BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Konsep New Media
Denis McQuail mendefinisikan new media atau media baru sebagai perangkat teknologi elektronik yang berbeda dengan penggunaan yang berbeda pula. Media elektronik baru ini mencakup beberapa system teknologi seperti: system penyimpanan dan pencarian informasi, system penyajian gambar(dengan menggunakan kombinasi teks dan grafik secara lentur), dan system pengendalian (oleh komputer).
Ciri utama yang membedakan media baru dengan media lama adalah desentralisasi (pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di tangan komunikator), kemampuan tinggi (pengantaran melalui kabel atau satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya), komunikasi timbal balik ( komunikan dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung), kelenturan (fleksibelitas bentuk, isi dan penggunaan).
Rogers dalam Anis Hamidati menguraikan tiga sifat utama yang menandai kehadiran teknologi komunikasi baru, yaitu interactivity, de-massification, dan asynchronous. Interactivity merupakan kemampuan system komunikasi baru (biasanya berisi sebuah computer sebagai komponennya) untuk berbicara balik (talkback) kepada penggunanya. Hampir seperti seorang individu yang berpartisipasi dalam sebuah percakapan. Dalam ungakapan lain, media baru memiliki sifat interaktif yang tingkatannya mendekati sifat interaktif pada komunikasi antarpribadi secara tatap muka.
Sifat kedua dari tekonologi komunikasi baru adalah de-massification atau yang bersifat missal. Maksudnya, kontrol pengendalian system komunikasi massa biasanya berpindah dari produsen kepada konsumen media. Sifat yang ketiga adalah asynchronous, artinya teknologi komunikasi baru mempunyai kemampuan untuk mengirimkan dan menerima pesan pada waktu-waktu yang dikehendaki oleh setiap individu peserta.
2.1.1 Fungsi Media Baru
• Berfungsi menyajikan arus informasi yang dapat dengan mudah dan cepat diakses dimana saja dan kapan saja. Sehingga memudahkan seseorang memperoleh sesuatu yang dicari atau dibutuhkan yang biasanya harus mencari langsung dari tempat sumber informasinya. • Sebagai media transaksi jual beli. Kemudahan memesan produk melalui fasilitas internet
ataupun menghubungi customer service.
• Sebagai media hiburan. Contohnya: game online, jejaring sosial, streaming video, dan lain sebagainya.
• Sebgai media komunikasi yang efisien. Penggunanya dapat berkomunikasi dengan siapapun tanpa terkendala jarak dan waktu, bahkan dapat melakukan video conference. • Sebagai sarana pendidikan dengan adanya e-book yang mudah dan praktis. Bagi
mahasiswa dan pelajar penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan proses pembelajaran menjadi jelas dan menarik, lebih interaktif, efisiensi waktu dan tenaga, memungkinkan proses belajar bisa dilakukan dimana saja dan mengubah peran guru kea rah yang lebih positif dan produktif..
2.2 Konsep Poligami
Kata poligami, secara ertimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan, Bila pengertian kata ini digabungkan, maka polgami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang (Sahrani, 2013:351). Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.
Pengertian poligami, menurut bahasa indnesia, adalah system perkawinan yang salah satu pihak memilki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. (Kurnia, 2006:2)
Para ahli membedakan istilah dari seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligami yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.
Jadi, kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikiran, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu
adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Masyarakat uum menilai bajwa polgini adalah poligami.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “Poligami” yang sudah popular dalam masyarakat. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asal dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari satu orang baru dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negative dalam menegakan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda dan istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi jika ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negative itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal dalam membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu.
2.3 Representasi Perempuan dalam Media
Representasi yaitu bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Representasi juga menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2005:113). Representasi adalah produksi dari makna bahasa, yang mana representasi membentuk argumen, menggunakan tanda-tanda yang diorganisasikan ke dalam bahasa-bahasa dari berbagai jenis untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan makna tersebut kepada khalayak.
Media sebagai alat komunikasi massa yang sangat efektif melakukan perubahan yang signifikan pada sebuah ruang lingkup publik. Maka dengan itu para pelaku media sangat dituntut untuk memberikan penyajian suatu pesan yang jelas kepada publik, meski tidak menutup kemungkinan ada kesalahpahaman atau ketidaktepatan dalam penyampaiannya pada kelompok-kelompok tertentu. Dengan realitas media inilah yang sering disebut representasi. Representasi
bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estetis, rekonstruksi dari situasi sesungguhnya (Barker, 2005: 104).
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa dalam suatu media dapat mengungkapkan suatu peristiwa yang pada dasarnya adalah merekonstruksi realitas. Oleh karena itu dalam menciptakan suatu peristiwa bisa dikatakan bahwa isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Seperti yang disebutkan oleh Barker bahwa representasi adalah bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita (Barker, 2005: 9).
Perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam struktur organisasi media yang belum berimbang dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.
Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media. Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di dalam pemberitaan, iklan komersial maupun program acara hiburaanya seperti sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya.
Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompetensinya pada wilaya domestic saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal, “murahan” dan bahkan pelacur, bukan perempuan baik-baik, pemboros dan sebagainya.
Realitas media di Indonesia menunjukan adanya bias gender dalam representasi perempuan dalam media, baik media cetak maupun elektronik. Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi, stereotipe atau label negatif, beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan gender terlihat. Mengutip Rhenald Kasali, bagi professional pemasaran, perempuan
merupakan potensi pemasaran yang luar biasa. Sebagai target market, perempuan telah “menciptakan” begitu banyak produk baru dibandingkan laki-laki.
2.4 Semiotika
Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotic sebagai “ilmu tanda” (sign) dari segala yang berhubungan denganya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaanya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika secara epistimologis menurut Roland Barthes adalah : Istilah semiotic berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda disini didefinisikan sebgai sesuatu atas dasar konvensial sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis dapat didefinisikan sebgai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dimana aliran konotasi pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi melalui makna konotasi. Menurut Fiske (2004) dalam bukunya “Cultural and communication studies” terdapat tiga bidang studi utama dalam semiotika, yakni:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakanya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikan.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dalam kajian semiotika, terdapat dua pendekatan yang memiliki penekanan yang berbeda. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier
(penanda) dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan sebuah idea tau petanda (signified). (Sobur, 2006)
Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebgai suatu hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan. (Littlejohn, 1996)
Semiotika juga merupakan proses untuk menginterpretasi kode dan pesan yang direpresentasikan oleh media agar penonton dapat memahami makna yang tersimpan dalam sebuah teks. Teks menurut Roland Barthes memiliki arti yang luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat meneliti teks dimana tanda-tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem. Dengan demikian semiotic dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, dan drama.
2.5 Semiotika ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara komplek pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interkasi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap menpergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes mendefinisikan mitos dengan merujuk kepada teori tingkatan kedua sistem tanda. Mitos ditemukan pada tingkatan kedua tanda atau pada level konotasi. Barthes membuat perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi digambarkan sebagai makna harafiah, sedangkan konotasi adalah makna parasitis dimana tanda historis berubah menjadi tanda atau “mitos” yang dinaturalkan. Terdapat kemungkinan untuk membaca tingkatan penandaan, baik yang muncul dipermukaan maupun yang ada dibalik tanda.
Nilai semiotika dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan suatu mitos “dituturkan” dengan suatu ide (ideologi) dan “dibandingkan” dengan mitos-mitos lain. Suatu mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa membandingkannya dengan berbagai mitos (serupa atau berlawanan) yang ada dalam msayarakat. Dia mempunyai nilai karena dia dapat ditukarkan dengan ideology tertentu.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi – nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Menurut barthes , mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tantang suatu, cara untuk mengkonseptualisasaikan atau memahami suatu. Dengan mitos kita dapat menemukan ideology dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalam mitos itu sendiri (Sobur, 2006).
Mitos dari Roland Barthes mempunyai makna berbeda dengan mitos dalam arti umum ( mitos takhayul ), Mitos dari Roland Barthes memaparkan fakta. Bagi Roland Barthes mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang di perluas oleh Roland Barthes dapat berbentuk Verbal ( lisan atau tulisan ) atau Non Verbal: n’importe quelle matiere peut etre dote arbitairement de signification ( materi apa pun dapat dimaknai secara arbiter ). Mitos merupakan perkembangan dari konotasi, konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos (makna yang membudaya). Roland Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (demontage semiologique).
Tanda denotative terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi dalam konsep Roland Barthes tanda konotatiftidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaanya. Pada dasarnya ada perbedaan antara konotasi dan denotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di pahami oleh Roland Barthes. Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasoasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharifiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Roland Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyala konotasi.
Roland Barthes
lebih lanjut
mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Bagan 1: Order Of Signification Roland Barthes
Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung (53:2001)
Dalam Video “Polemik Poligami di Indonesia” ini, alasan penulis untuk lebih memilih menggunakan teori semiotika Roland Barthes daripada teori semiotik-semiotik yang lain karena
pada teori semiotika Roland Barthes, pemaknaan dua tahap denotasi konotasi yang digunakan oleh Roland Barthes dalam teori semiotikanya, Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan budaya Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Selain itu Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konven dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mecakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Semiotik Roland Barthes dengan ahli-ahli semiotic yang lain. Selain itu Barthes juga melihat aspek lain dari penadaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudia memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu yanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi terebut akan menjadi mitos, dalam tataran mitors dapat diungkap sesuai dengan keunggulan semiotic Roland Barthes yang terkenal dengan elemen mitosnya. Selain itu di dalam semiotic Roland Barthes, makna konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
2.6 Penelitian Terdahulu
Pokok bahasan mengenai Representasi perempuan dalam video belum pernah ada tetapi representasi perempuan dalam film , video klip maupun video game sudah ada. Sekalipun telah banyak penelitian mengenai representasi perempuan dalam film, namun bagi peneliti hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian pada tema topic tersebut
2.5.1. Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes Penelitian ini dilakukan oleh Christandi, Denny Briellian A pada tahun 2013. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa Representasi Perempuan dalam film “Sang Penari” adalah perempuan menjadi objek dalam segala pekerjaan, salah satunya seperti saat menari tari ronggeng, perempuan sebagai pelacur, perempuan sebagai ibu rumah tangga, serta perempuan sebagai pihak yang tertindas. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah mengenai film tersebut. Penulis menggunakan video dokumenter sebagai object penelitian.
2.5.2. Representasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Media ( Analisis Semiotika Terhadap Tayangan Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015 di Trans7)
Penelitian ini dilakukan oleh Erni Supriyanti pada tahun 2016. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa Representasi Identitas Perempuan Muslim Dalam Tayangan Grand Final Sunsilk Hijab Hunt adalah tayangan tersebut tidak merepresentasikan identitas perempuan muslim yang sesuai dengan syari’at agama Islam namun dimodifikasi dengan memadukan hijab modern. Perempuan diidentitaskan sebagai sosok yang modern, cantik, modis, berbakat dan cerdas. Identitas tersebut dibangun untuk memberi identitas baru bagi para muslimah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis terdapat pada object penelitian, dimana penelitian ini dari tayangan acara di televisi sedangkan penulis menggunakan media Youtube sebagai bahan penelitian. Dalam hal lain peneliti juga tidak hanya menganalisis perempuan dalam hal berpakaian tetapi juga sifat dan ekspresi yang di keluarkan pemain dalam video tersebut.
2.5.3 Representasi Perempuan dalam Film Hollywood ( Analisis Semiotika Representasi karakter perempuan dalam film colombiana )
Penelitian ini dilakukan oleh Novis Putri Wardhani pada tahun 2016. Melalui penelitian tersebut bahwa representasi karakter perempuan dalam film colombiana adalah perempuan sebagai tokoh sentral yaitu perempuan pembunuh yang mampu membalaskan dendamnya terhadap keluarganya. Perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki dualitas, kuat sekaligus lemah. Bahwasanya perempuan digambarkan sebagai mahkluk yan cengeng dan menangis. Perempuan dalam film colombiana juga direpresentasikan sebagai objek sensualitas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dari object penelitian yakni film sedangkan penulis meneliti video dalam media Youtube, Penulis juga merepresentasikan perempuan dalam hal ekspresi,emosi,gesture, serta wardrobe yang dikenakan.
2.7 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir digambarkan untuk membuat hubungan antara konsep yang akan diteliti. Berdasarkan dengan teori yang sudah disebutkan, maka gambaran penelitian yang akan dilakukan dapat digambarkan dalam sebuah kerangka berfikir sebagai berikut:
Bagan 2: Kerangka Berpikir
Maraknya kasus poligami di Indonesia, membuat sutradara film maupun video dokumenter di Indonesia banyak membuat film atau video bertujuan untuk memberi tahu dampak Poligami bagi keluarga di Indonesia, hal ini di karenakan Film maupun video memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi penonton, sehingga lewat film atau video sebuah pesan lebih mudah tersampaikan ke penonton.
Dalam tiap adegan di sebuah film maupun video pasti memiliki suatu makna tertentu, dan makna tersebut yang akan dimaknai oleh penonton. Demikian juga dalam tiap adegan di Video”Polemik Poligami di Indonesia”. Video ini bercerita tentang seorang laki-laki yang mengkampanyekan poligami sebagai jalan hidupnya. Sosok ini bernama Riski Ramdani yang memiliki dua istri yakni istri pertama nya yang bernama Dwi Rosilawati dan Istri keduanya yang
Semiotika Roland Barthes Representasi perempuan pada
video "Polemik poligami di Indonesia"
Video "Polemik Poligami di Indonesia
KONOTASI MITOS
DENOTASI
Representasi Perempuan dalam video "Polemik Poligami di
bernama Rima Sarah. Dari sini mereka menceritakan apa itu poligami dan suka duka poligami menurut Riski, Dwi Rosilawati dan Rima. Karena terdapat beberapa ciri dimana suatu tindakan dapat dikatakan Representasi. Untuk menjawab hal itu maka penulis menggunakan teori semiotika, yaitu teori yang digunakan untuk membantu manusia dalam memankani suatu hal tertentu.
Teori Semiotika digunakan dalam menganalisis tiap scene dalam video “Polemik Poligami di Indonesia, teori semiotika yang digunakan adalah milik Roland Barthes yang terbagi dalam dua tahap signifikansi, yang pertama tahapan denotasi dan yang kedua adalah tahapan konotasi. Setelah melalui tahapan itu maka penulis akan mengetahui bagaimana Representasi Perempuan dalam Video Polemik Poligami di Indonesia.