, penyelenggara jasa transportasi dan teknologi, LSM, dan lain-lain. memberikan dukungan yang penting dalam perkembangan klaster. Lembaga-lembaga tersebut bekerja secara kolaboratif dalam sebuah klaster (bukan sebagai lembaga-lembaga yang berdiri sendiri)

Produk unggul

Perusahaan unggul

Klaster industri unggul

(14)

dalam menjalankan program-program kunci.

Strategi klaster industri tidak mengharuskan pemerintah menyediakan insentif khusus, yang biasanya mengabaikan kepentingan pihak lain. Klaster didorong untuk menentukan corak dan karakternya sendiri. Jika sebuah klaster dapat mengorganisasikan dirinya sendiri dan menunjukkan nilai positif bagi ekonomi wilayah, maka pemerintah daerah dapat kemudian bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pendukung lainnya dalam membangun klaster tersebut. Pada tahap ini pemerintah pusat baru perlu memberikan dukungan yang diperlukan, misalnya insentif perpajakan, perijinan, dan kemudahan-kemudahan lain (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004)

Michael Porter, 1994, telah meneliti tentang klaster industri di tingkat kota/kabupaten, propinsi, dan internasional. Berdasarkan penelitiannya, ia mengembangkan apa yang dinamakan “diamond of advantage”, suatu model yang menawarkan pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam klaster maupun tentang persaingan yang terjadi di dalamnya. Porter berpendapat bahwa daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal.

Competitive advantage (keuntungan kompetitif atau dayasaing) merupakan modernisasi dari teori sebelumnya comparative advantage (keuntungan komparatif). Pada dasarnya, comparative advantage suatu daerah terjadi akibat adanya “warisan” faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja atau enerji murah, atau sumberdaya alam yang melimpah, sementara competitive

(15)

advantage harus diciptakan. Jika kita melihat sejarah pembangunan, tampak bahwa masing-masing perusahaan, daerah, wilayah dan negara masing-masing sibuk menciptakan competitive advantage mereka. Pertumbuhan industri yang berkelanjutan (sustained industrial growth) jarang sekali didasarkan pada faktor-faktor yang diwariskan tersebut.

Porter (1990) mengungkapkan adanya empat faktor yang akan menentukan competitive advantage suatu perusahaan, daerah atau negara. Salingketerkaitan diantara keempat faktor tersebut diilustrasikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Model Berlian Porter (Porter’s Diamond)

Faktor-faktor penentu keunggulan suatu daerah (bangsa) dapat adalah sebagai berikut:

Kondisi Sumberdaya

Persaingan Domestik

Kondisi Industri terkait dan Industri Penunjang

Kondisi Permintaan

(16)

1. Business strategies and structures and rivalry (Strategi, Struktur dan Persaingan Bisnis): Porter melihat bahwa salah satu karakteristik dari ekonomi yang berdayasaing (competitive economies) adalah adanya persaingan yang tajam antar perusahaan di tingkat nasional. Dalam pandangan statis, bangsa yang unggul akan menikmati keuntungan dari skala usaha (advantages of scale); tetapi, dunia nyata didominasi oleh kondisi-kondisi dinamis (dynamic conditions), dan di sini persaingan langsung (direct competition) menuntut masing-masing perusahaan untuk terus meningkatkan produktivitas dan inovasinya (productivity and innovation). Dalam hal ini, kompetisi yang awalnya tak terlihat berubah menjadi kompetisi yang nyata (rivalry), khususnya yang berada di suatu wilayah tertentu; dimana masing-masing kompetitor akan berpedoman pada: "The more localized the rivalry, the more intense. And the more intense, the better" (Porter 1990, 83).

• Kondisi-kondisi lokal akan mempengaruhi strategi perusahaan atau daerah. Strategi-strategi ini akan mempengaruhi tipe industri yang akan berkembang di suatu daerah/wilayah/negara.

• Pada suatu saat tertentu, suatu perusahaan lebih menginginkan tingkat persaingan lokal yang rendah; akan tetapi dalam jangka panjang persaingan lokal yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk lebih inovatif dan meningkatkan kinerjanya.

• Persaingan lokal bisa mendorong perusahaan melampaui keuntungan dasar (basic advantages) yang dimiliki suatu bangsa, misalnya tenaga kerja murah.

(17)

2. Related and supporting industries (keberadaan industri pendukung dan yang berhubungan): Keberadaan upstream or downstream industries akan mendorong terjadinya pertukaran informasi dan mengembangkan suatu proses pertukaran ide dan inovasi.

• Ketika pendukung industri lokal bersifat kompetitif, perusahaan akan lebih efisien dalam berproduksi dan akan mendorong penggunaan input yang lebih inovatif.

• Efek ini akan lebih besar lagi, apabila supplier inputnya juga menghadapi persaingan kuat di pasar internasional.

3. Factor conditions (Kondisi Faktor Produksi): Kondisi ini mencakup, misalnya ketersediaan tenaga kerja berkualifikasi tertentu atau infrastruktur yang memadai. "Contrary to conventional wisdom, simply having a general work force that is high school or even college educated represents no competitive advantage in modern international competition. To support competitive advantage, a factor must be highly specialized to an industry’s particular needs - a scientific institute specialized in optics, a pool of venture capital to fund software companies. These factors are more scarce, more difficult for foreign competitors to imitate - and they require sustained investment to create" (Porter 1990, 78).

• Suatu negara cenderung menghasilkan faktor-faktor penting bagi negara tersebut, misalnya tenaga kerja yang berkualifikasi atau pengembangan teknologi tertentu

(18)

• Ketersediaan faktor produksi pada suatu saat tertentu kurang menentukan, tetapi bagaimana ia digunakan atau dikembangkan akan lebih berperan

• Kekurangan-kekurangan lokal dalam faktor produksi akan mendorong inovasi. Misalnya, kekurangan tenaga kerja atau bahan baku akan mendorong perusahaan untuk melakukan inovasi metode produksi baru, dan inovasi ini bisa mengarah kepada competitive advantages bangsa tersebut.

4. Demand conditions (Kondisi Permintaan): Semakin menuntutnya konsumen di suatu perekonomian, akan semakin mendorong perusahaan untuk terus mengembangkan kompetitifnya melalui inovasi produk baru - dengan kualitas bagus dan lainnya. Semakin me-lokal tingkat kompetisi ini, akan semakin dirasakan oleh perusahaan yang ada, sehingga perusahaan akan lebih berinovasi untuk dapat meningkatkan kinerjanya untuk dapat lebih memuaskan pelanggannya.

• Semakin banyak produk yang di pasarkan secara lokal, perusahaan akan lebih memperhatikan produk yang dihasilkannya; sehingga mengarah kepada kondisi competitive advantages ketika perusahaan tersebut memulai debut internasionalnya (mengekspor produknya ke luar)

• Semakin tinggi proporsi penjualan lokal akan semakin mendorong keuntungan nasional

(19)

• Suatu perusahaan dengan orientasi pasar lokal akan mendorong perusahaan lokal untuk bersiap-siap bersaing di pasar internasional Keempat faktor tersebut jika saling kait dan saling mendukung antara satu dengan lainnya akan menentukan dayasaing daerah (bangsa). Berlian sebagai suatu sistem memiliki karakteristik:

• Pengaruh suatu faktor tergantung faktor lainnya. Misalnya, kelemahan faktor (disadvantages factor) tidak akan mendorong perusahaan untuk lebih inovatif jika tidak ada persaingan yang cukup ketat.

• Terkadang sistem berlian tersebut bersifat menguatkan sendiri (self-reinforcing system). Misalnya, tingkat persaingan yang tinggi seringkali mengarah kepada pembentukan unique specialized factor.

Sebagai pelengkap terhadap keempat faktor di atas, Porter telah menyer-takan peran pemerintah dan peluang. Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam pembangunan klaster industri. Dalam hal ini Pemerintah berperan sebagai:

• Mendorong perusahaan untuk terus meningkatkan kinerjanya, misalnya dengan mengenakan standar produk yang tegas.

• Mendorong tumbuhnya permintaan awal bagi produk-produk lanjutan (advanced products).

• Fokus dalam menciptakan faktor-faktor yang spesial (specialized factors) • Menstimulasi persaingan lokal dengan “membatasi kerjasama” dan

(20)

• Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengembangan bisnis di tingkat lokal

2.6 Manfaat Kawasan Pengembangan Strategis

Kawasan pengembangan strategis berbasis klaster menawarkan berbagai keuntungan dan peluang bagi perkembangan suatu wilayah. Keuntungan yang sangat nyata adalah kemampuan pihak industri, pemerintah (khususnya pemerintah daerah), dan lembaga-lembaga pendukung dalam bekerja sama memperkuat perekonomian wilayah. Hal ini akan mengarah pada pemanfaatan sumber daya publik maupun swasta dan membantu pemerintah daerah dalam membangun klaster-klaster yang dinamik dan kuat. Klaster-klaster pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Strategi klaster juga membantu pemerintah daerah mengatasi isu-isu krusial seperti keterbatasan sumber daya manusia, masalah perencanaan dan pembangunan infrastruktur, dan pembangunan sosial kemasyarakatan. Berikut ini beberapa manfaat dari Kawasan Pengembangan Strategis yang dikutip dari Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk Percepatan Pembangunan Daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas (2004):

2.6.1 Peluang yang Timbul dalam Kawasan Pengembangan Strategis

Kawasan Pengembangan Strategis menawarkan peluang-peluang penting bagi daerah yaitu berupa meningkatnya hubungan antar sektor-sektor bisnis kunci. Daerah seringkali termotivasi atau dituntut untuk mengadopsi strategi klaster

(21)

industri akibat dari berbagai krisis: pengangguran tinggi, resesi, stagnasi ekonomi, kemunduran sektor properti, atau matinya industri-industri kunci. Namun, daerah juga dapat meraih berbagai peluang yang dihasilkan dari pendekatan pengembangan kawasan berbasis klaster. Berikut ini adalah contohnya.

Pembangunan dan peningkatan infrastruktur seringkali memerlukan investasi dan perencanaan dalam skala besar. Sumberdaya untuk hal itu seringkali tidak mencukupi. Strategi klaster industri membantu daerah untuk mengatur tingkat prioritas investasi dan menjamin bahwa infrastruktur yang dibangun dalam kawasan tersebut akan memberikan perolehan yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, jika klaster teknologi informasi dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu daerah, maka telekomunikasi dan sumberdaya manusia akan menjadi investasi yang penting dan tepat dalam meningkatkan pertumbuhan kawasan itu.

2.6.2 Manfaat Bagi Ekonomi Wilayah

Strategi klaster merupakan sebuah strategi pembangunan ekonomi wilayah. Strategi ini menyediakan cara yang terkoordinasi dan efisien dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan memasukkan pendekatan klaster sebagai kunci dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah, maka pemerintah daerah akan mudah mengkoordinasikan, menghindari layanan ganda, dan mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam pembangunan ekonomi wilayahnya.

Pendekatan klaster dan koordinasi yang diciptakannya juga membantu suatu industri dalam menyusun prioritas dan menciptakan hubungan yang mapan dan

(22)

konstruktif dengan pemerintah daerah. Ini tidak berarti bahwa industri menyusun prioritas lalu meminta pemerintah daerah untuk menanggulangi permasalahan mereka dan menyediakan dana. Namun sebaliknya, industrilah yang mengambil inisiatif sementara pemerintah dan lembaga pendidikan memainkan peran sebagai penyedia fasilitas dan dukungan. Hasilnya, pendekatan klaster akan menumbuhkan iklim bisnis yang sehat. Kondisi ini akan membantu perusahaan yang telah ada dan mengundang perusahaan-perusahaan baru.

2.6.3 Manfaat Bagi Pemerintah

Strategi pengembangan kawasan berbasis klaster industri memungkinkan pemerintah daerah mengarahkan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien. Melakukan banyak program yang hanya memenuhi kebutuhan satu atau dua perusahaan bagi pemerintah adalah tidak adil, oleh sebab itu peran pemerintah daerah harus lebih difokuskan untuk menyokong kebutuhan banyak perusahaan dengan kebutuhan yang mirip. Pendekatan klaster industri memungkinkan pemerintah daerah untuk bekerja langsung dengan industri-industri dan mengembangkan strategi dalam membangun ekonomi wilayah yang berkelanjutan.

2.6.4 Manfaat Bagi Industri yang Sudah Mapan Maupun yang Baru Lahir Strategi klaster industri menempatkan pentingnya kebutuhan industri atau klaster dan memfokuskan diri pada sumberdaya publik dan swasta dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Klaster industri mengidentifikasi kebutuhan utamanya sendiri, lalu bekerja sama dengan sektor publik dan swasta untuk

(23)

memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan ini mungkin meliputi program pelatihan khusus dari suatu universitas ataupun pembangunan infrastruktur telekomunikasi, transportasi, dan kebutuhan lainnya.

2.6.5 Manfaat bagi Tenaga Kerja

Strategi klaster industri memfokuskan diri dalam pengembangan sumberdaya manusia yang handal dan pelatihan yang akan memacu terciptanya industri yang kompetitif dan inovatif. Klaster industri menawarkan manfaat nyata dalam membantu menyusun prioritas pendidikan dan pelatihan di suatu kawasan atau daerah. Klaster juga menyediakan kepada siswa dan tenaga kerja terampil kesempatan untuk memperoleh keahlian, baik yang umum maupun spesialis.

Begitu pasar tenaga kerja mulai menyempit dan kebutuhan terhadap tenaga kerja terampil mulai meningkat, maka ketersediaan tenaga kerja terampil dalam skala wilayah menjadi sangat penting. Perusahaan umumnya lebih menyukai lokasi yang memiliki suplai yang baik atas tenaga kerja terampil (kualitas tinggi, produktivitas tinggi) dibanding dengan prasyarat lain seperti pajak. Suatu daerah yang memahami kekuatan ini, dan mampu membuat kerangka kerja yang baik untuk bekerja dengan industri-industri kunci, lembaga pendidikan dan pelatihan, dan berbagai penyedia layanan lainnya, maka daerah ini akan lebih berhasil dalam menciptakan industri-industri yang maju dan lebih berhasil dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi penduduknya.

2.6.6 Manfaat Bagi Masyarakat

(24)

meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui penyelenggaraan layanan yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dalam jumlah besar di dalam kawasan. Organisasi kemasyarakatan juga dapat bekerja sama dengan industri dan lembaga-lembaga publik dalam mengarahkan masyarakat menuju dunia kerja yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Dengan memperhatikan kebutuhan klaster industri, organisasi kemasyarakatan dapat mengembangkan program yang lebih luas yang melengkapi industri yang ada di kawasan tersebut.

Komunitas perdesaan akan memperoleh manfaat dari strategi klaster industri dengan membangun dan memperkuat industri kunci mereka sendiri. Industri-industri ekspor dapat menggerakkan vitalitas kawasan tersebut dan memungkinkan berkembangnya berbagai industri pendukung lainnya. Industri pendukung tersebut -restoran, toko, rumah sakit, dan tempat-tempat rekreasi – memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Klaster industri juga merupakan pilihan yang baik dalam membangun modal sosial (hubungan sosial yang dapat meningkatkan produktivitas) di suatu daerah. Klaster yang diwakili oleh industri, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi lainnya akan bekerja bersama dalam meningkatkan ekonomi. Hubungan sosial yang dibangun ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kesuksesan ekonomi suatu daerah.

2.7 Strategi Pengembangan Prasarana Wilayah

Strategi pengembangan prasarana dalam mendukung pengembangan wilayah pada umumnya diturunkan dari visi dan misinya. Visi untuk setiap jenis prasarana berbeda-beda, tetapi ada kesamaannya, yaitu pelayanan publik. Visi

(25)

pengembangan prasarana wilayah adalah tersedianya prasarana wilayah yang andal, efisien, adaptif dan antisipatif dalam mendukung perekonomian wilayah.

Sedangkan misinya secara umum adalah mempromosikan, mendukung dan membuka akses ke wilayah yang lebih luas. Dalam hal ini, untuk wilayah yang terbelakang, misinya lebih menonjol untuk membuka akses, untuk wilayah yang mulai berkembang misi yang lebih dominan adalah sebagai pendorong dan untuk daerah yang sudah berkembang, misi yang dominan adalah sebagai pendukung pengembangan wilayah (Mukti, 2002). Dalam rantai nilai produk unggulan suatu wilayah, peta posisi prasarana wilayah dapat dilihat pada Gambar 5.

prasarana wilayah manajemen

perdagangan

input proses output distribusi/ jasa pasar

Sumber: Mukti (2002)

Gambar 5. Posisi Prasarana Wilayah dalam Sistem Rantai Nilai Produk Unggulan

Bila melihat misinya, maka pilihan strategi umumnya yang diambil adalah:

1. membangun prasarana baru

2. perbaikan dan peningkatan prasarana yang ada 3. penataan kewenangan dan kelembagaan 4. optimalisasi pemanfaatan prasarana yang ada 5. efisiensi dalam operasional pemanfaatannya

(26)

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Kawasan Pengembangan Strategis yang dilaksanakan oleh Tim P4W, IPB (2003) mengenai Penyusunan Strategic Development Region. Pada penelitian ini dilakukan pemetaan Kawasan Pengembangan Strategis. Hasil analisis SDR pada studi ini dibagi dalam dua bagian besar, yaitu analisis SDR Sumatera dan analisis SDR Luar Sumatera. Perbedaan yang mendasar pada ke dua bagian analisis adalah pada analisis input-output. Analisis Sumatera menitikberatkan analisis pada individual input-output daerah dan hubungan antar daerah dilakukan dengan analisis gravitasi dengan metoda ekonometrik. Analisis Luar Sumatera menggunakan input-output antar propinsi yang tidak memerlukan analisis gravitasi.

Sementara itu untuk kajian daya saing, Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas pada tahun 2004 melakukan kajian mengenai Kajian Strategi Pengembangan Kawasan dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah, dengan studi kasus di Kelompok Industri Rotan Cirebon, Industri Logam Tegal dan Industri Batik Pekalongan yang ditinjau dari perspektif klaster. Kajian ini mencoba menyusun strategi untuk mengembangkan kawasan dalam rangka mendukung akselerasi peningkatan daya saing daerah. Adapun strategi klaster digunakan sebagai pendekatan karena dinilai mampu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerah; klaster bersifat lokalitas, mampu mendorong penciptaan inovasi, serta mampu menciptakan sinergitas antar pelaku-pelaku yang terkait.

Siregar (2006) melakukan studi tentang model pengembangan agro-based cluster bagi peningkatan dayasaing industri kelapa sawit Indonesia. Dayasaing

(27)

dalam hal ini diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar internasional dan bersamaan dengan itu kemampuan menciptakan suatu kesejahteraan berkelanjutan bagi warganya. Dalam penelitin ini kinerja industri kelapa sawit Indonesia dibandingkan dengan kinerja industri kelapa sawit Malaysia dalam memenuhi permintaan China.

Hasil penelitian Siregar (2006) ini menunjukkan bahwa kinerja ekspor minyak sawit Malaysia memiliki keunggulan dayasaing relative lebih baik dari Indonesia. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja dayasaing industri kelapa sawit Indonesia di China adalah: peningkatan produksi dan produktivitas, kecenderungan permintaan internasional, kemampuan menggunakan teknologi baru dalam perbenihan, kemampuan bersaing terhadap produsen utama lainnya, pengembangan pasar luar negeri, dan kebijakan pemerintah di sektor pajak/retrebusi. Penelitian ini menyarankan agar: (1) pengembangan kawasan kelapa sawit diintegrasikan dengan industrinya (cluster); (2) peranan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator, regulator harus mampu mendorong pengembangan industri kelapa sawit secara lebih efisien; dan (3) peningkatan peranan lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai sumber teknologi dan dukungan bagi petani pekebun dan pelaku usaha lainnya.

Tambunan (2006) melakukan kajian terhadap faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia telah menunjukkan kembali pertumbuhan ekonominya. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut relatif masih lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain yang terkena krisis, seperti Korea Selatan dan Thailand; serta masih tingginya

(28)

pengangguran. Paradoks pertumbuhan-pengangguran tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia bukan bersumber dari sektor-sektor utama, yakni sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; serta sektor pertanian.

Tambunan mengemukakan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan bagi pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Tetapi, ia harus diikuti dengan syarat kecukupannya, yakni peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut, sehingga memiliki daya serap yang lebih tinggi terhadap angkatan kerja, mendorong pemberdayaan kelompok-kelompok miskin, dan memiliki sifat yang berkelanjutan. Kondisi ini dapat direalisasikan hanya jika investasi sektor swasta dan publik dapat ditingkatkan guna membangun sektor-sektor padat karya. Disamping itu, prioritas investasi hendaknya untuk pengembangan infrastruktur perekonomian, kualitas sumberdaya manusia, dan kualitas pelayanan publik. Investasi perlu diarahkan kepada pengembangan pertanian dalam arti luas dan industri hasil pertanian yang mendukung perkembangan peranan usaha kecil dan menengah dalam perekonomian.

2.9 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan teori daya saing dari Michael Porter, faktor-faktor pemicu inovasi dan pertumbuhan suatu klaster adalah kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi persaingan dan kondisi penunjang. Selanjutnya dari beberapa daerah kajian akan dianalisis komoditas yang memiliki daya saing, yang akan dianalisis menggunakan analisis LQ.

(29)

Dalam pembangunan ekonomi daerah, pemilihan jenis produk yang akan dikembangkan haruslah pada produk (barang dan jasa) yang memiliki keunggulan (berdayasaing). Menurut Porter (1990), competitive advantages timbul ketika perusahaan mampu memasok (menawarkan) produk dengan tingkat harga yang sama dengan yang dipasok oleh perusahaan lain, namun dengan tingkat biaya yang lebih rendah (cost advantage) atau menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi (differentiation advantage); sehingga perusahaan tersebut mampu menciptakan nilai-nilai unggul (superior value) di mata konsumennya. Dengan nilai-nilau unggul ini, maka komoditas yang dihasilkan akan dapat diterima pasar, sehingga nilai tambah (added value) yang diperoleh dari produksi komoditas tersebut akan berkelanjutan (sustainable).

Setelah diketahui komoditas unggulan dan kawasan yang memiliki daya saing teridentifikasi, maka proses selanjutnya adalah pengerahan daya dan upaya untuk melakukan pembangunan Kawasan Strategis Nasional tersebut. Dalam hal ini, pengikutsertaan berbagai pihak dalam program investasi dan pelaksanaan pembangunan menjadi penting. Pihak-pihak yang terkait dapat terdiri atas pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sektor swasta berperanan dalam program investasi, pemerintah berperan dalam menentukan strategi dan program fasilitasi pembangunan yang mampu melibatkan dan memberdayakan masyarakat. Dengan demikian, program pembangunan Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Riau tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, pengusaha dan wilayah (Gambar 6). Kajian ini akan lebih memfokuskan diri pada perumusan strategi dan program fasilitasi pembangunan Kawasan Strategis Nasional.

(30)

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Kondisi Sumberdaya Komoditas Berdayasaing Kondisi Penunjang Kondisi Persaingan Kondisi Permintaan Peran Pemerintah

Peran Swasta dan Masyarakat

Kawasan Berdayasaing Strategi & Program

Fasilitasi Pemb.

Program Investasi

Peningkatan Ekonomi Masyarakat, Pengusaha, dan Wilayah

Gambar

Gambar 3.  Keterkaitan antara Produk, Perusahaan, Klaster, dan   Daerah Unggul
Gambar 4. Model Berlian Porter (Porter’s Diamond)
Gambar 6.  Kerangka Pemikiran Operasional Kondisi  Sumberdaya Komoditas Berdayasaing  Kondisi  Penunjang Kondisi  Persaingan Kondisi  Permintaan Peran  Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

Pada setiap kemasan hams tercantum keteranganyang jelas, mudah terbaca dan tidak mudah terhapus. Tanda pengenal standar SPLN 43' c. Kode pengernl jenis kabel; d. Jumlah inti dan

Berdasarkan kajian pustaka di atas, hipotesis tindakan yang dirumuskan peneliti adalah diduga “Adanya Peningkatan Kemampuan Membaca Melalui Layanan Penguasaan Konten Dengan

Dalam perdagangan dikenal plastik untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan nonpangan (nonfood grade), sehingga pemilihannya untuk kemasan makanan harus hati-hati untuk

Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa kombinasi daun miana dan jahe memberikan aktivitas daya hambat yang berbeda untuk antar bakteri uji Streptococcus

Jenis penelitian ini adalah kualitatif lapangan, dengan pendekatan emik 24 yaitu analisis sikap dan perilaku yang menekankan pada apa yang disampaikan, dipikirkan

Secara garis besar, implementasi cloud computing pada Universitas Semarang berjalan dengan baik, infrastruktur cloud yang dibangun telah mampu menjalankan aplikasi

Tahap Perencanaan Siklus I; Kegiatan yang dilakukan dalam tahap siklus I: Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah : a. Menelaah kurikulum Bahasa